1.
Terdapat dua cara pandang utama untuk melihat demokrasi yakni melihat demokrasi
sebagai demokrasi prosedural dan demokrasi substansial. Melihat demokrasi dari sudut
pandang demokrasi prosedural berarti melihat demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, yang
menekankan prosedur pelaksanaan demokrasi itu seperti bagaimana cara memilih pemerintah
dengan menggunakan cara-cara demokratis seperti dengan mufakat atau voting. Sedangkan
demokrasi substansial melihat demokrasi pada substansinya yakni penggunaan prinsipprinsip demokrasi seperti kebebasan individu dan pengakuan atas hak sipil sebagai
pelaksanaan demokrasi. Singkatnya, demokrasi prosedural berfokus pada bagaimana suatu
keputusan itu diambil sedangkan demokrasi substansial berfokus pada apa yang pemerintah
lakukan.1
Demokrasi prosedural memiliki empat prinsip yang menggambarkan pelaksanaan
demokrasi itu yakni partisipasi universal, kesetaraan politik, majoritarian rules, dan
responsivitas wakil atas konstituennya2. Keempat prinsip ini dianggap bisa menjawab
bagaimana seharusnya pemerintah membuat keputusan yang demokratis. Partisipasi universal
artinya dalam demokrasi prosedural semua orang dewasa yang telah memenuhi syarat
sebagai pemilih memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik.
Suara yang dimiliki oleh setiap orang dalam pengambilan keputusan adalah sama misalnya
1 Janda, Kenneth etc. 2014. The Challenge of Democracy: American Government
in Global Politics, Essentials Edition, Ninth Edition.Boston: Wadsworth Cengage
Learning, h.27
2 Ibid, h.27-29
dalam hal voting setiap orang berhak atas satu suara, One man One votes, tidak peduli
bagaimana hierarki dan struktur sosial pemilih. Inilah yang disebut konsep kesetaraan politik.
Dalam demokrasi prosedural, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak yakni 50%+1.
Apabila terdapat banyak pilihan yang menyebabkan tidak ada yang mencapai batas tersebut,
maka yang dinyatakan sebagai pemenang dalam pengambilan keputusan adalah yang
memiliki suara terbanyak. Semuanya harus tunduk dan patuh pada keputusan yang dihasilkan
oleh suara terbanyak.
Demokrasi prosedural memiliki dua pilihan cara dalam pelaksanaannya yakni
langsung dan tidak langsung. Demokrasi langsung melibatkan semua orang yang telah
memenuhi syarat untuk dapat memberikan keputusannya sendiri secara langsung. Namun, hal
ini agaknya sulit diterapkan mengingat jumlah rakyat dalam suatu negara besar. Hal ini
memunculkan lahirnya konsep perwakilan. Perwakilan adalah konsep bahwa seorang atau
suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas
nama suatu kelompok yang lebih besar3. Adanya perwakilan ini merupakan pelaksanaan dari
demokrasi tidak langsung dan merupakan praktek demokrasi prosedural yang banyak
diterapkan di negara-negara yang berideologi demokrasi, termasuk Indonesia. Perwakilan ini
juga yang membuat lahirnnya prinsip keempat demokrasi prosedural yakni responsiveness
ada. Hal ini merujuk pada bagaimana wakil merespon aspirasi konstituennya setelah terpilih
menjadi wakil.
Demokrasi substansial disisi lain tidak berfokus pada prosedur demokrasi melainkan
pada pelaksanaan nilai-nilai demokrasi dalam politik pemerintahan. Cara pandang substansial
ini merupakan respon atas cara pandang prosedural yang tidak memperhatikan adanya
kelompok minoritas. Prinsip dalam demokrasi prosedural yang harus mengikuti apapun
3 Budiardjo, Miriam.2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
utama, h.317
Sistem
Negara
Sistem
Pemilu 4th Republic: Proporsional
berdasarkan
5th Republic:Single ember districtTwo ballot system
Sistem pemilihan Sistem daftar terbuka
umum
Jenis Pemilihan
lections Presidentielles, lection
Legislatives, lections Regionales,
lections Municipales. (Memilih
presiden, legislatif, pemimpin
region, dan walikota)
Waktu
5 tahun sekali memilih presiden
Pelaksanaan
dan legislatif, 6 tahun sekali
memilih pemimpin region dan
walikota.
Sistem
Multipartai
Kepartaian
Amerika
Demokrasi Liberal
Distrik
Multipartai
Tipe demokrasi
Hitungan
tiap individu
Suara
yang 50%+1 / Suara terbanyak
Suara terbanyak 50%+1
dibutuhkan
Yang
Semua warga Perancis berusia 18 Semua warga Amerika Serikat
berpartisipasi
tahun ke atas
yang berusia 18 tahun keatas
dalam pemilu
pelaksanaan demokrasi substansial di Perancis tidak berjalan dengan baik. Masih dapat
dijumpai kasus diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari kehidupan bermasyarakatnya. Hal
ini disebabkan karena sistem sekuler Perancis. Masalah yang sama juga terjadi di Amerika
Serikat.
Demokrasi prosedural yang sudah sedemikian tertata di kedua
dibarengi dengan praktek demokrasi substansial yang menyeluruh. Diskriminasi masih kerap
dijumpai terutama menyangkut masalah agama. Permasalahan adanya standar ganda terhadap
agama islam dapat dilihat dalam peristiwa yang terjadi tidak lama lalu yakni antara peristiwa
penembakan di Charlie Hebdo Perancis dan Chapel Hills Amerika. Dalam Peristiwa Charlie
Hebdo, media menonjolkan aspek islam dari pelaku penembakan. Sedangkan, pada
peristiwa penembakan Chapel Hills, tidak diangkat masalah bahwa pelaku penembakan
terhadap tiga warga islam adalah seorang Barat dan ateis. Media Barat juga meliput berita
yang menegaskan bahwa penembakan terhadap tiga muslim tersebut tidak terkait dengan
untuk
mengorganisasi
keseharian
manusia,
menghubungkan
identitas
didefinisikan dalam lingkup yang terlampau luas sehingga menghilangkan kekhasan dan daya
penjelasnya. Kedua, kebudayaan harus difahami bukan sebagai unit formal yang memiliki
kartu keanggotaan, yang selalu konsisten dan terintegrasi seluruhnya. Ketiga, efek yang
dihasilkan dari kebudayaan pada perilaku kolektif dan kehidupan politik terjadi secara tidak
langsung. Dan untuk memahami peran kebudayaan ini dalam kehidupan politik, penting
untuk dimengerti bagaimana budaya melakukan interaksi, terbentuk, dan dibentuk oleh
kepentingan dan lembaga-lembaga politik13. Poin ketiga ini kembali memberikan benang
merah antara pendekatan kebudayaan dengan pendekatan konstruktivisme yang mengkaji
bagaimana suatu hal dibentuk dan terbentuk.
Mengaitkan pendekatan budaya dengan pendekatan formal berarti melihat adanya
hubungan budaya dengan entitas kelembagaan. Diyakini bahwa untuk memahami fenomena
politik dalam sebuah lembaga, diperlukan pemahaman mengenai budaya yang digunakan
oleh individu dan masyarakat dalam lembaga tersebut. Sementara itu, hubungan pendekatan
budaya dengan pendekatan behavioral memiliki relevansi yang erat. Hal ini tampak dalam
pemaknaan budaya oleh Peter Berger, Chabal, Daloz, dan Schweder yang erat kaitannya
dengan perilaku manusia. Budaya mereka maknai sebagai seperangkat nilai yang membentuk
bagaimana individu atau kelompok bertindak/bertingkah laku seperti yang mereka lakukan
dalam aspek kognitif-afektif dan menunjukkan setiap individu atau kelompok memiliki cara
tertentuyang berbeda satu sama laindalam bertindak atau bertingkah laku14.
Disini akan dibahas contoh relevansi penggunaan pendekatan budaya dengan
pendekatan formal dalam menganalisa fenomena politik dalam studi politik perbandingan.
Disini akan dilihat perbedaan pelaksanaan demokrasi di dua negara yang disebabkan oleh
13 Ibid
14 Ibid, h. 137
perbedaan kebudayaan politik yang tercermin dari perilaku masyarakatnya dalam pemilihan
umum. Negara yang dibandingkan adalah Indonesia dan Amerika.
Ada fenomena politik yang terjadi di Indonesia berkenaan dalam pelaksanaan pemilu,
yakni adanya praktek money politics. Pemilu, yang merupakan kegiatan formal yang
diselenggarakan oleh lembaga pemilihan umum (KPU) sebagai kesempatan bagi rakyat untuk
memilih sendiri eksekutif atau legislatif yang ia kehendaki, memiliki faktor x berupa adanya
perilaku-perilaku individu atau masyarakat yang mempengaruhi proses maupun hasil pemilu
tersebut. Dalam konteks pemilu, money politics merujuk pada suatu kegiatan yang dilakukan
oleh pihak tertentu dengan memberikan uang atau iming-iming kepada konstituen agar
memilih dirinya/orang yang dikehendaki dalam pemilihan umum. Fenomena Money politics
ini terjadi di Indonesia hampir ada di setiap pemilu 15. Hasil dari pemilu yang dipengaruhi
money politics ini tentu akan berbeda dengan pemilu yang tidak menggunakan money
politics. Jika reaksi masyarakat pada kegiatan Money politics itu menerima, maka jabatan
eksekutif atau legislatif akan diduduki oleh mereka yang melakukan tindakan tidak jujur itu.
Ironisnya, budaya Money politics ini terjadi dan seakan-akan sudah mengakar di masyarakat
Indonesia16. Di Amerika, ada peraturan legal yang membatasi budaya money politics dalam
pemilihan umum yakni dengan pembatasan dana kampanye, meski bukan berarti praktek
money politics di Amerika tidak ada17. Namun secara umum, pelaksanaan demokrasi
substansial dalam konteks pemilu di Amerika berjalan dengan baik karena dari segi
15 Topan Yuniarto, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2014/04/28/1458036/Noda.Politik.Uang.di.Pemil
u, Senin, 28 April 2014
16 Ahmad Syafii Maarif, dalam
http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/10/netyus-budayapolitik-indonesia, Selasa 11 November 2014
17Baure, dalam http://www.rumahpemilu.org/in/read/502/Pembatasan-Dana-Kampanyedi-Amerika-Hindari-Politik-Uang Kamis, 4 April 2012
masyarakatnya sendiri mendukung terselenggaranya pemilu yang transparan dan jujur. Hal
ini mungkin dilatarbelakangi faktor pendidikan dan ekonomi masyarakatnya yang relatif
lebih maju.
Contoh tersebut memberikan pemahaman bahwa apa yang terjadi dan yang dihasilkan
lembaga formal tidak dapat dilepaskan dari budaya yang dimiliki masyarakat. Karenanya,
kita bisa meninjau fenomena politik dalam perbandingan politik dengan pendekatan formal
sekaligus kultural dalam suatu benang merah. Dengan demikian, dapat difahami bahwa
pendekatan budaya relevan digunakan dengan pendekatan lainnya untuk menganalisa
fenomena politik yang terjadi di masyarakat.