Anda di halaman 1dari 2

Misnomer dalam nomenklatur dan Penalaran Positivisme

Hukum
Kata misnomer adalah sebuah kata serapan Bahasa Inggris yang
memiliki arti kata atau istilah yang tidak cocok penggunaanya
sedangkan kata nomenklatur memiliki arti tata nama atau
peristilahan.
Kalimat hukum positif yang berarti kepada tatanan norma hukum
yang berlaku dan kalimat positivism hukum memiliki arti aliran
filsafat hukum yang ada pada abad ke-19 dan 20.
Kata positivism dalam terminology positivisme hukum itu ternyata
menyimpan permasalahan tersendiri.
Wacana Modernitas
Positivisme sendiri dikembangkan pertama kali oleh Auguste Comte
(1798-1857), pencetus Hukum Tiga Tahap, pemikirannya di Klaim
sebagai jembatan antara rasionalisme Descartes dan empirisme
bacon. Pengertian positif menurut comte terdiri dari beberapa
kemungkinan yaitu:
1.

Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayal,


ari positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang nyata.

2.

Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bermanfaat,


pengertian positif menjadi pensifatan sesuatu yang
bermanfaat

3.

Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur, pengertian


positif menjadi pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat.

4.

Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan,


pengertian positif menjadi pensifatan sesuatu yang pasti.

5.

Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang negatif,


pengertian positif menjadi penunjukan sifat-sifat pendangan
filsafatnya yang selalu menuju arah penataan atau
pentertiban.

Dalam hukum tiga tahap Comte menyatakan bahwa manusia


berkembang kea rah kemajuan tidak saja pada proses sejarah
kehidupan melainkan juga pada proses perkembangan jiwanya
secara individual. Ketiga tahap tersebut merupakan tahap teologi
aktif atau fiktif, metafisik atau abstrak, dan positif atau riil.

Comte berpendapat bahwa masyarakat tahap positif adalah yang


paling ideal namun sayangnya pernyataan ideal tersebut terjebak
pada ukuran yang sangat teknik dan sosiologik.
Dalam buku Tafsir Politik terjemahan karya Michael T Gibbons
menyebutkan lima pilar berpikir positivism yang antara lain yaitu
logiko-empirisme, realitas objektif, reduksionisme, determinisme
dan bebas nilai.
Asumsi pertama berangkat dari keyakinan bahwa pengetahuan
hanya mungkin diperoleh melalui pengalaman yang tersobservasi
secara indrawi, melalui kajian empiris. Sesuatu yang tidak dapat
dikaji secara empiris berarti tidak ilmiah, seperti agama.
Asumsi kedua meyakini adanya realitas objektif. Bisa terjadi karena
adanya jarak antara objek dan subjek. Jarak ini menyebabkan objek
dapat dikaji oleh siapapun dengan hasil yang sama selama
metodologi yang digunakan juga sama.
Asumsi ketiga menyatakan bahwa objek ilmiah selalu dapat
dipahami dengan cara memechainya dalam satuan yang lebih kecil.
Fenomena kompleks dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur
yang kecil.
Asumsi Keempat adalah determinisme suatu asumsi yang meyakini
hubungan kausal yang bersifat linier demi memandu rangkaian
fenomena alam semesta.
Asumsi Kelima adalah aspek nilai bebas dari ilmu. Disatnsi subjek
dengan objek menyebabkan penilaian subjektif tidak pernah
diperhitungkan. Ilmu berkembang dengan ilmu, apa yang
bermanfaat untuk mendorong ilmu adalah positif dengan sendirinya.
Zaman Modern sungguh memberikan persamaian kondusif bagi
corak positivisme, konteks positivisme. Kontek Ekonomi memberi
energy besar pada positivisme dengan kemunculan paham
kapitalisme. Konteks Politik ketika itu juga tepat seiring dengan
paham secular yang menjauhkan gereja dari kancah politik praktis.

Anda mungkin juga menyukai