Anda di halaman 1dari 13

makalah Biogegrafi Fragmentasi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fragmentasi didefinisikan sebagai pemecahan
habitat organisme menjadi fragment- fragment
(patches) habitat yang membuat organisme kesulitan
melakukan pergerakan dari fragment habitat yang satu
ke yang lainnya. Fragmentasi hutan terjadi jika hutan
yang luas dan menyambung terpecah menjadi blokblok lebih kecil karena pembangunan jalan, pertainan,
urbanisasi atau pembangunan lain. Fragmentasi
menyebabkan berkurangnya fungsi hutan sebagai
habitat berbagai spesies tumbuhan dan satwaliar
(Rusak & Dobson, 2007). Konsep fragmentasi habitat
diturunkan dari teori biogeografi pulau (MacArthur &
Wilson, 1967), dimana jumlah spesies meningkat
dengan meningkatnya ukuran pulau (Haila, 2002).
Fragmentasi penting mendapat perhatian,
karena berpengaruh pada kekayaan spesies, dinamika
populasi, dan keanekaragaman hayati ekosistem
secara keseluruhan (Morrison et al., 1992). Semakin
nyatanya bukti bahwa fragmentasi habitat merugikan
bagi banyak spesies dan dapat mempercepat
kepunahan keanekaragaman hayati regional dan
global (Harris, 1984; Saunders et al .,1991) telah
memberikan pembenaran empiris perlunya mengelola
lanskap secara menyeluruh, tidak hanya mengelola
komponen- komponennya secara parsial. Ada dua
komponen struktur lanskap, yaitu komposisi dan
konfigurasi (Turner, 1989; Dunning et al ., 1992).
Berkembangnya ilmu ekologi lanskap, yaitu
ilmu yang mempelajari bagaimana struktur lanskap
mempengaruhi kelimpahan dan penyebaran
organisme, telah memberikan dasar konsepsi dan
teori yang kuat untuk memahami struktur, fungsi,
dan perubahan lanskap (Forman & Godron, 1986;
Turner, 1989; Urban et al., 1987). Seiring dengan itu,
perkembangan teknologi GIS (Geographical
Information Systems) menyediakan berbagai metode
analisis untuk pengelolaan lanskap. Meningkatnya
perhatian pada kepunahan keanekaragaman hayati
telah mendorong para pengelola lahan untuk mencari
cara terbaik untuk mengelola lanskap pada berbagai

skala spasial dan temporal.


Para ahli ekologi satwaliar menjadi semakin
menyadari bahwa variasi habitat dan pengaruhnya
pada proses-proses ekologi dan populasi satwa
vertebrata terjadi pada banyak skala spasial (Wiens,
1989). Hal ini telah meningkatkan perhatian pada
pentingnya pola-pola habitat bagi populasi satwaliar
dan penelitian ekologi lanskap untuk mempelajari
penyebaran dan dinamika populasi dalam skala
spasial yang lebih luas. Skala lanskap tergantung pada
skala pergerakan dan asosiasi habitat dari organisme
yang sedang diteliti. Kerusakan hutan di seluruh
dunia merupakan faktor utama perubahan struktur
lanskap. Kedua komponen lanskap dipengaruhi oleh
penggundulan hutan. Komposisi lanskap berubah
seiring hutan ditebang dan digantikan oleh tanaman
pertanian atau untuk penggunaan lain. Konfigurasi
berubah seiring dengan hutan yang tersisa
terfragmentasi menjadi beberapa fragment (patches)
hutan yang lebih kecil.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan fragmentasi
2. Sebutkan Komposisi komunitas dan
keanekaragaman pada fragmentasi ?
3. Apa yang di maksud dengan Skala dan pola
fragmentasi ?
4. Apa yang di maksud dengan Fragmentasi
Habitat Dan Biologi Konservasi ?
5. Apa yang menyebabkan Fragmentasi Habitat ?
6. Apa Dampak Dari Aktifitas Manusia terhadap
fragmentasi habitat ?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengerian fragmentasi.
2. Dapat menyebutkan komposisi komunitas dan
keanekaragaman pada fragmentasi.
3. Dapat mengetahui skala dan pola fragmentasi.
4. Dapat mengetahui fragmentasi habitat dan
biologi konservasi.
5. Dapat mengetahui penyebab fragmentasi
habitat.
6. Dapat mengetahui dampak dari aktifitas
manusia terhadap fragmentasi habitat.
BAB II
PEMBAHASAN

1.1. Pengertian Fragmentasi


Fragmentasi adalah proses pemecahan suatu
habitat, ekosistem atau tipe land use menjadi bidangbidang lahan yang lebih kecil. Fragmentasi juga
merupakan sebuah hasil dimana proses fragmentasi
mengubah atribut-atribut habitat dan karakteristik
suatu lanskap yang ada. Fragmentasi habitat
mengubah konfigurasi spasial suatu kantong habitat
(habitat patches) besar dan menciptakan isolasi atau
perenggangan hubungan antara kantong- kantong
(patches) habitat asli, karena terselingi oleh mosaik
yang luas atau tipe habitat lain yang tidak sesuai bagi
spesies yang ada (Wiens, 1989a). Proses fragmentasi
telah terjadi pada
hutan alam lahan kering (dataran rendah dan
pegunungan ).
Fragmentasi Habitat adalah sebuah proses
perubahan lingkungan yang berperan penting dalam
evolusi dan biologi konservasi. Sebagaimana yang
tersirat pada namanya, ia mendeskripsikan
kemunculan fragmentasi lingkungan pada habitat
suatu organisme. Fragmentasi habitat dapat
disebabkan oleh proses-proses geologis yang secara
perlahan mengubah tata letak lingkungan maupun
oleh aktivitas manusia yang dapat mengubah
lingkungan secara cepat. Proses fragmentasi habitat
secara alami diduga merupakan salah satu sebab
utama spesiasi , sedangkan proses fragmentasi habitat
oleh manusia menyebabkan kepunahan banyak
spesies.
Fragmentasi juga merupakan proses yang sangat
menekan keanekaragaman hayati. Proses ini
mengurangi tutupan hutan. Fragmentasi memiliki
pengaruh yang negatif terhadap banyak jenis
tumbuhan dan hewan, serta terhadap proses ekologis.
Semakin kecil blok terfragmentasi akan semakin
berkurang kepadatan populasi dan akan meningkatkan
resiko kepunahan. Setelah kepunahan,peluang
terjadinya rekolonisasi tergantung pada jarak blok
tersebut dengan blok inti serta tergantung pada
kualitas habitat disekelilingnya. Jenis yang sensitif
terhadap efek tepi (jenis interior) dapat berkurang
kelimpahannya. Fragmentasi mengakibatkan hal yang
berbeda pada jenis yang berbeda, pada jenis yang

sama pun ada kemungkinan berbeda tergantung pada


musim. Pada bagian tepi, tingkah laku jenis pun
berbeda. Pada beberapa jenis, bagian tepi merupakan
habitat yang sangat sesuai, sedangkan jenis lain
menghindari bagian ini. Predasi terhadap sarang
sangat tinggi pada bagian tepi ini.
1.2. Komposisi Komunitas Dan Keanekaragaman
Pada Fragmentasi
Hutan yang kecil memiliki jenis yang lebih
sedikit dan umumnya jenis generalis. Jumlah jenis
spesialis akan meningkat seiring dengan semakin
luasnya hutan. Lebih dari 66-72% jenis sangat
terpengaruh oleh variabel habitat. Sebagai contoh,
burung akan berkembang biak pada interior hutan
dan menjalani musim dingin pada daerah tropis
merupakan pengaruh dari fragmentasi habitatnya.
Efek area tergantung dari habitat tetangganya.
Pada kenyataannya, jika terdapat habitat yang seusai
di sekelilingnya lokasi ini bisa digunakan oleh
beberapa jenis, namun jika fragmen ini terpisah oleh
lahan pertanian akan berdampak negatif terhadap
kehadiran jenis. Isolasi setelah penebangan atau lahan
pertanian menggunakan peranan penting yang
dimainkan oleh vegetasi di sekelilingnya. Daerah yang
dikelilingi oleh Vismia, vegetasi dominan pada hutan
setelah terbakar dan peternakan sapi, merupakan
lebih terisolasi bagi burung jika dibandingkan dengan
plot yang dikelilingi oleh Cecropia, vegetasi yang
terdapat pada hutan setelah penebangan tetapi tidak
dibakar. Hutan hujan tropis menutupi kurang dari 7%
planet ini namun mendukung setengah sampai dua
pertiga tanaman dan hewan. Jarak efek, ukuran
fragmen, efek tepi dan perubahan biotik merupakan
isu yang penting dalam lansekap hutan hujan tropis;
80m letak hutan sudah cukup menjadi penghalang
bagi mamalia, serangga dan burung understorey yang
hidup pada sebuah fragmentasi.
Jenis, guild dan fragmentasi
Beberapa jenis organisme merupakan sensitif
terhadap ukuran habitat. Pada burung oven dan
Kentucky warblers terjadinya penurunan jumlah
populasi yang diakibatkan oleh fragmentasi. Efek
fragmentasi hutan tropis juga telah dikaji pada
komunitas kumbang kotoran dan kumbang bangkai.

Fragmen memiliki jenis yang lebih sedikit, lebih


jarang dan lebih tersebar. Hal ini dibuktikan dengan
perbandingan antara 1 Ha hutan dengan hutan yang
tidak terganggu. Pergerakan kumbang terhenti oleh
pembersihan lahan, dan hanya setelah pertumbuhan
sekunder baru beberapa kumbang dapat bergerak di
dalam fragmen, walaupun hanya beberapa meter.
Kemungkinan iklim mikro dan pengeringan pinggiran
habitat, menciptakan kondisi penghalang bagi
kumbang understorey hutan.
Peranan kumbang kotoran dan kumbang
bangkai sebagai penghancur larva nematoda dan
parasit gastroinestinal lainnya, merupakan hal yang
sangat penting bagi kontrol penyakit. Dengan
meningkatnya fragmentasi hutan tropis akan
berkonsekuensi terhadap meningkatnya penyakit
hewan vertebrata. Efek fragmentasi berbeda jika dikaji
pada skala satu jenis atau kelompok organisme.
Sebagai contoh pada hutan Eucalyptus di Australia,
kalajengking Cercophonius squama dan amphipoda
suku Tallitridae memberikan respon yang berbeda
terhadap fragmentasi. Kalajengking tidak mengalami
perubahan yang berarti namun pada amphipoda
mengalami penurunan populasi setelah fragmentasi.
Hal ini dimungkinkan kalajengking menggunakan
tingkah laku fossorial selama musim kering. Hal ini
tidak terjadi pada amphipoda yang sangat sensitif
terhadap iklim mikro.
1.3. Skala Dan Pola Fragmentasi
Fragmentasi adalah proses yang ketergantungan
skala. Vegetasi yang terfragmentasi dapat memiliki
susunan spasial yang berbeda, mengakibatkan efek
yang berbeda pada proses ekologis. Untuk
menggambarkan pemencaran dari fragmen pada
sebuah area, akan sangat penting jika
mempertimbangkan atribut-atributnnya seperti
kepadatan, isolasi, ukuran, bentuk, agregat dan
karakteristik perbatasannya. Efek fragmentasi pada
organisme tergantung pada skala persepsi spesifik
masing-masing jenis apakah jenis itu termasuk
generalis atau spesialis. Jenis yang generalis kurang
terpengaruh oleh fragmentasi dibandingkan jenis
spesialis.
Menurut Franklin (2002) dan Fahrig (2003),

fragmentasi bekerja dalam empat cara, yaitu: (1)


habitat hilang tanpa fragmentasi, (2) pengaruh
kombinasi hilangnya habitat dan pemecahan habitat
menjadi patches lebih kecil, (3) pemecahan habitat
menjadi patches lebih kecil tanpa kehilangan habitat,
dan
(4) hilangnya habitat dan pemecahan habitat
menjadi patches lebih kecil serta penurunan kualitas
habitat.
Fragmentasi akan meningkatkan kerawanan
terhadap gangguan eksternal, misalnya gangguan
badai dan kekeringan. Skala fragmentasi memiliki
dampak langsung terhadap organisme. Fragmen yang
besar akan memelihara jenis dengan lebih baik,
sedangkan fragmen yang kecil hanya untuk sedikit
jenis dan biasanya jenis yang generalis. Jadi, jenis
yang spesialis akan tersingkir dari fragmen yang kecil.
Itulah alasannya kenapa fragmentasi akan berdampak
yang sangat besar pada daerah topis yang memiliki
lebih banyak jenis spesialis dibandingkan dengan
daerah temperata.
Fragmentasi dapat diamati pada berbagai skala,
dan celah karena tumbangnya pohon merupakan
faktor penting dalam meningkatkan heterogenitas dan
fragmentasi. Celah pohon tumbang dapat dianggap
sebagai habitat yang berbeda pada suatu hutan,
berbeda pada struktur vegetasi (misalnya kepadatan
daun, ukuran pohon dan distribusi), komposisi jenis
tumbuhan, kelimpahan sumber dan kondisi iklim
mikro. Burung merupakan yang paling sensitif
terhadap sedikit perubahan yang terjadi, khususnya
dalam memilih lokasi makan. Pada kenyataannya
celah pohon tumbang memiliki sumber yang
melimpah tergantung pada ukuran dan umur celah
dan jalur di sekeliling hutan. Pada musim semi,
burung migran banyak tertarik pada celah ini karena
sumber makanan lebih melimpah.
1.4. Fragmentasi Habitat Dan Biologi Konservasi
Fragmentasi habitat merupakan bagian dari
biologi konservasi. Secara pengertian biologi
konservasi berarti Ilmu yang bertujuan untuk
mengatasi krisis biodiversitas (Keanekaragaman
Hayati), yaitu penurunan keragaman kehidupan di
bumi yang saat ini berjalan sangat cepat. Sedangkan
Fragmentasi habitat ialah proses perubahan

lingkungan yang berperan penting dalam ekologi dan


konservasi pada tempat tinggal makhluk hidup dan
berkembang biak. Maka dapat disimpulkan jika
Fragmentasi ialah proses dari perubahan lingkungan
dan biologi konservasi adalah bagian dari cara
mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh fragmentasi
itu sendiri. Berikut contoh kasus dari fragmentasi
habitat: Sebagian kawasan hutan di negara
berkembang terutama di daerah tropis mengalami
perubahan fungsi sehingga menjadi areal perternakan,
pertanian, dan daerah pengembangan kota sejak
beberapa dekade yang lalu. Akibatnya, hutan yang
awalnya utuh kemudian menjadi kelompok-kelompok
kecil kawasan hutan.
Proses terbentuknya kelompok kecil kawasan
hutan tersebut dapat dikategorikan sebagai
fragmentasi habitat. Sedangkan Salah satu contoh,
pendekatan biologi konservasi yang sudah berhasil di
lakukan adalah studi kasus penyu laut di Brasil.
Berawal dari kegelisahan penurunan populasi penyu
laut mencapai 1% dari jumlah semula. Penurunan ini
disebabkan oleh berbagai faktor, rusaknya habitat
karena pengembangan pantai, penangkapan telur
penyu untuk makanan, tersangkut alat penangkap
ikan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Brasil
merancang program konservasi penyu laut.
Program konservasi ini merupakan kajian lintas
disiplin ilmu. Artinya dalam pelaksanaan program ini,
menggunakan berbagai pendekatan bidang.
Konservasi penyu laut ini, di awali dengan harus
mengetahui habitat. Untuk mengetahui habitat penyu
ini, tidaklah mudah karena harus menyusur
sepanjang garis pantai Brasil. Tahun 1980 pemerintah
menetapkan program konservasi penyu laut, dengan
menamakannya TAMAR. Untuk mempelancar
jalannya program ini, banyak melibatkan berbagai
kalangan, akademisi dan penduduk lokal.
Data awal berupa habitat penyu laut di
sepanjang garis pantai Brasil, sangatlah berkontribusi
bagi program konsevasi penyu ini. Hal ini dapat
diketahui dari pada tahun 1986 penyu laut ditetapkan
sebagai hewan yang dilindungi, serta mendorong
pembentukan dua cagar biologi dan taman nasional
laut guna untuk melindungi telur-telur penyu.

Keuntungan proyek TAMAR, tidak hanya dinikmati


oleh penyu laut saja tapi juga penduduk lokal karena
sebagian besar pegawai dari proyek ini adalah
penduduk lokal setempat. Pegawai proyek ini
mendapat gaji dari pemerintah dan industri
pariswisata, sehingga kemudian mereka menjadi
pembela utam bagi penyu laut.
Dari contoh di atas menggambarkan betapa
pentingya biologi konservasi. Karena biologi
konservasi merupakan ilmu terapan yang berasal dari
multidisiplin ilmu mengenai pengelolaan sumber
daya alam. Ilmu kehutanan, pertanian, perikanan, dan
pengelolaan satwa liar, masuk dalam biologi
konservasi. Bahkan ilmu-ilmu sosial ikut andil dalam
biologi konservasi, misalnya; antropologi,sosiologi
dan geografi. Dalam penerapanya biologi konservasi
memilki tugas merespon, mengelola, keanekargaman
hayati di bumi dan bahkan mengembalikan yang telah
hilang. Tolok ukur dari suksesnya biologi konservasi
adalah ketika yakin dapat menyatakan suatu spesies
dan komunitas biologi telah terlindungi dan dapat
pulih kembali sesuai lintas disiplin ilmu biologi
konservasi.
1.5. Penyebab Fragmentasi Habitat
Fragmentasi Habitat adalah sebuah proses
perubahan lingkungan yang berperan penting dalam
evolusi dan biologi konservasi. Sebagaimana yang
tersirat pada namanya, ia mendeskripsikan
kemunculan fragmentasi lingkungan pada habitat
suatu organisme. Fragmentasi habitat dapat
disebabkan oleh proses-proses geologis yang secara
perlahan mengubah tata letak lingkungan maupun
oleh aktivitas manusia yang dapat mengubah
lingkungan secara cepat. Proses fragmentasi habitat
secara alami diduga merupakan salah satu sebab
utama spesiasi, sedangkan proses fragmentasi habitat
oleh manusia menyebabkan kepunahan banyak
spesies.
Fragmentasi habitat dapat disebabkan oleh
proses-proses geologis yang secara perlahan
mengubah tata letak lingkungan maupun oleh
aktivitas manusia yang dapat mengubah lingkungan
secara cepat. Proses-proses geologi yang dimaksud
adalah seperti tanah longsor, gempa bumi, banjir dan

letusan gunung berapi dll, yang dapat membahayakan


lingkungan sekitarnya. Sedangkan aktivitas manusia
telah terjadi sejak tahun 1950-an, masalah lingkungan
telah mendapat perhatian masyarakat pada saat itu,
yang dipicu oleh terjadinya pencemaran limbah
industri dan pertambangan serta pestisida oleh air
raksa (Hg) dan cadmium (Cd) dari limbah industri di
Jepang. Pencemaran tersebut telah menyebabkan
penyakit minamata akibat mengkonsumsi ikan yang
ditangkap diteluk Minamata yang tercemar Hg, dan
penyakit ital-ital akibat mengkonsumsi beras dari
lahan sawah di Jepang yang tercemar.
Perubahan habitat tidak dapat dihindari,
karena tidak ada habitat atau lanskap yang tetap,
apalagi di negara berkembang seperti Indonesia yang
sedang mengalami pertumbuhan penduduk yang
tinggi dan kebutuhan lahan untuk menyediakan
pemukiman, pertanian, pembangunan sarana jalan
dan infrastruktur lainnya. Proses yang secara spasial
dan temporal mengubah habitat dan lanskap yang
diakibatkan oleh sebab-sebab antropogenic. Menurut
Forman (1995), lanskap berubah melalui lima proses
spasial dengan berbagai derajat overlap sepanjang
periode perubahan lahan, yaitu:
1. Perforasi (perforation) merupakan proses
membuat lubang di dalam habitat.
2. Pemotongan (dissection) adalah pemotongan atau
pembagian area menjadi habitat berbeda dengan
lebar yang relatif sama.
3. Fragmentasi (fragmentation) adalah pemecahan
habitat menjadi potongan-potongan yang lebih
kecil.
4. Penyusutan (shrinkage) terjadi seiring potongan
habitat berlanjut dengan penurunan luas.
5. Erosi habitat (attrition) adalah proses dimana
fragment habitat yang tersisa berangsur hilang,
karena degradasi habitat atau suksesi.
Gambar 1.1. Perubahan Lahan di dataran jawa
tengah
Fragmentasi dimulai dengan dissection ketika
jalan, jaringan transmisi, sungai dan fitur linear
lainnya menjadi penghalang pergerakan satwaliar.
Kemudian diikuti perforation ketika muncul kantong
habitat ( patches ) kecil yang dibuat oleh manusia atau

sebab alami dan efek tepi menjadi nyata. Fragmentasi


merupakan tahap ketiga yang terjadi ketika kantong
habitat yang lebih kecil meningkat frekuensinya dan
berkurang luasnya sampai pada tingkat dimana
habitat yang terfragmentasi mulai mendominasi
lanskap. Attrition merupakan tahap akhir dimana
lahan alami atau habitat asli tersisa sebagai kantong
yang kecil dan terisolasi di tengah-tengah lanskap
yang sekarang didominasi oleh suatu mosaik habitat
yang telah berubah dan terfragmentasi. Proses
fragmentasi membuat habitat menjadi tidak sesuai
bagi satwaliar atau memiliki kesesuaian rendah
bersamaan dengan berkurangnya kualitas habitat
satwaliar (Hunter, 1997).
Tahun 1969 masyarakat Amerika telah bereaksi
menentang terhadap kerusakan lingkungan yang
disebabkan aktivitas manusia. Reaksi ini mencapai
keadaan ekstrim sampai menimbulkan sikap yang
menentang pembangunan dan penggunaan teknologi
tinggi. Para aktivis lingkungan menjadi lawan bagi
perencana pembangunan pada masa itu. Akhirnya di
Amerika muncul AMDAL sebagai syarat mutlak izin
mendirikan pembangunan dengan penggunaan
teknologi canggih, yang oleh sebagian orang dianggap
sebagai penentang atau penghambat pembangunan.
Ironisnya karena persyaratan AMDAL cukup berat
akhirnya negara maju berupaya memindahkan
penanaman modalnya dalam Industri teknologi tinggi
ke negara yang sedang berkembang. Negara
berkembang memang membutuhkan pembangtunan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan
belum banyak menyadari kerusakan lingkungan
sebagai dampak dari pembangunan tersebut (terutama
kerusakan lingkungan Amosfir dan Tanah serta Air).
Fragmentasi habitat sering kali disebabkan oleh
aktivitas manusia, seperti agrikultur dan urbanisasi.
Habitat yang sebelumnya terhubung menjadi terbagi
menjadi dua fragmen. Setelah pembersihan habitat
yang intensif, kedua fragmen yang terpisah tersebut
akan terisolasi satu dengan lainnya.
1.6. Dampak Dari Aktifitas Manusia Terhadap
Fragmentasi Habitat
Ketika hilangnya habitat dan fragmentasi
dipandang secara terpisah, hilangnya habitat memiliki

konsekuensi lebih signifikan bagi kelangsungan hidup


(viability) spesies (Haila, 2002; Fahrig, 2003). Namun,
karena fragmentasi dan hilangnya habitat terjadi
bersamaan, maka sangat sulit untuk menentukan
mana yang lebih penting bagi perubahan habitat
(Haila, 1999). Namun hal tersebut tidak relevan bagi
pengelola satwaliar, karena tidak dapat dihindarkan
kita berurusan dengan keduanya ketika melakukan
upaya konservasi satwaliar di habitat yang
terfragmentasi. Pada skala fragment (patch) hutan
individual, hilangnya vegetasi hutan dan fragmentasi
dapat memiliki pengaruh luas pada survival populasi,
interaksi ekologi, dan keanekaragaman hayati (Fahrig
& Grez, 1996). Seiring fragment hutan mengecil,
populasi cenderung lebih rentan untuk punah, karena
resiko-resiko demografik, lingkungan atau genetik
(Gilpin, 1987; Goodman, 1987). Ketika fragmentfragment hutan menjadi terisolasi tanpa adanya
ketersambungan di antara mereka, migrasi organisme
bisa terhalangi (Kareiva, 1987). Fragment hutan yang
kecil juga memiliki ratio edge : interior yang lebih
tinggi. Untuk spesies hutan interior , hal ini juga
berarti kehilangan habitat lebih luas daripada luas
fragment sebenarnya yang hilang (Wilcove et al., 1986;
Williams-Linera, 1990). Besarnya pengaruh tergantung
pada pola kehilangan hutan pada skala lanskap yang
akan menentukan jumlah fragment yang tersisa,
ukurannya, bentuknya, jarak antara fragment, dan
kondisi matrix habitat di sekitarnya (Groom &
Schumaker, 1993).
Menurut Wilcove (1987) dalam Morrison et al .
(1992), ada empat cara fragmentasi dapat
menyebabkan kepunahan lokal: (1) spesies mulai
keluar dari kantong habitat yang terlindungi, (2)
kantong habitat gagal menyediakan habitat,
karena pengurangan luas atau hilangnya
heterogenitas internal, (3) fragmentasi menciptakan
populasi yang lebih kecil dan terisolasi yang memiliki
resiko lebih besar terhadap bencana, variabilitas
demografik, kemunduran genetik atau disfungsi
sosial, dan (4) fragmentasi dapat mengganggu
hubungan ekologis yang
penting, sehingga dapat menimbulkan sebab sekunder
kepunahan dari hlangnya

spesies kunci dan pengaruh merugikan dari


lingkungan luar dan efek tepi.
Fragmentasi habitat dapat dipandang dari segi
positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah
meningkatkan keragaman habitat, menciptakan
penjajaran habitat yang bermanfaat, dan
meningkatkan edge yang disukai spesies satwa liar
generalis. Fragmentasi memberikan pengaruh negatif
ketika: (1) ada habitat yang hilang; (2) terbentuk
kantong habitat lebih kecil yang mendorong pada
kepunahan lokal dan isolasi; (3) habitat-habitat tidak
lagi bersambungan, khususnya jika fragmentasi
disebabkan oleh aktivitas non kehutanan; dan (4)
jumlah edge meningkat, karena fragmentasi habitat
merugikan spesies interior (Barnes, 2000).
Salah satu contoh fragmentasi habitat adalah
menurunnya populasi harimau sumatera. Populasi
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis) di
habitat alaminya secara menyeluruh belum diketahui
secara tepat, namun dapat dipastikan bahwa
populasinya saat ini sudah dalam kondisi sangat
kritis. Tahun 1994 diperkirakan populasi harimau
sumatera yang hidup liar hanya 500-600 ekor saja dan
itupun hidup tersebar dalam populasi-populasi kecil
di Dalam Kawasan Konservasi dan di Luar Kawasan
Konservasi. Sementara itu Direktorat Jederal PHKA
memeperkirakan setiap tahunnya 30 ekor harimau
sumatera mati akibat perburuan. Kondisi seperti ini
apabila tidak ditangani secara serius dan intensif
dapat dipastikan bahwa populasi harimau sumatera di
alam akan menurun secara cepat dan dalam waktu
yang tidak lama akan punah seperti yang telah terjadi
pada harimau Bali, Kaspia dan harimau Jawa yang
sudah dianggap punah.
Menurut catatan yang ada pada tahun 1800
1900 jumlah Harimau Sumatera masih sangat banyak,
mencapai ribuan ekor. Pada tahun 1978, dari suatu
survei diperkirakan jumlah Harimau Sumatera adalah
sekitar 1000 ekor. Setelah itu Sumatera mengalami
perkembangan yang sangat pesat antara lain di bidang
pertanian, perkebunan dan kehutanan serta
pembangunan pemukiman dan industri. Akibatnya
habitat Harimau Sumatera semakin menurun yang
otomatis berakibat pula pada populasinya.

Diperkirakan saat ini populasi harimau di Sumatera


sekitar 500 ekor, yang tersebar di kawasan konservasi
utama 400 ekor dan di luar kawasan konservasi 100
ekor hidup.
Dari data yang ada terlihat adanya pengurangan
jumlah Harimau Sumatera sebanyak kurang lebih 33
ekor per tahun. Dengan kondisi seperti ini maka
apabila tidak dilakukan pengelolaan yang intensif
harimau sumatera diperkirakan akan mengalami
kepunahan dalam waktu sepuluh tahun mendatang.
Hasil survey dan monitoring populasi
menggunakan kamera inframerah yang dilakukan
dibebarapa habitat penting harimau diperoleh data
populasi sebagai berikut :
Di Taman Nasional Way Kambas: 43-46 ekor,
telah terpotret 44 individu,
Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh: 23-26 ekor,
telah terpotret 7 individu

Anda mungkin juga menyukai