Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Anoreksia adalah tidak adanya selera makan atau individu tersebut tidak
tertarik untuk menelan makanan. Pada istilah klinik, anoreksia total adalah
hilangnya rasa lapar yang diakibatkan proses patologis. Anoreksia biasanya
berkaitan dengan proses penyakit yang secara langsung menghambat atau
menekan pusat lapar atau merangsang aktivitas pusat kenyang. Oleh karena
anoreksia berkaitan dengan banyak proses penyakit, maka tugas utama tenaga
medis adalah menentukan apakah anoreksia yang terjadi pada pasien bersifat
patologik atau fisiologik/psikologik, dan mengoreksi penyebab utamanya (5).
Anoreksia dapat terjadi karena penurunan selera makan (anoreksia sejati)
atau terjadi karena faktor lain yang tidak mempengaruhi selera makan
(pseudoanoreksia). Penurunan selera makan yang bersifat sementara dapat terjadi
karena rasa takut, latihan berat, atau perubahan menu makanan (5).
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mengobati kondisi dan
penyakit yang dikaitkan dengan proses menua dan usia lanjut (6). Batas umur
untuk usia lanjut dari waktu ke waktu berbeda. WHO membagi umur tua sebagai
berikut:
1.

Umur lanjut (elderly): 60-74 tahun

2.

Umur tua (old): 75-90 tahun

3.

Umur sangat tua (very-old): > 90 tahun


5

II.2 Teori Penuaan


Beberapa teori mengenai proses menua tersebut ialah :
1) Teori Radikal Bebas, yang menyebutkan bahwa produk hasil metabolisme
oksidatif yang sangat reaktif (radikal bebas) dapat bereaksi dengan berbagai
komponen penting seluler, termasuk protein, DNA, dan lipid, dan menjadi
molekul-molekul yang tidak berfungsi namun bertahan lama dan mengganggu
fungsi sel lainnya.
2) Teori Glikosilasi, yang menyatakan bahwa proses glikosilasi nonenzimatik
yang menghasilkan pertautan glukosa-protein yang disebut sebagai advanced
glycation end products (AGEs) dapat menyebabkan penumpukan protein dan
makromolekul lain yang termodifikasi sehingga menyebabkan disfungsi pada
manusia yang menua.
3) Teori DNA repair, yang menunjukkan adanya perbedaan pola laju repair
kerusakan DNA yang diinduksi sinar ultraviolet (UV) pada berbagai fibroblas
yang dikultur (6).
II.3 Malnutrisi karena anoreksia geriatri
Seorang lanjut usia selalu dalam keadaan risiko malnutrisi karena terjadi
penurunan asupan makanan karena adanya perubahan fungsi usus, metabolisme
yang tidak efektif, kegagalan homeostasis dan defek utilisasi nutrien. Keadaan
tersebut diperberat dengan ko-insidensi dari penyakit akut atau kronik, trauma,
keadaan hiperkatabolik, infeksi dan terapi obat yang dapat mengubah kebutuhan
nutrisi. Banyak faktor bisa menyebabkan deteriorasi status gizi yang
menyebabkan kegagalan perbaikan jaringan dan fungsi kekebalan sehingga dari
6

keadaan tersebut perbaikan menjadi sulit atau tidak mungkin terjadi. Tujuan hidup
manusia ialah menjadi tua tetapi tetap sehat sehingga keadaan patologik pun
dicoba untuk disembuhkan untuk mempertahankan healthy aging karena proses
patologik mempercepat penderita meninggal dunia (11).
Apabila seseorang berhasil mencapai usia lanjut, maka salah satu upaya
utama adalah status gizi yang bersangkuan dipertahankan pada kondisi optimum
agar kualitas kehidupan yang bersangkutan tetap baik. Perubahan status gizi pada
lansia disebabkan perubahan lingkungan atau kondisi kesehatan. Covinsky dan
kawan-kawan meneliti hubungan antara kajian klinis status gizi dan outcome tidak
baik pada penderita tua yang dirawat di rumah sakit dan mendapatkan hasil dari
219 penderita yang diteliti 24,4% malnutrisi sedang dan 16,3% malnutrisi berat.
Penderita dengan malnutrisi berat lebih banyak meninggal dalam waktu 90 hari
setelah meninggalkan rumah sakit dibanding penderita yang malnutrisi sedang
maupun gizi baik (31,7%, 23,3% dan 12,3%) (10).
Malnutrisi pada lansia terutama malnutrisi energi protein adalah suatu
keadaan kekurangan energi dan atau protein untuk memenuhi kebutuhan
metabolik. Malnutrisi energi protein (MEP) biasanya berkembang karena
berkurangnya asupan diet kalori atau protein, meningkatnya kebutuhan metabolik
sebagai hasil dari keadaan sakit atau trauma atau peningkatan pelepasan nutrien
(12,13)
Mempertahankan status gizi dalam keadaan optimal merupakan komponen
penting dalam penanganan geriatri paripurna, terlebih karena keadaan malnutrisi
akut berhubungan dengan outcome peningkatan komplikasi penyakit dan
7

perburukan kesehatan. Status gizi yang jelek dan MEP berhubungan dengan
perubahan imunitas, penyembuhan luka terganggu, penurunan status fungsional,
peningkatan penggunaan fasilitas kesehatan dan peningkatan angka mortalitas.
(12).
II.4 Fisiologi yang Mempengaruhi Keadaan Gizi Seorang Lansia
Perubahan komposisi tubuh.
Bertambahnya usia akan terjadi banyak perubahan komposisi tubuh yang
mempengaruhi kebutuhan nutrisi seorang lansia. Setelah berusia 60 tahun atau
lebih berat badan cenderung turun dan untuk mempertahankannya semakin
sulit dengan bertambahnya usia. Perubahan komposisi tubuh dicirikan dengan
kehilangan secara progresif lean body mass, peningkatan relatif massa lemak
dan redistributif lemak dari perifer ke lokasi sentra tubuh. Kehilangan lean
body mass yang berlanjut berhubungan dengan peningkatan prevalensi
penyakit kronik pada lansia. Kehilangan lean body mass terutama terdiri dari
otot skeletal terutama tipe II atau serat fast-twich. Lean body mass sentra
misalnya hepar dan lien relatif dipertahankan. Kehilangan masa otot yang
terkait dengan usia tampak sebagai hasil dari faktor-faktor yang berhubungan
meliputi perubahan metabolisme, fungsi dan struktur jaringan organ, penyakitpenyakit dan pilihan tingkah laku serta cara hidup secara individual (14).
Perubahan nafsu makan dan regulasi ambilan energi
Mempertahankan berat badan yang stabil pada usia tua membutuhkan
keadaan yang tetap antara pemasukan nutrien dan kebutuhan energi. Dengan
8

bertambahnya usia, alur metabolik, neural, dan humoral yang secara normal
dapat mempertahankan keseimbangan regulasi selera makan dan rasa lapar
kehilangan keseimbangan responsibilitasnya untuk mengubah energi yang
dibutuhkan oleh tubuh. Keterkaitan psikologis, sosial dan ekonomi dan kultural
dan bermacam-macam penyakit memperberat disregulasi keseimbangan
masukan energi (14).
Perubahan patofisiologi yang menyebabkan kehilangan pengecapan lidah,
penciuman, dan nafsu makan dengan bertambahnya usia.
Perubahan besar fisiologis dan patologis yang terkait dengan usia
mempunyai

andil

untuk

seorang

lansia

kesulitan

mempertahaankan

keseimbangan kebutuhan metabolik dan asupan nutrien. Penglihatan,


penciuman, pengecapan, dan tekstur makanan mempunyai andil untuk
keinginan makan dan dapat menstimulasi atau menghambat konsumsi
berikutnya. Sistem sensor normal penting untuk menikmati makanan.
Kemampuan mencium dan mengecap makanan merupakan unsur yang
terpenting. Aroma makanan akan membangkitkan stimulasi selera makan (14).
Rasa, aroma, penglihatan, dan tekstur / bentuk merupakan komponen
penting dari penilaian kenikmatan makanan. Orang-orang yang indera
penciuman dan pengecapnya berkurang, cenderung mengalami penurunan
nafsu makan dan hingga akhirnya mereka akan mempertanyakan untuk apa
mereka makan. Doty et al menemukan bahwa >60% peserta antara usia 65 dan
80 tahun dan >80% peserta dengan usia 80 tahun memiliki gangguan pada

indera pengecap dan penciuman dibandingkan dengan indera pengecap dan


penciuman peserta yang berusia 50 tahun (15).
Orang lansia mengalami "peningkatan ambang rasa, kesulitan dalam
mengenali berbagai rasa, peningkatan persepsi rasa yang tidak nyaman, dan
menurunnya cita rasa." Banyak studi menunjukkan bahwa ambang batas untuk
mendeteksi selera tertentu (misalnya, manis, asin, pahit) akan meningkat
dengan semakin bertambahnya usia dan obat-obatan tertentu dapat mengurangi
fungsi indera pengecap dan penurunan sensitifitas rasa. Suatu penelitian
melaporkan bahwa orang lansia yang mengkonsumsi obat-obatan, kurang
mampu mendeteksi rasa tertentu pada batas normal. Penelitian yang
membandingkan persepsi rasa antara orang dewasa muda dan dewasa tua
menemukan hasil bahwa orang lanjut usia memiliki penurunan dalam menilai
cita rasa. Orang-orang dengan penurunan indera pengecap dan penciuman pada
akhirnya akan mengalami penurunan dalam nafsu makan (16).
Pengosongan lambung yang tertunda (gastroparesis)
Orang dewasa yang tidak selera makan karena cepat merasa kenyang dan
berlangsung dalam kurun waktu yang lama lebih cenderung untuk makan
makanan ringan dengan porsi lebih sedikit, yang dapat menyebabkan asupan
kalori kurang dan malnutrisi. Tertundanya pengosongan lambung atau
gastroparesis, dapat menyebabkan rasa cepat kenyang. Gejala lain dari
gastroparesis ialah muntah setelah makan, mual, nyeri perut, penurunan berat
badan, dan kekurangan gizi. Sebuah penelitian oleh Di Francesco et al
mengamati lansia yang selama 4 jam setelah mereka mengkonsumsi makanan
10

sebesar 800 kkal, menemukan bahwa pengosongan lambung menjadi tertunda


lebih dari 2 jam, rasa kenyang berlangsung lebih lama, dan terjadi penekanan
rasa lapar. Seiring bertambahnya usia, ada perubahan dalam fungsi sensorik
pencernaan, yang dapat menyebabkan cepatnya rasa kenyang pada orang
dewasa tua (17).
Menurut Morley, penuaan berhubungan dengan kerusakan relaksasi
reseptif dari fundus lambung, yang menghasilkan lebih cepatnya makanan
mengisi daerah antrum, distensi lambung, dan rasa kenyang yang lama.
Distensi lambung adalah indikasi untuk mengakhiri makan, namun, karena
gangguan relaksasi reseptif, dimana terjadi pengisian antrum cepat, orang
lansia akan merasakan rasa kenyang sebelum mereka mengkonsumsi kalori
yang cukup untuk memenuhi gizi mereka. Hormon cholecystokinin (CCK),
yang disekresikan oleh usus proksimal juga berperan dalam memberikan
respon kenyang dan membantu memperantarai pengosongan lambung.
Penelitian menunjukkan bahwa sensitivitas terhadap efek CCK akan meningkat
seiring dengan peningkatan usia, dimana lansia memiliki sensitifitas lebih
tinggi terhadap CCK. Meningkatnya sirkulasi CCK ditambah dengan
meningkatnya sensitifitas, dapat memperlambat pengosongan lambung (18).

Faktor fisiologis lainnya


Selain CCK, beberapa hormon lain juga berkontribusi terhadap
penurunan berat badan secara tidak disengaja. Leptin, hormon peptida yang
diproduksi dalam jaringan adiposa, berfungsi untuk membantu menjaga
11

keseimbangan energi dalam tubuh. Di Francesco et al mencatat bahwa


"rendahnya kadar leptin akan memberikan sinyal untuk penurunan jumlah
lemak tubuh dan kebutuhan asupan energi, sedangkan tingkat leptin yang
tinggi akan memicu lemak tubuh dan adanya rasa untuk tidak memerlukan
asupan makanan lebih lanjut." Penelitian menunjukkan bahwa orang lansia
memiliki tingkat leptin yang lebih tinggi dari dewasa muda, sehingga akan
memicu cadangan makanan berupa lemak dalam tubuh dan tidak adanya
keinginan untuk makan. Insulin yang dikatakan sebagai hormon kenyang,
merupakan regulator lain dalam metabolisme glukosa. Insulin akan
meningkatkan nafsu makan dengan cara meningkatkan sinyal leptin ke
hipotalamus dan menghambat sekresi hormon ghrelin (hormon yang
merangsang nafsu makan). Beberapa peneliti telah menemukan hubungan
antara kadar insulin dan anoreksia geriatri, dan menyimpulkan bahwa kadar
insulin yang lebih tinggi merupakan produk sampingan dari resistensi insulin
dan resistensi insulin merupakan respon terhadap adanya peningkatan
penimbunan lemak tubuh yang merupakan efek dari proses penuaan (17,19).

Masalah mengunyah dan menelan


Kondisi mulut, gigi yang buruk, atau gigi palsu yang tidak pas dapat
menyebabkan proses mengunyah sulit, yang akan menyebabkan pasien untuk
membatasi pilihan makannya, sehingga mengganggu jumlah pemasukan /
asupan energi. Gerakan mengunyah mandibula pada masing-masing lansia
12

tidak sama, bahkan pada lansia yang memiliki gigi yang bagus. Di Amerika
Serikat, 23% lansia berusia 65-75 tahun dan 36% lansia berusia 75 tahun
memiliki penyakit berat periodontal, dan 30% lansia berusia 65 tahun
tersebut sudah kehilangan banyak gigi. Penyebab adanya masalah menelan dan
mengunyah harus diselidiki dan dilakukan tindakan yang tepat (20).
Penggunaan obat-obatan
Banyak lansia secara rutin mengkonsumsi obat-obatan untuk beberapa
kondisi medis, seperti obat hipertensi, nyeri, hiperkolesterolemia, dan masalah
gangguan pernapasan. Penggunaan obat tersebut dapat menyebabkan mulut
kering, mual, muntah, sembelit, dan diare yang merupakan efek buruk yang
biasanya menghambat nafsu makan. Efek samping kemoterapi, seperti mual
dan infeksi pada mukosa mulut, juga dapat menurunkan pemasukan energi.
Beberapa

obat,

seperti

digoxin dan

metformin

dapat

menyebabkan

malabsorpsi. Seperti dijelaskan sebelumnya, antikolinergik dan narkotika juga


dapat memperlambat proses pencernaan dan meningkatkan risiko penurunan
berat badan yang tidak diinginkan (21).

Menutup diri dan Depresi


Kehilangan pasangan dan teman-teman atau perubahan dalam rutinitas
sehari-hari setelah pensiun dapat berkontribusi untuk timbulnya masalah sosial
dan dalam beberapa kasus, perasaan depresi serta kesepian dapat mengurangi
nafsu makan. Van Staveren melaporkan bahwa lansia akan makan dengan porsi
lebih banyak ketika makan bersama dengan orang sekitar dibandingkan ketika
13

makan sendirian. Sebuah penelitian kepada lansia yang tinggal di daerah kota
menunjukan hasil bahwa lansia yang memiliki pengunjung/teman pada saat
makan (tidak sendirian saat makan) akan mengurangi risiko lansia tersebut
terserang dysphoria (perasaan tidak bahagia). Para pengasuh diharapkan dapat
menumbuhkan aspek rasa senang dan sosial dengan cara memotivasi lansia
untuk makan dengan seseorang/orang lain agar tidak merasa kesepian (22,23).
Depresi juga dapat disebabkan masalah patologis. Sekitar 30% dan 40%
dari pasien dengan penyakit Parkinson akan berujung pada depresi (24).
Tingginya tingkat depresi juga telah dilaporkan untuk individu dengan
penyakit Alzheimer, demensia vaskular, penyakit jantung, diabetes mellitus
tipe 2, arthritis, kanker, dan stroke, meskipun tidak jelas apakah kasus depresi
ini berhubungan dengan penyakit yang mendasari proses tersebut. Berbeda
halnya dengan manusia dewasa muda, dimana pada saat mereka depresi
cenderung untuk meningkatkan asupan makanannya, sedangkan pada lansia
akan makan dengan porsi yang sedikit ketika sedang dalam keadaan depresi.
Hal tersebut akan menyebabkan masalah anoreksia geriatri berkepanjangan dan
malnutrisi pada akhirnya (25).
II. 5 Patofisiologi anoreksia geriatri
Regulasi pencernaan makanan adalah suatu yang sangat kompleks, dengan
berbagai mekanisme untuk memastikan proses pencernaan makanan tetap
optimal. Secara garis besar, pemasukan makanan diregulasi oleh pusat makan
yang bekerjasama dengan sistem pengaturan nafsu makan perifer. Sistem pusat
14

pengaturan makan akan menerima stimulasi dari sinyal sel lemak perifer (leptin),
nutrisi yg diabsorbsi dan hormon yang bersirkulasi. Pada studi yang dilakukan
pada manusia dan binatang menunjukan bahwa perubahan pada berbagai macam
sistem diatas terjadi pada proses penuaan, yang menghasilkan proses anoreksia
geriatri. Beberapa studi pada binatang dan manusia berusia tua telah memberikan
petunjuk tentang kemungkinan patogenesis fisiologi anoreksia geriatri (18).
Penjelasan tentang beberapa faktor yang mungkin terlibat dalam patogenesis dari
fisiologi anoreksia geriatri diberikan dalam Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Faktor yang Terlibat dalam Patofisiologi Anoreksia Geriatri (26).
Ketika glukosa dan triacilgliserol masuk ke duodenum orang muda,
menyebabkan pengurangan rasa lapar dan pemasukan makanan. Ketika nutrisi
masuk lewat duodenum pada orang tua / lansia, pengurangan pada rasa lapar dan
pemasukan makanan lebih sedikit ditemukan. Hal ini menyebabkan peningkatan
15

rasa lapar yang terlihat di orang dewasa selama pencernaan makanan terjadi
bukan karena tidak banyaknya sinyal pengatur rasa makan atau peningkatan
respon untuk mengabsorbsi nutrisi di usus halus, tetapi karena adanya sinyal nafsu
makan lain yang berasal dari lambung (26).
Hipotesis ini sesuai dengan penemuan cairan preload yang lebih cepat
kosong dari lambung, dimana tidak terlihat menurunkan atau meningkatkan
pemasukan energi pada orang tua bila dibandingkan orang muda. Penelitian yang
lebih jauh diperlukan dalam pengukuran hormon gastrointestinal dari usus halus
dan perbedaan pada efek agonis dan antagonis pada orang muda dan tua untuk
mendukung hipotesis ini (26).
Sebuah penelitian menunjukkan nilai rata-rata pengosongan lambung yang
lebih lambat pada orang tua dibandingkan orang muda. Dengan penggunaan USG,
menunjukkan derajat distensi antrum yang secara langsung dengan perkembangan
nafsu makan setelah makan. Dengan bertambahnya usia, makanan lebih cepat
bergerak dari fundus ke antrum dan lebih lama berdiam di antrum, memicu
distensi antrum yang lebih cepat dan hebat. Beberapa studi menunjukkan peran
nitrit oxide memerankan peran yang penting dalam pengaturan makanan. Nitrit
oxide diproduksi untuk menghasilkan efek pada pemasukan makanan pada sisi
central dan perifer. Di perifer, nitrit oxide bertanggung jawab untuk relaksasi
fundus lambung untuk makanan, menyebabkan dilatasi fundus untuk berperan
sebagai penampung makanan sebelum membawa makanan ke antrum. Nitrit oxide
melambatkan pengosongan lambung lewat mekanisme pengaturan tonus pylorus
dan dilatasi fundus. Pada penelitian kepada binatang yang berusia tua, terdapat
16

pengurangan pada messenger RNA untuk nitrit oxide sintesis yang disebabkan
penuaan. Hal ini menunjukkan bahwa di orang yang lebih tua, pengurangan nitrit
oxide fundus memacu penurunan relaksasi adaptif, yang menyebabkan nafsu
makan yang lebih cepat pada orang tua (26).
Colesistokinin adalah prototipe hormon penstimulasi nafsu makan dan
bertanggung jawab untuk 10-20 persen sinyal yang bertanggung jawab untuk
penyetop makan pada manusia. Penelitian pada binatang telah menunjukkan
peningkatan efek nafsu makan pada colesistokinin pada orang dewasa bila
dibandingkan pada binatang yang muda. Konsentrasi colesistokinin di sirkulasi
menunjukkan peningkatan pada lansia, tapi satu penelitian menunjukkan hal ini
terjadi hanya pada lansia dengan anorexia dan konsentrasi colesistokinin akan
normal pada orang muda setelah berat badan kembali ke batas normal. Peran
penting colesistokinin pada regulasi lapar pada orang muda dan tua masih belum
pasti pada saat ini. Opioid feeding drive dimediasi sebagian besar oleh dynorphin,
yang memeran peran penting untuk transport lemak pada binatang dan manusia,
penelitian pada tikus menunjukkan menurunnya kemampuan opioid untuk
meningkatkan pemasukan makanan pada binatang tua. Hal ini menurunkan
efektivitas untuk mengurangi reseptor opioid yang terjadi karena pertambahan
usia (26).
Tidak ada penelitian yang memeriksa efektivitas antagonis opioid dalam
mengurangi pemasukan makanan pada orang tua. Tetapi, penurunan asupan
makanan dari penambahan usia telah menyebabkan pengurangan fungsi opioid
pada binatang, silver morley menunjukaan bahwa pada orang tua terjadi
17

kegagalan dalam pengurangan pemasukan cairan ketika disuntikkan antagonis


opioid. Ketika penemuan ini digabung dengan fakta bahwa penurunan nafsu
makan yang besar pada orang lansia berhubungan dengan pencernaan lemak, hal
ini terlihat sebagai bukti preemsumtif bahwa penurunan pemasukan opioid
memegang peranan penting pada perkembangan psikologis dari anoreksia geriatri.
Opoid endogen juga menjembatani indra perasa manis dan konsumsi makanan
manis tidak terlihat menurun oleh penuaan, bahkan mungkin meningkat.
Kemungkinan bahwa pemasukan lemak dipicu oleh opioid (26).
Neuropeptida Y (NPY) adalah agen orexegenic yang baru ditemukan.
Konsentrasi NPY menurun seiring bertambahnya usia. Efek NPY lebih dominan
pada makanan kaya karbohidrat. Penelitian lebih jauh menunjukkan peran NPY
dalam regulasi pemasukan makanan. Namun efektivitas dari neurotransmiter yang
diketahui mengatur nafsu makan, seperti corticotropin releasing factor, tidak
berhubungan dengan usia (26).
Insulin telah terbukti sebagai salah satu agen pemicu nafsu makan dan
konsentrasi insulin meningkat seiring pertumbuhan usia. Amylin adalah agen
anorectic yang terdapat di perifer dan sentral, yang dapat menurunkan
pengosongan lambung. Pada manusia konsentrasi amylin meningkat dari dewasa
muda hingga lansia. Peningkatan ini menunjukkan peran amylin dalam kejadian
anoreksia geriatri (26).
II.6 Presentasi Klinis Malnutrisi pada Lansia
Penilaian status nutrisi dengan antropometri standar, biokimia, dan
pengukuran imunologis sangat kompleks. Monitor ketat berat badan yang
18

mencerminkan ketidakseimbangan antara asupan kalori dan kebutuhan energi,


merupakan cara yang paling sederhana dan paling dapat dipercaya untuk menilai
malnutrisi. Perubahan berat badan dinyatakan dalam persentase perubahan
dibandingkan saat sebelum sakit. Kehilangan 5% berat badan biasanya berkaitan
dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Bila kehilangan berat badan
>10% biasanya berkaitan dengan penurunan status fungsional dan hasil
pengobatan. Kehilangan berat badan 15-20% atau lebih biasanya secara tidak
langsung menunjukan manutrisi berat. Pengukuran antropometri cadangan lemak
dan massa otot dapat membantu penilaian malnutrisi. Evaluasi klinis kehilangan
turgor kulit, atrofi otot interosseus tangan dan otot temporalis kepala juga dapat
menilai hilangnya lemak subkutan dan massa otot. Meskipun tidak ada kriteria
definitif untuk klasifikasi derajat manutrisi energi protein, bila berat badan turun
>20% berat badan sebelum sakit, albumin serum kurang dari 2,1 mg/dl, dan
trasferin serum kurang dari 80 U/ul, biasanya telah terjadi malnutrisi berat (27).
II.7 Tatalaksana Malnutrisi pada Lansia
a. Atasi problem akut (jika ada) seperti mengatasi infeksi, kontrol tekanan
darah, dan menjaga kondisi keseimbangan metabolik, elektrolit, dan cairan.
Setelah masalah akut teratasi, pasien diminta mengkonsumsi sebanyak
mungkin makanan. Tujuannya adalah memberikan asupan kalori kira kira
35 kkal/kgBB ideal. Lakukan upaya intervensi nutrisi yang agresif. Sebagai
patokan umum, dalam 48 jam pertama perawatan sudah diberikan asupan
gizi adekuat. Pendekatan yang diambil tergantung kondisi klinis pasien,
apakah memerlukan support nutrisi jangka pendek atau jangka panjang.
19

Bagi yang membutuhkan support jangka pendek (<10hari) diberikan


hiperalimentasi melalui vena perifer berupa larutan asam amino, dekstrosa
10%, dan intralipid.
b. Pemberian diet per NGT harus dihindari pada pasien usia lanjut dengan
delirium karena resiko aspirasi dan tarikan selang oleh pasien. Bila pasien
tidak delirium dapat diberikan diet per flowcare. Selang ini tidak mengiritasi
dan tidak terlalu mengganggu mobilitas atau kemampuan menelan makanan.
Untuk pasien yang membutuhkan terapi nutrisi selama 6 minggu atau lebih,
dianjurkan pemberian melalui gastrostomi atau jejunostomi. Diet cair harus
mengandung tidak lebih dari 1 kkal/ml dengan kecepatan 25 ml/jam agar
tidak terlalu kental dan dapat masuk ke selang dengan mudah.
c. Target utama adalah kemandirian fungsional dan meningkatkan kekuatan
otot sehingga strategi yang bertujuan memperbaiki massa otot sangatlah
penting. Latihan fisik yang sesuai dapat dilakukan untuk tujuan ini.
Sangatlah penting memahami perlunya pendekatan terpadu dalam
tatalaksana malnutrisi pada usia lanjut. Intervensi nutrisi agresif hanya
merupakan bagian dari keseluruhan strategi (27).

20

Anda mungkin juga menyukai