Anda di halaman 1dari 30

BAB II

LANDASAN TEORI
2.1. Umum
Pengembangan sumber daya air dalam peningkatan produksi pangan merupakan
hal yang sangat penting dalam usaha pertanian, dimana irigasi merupakan salah satu
bagian dari program intensifikasi pertanian. Peningkatan efisiensi penggunan air irigasi
merupakan salah satu bentuk pengembangan sumber daya air bagi pertanian.
Penggunaan air irigasi ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 23 pasal 4
dan 7 tahun 1982 tentang irigasi, yaitu air irigasi digunakan untuk mengairi tanaman,
selain itu digunakan untuk mengairi pemukiman, ternak, dan lain sebagainya. Namun
Peraturan Pemerintah tersebut sudah tidak berlaku lagi dalam era otonomi daerah. Maka
terdapat pembaharuan Peraturan Pemerintah mengenai irigasi yaitu Peraturan
Pemerintah No. 20 tahun 2006.
Dalam pembangunan proyek irigasi banyaknya air yang diperlukan untuk
pertanian harus diketahui dengan tepat, sehingga pemberian air irigasi dapat seefisien
mungkin. Besar kebutuhan air irigasi ditentukan oleh banyak faktor, terutama
tergantung pada macam tanaman dan masa pertumbuhan tanaman sampai produksi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya pemakaian air irigasi adalah
sebagai berikut :
a) Jenis tanaman
b) Cara pemberian air
c) Jenis tanah yang digunakan
d) Cara pengelolaan dan pemeliharaan saluran dan bangunan dengan memperhitungkan
kehilangan air antara 30% - 45%
e) Waktu tanam berurutan,berselang lebih dari dua minggu sehingga memudahkan
pengaturan cara pemberian air (giliran)
f) Pengolahan tanah
g) Iklim dan keadaan cuaca, meliputi curah hujan, kecepatan angin, letak lintang, lama
penyinaran matahari, kelembaban udara dan suhu udara.
2.2. Data Klimatologi
Untuk menganalisa kondisi hidrologi suatu daerah harus diketahui karakteristik
iklim di suatu daerah tersebut. Ini mempunyai arti bahwa data klimatologi yang
8

2
merupakan bagian dari data hidrologi sangat diperlukan dalam pengembangan dan
pengaturan sumber-sumber air seperti halnya untuk keperluan ketersediaan air.
Data-data yang diperoleh dari stasiun klimatologi adalah temperatur rata-tara (t),
kelembaban nisbi rata-rata (Rh), lama penyinaran matahari (n/N) dan kecepatan angin
(u). Setelah itu data-data tersebut digunakan untuk menghitung evaporasi potensial
dengan Metode Penmann (Suharjono, 1990 : 39) dengan rumus sebagai berikut :
Eto = C x Eo*

( 2.1 )

Dengan :
Eto

= Evaporasi potensial (mm/hari)

= Angka koreksi Penmann

Eo*

= Evaporasi (mm/hari)

2.3 Curah Hujan


2.3.1 Curah hujan andalan
Curah hujan andalan adalah curah hujan yang diandalkan tersedia setiap
beberapa tahun sekali, sesuai dengan kala ulang yang diambil. Curah hujan rancangan
adalah jumlah curah hujan yang diperlukan untuk menyusun suatu rancangan
pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir. Besarnya adalah sebesar curah
hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan.
Cara menghitung curah hujan andalan adalah melalui ketentuan sebagai berikut :
a. Curah hujan bulanan dari stasiun A diurutkan mulai yang terkecil sampai yang
terbesar.
b. Berdasarkan oleh perhitungan yang dilakukan oleh Harza Engineering Crop
International, R80 dapat diartikan bahwa dari 10 kejadian, curah hujan yang
direncanakan tersebut akan terlampaui sebanyak 8 kali.
Rumus Umum : ( Sumber : Diktat perkuliahan Hidrologi Terapan)
n
R80
1
100 /(100 80)

( 2.2 )

R80

n
1
5

(2.3 )

R90

n
1
10

( 2.4 )

Dengan :
R80 = curah hujan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 80%

3
n

= periode tahun pengamatan

2.3.2 Curah hujan efektif


Analisa data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan curah hujan efektif sebagai
salah satu komponen analisis kebutuhan air untuk tanaman.
Tidak semua curah hujan yang jatuh di atas permukaan tanah dapat
dimanfaatkan tanaman untuk pertumbuhannya, ada sebagian yang menguap dan
mengalir sebagai limpasan permukaan. Air hujan yang jatuh di atas permukaan dapat
dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Curah hujan nyata, yaitu sejumlah curah hujan yang jatuh pada periode tertentu.
2. Curah hujan efektif, yaitu sejumlah curah hujan yang jatuh pada suatu daerah
ataupun petak sawah semasa pertumbuhan tanaman dan dapat dipakai untuk
memenuhi kebutuhan air tanaman.
Dari dua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa curah hujan efektif
merupakan sebagian saja dari curah hujan nyata.
Cara menghitung curah hujan efektif adalah melalui ketentuan sebagai berikut :
1. Curah hujan yang lebih kecil atau sama dengan 5 mm/hari pada suatu hari, tidak
dianggap sebagai curah hujan efektif.
2. Curah hujan antara 5-36 mm/hari per hari diperhitungkan sebagai curah hujan
efektif, sedangkan curah hujan yang lebih besar dari 36 mm/hari dianggap hanya
sebesar 36 mm/hari yang efektif.
3. Curah hujan yang berturut-turut setiap hari, jumlahnya diperhitungkan sebagai curah
hujan efektif. Jika curah hujan diselingi satu hari tidak ada hujan, tetap dianggap
sebagai curah hujan berturut-turut dan diperhitungkan sebagai curah hujan efektif.
Jumlah hujan berturut-turut 30 + 6hh ( hh : jumlah hari hujan yang dihitung).
4. Curah hujan yang tidak berurutan, dimana dua hari sebelumnya dan dua hari
sesudahnya tidak terjadi hujan, tidak diperhitungkan sebagai curah hujan efektif.
Kegunaan curah hujan efektif :
1. Untuk perhitungan kebutuhan air untuk irigasi.
2. Untuk merencanakan sistem saluran irigasi dan drainasi di lahan irigasi.
Cara mendapatkan curah hujan efektif lainnya yaitu dengan :
A. Sanyu consultant int inc.
Digunakan dalam Report Tajum Irrigation Project Final Report volume I, April
1970.
1. Menggunakan Metode Hazen

4
2. Dibandingkan dengan actual record, dengan memperhatikan ketentuan curah
hujan efektif sebagai berikut :

Curah hujan harian < 5 mm dianggap tidak efektif untuk pertumbuhan


tanaman.

Curah hujan harian antara 5-36 mm dianggap curah hujan efektif.

Curah hujan harian berturut-turut :


1) < 30 mm dianggap curah hujan efektif.
2) Diselingi satu hari tidak hujan masih dianggap curah hujan efektif.
3) Bila curah hujan efektif melebihi,
Re = 30 + 6x atau curah hujan perhitungan > Re maka curah hujan
efektif = Re perhitungan.
4) Apabila jumlah hujan berturut-turut < Re perhitungan, maka curah hujan
efektif = jumlah curah hujan harian berturut-turut.

B. HATHI
1. Ra < 6,7
Reff = 0
2. 6,7 < Ra < 30
Reff = Ra 6,7
3. 30 < Ra < 100
Reff = (43 Ra 747)0,5

( 2.5 )

4. Ra > 100
Reff = 0,3 (Ra 100) + 60

( 2.6 )

C. HARZA
1. Ra < 5
Reff = 0
2. 5 < Ra < 50
Reff = Ra
3. Ra > 50
Reff = 50
D. Hidrologi and Operation Studies Review of Dums SMEC, September 1985
1. Jika curah hujan andalan < 6,7 mm, maka curah hujan efektif = 0
2. Jika 6,7 mm < curah hujan andalan < 30 mm, maka curah hujan efektif = curah
hujan andalan - 6,7 mm

5
3. Jika 30 mm < curah hujan andalan < 100 mm, maka curah hujan efektif
Reff = (43Ra-747)o,s

( 2.7 )

4. Jika curah hujan andalan > 100 mm, maka curah hujan efektif
Reff = 0,3 (Rad-100) + 60

( 2.8 )

E. Snowy Mountain digunakan dalam River Basin Developrnent Project Serayu di


Jawa Tengah.
1. Dengan metode Gumbel.
2. R90 dari curah hujan rata-rata bulanan, kemudian dikalikan 60% menjadi curah
hujan efektif.
F. Nedeco digunakan dalam Pemali Comal Project di Jawa Tengah dan Proyek
Sedang di Sulawesi Selatan.
1. Bila n pengamatan > 30 tahun maka nilainya adalah R90 bulanan
2. Bila n = 20 30, maka nilai curah hujan efektif adalah R80 bulanan
3. Bila n terbatas (misal < 20 tahun) maka curah hujan efektif = 30% - 60% x
curah hujan bulanan rata-rata
G. Nedeco - Snowy Mountain digunakan dalam Cirebon-Cimanuk Project di
Propinsi Jawa Barat.
1. Untuk curah hujan bulanan rata-rata 0 - 50 mm dianggap curah hujan efektif
2. Untuk curah hujan bulanan rata-rata 50 - 125 mm maka curah hujan efektif =
curah hujan tersebut x 60%
H. Feasilibility Study Report On The Widas Irrigation Project (Brantas Multy
Purpose Project)
1. Curah hujan harian < 5 mm dianggap tidak efektif
2. Curah hujan harian > 50 mm dianggap kelebihan air sehingga tidak efektif
maka curah hujan efektif = 50 mm
3. Curah hujan harian yang didapat dari a dan b diasumsikan hanya 90%, sehingga
curah hujan efektif = jumlah curah hujan dari a dan b x 90%
I. Basic Year Method
Didapatkan dengan cara :
1. Gumble, dengan dua metode: - Metode Grafis
- Metode Analitis
2. Metode Iwai
3. Hazen Plotting
4. Analisa Frekuensi

6
5. Harza Engineering Company International di proyek Pekalen Sampeyan
n
R80 = 5 + 1

dan

n
R90 = 10 + l

( 2.9 )

R80 = Curah hujan terjadi dengan tingkat kepercayaan 80%


R90 = Curah hujan terjadi dengan tingkat kepercayaan 90%
2.3.2.1 Curah hujan efektif tanaman padi
Besarnya curah hujan efektif untuk tanaman padi ditentukan dengan 70% dari
curah hujan rerata tengah bulanan dengan kemungkinan kegagalan 20% atau dapat
disebut curah hujan R80. Sedangkan besarnya R80 didapat dengan menggunkan metode
Basic Month. Curah hujan efektif diperoleh dari 70% x R80 per periode waktu 10 harian,
maka persamaannya adalah sebagai berikut :
Re = (R80 x 70%) /10

( 2.10 )

2.3.2.2 Curah hujan efektif tanaman polowijo


Besarnya curah hujan efektif untuk tanaman polowijo menurut standar kriteria
perencanaan irigasi (1986 : 36) dipengaruhi besarnya evapotranspirasi dan curah hujan
bulanan rerata dari daerah yang bersangkutan. Curah hujan efektif diperoleh dari
50%xR80 per periode waktu pengamatan, maka persamaannya adalah sebagai berikut :
Re = (R80 x 50%) /10

( 2.11 )

2.4. Analisa Data Debit


Data debit diperoleh dari pengukuran debit dengan proses tertentu dibeberapa
bangunan yang mempunyai alat pengukur debit. Fluktuasi debit pada jaringan ini
berubah setiap saat, sehingga untuk kebutuhan perencanaan perlu dihitung tingkat
keandalannya. Dari data tersebut dapat dihitung debit andalan untuk irigasi. Debit
tersebut digunakan sebagai patokan ketersediaan debit yang masuk ke daerah irigasi
untuk menganalisa pola tata tanam yang paling optimum pada daerah yang
bersangkutan.
2.4.1 Debit Andalan
Debit andalan adalah besarnya debit yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan
air irigasi dengan resiko kegagalan yang telah diperhitungkan. Dalam perencanaan
proyek proyek penyediaan air terlebih dahulu harus dicari debit andalan (dependable
discharge), yang tujuannya adalah untuk menentukan debit perencanaan yang
diharapkan selalu tersedia di sungai (Soemarto, 1987:213).

7
Data debit diperoleh dari pengukuran debit 10 harian dari tahun 2004 sampai
tahun 2013 di beberapa bangunan yang mempunyai alat pengukuran debit. Data debit
untuk Daerah Irigasi Sengkaling ini diperoleh dari UPT. PSDA Wilayah Sungai Bango
Gedangan Malang.
Dengan data ini dapat dihitung debit andalan untuk irigasi yang dianalisa sebesar
80% kejadian dipenuhi atau dilampaui. Debit tersebut digunakan sebagai patokan
ketersediaan debit yang masuk ke masing-masing jaringan irigasi. Untuk menghitung
debit andalan tersebut dihitung peluang 80% dari debit rata-rata sumber air pada
pencatatan debit pada setiap jaringan irigasi dengan periode tiap 10 harian.
Dalam menentukan besarnya debit andalan dengan peluang 80% digunakan
probabilitas Metode Weibull, dengan rumus :
m
Rumus : P = n 1

( 2.12 )

Dengan :
P

= Peluang (%)

= No. urut data

= Jumlah data

2.5. Kebutuhan Air


2.5.1. Evapotraspirasi
Evapotranspirasi adalah gabungan dari dua bagian, yaitu evaporasi dan
transpirasi. Evaporasi adalah peristiwa berubahnya air menjadi uap, sedangkan
transpirasi adalah peristiwa penguapan air melalui permukaan tubuh tanaman.
Evaporasi bisa diukur dengan cara langsung maka bisa digunakan alat Lysimeter
sedangkan cara tidak langsung dengan menggunakan data klimatologi. Besarnya faktor
meteorologi yang mempengaruhi besarnya evapotranspirasi adalah sebagai berikut :

Angin

Kelembaban (Humiditas)

Suhu (temperatur)
Terdapat berbagai macam metode untuk menghitung evaporasi yang terjadi,

diantaranya adalah rumus Blaney Criddle, Penmann dan Ture-Langhein-Wunt. Cara


dengan metode Penmann merupakan salah satu yang paling lengkap untuk daerah

8
tropis. Data-data yang diperlukan dalam menghitung evaporasi dengan metode
Penmann adalah :

Data temperatur udara rata-rata

Data kelembaban relatif

Data kecepatan angin

Letak lintang daerah yang ditinjau

Angka koreksi
Untuk perhitungan evaporasi dianjurkan untuk menggunakan rumus Penmann

yang sudah dimodifikasi. Sedangkan perhitungan Eto berdasarkan rumus Penmann yang
dimodifikasi gun perhitungan di daerah Indonesia

(Suharjono, 1988 : 46).

Evapotranspirasi tanaman acuan (Eto) didapat setelah harga Eto* dihitung terlebih
dahulu. Nilai angka koreksi Penmann (c) dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan udara
antara siang dan malam. Untuk keadaan iklim Indonesia harga c berkisar antar 0,85-1,0.
2.5.2. Kebutuhan Air Tanaman
Kebutuhan air tanaman adalah sejumlah air yang dibutuhkan untuk mengganti
air yang hilang akibat penguapan.

Air dapat menguap melalui permukaan bumi

(evaporasi) maupun melalui daundaun tanaman (transpirasi).

Bila kedua proses

penguapan tersebut terjadi bersama-sama, disebut proses evapotranspirasi.

Dengan

demikian besar kebutuhan air tanaman adalah sebesar jumlah air yang hilang akibat
proses evapotranspirasi.
Besar kebutuhan air tanaman dinyatakan dalam penggunaan konsumtif yang
besarnya :
Cu = k. ETo
Dengan :
Cu

= Air yang habis digunakan oleh tanaman (mm/hr)

= koefisien tanaman

ETo

= evaporasi potensial (mm/hr)

Cu juga dinyatakan dalam ETc.

( 2.13 )

9
Irigasi adalah membagi sejumlah air yang sama pada lahan yang seluas
mungkin. Salah satu hal yang bisa diusahakan adalah dengan memperkecil kebutuhan
air irigasi (IR) yaitu dengan besar kebutuhan air tanaman (ETc).

KEBUTUHAN AIR TANAMAN


EVAPOTRANSPIRASI
(ET)
E

Terjadi pada saat yang sama

EVAPORASI
iklim

TRANSPIRASI
Tanaman

Gambar 2.1 Diagram Kebutuhan Air Tanaman


Besar penguapan air melalui permukaan tanah (evaporasi) berhubungan dengan
faktor iklim (suhu, udara, kecepatan angin, kelembaban udara, dan kecerahan
penyinaran matahari).

Besar air yang menguap melalui tanaman (transpirasi)

disamping dipengaruhi oleh keadaan iklim, juga dipengaruhi oleh faktor tanaman (jenis,
macam,dan umur pertumbuhan tanaman).

Faktor
Iklim
Suhu Udara
Kelembaban udara
Kecepatan angin
Kecerahan Matahari
Curah Hujan

Faktor Tanaman
Jenis Tanaman
Varietas Tanaman
Umur Tanaman

10

Curah Hujan
Dirancang dengan pola tanam tertentu
Dihitung dengan rumus
kebutuhan air
Didapat ETo

( ET = K. ETo )

k didapat

Gambar 2.2 Faktor Kebutuhan Air


Kegiatan mengatur jenis, varietas dan umur pertumbuhan tanaman tersebut,
disebut sebagai pengaturan pola tata tanam. Dengan demikian usaha mengatur pola tata
tanam dimaksudkan untuk mengatur besar koefisien tanaman agar mendapatkan besaran
ET, sehingga sesuai dengan ketersediaan air irigasi
2.5.3. Kebutuhan Air untuk Pengolahan tanah
Cara pengolahan tanah untuk tanaman merupakan hal yang perlu diperhatikan,
karena banyaknya air untuk pengolahan tanah mempengaruhi besar air irigasi.
Pengolahan tanah untuk tanaman padi membutuhkan air lebih banyak dari pada
pengolahan tanah untuk tanaman polowijo.
Pekerjaan pengolahan tanah ini dilakukan dengan dua tahap yaitu membajak dan
menggaru. Membajak dilakukan untuk memperbaiki sirkulasi dalam tanah serta
membuat tanah menjadi gembur, sedangkan maksud dari menggaru adalah
menyempurnakan tanah dari bajakan, memberantas gulma, meratakan lahan yang akan
diolah, dan membuat tanah lebih kedap air sehingga peresapan dapat diperkecil.
Besarnya air yang dibutuhkan untuk pengolahan tanah untuk tanaman padi adalah 250
-300 mm atau dengan rumus : (Sumber : Tugas Besar Irigasi Dasar)
Wp = [A.S + A.d (n-1)/2].10

( 2.14 )

Pengolahan tanah dilakukan 30 - 45 hari sebelum penanaman. Besarnya air untuk


pengolahan tanah pada hari ke x ditentukan dengan rumus :
Wpx = A/n.S + (X-1).d
Dengan :
Wp

= Besarnya air yang diperlukan pada saat pengolahan tanah (m3)

= Jumlah hari pengolahan tanah

= Tinggi air untuk pengolahan

= Unit Water Requirement (mm) = evaporasi = perkolasi

( 2.15 )

11
A

= Luas daerah yang akan diolah (ha)

Besarnya nilai kebutuhan air untuk penyiapan lahan dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Nilai kebutuhan air untuk penyiapan lahan
Eo + P

T (30 hari)

T (45 hari)

(mm/hari)
5,00

S = 250 mm
11,10

S = 300 mm
12,70

S = 250 mm
8,40

S = 300 mm
9,50

5,50
6,00
6,50
7,00
7,50
8,00
8,50
9,00
9,50
10,00
10,50
11,00

11,40
11,70
12,00
12,30
12,60
13,00
13,30
13,60
14,00
14,30
14,70
15,00

13,00
13,30
13,60
13,90
14,20
14,50
14,80
15,20
15,50
15,80
16,20
16,50

8,80
9,10
9,40
9,80
10,10
10,50
10,80
11,20
11,60
12,00
12,40
12,80

9,80
10,10
10,40
10,80
11,10
11,40
11,80
12,10
12,50
12,90
13,20
13,60

Sumber Data : Suhardjono, 1989:44

2.5.4. Pergantian lapisan air (WLR)


Pergantian lapisan air erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Beberapa saat
setelah pananaman, air yang digenangkan di permukaan sawah akan kotor dan
mengandung zat-zat yang tidak lagi diperlukan tanaman, bahkan dapat merusak tanah
dan tanaman. Air genangan ini perlu dibuang agar tidak merusak tanaman di lahan. Saat
pembuangan lapisan genangan, sampah-sampah yang ada di permukaan air akan
tertinggal, demikian lumpur yang terbawa dari saluran saat pengairan. Air genangan
yang dibuang perlu diganti dengan air baru yang lebih bersih.
Adapun ketentuan-ketentuan dalam WLR adalah sebagai berikut :
a) WLR diperlukan saat terjadi pemupukan maupun penyiangan, yaitu 1-2 bulan dari
transplating.
b) WLR = 50 mm (diperlukan pergantian lapisan air, diasumsikan =50 mm, hal itu
sesuai dengan KP Bagian Penunjang)
c) Jangka waktu WLR = 1,5 bulan (selama 1,5 bulan air digunakan untuk WLR
sebesar 50 mm).
2.5.5. Perkolasi

12
Perkolasi adalah pergerakan air sampai ke bawah dari zone tidak jenuh (antara
permukaan tanah sampai ke bawah permukaan air tanah) ke dalam daerah jenuh (daerah
berada di bawah permukaan air tanah).
Daya Perkolasi (Pp) adalah laju perkolasi maksimum yang dimungkinkan dan
besarnya dipengaruhi kondisi tanah dan muka air tanah. Perkolasi terjadi saat daerah
tak jenuh mencapai daya medan (field capacity).
Dalam recharge buatan, perkolasi mempunyai arti penting, dimana infiltrasi
terjadi terus-menerus karena alasan teknis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya perkolasi antara lain :
1. Tekstur tanah
-

Tekstur tanah yang halus, daya perkolasi kecil

Tekstur tanah kasar, perkolasi besar

2. Permeabilitas tanah
Semakin besar permeabilitas tanah, semakin besar pula daya perkolasinya.
3. Tebal lapisan tanah bagian atas
Semakin tipis lapisan tanah bagian atas, semakin kecil daya perkolasinya.
4. Tanaman penutup
Lindungan tumbuh-tumbuhan yang padat menyebabkan daya infiltrasi semakin
besar yang berarti pula daya perkolasinya juga besar.
Pada petak sawah perkolasi dipengaruhi oleh :
-

Tinggi genangan air


Semakin tinggi air yang tergenang, maka rembesan yang terjadi semakin besar.

Keadaan pematang
Pori-pori dan lubang pada pematang serta padat gemburnya tanah yang membentuk
pematang ikut mempengaruhi rembesan. Selain itu tebal tipisnya pematang juga
berpengaruh. Semakin tebal pematang, semakin kecil pula rembesan yang terjadi.

Pada petak sawah perkolasi dipengaruhi oleh tinggi genangan air dan keadaan
pematang. Besar perkolasi untuk beberapa jenis tanah dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Hubungan Jenis Tanah Dengan Perkolasi
Jenis Tanah
Sandy Loam

Perkolasi Vertikal (mm/hari)


38

Loam

23

Clay

12

Sumber: Rice Irrigation In Japan (1973)

13

2.5.6. Efisiensi Irigasi


Sebelum sampai di petak sawah, air harus dialirkan dari sumbernya melalui
saluran-saluran induk, sekunder dan tersier. Didalam sistem saluran terjadi kehilangankehilangan debit yang disebabkan rembesan, perkolasi dan kurang teliti dalam
eksploitasi. Kehilangan air irigasi dinamakan efisiensi irigasi yang besarnya adalah
perbandingan antara jumlah air yang nyata bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman
ditambah perkolasi lahan dengan jumlah air yang dikeluarkan dari pintu pengambilan.
Efisiensi dinyatakan dalam prosentase.
Kehilangan ditentukan oleh pelaksanaan eksploitasi ada tiga tingkatan, yaitu :
a. Kehilangan air di tingkat tersier, melalui kehilangan air di sawah, di saluran kuarter
dan saluran tersier.
b. Kehilangan air di tingkat primer, melalui kehilangan air di saluran primer.
c. Kehilangan air di tingkat sekunder, meliputi kehilangan air disaluran sekunder.
Faktor yang mempengaruhi kehilangan air adalah :
1. Kehilangan air di tingkat tersier dan di sawah
a. Kebocoran pematang
b. Kehilangan karena pemakaian
-

kerjasama tingkat pemakai air

tingkat pengawasan pemakai air

c. Pemberian air tidak dilaksanakan


d. Tidak sempurnanya bangunan pelimpah dan pintu
e. Rembesan pada saluran tersier dan kuarter
-

tekstur tanah

permeabilitas tanah

umur saluran

kepadatan tanggul

f. Kebocoran pada saluran tersier dan kuarter


-

tingkat pemeliharaan saluran

penyadap-penyadap liar

2. Kehilangan air di tingkat saluran primer dan sekunder yang terdiri dari :
a. Rembesan
b. Penyadap liar
c. Kebocoran

14
d. Pengaruh pemeliharaan saluran dan tanggul
e. Pengaruh pemeliharaan pintu
Faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan air adalah :
1. Panjang saluran
Makin panjang saluran, kemungkinan kehilangan airnya semakin besar.
2. Keliling basah saluran
Makin besar keliling basah saluran, makin besar pula kehilangan air.
3. Lapisan saluran
Saluran yang tidak di-lining lapisan pengeras akan terjadi penggenangan air. Ini
disebabkan rembesan dan perkolasi.
4. Kedudukan air tanah
Makin tinggi kedudukan air tanah, makin kecil pula faktor peresapan yang terjadi.
5. Luas permukaan air pada saluran
Makin luas permukaan yang terjadi karena adanya penguapan.
Kehilangan air yang cukup besar tidak dapat diabaikan dalam perhitungan,
sehingga perhitungan efisiensi penggunaan air dihitung dengan evapotranspirasi
ditambah rembesan dijumlah dengan perkolasi kemudian dibagi dengan jumlah air yang
disuplai (irigasi dan curah hujan).
Rumus :
in flow outflow
x100%
in
flow
Efisiensi =

( 2.16 )

Untuk menghitung efisiensi di tingkat sekunder dan primer dipakai data debit
rata-rata selama 10 tahun.
Misalnya, kehilangan air pada bulan Januari :
- Debit rata-rata di pintu pengambilan utama 200 l/dt
- Debit rata-rata di pintu tersier 150 l/dt
Kehilangan air di saluran primer dan sekunder pada bulan Januari adalah :
200 150
100 %
200
= 2,5 %
Jadi efisiensi irigasi di tingkat primer dan sekunder adalah 97,5 %
Dalam studi ini diambil besarnya efisiensi sebagai berikut
1) Saluran Primer

= 80% - 90%

2) Saluran Sekunder

= 60% - 80%

3) Saluran Tersier

= 40% - 70%.

15
2.6. Pola Tanam
2.6.1. Pola Tata Tanam
Pola tata tanam merupakan cara yang terpenting dalam perencanaan tata tanam.
Maksud diadakannya tata tanam adalah untuk mengatur waktu, tempat, jenis dan luas
tanaman pada daerah irigasi. Tujuan tata tanam adalah untuk memanfaatkan persediaan
air irigasi seefektif dan seefisien mungkin sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik.
Dua hal pokok yang mendasari diperlukannya tata tanam, yaitu :
- Persediaan air irigasi (dari sungai) di musim kemarau yang terbatas.
-

Air yang terbatas harus dimanfaatkan sebaik-baiknya sehingga setiap petak


mendapatkan air sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan.

Berdasarkan pengertian tata tanam seperti diatas ada empat faktor yang harus diatur,
yaitu :
1. Waktu
Pengaturan waktu dalam perencanaan tata tanam merupakan hal yang pokok.
Sebagai contoh bila hendak mengusahakan padi rendeng, yang pertama kali
dilakukan adalah mengolah tanah untuk pembibitan. Pada waktu mulai tanam
biasanya musim hujan mulai turun sehingga persediaan air relatif kecil. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka waktu penggarapan dan urutan
serta tata tanam diatur sebaik-baiknya.
2. Tempat
Pengaturan tempat masalahnya hampir sama dengan pengaturan waktu.
Dengan dasar pemikiran bahwa tanaman membutuhkan air dan persediaan air
yang ada dipergunakan bagi tanaman. Untuk dapat mencapai hal itu tanaman
diatur tempat penanamannya, agar pelayanan irigasi dapat lebih mudah.
3. Pengaturan jenis tanaman
Tanaman yang diusahakan antara lain padi, palawija dan lain-lain. Tiap jenis
tanaman mempunyai tingkat kebutuhan air yang berlainan. Berdasarkan hal
tersebut, jenis tanaman yang diusahakan harus diatur sedemikian rupa sehingga
kebutuhan air dapat terpenuhi. Misalnya jika persediaan air sedikit diusahakan
penanaman tanaman dengan kebutuhan air sedikit.

Sebagai contoh adalah

penanaman padi, gandum, palawija di musim kemarau. Pada musim kemarau


persediaan air sedikit, untuk menghindari terjadinya lahan yang tidak terpakai,

16
areal tanaman harus dibatasi luasnya dengan cara menggantinya dengan tanaman
palawija. Berarti areal yang ditanami menjadi luas sehingga kemungkinan lahan
yang tidak terpakai akan lebih kecil.
4. Pengaturan luas tanaman
Pengaturan luas tanaman hampir sama dengan pengaturan jenis tanaman.
Pengaturan pada pembatasan luas tanaman akan membatasi besarnya kebutuhan
air bagi tanaman yang bersangkutan. Pengaturan ini hanya terjadi pada daerah
yang airnya terbatas, misalnya jika persediaan air irigasi yang sedikit, petani
hanya boleh menanam palawija.
2.6.2. Jadwal Tata Tanam
Tujuan penyusunan jadwal tanam adalah agar air yang tersedia (dari sungai)
dapat dimanfaatkan dengan efektif untuk irigasi, sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan
tiap lahan. Pada musim kemarau, kekurangan jumlah air dapat diatasi dengan mengatur
pola tata tanam sesuai dengan tempat, jenis tanaman dan luas lahan tanaman.
Penentuan jadwal tata tanam harus disesuaikan dengan jadwal penanaman yang
ditetapkan dalam periode musim hujan dan musim kemarau.
2.6.3. Tata Tanam
Dalam satu tahun terdapat dua kali masa tanaman yaitu musim hujan (OktoberMaret) dan musim kemarau (April-September).

Batasan waktu tersebut digunakan

untuk menentukan awal penanaman padi (di musim hujan), demikian pula untuk jenis
tanaman lain.
Berdasarkan faktor-faktor dan pertimbangan diatas, maka pola tata tanam suatu
daerah tertentu dapat digolongkan menjadi :
1. Pola tata tanam I

: Padi Padi

2. Pola tata tanam II

: Padi Padi Palawija

3. Pola tata tanam III : Padi Palawija Palawija


2.7. Kebutuhan Air Irigasi
Kebutuhan air irigasi pada tanah pertanian untuk satu unit luasan dinyatakan
dalam rumus sebagai berikut :
IR = Cu + Pd + P + N Re

( 2.17 )

17
Dengan :
IR

= kebutuhan air irigasi (mm)

Cu

= penggunaan konsumtif tanaman (mm)

= kehilangan air akibat perkolasi (mm/hr)

Pd

= kebutuhan air untuk pengolahan tanah (mm)

= kebutuhan air untuk pengisian tanah persemaian (mm)

Re

= curah hujan efektif (mm)


Kebutuhan air irigari total yang diukur dalam pintu pengambilan atau intake

adalah hasil perkalian kebutuhan air irigasi di sawah dengan faktor efisiensi irigasi, dan
dinyatakan dengan rumus :
DR = (IR/Ef) x A x T

( 2.18 )

Dengan :
DR = kebutuhan air irigasi pada pintu pengambilan atau intake (m3/dt)
Ef

= efisiensi irigasi

= luas sawah yang diairi (m2)

= periode waktu pemberian air (hari)

Terdapat 2 metode untuk menghitung kebutuhan air irigasi yaitu :


1. Metode Kriteria Perencanaan PU
2. Metode Water Balance
a) Metode Kriteria Perencanaan PU
a. Kebutuhan air di sawah :
NFR = ETc + P Reff + WLR

( 2.19 )

Dengan :
NFR

= kebutuhan air bersih di sawah (ml/dt/hari)

ETc

= evapotranspirasi potensial

= perkolasi

Reff

= curah hujan efektif (mm)

WLR

= pergantian lapisan air

b. Kebutuhan air irigasi untuk tanaman padi


IR = NFR/I
Dengan I adalah efisiensi irigasi.

( 2.20 )

18
c. Kebutuhan air untuk tamanan palawija
(ETo Reff)
P
IR =

( 2.21 )

d. Kebutuhan air irigasi untuk penyiapan lahan

IRp =

Me k
(e k - 1)

( 2.22 )

Dengan :
IRp = kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari)
M

= kebutuhan air untuk mengganti air yang hilang akibat evaporasi dan
perkolasi di sawah yang telah dijenuhkan (mm/hari)

= MT/S

= jangka waktu penyiapan lahan (hari)

= air yang dibutuhkan untuk penjenuhan ditambah dengan 50 mm

b) Metode Water Balance


Kebutuhan air irigasi di sawah :
a. Untuk tanaman padi :
NFR = Cu + Pd + N + P - Reff

( 2.23 )

b. Untuk tanaman palawija :


NFR = Cu + P - Reff

( 2.24 )

Dengan :
NFR = kebutuhan air di sawah (1mm/hr x 10.000/24x60x60 =1 l/dt/ha)
Cu

= kebutuhan air tanaman (mm/hari)

Pd

= kebutuhan air untuk pengolahan tanah (mm/hari)

NR

= kebutuhan air untuk pembibitan (mm/hari)

= perkolasi

Reff = curah hujan efektif (mm)


c) Nilai FPR
Untuk memudahkan pelaksanaan di lapangan, cara perhitungan kebutuhan air
tanaman di Jawa Timur memakai metode Faktor Polowijo Relatif (FPR). Metode ini
merupakan perbaikan dari metode-metode yang telah diterapkan di Negara Belanda,
yaitu metode Pasten.

19
Persamaan untuk metode FPR yaitu :
Q
FPR = LPR

( 2.25 )

Dengan :
FPR

= Faktor Polowijo Relatif (lt/dt/ha.pol)

= Debit air yang mangalirdi sungai (m3/dt)

LPR

= Luas Polowijo Relatif (ha.pol)

Sedangkan kategori nilai FPR untuk keperluan operasional pembagian air pada
petak tersier dapat dikategorikan sebagai berikut :
Baik, FPR

= 0,3 0,5 lt/dt/ha.pol (bulan Oktober sampai Februari)

Sedang, FPR

= 0,21 0,30 lt/dt/.ha.pol (bulan Maret sampai Juni)

Cukup, FPR

= 0,1 0,55 lt/dt/ha.pol (bulan Juli sampai Oktober)

Tabel 2.3 Kriteria FPR Berdasarkan Jenis Tanah


FPR (lt/dt/ha.pol)
Jenis Tanah
Aluvial
Latosol
Grumosol
Giliran

Air Kurang

Air Cukup

Air Memadai

0,18
0,12
0,06
Perlu

0,18 0,36
0,12 0,23
0,06 0,12
Mungkin

0,36
0,23
0,12
Tidak

Sumber : DPU Dinas Tingkat I Jawa Timur, 197

2.8. Sistem Pembagian Air


2.8.1. Sistem Rotasi
Irigasi secara rotasi adalah pemberian air secara bergantian menurut bagian
daerah atau blok tertentu dalam jadwal tertentu dalam jangka waktu yang telah
ditentukan sesuai gilirannya.
Sistem rotasi yang dilaksanakan ada dua macam, yaitu :
1. Metode : Waktu tetap debit variabel
Dengan sistem ini pemberian air pada satu unit daerah irigasi dilaksanakan dalam
jangka waktu tertentu biasanya 24 jam. Tetapi besar debit dapat berubah sesuai
dengan debit yang tersedia, debit maksimum yang dibutuhkan untuk masing-masing
unit dapat dihitung dengan rumus berikut :
Et P
Q = A x RI x Eff x 8,64

( 2.26 )

20
Dengan :
Q

= Debit maksimum (lt/dt)

= Luas area (ha)

RI = Jumlah unit rotasi


Et = Evapotranspirasi (mm/hari)
P

= Perkolasi (mm/hari)

2. Metode waktu variabel debit tetap


Dengan metode ini pemberian air kepada satu unit rotasi dilaksanakan dengan besar
debit tetap, tetapi waktunya berubah-ubah disesuaikan dengan ketersediaan air di
saluran primer. Lamanya waktu yang diperlukan untuk mengairi masing-masing unit
dapat dihitung dengan rumus berikut :
a1
T = AT x 24 x RI

( 2.27 )

Dengan :
T

= Jangka waktu untuk mengairi masing-masing unit rotasi (jam)

AT = Luas area persawahan (ha)


A1 = Luas unit rotasi (ha)
RI = Jumlah unit rotasi
Pemanfaatan secara maksimum curah hujan yang ada akan sangat membantu
peningkatan efisiensi air irigasi. Pada intinya adalah bahwa kita dapat mengurangi
besarnya debit air apabila turun hujan di daerah irigasi. Besarnya debit air yang dapat
dikurangi, dapat dilihat pada tabel 2.4
Tabel 2.4 hubungan Curah Hujan dengan Debit yang dapat Dikurangi
Curah Hujan

Debit yang dikurangi

Lama masa pengumpulan

(mm)
40
50
60

(%)
20
50
100

Debit air
2 3 hari
2 3 hari
3 hari atau lebih

Sumber : Anonim, Laporan PKN Cahyo R.D. 99010640435-64

2.8.2. Sistem Giliran


Pada musim kemarau sering terjadi kemarau irigasi, terutama pada petak di
bagian hilir. Jika hal tersebut terjadi maka sistem pemberian airnya perlu diatur sistem
giliran untuk menghindari kehilangan air yang banyak selama mengalir.

21
Debit minimum suatu saluran berbeda-beda, tergantung luas sawah yang
ditanamami dan luas sawah yang mendapat air dari saluran tersebut. Untuk keperluan
itu diperlukan hal-hal perhitungan sebagai berikut :
1. Pembagian air tidak kurang dari 20 lt/dt. Untuk menjamin hal tersebut pemberian air
digilir.
2. Seluruh jaringan tersier mendapat giliran, jika jumlah air bersesuaian dengan FPR
0,10 lt/dt/ha.
3. Prioritas pemberian air disesuaikan dengan P > W > R.
4. Jadwal pemberian disiapkan untuk tiap saluran tersier, dan diberitahukan ke tiap
HIPPA. Jadwal penggiliran didasarkan periode 10 harian dan FPR dari tersier.
5. Pembagian sampai pada pintu tersier akan diawasi oleh juru, sedangkan dalam
jaringan tersier akan diawasi oleh ulu-ulu (sambong).
6. Juru dan pengamat akan turun tangan dalam pemberian air di petak tersier, bila
terjadi perselisihan di desa.
Giliran pada tingkat kwarter dilakukan apabila debit yang mengalir < 15 lt/dt,
untuk debit > 15 lt/dt pemberian air dilakukan secara terus menerus.
An
Qn = (Q Lo) x A

( 2.28 )

Dengan :
Qn

= Jangka waktu kwarter n

= Debit pada pengambilan tersier

Lo

= kehilangan total pada saluran tersier dan sub tersier

= Total baku polowijo relatif

An

= Baku polowijo pada petak Kwarter

Cara pemberian air dengan memperhitungkan faktor jarak :


1. Kehilangan dipengaruhi oleh panjang saluran, tentunya pada saat kuantitas air
terbatas faktor ini perlu diperhitungkan demi untuk pembagian air yang merata.
2. Memperhitungkan faktor jarak berarti memberikan debit air yang lebih besar pada
blok-blok yang lebih jauh sejalan dengan jaraknya dari pintu tersier.
Besarnya faktor jarak dapatdihitung dengan rumus sebagai berikut :
H
a bp
a = a
Dengan :

( 2.29 )

22
H
a

= Faktor jarak

= Besarnya ditaksir lewat percobaan di lapangan


= 1,7 jam/ha/km untuk tanah berat
= 2 jam/ha/km untuk tanah ringan (sandy loam)

= Panjang saluran dari pintu tersier ke pintu titik pusat blok

Hr

= h rata-rata bervariasi tergantung jumlah blok dan waktu irigasi yang tersedia,
untuk jumlah blok = 4, waktu irigasi = 24 jam, maka hr = 4 x 24 x 10 (10 =
periode pemberian air 10 harian).

Hr

= a + bp, maka a = Hr bp

a didapat dari faktor jarak untuk tiap blok dapat dihitung.

Qrenc

Q = a x Ae
H
Ae = A x a

( 2.30 )
( 2.31 )

Dengan :
Q

= Debit dengan faktor jarak

Qrenc

= Debit yang direncanakan

H
a

= Faktor jarak rerata

Ae

= Luas ekivalen

= Luas area sawah

2.8.3. Sistem Golongan


Persediaan air dalam jangka waktu satu tahun tidak tetap, artinya ada bulanbulan yang persediaan airnya cukup ada pula yang kurang. Pada musim hujan padi
mulai ditanam. Pengelolaan tanah mulai dilakukan di awal musim hujan, dimana pada
saat itu persediaan air mulai banyak. Jika seluruh lahan diairi dalam waktu bersamaan,
kebutuhan air tidak akan mencukupi. Mengingat hal tersebut, dalam sistem penanaman
padi rendeng, lahan perlu dibagi menjadi beberapa golongan.
Apabila pengelolaan tanah untuk tanaman padi rendeng di seluruh area dalam
suatu daerah pengaliran dimulai dalam waktu yang bersamaan, maka kebutuhan air

23
maksimumnya akan jauh melampaui daya tampung saluran maupun kemampuan daya
guna airnya.
Sistem golongan adalah mengatur dengan sistem memisahkan periode
pengolahan dengan maksud menekan kebutuhan air maksimum. Cara pengaturan sistem
golongan adalah sebagai berikut :
1. Petak tersier terdiri dari 4 petak sub tersier masing-masing :
Sub tersier A
Sub tersier B
Sub tersier C
Sub tersier D
Masing-masing diusahakan mempunyai luas sama, pemberian air dibedakan
menjadi 3 kondisi
a. Tahap I
Debit yang ada QA = (75 100)% x Qrenc
Pembagian air kontinyu terdapat petak-petak tersier.
b. Tahap II
Debit yang ada QA = (50 70)% x Qrenc
Cara pemberian air :

Periode I
A, B, C diari, D tidak diari
Lamanya pemberian air :
ABC
A B C D x 24 jam

Periode II
B, C, D diari, A tidak diari
Lamanya pemberian air :
BCD
A B C D x 24 jam

Periode III
C, D, A diairi, B tidak diairi
Lamanya pemberian air :

24
CDA
A B C D x 24 jam

Periode IV
D, A, B diairi, C tidak diairi
Lamanya pemberian air :
DAB
A B C D x 24 jam

c. Tahap III
Debit yang ada QA = (25 50)% x Qrenc
Dua sub tersier diairi, dua sub tersier yang lainnya tidak diairi, pemberian air
terbagi dalam dua periode.

Periode I
A, C diairi, B, D tidak diairi
Lamanya pemberian air :
AC
A B C D x 120 jam

Periode II
B, D diairi, A, C tidak diairi
Lamanya pemberian air :
BD
A B C D x 120 jam

2. Petak tersier terbagi menjadi tiga sub tersier masing-masing :


Sub tersier A
Sub tersier B
Sub tersier C
Masing-masing diusahakan mempunyai luas sama, pemberian air dibedakan
menjadi 2 kondisi.
a. Tahap I
Debit yang ada QA = 65% x Qrenc
Pemberian air dilakukan secara kontinyu untuk masing-masing sub tersier
b. Tahap II
Debit yang ada QA = (30 60)% x Qrenc
Pemberian air dilakukan menjadi tiga periode, yakni :

25

Periode I
A tidak diairi, B, C diairi
Lamanya pemberian air :
BC
240
A B C x 3 jam

Periode II
B tidak diairi, A, C diairi
Lamanya pemberian air :
AC
240
A B C x 3 jam

Periode III
C tidak diairi, A, B diairi
Lamanya pemberian air :
AB
240
A B C x 3 jam

3. Petak tersier terbagi menjadi dua sub tersier masing-masing :


Sub tersier A
Sub tersier B
Masing-masing diusahakan mempunyai luas sama, pemberian air dibedakan
menjadi 2 kondisi
a. Tahap I
QA = 50% x Qrenc
Pemberian air dilakukan secara kontinyu
b. Tahap II
QA < 50% x Qrenc
Pemberian air diberikan untuk periode waktu jangka waktu dan hari = 120 jam
Periode I
B tidak diairi, A diairi
Lamanya pemberian air :
A
A B x 120 jam
Periode II

A tidak diairi, B diairi

26

Lamanya pemberian air :

B
A B x 120 jam

Pengaturan dimulainya golongan diputuskan atas kesepakatan petani / HIPPA


dipandu oleh Menteri Pengairan. Maksud keterlibatan Menteri Pengairan agar
menjamin keberadaan air untuk tanaman, keputusan ini berpedoman pada pengadaan
ketersediaan air dan data curah hujan yang lalu digunakan sebagai perhitungan terhadap
penentuan permulaan tanggal dari masing-masing golongan. Tiap golongan diberi batas
yang tetap. Tiap tahun pengaturan golongan digilir, sehingga keuntungan atau kerugian
tiap bagian dapat terbagi rata.
Pengaturan-pengaturan umum terhadap golongan-golongan seperti berikut :
a) Tiap jaringan induk dibagi dalam tiga golongan A, B, C. Tiap golongan diadakan
sampai seluruh petak-petak tersier dengan cara menggolongkan baku-baku sawah
yang luasnya hampir sama bagi masing-masing golongan.
b) Tiap golongan A, B, C digilir.
c) Untuk pengolahan tanahnya (garapan), masing-masing menerima air selama dua
periode 10 harian mulai dari golongan A.
d) Tanaman padi gadu yang masih ada disawah diberi air dengan cukup.
Ijin dimulainya golongan-golongan akan datang dari UPT (Unit Pelaksana
Teknis). UPT harus menjamin adanya data-data yang tepat mengenai tanaman, debit dan
curah hujandari tahun-tahun yang telah lalu untuk digunakan sebagai dasar perhitungan
terhadap penentuan permulaan tanggal dan masing-masing golongan.
Prosedur-prosedur yang digunakan pada sistem golongan adalah sebagai berikut :
a)

Dibuat batas-batas golongan yang pasti pada batas-batas primer atau sekunder,
dalam tiga bagian yang kira-kira hampir sama. Pemberian air ke petak tersier tidak
langsung mengambil dari saluran primer maupun sekunder.

b) Setelah diteliti dan dibenarkan UPT dan disetujui komisi irigasi golongan-golongan
diberi tanda tetap di petak-petak pengairan. Setelah itu dibuat daftar desa-desa serta
petak-petak di masing-masing golongan lalu dikirim ke semua desa-desa yang
bersangkutan.
c)

Setelah mempertimbangkan adanya tanaman-tanaman yang ada disawah, pengamat


mengusulkan ke UPT tentang pengaturan golongan-golongan untuk musim yang
akan datang.

27
d) Langkah selanjutnya adalah mengadakan pertemuan dengan panitia irigasi untuk
mempertimbangkan rencana tanaman musim penghujan.
e)

Pada pertemuan ini akan ditentukan adanya golongan-golongan, oleh sekretaris


panitia irigasi, sebelum permulaan musim penghujan, desa-desa dan dinas-dinas
yang bersangkutan akan diberi tahu tentang aturan golongan baru.

Sistem golongan dikerjakan sebagai berikut :

Tabel 2.5. Pembagian Sistem Golongan tiap Periode


No
1
2
3
4
5

Periode
Golongan A
Sampai hari Garapan tanah untuk
ke-1
pembibitan
Hari ke-1 s.d Bibit dan garap tanah
20
Hari ke-21
s.d 40
Hari ke-41
s.d 60
Hari ke-61

untuk pembibitan
Pemindahan tanaman
Tanaman padi
Tidak ada pembatasan
pembagian air

Golongan B

Golongan C

Garapan tanah untuk


pembibitan
Bibit dan garap tanah
untuk tanaman padi
Pemindahan tanaman
-

Garapan tanah untuk


pembibitan
Bibit dan garap tanah
untuk tanaman padi
-

28

Saluran
Primer

Bangunan
Bagi
Saluran
Sekunder

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Golongan
A

Golongan
A
Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Petak
Tersier Saluran Tersier
Tersier

Petak
Tersier

Petak
Tersier

Golongan
B

Golongan
B

Golongan
C

Golongan
C
Saluran
Tersier

Gambar 2.3. Skema Distribusi Air Cara Golongan

29
2.9. Analisa Neraca Air
Parameter yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan air irigasi berdasarkan
metode ini adalah :

Kebutuhan air untuk pengolahan tanah


Didekati dengan metode yang telah dikembangkan oleh Van De Soor dan Ziljstra
(1986) (dalam Laporan Praktik Kerja Cahyo R.D., 9901060435-64) dengan
persamaan sebagai berikut :
Pd

Mxc k
ck 1

( 2.32 )

Dengan :
Pd

= kebutuhan air untuk pengolahan tanah (mm/hari)

= kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi dan


perkolasi di sawah yang telah dijenuhkan (mm/hari)

Eo

= evaporasi (mm/hari)

= MT/S

= jangka waktu penyiapan lahan (mm/hari)

= kebutuhan air untuk penjenuhan lapisan air 50 mm,


yaitu 200 + 50 = 250 mm

Berdasarkan kebutuhan air untuk tanaman (crop water requirment)


Dapat dihitung dengan persamaan :
Cu = K x Eto

( 2.33 )

Dengan :

Cu

= kebutuhan air untuk tanaman (mm/hari)

ETo

= evaporasi potensial (mm/hari)

= koefisien tanaman

Perkolasi
Perkolasi dapat diartikan sebagai kehilangan air akibat pergerakan air tanah karena
penurunan air secara gravitasi ke dalarn tanah. Berdasarkan tekstur tanah lempung
liat dengan pemeabilitas sedang, maka laju perkolasi yang dapat dipakai berkisar
antara 1-3 mm/hari. Dalam studi ini nilai perkolasi yang diambil sebesar 2 mm/hari.

Pergantian lapisan air


Setelah jangka waktu sekitar 1-2 bulan dari transplantasi, maka dilakukan
pergantian air sedalam 50 mm (2-5 mm/hari) setiap kalinya selama 20 hari.

30

Curah Hujan Efektif


Curah hujan efektif merupakan curah hujan yang meresap ke dalam tanah dan dapat
dimanfaatkan oleh tanaman. Curah hujan efektif diambil 70% dari curah hujan
andalan 80% dengan persamaan sebagai berikut :
Untuk tanaman padi

Re = 0,7 x R80

Untuk tanaman polowijo

Re = 0,5 x R80

Anda mungkin juga menyukai