Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PBL BLOK 244

Batuk Tak Kunjung Sembuh

Kelompok 2
1

Ardi Aprilman (113170008)

Gerri Radiyansyah (113170030)

Amelia Kumalasari (11317)

Anisa Pratiwi Arumningsih (113170007)

Nur Fitriyani Amardina(11317)

Nurlita Sukma Kasali (11317)

Dede Kusmawan (11317)

Gema Disiyuna (11317)

Nanda Febrianti A (110)

10 Riska Meilasari (110)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
TAHUN 2014/2015

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PBL BLOK 244
Kasus 2
Batuk Tak Kunjung Sembuh
Diajukan untuk kegiatan belajar mandiri dan sebagai syarat mengikuti
Ujian Akhir Blok di Fakultas Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati
Cirebon.
Telah disetujui untuk disahkan
Pada tanggal:

Maret 2015

Disusun oleh:
Kelompok 2
1

Ardi Aprilman

Gerri Radiyansyah

Amelia Kumalasari

Anisa Pratiwi Arumningsih

Nur Fitriyani Amardina

Nurlita Sukma Kasali

Dede Kusmawan

Nanda Febriyanti A

Riska Meilasari

10 Gema Disiyuna

Cirebon,

Maret 2015
Tutor

dr. Dini

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan


laporan ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun
tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik.
Laporan ini disusun agar pembaca dapat mengetahui bagaimana cara
memotivasi diri dan mempersiapkan diri, yang kami sajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber. Laporan ini disusun oleh penyusun dengan
berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang
dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan
akhirnya laporan ini dapat terselesaikan.
Laporan ini memuat tentang struktur anatomis saluran pernapasan juga
mengulas

patogenesis

penyakit

tuberculosis,

penatalaksanaan

dan

penanggulangannya. Semua materi tadi akan sangat berguna bagi calon dokter.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada tutor yang telah
membimbing sehingga mengerti tentang bagaimana cara kami menyusun laporan
ini.
Semoga laporan ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Tak ada gading yang tak retak, begitupun dengan laporan ini pastilah
ada kekurangannya kami sangat menghargai kritik dan saran pembaca agar kami
dapat memperbaiki laporan kami selanjutnya.
Terima kasih.

Cirebon, Januari 2014

Tim penyusun

Daftar Isi

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ i
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
Daftar
Isi
..iii
skenario

step
1
..
step
2
..
step
3
..
step
4
..
step
5
..
step
6
..
step
7
..
Patogenesis TB dan
Komplikasinya
.
Penegakkan Diagnosis

.
Penatalaksanaan Farmakologis dan Nonfarmakologis..

Upaya Penanggulangan
TB..
Pengawas Minum Obat (PMO)
.
Alasan dibentuknya
DOTS
.
Indikasi Pemilihan
Pengobatan
.
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................31

Batuk Tak Kunjung Sembuh

Seorang laki-laki berusia 23 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan


batuk berdahak yang tak kunjung sembuh. Keluhan dirasakan sejak 3 bulan yang
lalu sehingga pasien sering tidak masuk kerja. Dalam 2 bulan terakhir pasien
mengeluh berat badan menurun, sering berkeringat pada malam hari, dan kadang
terdapat heoptoe. Dari pemeriksaan fisik di dapatkan adanya ronkhi pada apex
paru dan dokter menyarankan pasien untuk melakukan pemeriksaan rontgen
thoraks dan seputu BTA. Setelah didapatkan hasil pemeriksaan penunjang, dokter
menyampaikan rencana pengobatan pasien selama 6 bulan. Pasien merasa
keberatan dan menceritakan bahwa ia tinggal di daerah yang padat penduduknya,
serta banyak tetangganya yang menderita keluhan yang sama tetapi
mendapatkan pengobatan selama itu.

tidak

Step 1
1. Hemaptoe
2. Sputum
3. Rhonki
4. BTA

: Ekspektorasi berdarah yang berasal dari saluran nafas


bawah (batuk darah).
: Cairan yang diprouksi didalam alveoli dan bronkhus yang
berbeda dengan ludah.
: Suara napas tabahan bernada rendah sehingga bersifat
sonor dan melewati jalan nafas yang sepit dapat terengar
dengan stetoskop.
: Basil Tahan Asam.

Step 2
1. Bagaimana anatomi dan patofisiologi organ respirasi ?
2. Etiologi dari heoptoe ?
3. Bagaimana patogenesis hemoptoe pada pasien ?
4. Apa saja manifestasi yang sering timbul pada penyakit respirasi ?
5. Bagaimana peerikaan penunjang ?
6. Apa diagnosis dari skenario ?
7. Pemeriksaan pasien pada sekenario ?
8. Faktor resiko pada penyakit yang ada pada pasien ?
9. Bagaimana kategori pengobatan pada pasien diskenario ?
10. Bagaimana dengan penyakit pada pasien diskenario bila pengobatan <6
bulan ?
Step 3
1. Struktur
a. Utama
: jalan napas, saluran nafas, parenkim paru.
Pelengkap
: tersusun atas dinding pleura dan diafragma.
b. Cavum nasal : menghantarkan, menyaring, melembabkan.
c. Laring
: menghubungkan faring dan trakea.
d. Faring
: nasofaring, orofaring, laringofaring.
e. Trakea
f. Bronkhiolus terminalis
g. Alveoli
2. Etiologi
a. Infeksi tuberkulosis
b. Abses paru
c. Pneumonia dan caverne atau karena jamur.
d. Hemoptoe dahak 20-100 ml/hari penyebab paling banyak TBC,
bronkeotaksis, bronkitis, kanker ronkogenik.
3. Patogenesis
Bakteri masuk ke dalam tubuh kemudian memicu terbentuknya sistem
imun. terjadi infeksi dan peradangan yang menyebabkan pecah pembuluh
darah.

4. Manifestasi klinis
a. Nyeri dada
b. Sesak nafas
c. Lemes
d. Demam
e. Batuk brdahak, hemoptosis
f. Anoreksia
g. Mengi
h. Sakit kepala
i. Demam+keluar keringat
j. Sakit tenggorokan
5. Rongen thorak, ELISA, sputum BTA, tas PAP, teknik polimerase cham
reaction, CT scan thorak, bronkoskopi, pemeriksaan THT, kultur bacteri.
6. TBC karena Mycobacterium tuberculosis
7. INH (H)
line 1
Refampisin (R) 6 bulan
streptomisin
Pirazinamid (Z)
Etambutol (E)
Sifroplaksin
Sinoserin
Amikagin
line 2
Kanamisin
Kapreomisin
Fase awal intensif bakteriosid
Fase lanjutan bacteriosidal
8. Anak dibawah 3 tahun - rentan
Remaja rentan AIDS
Orang tua rentan
Lingkungan
Pekerjaan
Merokok
Alkohol
9. INH
Etambutol 1-2 bulan
Rifampisin
Dilanjutkan INH + Rifampisin atau etambutol atau streptomisin selama 47 bulan.
10. TBC primer dan pasca primer karena pertumbuhan bakterinya sangat
lambat.
11. Adanya obstruksi menyebabkan sumbatan sekresi dahak.
Step 4
1. Udara dihangatkan dicavum nasi dan sebagian partikel debu yang
berukuran besar tersaring. Di laring ada glotis yang berfungsi untuk
mengatur udara dan makanan yang akan masuk ke trakhea, dan ke bronkus

primer, sekunder, serta tersier, kemudian menuju apex paru yang kayaO
BTC beranastase menginfeksi dan terjadi perdarahan serta menyumbat
jalan nafas sehingga terdengar suaran ronki. Akibat penyempitan jalan
nafas terjadilah respon batuk darah (Hemoptoe).
2. BTC mebutuhkan O pada malam hari O yang dihirup tidak begitu banyak
pada saat O sampai di paru, O tidak dibawa oleh vena pulmonalis,
darah <O akibat CO meningkat dalam darah, berdilatasi membuka poripori.
7.
Panduan
obat
I.
II.
III.

Hasifikasi

Fase awal

Fase lanjut

BTA(+)baru
Sakit berat BTA(+)
Luar paru
Pengobatan ulang
Kambuh BTA (+)
Gagal
TB Paru BTA (-)
TB Paru luar

2HRZ5 (E)

4 RH
4 R 3 H3

2RHE5/
1RHZS

5RHE
5R3H3E3

2RHZ
2RHZ
2R3H3Z3

4RH
4R3H3

Kerangka

PATOGENESIS
FAKTOR
RESIKO
PEMERIKSANPE
NUNJANG

ETIOLOGI
TB PARU

ANATOMI
FISIOLOGI
PENATALAKSANAAN

CARA
PENULARAN

MANIFESTASI
DIAGNOSISKLINIS

Step 5
1.
2.
3.
4.

Bagaimana patofisiologi TB dan komplikasinya ?


Bagaiman penegakan diagnosis TB ?
Bagaimana penatalaksanaan farmakologi dan nonfarmakologi ?
Upaya apa saja yang dilakukan pemerintah untuk penanggulangan TB ?

Step 6
Belajar Mandiri
Step 7
1. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
(Sudoyo, 2007)
Cara penularan
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak.
2. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan
dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan
3. yang gelap dan lembab.
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan
5. dahak, makin menular pasien tersebut.
6. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
(Sudoyo, 2007)
Risiko penularan

1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.


Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
2. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
Terinfeksi TB selama satu tahun
3. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun.
4. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan
perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif (Sudoyo, 2007).
Risiko menjadi sakit TB
1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
2. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata
terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi
sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA
positif.
3. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk).
4. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB
menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya
tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi
penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan
akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila
jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan
meningkat, dengan demikian penularan TB dimasyarakat akan meningkat
pula. (Sudoyo, 2007)
Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:
a. 50% meninggal
b. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
c. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular (Sudoyo, 2007).
PATOGENESIS TUBERKULOSIS
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei)

yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan
menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar
kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di
jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN (Sudoyo, 2007).
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinyainflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe
yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis) (Sudoyo, 2007).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit.
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas seluler (Sudoyo, 2007).
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum
tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada
saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah
terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin.

Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer
terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian
besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun
seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera
dimusnahkan (Sudoyo, 2007).
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional
juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya
biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat
tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini (Sudoyo,
2007).
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya
berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi
yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus
akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosisperkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massakiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang
sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi (Sudoyo, 2007).
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi

darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah


yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik (Sudoyo, 2007).
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara
ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ
yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobusatas paru. Di berbagai lokasi tersebut,
kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya (Sudoyo, 2007).
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit,
tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes
paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan
menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan
lain-lain (Sudoyo, 2007).
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapatmenyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TBdiseminata ini timbul dalam
waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada
jumlah dan virulensi kuman TByang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system
imunpejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita
(Sudoyo, 2007).
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan

melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebihkurang sama. Istilih milier
berasal dari gambaran lesidiseminata yang menyerupai butur padipadian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan
menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran
tipe ini tidak dapatdibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Hal ini dapat terjadi secara berulang (Sudoyo, 2007).
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB
paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB
milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi
primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat
pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini
jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda (Sudoyo,
2007).
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi,
dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian.
TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer (Sudoyo, 2007).
Tuberkulosis ekstra paru
1. Tuberkulosis Tulang/Sendi
Tuberkulosis tulang / sendi merupakan suatu bentuk infeksi
tuberkulosis ekstrapulmonal yang mengenai tulang atau sendi. Indens
tuberkulosis sendi berkisar 1-7 dari seluruh TB. TB tulang belakang
merupakan kejadian tertinggi diikuti sendi panggul dan sendi lutut pada

TB tulang atau sendi. Umumnya TB tulang atau sendi mengenai satu


tulang atau sendi. TB pada tulang belakang dikenal sebagai spondolitis
tuberkulosis, TB pada panggul disebut koksitis tuberkulosis, sedangkan
pada sendi lutut disebut gonitis tuberkulosis (Rahajoe,2005).
Manifestasi klinis yang ditimbulkan bersifat lambat dan tidak khas
sehingga umumnya didiagnosis sudah dala keadaan lanjut. Selain dijumpai
gejala umum, TB dapat dijumpai gejala spesifik berupa bengkak, kaku,
kemerahan, dan nyeri pada pergerakan. Tidak jarang hanya gejala
pembengkakan sendi saja yang dikeluhkan (Rahajoe,2005).
Gejala atau tanda pada TB tulang atau sendi bergantung pada lokasi
kelainan. Kelainan pada tulang belakang disebut gibbus menampakkan
gejala benjolan pada tulang belakang yang umumnya seperti abses tetapi
tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan. Warna benjolan sama dengan
sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan abses dingin. Apabila
dijumpai kelainan pada sendi panggul biasanya pasien berjalan pincang
dan kesulitan berdiri (Rahajoe,2005).
2. Tuberkulosis Kulit
Tuberkulosis kulit dapat terjadi dalam 2 mekanisme, pertama infeksi
primer atau inokulasi langsung kuman TB di kulit, dan yang kedua TB
pascaprimer salah satunya adalah limfadenitis TB yang pecah ke kulit.
Contoh yang pertama antaralain tuberculous charcre. Sedangkan contoh
kedua adalah skrofuloderma dan lupus vulgaris. Di antara berbagai TB
kulit, secara klinis, skrofuloderma merupakan yang paling khas
(Rahajoe,2005).
Skrofuloderma terjadi akibat penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar
getah bening yang terkena TB. Manifestasi klinis skrofuloderma adalah
sama dengan gejala umum TB pada anak. Pada awalnya terdapat
pembesaran kelenjar getah bening yang soliter kemudian melibatkan
kelenjar getah bening disekitarnya (multiple). Lesi awal skrofuloderma
berupa nodul subkutan atau infiltrat subkutan dalam yang keras, berwarna
merah kebiruan dan tidak menimbulkan keluhan. Infiltrat kemudian
meluas / membesar dan menjadi padat kenyal. Lesi kemudian mengalami
pencairan dan menjadi fluktuatif. Kemudian lesi pecah (terbuka ke
permukaan kulit) dan membentuk ulkus berbentuk linear atau serpiginosa.

Ulkus ini mempunyai dasar yang bergranulasi dan tudak beraturan, dengan
tepi bergaung dan berwarna kebiruan. Cairan yang keluar dari lesi ini
dapat bersifat cair, purulen, ataupun kaseosa. Dapat di jumpai fistulafistula yang saling berhubungan dan membentuk kantung-kantung
subkutan yang lunak dan berisi cairan. Selain kantung-kantung yang lunak
ini, terdapat juga nodul grammatosa yang sedikit lebih keras. Kemudian
terbentuk jaringan parut/ sikatriks berupa pita/benang fibrosa padat, yang
membentuk jembatan di antara ulkus-ulkus atau daerah kulit yang normal.
Pada pemeriksaan, didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak dengan
fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan cairan, serta massa yang fluktuatif
(Rahajoe,2005).
3. Tuberkulosis Mata
TB pada mata umumnya mengenai konjuctiva dan kornea sehingga
sering disebut keratokonjungtivitis fliktenularis. Keratokonjungtivitis
fliktenularis (KF) adalah penyakit pada konjungtiva dan kornea yang di
tandai oleh terbentuknya satu atau lebih nodul inflamasi yang disebut
flikten pada daerah limbus. Umumnya ditemukan pada anak usia 3-15
tahun dengan faktor resiko berupa kemiskinan, kepadatan penduduk,
sanitasi buruk, dan keadaan malnutrisi. Penyebab KF dapat dibagi 2
kelompok besar yaitu M. Tuberculosis dan non-tuberkulosis. Pada
kelompok

kedua yang tersering adalah golongan stafilokokus dan

askariasis (Rahajoe,2005).
Patogenesis KF masih belum diketahui, tetapi diduga akibat respon
alergik terhadap tuberkulosis yang sistemik. Hal ini dapat terjadi karena
reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen (Rahajoe,2005).
Manifestasi klinis KF dapat berupa iritasi, nyeri, lakrimasi, dan
fotofobia serta dapat mengeluarkan sekret mata. Gambaran khas KF
adalah berupa nodul kecil berwarna putih/merah muda pada konjungtiva
disertai hiperemis disekitarnya. Nodul tersebut dapat timbul berulang dan
dapat menimbulkan sikatriks yang mengakibatkan (Rahajoe,2005).
4. Tuberkulosis Ginjal

Tuberkulosis ginjal pada anak jarang karena masa inkubasinya


bertahun-tahun. Kuman TB mencapai ginjal selama fase penyebaran
hematogen. Mikroorganisme dapat ditemukan dalam urin dalam kasus TB
milier dan pada beberapa kasus TB paru walaupun tidak ada penyakit
parenkim ginjal dan melepaskan kuman TB ke dalam tubulus. Massa
bakteri melalui fistula ke dalam pelvis ginjal. Infeksi kemudian menyebar
secara lokal ke ureter, prostat, atau epididimis (Rahajoe,2005).
TB ginjal seringkali secara klinis tenang pada fase awal, hanya
ditandai piuria yang steril dan hematuria mikroskopik. Disuria, nyeri
pinggang atau nyeri abdomen dan hematuria makroskopik dapat terjadi
sesuai dengan berkembangnya penyakit (Rahajoe,2005).
2. Penegakan diagnosis
a. Anamnesis
Gejala yang biasa timbul dan bisa ditanyakan kepada pasien curiga TB
adalah :
i.
Demam
: biasanya subfebril menyerupai demam
influenza tetapi kadang kadang panas
dapat mencapai 40 41 derajat celcius,
demam hilang timbul karena
dipengaruhi daya tahan tubuh si pasien
ii. Batuk / batuk darah : Gejala yang banyak ditemukan . batuk
terjadi karena adanya iritasi pada bronkus.
batuk ini diperlukan untuk membuang
produk radang keluar. batuk biasanya
muncul setelah berminggu minggu atau
bernulan bulan perdadangan bermula. sifat
batuk bisa batuk kering ( non produktif )
dan pada saat setelah timbul peradangan
menghasilkan
adalah
iii.

Sesak napas

iv.

Nyeri dada

berupa

sputum.
batuk

kedaan

lanjut

darah

karena

pembuluh darah yang pecah.


: sesak napas baru muncul pada penyakit
yang telah lanjut yang infiltrasinya telah
setengah bagian paru paru.
: gelaja ini agak jarang ditemukan dan
timbul ketika infiltrasi telah sampai ke
pleura sehingga menimulkan pleuritis,
terjadi gesesakan ketka pasien bernapas.

v.

Malaise

: sering berupa anoreksia, badan kurus, sakit


kepala, meriang, mialgia, keringat berlebih.

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksan fisik jarang ditemukan suatu kelainan, akan sulit
menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, kerena hantaran ke
dalam paru mencapai 4cm, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia
biasa, tapi bila tuberkulosis mengenai pleura, sering tebentuk efusi
pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan.
Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara napas
yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
c. Pemeriksaan penunjang
i.
Laboratorium darah rutin ( LED ) untuk melihat normal atau
ii.

iii.
iv.

meningkat, limfositosis
Foto toraks PA dan lateral
1. bayangan lesi terletak di lapang atas paru atau segmen apikal
lobus bawah
2. bayangan berawan atau bebercak
3. adanya kavitas tunggal atau ganda
4. kelainan bilateral, terutama di lapang atas paru
5. adanya kalsifikasi
6. bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian
7. bayang miller
pemeriksaan sputum BTA
Test PAP ( peroksidase anti peroksidase ), merupakan uji test
serologi immunoperoksidase memakai alat immunoperoksadase
staining untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB

v.

Polimerasi chain reaction, deteksi DNA kuman secara spesifik


melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat

vi.

mendekteksi meskipun hanya 1 mikroorganisme.


Becton linked diagnostik instrumen system, deteksi respon berupa

vii.

proses antigen dari metabolisme asam lemak oleh M.teberkulosis


MYCODOT deteksi antibodi memakai antigen lipoarabinomannan
yang di rekatkan pada suatu alat berbentuk sisir pelastik, namum
kemudian di celupkan ke dalam serum pasien. inla terdapat anti
body spesifik dalam jumlah memadai maka sisir akan berubah.

2. Mekanisme, interaksi dan efek samping Obat Anti TBC


A. Isoniazid
Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering disingkat dengan INH,
diketahui menghambat pembelahan kuman tuberculosis, yakni iproniazid,
tetapi obat ini terlalu toksik untuk manusia. (Istiantoro & Setiabudy, 2012).
Mekanisme kerja
Mekanisme kerja isoniazid belum diketahui, tetapi ada beberapa
hipotesis yang diajukan, diantaranya efek pada lemak, biosintesis asam
nukleat, dan glikolisis. Ada pendapat bahwa efek utamanya ialah
menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan
unsure penting dinding sel mikobakterium. Isoniazid kadar rendah
mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang
merupakan bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid menghilangkan
sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yanf tereksktrasi oleh
methanol dari mikobakterium. Hanya kuman peka yang menyerap obat
kedalam selnya, dan ambilan ini merupakan proses aktif. (Istiantoro &
Setiabudy, 2012).

Interaksi obat
1) Isoniazid dapat meningkatkan toksisitas karbamazepine, ethosuximide,
fenitoin, diazepam, triazolam, teofilin, dan warfarin.
2) Konsentrasi dalam darah isoniazid dapat berkurang bila digunakan
bersamaan dengan ketokonazole.
3) Risiko hepatotoksisitas dapat menigkat bila digunakan bersamaan
dengan rifampisin dan obat hepatotoksik lainnya.
4) Pada penderita yang mengkonsumsi alkohol, efektivitas isoniazid
dapat menurun dan risiko neuropati dan hepatotoksisitas dapat
meningkat.(Istiantoro & Setiabudy, 2012).
Efek samping
1) Kemerahan

2)
3)
4)
5)

Kadar enzim hepatic


Hepatitis
Neuropati perifer
Efek system saraf pusat ringan
6) (Price & Wilson, 2006).

7)

Sediaan dan pasologi


8) Isoniazid terdapat dalam bentuk tablet 50, 100, 300, dan 400 mg

serta sirup 10 mg/mL. dalam tablet kadang-kadang telah ditambahkan


vitamin B6. Isoniazid biasanya diberikan dalam dosis tunggal per orang
tiap hari. Dosis biasanya 5 mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari. Untuk
tuberculosis berat dapat diberikan 10 mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari,
tetapi tidak ada bukti bahwa dosis demikian besar ini lebih efektif. Anak
dibawah 4 tahun dosisnya 10 mg/kgBB/hari. Isoniazid juga dapat
diberikan secara intermiten 2 kali seminggu dengan dosis 15
mg/kgBB/hari. Piridoksin diberikan dengan dosis 10 mg/hari. (Istiantoro
& Setiabudy, 2012).
9)
B. Rifampisin
10) Rifampisin adalah derivate semisintetik rifampisin B yaitu salah
satu anggota kelompok antibiotic makrosiklik yang disebut rifamisin.
Kelompok zat ini dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Obat ini
merupakan ion zwitter, larut dalam pelarut organic dan air yang pH nya
asam. Derivate rifampisin lainnya ialah rifabutin dan rifapentin. (Istiantoro
& Setiabudy, 2012).
11)
12)
Mekanisme kerja
13) Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh.
Kerjanya

menghambat

mikobakteria

dan

DNA-dependent

mikroorganisme

lain

RNA
dengan

polymerase

dari

menekan

mula

terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA. Inti RNA


Polymerase dari berbagai sel eukariotik tidak mengikat rifampisin dan
sintesis RNAnya tidak dipengaruhi. Rifampisin dapat menghambat sintesis
RNA mitokondria mamalia tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi dari
kadar untuk penghambatan pada kuman. (Istiantoro & Setiabudy, 2012).
14)

15)

Interaksi obat
16) Pemberian PAS rifampisin akan menghambat absorpsi rifampisin

sehingga kadarnya dalam darah tidak cukup. Rifampisin merupakan


pemacu metabolism obat yang cukup kuat, sehingga sebagai obat
hipoglikemik oral, kortikosteroid, dan kontrasepsi oral akan berkurang
efektifitasnya bila diberikan bersama rifampisin. Mungkin dapat terjadi
kehamilan pada pemberian bersama kontrasepsi oral. Rifampisin mungkin
juga mengganggu metabolism vitamin D sehingga dapat menimbulkan
kelainan tulang dengan berupa osteomalasia. Disulfiram dan probenesid
dapat menghambat ekskresi rifampisin melalui ginjal. Rifampisin
tampaknya meningkatkan hepatoksisitas INH terutama pada asetilator
lambat. (Istiantoro & Setiabudy, 2012).
17)
18)

Efek samping

1)
2)
3)
4)
5)

Gangguan pencernaan
Interaksi obat
Hepatitis
Kemerahan
Gagal ginjal
19) (Price & Wilson, 2006)
20)

21)

Sediaan dan patologi


22) Rifampisin di Indonesia terdapat dalam bentuk kapsul 150 mg dan

300 mg. selain itu terdapat pula tablet 450 mg dan 600 mg serta suspense
yang mengandung 100 mg/5 mL rifampisin. Beberapa sediaan telah
dikombinasi dengan isoniazid. Obat ini biasanya diberikan sehari sekali
sebaiknya satu jam sebelum makan atau dua jam setelah makan. Dosis
untuk orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg ialah 450
mg/hari dan untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 60 mg/hari. untuk
anak-anak dosisnnya 10-20 mg/kgBB per hari dengan dosis maksimum
600 mg/hari. (Istiantoro & Setiabudy, 2012).
23)
24)

C. Pirazinamid
25) Mekanisme Kerja Obat
26) Mekanisme kerja obat ini belum diketahui secara pasti.
Pirazinamid dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase yang
menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada
media yang bersifat asam. In vitro, pertumbuhan kuman tuberkulosisdalam
monosit dihambat sempurna pada kadar pirazinamid 12,5 g/mL
(Istiantoro, 2009).
27) Efek Samping Obat
a. Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainann hati.
Maka dari itu tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan
fungsi hati.
b. Obat ini menghambat ekresi asam urat dan dapat menyebabkan
kambuhnya pirai.
c. Efek samping lain adalah artralgia, anoreksia, mual dan muntah,
disuria, malaise, dan demam (Istiantoro, 2009).
28)
29) Sediaan Obat
30) Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg
(Istiantoro,2009).
31)
32) Dosis Obat
33) Dosis pirazinamid adalah 20-35 mg/kgBB/hari, maksimum 3 gr.
(Istiantoro, 2009).
34) Indikasi
35)

Indikasi

dari

pirazinamid

adalah

untuk

tuberkulosis

dan

tuberkulostatik lainnya. Bersifat bakteriosidal yang hanya aktif terhadap


kuman Mikobakterium tuberkulosis yang masih membelah diri dalam sel.
Efeknya menonjol hanya dalam dua atau tiga bulan ertama pengobatan.
Khususnya sangat bermanfaat untuk meningitis tuberkulosa karena
penetrasinya sangat baik ke meningen (Hardjosaputra, 2008).
36)
37) Kontraindikasi

38)

Pasien

dengan

gangguan

fungsi

hati

(Hardjosaputra, 2008).
39) Farmakokinetik
40) Pirazinamid mudah diserap diusus dan tersebar luas keseluruh
tubuh. Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 ug/ml pada 2
jam setelah pemberian secara oral. Ekskresi pirazinamid utamanya melalui
filtrasi glomerulus. Asam pirazinoat yang aktif kemudian akan mengalami
hidroksilasis menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan metabolit
utama (Syarif, 2011).
D. Etambuthol
41)

Mekanisme Kerja
42) Etambutol efektif terhadap galur M. Tuberkulosis dan M. Kansasi.

Etambutol tidak efektif terhadap kuman lain. Etambutol akan tetap


menekan pertumbuhan dari mikobakterium tuberkulosis meskipun sudah
resisten terhadap isoniazid dan rifampisin. Kerja dari obat ini adalah
dengan menghambat sintesis metabolit sel. Sehingga metabolisme sel akan
terhambat dan sel akan mati. Oleh karena itu sel ini hanya efektif terhadap
sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik. Resistensi terhadap
etambutol biasanya sangat lambat, namun resistensi akan timul bila
digunakan tunggal.(Istiantoro, 2009).
43)
Efek Samping Obat
a. Pada dosis harian efek sampingnya biasanya yaitu penurunan
ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam.
b. Efek samping lainnya adalah pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran
cerna, malaise, sakit kepala, pening, bingung,disorientasi, dan
mungkin juga halusinasi.
c. Efek samping sangat perlu diperhatikan adalah gangguan penglihatan
yang dapat timbul selama penggunaan obat.
d. Dapat menyebabkan peningkatan asam urat pada 50% pasien.
(Istiantoro, 2009).
44)
45)
46)

3. Sediaan Obat
47) Tablet 250 mg dan 500 mg, ada pula sediaan yang telah dicampur dengan
isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap. (Syarif, 2011).
48)
4. Dosis Obat
49) Dosis biasanya 15 mg/kgBB, diberikan sekali sehari, ada pula yang
menggunakan dosis 25 mg/kgBB selama 60 hari pertama, kemudian
diturunkan menjadi 15 mg/kgBB. Pengurangan dosis diperlukan pada
pasien dengan gangguan ginjal. (Katzung, 2009).
5. Indikasi
50)

Indikasi

etambutol

untuk

pengobatan

tuberkulosis (infeksi Mikobakterium tuberkulosis dan Mikobakterium


kansasii) dalam kombinasi dengan antituberkulosis lainnya seperti
Rifampisin dan atau Isoniazid. (Hardjosaputra, 2008).
6. Kontraindikasi
a. Penderita yang diketahui menderita neuritis optikus
b. Tidak dianjurkan bagi penderita konvulsi atau epilepsi.(Hardjosaputra,
2008)
51)
7. Farmakokinetik
52)

Pada pemberian secara preoral sekitar 75-80 %

etambutol diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma akan
dicapai dalam waktu 2-4 jam. Dosis tunggal 15 mg/kgBB menghasilkan
kadar dalam plasma 5 ug/ml pada 2-4 jam. Masa paruh eliminasinya 3-4
jam. Kadar etambutol dalam eritrosit 1-2 kali kadar dlam plasma. Oleh
karena itu, eritrosit dapat berperan depot dari etambutol yang kemudian
melepaskannya sedikit demi sedikit kedalam plasma. Dalam 24 jam, 90 %
etambutol yang di ekskresikan dalam bentuk asal melalui urine dan 10 %
sebagai metabolit berupa derivat aldehid dan asam karboksilat. (Syarif,
2011).
53)
54) Streptomisin
1. Mekanisme Kerja

55)

Obat ini dinilai secara klinik sebagai obat

antituberkulosis

yang

efektif.

Streptomisin

memiliki

sifat

bakteriostatik dan bakteriosidal terhadap kuman M. tuberculosis Obat


ini bekerja secara supresi bukan eradikasi kuman tuberculosis.
(Istiantoro, 2009).
2. Efek Samping
a. Kadang terjadi sakit kepala atau malaise.
b. Parestesi dimuka dapat terjadi.
c. Bersifat neurotoksin pada saraf kranial ke VIII, bila diberikan
dengan dosis besar dan lama.
d. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas sangat tinggi pada kelompok usia
diatas 65 tahun.
e. Efek samping lainnya adalah reaksi anafilaktik, agranulositosis,
anemia aplastik, dan demam obat.(Istiantoro, 2009).
3. Sediaan Obat
56)

Streptomisin terdapat dalam bentuk bubuk injeksi

dalam vial 1 dan 5 gram.(Istiantoro, 2009).


4. Dosis Obat
57)
Dosisnya 20 mg/kgBB secara IM, maksimum 1
gram/hari selama 2 sampai 3 minggu. Kemudian frekuensi pemberian
dikurangi menjadi 2-3 kali seminggu. Dosis harus dikurangi untuk
orang lansia, anak-anak, orang dewasa yang berbadan kecil, dan pasien
dengan gannguan fungsi ginjal.(Istiantoro, 2009).
5. Indikasi
58)

Tuberkulosis

dan

infeksi

lainnya

yang

membutuhkan streptomisin.
6. Kontraindikasi
59)
60)
61)
7. Farmakokinetik

Hipersensitivitas terhadap aminoglikosida lain.

62)

Setelah di serap melalui tempat yang di

injeksikan, hampir semua streptomisin berada dalam plasma.


Streptomisin akan dieksresikan melalui filtrasi glomerulus. Kira kira
50-60 % dosis yang diberikan parenteral akan diekresikan dalam
bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Sebagian besar zat ini akan
dieksresikan dalam waktu 12 jam. Masa paruh itu pada orang dewasa
normal 2-3 jam. Ototoksisitas lebih sering terjadi pada pasien yang
fungsi ginjalnya terganggu. (Syarif, 2011).
E. Fluorokuinolon
63)
Selain aktivitasnya terhadap berbagai baktena Gram-positif
dan Gram-negatif siprofloksasin, ofloksasin dan levofloksasin terbukti
mempunyai aktivitas yang cukup baik terhadap M. tuberculosis, sehingga
digunakan untuk pengobatan tuberkulosis sebagai obat lini-kedua.
Levofloksasin, suatu L-isomer dan ofloksasin (suatu campuran rasemik
dari D-dan L-stereo isomer), merupakan komponen antibakteri aktif dan
ofloksasin, sebagai antibakteri lebih aktif dari ofloksasin dan selain itu
dapat diberikan satu kali sehari. Fluorokuinolon sebagai antibiotik sudah
lama dikenal dan relatif aman, sehingga penambahan obat ini sebagai
antituberkulosis lini-kedua akan sangat membantu penanggulangan
tuberkulosis, terutama yang sudah resisten dengan obat lini-pertama.
Namun perlu diperhatikan bahwa bila fluorokuinolon diberikan sebagai
obat tunggal akan cepat sekali timbul resistensi pada mikobakteri akibat
mutasi dari sub-unit girase A, karena itu harus diberikan bersama
tuberkulostatika lain yang masih aktif. (Yati dan Rianto, 2009)
64)
Obat-obat tersebut juga aktif terhadap beberapa spesies
mikobakteria atipik, seperti: M. kansasii, M. avium complex (MAC) dan
M. fortuitum. In vitro levofloksasin sedikit lebih aktif dibandingkan
siprofloksasin terhadap M. tuberculosis, tetapi terhadap mikobakteria
atipik siprofloksasin lebih aktif. Dosis terapi yang dianjurkan ialah:
siprofloksasin 750 mg-dua kali sehari oral;ofloksasin 300 mg dua kali
sehari; dan levofloksasin 500-750 mg dosis tunggal sehari. (Yati dan
Rianto, 2009)
65) Asam Paraaminosalisilat

66)

Sebelum ditemukan etambutol, para-amino salisilat (PAS)

merupakan obat yang sering dikombinasikan dengan anti tuberkulosis


lain. (Yati dan Rianto, 2009)
67)
Aktivitas Antibakteri. Obat ini bersifat bakteriostatik. In
vitro sebagian besar strain M. tuberculosis sensitif terhadap PAS dengan
kadar 1 g/mL. aktivitas antimikroba PAS sangat spesifik terhadap M.
tuberculosis saja. Sebagian besar mikobakterium antipik tidak dihambat
oleh obat tersebut. Efektivitas obat ini kurang bila dibandingkan dengan
streptomisin, isoniazid, dan rifampisin. Pengobatan dengan PAS saja
manfaatnya sangat kecil. (Yati dan Rianto, 2009)
68)
Mekanisme Kerja.PAS mempunyai rumus molekul yang
minip dengan asam para aminobenzoat (PABA). Mekanisme kerjanya
sangat mirip dengan sulfonamide. Karena sulfonamide tidak efektif
terhadap M. tuberculosis dan PAS tidak efektif terhadap kuman yang
sensitif terhadap sulf onamide, maka ada kemungkinan bahwa enzim yang
bertanggung jawab untuk biosintesis folat pada berbagai macam mirkroba
bersifat spesifik. (Yati dan Rianto, 2009)
69)
Resistensi. Secara umum resistensi in vitro terhadap PAS
lebih sukar terjadi dibandingkan terhadap streptomisin. Resistensi
terhadap PAS juga terjadi pada pasien yang sedang dalam pengobatan,
walaupun terjadinya lebih lambat ketimbang streptomisin. (Yati dan
Rianto, 2009)
70)
Farmakokinetik. PAS mudah diserap melalui saluran cerna.
Obat inimencapai kadar tinggi dalam berbagai cairan tubuh kecuali dalam
cairan otak. Masa paruh obat sekitar satu jam. De!apan puluh persen PAS
diekskresi melalui ginjal, 50% di antaranya dalam bentuk terasetilasi.
Pasien dengan insufisiensi ginjal tidak dianjurkan menggunakan PAS
karena ekskresinya terganggu. (Yati dan Rianto, 2009)
71)
Efek Samping. Insidens efek samping pada pemberian PAS
hampir mencapal 10%, gejala yang agak menonjol iaiah mual dan
gangguan saluran cerna lainnya. Pasien tukak peptik tidak dianjurkan
menggunakan obat ini. Reaksi hipersensitivitas umumnya terjadi dengan
gambaran seperti demam, kelainan kulit yang disertai demam ataupun
sakit sendi. Kelainan darah seperti leukopenia. agranulositopenia,

eosinofilia,

limfositosis,

sindrom

mononukleosis

atipik,

dan

trombositopenia pernah dilaporkan. Pada keadaan tertentu dapat timbul


hemolisis.(Yati dan Rianto, 2009)
72)
Sediaan Dan Posologi. PAS terdapat dalam bentuk tablet
500 mg yang diberikan dengan dosis oral 8-12 g sehari, dibagi dalam
beberapa dosis. (Yati dan Rianto, 2009)
73) Etionamid
74)
Etionamid merupakan turunan tioisonikotinamid. Zat in
berwarna kuning dan tidak larut dalam air. (Yati dan Rianto, 2009)
75)
Aktivitas Antibakteri. In vitro, etionamid menghambat
pertumbuhan M. tuberculosis jenis human pada kadar 0,9-2,5 g/mL.
Basil yang sudah resisten terhadap tuberkulostatik lain masih sensitif
terhadap etionamid. Mikobakterium jenis lain kurang sensitif terhadap
etionamid, atau memerlukan kadar yang lebih tinggi. Obat ini sama
efektifnya terhadap basil intrasel maupun ekstrasel. Resistensi mudah
terjadi bila dosis kurang tinggi atau obat ini digunakan sendiri, dan timbul
lebih lambat jika dikombinasi dengan streptomisin atau INH. (Yati dan
Rianto, 2009)
76)
Farmakokinetik. Pada pemberian peroral etionamid mudah
di absorpsi. Kadar puncak tercapai dalam 3 jam dan kadar terapi bertahan
selama 12 jam. Distribusi cepat, luas, dan merata ke seluruh cairan dan
jaringan tubuh. Ekskresi berlangsung cepat dan terutama dalam bentuk
metabolitnya, hanya 1% dalam bentuk aktif. (Yati dan Rianto, 2009)
77)
Efek Samping. Efek samping yang paling sering dijumpai
adalah anoreksia, mual, dan muntah. Sering juga terjadi hipotensi postural
yang hebat, depresi mental, mengantuk, dan asthenia. Dapat pula terjadi
rasa kecap metalik, sedangkan kejang dan neuropati primer jarang terjadi.
Efek sarnping lain pada sistem saraf mencakup gangguan pada saraf
olfaktorius, penglihatan kabur, diplopia, vertigo, parestesia, sakit kepala,
rasa

lelah,

dan

tremor.

Kemerahan

kulit,

purpura,

stomatitis,

ginekomastia, impotensi, menoragi, akne, dan alopesia juga pernah


dilaporkan. (Yati dan Rianto, 2009)
78)
Hepatitis terjadi pada sekitar 5% pasien yang menggunakan
obat ml. Gejala hepatotoksik hilang bila pengobatan dihentikan. Fungsi
hati pasien yang rnendapat etionamid perlu diperiksa secara teratur dan

penggunaannya dianjutkan bersama dengan piridoksin. (Yati dan Rianto,


2009)
79)

Sediaan Dan Posologi. Etionamid terdapat dalam bentuk

tablet 250 mg. dosis awal ialah dua kali 250 mg sehari, kemudian
dinaikkan setiap lima hari dengan 125 mg sampai maksimal 1 g/hari. Obat
ini sebaiknya diberikan pada waktu makan untuk mengurangi iritasi
lambung. (Yati dan Rianto, 2009)
80)
Status Dalam Pengobatan.
antituberkulosis
antituberkulosis

sekunder
lain

bila

yang
obat

harus
primer

Etionamid

merupakan

dikombinasi
tidak

efektif

dengan
lagi

atau

dikontraindikasikan. Obat ini tidak beredar di Indonesia. (Yati dan Rianto,


2009)
81)

Aminoglikosida
82)
Antibiotika golongan aminoglikosida dihasilkan oleh

berbagai jenis Streptomyces dan Micromonospora.Dari segi kimia


senyawanya merupakan gula amino dengan ikatan glikosidik yang larut
dalam air garam sulfat dan HCl nya berupa kristal.(Gunawan,2011)
I.

Karakteristik Aminoglikosida
83) 1. Tidak satupun aminoglikosida diabsorpsi secara memadai pada
pemberian oral.
84) 2. Mekanisme kerjanya identik satu sama lain.
85) 3. Spektrum aktivitas terutama terhadap bakteri gram negative.
86) 4. Toksisitas utama adalah ototoksis pada saraf otak ke 8 dan
nefrotoksik.
87)
88) Resistensi terhadap aminoglikosida dapat terjadi melalui 3
mekanisme yaitu:
89) 1. Mutasi protein pada ribosom bakteri
90) 2. Kegagalan penetrasi aminoglikosida
91) 3. Inaktivasi aminoglikosida oleh
(Gunawan,2011)

92)
93)

II. Mekanisme Kerja Aminoglikosida

1. Aminoglikosida berdaya kerja bakterisida.

enzim

bakteri.

2. Aminoglikosida terikat pada sub unit 30 S dari ribosom maka sub


unit 70 S nya tidak terbentuk sehingga terjadi inhibisi sintesis
protein karena salah baca kode genetik
3. Asam amino yang salah yang disambungkan pada rantai
polipeptida sehingga terbentuk protein yang berbeda.Mekanisme
lain yaitu merusak membran sel bakteri sehingga bakteri mati.
(Gunawan,2011)
94)
A. Aminoglikosida Parenteral
a) Garam sulfatnya diberikan secara intra muscular karena
absorpsinya baik sekali.
b) Kadar puncak dalam plasma dicapai setelah 2 jam.
c) Streptomisin seluruhnya masuk ke dalam plasma,hanya sedikit
yang masuk ke eritrosit maupun makrofag, sukar masuk ke
d)
e)
f)
g)

dalam sel.
Penetrasi pada sekret dan jaringan rendah.
Penetrasi pada saluran nafas buruk.
Ekskresinya melalui ginjal terutama dengan filtrasi glomerulus.
Gangguan fungsi ginjal menghambat ekskresi, mempercepat

efek nefrotoksik.
h) Pada bayi neonatus atau prematur, usialanjut juga cepat
menimbulkan nefrotoksik.
i) Pada gangguan fungsi ginjal waktu paruh cepat meningkat dari
2-3 jam menjadi 50-100 jam.(Gunawan,2011)
B. Aminoglikosida Non Sistemik
a) Neomisin, paromomisin dan framisetin tidak digunakan secara
parenteral karena terlalu toksik.
b) Neomisin yang diberikan 10 g secara oral selama 3 hari tidak
mencapai kadar toksik dalam darah..
c) Pada insufisiensi ginjal kadar neomisin dalam darah cepat
meningkat sehingga menimbulkan nefrotoksik.
d) Dosis harus dikurangi atau diganti kanamisin yang aktivitasnya
sama tetapi kurang toksik.
e) Neomisin pada anak-anak harus dibatasi, dosis 100 mg/kg BB.
f) Jangan lebih dari 3 minggu.
95) g) Neomisin yang tidak diabsorpsi dalam usus akan keluar
bersama feses dalam keadaan utuh. (Gunawan,2011)
96)

97)
1.

Efek Samping Aminoglikosida :

Alergi
a) Potensinya untuk menimbulkan alergi rendah.
b) Kadang-kadang dapat terjadi reaksi kulit memerah, eosinofilia,
demam, kelainan darah, dermatitis, angioudem, stomatitis dan syok

2.

anafilaksis.
Reaksi iritasi:
a) Reaksi iritasi berupa rasa nyeri di tempat penyuntikan.
b) Suntikan diikuti radang dan peningkatan suhu 0,5-1,5 derajat C.
(Gunawan,2011)
98)
99) Efek Toksik
100) Reaksi toksik dapat terjadi pada SSP berupa :
A.

Efek Ototoksik (gangguan pendengaran dan keseimbangan)


a. Efek ototoksik terjadi pada saraf otak ke 8 (nervus auditorius)
yang mengenai komponen vestibular dan akustik.
b. Setiap aminoglikosida berpotensi menyebabkan dua efek
toksik dalam derajat yang berbeda.
c. Streptomisin dan gentamisin lebih mempengaruhi vestibular.
d. Neomisin, kanamisin, amikasin dan dihidrostreptomisin lebih
mempengaruhi akustik.
e. Tobramisin mempengaruhi

akustik

dan

vestibular.

(Gunawan,2011)
B. Efek Nefrotoksik (gangguan pada ginjal)
101)
a. Gejala:-

Gangguan Vestibular
sakit

kepala,pusing,mual,muntah,gangguan

keseimbangan
b. Pemulihan : 12-18 bulan ada yang menetap, dapat meluas ke
c.
d.
e.
f.

ujung serabut saraf kohlea.


Dosis toksik: 2 g sehari selama 60-120 hari
Kejadian toksik sampai 75%.
1 g sehari selama 60-120 hari
Kejadian toksik sampai 25 %
102)

Gangguan akustik:

a. Gangguan tidak langsung di kedua telinga sekaligus tetap


bertahap.
b. Dapat berkembang jadi tuli saraf.

c.
d.
e.
f.

Kerusakan berupa degenarasi sel rambut organ corti.


Gangguan akustik terjadi pada anak-anak.
Gejala awal : tinnitus
Frekuensi kejadian:
- Streptomisin 4-15%
- Gentamisin, amikasin, tobramisin 25 %
- Kanamisin 30%

103)
C.

Efek nefrotoksik:
1. Gejala:
a.
Kemampuan ginjal menurun
b.
Protein uria ringan
c.
Filtrasi glomerulus menurun
d.
Nekrosis tubuli berat ditandai dengan kenaikan
e.
Kreatinin, hipokalemia, hipokalsemia.
f.
Gangguan terjasi reversible(Katzung,2010)
104)
105)

Sikloserin
Sikloserin merupakan antibiotic yang dihasilkan oleh

Streptomyces orchidaceus, dan sekarang dapat dibuat secara sintetik.


A. Mekanisme kerja: menghambat pertumbuhan M. tuberculosi dengan
cara menghambat sintesis dinding sel Sediaan dan Posologi:
a. Bentuk kapsul 250 mg, diberikan 2 kali sehari
b. Dosis besar (250-500 mg tiap 6 jam) dapat digunakan dengan aman
bila diberikan bersama piridoksin atau depresan SSP.
B. Efek samping:
a. Sering timbul adalah pada SSP dan biasanya terjadi dalam 2 minggu
pertama pengobatan. Gejalanya ialah somnolen, sakit kepala, tremor,
disartria, vertigo, gangguan tingkah laku, paresis, serangan psikosis
akut, dan konvulsi.
b. Serangan dapat menyerupai epilepsi grand mal atau epilepsi petit
mal, dan insidensnya berhubungan dengan dosis yang digunakan.
c. Dosis 2 gram sehari dapat menimbulkan konvulsi pada 5-10%
penderita.
d. Kontraindikasi: penderita epilepsy depresi atau mengalami ansietas.
e. Efek samping yang palig sering timbul dalam pegguanaan sikloserin
ialah pada SSP dan biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama
pengobatan.(Katzung,2010)
106)
107)

C. Aktivitas Antibakteri
108) In vitro

sikloserin

menghambat

pertumbuhan

tuberculosis pada kadar 5-20 g/ml melalui penghambatan sintesis


dinding sel.(Katzung,2010)
109)
D. Farmakokinetik
110) Setelah pemberian oral absorpsinya baik, kadar puncak
dalam darah dicapai 4-8 jam setelah pemberian obat. Distribusi dan
difusi keseluruh cairan dan jaringan tubuh baik sekali. Ekskersi
maksimal tercapai dalam 2-6 jam setelah pemberian obat dan 50 % di
ekskresi melalui urin dalam bentuk utuh selama 12 jam pertama.
(Katzung,2010)
3.
111)
112)
113)
114)
115)
116)
117)
118)

Penatalaksanaan Non-Farmakologi Pada TBC


119)

Salah satu cara penanganan penyakit TBC aman dan tepat

adalah dengan menggunakan terapi non-farmakologi atau sering kita kenal


dengan perawatan tanpa obat atau dengan perawatan tanpa obat. Terapi
non-farmakologi dipandang sebagai cara tepat untuk mengatasi penyakit
TBC karena tidak menggunakan senyawa yang berabahaya sehingga
sangat aman untuk dilaksanakan bagi pasien, selain itu terapi nonfarmakologi juga sangat mudah untuk dilakukan.
120) Terapi non-farmakologi penyakit TBC, antara lain:
1. Dengan mengkonsumsi makanan bergizi.
121)
Salah satu penyebab penyakit TBC adalah kekurangan gizi,
seperti mineral dan vitamin maka dari itu akan sangat penting bila
pasien secara rutin mengkonsumsi makanan bergizi.
2. Dengan tinggal dilingkungan sehat dan bersih.
122)
Lingkungan yang sehat dan bersih akan membantu pasien
untuk segera sembuh, karena penyakit ini disebabkan oleh bakteri
sehingga jika pasien berada dilingkungan yang kotor maka akan

menyebabkan

bakteri

semakin

berkembang

sehingga

dapat

memperburuk keadaan.
3. Dengan adanya ventilasi rumah yang baik.
123)
Apabila rumah pasien cukup lembab maka harus ada
ventilasi yang baik agar cahaya matahari dapat masuk kerumah
terutama

pada

kamar

tidur

pasien.

Karena,

Mykobacterium

tuberculosis dapat mati bila terkena sinar matahari.


4. Dengan berolahraga secara teratur.
5. Dengan proses pembedahan
124)
Pembedahan dilakukan jika ada indikasi.
125)
4. Penanggulangan
a. Terapi yang segera dan efektif pada pasien tuberkulosis aktif dan
follow-up yang teliti pada orang yang kontak dengan tes tuberkulin,
rontgen, dan terapi yang tepat merupakan hal utama untuk
pengendalian tuberkulosis dalam kesehatan masyarakat.
b. Pemberian obat pada pasien asimtomatik dengan hasil tes tuberkulin
positif pada kelompok usia yang paling rentan untuk mengalami
komplikasi (misalnya anak-anak) dan pada pasien tuberkulin positif
yang harus menerima obat penekan sistem imun akan sangat menurun
reaktivasi infeksi.
c. Resistensi masing-masing

pejamu:

Faktor

nonspesifik

dapat

menurunkan resistensi pejamu sehingga memudahkan perubahan


infeksi asimptomatik menjadi penyakit. Berbagai faktor tersebut
meliputi kelaparan, gastrektomi, dan supresi imunitas seluler oleh obat
(misalnya kortikosteroid) atau infeksi. lnfeksi HIV adalah faktor risiko
utama tuberkulosis.
d. Imunisasi: Berbagai basil tuberkulosis virulen ini terutama BCG
(bacillus Calmette-Guerin, basil sapi yang dilemahkan), telah
digunakan untuk menginduksi resistensi dalam jumlah tertentu pada
orang-orang yang sangat terpapar dengan infeksi. Vaksinasi dengan
organisme ini adalah pengganti infeksi primer dengan basil
tuberkulosis virulen tanpa bersifat membahayakan di kemudian hari.
Vaksin yang tersedia tersebut tidak memadai dari berbagam sudut
pandang teknik biologis. Meskipun demikian, BCG diberikan kepada
anak-anak di banyak negara. Bukti statistik mengindikasikan bahwa

terjadi peningkatan resistensi dalam jangka waktu tertentu setelah


vaksinasi BCG.
e. Eradikasi tuberkulosis pada sapi dan pasteurisasi susu telah sangat
menurunkan infeksi M. Bovis (Brooks. GF dan Karen.CC, 2014).
126)
5. Pengawas Menelan Obat (PMO)
127)

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan

OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin


keteraturan pengobatan diperlukan

seorang PMO. Sebaiknya PMO

adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya,


Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan,
guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota
keluarga.
A. Persyaratan PMO
1) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan
dihormati oleh pasien.
2) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
pasien
128)
B. Tugas seorang PMO
1) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang
telah ditentukan.
4) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai

gejala-

gejala

mencurigakan

TB

memeriksakan diri ke sarana pelayanan kesehatan.

untuk

segera

129)

Tugas seorang PMO bukan untuk mengganti kewajiban pasien

mengambil
130) obat dari sarana pelayanan kesehatan.
131)
132)
C. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan
kepada pasien dan keluarganya:
1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya.
4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan ke sarana pelayanan kesehatan (Supari, 2009)
133)
6. Alasan dibentuknya DOTS untuk kasus TB
134)

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah

terinfeksi oleh

Mycobacterium tuberculosis.

Pada

tahun

1995,

diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB


diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat
TB di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang.
135)

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang

paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang


pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4
bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah
tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan
kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara
ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial
stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
136)

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara

lain adalah:
a. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara

negara yang sedang berkembang.


b. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
c. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
d. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak
terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar, dan sebagainya).
e. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat
yang

tidak

standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah

didiagnosis)
f. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
g. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang
mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
h. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan struktur umur kependudukan.
i. Dampak pandemi HIV.
137)
138)

Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus

TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama


pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB
besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun
1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global
emergency).
139)

Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah

permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko


kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda
kuman TB terhadap obat anti TB (Multi Drug Resistance = MDR)
semakin

menjadi masalah

akibat

kasus

yang

tidak

berhasil

disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan


terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.
140)

Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000

kasus baru dan kematian 101.000 orang dengan Insidensi kasus TB BTA

positif sekitar 110 per 100.000 penduduk.


141)

Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB

mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara


bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional
di seluruh sarana pelayanan kesehatan terutama Puskesmas yang di
integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar.
142)

Fakta menunjukkan bahwa TB masih merupakan masalah

utama kesehatan masyarakat Indonesia, antara lain:


a. Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di
dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan jumlah pasien TB di
Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia.
b. Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian
nomor tiga (3) setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran
pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu (1) dari
golongan penyakit infeksi.
c. Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan
bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per
100.000 penduduk. Secara Regional Insiden TB BTA positif di
Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu:
1) Wilayah Sumatera angka insiden TB adalah 160 per 100.000
penduduk.
2) Wilayah Jawa angka insiden TB adalah 107 per 100.000
penduduk.
3) Wilayah Indonesia Timur angka insiden TB adalah 210 per
100.000 penduduk.
4) Khusus untuk Provinsi DIY dan Bali angka insiden TB adalah 64
per 100.000 penduduk.
143)
144)

Berdasarkan

hasil

survey

prevalensi

tahun

2004,

diperkirakan penurunan insiden TB Basil Tahan Asam (BTA) positif


secara Nasional 2-3 % setiap tahunnya. Sampai tahun 2005, program

Penanggulangan

TB

dengan

Strategi

DOTS

menjangkau

98%

Puskesmas, sementara rumah sakit dan Balai Besar Kesehatan Paru


Masyarakat (BBKPM) atau Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM)
145)
146)

atau Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru/Rumah Sakit Paru

(RSP) baru sekitar 30% (Supari,2009)


147)
7. Indikasi Pemilihan Pengobatan KDT dan Kombipak pada TB
148)

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip

sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.
b. Untuk

menjamin

kepatuhan

pasien

menelan

obat,

dilakukan

pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh


seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
149)
150)

Tahap awal (intensif)

1) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
151)
152)

Tahap Lanjutan

1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.
153)
2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
154)
155)

Paduan

OAT

yang

digunakan

oleh

Program

Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:


a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
156)

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat

sisipan (HRZE)
c. Kategori Anak: 2HRZ/4HR
157)
158)

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam

bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan


kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
159)
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
160)

Paket Kombipak terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam

satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol.


Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT.
161)
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1)
pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
162)
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan
TB:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko


terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan
penulisan resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
163)
164)

Penatalaksanaan Pasien dengan Efek Samping Gatal dan

Kemerahan Kulit
165) Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai
mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain.
Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan
pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang,
namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit.
Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai
kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping

ini

bertambah berat, pasien perlu dirujuk.


166)
Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek
samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka
pemberian kembali OAT harus dengan cara drug challenging
dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk
menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek
samping tersebut.
b. Efek

samping

hipersensitivitas

hepatotoksisitas
atau

karena

bisa

terjadi

kelebihan

karena

reaksi

dosis.

Untuk

membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi


kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam
proses rechallenge yang dimulai dengandosuis rendah sudah timbul
reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.
c. Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah
diketahui, misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin,
maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat

tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain.


Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini
akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.
d. Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas
(kepekaan) terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini
merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan
obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila
pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau
Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan
desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB
dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi
keracunan yang berat (Supari, 2009).
167)
168)
169)
170)
171)
172)
173)
174)
175)
176)
177)
178)
179)
180)
181)
182)
183)
184)
185)
186)

187)
188)

Referensi

Brooks. GF dan Karen.CC. 2014. Mikrobiologi Kedokteran

Jawetz, Melnick &


189)
190)

Adelberg Edisi 25. Jakarta, EGC

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

191)

364/Menkes/SK/V/2009

Tentang

Pedoman

Penanggulangan

Tuberkulosis (TB)
192)

Rahajoe dan Nastiti.2005.Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak.

Jakarta: UKK
193) Pulmonologi PP IDAI
194)

Sudoyo, dkk. 2014. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi VI. Jakarta :

Pusat
195)

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran
196)
197)

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai