Proposal Evaluasi Surveilans
Proposal Evaluasi Surveilans
PROPOSAL
EVALUASI SISTEM SURVEILANS PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEDARURATAN
KESEHATAN MASYARAKAT (KKM) CORONA VIRUS DISEASE 19 (COVID-19)
PADA KAPAL LAUT DI PELABUHAN SOEKARNO HATTA MAKASSAR
KANTOR KESEHATAN PELABUHAN (KKP) KELAS 1 MAKASSAR
OLEH :
A. Latar Belakang
Era globalisasi seperti ini terjadi kemajuan yang sangat pesat terutama di
bidang transportasi, yang membuat seseorang dapat melakukan perjalanan lintas
benua dari satu negara ke negara lainnya hanya dengan beberapa jam sehingga
menyebabkan terjadinya pergeseran epidemiologi penyakit. Hal ini ditandai dengan
penularan penyakit dari satu benua ke benua yang lainnya. Globalisasi akan
melancarkan perjalanan penyakit antar negara yang dimungkinkan oleh jumlah
perpindahan populasi dari suatu negara ke negara lainnya (Jamaluddin, 2016)
Permasalahan kesehatan dalam jangka panjang di Indonesia dari waktu ke
waktu akan semakin kompleks. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan
17.504 pulau yang terdiri dari pulau besar/ kecil serta memiliki posisi yang sangat
strategis karena diapit oleh dua benua dan dua samudera serta berada pada jalur lalu
lintas perdangan internasional dengan banyaknya pintu masuk ke wilayah Indonesia.
Hal ini merupakan suatu peluang, tetapi juga merupakan faktor risiko untuk
terjadinya penyebaran penyakit dan gangguan kesehatan. Hal ini memperbesar risiko
masuk dan keluarnya penyakit menular (new infectious diseases, emerging infectious
diseases, dan re-emerging infectious diseases), dimana ketika pelaku perjalanan
memasuki pintu masuk negara gejala klinis penyakit belum tampak. Disamping
kemajuan teknologi di berbagai bidang lainnya yang menyebabkan pergeseran
epidemiologi penyakit, ditandai dengan peregerakan kejadian penyakit dari satu
benua ke benua lainnya, baik pergerakan secara alamiah maupun pergerakan melalui
komiditas barang di era perdagangan bebas dunia yang dapat menyebabkan
peningkatan faktor risiko (UUD No 6 Tahun 2018).
Dalam 30 tahun terakhir ini telah muncul lebih dari 30 Penyakit Infeksi
Emerging (PIE) yang disebabkan munculnya organisme baru. Riset ilmiah terhadap
335 penyakit baru yang ditemukan antara tahun 1940 dan 2004 mengindikasikan
bahwa negara-negara yang berhubungan dengan Dataran Indo-Gangga dan DAS
Mekong menjadi hotspot global kemunculan PIE. Virus Nipah, demam berdarah
Crimean-Congo, dan avian influenza A (H5N1) merupakan contoh penyakit yang
telah muncul baru-baru ini dan menyerang Kawasan Asia Tenggara. Dampak yang
ditimbulkan dari sebuah penyakit baru sulit diprediksi namun diketahui bisa sangat
bermakna, karena pada saat penyakit baru itu menyerang manusia, mungkin hanya
sedikit kekebalan yang dimiliki manusia atau bahkan tidak ada sama sekali.
Kawasan Asia Tenggara menurut WHO memiliki kondisi yang mengundang
munculnya Penyakit Infeksi Emerging (PIE). Sebagai contoh, bersirkulasinya
berbagai tipe virus influenza di daerah yang memiliki peternakan unggas besar
sekaligus peternakan babi yang tidak dikelola sesuai standar kesehatan sehingga
memungkinkan terjadinya percampuran/kontaminasi produk hewan, menjadi media
(incubator) yang cocok untuk terjadinya percampuran beberapa virus influenza dan
berpotensi memunculkan strain virus baru atau bahkan virus baru. Terdapat faktor
yang mempercepat kemunculan penyakit baru, yaitu yang memungkinkan agen
infeksi berkembang menjadi bentuk ekologis baru agar dapat menjangkau dan
beradaptasi dengan inang yang baru, serta agar dapat menyebar lebih mudah di antara
inang-inang baru. Faktor-faktor itu antara lain urbanisasi dan penghancuran habitat
asli (memungkinkan manusia dan hewan hidup lebih dekat); perubahan iklim dan
ekosistem; perubahan dalam populasi inang reservoir atau vektor serangga perantara;
dan mutasi genetik mikroba (Bulletin PIE Kemenkes, 2017)
Penyakit Infeksi Emerging adalah penyakit yang muncul dan menyerang
suatu populasi untuk pertama kalinya atau telah ada sebelumnya namun meningkat
dengan sangat cepat, baik dalam jumlah kasus baru di dalam satu populasi, ataupun
penyebarannya ke daerah geografis yang baru (re-emerging infectious disease).
Termasuk kelompok PIE adalah penyakit yang pernah terjadi di suatu daerah di masa
lalu, kemudian menurun atau telah dikendalikan, namun kemudian dilaporkan lagi
dalam jumlah yang meningkat. Bentuk lainnya lagi adalah penyakit lama yang
muncul dalam bentuk klinis yang baru, yang bisa jadi lebih parah atau fatal. Penyakit
Infeksi Emerging mendapat perhatian khusus dan menjadi masalah kesehatan
masyarakat serius. Kekhawatiran akan PIE tidak hanya karena dapat menimbulkan
kematian, tetapi juga karena dapat membawa dampak sosial dan ekonomi yang besar
dalam era globalisasi, saat seluruh dunia saling terhubung. Sebagai contoh, perkiraan
biaya langsung yang ditimbulkan saat SARS menjadi pandemi di Kanada dan negara-
negara Asia adalah sekitar 50 miliar dolar AS. Dampak PIE semakin besar bila
terjadi di negara berkembang yang relatif memiliki sumber daya lebih terbatas
dengan ketahanan sistem kesehatan masyarakat yang tidak sekuat negara maju.
Penyakit Infeksi Emerging sangat tinggi berpotensi menyebar atau biasa
disebut dengan epidemi, pandemi dan bisa berstatus sebagai PHEIC/KKMMD.
Untuk lebih jelasnya kita perlu mengetaui apa yang dimaksud dengan epidemi,
pandemi dan PHEIC/KKMMD. Epidemi adalah kenaikan kejadian suatu penyakit
yang berlangsung cepat dan dalam jumlah insidens yang di
perkirakan. Pandemi adalah penyebaran luas (mendunia) penyakit baru karena agen
biologis. Sedangkan PHEIC/KKMMD merupakan kependekan dari Public Health
Emergency of International Concern (PHEIC)/Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
yang Meresahkan Dunia (KKMMD), artinya masalah kesehatan masyarakat global
yang memerlukan kerjasama internasional sesuai ketetapan dalam IHR 2005
(International Health Regulation / Peraturan Kesehatan Internasional) (Bulletin PIE
Kemenkes, 2017).
PHEIC/KKMMD adalah kejadian luar biasa yang mengancam kesehatan
masyarakat negara lainnya melalui penyebaran global dan penanggulangannya
memerlukan respons internasional yang terkoordinir dimana Negara perlu
melaporkan setiap kejadian yang berpotensi menjadi PHEIC yang ditetapkan oleh
Dirjen WHO (Kemenkes, 2013)
Perbedaan ketiga kondisi di atas yakni epidemi, pandemi dan KKMMD ini
dapat diikuti jika kegiatan surveilans benar-benar dilakukan secara
berkesinambungan dan terpadu. Surveilans epidemiologi adalah kegiatan
pengamatan secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-
masalah kesehatan serta kondisi yang mempengaruhi risiko terjadinya penyakit atau
masalah-masalah kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan penanggulangan
secara efektif dan efisien (Bulletin PIE Kemenkes, 2017)
Kasus wabah yang masuk Indonesia bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya lemahnya pengawasan terhadap pintu masuk wilayah negara maupun
kegiatan surveilans epidemiologi yang belum maksimal, sehingga wabah tersebut
bisa menyebar di Indonesia. Guna mengantisipasi ancaman penyakit global dan
kesehatan masyarakat menjadi perhatian dunia internasional, maka dalam
International Health Regulations 2005 disebutkan bahwa surveilans epidemiologi
merupakan salah satu kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh setiap unsur di
suatu negara (Kemenkes RI 2007) untuk menghadapi kondisi di atas diperlukan
kesiapsiagaan pemerintah agar tidak terjadi kasus kesehatan bersifat importasi yakni
sumber kedaruratan berasal dari luar wilayah dan episenter dari wilayah kerja.
Karakteristik PHEIC/KKMMD yakni mengakibatkan kejadian serius terhadap
kesehatan masyarakat, kejadian yang tidak biasa/tidak diperkirakan, berisiko
menyebar secara internasional, dan berisiko terhadap pembatasan
perjalanan/perdagangan internasional sehingga kemampuan pemerintah dalam
mencegah (to prevent), mendeteksi dini (to detect), dan menangani kasus sedini
mungkin (to response) akan mempengaruhi sejauh mana besaran beban penyakit
terhadap kejadian PHEIC/KKMMD (Bulletin PIE Kemenkes, 2017)
Jika ditinjau dari sistem pelayanan kesehatan Indonesia, yang berperan
sebagai ujung tombak sistem surveilans pelayanan kesehatan dan diberikan otoritas
kewenangan penuh oleh Kementerian Kesehatan sebagai unit pelaksana teknis di
seluruh pintu keluar masuk wilayah Indonesia meliputi pelabuhan laut, pelabuhan
udara dan pos lintas batas darat negara adalah Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP)
dengan salah satunya yakni unit wilayah KKP Kelas 1 Makassar. Sebagai sarana
pelayanan kesehatan terdepan, KKP memiliki tugas cegah tangkal penyakit dari dan
ke Indonesia dengan melakukan pengawasan terhadap orang, barang, alat angkut dan
lingkungan, khususnya pengawasan penyakit menular potensial wabah yang dapat
menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian dunia
khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat serta wilayah Indonesia
secara luas (Kemenkes RI, 2007)
Pelabuhan Makassar dan wilayah kerja KKP Kelas 1 Makassar merupakan
tempat berlabuhnya berbagai jenis kapal baik dari jenis kontainer maupun jenis kapal
penumpang dalam rangka meningkatkan kewaspadaan atas berbagai hal KKP Kelas
1 Makassar melakukan pengawasan kedatangan maupung keberangkatan kapal (alat
angkut dan barang) dan penumpang (orang) dari negara/wilayah terjangkit maupun
daerah tidak terjangkit melalui kegiatan pemeriksaan dokumen kesehatan dan faktor
risiko kesehatan. Pelabuhan Makassar sebagai salah satu pintu gerbang negara
Kesatuan Republik Indonesia diharapkan memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi
berbagai masalah kesehatan untuk meminimalisir segala dampak yang mungkin
dapat terjadi dan menghadapi kejadian masalah-masalah kesehatan terutama masalah
kesehatan masyarakat yang kita sebut sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
(KKM) yakni penyakit akibat penyebaran virus yakni Polio, Ebola, MersCov, dan
lainnya sedangkan melalui reservoir vektor/binatang dan lingkungan yakni Zika, Flu
Burung (H5N1), SARS, Demam Kuning (Yellow Fever) dan lainnya serta yang
terbaru tahun 2019 adalah Corona Virus Disease (Covid-19) merupakan beberapa
contoh penyakit yang pernah menyebar ke berbagai negara dan menjadi perhatian
dunia internasional dan dunia telah mencatat sejarah adanya kejadian penyakit yang
menyebabkan peningkatan signifikan terhadap angka kesakitan dan angka kematian
(KKP, 2018)
Berdasarkan Data Profil KKP Kelas 1 Makassar, sejak Tahun 2016-2020
jumlah kedatangan dan keberangkatan kapal mengalami fluktuasi dan tahun 2020
jumlah kedatangan kapal yang dilakukan pengawasan karantina karena berasal dari
wilayah terjangkit baik dalam dan luar negeri sebanyak 4.200 kapal sedangkan dari
wilayah tidak terjangkit sebanyak 10.130 kapal. Pengawasan jumlah keberangkatan
kapal dalam negeri pada tahun 2020 sebanyak 14.008 kapal dengan jumlah tertinggi
kedatangan terjadi di bulan September sedangkan pengawasan kapal dalam karantina
ke luar negeri sebanyak 318 kapal dengan jumlah tertinggi keberangkatan pada bulan
Oktober. Pengawasan terhadap pelaku perjalanan/penumpang dan awak kapal
dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan suhu tubuh baik menggunakan thermall
scanner/thermometer infrared maupun thermogun serta pemeriksaan deteksi dini
faktor risiko khususnya pada awakkapal. Tahun 2020 intensitas kedatangan
penumpang dengan jumlah tertinggi terjadi pada bulan Januari sebanyak 96.895
orang dari total jumlah kedatangan sebanyak 714.511 orang dan intensitas
keberangkatan penumpang dengan jumlah tertinggi terjadi di bulan Januari sebanyak
137.321 orang dari total jumlah keberangkatan sebanyak 769.081 orang. Pelaksanaan
pengawasan terhadap awak kapal khususnya yang berasal dari luar negara terjangkit
jumlah kedatangan selama tahun 2020 sebanyak 4.710 orang sedangkan dalam negeri
wilayah terjangkit sebanyak 76.744 orang sedangkan keberangkatan awak kapal
selama tahun 2020 sebanyak 4.949 orang yang berangkat ke negara terjangkit
sedangkan dalam negeri jumlah awak kapal yang berangkat ke wilayah terjangkit
sebanyak 74.266 orang. Dapat disimpulkan bahwa dari seluruh kegiatan pengawasan
yang dilakukan baik kedatangan maupun keberangkatan dapat menimbulkan
penyakit-penyakit potensial wabah/KLB dari dalam/luar negeri wilayah terjangkit
maupun tidak terjangkit (KKP 2021)
Pada tahun 2003 kasus Flu burung (H5N1) ditemukan pertama kalinya di
China, wabah tersebut meluas ke beberapa negara dan pada tahun 2005 kasus flu
burung terjadu di Indonesia. Mulai tahun 2005 hingga Juni 2014 jumlah kejadian
kasus di Indonesia sebanyak 197 kasus dengan 165 kasus diantaranya meninggal
dunia (Case Fatality Rate/CFR sebesar 83,7%) (Kemenkes, 2014).
Demam kuning adalah penyakit demam berdarah (hemoragik) virus akut
yang ditularkan oleh nyamuk yang terinfeksi virus penyebab demam
kuning. Penyebab penyakit demam kuning adalah virus yang tergolong dalam genus
Flavivirus, kelompok besar virus RNA. Di kawasan hutan, secara alamiah virus
demam kuning hidup dan memperbanyak diri pada tubuh primata selain manusia,
biasanya monyet dan simpanse. Virus ini dapat ditularkan ke manusia melalui
perantara (vektor) nyamuk. Nyamuk perantara (vektor) penyakit demam kuning di
kawasan hutan Afrika adalah Aedes africanus (terutama) dan spesies Aedes lainnya.
Di Amerika Selatan, vektor utamanya adalah spesies Haemagogus dan Sabethes. Di
daerah perkotaan dari Afrika dan Amerika Selatan, vektornya adalah Aedes aegypti.
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit menular yang berbahaya. Tingkat
kematian penyakit ini berkisar 20-50%, namun pada kasus berat dapat melebihi 50%.
Belum ditemukan pengobatan spesifik untuk penyakit ini (Bulletin PIE Kemenkes,
2017)
Penyebaran penyakit lainnya yakni penyakit Mers-Cov yang merupakan suatu
strain virus corona yang sebelumnya belum pernah ditemukan menginfeksi manusia.
Coronavirus merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit pada
manusia dan hewan. Pada manusia biasanya menyebabkan penyakit infeksi saluran
pernapasan, mulai flu biasa hingga penyakit yang serius seperti Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Sindrom Pernafasan Akut Berat/ Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS). Virus ini diketahui pertama kali menyerang manusia
di Jordan pada April 2012, namun kasus yang pertama kali dilaporkan adalah kasus
yang muncul di Arab Saudi pada September 2012. Sampai saat ini, semua kasus
MERS berhubungan dengan riwayat perjalanan menuju, atau menetap, di negara-
negara sekitar Semenanjung Arab. Kejadian Luar Biasa (KLB) MERS terbesar yang
terjadi di luar Semenanjung Arab, terjadi di Republik Korea Selatan pada 2015. KLB
tersebut berhubungan dengan pelaku perjalanan yang kembali dari Semenanjung
Arab. Berdasarkan informasi laporan WHO sejak september 2012 sampai dengan 30
Juni 2018 ditemukan kasus konfirmasi sebanyak 2.229 dengan 85% diantaranya
dilaporkan dari Negara Arab Saudi dan angka CFR sebesar 35,5%, sedangkan di
Indonesia meskipun status “Zero Case” Mers-Cov namun dengan analisa demografi
penduduk yang bergama muslim dan melaksanakan ibadah haji ke negara Arab Saudi
sehingga ancaman Mers-Cov perlu diwaspadai, dan pengawasan atas penyakit
tersebut tetap perlu diperketat melalui pengawasan faktor risiko dan juga pencegahan
spesifik melalui imunisasi meningitis. Hingga saat ini jumlah kasus konfirmasi
Mers-Cov di beberapa negara terjangkit selain Arab Saudi yakni Yordania, Qatar,
Inggris, Jerman, Prancis , Italia dan Tunisia (Kemenkes, 2013).
Pada Desember 2019, coronavirus jenis baru yang ditemukan pada manusia
sejak kejadian luar biasa muncul di Wuhan Cina kemudian diberi nama Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV2), dan menyebabkan
penyakit Coronavirus Disease-2019 (COVID-19). COVID-19 disebabkan oleh
SARS-COV2 yang termasuk dalam keluarga besar coronavirus yang sama dengan
penyebab SARS pada tahun 2003, hanya berbeda jenis virusnya. Gejalanya mirip
dengan SARS, namun angka kematian SARS (9,6%) lebih tinggi dibanding COVID-
19 (kurang dari 5%), walaupun jumlah kasus COVID-19 jauh lebih banyak
dibanding SARS. COVID-19 juga memiliki penyebaran yang lebih luas dan cepat ke
beberapa negara dibanding SARS. Berdasarkan informasi laporan WHO dan
Kemenkes melalui situs Data Penyakit Infeksi Emerging pada Maret 2022 tercatata
situasi global jumlah kasus konfirmasi Covid-19 sebanyak 434.154.729 kasus
dengan tingkat angka kematian sebesar 1,4% (5.944.342 kasus) dari total 228 negara
terjangkit di dunia, sedangkan di Indonesia jumlah kasus terkonfirmasi sebesar
5.564.448 kasus dengan angka kematian sebesar 2,7%(148.335 kasus) dan tingkat
kesembuhan sebesar 87.4% yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia baik status
transmisi lokal maupun komunitas (PIE Kemenkes, 2022)
Untuk melaksanakan tanggap darurat kesehatan yang adekuat, maka perlu
disusun suatu Rencana Kontijensi secara terintegrasi baik di wilayah kabupaten/ kota
dan juga di pintu masuk (bandara, pelabuhan dan pos lintas batas negara). Hal ini
penting karena upaya penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat harus
dilakukan secara terintegrasi. Pada kondisi situasi kedaruratan benar-benar terjadi,
rencana kontinjensi yang sudah disusun dapat diaktivasi menjadi rencana operasi
penanggulangan dengan penyesuaian-penyesuaian situasi di lapangan. Dalam
menyusun rencana kontinjensi kedaruratan kesehatan masyarakat, perlu juga
memperhitungkan dampak ikutan (collateral impact) atau kedaruratan kedua yang
mungkin terjadi, seperti kemungkinan adanya isolasi wilayah yang memberikan
dampak ekonomi, kerusuhan sosial dan lain-lain yang mungkin memerlukan skenario
tersendiri dan penanganan kedaruratan yang memerlukan keahlian, keterampilan dan
kompetensi khusus serta sumber daya yang bersifat spesifik melalui penyusunan
rencana kontijensi.
Rencana Kontijensi berisi instrumen kesiapsiagaan, deteksi dini dan respon
cepat dalam hal menghadapi kemungkinan terjadinya Kedaruran Kesehatan
Masyarakat (KKMMD) sebagai bentuk upaya terintegrasi dalam kesiapsiagaan dan
penanggulangan (cegah tangkal) keluar masuknya penyakit berpotensial di Indonesia
melalui kapal yang masuk ke wilayah Pelabuhan Makassar.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui kelemahan sistem surveilans pelaksanaan pengawasan
pencegahan dan penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat penyakit
Covid-19 pada Kapal Laut di Pelabuhan Makassar wilayah kerja Kantor
Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas 1 Makassar.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran sistem surveilans pelaksanaan pengawasan pencegahan
dan penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat penyakit Covid-19
pada Kapal Laut di Pelabuhan Makassar wilayah kerja Kantor Kesehatan
Pelabuhan (KKP) Kelas 1 Makassar
b. Mengetahui faktor penyebab kelemahan sistem surveilans pencegahan dan
penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat penyakit Covid-19 di
Pelabuhan Makassar wilayah kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas
1 Makassar.
BAB II
ANALISIS KELEMAHAN/KEBUTUHAN SISTEM SURVEILANS
5. Level Integrasi
Koordinasi dalam penyelenggaraan Surveilans Kesehatan diarahkan untuk
menyelaraskan, mengintegrasikan, mensinergikan dan memaksimalkan pengelolaan data
dan/atau informasi agar proses pengambilan keputusan dalam rangka intervensi lebih
berhasil dan berdaya guna(Kemenkes RI, 2014b). Koordinasi dalam penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan dilakukan oleh seluruh unit surveilans kesehatan, maupun antar
unit di instansi pemerintah serta pihak pihak tertentu yang memiliki peran yang relevan
dengan kegiatan surveilans.
Kemitraan merupakan hubungan kerjasama antar berbagai pihak yang strategis,
bersifat sukarela, dan berdasar prinsip saling membutuhkan, saling mendukung, dan
saling menguntungkan dengan disertai pembinaan dan pengembangan secara timbal
balik. Dalam hal kesehatan, kemitraan diperlukan untuk melaksanakan program
kesehatan hingga mencapai tujuan yang diharapkan (Kemenkes RI, 2014)
Adapun peran dari masing-masing instansi dijabarkan dalam rencana kontijensi
pencegahan dan penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat sebagai berikut :
a) Kantor Kesyahbandaran utama Makassar sebagai koordinator di Pelabuhan
b) Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Makassar sebagai penanggung jawab teknis
kesehatan (Pejabat Kekarantinaan) di Pelabuhan
c) Kantor Imigrasi sebagai penanggung jawab urusan keimigrasian
d) Kantor Bea dan Cukai sebagai penanggung jawab pemeriksaan barang di lokasi
khusus
e) POLRI dan TNI melakukan pengamanan di Ring II, Ring I dan kapal yang di
Karantina serta di Asrama Karantina
f) KSOP sebagai penanggung jawab di pelabuhan, menyiapkan logistik berupa posko
dan peralatan lain yang dibutuhkan di daerah pelabuhan
g) Rumah Sakit, menerima dan menangani rujukan penumpang, Nahkoda/ABK yang
sakit
h) Dinas Kesehatan Kota Makassar sebagai penanggung jawab kesehatan wilayah,
melakukan koordinasi dengan seluruh stake holder terkait. Memberikan perintah dan
penyediaan sarana dan prasarana di RS Rujukan dan apabila memungkinkan
membantu pelaksanaan penanggulangan di Pelabuhan Makassar serta menyiapkan
posko informasi akibat KLB/Wabah/KKMMD
i) Badan Penanggulangan Bencana Daerah, melakukan evakuasi dan penyiapan logistik
yg berkaitan dengan bencana
j) Badan Karantina Pertanian, Melakukan pemeriksaan barang komoditi pertanian dan
turunannya dilokasi khusus
k) Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika, melakukan pemberian informasi
kepada masyarakat dan pengamanan jalur evakuasi
l) Agen Pelayaran, melakukan komunikasi antara kapal yg suspect dengan petugas di
Posko.
6. Bagan Alur Dari Sistem Surveilans
Adapun kegiatan dan alur sisten surveilans dalam rencana kontijensi diuraikan
sebagai berikut :
a) Mensinkronkan kegiatan operasional lapangan diantara pemangku kepentingan antara
lain, lintas sektor terkait, masyarakat, LSM dll.
b) Melaksanakan pemantauan kegiatan melalui supervisi, laporan harian dan laporan
insidentil (setiap ada masalah yang perlu segera diselesaikan)
c) Melaporkan setiap saat bila mendapat masalah kedaruratan yang membutuhkan
keputusan segera kepada para penentu kebijakan dan posko KLB sesuai hirarki
kewenangan dan tanggungjawab
d) Melakukan komunikasi dengan berbagai pihak terkait sesuai kewenangan dan
tanggungjawab
e) Menerima informasi dan pertanyaan serta memberi jawaban atas pertanyaan dari
berbagai pihak termasuk masyarakat dan memberikan jawaban sesuai dengan
kewenangannya.
f) Melakukan diseminasi informasi ke media massa sesuai dengan perkembangan situasi
g) Melakukan evaluasi kegiatan penanggulangan.
Surveilans epidemiologi secara umum bisa digambarkan dengan diagram alur sebagai
berikut (Depkes, 2004):
A. Rancangan Evaluasi
Evaluasi ini menggunakan rancangan deskriptif untuk mengetahui gambaran sistem
surveilans dan faktor penyebab kelemahan sistem surveilans pelaksanaan pengawasan
pencegahan dan penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat penyakit Covid-19
pada Kapal Laut di Pelabuhan Makassar.
C. Subjek evaluasi
Metode pengambilan sampel menggunakan exhaustive sampling. Unit analisis
evaluasi program ini adalah anggota tim gerak cepat (TGC) yang terlibat pada
pengawasan pencegahan dan penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat
penyakit Covid-19 di Pelabuhan Soekarno Hatta. Responden yang diwawancarai yaitu
tim gerak cepat (TGC) KKP Kelas 1 Makassar di Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar
sebanyak …….
D. Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara dan observasi
pelaksanaan surveilans kepada responden atau subjek penelitian, sedangkan data
sekunder diperoleh melalui pencatatan dan pelaporan tim gerak cepat (TGC) terkait hasil
pengawasan pelaku perjalanan/awak kapal di Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar.
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAT
Field Epidemiology Training Program (FETP) Indonesia
A. Identitas Responden
A.1 Nama Puskesmas : ………………………
A.2 Kecamatan : ………………………
A.3 Nama Responden : ……………………....
A.4 Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan
A.5 Umur : ………………………
A.6 Pendidikan Terakhir 1. SD
2. SMP
3. SMA
4. DIII Kesehatan
5. S1
6. S2
7. Lain-lain, sebutkan …………………..
A.7 Jabatan Tim Gerak Cepat Covid-19
A.8 Lama Menjabat : …….. tahun
A.9 Tugas Rangkap 1. Tidak Ada
2. Ada, yaitu:
a. …………………
b. …………………
c. …………………
d. …………………
= = TERIMA KASIH = =
5
6