Laporan Kajian Kebijakan Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular
Laporan Kajian Kebijakan Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular
Kajian Kebijakan
Penanggulangan (Wabah)
Penyakit Menular
(Studi Kasus DBD)
LAPORAN AKHIR
KAJIAN
KEBIJAKAN PENANGGULANGAN
(WABAH) PENYAKIT MENULAR
Studi Kasus DBD
LAPORAN AKHIR
Ringkasan Eksekutif
Kajian ini dilatarbelakangi adanya kecenderungan terus meningkatnya wabah penyakit
menular di berbagai daerah di Indonesia. Selain penyakit menular yang telah lama ada,
penyakit menular baru (new emerging diseases) juga menunjukkan peningkatan.
Kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular telah diatur dalam peraturan
perundangan. Namun demikian implementasi di lapangan masih menghadapi
berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi antara lain
berkaitan dengan (1) pelaksanaan surveilans, (2) upaya penanggulangan, serta (3)
adanya desentralisasi kewenangan pengelolaan. Berdasarkan hasil penelitian WHO
Tahun 2003 dilaporkan bahwa pelaksanaan kegiatan surveilans masih menghadapi
kendala antara lain berkaitan dengan (1) kebijakan sistem surveilans yang belum
dipahami sampai ke petugas teknis di lapangan, (2) terbatasnya tenaga pelaksana
surveilans, (3) adanya ketidaksesuaian kompetensi, (4) terbatasnya dana pelaksanaan
surveilans di tingkat operasional, dan (5) belum optimalnya penggunaan sarana
kesehatan dalam mendukung pelaksanaan surveilans penyakit seperti pemanfaatan
laboratorium dan peralatan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan utama kajian adalah menyusun rumusan
kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular secara terpadu berdasarkan
analisis faktor-faktor yang berpengaruh melalui (1) identifikasi kinerja surveilans, (2)
identifikasi kinerja penanggulangan wabah penyakit , serta (3) identifikasi peran dan
tanggungjawab Pemerintah Daerah. Metode kajian dilakukan melalui analisis
diskriptif (kualitatif) berdasarkan data dan informasi yang didapat di lapangan, baik
berbentuk data sekunder maupun hasil wawancana mendalam serta melakukan
pembahasan dengan nara sumber dalam bentuk focus group discussion (FGD) dan
workshop.
Landasan pemikiran kajian didasarkan pada asumsi adanya hubungan timbal balik
antara rendahnya kinerja surveilans dan kinerja penanggulangan dengan
implementasi kebijakan wabah penyakit menular khususnya dalam kasus kebijakan
penanganan penyakit DBD. Kinerja surveilans diukur dengan melihat (1) keberadaan
peta rawan, (2) pelaksanaan diseminasi informasi DBD, dan (3) Pelaporan serta
dengan melihat faktor-faktor berpengaruh mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana,
(4) dana, dan (5) SOP. Kinerja Penanggulangan diukur dengan melihat (1) Frekuensi
KLB, (2) Jumlah Kasus, (3) Jumlah Kematian, (4) Luas Daerah Terserang serta dengan
melihat faktor-faktor berpengaruh mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana, (4) dana,
dan (5) SOP. Implementasi kebijakan wabah penyakit menular juga dipengaruhi
kebijakan desentralisasi kewenangan pengelolaan pembangunan.
Kajian menyimpulkan bahwa kendala utama yang dihadapi dalam implementasi
kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular dalam kasus DBD adalah (1)
koordinasi antar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam penanganan
DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan surveilans dan
penanggulangan DBD, (2) koordinasi antara pusat dan daerah belum dilandasi suatu
kebijakan operasional yang jelas tentang kewenangan dan tanggung jawab masingmasing, (3) sistem pengelolaan program penanganan penyakit menular masih
didominasi pusat, (4) tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di
lapangan dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular.
Indikator Kinerja Surveilans dan Penanggulangan mencakup (1) Peta rawan, hampir
semua dinkes propinsi maupun dinkes kab/kota memiliki peta rawan, sedangkan di
Puskesmas sebagai unit pelayanan dasar dan rumah sakit sebagai unit pelayanan
rujukan, peta rawan tidak selalu tersedia, (2) proses diseminasi informasi dilakukan
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular
ii
LAPORAN AKHIR
melalui penerbitan buletin kajian epidemiologi yang diterbitkan oleh dinkes propinsi
dan dinkes kabupaten/kota, (3) sistem pelaporan ditunjukkan dengan kelengkapan
laporan mencapai 90-100%, namun ketepatannya masih 60%, (4) Jumlah Kasus
periode 2003-2005 cenderung stagnan untuk propinsi lokasi kajian (kecuali Jatim
meningkat), sedangkan data kematian cenderung meningkat. Case Fatality Rate (CFR)
DBD fluktuatif.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja surveilans dan penanggulangan
terkait dengan (1) tenaga, (2) pengetahuan, (3) dana, (4) SOP, (5) sarana, dan (6) data.
Tenaga. Hampir semua level baik di propinsi hingga kabupaten/kota termasuk
puskesmas dan rumah sakit mengalami masalah ketenagaan dalam kegiatan surveilans
dan penanggulangan. Kurangnya jumlah SDM, kualifikasi pendidikan yang belum
sesuai, perpindahan yang begitu cepat, beban kerja yang tinggi merupakan masalah
yang hampir ditemukan disemua tingkatan. Kualitas dan kualifikasi masih belum
terpenuhi sesuai dengan bidang tugas dan kompetensinya. Pendidikan rata-rata
perawat, Sarjana (SKM) dan MKes. Tidak ada batas yang tegas yang membedakan
antara Surveilans dan Penanggulangan dalam praktek operasional di lapangan.
Struktur organisasi Dinkes propinsi maupun Kab/Kota tidak menggambarkan
pembedaan kedua tugas tersebut. Operasi lapangan untuk suatu kasus (DBD) serentak
dilakukan. Bidang pendidikan yang ada adalah perawat, dan epidemiologi.
Pengetahuan. Pemahaman tentang surveilans dan penanggulangan KLB masih
belum sama. Upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi maupun
kabupaten/kota dalam rangka peningkatan kemampuan adalah pembinaan teknis,
mengadakan pertemuan/ lokakarya, rakor dan melakukan berbagai pelatihan di
bidang surveilans maupun penangulangan penyakit. Selain pelatihan formal,
pengetahuan tim pada umumnya dipenuhi dari pengalaman lapangan dalam
penanganan P2M. Dana. Dana menjadi persoalan dalam implementasi kebijakan
penanggulangan penyakit menular. Pada tingkat propinsi, dana untuk pelaksanaan
penanggulangan wabah penyakit menular dirasakan pihak daerah mencukupi, khusus
untuk KLB tersedia block grant dari pusat. Untuk tingkat kabupaten/kota, hampir
semuanya menggunakan dana APBD. Baik APBD propinsi maupun APBD
kabupaten/kota atau APBD sharing. Puskesmas tidak memiliki alokasi dana khusus
untuk kegiatan surveilans. Dana operasional selain bersumber dari dana operasional
umum juga memanfaatkan dana JPK-MM. Di rumah sakit tidak terdapat dana
surveilans, yang ada hanya pencatatan pelaporan yang dilakukan di bagian rekam
medis. Dana yang digunakan untuk penanggulangan KLB berasal dari APBN (Dekon)
dan APBD. Permasalahan dana terutama berkaitan dengan (1) keterlamabatan
turunnya DIPA, (2) ada masa ketiadaan anggaran, khususnya ketika kasus terjadi, dan
(3) proporsi anggaran untuk preventif dan kuratif yang tidak seimbang. SOP. Hampir
semua unit pelayanan kesehatan di daerah memiliki pedoman dan peraturan dalam
rangka pelaksanaan surveilans dan penanggulangan DBD. Namun demikian
kebanyakan SOP tersebut belum operasional. Beberapa dinkes kabupaten/kota
inisiatif melakukan modifikasi terhadap SOP yang dibuat Depkes. Sarana. Walaupun
kondisi sarana dan prasarana untuk kegiatan penanggulangan penyakit menular tidak
selalu memadai, tetapi tidak menjadi kendala dalam berjalannya sistem. Sarana utama
yang dibutuhkan dalam penanganan kasus DBD adalah adanya mesin fogging serta
insektisida. Pengadaan insektisida dan mesin fogging di supply oleh Dinkes Propinsi
karena kab/kota belum siap. Data. Ketepatan dan kelengkapan laporan dari
kabupaten masih rendah, Data yang ada belum dilakukan analisis, baik di tingkat
propinsi maupun kabupaten (baru bersifat pengumpulan data). Sehingga untuk SKDKLB data yang seharusnya dapat dilihat/diprediksi diawal untuk kewaspadaan
terjadinya KLB, belum dilakukan. Validitas data yang dilaporkan tidak pernah
dipermasalahkan. Propinsi belum mempunyai sistem peringatan ke kabupaten bila
terjadi keterlambatan atau ketidak lengkapan data.
iii
LAPORAN AKHIR
Kondisi umum Pelaksanaan Surveilans dan Penanggulangan DBD: (1) Ujung tombak
pelaksanaan surveilans ada di Puskesmas, namun belum maksimal melaksanakan
surveilans karena keterbatasan tenaga, sarana dan dana, (2) Aktivitas surveilans
dilakukan oleh Tim Lapangan, sebagai suatu kegiatan rutin, namun belum maksimal,
karena tidak seimbang antar area yang harus dipantau dengan kemampuan
sumberdaya yang tersedia, (3) Surveilans mulai diperlukan ketika ada kasus. Namun
pada saat kasus, yang paling menonjol adalah penanggulangan (PE). PE tidak
dilakukan maksimal sesuai prosedur yang ada. Banyak kendala, antara lain
keterbatasan tenaga, keterbatasan dana, ketiadaan sarana. Penyelidikan Epidemiologi
(PE) yang dilakukan Puskesmas belum maksimal, tidak setiap kasus DBD
ditindaklnajuti dengan PE karena DBD dianggap kasus rutin, akibatnya kegiatan
tindak lanjut yang seharusnya dilakukan tidak berjalan. Pengobatan dan isolasi
penderita dirujuk ke rumah sakit. Penanggulangan DBD di Rumah sakit relatif tidak
masalah, kecuali kalau ada kasus KLB yang menyebabkan sarana TT tidak mencukupi.
Pengobatan dapat dilakukan dengan baik kecuali kalau ada keterlambatan datang ke
sarana pengobatan dan akibat terlambat merujuk. Permasalahan operasional
penanganan DBD juga dipengaruhi oleh sistem kepemerintahan yang belum
sepenuhnya dapat mengakomodasi sistem perencanaan dan sistem keuangan yang
baru. Komitmen daerah dalam penyediaan anggaran (APBD) untuk penanganan
wabah penyakit menular belum optimal. Hal ini berkaitan dengan masih cukup
besarnya alokasi dana yang berasal dari APBN (dalam bentuk DAU, dekonsentrasi
maupun tugas perbantuan). Koordinasi penanganan kasus masih bersifat sporadis,
belum tertata dalam sebuah sistem yang aktif dan terstruktur, baik pada internal
sektor maupun lintas sektor. Keperdulian pemerintah daerah masih belum terlihat, hal
ini tampak dari keaktifan instansi kesehatan dalam penyebaran informasi kesehatan,
bukan sebaliknya pemerintah daerah yang aktif meminta informasi.
Rekomendasi kajian yang diusulkan mencakup (1) Peningkatan koordinasi antar
instansi dan antar unit dalam berbagai tingkatan dalam penanganan wabah penyakit
menular yang dilakukan oleh Menko Kesra, Gubernur, Bupati/Walikota , (2)
Percepatan penyusunan kebijakan operasional dalam koordinasi pelaksanaan program
antar pusat daerah yang mencakup aspek perencnaaan, pelaksanaan (monitoring),
serta pelaporan (evaluasi), (3) Mengurangi secara bertahap dominasi peran
pengelolaan program oleh pusat melalui pendelegasian kewenangan ke daerah serta
peningkatan profesionalisme pengelola program di daerah, (4) Memperkuat kapasitas
dan kapabilitas Puskesmas sebagai unit terdepan dalam operasionalisasi surveilans
dan penanggulangan wabah penyakit menular, malalui (i) Peningkatan dukungan
dana yang memadai dari APBN maupun APBD, (ii) Penyempurnaan SOP sesuai local
specific, (iii) Peningkatan kualitas sistem pelaporan melalui ketepatan data, analisis,
validasi dan pengembangan respond system, dan sistem kewaspadaan dini (early
warning system), (iv) Optimalisasi penggunaan sarana dan prasarana dengan
melibatkan peran aktif masyarakat, (5) Meningkatkan peran dan tanggung jawab
Pemerintah Daerah melalui intensifikasi kegiatan sosialisasi, advokasi, promosi dan
koordinasi, (6) Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk
melakukan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko, (7) Melakukan bimbingan,
pemantauan, dan evaluasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, (8)
Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan
konsultasi teknis pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, surveilans
epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah, (9) Membangun dan mengembangkan
kemitraan, jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis peningkatan komunikasi
informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit, (10)
Diperlukan dukungan dalam bentuk peraturan perundangan dalam meningkatkan
komitmen para pihak di daerah dalam rangkan pencegahan dan penanggulangan DBD,
(11) Diperlukan model manajemen pemberantasan penyakit dan penyehatan
lingkungan secara terintegrasi yang berbasis wilayah kabupaten/kota dalam perspektif
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular
iv
LAPORAN AKHIR
komprehensif. Serta didukung jaringan dan kerjasama erat baik antar wilayah dan
adimistrasi pemerintah maupun diantara para pelaku pemberantasan penyakit
menular dan penyehatan lingkungan itu sendiri dalam satu wilayah.
Implikasi Kebijakan dan Rencana Tindak Lanjut mencakup aspek-aspek: (1)
Kelembagaan, diperlukan revitalisasi peran kelembagaan khususnya kelembagaan
Puskesmas. Sebagai perangkat utama Kesehatan, Puskesmas perlu diperkuat dengan
kapasitas manajemen pelayanan untuk kegiatan yang bersifat promotif, preventif, dan
rehabilitatif, selain kuratif. Dukungan pendanaan serta tenaga dan sarana dalam
rangka pelaksanaan operasional pencegahan dan penanggulangan (preventif, promotif
dan rehabilitatif) menyertai peran dimaksud secara memadai. (2) Pendanaan, perlu
terus dikembangkan pola pendanaan sistem jaminan kesehatan seperti askeskin
sehingga kepastian dana sampai kepada masyarakat terjamin, sekaligus menjamin
setiap masyarakat terlayani untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, (3) Data dan
Informasi, perlu di kelola secara profesional dan berkesinambungan dengan
memanfaatkan teknologi yang tepat dan mudah diaplikasikan serta dimungkinkan
adanya Pusat Informasi Penanaganan DBD (DBD Center). Keberadaan data dan
informasi yang akurat dan sinambung menjadi salah satu indikator kinerja
pembangunan kesehatan, (4) Ketenagaan, mendorong terbangunnya motivasi dan
komitmen para pelaksana pembangunan kesehatan di lapangan sebagai ujung tombak
pembangunan kesehatan. Motivasi dankomitmen selain muncul atas kesadaran
memerlukan dukungan eksternal dalam bentuk insentif, (5) SOP, dibuat sesederhana
mungkin agar memudahkan pelaksanaan operasional tenaga lapangan dan
distribusikan.
LAPORAN AKHIR
KATA PENGANTAR
Dengan memanjat puji dan syukur pada Allah SWT, akhirnya Kajian
Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Kajian ini dilatarbelakangi adanya kecenderungan terus
meningkatnya wabah penyakit menular di berbagai daerah di Indonesia,
khususnya kasus Demam Berdarah dengue (DBD). Selain penyakit menular
yang telah lama ada, penyakit menular baru (new emerging diseases) juga
menunjukkan peningkatan. Kebijakan penanggulangan wabah penyakit
menular telah diatur dalam peraturan perundangan. Namun demikian
implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai permasalahan. Kasus
penyakit menular dalam kajian ini adalah Demam Berdarah Dengue (DBD).
Pelaksanaan kajian telah melibatkan Deputi bidang SDM dan
Kebudayaan Bappenas, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat serta seluruh
staf di lingkungan Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas serta
melibatkan nara sumber dari Departemen Kesehatan, khususnya Subdit
Arbovirosis, Pemerintah Daerah, Dinas Teknis terkait, Perguruan Tinggi,
masyarakat serta FGD dari Bappenas. Banyak hal telah didapat dari
pelaksanaan kajian ini, tidak saja dalam bentuk temuan tetapi juga pengalaman
proses pelaksanaan survey lapangan yang dilakukan sampai ke tingkat
Puskesmas dan pelosok masyarakat untuk melakukan wawancara dan diskusi.
Hasil temuan dan kesimpulan dirumuskan menjadi suatu rekomendasi
kebijakan yang diharapkan dapat memperbaiki kebijakan dalam
penanggulangan wabah penyakit menular, khususnya dalam penanganan kasus
demam berdarah. Selanjutnya berdasarkan rekomendasi yang dirumuskan,
dibuat implikasi kebijakan yang harus menjadi langkah tindak lanjut, baik di di
tingkat kebijakan makro (RKP) maupun dalam bentuk kebijakan teknis yang
perlu di tindak lanjuti oleh departemen/instansi teknis maupun instansi terkait
lainnya.
Tiada gading yang tak retak. Hasil kajian ini jelas belum
menggambarkan kondisi utuh pelaksanaan kabijakan sehingga langkah
kebijakan yang diambil pun tidak luput dari bias dari peneliti dan pengkaji.
Unuk itu saran dan masukan guna penyempurnaan hasil kajian ini secara
terbuka dinantikan.
Ucapan terima kasih pada seluruh pihak yang telah memberikan
kontribusi pada pelaksanaan kajian ini mulai dari tim perumus rekomendasi
kebijakan, para nara sumber, anggota FGD, serta responden di dinas kesehatan
propinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota, bappeda serta masyarakat.
Mudah-mudahan laporan kajian ini memliki kontribusi substansial bagi
penataan kebijakan di bidang kesehatan maupun menjadi salah satu referensi
bagi penelitian kebijakan selanjutnya maupun untuk kepentingan bersifat
akademis.
Jakarta, Desember 2006
Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan
1. DR. Arum Atmawikarta, SKM, MPH
2. DR. Hadiat, MA
3. Dadang Rizki Ratman, SH, MPA
4. Ir. Yosi Diani Tresna, MPM
5. Sularsono, SP, ME
6. Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS
7. Inti Wikanestri, SKM
8. Nurlaili Aprilianti
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular
vi
LAPORAN AKHIR
DAFTAR ISI
Ringkasan Eksekutif - i
Kata Pengantar - vi
BAB 1 : PENDAHULUAN - 1
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
Latar Belakang - 1
Perumusan Masalah - 5
Tujuan dan Sasaran 5
Keluaran Kajian - 6
Ruang Lingkup Kajian - 6
Sistematika Penulisan - 6
Kerangka Pemikiran 27
Disain Kajian - 29
Jenis dan Sumber Data 30
Responden Kajian 31
Lokasi Kajian 32
Teknik Analisis 32
4.2
vii
LAPORAN AKHIR
4.3 Peran dan Tanngung Jawab Pememrintah Daerah dalam Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit DBD 59
4.3.1 Kewenangan Daerah dan Stndar Pelayanan Minumum 59
4.3.2 Peran Pemerintah Daerah Dalam Penanggulangan DBD 61
4.3.3 Koordinasi Antar Sektor 63
DAFTAR PUSTAKA - 70
DAFTAR LAMPIRAN
viii
LAPORAN AKHIR
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1
Tabel 1.2
Tabel 2.1
Tabel 3.1
: Responden Kajian 31
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 4.5
Tabel 4.6
Tabel 4.7
Tabel 4.8
Tabel 4.9
Tabel 4.10
Tabel 4.11
Tabel 4.12
Tabel 4.13
Tabel 4.14
Tabel 4.15
ix
LAPORAN AKHIR
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
LAPORAN AKHIR
xi
LAPORAN AKHIR
SPIRS
SP2PT
SST
STP
Surveilans
TBC
TPA
UGD
UKS
UPT
Wabah
WHO
Yanmedik
xii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
a. Kondisi Umum Pembangunan Kesehatan
Pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat
mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, yang ditandai dengan
penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki
kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil
dan merata.
Pembangunan kesehatan selama ini secara umum dapat dilihat dari status
kesehatan dan gizi masyarakat yang telah menunjukkan perbaikan seperti terlihat
dari angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan dan prevalensi gizi kurang.
Angka kematian bayi menurun dari 46 (1997) menjadi 35 per 1.000 kelahiran
hidup (20022003) dan angka kematian ibu melahirkan menurun dari 334 (1997)
menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (2002-2003). Umur harapan hidup
meningkat dari 65,8 tahun (1999) menjadi 66,2 tahun (2003). Prevalensi gizi
kurang (underweight) pada anak balita, telah menurun dari 34,4 persen (1999)
menjadi 25,8 persen (2002).
Di samping kemajuan yang telah dicapai di atas, di masa datang
pembangunan kesehatan menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang
cukup berat. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN seperti Thailand,
Malaysia, dan Philipina, status kesehatan masyarakat Indonesia masih tertinggal.
Disparitas status kesehatan masih cukup tinggi, baik ditinjau dari tingkat sosial
ekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaan-perdesaan. AKB dan AKI lebih
tinggi di daerah perdesaan, di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk
dengan tingkat ekonomi dan pendidikan rendah.
Selain itu, indikator kesehatan dan gizi yang telah dicapai selama ini masih
jauh dari sasaran yang telah ditargetkan dalam Millennium Development Goals
(MDGs). MDGs merupakan suatu kesepakatan global, sebagai benchmarks untuk
mengukur perkembangan dalam pencapaian Deklarasi Millenium 2000. Beberapa
target MDG yang ingin dicapai pada akhir tahun 2015, yang berkaitan dengan
pembangunan kesehatan di Indonesia antara lain adalah: (1) mengurangi separuh
penduduk yang mengalami kelaparan, (2) mengurangi dua per tiga angka
kematian bayi dan angka kematian balita, (3) mengurangi tiga per empat angka
kematian ibu, (4) menekan penyebaran penyakit HIV/AIDS, (5) menekan
penyebaran penyakit malaria dan TBC, (6) meningkatkan akses terhadap obat
esensial, dan (7) mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki
akses terhadap penyediaan air bersih.
Masalah kesehatan dapat disebabkan oleh berbagai sebab, oleh karena itu
secara operasional masalah-masalah kesehatan tidak dapat diselesaikan oleh
LAPORAN AKHIR
LAPORAN AKHIR
negara. Oleh karena itu perlu upaya ekstra agar penularan dapat dicegah dan
ditangani sedini mungkin.
Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakit
infeksi menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA),
malaria, diare, polio dan penyakit kulit. Namun demikian, pada waktu yang
bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung
dan pembuluh darah, serta diabetes mellitus dan kanker. Indonesia juga
menghadapi emerging diseases seperti demam berdarah dengue (DBD),
HIV/AIDS, chikunguya, Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS) dan Flu
Burung. Dengan demikian telah terjadi transisi epidemiologi sehingga Indonesia
menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double burden).
Kebijakan penanggulangan penyakit menular khususnya dalam
penanggulangan wabah telah diatur dalam bentuk peraturan perundangan, yaitu
UU No 4 Tahun 1984 tentang Penyakit Menular serta Peraturan Pemerintah No.
40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit Menular. Peraturan tersebut
pada intinya mengatur (1) tata cara penetapan dan pencabutan penetapan daerah
wabah , (2) upaya penanggulangan, (3) peran serta masyarakat, (4) pengelolaan
bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit, (5) ganti rugi dan
penghargaan, (6) pembiayaan penanggulangan wabah, serta (7) pelaporan.
Salah satu penyakit menular yang merupakan masalah kesehatan
masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi adalah penyakit
demam berdarah dengue (DBD). Penyakit DBD merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di wilayah tropis. Daerah endemis tersebar di sebagian
besar wilayah Indonesia, dan berulang kali menimbulkan kejadian luar biasa
(KLB) disertai kematian yang banyak. Penyakit yang ditularkan melalui nyamuk
Aedes aegypti ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan domestik
maupun iklim, demografi, sosial ekonomi dan perilaku.
Berbagai penelitian mengenai faktor risiko terhadap kejadian DBD telah
dilakukan oleh beberapa peneliti dengan memberikan hasil yang selaras maupun
yang kontradiktif. Walaupun demikian, pada umumnya kajian menunjukkan
bahwa pengendalian DBD perlu dilakukan secara komprehensif dari berbagai
aspek baik medis maupun sosial, dengan keterlibatan petugas kesehatan maupun
pemberdayaan masyarakat.
Meskipun sudah lebih dari 35 tahun berada di Indonesia, DBD bukannya
terkendali, tetapi bahkan semakin mewabah. Sejak Januari sampai 17 Maret 2004,
kejadian luar biasa (KLB) DBD di Indonesia telah menyerang 39.938 orang dengan
angka kematian 1,3 persen. Meskipun dibandingkan dengan KLB 1968 angka
kematiannya jauh telah menurun, sebenarnya angka kematian masih terlalu tinggi
jika dibandingkan dengan Singapura (0,1 persen), India (0,2 persen), Vietnam (0,3
persen), Thailand (0,3 persen), Malaysia (0,9 persen), dan Filipina (1 persen).
Dalam KLB 2004 tercatat angka kejadian (incidence rate) 15 per 100.000
penduduk, padahal tujuan program pemberantasan DBD dalam Indonesia Sehat
2010 adalah menurunkan angka kejadian di bawah 5 per 100.000 penduduk pada
tahun 2010. DBD masih sulit diberantas karena tidak tersedianya vaksin dan
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular
LAPORAN AKHIR
RASIO
60
40
20
0
Target
Realisasi
2001
2002
2003
2004
2005
5.7
4.5
10
21.66
19.25
24.34
37.1
43.31
TAHUN
LAPORAN AKHIR
LAPORAN AKHIR
1.4 Keluaran
Keluaran kajian adalah rumusan kebijakan penanggulangan penyakit menular
yang mencakup aspek surveilans, penanganan wabah, serta tanggung jawab dan
kewenangan antara pusat dan daerah.
LAPORAN AKHIR
Bab IV
Hasil dan Pembahasan, mencakup Gambaran Umum
Penanggulangan DBD, Kinerja Surveilans dan Penanggulangan DBD,
Indikator kinerja surveilans dan penanggulangan KLB, Faktor-faktor
Berpengaruh terhadap Kinerja Surveilans dan Penanggulangan KLB,
mencakup tenaga, dana, data, sarana dan SOP.
LAPORAN AKHIR
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Surveilans Epidemiologi
LAPORAN AKHIR
LAPORAN AKHIR
Unit Surveilans
Ditjen PPM &
PL Depkes
Unit Surveilans
Dinas Kesehatan
Propinsi
Unit Surveilans
Dinas Kesehatan
Kab/Kota
Unit Surveilans
Puskesmas
Unit Surveilans
Rumah Sakit
Unit Surveilans
Laboratorium
10
LAPORAN AKHIR
11
LAPORAN AKHIR
Tabel 2.1
Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan
Masukan
Tenaga
Tingkat
1. Pusat
2. Propinsi
3. Kabupaten/Kota
4. Rumah Sakit
Sarana
5. Puskesmas
1. Pusat, Propinsi
2. Kabupaten/Kota
Indikator
Unit
utama
Departemen Kesehatan
memiliki
a. 1 tenaga epidemiologi ahli (S3)
b. 8 tenaga epidemiologi ahli (S2)
c. 16 tenaga epidemiologi ahli (S1)
d. 32 tenaga epidemiologi terampil
UPT Departemen Kesehatan memiliki
a. 2 tenaga epidemiologi ahli (S2)
b. 4 tenaga epidemiologi ahli (S1)
c. 4 tenaga epidemiologi terampil
d. 1 tenaga dokter umum
a. 1 tenaga epidemiologi ahli (S2)
b. 2 tenaga epidemiologi ahli (S1)
c. 2 tenaga epidemiologi terampil
d. 1 tenaga dokter umum
a. 1 tenaga epidemiologi ahli (S2)
b. 2 tenaga epidemiologi ahli (S1) atau
terampil
c. 1 tenaga dokter umum
a. 1 tenaga epidemiologi ahli
b. 1 tenaga epidemiologi terampil
1 tenaga epidemiologi terampil
a. 1 paket jaringan elektromedia
b. 1 paket alat komunikasi (telepon,
faksimili, SSB dan telekomunikasi
lainnya)
c. 1 paket kepustakaan
d. 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans
epidemiologi dan program aplikasi
komputer
e. 4 paket peralatan pelaksanaan surveilans
epidemiologi
f. 1 roda empat, 1 roda dua
a. 1 paket jaringan elektromedia
b. 1 paket alat komunikasi (telepon,
faksimili, SSB dan telekomunikasi
lainnya)
c. 1 paket kepustakaan
d. 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans
epidemiologi dan program aplikasi
komputer
e. 1 paket formulir
12
LAPORAN AKHIR
Proses
Kegiatan
Surveilans
Keluaran
13
LAPORAN AKHIR
2.5
14
LAPORAN AKHIR
Prioritas
Penanggulangan
KLB
KLB tidak
Menjadi
Masalah
Kesehatan
Masyarakat
SKD-KLB
Penanggula
ngan KLB
Kesiapsiagaan
Menghadapi KLB
15
LAPORAN AKHIR
2.6.
16
LAPORAN AKHIR
17
LAPORAN AKHIR
2.7
18
LAPORAN AKHIR
Menurut PP 40, tahun 1991, Bab 1, Pasal 1 Ayat 7, KLB adalah timbulnya
atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara
epidemologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan
keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Penanggungjawab
operasional pelaksanaan penanggulangan KLB adalah Bupati/Walikota.
Sedangkan penanggugjawab teknis adalah Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Bila KLB terjadi lebih dari satu wilayah kabupaten/kota maka
penanggulangannya dikoordinasikan oleh Gubernur.
Pengertian KLB seringkali dikacaukan dengan pengertian wabah. Penyakit
menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat
dengan jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi keadaan yang lazim
pada waktu daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka (UU Nomor 4,
Tahun 1984, Bab I, Pasal 1).
Kepala wilayah ketika mengetahui adanya
tersangka di wilayah atau adanya tersangka penderita penyakit menular yang
dapat menimbulkan wabah, wajib melakukan tindakan secara cepat berupa
penanggulangan seperlunya (UU Nomor 4, Tahun 1984, Bab IV, Pasal 12, Ayat 1).
Kemudian kegiatan tersebut harus dilaporkan kepada Menteri Kesehatan secara
berjenjang.
Sedangkan yang menetapkan penyakit menular dan kemudian mencabut
ketetapan tersebut adalah Menteri Kesehatan (UU Nomor 4, Tahun 1984, Pasal 4,
Ayat 1 dan 2 serta PP Nomor 40, Tahun 1991, Pasal 2 sampai 5). Penetapan daerah
wabah merupakan pertimbangan epidemologis dan keadaan masyarakat
(mencakup keamanan, sosial, ekonomi dan budaya) yang disampaikan Kepala
Daerah. Penetapan atau pencabutan daerah wabah diberlakukan dalam suatu
wilayah Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk penetapan dan pencabutan KLB
hingga saat ini belum diatur, namun draft Permenkes menyebutkan Pemerintah
Daerah atas usulan Kepala Dinas Kesehatan setempat menetapkan dan mencabut
KLB.
Penetapan KLB, dapat juga ditetapkan pada faktor risiko penyakit seperti
bila terjadi ledakan gas beracun, ledakan industri, atau suhu yang meningkat
sehingga menimbulkan populasi nyamuk atau ledakan gas, memang tidak lazim
disebut sebagai KLB, namun terminologi ini digunakan untuk tujuan atau rumusan
upaya antisipatif, prediktif, dan akhirnya berupa pencegahan.
Apabila kita mencermati proses kejadiannya, KLB merupakan kejadian
proses awal, pencermatan ini dikenal sebagai pencermatan pra-KLB. Misalnya,
adanya indikasi peningkatan jumlah dan kepadatan vektor penular penyakit,
terjadinya kerusakan hutan secara terus menerus, pemantauan kondisi kualitas
lingkungan tertentu yang menurun, dan sebagainya.
Manajemen pra-KLB termasuk sistem kewaspadaan dini, amat penting,
tidak hanya mencegah terjadinya KLB, penanganan saat kejadian KLB dan pascaKLB, informasi pra-KLB menjadi penting. Gempa bumi di sebuah wilayah endemik
malaria memerlukan peta dimana pengungsi akan ditempatkan.
Mengacu kepada teori simpul atau mengacu kepada patogenesis kejadian
penyakit, KLB pada dasarnya merupakan suatu kejadian baik pada sumber
penyakit (penyebab) dengan dinamika transmisi, serta korban kejadian penyakit
yang berlangsung dalam tempo yang relatif singkat.
19
LAPORAN AKHIR
20
LAPORAN AKHIR
21
LAPORAN AKHIR
22
LAPORAN AKHIR
23
LAPORAN AKHIR
Penderita/tersangka DBD
- Pemeriksaan Jentik
- Pencarian Penderita Panas
Ada penderita DBD lain atau ada jentik dan ada penderita
panas 3 orang dan ditemukamn jentik ( 25%)
Ya
-
Penyuluhan
PSN DBD
Fogging radius 200m
Tidak
-
Penyuluhan
PSN FDBD
Larvasidasi
Penanggulangan
Pemberantasan
24
LAPORAN AKHIR
Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan
penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Cara PSN DBD dilakukan
dengan 3M, yaitu (1) menguras dan menyikat tempat-trempat penampungan
air, (2) menutup rapat-arapat tempat penampungan air, dan (3) mengubur
atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.
Pemeriksaan
25
LAPORAN AKHIR
26
LAPORAN AKHIR
BAB 3
METODOLOGI
3.1 Kerangka Pemikiran
Kajian ini dilandasi pemikiran adanya hubungan timbal balik antara
rendahnya kinerja surveilans dan kinerja penanggulangan dalam implementasi
kebijakan penyakit menular khususnya dalam kasus kebijakan penanganan
penyakit DBD.
Kinerja surveilans diukur dengan melihat (1) keberadaan peta rawan, (2)
pelaksanaan diseminasi informasi DBD, dan (3) pelaporan. Faktor-faktor yang
terkait dengan kinerja surveilans mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana, (4)
dana, dan (5) SOP.
Kinerja Penanggulangan diukur dengan melihat (1) Frekuensi KLB, (2)
Jumlah Kasus, (3) Jumlah Kematian, (4) Luas Daerah Terserang. Faktor-faktor
yang terkait dengan kinerja surveilans mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana,
(4) dana, dan (5) SOP.
Implementasi kebijakan penyakit menular juga dipengaruhi kebijakan
desentralisasi kewenangan pengelolaan pembangunan.
Berdasarkan landasan pemikiran diatas, kerangka pikir kajian digambarkan
dalam skema berikut:
Kinerja Surveilans
DESENTRALISASI
KEWENANGAN
IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PENYAKIT
MENULAR
Kinerja
Penanggulangan
27
LAPORAN AKHIR
Kerangka Konsep
Kinerja Surveilans
Tenaga
1.
2.
3.
4.
Jumlah ,
motivasi ,
Pengetahuan ,
Monev
Dana
1.
2.
3.
4.
Jumlah ,
Sumber ,
Proses ,
jenis pengeluaran
Kinerja
Surveilans
DBD
Data
Kasus , Jentik ,
Vektor , Curah Hujan
KLB
DBD
-Peta
PetaRawan
Rawan
KLB
DBD
Informasi
-Diseminasi
Diseminasi
Informasi
- Pelaporan
Sarana
1. Transportasi ,
2. Pengolah data,
3. Komunikasi
SOP
1. Pedoman (7 seri : modelpokjanal ,
2. Peraturan
Tenaga
Kerangka Konsep
Kinerja Penanggulangan
Dana
1. Sumber (APBD, APBD, PHLN)
2. Proses,
3. Jenis pengeluaran
Data
Kasus, Jentik, Lingkungan (genangan),
Prilaku (3M), Vektor, Curah Hujan,
Logistik
Sarana
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Transportasi,
Pengolah data,
Komunikasi,
Logistik, Obat,
insektisida,
alat penyemprotan
Kinerja
Penanggulangan
KLB DBD
Frekuensi KLB
Jumlah Kasus
Jumlah Kematian
Luas Daerah Terserang
SOP
1. Pedoman,
2. Peraturan
28
LAPORAN AKHIR
Variabel
Tenaga
1. Jumlah
2. Sumber
3. Pengetahuan
4. Monitoring dan Evaluasi
2
Dana
1. Jumlah
2. Sumber
3. Proses
4. Jenis pengeluaran
3
Data
1. Kasus
2. Jentik
3. Vektor
4. Curah Hujan
4
Sarana
1. Transportasi
2. Pengolah data
3. Komunikasi
5
SOP
1. Pedoman (7 seri modul pokjanal)
2. Peraturan
KINERJA PENANGGULANGAN KLB DBD
Idependent Variabel
Kinerja
Penanggulangan KLB
1. Frekuensi KLB
2. Jumlah Kasus
3. Jumlah Kematian
4. Luas Daerah Terserang
Dependent Variabel
Tenaga
29
LAPORAN AKHIR
3.3
Dana
Data
Sarana
SOP
penanggulangan)
1. Jumlah
2. Sumber
3. Proses
4. Jenis pengeluaran
1. Kasus
2. Jentik
3. Lingkungan (genangan)
4. Prilaku (3M)
5. Vektor
6. Curah hujan
7. Logistik
1. Transportasi
2. Pengolah data
3. Komunikasi
4. Logistik
5. Obat
6. Insektisida
7. Alat penyemprotan
1. Pedoman (7 seri modul pokjanal)
2. Peraturan
Data yang dikumpulkan dalam kajian ini meliputi data primer dan
data sekunder, baik dalam bentuk data kualitatif maupun kuantitatif.
30
LAPORAN AKHIR
3.4
Responden Kajian
Pusat: Dit Epidemiologi dan P2B2 Ditjen P2M, subdit arbovirosis, bagian
PI dan kepegawaian, Yanmedik dan Binkesmas
Dinas Kesehatan Propinsi: (1) Kasubdin P2M, (2) Seksi Surveilans, (3)
P2B2, (4) Kabag Kepegawaian, (5) Kabag Keuangan, (6) Kasubag Umum
Kabupaten
Dinas Kesehatan: (1) subdin P2M, (2) unit surveilans, (3) unit
penanggulangan P2B2, (4) unit kepegawaian, (5) unit umum
Puskesmas : (1) Kepala Puskesmas, (2) petugas P2M, (3) staf Kesling
Rumah Sakit: (1) Wakil Direktur Yanmed, (2) UGD, (3) Bag. Medical
Record, (4) Lab. Rumah Sakit.
Kelompok Pakar yang menjadi responden adalah (1) ahli epidemiologi
dari Perguruan Tinggi, (2) ahli epidemiologi dari Departemen Kesehatan,
(3) pakar lain dari WHO.
Tabel 3.1
Responden Kajian
No
1
2
3
4
5
6
Propinsi/Kab
Dinas
Riau
1. Kota Pekanbaru
2. Kab. Siak
Jawa Barat
1. Kota Bandung
2. Kab. Bogor
Jawa Timur
1. Kota Surabaya
2. Kab. Gresik
Kalimantan Timur
1. Kota Samarinda
2. Kota Balikpapan
Sulawesi Selatan
1. Kota Makasar
2. Kab. Gowa
Nusa Tenggara Barat
1. Kota Mataram
2.
Kab
Lombok
Tengah
TOTAL
5
3
2
3
2
2
1
1
2
2
1
2
2
1
2
3
2
3
47
PKM
Rumah
Sakit
Bapp
Masy
4
5
1
1
2
1
1
1
3
2
2
1
1
2
1
1
Jml
26
20
18
3
4
2
1
1
1
1
1
2
2
1
4
2
1
2
1
4
4
1
2
1
1
1
1
4
6
2
3
1
1
2
0
43
21
15
13
13
20
25
122
31
LAPORAN AKHIR
Pengumpulan
Data
- Data Sekunder
- Data Primer
(kuesioner &
wawancara)
Pengolahan
Data
- Mengelompokkan
- Mengolah
- Mentabulasi
Analisis
Data
FGD
- Interpertasi data
- Interpretasi hasil
wawancara
Kesimpulan &
Rekomendasi
Kebijakan
32
LAPORAN AKHIR
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Implementasi Kebijakan Penanggulangan DBD
4.1.1
4 5.0 0
IR
CFR
4 0.0 0
3 5.00
3 5.0 0
3 0.00
3 0.0 0
2 5.00
CFR
I. R
2 5.0 0
2 0.00
2 0.0 0
1 5.00
1 5.0 0
1 0.00
1 0.0 0
5.00
5 .00
0.00
0 .00
68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04
TAHUN
Apabila dilihat secara khusus per bulan selama kurun waktu 2003 - 2004,
maka kecenderungan terjadinya peningkatan kasus DBD lazimnya dimulai pada
akhir bulan Desember sampai dengan terbanyak yang lazimnya terjadi pada sekitar
bulan Februari Maret (lihat Gambar 1.7. di bawah ini). Tingginya curah hujan
menyebabkan banyaknya genangan-genangan air yang memudahkan nyamuk
untuk berkembangbiak, dan tidak terlaksananya program baik PSN
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular
33
LAPORAN AKHIR
Gambar
4.2 Perkembangan Kasus DBD Nasional Per Bulan
PERKEMBANGAN KASUS DBD NASIONAL PER BULAN
2003-2004
30000
25000
20000
S
SU
KA
15000
KASUS
IK
NA
10000
5000
0
JAN
FEB
MAR
APR
MAY
JUN
JUL
AUG
SEP
OCT
NOV
2003
DEC
JAN
FEB
MAR
APR
2004
30,000
25,000
20,000
15,000
10,000
5,000
JAN FEB MARAPRMAYJUN JUL AUGSEPOCT NOVDECJAN FEB MARAPRMAYJUN JUL AUGSEPOCT NOVDES JAN FEB MARAPRMAY
2,004
2,005
KASUS 9,41 19,8 30,0 6,77 2,79 1,76 1,27 1,10 908 992 1,59 2,94 6,4 10,9 7,61 5,03 5,65 5,35 5,03 8,52 6,99 7,61 10,7 15,3 18,
2006
14,
11,
7,0 335
34
LAPORAN AKHIR
Gambar 4.4
JUMLAH KASUS DBD DI INDONESIA TAHUN 2005 & 2006
JUMLAH KASUS DBD DI INDONESIA TAHUN 2004 DAN 2005
(SITUASI(s/d
SD TGL
19 JUNI
2006)
19 Juni
2006)
20000
2005
2006
18000
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
10
2005
6475
10916
7610
5033
5652
5357
5,034
8528
6997
7610
2006
11
12
10712 15355
335
Berdasarkan gambar 1.7; 1.7a; dan 1.8, seperti di atas, data tahun 2003
hingga Juni 2006, terlihat pola yang jelas mengenai kecenderungan peningkatan
kasus DBD, yaitu kecenderungan terjadinya peningkatan kasus DBD pada akhir
bulan Desember sampai dengan kasus terbanyak pada bulan Februari Maret.
Hal ini menurut beberapa hasil analisa ada kaitannya dengan pergantian musim
kemarau ke musim hujan.
4.1.2 Kebijakan Penanggulangan Penyakit DBD
Departemen Kesehatan telah melewati pengalaman yang cukup panjang
dalam penanggulangan penyakit DBD. Pada awalnya strategi utama
pemberantasan DBD adalah pemberantasan nyamuk dewasa melalui pengasapan.
Kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke
Tempat Penampungan Air (TPA). Kedua metode ini sampai sekarang belum
memperlihatkan hasil yang memuaskan dimana terbukti dengan peningkatan
kasus dan bertambahnya jumlah wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan
vaksin untuk membunuh virus dengue belum ada, maka cara yang paling efektif
untuk mencegah penyakit DBD ialah dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) yang dilaksanakan oleh masyarakat/keluarga secara teratur setiap seminggu
sekali.
Kebijakan dalam rangka penanggulangan menyebarnya DBD adalah (1)
peningkatan perilaku dalam hidup sehat dan keamandiriian masyarakat terhadap
penyakit DBD, (2) meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat terhadap
penyakit DBD, (3) meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi program
pemberantasan DBD, dan (4) memantapkan kerjasama lintas sektor/lintas
program.
Strategi dalam pelaksanaan kebijakan di atas dilakukan melalui
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular
35
LAPORAN AKHIR
36
LAPORAN AKHIR
37
LAPORAN AKHIR
terjadi KLB, uang dicairkan, maka kinerjanya akan dipertanyakan (3) Disamping
Tim Pokjanal DBD, Kota Pekanbaru juga memiliki Forum Perkampungan Sehat,
diketuai oleh Bappeda dan sekretariat juga berada di Bappeda. Kegiatan pokok
adalah melakukan rapat lintas sektor untuk menangani masalah-masalah
khususnya penyakit menular.
Propinsi Jawa Barat
Kebijakan penanggulangan di Jawa Barat secara umum mengacu pada
kebijakan dan program yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan (Pusat),
yaitu mencakup 1) Kewaspadaan dini DBD, (2) Pemberantasan vektor melalui PSN
dengan cara 3M Plus, dan pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan setiap
3 bulan sekali, (3) Bulan Bakti gerakan 3M, (4) Penanggulangan kasus, dimana
Puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi (PE) untuk mengurangi
persebaran lebih luas dan tindakan yang lebih tepat, (5) penanggulangan KLB, (6)
peningkatan profesionalisme SDM, (7) Pendekatan Peran Serta Masyarakat dann
PSN DBD, (8) Penelitian.
Strategi pelaksanaan kebijakan penanggulangan DBD di Propinsi Jawa
Barat dilakukan melalui (1) pendekatan gerak cepat dan putus rantai, yaitu pada
setiap kasus petugas siap melakukan PE sehingga ditemukan akar permasalahan
dan sumber penyebabnya untuk kemudian dilakukan tindakan agar tidak
menyebar ke tempat lain, (2) upaya preventif yang dilakukan melalui managing
vector and environment malalui gerakan 3M yang dilakukan secara lintas sektor
dalam wadah Pokjanal DBD, (3) Upaya peningkatan kemampuan tenaga kesehatan
dalam penanggulangan DBD secara kuratif dilakukan melalui workshop tata
laksana dengan melibatkan dokter spesialis dan urusan dalam, (4) Pelibatan
partisipasi masyarakat melalui gerakan PSN setiap hari Jumat pagi, fogging focus
massal, dan melakukan CLEAN-UP lingkungan yang dipimpin oleh walikota
selama 1-2 jam, pemeriksaan jentik dengan memberdayakan tenaga jumantik, (5)
Pelibatan lintas sektor, (6) Sosialisasi Pola Hidup Bersih (PHBS).
Hasil pelaksanaan program ditunjukkan antara lain (1) pemantauan jentik
belum optimal dilakukan oleh kader dengan alasan terbatasnya dana operasional,
kesibukan kader, dan tidak seimbangnya jumlah kader dengan cakupan daerah
yang harus diselidiki, (2) Fogging dilaksanakan apabila terjadi KLB dengan
menggunakan dana yang berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten dengan
peruntukan untuk larvasidasi dan abatesisasi.
Propinsi Jawa Timur
Kebijakan daerah mencakup (1) upaya penanggulangan masalah-masalah
kesehatan yang dilakukan merupakan hasil dari kajian surveilans epidemiologi, (2)
kegiatan surveilans epidemiologi dilaksanakan oleh tim fungsional di masingmasing tingkat mulai dari Puskesmas, kab/kota, dan propinsi, (3) komitmen dari
pimpinan unit penyelenggara kesehatan diperlukan untuk kegiatan surveilans
epidemiologi, (4) penemuan kasus dilaksanakan secara bekerjasama dengan
masyarakat, dokter, praktek swasta, bidan, perawat, dukun bayi dan kendaraan
kesehatan.
Strategi dalam penanggulangan DBD dilakukan melalui (1) penemuan kasus
dan kematian melalui surveilans di rumah sakit, puskesmas dan masyarakat, (2)
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular
38
LAPORAN AKHIR
39
LAPORAN AKHIR
40
LAPORAN AKHIR
41
LAPORAN AKHIR
%
80.0
jml
10
%
83.3
jml
0
%
0.0
jml
11
%
52.4
DP-DBD
80.0
58.3
16.7
42.9
K-DBD
60.0
50.0
16.7
12
57.1
W2-DBD
60.0
75.0
83.3
15
71.4
W1
80.0
75.0
83.3
12
57.1
Peta rawan
42
LAPORAN AKHIR
indikator W2 DBD dan W1. Sedangkan di tingkat Puskesmas, keberadaaan datadata tersebut relatif tersedia, walau tidak semua puskesmas memilikinya.
Di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, pengumpulan data surveilans
dilakukan oleh dua bagian, seksi surveilans dan program pemberantasan penyakit
(dalam hal ini program DBD/pemberantasan penyakit bersumber binatang).
Surveilans hanya menerima laporan yang berkaitan dengan KLB, dalam hal ini
laporan W1. Sementara, laporan peta rawan, W2, DP-DBD, dan K-DBD, diperoleh
dari bagian program pemberantasan DBD. Sehingga, informasi mengenai ke lima
indikator, merupakan gabungan dari bagian seksi surveilans dan program
pemberantasan penyakit (DBD).
Dari hasil keseluruhan memperlihatkan adanya persentase yang tinggi
dalam hal kinerja ditingkat propinsi. Yang perlu diperhatikan adalah meskipun
semua indikator terpenuhi, namun apakah laporan tersebut tepat waktu atau
tidak. Seperti halnya di propinsi Riau, setelah kejadian KLB laporan W2 seringkali
terlupakan untuk dilaporkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota. Pada tingkatan
rumah sakit, ketiadaan indikator di atas karena pendekatan rumah sakit yang lebih
kepada kuratif. Lokasi yang tercakup dalam peta rawan kadang kali tidak kecil. Di
Samarinda, karena merupakan kota endemis, maka peta rawan adalah seluruh
kota Samarinda itu sendiri.
Diseminasi Informasi
Kinerja surveilans juga diukur berdasarkan indikator diseminasi informasi
seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Penerbitan bulletin kajian epidemiologi
ternyata lebih banyak dilakukan oleh Dinkes propinsi. Demikian pula untuk
pembuatan profil surveilans epidemiologi. Laporan umpan balik dari propinsi
sudah dilakukan oleh sebagian dinkes propinsi, dinkes kab/kota dan puskesmas.
Laporan umpan balik ke RS sangat jarang dilakukan. Pada level puskesmas, 76%
puskesmas sudah menerima laporan umpan balik dari Pemda kab/kota; sementara
untuk rumah sakit hanya 1 buah rumah sakit saja yang menerima laporan umpan
balik dari Pemda kab/kota.
Pada tingkat puskesmas, hanya pertanyaan mengenai adanya umpan balik
dari kabupaten dan profil surveilans epidemiologi yang ditanyakan. Ke dua
pertanyaan lainnya (penerbitan epidemiologi dan laporan umpan balik dari
propinsi) tidak berkaitan langsung pada aktifitas puskesmas.
Dalam pembuatan laporan, faktor ketepatan juga sangat penting. Di Dinkes
kota Samarinda, meskipun kelengkapan laporan puskesmas mencapai 90-100%,
namun ketepatannya hanya 60% saja. Pembuatan laporan pun tidak dilakukan
setiap hari. Kadangkala diperlukan pengiriman informasi melalui short message
system (sms dengan hand phone) untuk melaporkan kejadian BDB.
43
LAPORAN AKHIR
Tabel 4.2
Distribusi Indikator Diseminasi Informasi Surveilans di Dinkes
Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas
INDIKATOR
KINERJA
Penerbitan
buletin kajian
epidemiologi
Laporan umpan
balik dari
propinsi
Laporan umpan
balik dari
kab/kota (untuk
RS & puskesmas)
Profil survaeilans
epidemiologi
DINKES
PROPINSI
(ntot=6)
DINKES
KAB/KOTA
ntot =12)
RUMAH
SAKIT
(ntot =12)
PUSKESMAS
(ntot =24)
jml
jml
jml
jml
75.0
11.1
0.0
15.4
50.0
66.7
28.6
53.8
14.3
10
76.9
0.0
7.7
75.0
55.6
Data Kasus
Hasil kinerja surveilans dan penanggulangan diukur dengan penemuan
kasus, angka kematian dan Case Fatality Rate (CFR). Grafik diatas ini
memperlihatkan dari ke 6 lokasi kajian.
Gambar 4.5 Data Kasus DBD di Lokasi Kajian
44
LAPORAN AKHIR
DATA KASUS DBD DI LOKASI KAJIAN
TAHUN 2003-2005
20000
15000
10000
5000
2003
2004
739
1059
1897
JABAR
8932
19012
18590
JATIM
4243
8321
14796
RIAU
2276
3165
2628
4175
3164
198
805
1062
KALTIM
SU LSEL
N TB
2005
2003
2004
2005
21
32
JABAR
201
214
285
JATIM
59
120
254
41
82
RIAU
KALTIM
SULSEL
NTB
39
25
59
16
15
45
LAPORAN AKHIR
dalam jumlah kematian. Dari data yang dicatat dinkes propinsi selama tahun
2003-2005 menunjukkan sejumlah propinsi mengalami peningkatan jumlah
kematian, yaitu di propinsi Riau, Jabar, Jatim, Kaltim, dan Sulsel.
Salah satu penyebab tingginya kasus DBD adalah faktor geografis dan
perilaku masyarakat. Seperti terjadi di Samarinda, di sana banyak perumahan
penduduk yang tersebar di pulau-pulau kecil sehingga menyulitkan petugas untuk
memantau. Sementara Dinkes tidak memiliki kendaraan untuk menjangkaunya.
Masyarakat pun memiliki kebiasaan menampung air hujan (tadah hujan) yang
menambah habitat jentik. Tipe rumah panggung yang merupakan ciri masyarakat
asli Kaltim turut menambah risiko pertumbuhan habibat jentik karena biasanya
bagian bawah rumah tergenang air buangan rumah tersebut dan menjadi sarang
nyamuk.
Gambar 4.7
Case Fatality Rate (CFR)DBD di Lokasi Kajian
CASE FATALITY RATE (CFR) DBD DI LOKASI KAJIAN
TAHUN 2003-2005
4.50
4.00
3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
2003
2004
2005
RIAU
0.81
1.98
1.69
JABAR
2.25
1.13
1.53
JATIM
1.39
1.44
1.72
KALTIM
0.00
1.80
2.59
SULSEL
1.48
0.60
1.86
NTB
4.04
1.99
1.41
NAS
1.5
1.2
1.36
46
LAPORAN AKHIR
dibandingkan dengan angka nasional, CFR sejumlah propinsi lebih tinggi. Pada
tahun 2004, CFR yang paling tertinggi dimiliki oleh Riau dan NTB. Pada tahun
2005, angka CFR kembali meningkat di bandingkan tahun sebelumnya. Semua
CFR berada di atas angka nasional. CFR tertinggi pada tahun 2005 adalah di
propinsi Kaltim.
Data pada grafik memperlihatkan pula adanya kenaikan CFR dari tahun
2003-2005 di sejumlah propinsi yaitu Jatim, Kaltim dan NTB. Sementara di
propinsi lain CFR terlihat fluktuatif (naik dan turun).
4.2.2 Faktor-faktor Berpengaruh terhadap Kinerja Surveilans
dan Kinerja Penanggulangan KLB
(1) Tenaga
Tenaga adalah sumberdaya manusia dari pihak provider kesehatan yang
terlibat langsung dalam kegiatan surveilans maupun penanggulangan KLB. Pada
tingkat dinkes propinsi, komposisi jenis tenaga yang bertugas dalam pelaksanaan
surveilans dan penanggulangan terbanyak adalah S1 dan S2 Epidemiologi;
sementara di tingkat dinkes kab/kota adalah dokter umum dan tenaga pendukung
laibnya. Lulusan S1 dan S2 Epidemiologi lebih banyak berperan sebagai tenaga
surveilans, sementara dokter umum berperan sebagai tenaga penanggulangan
KLB.
Yang dimaksud tenaga pendukung/lainnya adalah tenaga yang berprofesi/
berpendidikan perawat, lulusan SMA, lulusan D3, APK, kesehatan lingkungan/
sanitasi, manajemen kesehatan, staf administrasi, teknik lingkungan, tenaga
fogging, ahli gizi, SKM, tenaga rekam medis, dokter gigi, dan kader
kesehatan/posyandu.
Tabel 4.3
Distribusi Jenis Tenaga di Dinkes Propinsi dan Dinkes Kab/Kota
DINKES PROPINSI
JENIS TENAGA
SURVEILANS
DINKES KAB/KOTA
PENANGGULA
NGAN KLB
SURVEILANS
PENANGGULA
NGAN KLB
Jml
jml
jml
jml
S2 Epidemiologi
20.9
4.8
8.6
2.7
S1 Epidemiologi
15
34.9
14.3
14
8.6
17
9.1
Dokter umum
11.6
19.0
8.6
65
34.9
Epidemiologi
terampil
9.3
9.5
8.6
3.2
47
LAPORAN AKHIR
Analis Laboratorium
0.0
4.8
8.6
35
18.8
Pendukung/lainnya
10
23.3
10
47.6
8.6
59
31.7
Jumlah
43
100.0
21
100.0
35
8.6
187
100.5
SURVEILAN
S
jml
PUSKESMAS
PENANGGU
LANGAN
KLB
jml
SURVEILA
NS
jml
PENANGGU
LANGAN
KLB
jml
S2 Epidemiologi
4.4
1.5
0.0
0.0
S1 Epidemiologi
2.2
0.0
11.4
2.2
Dokter umum
15.6
18
27.7
15
34.1
39
21.8
terampil
2.2
0.0
11.4
0.0
Analis Laboratorium
6.7
33
50.8
4.5
18
10.1
Pendukung/lainnya
31
68.9
13
20.0
17
38.6
118
65.9
Jumlah
45
100.0
65
100.0
44
100.0
179
100.0
Epidemiologi
48
LAPORAN AKHIR
49
LAPORAN AKHIR
Total
10
9
19
%
52.6
47.3
100.0
50
LAPORAN AKHIR
Dana
51
LAPORAN AKHIR
SURVEILANS
jml
APBD
APBN
Lainnya
DINKES KAB/KOTA
PENANGGULA
NGAN KLB
jml
SURVEILAN
S
jml
PENANGGULA
NGAN KLB
jml
100.0
100.0
100.0
10
100.0
75.0
80.0
14.3
10.0
0.0
0.0
28.6
30.0
52
LAPORAN AKHIR
operasional umum yang ada di puskesmas. Hal tersebut karena dalam prakteknya
kegiatan operasional di lapangan dilakukan oleh semua petugas puskesmas.
Tabel 4.8
Distribusi Sumber Dana di RS dan Puskesmas
RS
SUMBER DANA
SURVEILANS
jml
APBD
%
100.0
APBN
Lainnya
PUSKESMAS
PENANGGUL
ANGAN KLB
jml
SURVEILAN
S
jml
PENANGGUL
ANGAN KLB
%
100.0
%
42.9
jml
8
%
57.1
100.0
0.0
14.3
7.1
0.0
25.0
85.7
10
71.4
53
LAPORAN AKHIR
54
LAPORAN AKHIR
SOP
DINKES
PROPINSI
DINKES
KAB/KOTA
jml
jml
RS
PUSKESMAS
jml
jml
Pedoman
83.3
11
91.7
57.1
12
50.0
Peraturan
100.0
57.1
14.3
0.0
SOP
DINKES
PROPINSI
DINKES
KAB/KOTA
PUSKESMA
S
RS
jml
jml
jml
jml
Peraturan SKD-KLB
100.0
63.6
75.0
36.8
Pedoman SKD-KLB
100.0
81.8
75.0
42.1
Pedoman penyelidikan
KLB
Pedoman
Penanggulangan KLB
100.0
10
90.9
50.0
15
78.9
100.0
10
90.9
75.0
13
68.4
Pedoman Cara
Pelaporan
100.0
63.6
50.0
13
68.4
Laporan Penyakit
Potensi KLB
80.0
81.8
50.0
11
57.9
80.0
36.4
75.0
42.1
55
LAPORAN AKHIR
Data
56
LAPORAN AKHIR
DINKES
PROPINSI
DINKES
KAB/KOTA
jml
jml
jml
jml
Kasus
100.0
100.0
80.0
11
100.0
Jentik
0.0
0.0
0.0
18.2
Vektor
0.0
0.0
0.0
0.0
Curah hujan
0.0
16.7
0.0
0.0
DATA
RS
PUSKESMAS
DINKES
KAB/KOTA
jml
jml
jml
jml
Kasus
100.0
12
100.0
71.4
18
94.7
Jentik
Lingkungan/genan
gan
60.0
12
100.0
0.0
36.8
20.0
33.3
0.0
5.3
Perilaku 3M
0.0
16.7
0.0
0.0
Vektor
20.0
8.3
0.0
5.3
Curah hujan
20.0
8.3
0.0
10.5
Logistik
40.0
33.3
28.6
26.3
DATA
RS
PUSKESMAS
57
LAPORAN AKHIR
DINKES
KAB/KOTA
jml
jml
jml
jml
Transportasi
50.0
36.4
11.1
11
50.0
Pengolah data
50.0
41.7
44.4
40.9
Komunikasi
100.0
10
83.3
66.7
14
63.6
SARANA
RS
PUSKESMAS
58
LAPORAN AKHIR
DINKES
KAB/KOTA
jml
jml
jml
jml
Transportasi
80.0
10
83.3
33.3
12
66.7
Pengolah data
10
83.3
83.3
13
72.2
Komunikasi
75.0
66.7
14
77.8
Obat
33.3
66.7
50.0
Insektisida
11
91.7
33.3
13
72.2
Alat penyemprot
100.
0
100.
0
80.0
100.
0
60.0
12
100.0
0.0
44.4
Alat Penyuluhan
58.3
66.7
10
55.6
SARANA
RS
PUSKESMAS
59
LAPORAN AKHIR
Pemerintah
Daerah
dalam
No
Pelayanan Dasar
1
2
3
4
5
6
Giji Masyarakat
7
8
60
LAPORAN AKHIR
3
Pencegahan
dan
Penyakit Menular
Pemberantasan
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Kesehatan
Dasar
Lingkungan
dan
Sanitasi
6
7
Promosi Kesehatan
Pengendalian Napza
Pelayanan Farmasi
Pembiayaan
kesehatan,
kesehatan
perorangan dan auransi kesehatan
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Pelayanan
obstetri
dan
neonatal
emergency dasar
Pelayanan emergency
Surveilans dan pengendalian KLB kurang
gizi
Pencegahan dan pengobatan polio
Pencegahan dan pengobatan TBC
Pencegahan dan pengobatan infeksi
saluran nafas
Pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS
Pencegahan dan pengobatan DBD
Pencegahan dan pengobatan Diare
Pencegahan dan pengobatan Malaria *)
Pencegahan dan pengobatan Kusta *)
Pencegahan dan pengobatan Filaria *)
Kesehatan lingkungan
Pengendalian vektor
Hygiene dan sanitasi tempat umum
Promosi Kesehatan
Promkes
dan
pengendalian
penyalahgunaan obat
Pengadaan obat dan bahan medis
Obat generik
Pembiayaan untuk pelayanan kesehatan
perorangan
Pembiayaan kesehata penduduk miskin
dan risti
61
LAPORAN AKHIR
62
LAPORAN AKHIR
63
LAPORAN AKHIR
64
LAPORAN AKHIR
BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1
Kesimpulan
65
LAPORAN AKHIR
66
LAPORAN AKHIR
vi. Data.
Ketepatan dan kelengkapan laporan dari kabupaten/kota masih
rendah,
Data yang ada belum dilakukan analisis, baik di tingkat propinsi
maupun kabupaten/kota (baru bersifat pengumpulan data).
Sehingga untuk SKD-KLB data yang seharusnya dapat dilihat
/diprediksi diawal untuk kewaspadaan terjadinya KLB, belum
dilakukan.
Validitas data yang dilaporkan tidak pernah dipermasalahkan
Propinsi belum mempunyai sistem peringatan ke kabupaten bila
terjadi keterlambatan atau ketidak lengkapan data.
(4) Kondisi umum Pelaksanaan Surveilans dan Penanggulangan DBD
Ujung tombak pelaksanaan surveilans ada di Puskesmas, namun
belum maksimal melaksanakan surveilans karena keterbatasan
tenaga, sarana dan dana.
Aktivitas surveilans dilakukan oleh Tim Lapangan, sebagai suatu
kegiatan rutin, namun belum maksimal, karena tidak seimbang antar
area yang harus dipantau dengan kemampuan sumberdaya yang
tersedia.
Surveilans mulai diperlukan ketika ada kasus. Namun pada saat
kasus, yang paling menonjol adalah penanggulangan (PE). PE tidak
dilakukan maksimal sesuai prosedur yang ada. Banyak kendala,
antara lain (1) keterbatasan tenaga, (2) Keterbatasan dana, (3)
ketiadaan sarana.
Penyelidikan Epidemiolegi (PE) yang dilakukan Puskesmas belum
maksimal, tidak setiap kasus DBD ditindaklanjuti dengan PE karena
DBD dianggap kasus rutin, akibatnya kegiatan tindak lanjut yang
seharusnya dilakukan tidak berjalan.
Pengobatan dan isolasi penderita dirujuk ke rumah sakit.
Penanggulangan DBD di Rumah sakit relatif tidak masalah, kecuali
kalau ada kasus KLB yang menyebabkan sarana TT tidak mencukupi
Pengobatan dapat dilakukan dengan baik kecuali kalau ada
keterlambatan pengobatan akibat terlambat merujuk
(5) Permasalahan operasional penanganan DBD juga dipengaruhi oleh sistem
kepemerintahan yang belum sepenuhnya dapat mengakomodasi sistem
perencanaan dan sistem keuangan yang baru.
i. Komitmen daerah dalam penyediaan anggaran (APBD) untuk
penanganan penyakit menular belum optimal. Hal ini berkaitan
dengan masih cukup besarnya alokasi dana yang berasal dari APBN
(dalam bentuk DAU, dekonsentrasi maupun tugas perbantuan),
67
LAPORAN AKHIR
5.2
Rekomendasi Kebijakan
68
LAPORAN AKHIR
Berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi yang disampaikan, langkah tindak lanjut yang
diperlukan mencakup
69
LAPORAN AKHIR
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta:
Penerbit Buku KOMPAS
Anies.2006. Manajemen Berbasis Lingkungan, Solusi Mencegah
Menanggulangi Penyaki Menular. Jakarta: Elex Media Komputindo
dan
dan
70
LAPORAN AKHIR
71
LAPORAN AKHIR
72
LAPORAN LAMPIRAN
AKHIR
1
Tenaga
Dana
Sarana
Pengetahuan yang benar
Pelatihan
Metoda pengumpulan data
Potensi komunitas
PROSES
Koordinasi kegiatan
pengumpulan
Validasi
Pengolahan data
Analisis data
Supervisi pengumpulan
Supervisi pengolahan
OUTPUT
Identifikasi masalah
Penyelidikan sebab masalah
Diseminasi
III.
Tenaga
Sarana
Dana
Protap
PROSES
OUTPUT
73
LAPORAN AKHIR
74
LAPORAN AKHIR
7. Informasi Surveilans merupakan hasil output system surveilans yang sudah diolah
dan dianalisis dengan melihat ada dan tidaknya informasi, ketepatan dan
kelengkapan data, dan ketepatan waktu yang diterima oleh pihak-pihak pengambil
keputusan.
8. Pengambilan Keputusan merupakan individu yang bertanggung jawab dalam
pengambilan keputusan dalam kegiatan penanggulangan.
9. Potensi komunitas merupakan peran serta berbagai kelompok komunitas (seperti:
tenaga kesehatan, masyarakat/toma/toga) dalam kegiatan penanggulangan wabah.
Proses
1. Koordinasi lintas sektor merupakan kerjasama antar pihak-pihak yang bertanggung
jawab dalam penanggulangan wabah.
2. Upaya perbaikan kondisi rentan merupakan upaya pencegahan melalui perbaikan
keadaan yang menjadi sebab timbulnya kerentanan.
3. Sistem kewaspadaan dini merupakan pelaksanaan pemantauan terus menerus
terhadap munculnya kerawanan yang terjadi pada unsur-unsur dasar penyebab
terjadinya suatu wabah, dan peningkatan jumlah penderita yang merupakan indikasi
adanya kemungkinan meletusnya suatu wabah.
4. Penyelidikan merupakan proses kegiatan kajian penyelidikan pendahuluan dan
laporan awal, penyelidikan awal dan laporan perkembangan wabah (periodik), dan
penyilidikan wabah yang dilakukan oleh pihak yang bertanggung jawab (Dinas
kesehatan dan pusat).
5. Pelayanan pengobatan merupakan upaya pengobatan terhadap kelompok yang
berisiko.
6. Pencegahan merupakan upaya memutus mata rantai penularan.
7. Surveilans Ketat merupakan upaya pemantauan kecenderungan wabah.
Output
1. Wabah tidak menjadi masalah kesehatan
75
LAPORAN AKHIR
76
LAPORAN AKHIR
LAMPIRAN 2
PELAKSANAAN KEGIATAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyempurnaan Proposal
Dalam rangka memperkaya proposal telah dilakukan beberapa kegiatan
mencakup (1) pelaksanaan brainstorming dengan Tim Pakar, (2) Ekspose Tim
Ahli, serta (3) Diskusi Internal.
(1) Brainstorming dengan Tim Pakar
77
LAPORAN AKHIR
78
LAPORAN AKHIR
Penetapan Responden
Pada setiap Propinsi dan Kabupaten ditetapkan 4 orang responden
mencakup
Kepala Dinas/Subdinas
Kepala Rumah Sakit/Bagian P2M
Kepala Puskesmas pada 2 kecamatan
Perumusan Kuesioner
Rumusan Kuesioner dibuat dalam bentuk pertanyaan terbuka
dan pertanyaan tertutup
Pengelompokkan
didasarkan
pendekatan
sistem
serta
berdasarkan kalster variabel dari konsep penanggulangan
penyakit menular, mencakup (1) aspek surveilans dan (2) aspek
penanggulangan wabah
Kuesioner bersifat terbuka akan dilakukan dalambentuk
interview dan wawancana mendalam
Kuesioner dalam bentuk tertutup akan disampaikan kepada
responden untuk mengisi
Kuesioner Pada LAMPIRAN 1
79
LAPORAN AKHIR
80
LAPORAN AKHIR
LAMPIRAN 3
Struktur Organisasi/Tim Pelaksana
PENANGGUNG JAWAB
Dr. Dedy M. Masykur Riyadi, Deputi SDM dan Kebudayaan
TPRK
1.
2.
3.
4.
5.
NARA SUMBER
1.
2.
3.
4.
5.
TIM PENDUKUNG
1. Nurlaily Aprilianti
2. Sulaeman
81
LAPORAN AKHIR
LAMPIRAN 4
NOTULENSI PEMBAHASAN
DENGAN TIM PAKAR
KAJIAN KEBIJAKAN PENANGGULANGAN
WABAH PENYAKIT MENULAR
Jakarta, 28 Februari 2006
Responden
Pusat: P2M, Yanmedik dan Binkesmas
Propinsi: Kadinkes, Kasubdin P2M, Seksi Surveilance, Bappeda,
Biro Kesra
Kabupaten : idem
Puskesmas : Kepala Puskemas, petugas P2M, staf Kesling
Desa: Ka Desa, Ka RT, LMD/Dewan Kel., Pustu/polindes, Kader
Kesehatan
82
LAPORAN AKHIR
Perlu diperhatikan
Kaitan antara JUDUL, PERUMUSAN
MASALAH, PERTANYAAN PENELITIAN,
TUJUAN, SASARAN dan REKOMENDASI
83
LAPORAN AKHIR
LAMPIRAN 5
POKOK-POKOK PIKIRAN
EKSPOSE TIM AHLI
Kajian Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular
Jakarta, 5 April 2006
I. METODOLOGI KAJIAN
1. Pendekatan kajian:
84
LAPORAN AKHIR
RUMAH SAKIT
Pelayanan gawat darurat masih di bawah standar
Sistem monev periodik antar pusat dan daerah belum
terbangun
Insentif petugas perlu menjadi perhatian
Kelengkapan sarana, sesuai dengan kasus penyakit
85
LAPORAN AKHIR
86
LAPORAN AKHIR
PKM
Rumah
Sakit
Bapp
Masy
4
5
1
1
2
1
1
1
Propinsi/Kab
Dinas
Riau
1. Kota Pekanbaru
2. Kab. Siak
Jawa Barat
1. Kota Bandung
2. Kab. Bogor
Jawa Timur
1. Kota Surabaya
2. Kab. Gresik
Kalimantan Timur
1. Kota Samarinda
2. Kota Balikpapan
Sulawesi Selatan
1. Kota Makasar
2. Kab. Gowa
Nusa Tenggara Barat
1. Kota Mataram
2.
Kab
Lombok
Tengah
TOTAL
5
3
2
3
2
2
1
1
2
2
1
2
2
1
2
3
2
3
4
6
2
3
1
1
2
0
47
43
21
15
13
Jml
26
20
3
2
2
1
1
2
1
1
3
4
2
1
1
1
1
1
2
2
1
4
2
1
2
1
4
4
1
2
1
1
1
1
18
13
20
25
122
87
LAPORAN AKHIR
88
LAPORAN AKHIR
89
LAPORAN AKHIR
90
LAPORAN AKHIR
91