Kelompok 2
1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PBL BLOK 244
Kasus 2
Batuk Tak Kunjung Sembuh
Diajukan untuk kegiatan belajar mandiri dan sebagai syarat mengikuti
Ujian Akhir Blok di Fakultas Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati
Cirebon.
Telah disetujui untuk disahkan
Pada tanggal:
Maret 2015
Disusun oleh:
Kelompok 2
1
Ardi Aprilman
Gerri Radiyansyah
Amelia Kumalasari
Dede Kusmawan
Nanda Febriyanti A
Riska Meilasari
10 Gema Disiyuna
Cirebon,
Maret 2015
Tutor
dr. Dini
KATA PENGANTAR
patogenesis
penyakit
tuberculosis,
penatalaksanaan
dan
penanggulangannya. Semua materi tadi akan sangat berguna bagi calon dokter.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada tutor yang telah
membimbing sehingga mengerti tentang bagaimana cara kami menyusun laporan
ini.
Semoga laporan ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Tak ada gading yang tak retak, begitupun dengan laporan ini pastilah
ada kekurangannya kami sangat menghargai kritik dan saran pembaca agar kami
dapat memperbaiki laporan kami selanjutnya.
Terima kasih.
Tim penyusun
Daftar Isi
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ i
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
Daftar
Isi
..iii
skenario
step
1
..
step
2
..
step
3
..
step
4
..
step
5
..
step
6
..
step
7
..
Patogenesis TB dan
Komplikasinya
.
Penegakkan Diagnosis
.
Penatalaksanaan Farmakologis dan Nonfarmakologis..
Upaya Penanggulangan
TB..
Pengawas Minum Obat (PMO)
.
Alasan dibentuknya
DOTS
.
Indikasi Pemilihan
Pengobatan
.
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................31
tidak
Step 1
1. Hemaptoe
2. Sputum
3. Rhonki
4. BTA
Step 2
1. Bagaimana anatomi dan patofisiologi organ respirasi ?
2. Etiologi dari heoptoe ?
3. Bagaimana patogenesis hemoptoe pada pasien ?
4. Apa saja manifestasi yang sering timbul pada penyakit respirasi ?
5. Bagaimana peerikaan penunjang ?
6. Apa diagnosis dari skenario ?
7. Pemeriksaan pasien pada sekenario ?
8. Faktor resiko pada penyakit yang ada pada pasien ?
9. Bagaimana kategori pengobatan pada pasien diskenario ?
10. Bagaimana dengan penyakit pada pasien diskenario bila pengobatan <6
bulan ?
Step 3
1. Struktur
a. Utama
: jalan napas, saluran nafas, parenkim paru.
Pelengkap
: tersusun atas dinding pleura dan diafragma.
b. Cavum nasal : menghantarkan, menyaring, melembabkan.
c. Laring
: menghubungkan faring dan trakea.
d. Faring
: nasofaring, orofaring, laringofaring.
e. Trakea
f. Bronkhiolus terminalis
g. Alveoli
2. Etiologi
a. Infeksi tuberkulosis
b. Abses paru
c. Pneumonia dan caverne atau karena jamur.
d. Hemoptoe dahak 20-100 ml/hari penyebab paling banyak TBC,
bronkeotaksis, bronkitis, kanker ronkogenik.
3. Patogenesis
Bakteri masuk ke dalam tubuh kemudian memicu terbentuknya sistem
imun. terjadi infeksi dan peradangan yang menyebabkan pecah pembuluh
darah.
4. Manifestasi klinis
a. Nyeri dada
b. Sesak nafas
c. Lemes
d. Demam
e. Batuk brdahak, hemoptosis
f. Anoreksia
g. Mengi
h. Sakit kepala
i. Demam+keluar keringat
j. Sakit tenggorokan
5. Rongen thorak, ELISA, sputum BTA, tas PAP, teknik polimerase cham
reaction, CT scan thorak, bronkoskopi, pemeriksaan THT, kultur bacteri.
6. TBC karena Mycobacterium tuberculosis
7. INH (H)
line 1
Refampisin (R) 6 bulan
streptomisin
Pirazinamid (Z)
Etambutol (E)
Sifroplaksin
Sinoserin
Amikagin
line 2
Kanamisin
Kapreomisin
Fase awal intensif bakteriosid
Fase lanjutan bacteriosidal
8. Anak dibawah 3 tahun - rentan
Remaja rentan AIDS
Orang tua rentan
Lingkungan
Pekerjaan
Merokok
Alkohol
9. INH
Etambutol 1-2 bulan
Rifampisin
Dilanjutkan INH + Rifampisin atau etambutol atau streptomisin selama 47 bulan.
10. TBC primer dan pasca primer karena pertumbuhan bakterinya sangat
lambat.
11. Adanya obstruksi menyebabkan sumbatan sekresi dahak.
Step 4
1. Udara dihangatkan dicavum nasi dan sebagian partikel debu yang
berukuran besar tersaring. Di laring ada glotis yang berfungsi untuk
mengatur udara dan makanan yang akan masuk ke trakhea, dan ke bronkus
primer, sekunder, serta tersier, kemudian menuju apex paru yang kayaO
BTC beranastase menginfeksi dan terjadi perdarahan serta menyumbat
jalan nafas sehingga terdengar suaran ronki. Akibat penyempitan jalan
nafas terjadilah respon batuk darah (Hemoptoe).
2. BTC mebutuhkan O pada malam hari O yang dihirup tidak begitu banyak
pada saat O sampai di paru, O tidak dibawa oleh vena pulmonalis,
darah <O akibat CO meningkat dalam darah, berdilatasi membuka poripori.
7.
Panduan
obat
I.
II.
III.
Hasifikasi
Fase awal
Fase lanjut
BTA(+)baru
Sakit berat BTA(+)
Luar paru
Pengobatan ulang
Kambuh BTA (+)
Gagal
TB Paru BTA (-)
TB Paru luar
2HRZ5 (E)
4 RH
4 R 3 H3
2RHE5/
1RHZS
5RHE
5R3H3E3
2RHZ
2RHZ
2R3H3Z3
4RH
4R3H3
Kerangka
PATOGENESIS
FAKTOR
RESIKO
PEMERIKSANPE
NUNJANG
ETIOLOGI
TB PARU
ANATOMI
FISIOLOGI
PENATALAKSANAAN
CARA
PENULARAN
MANIFESTASI
DIAGNOSISKLINIS
Step 5
1.
2.
3.
4.
Step 6
Belajar Mandiri
Step 7
1. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
(Sudoyo, 2007)
Cara penularan
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak.
2. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan
dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan
3. yang gelap dan lembab.
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan
5. dahak, makin menular pasien tersebut.
6. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
(Sudoyo, 2007)
Risiko penularan
yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan
menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar
kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di
jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN (Sudoyo, 2007).
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinyainflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe
yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis) (Sudoyo, 2007).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit.
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas seluler (Sudoyo, 2007).
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum
tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada
saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah
terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin.
Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer
terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian
besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun
seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera
dimusnahkan (Sudoyo, 2007).
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional
juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya
biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat
tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini (Sudoyo,
2007).
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya
berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi
yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus
akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosisperkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massakiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang
sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi (Sudoyo, 2007).
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi
melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebihkurang sama. Istilih milier
berasal dari gambaran lesidiseminata yang menyerupai butur padipadian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan
menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran
tipe ini tidak dapatdibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Hal ini dapat terjadi secara berulang (Sudoyo, 2007).
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB
paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB
milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi
primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat
pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini
jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda (Sudoyo,
2007).
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi,
dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian.
TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer (Sudoyo, 2007).
Tuberkulosis ekstra paru
1. Tuberkulosis Tulang/Sendi
Tuberkulosis tulang / sendi merupakan suatu bentuk infeksi
tuberkulosis ekstrapulmonal yang mengenai tulang atau sendi. Indens
tuberkulosis sendi berkisar 1-7 dari seluruh TB. TB tulang belakang
merupakan kejadian tertinggi diikuti sendi panggul dan sendi lutut pada
Ulkus ini mempunyai dasar yang bergranulasi dan tudak beraturan, dengan
tepi bergaung dan berwarna kebiruan. Cairan yang keluar dari lesi ini
dapat bersifat cair, purulen, ataupun kaseosa. Dapat di jumpai fistulafistula yang saling berhubungan dan membentuk kantung-kantung
subkutan yang lunak dan berisi cairan. Selain kantung-kantung yang lunak
ini, terdapat juga nodul grammatosa yang sedikit lebih keras. Kemudian
terbentuk jaringan parut/ sikatriks berupa pita/benang fibrosa padat, yang
membentuk jembatan di antara ulkus-ulkus atau daerah kulit yang normal.
Pada pemeriksaan, didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak dengan
fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan cairan, serta massa yang fluktuatif
(Rahajoe,2005).
3. Tuberkulosis Mata
TB pada mata umumnya mengenai konjuctiva dan kornea sehingga
sering disebut keratokonjungtivitis fliktenularis. Keratokonjungtivitis
fliktenularis (KF) adalah penyakit pada konjungtiva dan kornea yang di
tandai oleh terbentuknya satu atau lebih nodul inflamasi yang disebut
flikten pada daerah limbus. Umumnya ditemukan pada anak usia 3-15
tahun dengan faktor resiko berupa kemiskinan, kepadatan penduduk,
sanitasi buruk, dan keadaan malnutrisi. Penyebab KF dapat dibagi 2
kelompok besar yaitu M. Tuberculosis dan non-tuberkulosis. Pada
kelompok
askariasis (Rahajoe,2005).
Patogenesis KF masih belum diketahui, tetapi diduga akibat respon
alergik terhadap tuberkulosis yang sistemik. Hal ini dapat terjadi karena
reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen (Rahajoe,2005).
Manifestasi klinis KF dapat berupa iritasi, nyeri, lakrimasi, dan
fotofobia serta dapat mengeluarkan sekret mata. Gambaran khas KF
adalah berupa nodul kecil berwarna putih/merah muda pada konjungtiva
disertai hiperemis disekitarnya. Nodul tersebut dapat timbul berulang dan
dapat menimbulkan sikatriks yang mengakibatkan (Rahajoe,2005).
4. Tuberkulosis Ginjal
Sesak napas
iv.
Nyeri dada
berupa
sputum.
batuk
kedaan
lanjut
darah
karena
v.
Malaise
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksan fisik jarang ditemukan suatu kelainan, akan sulit
menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, kerena hantaran ke
dalam paru mencapai 4cm, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia
biasa, tapi bila tuberkulosis mengenai pleura, sering tebentuk efusi
pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan.
Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara napas
yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.
c. Pemeriksaan penunjang
i.
Laboratorium darah rutin ( LED ) untuk melihat normal atau
ii.
iii.
iv.
meningkat, limfositosis
Foto toraks PA dan lateral
1. bayangan lesi terletak di lapang atas paru atau segmen apikal
lobus bawah
2. bayangan berawan atau bebercak
3. adanya kavitas tunggal atau ganda
4. kelainan bilateral, terutama di lapang atas paru
5. adanya kalsifikasi
6. bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian
7. bayang miller
pemeriksaan sputum BTA
Test PAP ( peroksidase anti peroksidase ), merupakan uji test
serologi immunoperoksidase memakai alat immunoperoksadase
staining untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB
v.
vi.
vii.
Interaksi obat
1) Isoniazid dapat meningkatkan toksisitas karbamazepine, ethosuximide,
fenitoin, diazepam, triazolam, teofilin, dan warfarin.
2) Konsentrasi dalam darah isoniazid dapat berkurang bila digunakan
bersamaan dengan ketokonazole.
3) Risiko hepatotoksisitas dapat menigkat bila digunakan bersamaan
dengan rifampisin dan obat hepatotoksik lainnya.
4) Pada penderita yang mengkonsumsi alkohol, efektivitas isoniazid
dapat menurun dan risiko neuropati dan hepatotoksisitas dapat
meningkat.(Istiantoro & Setiabudy, 2012).
Efek samping
1) Kemerahan
2)
3)
4)
5)
7)
menghambat
mikobakteria
dan
DNA-dependent
mikroorganisme
lain
RNA
dengan
polymerase
dari
menekan
mula
15)
Interaksi obat
16) Pemberian PAS rifampisin akan menghambat absorpsi rifampisin
Efek samping
1)
2)
3)
4)
5)
Gangguan pencernaan
Interaksi obat
Hepatitis
Kemerahan
Gagal ginjal
19) (Price & Wilson, 2006)
20)
21)
300 mg. selain itu terdapat pula tablet 450 mg dan 600 mg serta suspense
yang mengandung 100 mg/5 mL rifampisin. Beberapa sediaan telah
dikombinasi dengan isoniazid. Obat ini biasanya diberikan sehari sekali
sebaiknya satu jam sebelum makan atau dua jam setelah makan. Dosis
untuk orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg ialah 450
mg/hari dan untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 60 mg/hari. untuk
anak-anak dosisnnya 10-20 mg/kgBB per hari dengan dosis maksimum
600 mg/hari. (Istiantoro & Setiabudy, 2012).
23)
24)
C. Pirazinamid
25) Mekanisme Kerja Obat
26) Mekanisme kerja obat ini belum diketahui secara pasti.
Pirazinamid dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase yang
menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada
media yang bersifat asam. In vitro, pertumbuhan kuman tuberkulosisdalam
monosit dihambat sempurna pada kadar pirazinamid 12,5 g/mL
(Istiantoro, 2009).
27) Efek Samping Obat
a. Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainann hati.
Maka dari itu tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan
fungsi hati.
b. Obat ini menghambat ekresi asam urat dan dapat menyebabkan
kambuhnya pirai.
c. Efek samping lain adalah artralgia, anoreksia, mual dan muntah,
disuria, malaise, dan demam (Istiantoro, 2009).
28)
29) Sediaan Obat
30) Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg
(Istiantoro,2009).
31)
32) Dosis Obat
33) Dosis pirazinamid adalah 20-35 mg/kgBB/hari, maksimum 3 gr.
(Istiantoro, 2009).
34) Indikasi
35)
Indikasi
dari
pirazinamid
adalah
untuk
tuberkulosis
dan
38)
Pasien
dengan
gangguan
fungsi
hati
(Hardjosaputra, 2008).
39) Farmakokinetik
40) Pirazinamid mudah diserap diusus dan tersebar luas keseluruh
tubuh. Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 ug/ml pada 2
jam setelah pemberian secara oral. Ekskresi pirazinamid utamanya melalui
filtrasi glomerulus. Asam pirazinoat yang aktif kemudian akan mengalami
hidroksilasis menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan metabolit
utama (Syarif, 2011).
D. Etambuthol
41)
Mekanisme Kerja
42) Etambutol efektif terhadap galur M. Tuberkulosis dan M. Kansasi.
3. Sediaan Obat
47) Tablet 250 mg dan 500 mg, ada pula sediaan yang telah dicampur dengan
isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap. (Syarif, 2011).
48)
4. Dosis Obat
49) Dosis biasanya 15 mg/kgBB, diberikan sekali sehari, ada pula yang
menggunakan dosis 25 mg/kgBB selama 60 hari pertama, kemudian
diturunkan menjadi 15 mg/kgBB. Pengurangan dosis diperlukan pada
pasien dengan gangguan ginjal. (Katzung, 2009).
5. Indikasi
50)
Indikasi
etambutol
untuk
pengobatan
etambutol diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma akan
dicapai dalam waktu 2-4 jam. Dosis tunggal 15 mg/kgBB menghasilkan
kadar dalam plasma 5 ug/ml pada 2-4 jam. Masa paruh eliminasinya 3-4
jam. Kadar etambutol dalam eritrosit 1-2 kali kadar dlam plasma. Oleh
karena itu, eritrosit dapat berperan depot dari etambutol yang kemudian
melepaskannya sedikit demi sedikit kedalam plasma. Dalam 24 jam, 90 %
etambutol yang di ekskresikan dalam bentuk asal melalui urine dan 10 %
sebagai metabolit berupa derivat aldehid dan asam karboksilat. (Syarif,
2011).
53)
54) Streptomisin
1. Mekanisme Kerja
55)
antituberkulosis
yang
efektif.
Streptomisin
memiliki
sifat
Tuberkulosis
dan
infeksi
lainnya
yang
membutuhkan streptomisin.
6. Kontraindikasi
59)
60)
61)
7. Farmakokinetik
62)
66)
eosinofilia,
limfositosis,
sindrom
mononukleosis
atipik,
dan
lelah,
dan
tremor.
Kemerahan
kulit,
purpura,
stomatitis,
tablet 250 mg. dosis awal ialah dua kali 250 mg sehari, kemudian
dinaikkan setiap lima hari dengan 125 mg sampai maksimal 1 g/hari. Obat
ini sebaiknya diberikan pada waktu makan untuk mengurangi iritasi
lambung. (Yati dan Rianto, 2009)
80)
Status Dalam Pengobatan.
antituberkulosis
antituberkulosis
sekunder
lain
bila
yang
obat
harus
primer
Etionamid
merupakan
dikombinasi
tidak
efektif
dengan
lagi
atau
Aminoglikosida
82)
Antibiotika golongan aminoglikosida dihasilkan oleh
Karakteristik Aminoglikosida
83) 1. Tidak satupun aminoglikosida diabsorpsi secara memadai pada
pemberian oral.
84) 2. Mekanisme kerjanya identik satu sama lain.
85) 3. Spektrum aktivitas terutama terhadap bakteri gram negative.
86) 4. Toksisitas utama adalah ototoksis pada saraf otak ke 8 dan
nefrotoksik.
87)
88) Resistensi terhadap aminoglikosida dapat terjadi melalui 3
mekanisme yaitu:
89) 1. Mutasi protein pada ribosom bakteri
90) 2. Kegagalan penetrasi aminoglikosida
91) 3. Inaktivasi aminoglikosida oleh
(Gunawan,2011)
92)
93)
enzim
bakteri.
dalam sel.
Penetrasi pada sekret dan jaringan rendah.
Penetrasi pada saluran nafas buruk.
Ekskresinya melalui ginjal terutama dengan filtrasi glomerulus.
Gangguan fungsi ginjal menghambat ekskresi, mempercepat
efek nefrotoksik.
h) Pada bayi neonatus atau prematur, usialanjut juga cepat
menimbulkan nefrotoksik.
i) Pada gangguan fungsi ginjal waktu paruh cepat meningkat dari
2-3 jam menjadi 50-100 jam.(Gunawan,2011)
B. Aminoglikosida Non Sistemik
a) Neomisin, paromomisin dan framisetin tidak digunakan secara
parenteral karena terlalu toksik.
b) Neomisin yang diberikan 10 g secara oral selama 3 hari tidak
mencapai kadar toksik dalam darah..
c) Pada insufisiensi ginjal kadar neomisin dalam darah cepat
meningkat sehingga menimbulkan nefrotoksik.
d) Dosis harus dikurangi atau diganti kanamisin yang aktivitasnya
sama tetapi kurang toksik.
e) Neomisin pada anak-anak harus dibatasi, dosis 100 mg/kg BB.
f) Jangan lebih dari 3 minggu.
95) g) Neomisin yang tidak diabsorpsi dalam usus akan keluar
bersama feses dalam keadaan utuh. (Gunawan,2011)
96)
97)
1.
Alergi
a) Potensinya untuk menimbulkan alergi rendah.
b) Kadang-kadang dapat terjadi reaksi kulit memerah, eosinofilia,
demam, kelainan darah, dermatitis, angioudem, stomatitis dan syok
2.
anafilaksis.
Reaksi iritasi:
a) Reaksi iritasi berupa rasa nyeri di tempat penyuntikan.
b) Suntikan diikuti radang dan peningkatan suhu 0,5-1,5 derajat C.
(Gunawan,2011)
98)
99) Efek Toksik
100) Reaksi toksik dapat terjadi pada SSP berupa :
A.
akustik
dan
vestibular.
(Gunawan,2011)
B. Efek Nefrotoksik (gangguan pada ginjal)
101)
a. Gejala:-
Gangguan Vestibular
sakit
kepala,pusing,mual,muntah,gangguan
keseimbangan
b. Pemulihan : 12-18 bulan ada yang menetap, dapat meluas ke
c.
d.
e.
f.
Gangguan akustik:
c.
d.
e.
f.
103)
C.
Efek nefrotoksik:
1. Gejala:
a.
Kemampuan ginjal menurun
b.
Protein uria ringan
c.
Filtrasi glomerulus menurun
d.
Nekrosis tubuli berat ditandai dengan kenaikan
e.
Kreatinin, hipokalemia, hipokalsemia.
f.
Gangguan terjasi reversible(Katzung,2010)
104)
105)
Sikloserin
Sikloserin merupakan antibiotic yang dihasilkan oleh
C. Aktivitas Antibakteri
108) In vitro
sikloserin
menghambat
pertumbuhan
menyebabkan
bakteri
semakin
berkembang
sehingga
dapat
memperburuk keadaan.
3. Dengan adanya ventilasi rumah yang baik.
123)
Apabila rumah pasien cukup lembab maka harus ada
ventilasi yang baik agar cahaya matahari dapat masuk kerumah
terutama
pada
kamar
tidur
pasien.
Karena,
Mykobacterium
pejamu:
Faktor
nonspesifik
dapat
gejala-
gejala
mencurigakan
TB
untuk
segera
129)
mengambil
130) obat dari sarana pelayanan kesehatan.
131)
132)
C. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan
kepada pasien dan keluarganya:
1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya.
4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan ke sarana pelayanan kesehatan (Supari, 2009)
133)
6. Alasan dibentuknya DOTS untuk kasus TB
134)
terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis.
Pada
tahun
1995,
lain adalah:
a. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara
tidak
didiagnosis)
f. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
g. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang
mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
h. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan struktur umur kependudukan.
i. Dampak pandemi HIV.
137)
138)
menjadi masalah
akibat
kasus
yang
tidak
berhasil
kasus baru dan kematian 101.000 orang dengan Insidensi kasus TB BTA
Berdasarkan
hasil
survey
prevalensi
tahun
2004,
Penanggulangan
TB
dengan
Strategi
DOTS
menjangkau
98%
sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.
b. Untuk
menjamin
kepatuhan
pasien
menelan
obat,
dilakukan
1) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
151)
152)
Tahap Lanjutan
1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.
153)
2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
154)
155)
Paduan
OAT
yang
digunakan
oleh
Program
Nasional
sisipan (HRZE)
c. Kategori Anak: 2HRZ/4HR
157)
158)
Kemerahan Kulit
165) Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai
mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain.
Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan
pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang,
namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit.
Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai
kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping
ini
samping
hipersensitivitas
hepatotoksisitas
atau
karena
bisa
terjadi
kelebihan
karena
reaksi
dosis.
Untuk
187)
188)
Referensi
191)
364/Menkes/SK/V/2009
Tentang
Pedoman
Penanggulangan
Tuberkulosis (TB)
192)
Jakarta: UKK
193) Pulmonologi PP IDAI
194)
Sudoyo, dkk. 2014. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi VI. Jakarta :
Pusat
195)
Kedokteran
196)
197)
Universitas Indonesia