Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

MINOR ILLNESS
DISORDER RELATED TO COLD AND ALLERGY, COUGH

Disusun oleh:
Kelompok 6 minat FI
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Nama Mahasiswa

NIM

Aulia Nur
Titis Arrianti Pratiwi
Nauval Arrazy Asawimanda
Anindita Fahma
Dwninita Andini Palilu
Novita Nur Diarini
Dwiky Ramadhani Kurniawati
Raisatun Nisa Sugiyanto

14/375225/FA/10298
14/375242/FA/10313
14/374333/FA/10246
14/374208/FA/10225
14/374312/FA/10245
14/374580/FA/10259
14/374637/FA/10271
14/374883/FA/10288

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

DEMAM

I. Pendahuluan
Demam merupakan suatu gejala kenaikan suhu tubuh melebihi suhu inti
normal tubuh yang terjadi karena adanya peningkatan ambang batas pusat
termoregulasi pada

hipotalamus

anterior. Munculnya

demam umumnya

merupakan respon tubuh terhadap adanya pirogen di dalam tubuh pada kejadian
infeksi, namun demam juga dapat muncul menyertai penyakit-penyakit lain
seperti pada beberapa macam tumor (Berardi et al., 2009; Mutschler, 1986).
Walaupun demam merupakan gejala yang bersifat self-limited dan tidak
membahayakan, demam merupakan penyebab terbesar ke-16 pasien mencari
layanan kesehatan dikarenakan demam menyebabkan ketidaknyamanan pada
pasien, menurunkan produktivitas kerja, dan dapat menandai adanya gejala
patologi yang serius seperti infeksi akut. Angka kejadian demam pada anak jauh
lebih besar dibandingkan pada dewasa (Berardi et al., 2009).
II. Patofisiologi
Suhu inti tubuh didefinisikan sebagai suhu dari darah yang mengalir pada
hipotalamus, dengan suhu normal berada pada 37,8C (100F). Suhu inti tubuh
diregulasi oleh mekanisme umpan balik antara pusat termoregulatori pada
hipotalamus anterior dengan reseptor termosensitif pada kulit dan sistem saraf
pusat. Mekanisme tersebut mempertahankan suhu tubuh antara 36,4C hingga
37,2C. Variasi dari suhu tubuh dapat terjadi karena aktivitas, pakaian yang
dikenakan, ritme sirkadian manusia, hingga kondisi lingkungan sekitar. Untuk
mempertahankan suhu tubuh pada taraf normal tubuh memiliki mekanisme
fisiologis untuk menurunkan suhu tubuh yang berlebih seperti dengan berkeringat
dan vasodilatasi pembuluh darah perifer dan juga untuk meningkatkan suhu tubuh
yang menurun seperti dengan vasokonstriksi pembuluh darah, menggigil, dan
piloereksi (Berardi et al., 2009; Ismoedijanto, 2000).
Demam adalah reaksi peningkatan suhu tubuh yang terjadi pada semua
vertebrata dan sebagian avertebrata termasuk manusia. Munculnya demam pada
manusia dapat terjadi karena respon tubuh terhadap infeksi maupun karena
penyebab noninfeksi seperti kondisi patologis tertentu, kerusakan jaringan, reaksi
antigen dengan antibodi dalam tubuh, reaksi terhadap obat-obatan tertentu, hingga

aktivitas yang berat. Terjadinya infeksi atau kondisi noninfeksi tersebut


menyebabkan terjadinya perubahan ambang batas pada pusat termoregulasi di
hipotalamus anterior melalui mekanisme tertentu dan menyebabkan kenaikan
suhu tubuh di atas normal atau demam (Berardi et al., 2009; Nelwan, 1982).
Demam dapat terjadi karena adanya pirogen dalam tubuh. Pirogen merupakan
substansi yang menyebabkan demam dan berasal baik dari eksogen maupun
endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar hospes seperti mikroorganisme
penginfeksi maupun produk dari agen tersebut, sementara pirogen endogen
diproduksi oleh sel fagosit mononuklear hospes seperti sel monosit dan makrofag
pada jaringan. Pirogen endogen umumnya muncul sebagai respon terhadap
adanya pirogen eksogen maupun karena adanya kerusakan jaringan, dan
terjadinya penyakit tertentu (Harrison, 1999). Pada beberapa kasus malignansi
seperti limfoma histiositik dan kanker sel ginjal pirogen endogen juga dapat
diproduksi oleh sel malignan tersebut (Wash, 1997).
Pirogen endogen mampu menginduksi demam melalui pengaruhnya pada
area preoptik di hipotalamus anterior dengan melepaskan asam arakidonat di
hipotalamus yang selanjutnya diubah menjadi prostaglandin E1 dan E2 oleh
enzim siklooksigenase. Pirogen endogen juga dapat meningkatkan konsentrasi
dari serotonin dan norepinefrin pada hipotalamus anterior. Peningkatan kadar dua
neurotransmitter monoamin tersebut dapat terdeteksi oleh neuron termosensitif
pada hipotalamus anterior dan direspon dengan pembentukan adenosin
monofosfat siklik (cAMP). Naiknya kadar cAMP dan prostaglandin menyebabkan
kenaikan ambang batas termoregulasi pada hipotalamus yang menyebabkan
demam (Ismoedijanto, 2000; Wash,1997).
Selain karena infeksi dan penyebab noninfeksi di atas, demam juga dapat
terjadi karena reaksi tubuh terhadap obat-obatan yang digunakan. Reaksi demam
terhadap obat-obatan pada umumnya terjadi karena hipersensitivitas terhadap obat
karena memiliki sifat antigenik seperti streptokinase dan produk vaksin tertentu
(Berardi et al., 2009).
III.

Tipe-Tipe Demam
Beberapa tipe demam yang mungkin dijumpai, antara lain:

Demam septik
Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi
sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada
pagi hari. Sering disertai keluhan mengigil dan berkeringat. Bila demam
yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam
hektik.

Demam remiten
Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak
pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin
tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang
dicatat pada demam septik.

Demam intermiten
Pada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal
selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap
dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam
diantara dua serangan demam disebut kuartana.

Demam kontinyu
Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih
dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus-menerus tinggi sekali
disebut hiperpireksia.

Demam siklik
Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari
yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang
kemudian diikuti lagi oleh kenaikan suhu seperti semula (Nelwan, 1987).

IV.

Deteksi Demam
Demam memiliki berbagai gejala yang nonspesifik dan tidak selalu dialami

oleh tiap penderita. Deteksi terjadinya demam secara tepat dilakukan dengan
mengetahui adanya peningkatan suhu tubuh melebihi suhu tubuh normal.
Pengukuran suhu tubuh dengan tangan pada angguta badan tertentu seperti dahi
hanya dapat digunakan untuk mengetahui suhu tubuh secara subjektif saja. Cara

ini tidak dapat digunakan untuk mengetahui suhu tubuh secara tepat dan tidak
dapat mendasari apakah seseorang mengalami peningkatan suhu inti tubuh. Untuk
mengetahui adanya peningkatan suhu tubuh secara akurat dapat dilakukan dengan
mengukur suhu tubuh dengan termometer dan dengan metode yang tepat. Metode
pengukuran suhu tubuh dengan termometer harus mempertimbangkan tempat
pengukuran, usia penderita, aktivitas dan kondisi emosional penderita, suhu
lingkungan, dan waktu pengukuran untuk mendapatkan hasil yang akurat (Berardi
et al., 2009).
Pengukuran suhu tubuh dapat dilakukan pada beberapa lokasi, yaitu pada
mulut, kening (temporal), liang telinga, ketiak, dan pada dubur. Perbedaan lokasi
pengukuran suhu tubuh membutuhkan termometer dengan teknik pengukuran
yang berbeda dan interpretasi hasil yang berbeda pula. Pengukuran suhu tubuh
melalui dubur merupakan standar dalam mengukur suhu tubuh karena dapat
mengukur suhu inti tubuh secara konsisten, tetapi dikarenakan teknik yang relatif
sulit, perlunya pelatihan yang cukup, dan kurang nyaman bagi pasien, pengukuran
suhu tubuh pada lokasi lain lebih sering digunakan dibanding pengukuran melalui
dubur. Perbedaan hasil pengukuran dari tempat pengukuran yang berbeda adalah
normal dan tidak menunjukkan kesalahan dalam pengukuran suhu tubuh
mengingat suhu tubuh dipengaruhi pula oleh suhu lingkungan (Berardi et al.,
2009).
Tabel 1. Rentang suhu tubuh dan batasan demam pada tempat pengukuran suhu
yang berbeda (Berardi et al., 2009).
Sumber Pengukuran
Rektal

Range Normal
97,9F 100,4F

Demam
>100,4F (38,0C)

Oral

(36,6C-38,0C)
95.9F - 99,5F

>99,7F (37,6C)

Axillary (Ketiak)

(35,5C 37,5C)
94,5F 99,9F

>99,3F (37,4C)

(34,7C 37,3C)
(Selaput 96,3F 99,9F

>100F (37,8C)

Tympanic
telinga)

(35,7C 37,7C)

V. Pengobatan Demam
Demam merupakan gejala yang menandakan adanya kejadian patologis yang
sedang terjadi di dalam tubuh, sehingga pengobatan demam seharusnya dikalukan
dengan menghilangkan penyebab utama dari demam itu sendiri. Tetapi dalam
beberapa kasus demam dapat menghilang dengan sendirinya karena bersifat selflimiting disease sehingga hanya membutuhkan terapi untuk menurunkan subu
tubuh yang menjadi penyebab ketidaknyamanan pasien. Dalam pengobatan
penyakit minor, target terapi dari demam adalah meningkatkan kenyamanan
pasien dengan menurunkan suhu tubuh yang berlebih (Berardi et al., 2009).
Terapi swamedikasi untuk demam secara umum terdiri dari berbagai terapi
nonfarmakologis dan juga terapi farmakologis dengan durasi selama 3 hari. Terapi
farmakologis untuk demam terdiri dari pemberian obat-obatan antipiretik oral
yang dapat diberikan apabila suhu tubuh berada di atas 38,3C. Untuk demam
pada suhu tubuh yang lebih rendah dapat pula diberikan obat-obatan antipiretik
apabila pasien merasa tidak nyaman. Terapi swamedikasi tersebut dapat diberikan
kepada pasien dengan durasi selama 3 hari dan perlu dirujuk ke dokter apabila
demam tidak mereda setelah 3 hari (Berardi et al., 2009).
Dalam memberikan terapi swamedikasi perlu dilakukan konseling kepada
pasien untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Informasi tersebut
meliputi usia pasien, suhu tubuh pasien, ketepatan pengukuran suhu tubuh, dan
riwayat penyakit serta alergi. Informasi tersebut nantinya digunakan untuk
mengetahui ketepatan suhu tubuh pasien dan mempengaruhi keputusan untuk
melakukan swamedikasi atau perlu dirujuk ke dokter. Swamedikasi dapat
diberikan pada pasien demam apabila pasien tidak melampaui batasan sebagai
berikut:
Suhu tubuh terukur dari dubur sama dengan atau lebih dari 40C pada pasien

dengan usia lebih dari 6 bulan.


Suhu tubuh terukur dari dubur sama dengan atau lebih dari 38C pada pasien

dengan usia kurang dari atau sama dengan 6 bulan.


Terdapat gejala infeksi yang tidak bersifat self-limiting disease.
Terdapat resiko hipertermia.
Adanya gangguan pernapasan seperti penyakit paru obstruktif kronis dan
asma.

Adanya gangguan terhadap sistem imun seperti pasien dengan HIV/AIDS dan

kanker.
Kerusakan pada sistem saraf pusat.
Adanya riwayat demam dengan kejang terutama pada masa anak.
Demam yang terjadi lebih dari 3 hari dengan maupun tanpa terapi.
Pasien anak dengan ruam atau bercak pada kulit.
Pasien anak yang mengalami muntah dan atau tidak mau minum.
Pasien anak yang sangat mengantuk, sulit bangun, dan atau rewel(Berardi et
al., 2009).
Terapi nonfarmakologis yang dapat diberikan pada kasus demam antara lain

memberikan cairan yang cukup kepada pasien, mengenakan pakaian yang longgar
dan ringan, dan tidur tanpa selimut dalam ruangan dengan suhu terjaga pada
25,7C. Pada pasien demam terutama anak, pasien mengeluarkan banyak cairan
tubuh untuk menurunkan panas tubuh yang berlebih sehingga kebutuhan cairan
pada pasien demam menjadi lebih tinggi dibandingkan pada kondisi normal.
Mengenakan pakaian longgar dan ringan serta tidur pada ruangan dengan suhu
terjaga tanpa selimut mampu mempercepat turunnya suhu tubuh yang berlebih
akibat demam. Terapi nonfarmakologis dengan mandi atau kompres relatif kurang
bermanfaat karena turunnya suhu tubuh hanya bersifat sementara karena suhu
tubuh dapat naik karena menggigil dan dapat menyebabkan toksisitas alkohol
apabila dilakukan dengan alkohol (Berardi et al., 2009).
Obat-obatan antipiretik untuk pasien demam bekerja malalui penghambatan
pada enzim siklooksigenase. Aksi antipiretik tersebut terjadi pada hipotalamus
anterior sebagai pusat termoregulasi tubuh dengan menghambat sintesis dari
prostaglandin E2 yang mampu menaikkan ambang batas suhu tubuh.
Penghambatan oleh turunan salisilat dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)
bekerja pada enzim siklooksigenase secara perifer, sementara parasetamol mampu
menghambat enzim siklooksigenase pada sistem saraf pusat. Terapi antipiretik
secara swamedikasi terpilih untuk demam adalah pemberian parasetamol atau
ibuprofen (Berardi et al., 2009).
Parasetamol merupakan obat antipiretik yang paling sering digunakan untuk
mengobati demam baik pada pasien dewasa maupun anak. Dosis yang

direkomendasikan untuk demam adalah 10-15 mg/kgBB setiap 4-6 jam dengan
penggunaan maksimum 5 kali dalam sehari. Efek antipiretik dari parasetamol
mencapai puncaknya pada 2 jam setelah penggunaan obat pada dosis yang
direkomendasikan (Berardi et al., 2009). Parasetamol tersedia dalam bentuk
generik dan obat berlabel dagang dengan dosis lazim tersedia di Indonesia sebesar
500 mg dan 120 mg/5 ml. Beberapa merek dagang parasetamol tunggal yang
beredar di Indonesia antara lain Panadol, sementara merek dagang parasetamol
kombinasi adalah Alfidon dengan kafein 50 mg. Kontraindikasi dari produk ini
adalah jangan digunakan pada penderita kelainan hati.
Ibuprofen adalah obat golongan antiinflamasi nonsteroid yang paling umum
digunakan untuk meredakan demam. Penggunaan ibuprofen untuk demam tidak
direkomendasikan untuk pasien anak dengan usia 6 bulan ke bawah. Dosis
ibuprofen yang direkomendasikan adalah sebesar 5-10 mg/kgBB setiap 6-8 jam
dan penggunaan tidak lebih dari 4 kali dalam sehari.

Berdasarkan studi

penggunaan ibuprofen dosis 10 mg/kg BB efektif menurunkan suhu tubuh pada


demam dengan suhu tubuh lebih dari 39,2C(Berardi et al., 2009). Ibuprofen
tersedia dalam bentuk generik dan obat berlabel dagang dengan dosis lazim
tersedia di Indonesia sebesar 200 mg dan 400 mg. Beberapa merek dagang
ibuprofen tunggal yang beredar di Indonesia antara lain Inufen, sementara
merek dagang ibuprofen kombinasi adalah Farsifen Plusl Kaplet (Ibuprofen 200
mg) dengan kafein 50 mg, dan Paracetamol 350 mg. Ibuprofen

memiliki

kontraindikasi dengan penderita ulkus peptikum, hipersensitif ibuprofen dan


kehamilan pada trimester pertama. Efek sampingnya adalah mual dan muntah,
meskipun kasusnya jarang terjadi.
Pengobatan

demam

menggunakan

obat

antiinflamasi

nonsteroid

membutuhkan pertimbangan khusus sebelum digunakan. Obat antiinflamasi


nonsteroid termasuk asam asetilsalisilat perlu dihindari pada pasien yang sedang
hamil, mengalami gagal ginjal, tekanan darah tinggi, gagal jantung kongestif,
alergi terhadap salisilat, dan gangguan pada sistem pencernaan. Penggunaan asam
asetilsalisilat juga perlu dihindari pada anak dengan usia kurang dari 15 tahun
karena adanya resiko terkena Reye's syndrome (Berardi et al., 2009)

ALERGI
I. Pendahuluan
Alergi adalah reaksi hipersensitivitas tubuh terhadap suatu zat/alergen
yang pada individu normal tidak berbahaya namun pada individu yang sensitif
dapat memicu timbulnya reaksi alergi. Reaksi alergi akan muncul setelah tubuh
terpapar alergen, dapat melalui saluran pernapasan, mulut, atau kulit. Alergen
dapat berupa makanan, debu, kutu binatang atau hal lainnya (Anonim, 2011).
II. Fisiologis/Etiologi
Alergi terjadi karena tubuh terpapar alergen. Alergen kemudian diproses
oleh limfosit untuk menghasilkan antigen spesifik IgE. Hal ini menyebabkan
sensitisasi pada orang secara genetik rentan terhadap alergen tersebut. Pada
saat terjadi paparan ulang, IgE yang berikatan dengan sel mast berinteraksi
dengan alergen. Reaksi segera terjadi dalam hitungan menit, yang
menyebabkan pelepasan cepat mediator yang terbentuk sebelumnya serta
mediator yang baru dibuat melalui jalur asam arakidonat. Mediator
hipersensitivitas meliputi histamin, leukotrien, prostaglandin, dan PAF

10

(Platelet Activating Factor) dapat menyebabkan reaksi alergi dengan berbagai


manifestasi. Manifestasi reaksi alergi ada beberapa macam, yaitu alergi pada
pernafasan (rinitis, asma, hay fever), alergi pada usus (muntah, nyeri perut,
diare), alergi pada kulit (ruam-ruam kemerahan, urtikaria, atau dermatitis), dan
alergi pada area tubuh lain (mata : konjungtivitis). Reaksi alergi serius dapat
mengakibatkan syok anafilaksis yang membutuhkan penanganan medis segera
(Anonim, 2011; Neal, 2002; dan Sukandar, dkk., 2009)
III. Patofisiologi
Alergi terjadi karena paparan ulang alergen sehingga IgE yang berikatan
dengan sel mast akan berinteraksi dengan alergen sehingga memicu lepasnya
mediator hipersensitivitas meliputi histamin, leukotrien, prostaglandin, PAF
(Platelet Activating Factor) yang dapat menyebabkan reaksi alergi dengan
berbagai manifestasi. Manifestasi reaksi alergi ada beberapa macam, yaitu:
1. Alergi pada pernafasan
Rinitis Rinitis terjadi bila mediator inflamasi berada di mukosa hidung
yang kemudian dapat menjadi faktor resiko untuk asma. Penyakit/gejala
lain yang menyertai rinitis misalnya sinusitis, poliposis hidung,
konjungtivitis, otitis media, ISPA, bernafas melalui mulut dan gangguan
tidur.
Asma Asma adalah penyakit inflamasi kronis yang berhubungan dengan
perubahan struktur yang dapat terjadi baik pada anak-anak maupun orang
dewasa. Penyakit ini behubungan dengan respon berlebihan dan obstruksi
saluran udara yang bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
bantuan obat. Gejalanya meliputi batuk, mengi, napas yang pendek atau
cepat, dada terasa sesak dan sedikit sakit serta kadang disertai pusing.
2. Alergi pada saluran pencernaan
Alergi pada saluran pencernaan biasa terjadi pada alergen berupa makanan
atau zat yang ditelan dengan manifestasi yang cukup luas. Gejala yang
ditimbulkan meliputi bibir atau lidah yang bengkak dan gatal, muntah,
nyeri perut, dan diare.
3. Alergi pada kulit
Eksim atopik Eksim atopik adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit
yang umum terjadi.

11

Urtikaria Urtikaria adalah kelompok heterogen dari sub tipe penyakit


kulit dengan karakteristik wheal, angioedema atau keduanya.
4. Alergi pada area tubuh lain
Alergi juga dapat terjadi pada mata yang mengakibatkan konjungtivitis.
Reaksi alergi serius dapat mengakibatkan syok anafilaksis yang
membutuhkan penanganan medis segera. Syok anafilaksis biasa disebabkan
oleh obat, vaksin, lateks, gigitan serangga atau makanan. Gejalanya
meliputi merasa hangat, tangan kesemutan, bibir atau kaki terasa tebal,
kepala ringan, bengkak, dan dada terasa sesak. Proses ini akan mengarah ke
aritmia jantung, shok, dan kegagalan pernafasan (Anonim, 2011; Anonim,
2013; Neal, 2002; dan Sukandar, dkk., 2009).
Pada makalah ini kami lebih menekankan pada alergi pernafasan karena
lebih sesuai dengan materi lain yaitu batuk dan demam. Pada rinitis alergi,
mediator hipersensitifitas akan menyebabkan vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskuler, dan produksi sekresi nasal. Histamin menyebabkan
rinorea, gatal, bersin, dan hidung tersumbat. Sedangkan pada asma, mediator
proinflamasi seperti histamin dan eikosanoid yang menginduksi kontraksi otot
polos jalan udara. Kebocoran plasma protein menginduksi penebalan dan
pembengkakan dinding jalan udara serta penyempitan lumennya disertai
dengan sulitnya pengeluaran mukus (Sukandar, dkk., 2009).

12

Gb.1 Skema Reaksi Alergi Pada Saluran Pernafasan (Neal, 2002)


IV. Sasaran terapi
Tujuan akhir terapi adalah untuk meminimalisasi atau mencegah gejala
dengan tidak ada atau sedikit efek samping dan biaya pengobatan yang

masuk akal.
Pasien harus dapat mempertahankan pola hidup normal, termasuk
berpartisipasi dalam kegiatan luar ruangan dan bermain dengan hewan
peliharaan sesuai dengan keinginan.
(Sukandar et al., 2008)

V. Strategi & Tata laksana terapi


Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan alergi secara total. Bagi
sebagian orang imunoterapi dapat berfungsi untuk meningkatkan toleransi
pasien terhadap alergen. Pasien juga dapat melakukan pengobatan melalui

13

obat-obat yang diresepkan oleh dokter. Dalam batasan minor illness, seseorang
dapat melakukan terapi swamedikasi dengan obat OTC dengan batasan bahwa
gejala yang muncul tidak menyebabkan infeksi sinus yang berulang, infeksi
telinga, dan juga gejala lain seperti pusing, batuk-batuk, dan bersin-bersin yang
sangat mengganggu pekerjaan.
Obat OTC juga dapat diberikan dengan catatan sebagai berikut:

Tidak mengendarai kendaraan atau menjalankan mesin dan kegiatan yang


membutuhkan konsentrasi ketika mengkonsumsi antihistamin. Hal ini

disebabkan sebagian besar antihistamin menyebabkan kantuk.


Melakukan pengecekan pada obat-obatan lain yang sedang dikonsumsi
bersamaan dengan OTC. Beberapa obat-obatan menyebabkan interaksi

dengan obat OTC yang akan diberikan.


Tidak mengkonsumsi obat-obatan yang sudah kadaluwarsa. Pengecekan
terhadap label expired date diwajibkan bagi pasien dan pelayan kesehatan

di apotek.
Menyimpan obat-obatan pada tempat yang bersih, kering, dan terlindungi

dari cahaya, serta menjauhkan dari jangkauan anak-anak.


a. Terapi Non Farmakologi
Pencegahan dilakukan dengan meminimalisasi atau meniadakan penyebab
alergi. Pencegahan dapat dilakukan, misalnya:

Menyarankan pasien mencari tahu pemicu alerginya, bisa dengan


menganalisis kondisi saat terjadi gejala alergi atau tes alergi di rumah

sakit/ laboratorium yang menyediakan.


Menghindari/ meminimalkan kontak dengan pemicu alergi.
Membersihkan dan mencuci permukaan kain tempat tidur, sofa. Hal

ini dapat mengurangi debu dan kutu debu yang ada.


Membersihkan dengan vacuum cleaner setidaknya dua kali seminggu.
Gunakan masker ketika melakukan kegiatan rumah yang memicu

reaksi alergi.
Menghindari hewan peliharaan yang sering menyebabkan alergi,
biasanya dari bulu-bulu hewan seperti kuving, anjing, dan burung.

14

Pada musim tertentu, serbuk sari tanaman menyebar dengan mudah.


Untuk itu disarankan menutup jendela dan pintu serta menggunakan

penyaring udara.
Cegah pertumbuhan jamur di tempat-tempat yang lembab. Jamur akan

menghasilkan spora yang bisa memicu reaksi alergi.


Untuk mengurangi keparahan gejala rinitis alergi, jalani diet
seimbang. Minum banyak air, yaitu 8-10 gelas sehari, untuk
mengencerkan sekret dari hidung dan tenggorokan. Selain itu,
tinggikan posisi kepala selagi tidur untuk menghindari timbulnya
gejala hidung tersumbat.

b. Terapi Farmakologi
Dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan di apotek untuk menangani
kasus alergi terdapat beberapa jenis obat-obatan yang dapat didapatkan
OTC maupun termasuk dalam kategori OWA adalah sebagai berikut:

1. Antihistamin
Dalam mengatasi alergi, antihistamin H1 yang berfungsi
mengeblok

reseptor

H1

sehingga

mencegah

kerja

histamin.

Antihistamin efektif dalam mengatasi gejala bersin-bersin, gatal, dan


hidung berair. Kebanyakan antihistamin menyebabkan efek samping.
Satu dari lima orang yang mengkonsumsi antihistamin mengalami
efek mengantuk. Efek samping lainnya diantaranya adalah mulut
kering, konstipasi, berkurangnya daya pengelihatan, dan kesulitan
buang air kecil. Penggunaan antihistamin dikontraindikasikan pada
pasien glaukoma karena akan memperparah tekanan pada bola mata,
serta pada pasien dengan kelainan urinasi atau prostat. Pasien
bronkitis dan emfisema juga menghindari obat jenis ini. Obat ini
berinteraksi dengan antidepresan, transkuilizer, obat tidur, dan
alkohol. Ketika antihistamin bekerja dengan baik, efek yang diberikan

15

dalam menghilangkan symptom adalah berkisar 50-80% namun tidak


menghilangkan semua symptom yang ada.
Berdasarkan senyawa kimia penyusunnya antihistamin dibagi
menjadi

tiga

ethylenediamine.

jenis

yaitu:

Alkilamin

alkylamines
menyebabkan

ethanolamine,
kantuk,

dan

sedangkan

etanoolamin lebih rendah efek kantuknya. berdasarkan efek sedasinya


antihistamin tersebut dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

Golongan generasi pertama


Generasi pertama antihistamin menyebabkan efek sedasi. Dalam
beberapa kasus rhinitis yang menyebabkan pasiennya sulit tidur,

efek sedasi dibutuhkan untuk dapat beristirahat.


Golongan generasi kedua
Generasi kedua antihistamin memiliki efek sedasi yang lebih
minimal. hal tersebut dikarenakan kemampuan obat dalam
menembus sawar otak lebih rendah. Obat ini diperlukan bagi pasien
yang memerlukan aktivitas tanpa terganggu rasa kantuk dan
berkurangnya konsentrasi. Antihistamin generasi kedua memiliki
onset terapi yang cepat dengan aksi hingga 24 jam, sehingga obat
tersebut hanya dikonsumsi satu kali sehari. Obat ini tidak
menyebabkan takifilaksis dan memiliki jendela terapi yang cukup

lebar.
2. Dekongestan
Dekongestan

topikal

maupun

sistemik

merupakan

zat

simpatomimetik yang bekerja pada reseptor adrenergik pada mukosa


hidung, sehingga menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa
yang membengkak, dan memperbaiki ventilasi. Dekongestan yang
dikombinasikan dengan antihistamin menjadi pilihan yang baik
apabila terjadi kongesti hidung
Dekongestan topikal dapat dipakai langsung pada mukosa hidung
yang membengkak dengan penetesan atau semprotan. Sediaan ini
hanya sedikit atau sama sekali tidak terabsorpsi secara sistemik. Perlu
diperhatikan pada penggunaan sediaan dekongestan topikal dalam

16

jangka waktu panjang yang berturut-turut dapat mengakibatkan gejala


yang sama (bengkak dan hidung yang terasa penuh) atau bahkan
menjadi lebih parah. Gejala balikan ini disebut rebound reaction
atau rinitas medicamentosa dimana terjadi vasodilatasi kembali
diakibatkan oleh pemakaian semprotan yang terlalu sering, walaupun
dengan dosis yang lebih kecil. Rebound reaction ini dapat dihentikan
dengan penghentian mendadak pemakaian dekongestan, lebih baik
apabila dikombinasikan dengan steroid nasal. Cara ini cukup efektif,
tetapi tidak dapat diandalkan untuk dapat menghentikan secara cepat
gejala rebound karena gejala ini dapat berlangsung beberapa hari atau
minggu. Produk dekongestan seharusnya hanya digunakan apabila
betul-betul perlu dan dengan dosis yang sekecil mungkin. Durasi
terapi harus dibatasi maksimal selama 3 hari saja. Efek samping
lainnya dari nasal dekongestan diantaranya rasa terbakar, bersin, dan
kekeringan mukosa nasal.
Dekongestan oral memiliki onset yang lebih lama dibandingkan
dengan obat topikal, tetapi dapat bekerja lebih lama dan kurang
menyebabkan iritasi lokal. Selain itu, pemberian dekongestan oral
tidak mengakibatkan rebound reaction seperti pada dekongestan
topikal. Dekongestan oral efektif untuk meredakan hidung tersumbat
dan hidung kering, tetapi tidak berefek apapun untuk hidung gatal dan
bersin-bersin. Efek samping yang umumnya ditimbulkan antara lain
pusing, tremor, naiknya detak jantung. Dekongestan oral sebaiknya
tidak digunakan oleh pasien dengan tekanan darah yang tinggi,
penyakit jantung, kelainan tiroid, diabetes, atau kelainan prostat,
kecuali dengan pengawasan dokter.
Salah satu contoh dekongestan oral misalnya pseudoefedrin.
Pseudoefedrin adalah dekongestan sistemik yang paling aman karena
tidak menyebabkan perubahan tekanan darah dan laju jantung yang
terukur

hingga

dosis

180

mg.

Pseudoefedrin

baru

dapat

mengakibatkan naiknya tekanan darah dan laju jantung pada dosis 210

17

240 mg. Namun, pada pasien hipersensitif, dekongestan sistemik


harus sangat dihindari, kecuali apabila tidak ada pilihan lain. Reaksi
hipersensitif parah dapat terjadi jika pseudoefedrin diberikan
bersamaan dengan inhibitor monoamin oksidase. Pseudoefedrin dapat
menyebabkan stimulasi ringan sistem saraf pusat, bahkan pada dosis
terapetik.
3. Obat Antiasma
Agonis reseptor Beta-2 (OTC dan OWA)
Dalam mengahadapi pasien asma, pengobatan yang paling poten
adalah dengan menggunakan kortikosteroid inhaler. Obat tersebut
harus diperoleh melalui peresepan oleh dokter. Pengobatan asma yang
dilakukan secara swamedikasi tanpa dikontrol oleh dokter dapat
menyebabkan efek samping berupa meningkatnya tekanan darah.
Meskipun demikian ada beberapa obat OTC dan OWA yang dapat
diberikan tanpa resep dokter. Beberapa obat bagi serangan asma,
terutama untuk asma yang disebabkan oleh alergi diantaranya adalah
Salbutamol, Terbutalin, dan Orsiprenalin (setelah pengobatan ulang
dengan resep dokter). Obat-obat tersebut termasuk dalam golongan
agonis reseptor B-2 adrenergik yang dapat merangsang pelebaran
saluran udara oleh reseptor beta-adrenergik. Bronkodilator yang
bekerja pada semua reseptor beta-2 adrenergik (misalnya adrenalin),
menyebabkan efek samping berupa denyut jantung yang cepat,
gelisah, sakit kepala dan tremor (gemetar) otot. Bronkodilator yang
hanya bekerja pada reseptor beta-2 adrenergik (yang terutama
ditemukan di dalam sel-sel di paru-paru), hanya memiliki sedikit efek
samping terhadap organ lainnya.
Metilxantin
Metilxantin

menghasilkan

bronkodilatasi

dengan

menginhibisi

fosfodiesterase yang juga menghasilkan antiinflamasi dan aktivitas


nonbronkodilatasi lain melalui penurunan pelepasan mediator sel
mast, penurunan pelepasan protein dasar eosinofil, penurunan

18

proliferasi limfosit T, penurunan pelepasan sitokin sel T, dan


penurunan

eksudasi

permeabilitas

plasma.

Metilxantin

vaskular, meningkatkan

juga

klirens

menginhibisi

mukosiliar, dan

memperkuat kontraksi diafragma. Golongan ini tidak efektif diberikan


dalam bentuk aerosol dan harus diberikan dalam bentuk sistemik
(oral/IV). Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah teofilin dan
aminofilin. Teofilin lepas lambat lebih disukai untuk pemberian oral,
sedangkan bentuk kompleksnya dengan etilendiamin (aminofilin)
lebih disukai untuk sediaan parenteral. Teofilin dianggap sebagai agen
lapis kedua atau tiga dalam penanganan asma karena tingginya rasio
untung-ruginya.

VI. Evaluasi produk


Anti Histamin
Generas
i
I

Golongan
Alkilamin,
non selektif

Etanolamin,
non selektif

Nama Obat
Chlorfeniramin
maleat

Bromfeniramin
Maleat
Deksklorofeniramin
maleat
Karbinoksamin
maleat
Difenhidramid
hidroklorid

Dosis
Efek
Dewasa
Anak
sedatif
4 mg tiap 6-12 th:
Rendah
6 jam
2 mg tiap
6 jam
2-5 th: 1
mg tiap 6
jam
Rendah
Rendah
Tinggi
25-50
5 mg/kg/
mg tiap 8 hari
sampai
jam
25 mg
per dosis

Tinggi

19

Klemastatin fumarat

Etilendiamin,
non selektif
Fenotiazin,
non selektif
Piperidin,
non selektif
II

Phtalazinon,
selektif
perifer
Piperazin,
selektif
perifer
Piperidin

1,34 mg
tiap 8
jam

6-12 th:
0,67 mg
tiap 12
jam

Pirilamin maleat
Tripelenamin
hidroklorida
Prometazin
hidroklorida
Siproheptadin
hidroklorida
Fenindamin tartrat
Azelastin (nasal)

Setirizin*

Sedang

Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah

5-10 mg
1x/hari

>6 th: 5
mg
1x/hari

Desloratadin
Loratadin

Rendah

Rendah
Rendah

10 mg
6-12th:
sekali
10 mg
sehari
1x/hari
Note: *Setirizin termasuk OWA untuk penggunaan ulangan atas resep dokter.
Diberikan maksimal 10 tablet.
Dekongestan
Nama Obat

Dewasa
Dekongestan Topikal
Fenilefrin HCl
Nafazolin HCl
Tetrazolin HCl
Oksimetazolin
HCl

2-3
semprot
2x/hr
Xilometazolin 1 semprot/
HCl
2-3 tts
3x/hr
Dekongestan Oral
Pseudoefedrin 60 mg tiap
4-6 j

Dosis
Anak

Durasi

2-3 semprot
2x/hr

Hingga 4
jam
4-6 jam
4-6 jam
Hingga 12
jam

2-12 th: 1 tts


3x/hr

Hingga12
jam

6-12 th: 30 mg
tiap 4-6 j

Hingga 6
jam

Keterangan

KI dengan
glaukoma

20

Pseudoefedrin
SR

120 mg
tiap 12 j

2-5 th: 15 mg
tiap 4-6 j
Tidak
direkomendasi
kan

12 jam

Anti Asma
Agonis reseptor Beta-2 dan metilxantin
Nama Obat

Durasi
Bronkodilatasi Proteksi
4-8 jam
2-4 jam
4-8 jam
2-4 jam

Salbutamol*
Terbutalin**
Teofilin
*maks 1 tabung inhaler, pengulangan dari resep dokter
**maks 20 tablet/1 botol sirup, pengulangan dari dokter
VII. Penutup
Terapi yang paling efektif dari alergi adalah menghindari alergi itu sendiri
yaitu dengan terapi non farmakologi karena terapi farmakologi hanya bersifat
sementara atau tidak menyambuhkan alergi itu selama pasien masil terpapar
alergen. Oleh karena itu, penting bagi apoteker untuk memberi konseling
terhadap pasien mengenai hal itu dan menyarankan pasien untuk lebih
perhatian tendang kondisi lingkungan dan penyebab alergi itu sendiri serta bila
memungkinkan menjalankan tes untuk mengetahui dengan pasti alergi yang
dialami.

BATUK
I. Pendahuluan
Menurut Weinberger (2005) batuk merupakan ekspirasi eksplosif yang
menyediakan mekanisme protektif normal untuk membersihkan cabang
trakeobronkial dari sekret dan zat-zat asing. Batuk bukan merupakan penyakit,
tetapi merupakan gejala atau tanda adanya gangguan pada saluran pernafasan di
sisi lain. Batuk yang berlebihan dan mengganggu merupakan keluhan paling
sering yang menyebabkan pasien pergi ke dokter untuk mendapatkan pengobatan.
Batuk, pilek dan alergi merupakan penyakit yang sering menyerang
masyarakat. Datangnya pun bisa lebih dari sekali dalam setahun, terlebih pada

21

anak-anak. Bagi sebagian orang, penyakit ini malah sudah dianggap penyakit
langganan yang selalu datang setiap kali terjadi perubahan musim. Batuk pilek
beda dengan influenza. Biasanya gejala batuk pilek dimulai 2-3 hari setelah
terjadinya infeksi. Gejalanya sangat khas, yaitu bersin-bersin, hidung berair,
hidung tersumbat, batuk, suara serak. Hal itu bisa berlangsung kurang lebih
seminggu. Biasanya hanya 2-3 hari bila gejalanya ringan, tapi bisa sampai 2
minggu bila gejalanya tergolong parah. Namun bila sudah lebih dari 2 minggu
gejala pilek belum hilang juga, bisa jadi penyebabnya adalah alergi. Batuk pilek
dapat disebabkan karena pola makan yang buruk, kurangnya olahraga, stress,
dan kurang tidur. Penyebab yang paling sering adalah virus.
Obat batuk dan pilek

digunakan untuk menghilangkan gejala penyakit

sehingga disebut simtomatik. Batuk dan pilek menyerang saluran pernapasan


bagian atas dan seringkali mengganggu aktivitas sehari-hari. Obat batuk dan pilek
dapat

digunakan

bila

dirasakan

gejala

sudah

mengganggu.

(www.medicastore.com). Dengan tersedianya berbagai macam obat batuk pilek


yang mudah dibeli di mana saja, perlu kecermatan dalam memilih obat yang tepat.
Kebanyakan dari obat yang dijual di pasaran mengandung kombinasi dari seluruh
jenis obat batuk pilek. Oleh karena itu, perlu pemahaman bagaimana memilih
obat batuk pilek yang sesuai dengan gejala yang dialami. Obat batuk dibagi
menjadi dua yaitu, Antitusif digunakan untuk mengobati batuk kering, sedangkan
Ekspektoran untuk mengobati batuk berdahak. Jika mengalami hidung tersumbat,
maka dibutuhkan obat pilek yang mengandung dekongestan, contohnya adalah
pesudoefedrin. Pseudoefedrin tersebut berfungsi mengurangi peradangan dari
lapisan dalam hidung dan akan mengurangi produksi cairan/mucus yang menjadi
penyebab hidung tersumbat. Apabila mengalami pilek dengan banyak cairan
yang keluar dari lubang hidung, maka obat antihistamin merupakan pilihan yang
tepat, yaitu yang mengandung Chlorpheniramine maleate. Obat ini akan
mencegah produksi cairan berlebihan dari hidung sehingga dapat mengatasi gejala
yang dialami (www.panadol.com).
Perlu edukasi kepada pasien tentang bagaimana memilih obat batuk, flu,
alergi yang tepat sesuai gejala yang dialami pasien, dan membangun sikap kritis

22

kepada pasien untuk mengenali kandungan obat di dalamnya agar sesuai dengan
masing-masing pasien. Pada keadaan ini farmasis berperan membantu memilihkan
obat untuk pasien sesuai kondisi yang dialami pasien. Hal tersebut dapat
meningkatkan pengobatan rasional bagi pasien. Seorang Farmasis juga
bertanggung jawab apakah seorang pasien dengan kondisi yang dia alamai dapat
diobati dengan swamedikasi atau harus dirujuk ke dokter.
1. Etiologi batuk
Menurut McGowan (2006) batuk bisa terjadi secara volunter tetapi
selalunya terjadi akibat respons involunter akibat dari iritasi terhadap
infeksi, asap rokok, abu dan bulu hewan terutama kucing. Penyebab akibat
penyakit respiratori adalah seperti asma, postnasal drip, penyakit
pulmonal obstruktif kronis, tubercullosis, pneumonia, lung abscess dan
interstitial lung disease. Semua gangguan yang menyebabkan inflamasi,
konstriksi, infiltrasi, dan kompresi jalan nafas. Batuk juga bisa terjadi
akibat dari refluks gastro-esofagus atau terapi inhibitor ACE (angiotensinconverting

enzyme).

Selain

itu,

paralisis

pita

suara

juga

bisa

mengakibatkan batuk akibat daripada kompresi nervus laryngeus misalnya


akibat tumor.

2. Patogenesis Batuk
Melibatkan suatu kompleks rangkaian refleks yang bermula dari stimulasi
terhadap reseptor iritan. Sebagian besar reseptor diduga berlokasi di sistem
pernafasan, sedangkan pusat batuk diduga berada di medula. Batuk yang
efektif tergantung pada kemampuan untuk mencapai aliran udara yang
tinggi

dan

tekanan

intrathoraks,

sehingga

meningkatkan

proses

pembersihan mukus pada saluran nafas. Komplikasi batuk : symptoms of


insomnia, hoarseness, musculoskeletal pain, exhaustion, sweating, and
urinary incontinence.
3. Jenis-jenis Batuk

23

Menurut

Dicpinigaitis

(2009)

batuk

secara

definisinya

bisa

diklasifikasikan mengikut waktu yaitu batuk akut yang berlangsung


selama kurang dari tiga minggu, batuk sub-akut yang berlangsung selama
tiga hingga delapan minggu dan batuk kronis berlangsung selama lebih
dari delapan minggu.
a. Batuk Akut
Batuk akut berlangsung selama kurang dari tiga minggu dan
merupakan simptom respiratori yang sering dilaporkan ke praktik
dokter. Kebanyakan kasus batuk akut disebabkan oleh Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) khususnya common cold, acute bacterial
sinusitis, dan pertussis yang merupakan self-limiting dan bisa sembuh
selama seminggu (Haque, 2005). Namun bisa juga karena pneumonia,
pulmonary embolus, atau congestive heart failure. Dalam situasi ini,
batuk merupakan simptom yang sementara dan merupakan kelebihan
yang penting dalam proteksi saluran pernafasan dan pembersihan
mukus. Walau bagaimanapun, terdapat permintaan yang tinggi
terhadap obat batuk bebas yang kebanyakannya mempunyai bukti
klinis yang sedikit dan waktu yang diambil untuk konsultasi ke dokter
tentang simptom batuk (Dicpinigaitis, 2009).

b. Batuk Sub-Kronis
Batuk yang terjadi setelah kejadian ISPA yang tidak terkomplikasi
pneumonia (chest X-ray normal) post-infectius cough. Jika pasien
melaporkan adanya post-nasal drip, diatasi dengan obat common cold,
tetapi batuk masih bertahan dugaan sinusitis bakterial. Bila batuk
disertai wheezes, ronchi atau karena cough variant asthma.
c. Batuk Kronis
Batuk kronis berlangsung lebih dari delapan minggu. Batuk yang
berlangsung secara berterusan akan menyebabkan kualitas hidup
menurun yang akan membawa kepada pengasingan sosial dan depresi

24

klinikal (Haque, 2005). Penyebab sering dari batuk kronis adalah


penyakit refluks gastro-esofagus, rinosinusitis dan asma. Pada
perokok batuk mungkin disebabkan oleh Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK) atau bronchogenic carcinoma. Pada non-perokok yang
hasil foto thorax-nya normal dan tidak sedang menggunakan ACE
inhibitor, penyebab batuk yang mungkin

seperti postnasal drip,

asthma, dan gastroesophageal reflux. Batuk golongan ini masih


berterusan dipertanyakan apa sebenarnya penyebabnya yang pasti
(Haque, 2005).
Klasifikasi berdasarkan tanda klinis dibagi menjadi yaitu batuk kering dan
batuk berdahak.
a. Batuk kering
Seringkali

sangat

menganggu,

tidak

dimaksudkan

untuk

membersihkan saluran nafas, pada kondisi tertentu berbahaya (pasca


operasi) sehingga perlu ditekan.
b. Batuk berdahak
Mekanisme pengeluaran sekret atau benda asing di saluran nafas
sehingga sebaiknya tidak ditekan.

II. MEKANISME BATUK


Batuk adalah suatu refleks pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing
dari saluran nafas. Ada 4 fase mekanisme batuk, yaitu fase iritasi, fase inspirasi,
fase kompresi dan fase ekspulsi/ekspirasi. Iritasi salah satu ujung saraf sensoris
nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar atau sera aferen cabang faring dari
nervus glossofaringeal dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor
batuk di lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar
dirangsang. Rangsang pada reseptor batuk dialirkan ke pusat batuk ke medula,
dari medula dikirim jawaban ke otot-otot dinding dada dan laring sehingga timbul
batuk (Aditama, 1993; Yunus 1993).

25

Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar
udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume udara yang
diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 ml di
atas kapasitas residu fungsional. Penelitian lain menyebutkan jumlah udara yang
dihisap berkisar antara 50% dari tidal volume sampai 50% dari kapasitas vital.
Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume
yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan
ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan
memperkecil rongga udara yang ter-tutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih
mudah (Aditama, 1993).
Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan
tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan
meningkat sampai 50- 100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk,
yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan
menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup
adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain.
Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi.
Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada
sehingga menimbulkan suara batuk (Aditama, 1993).
Menurut Weinberger (2005) batuk bisa diinisiasi sama ada secara volunter
atau refleks. Sebagai refleks pertahanan, ia mempunyai jaras aferen dan eferen.
Jaras aferen termasuklah reseptor yang terdapat di distribusi sensori nervus
trigemineus, glossopharingeus, superior laryngeus, dan vagus. Jaras eferen pula
termasuklah nervus laryngeus dan nervus spinalis. Batuk bermula dengan
inspirasi dalam diikuti dengan penutupan glotis, relaksasi diafragma dan kontraksi
otot terhadap penutupan glotis. Tekanan intratorasik yang positif menyebabkan
penyempitan trakea. Apabila glotis terbuka, perbedaan tekanan yang besar antar
atmosfer dan saluran udara disertai penyempitan trakea menghasilkan kadar aliran
udara yang cepat melalui trakea. Hasilnya, tekanan yang tinggi dapat membantu
dalam mengeliminasi mukus dan benda asing.

26

III.

SASARAN DAN STRATEGI TERAPI

1. Sasaran Terapi
a. Menghilangkan gejala batuk
b. Menghilangkan penyakit/kondisi penyebab batuk.
2. Strategi Terapi
a. Menggunakan obat-obat antitusif atau ekspektoran
b. Menggunakan obat-obat sesuai dengan penyebabnya
c. Menghentikan penggunaan obat-obat penyebab batuk.
IV.

TATA LAKSANA TERAPI

1. Nir-Obat
a. Tidak merokok.
b. Minum air putih yang banyak.
c. Cough drops.
d. Menjauhi dari penyebab batuk seperti abu dan asap rokok.
e. Meninggikan kepala dengan menggunakan bantal tambahan pada
waktu malam untuk mengurangkan batuk kering.
2. Obat Batuk
Menurut Beers (2003) batuk memiliki peran utama dalam mengeluarkan
dahak dan membersihkan saluran pernafasan, maka batuk yang menghasilkan
dahak umumnya tidak disupresikan. Yang diutamakan adalah pengobatan
kausa seperti infeksi, cairan di dalam paru, atau asma. Misalnya, antibiotik
akan diberikan untuk infeksi atau inhaler bisa diberi kepada penderita asma.
Bergantung pada tingkat keparahan batuk dan penyebabnya, berbagai variasi
jenis obat mungkin diperlukan untuk pengobatan. Batuk dapat diobati dengan
swamedikasi. Batuk yang perlu diwaspadai ialah batuk berdarah, tidak
sembuh-sembuh, warna sputum tidak lazim (hijau). Jika pasien dengan tandatanda seperti itu perlu tindakan merujuk ke dokter. Menurut KKM (2007)
sangat penting untuk mengobati batuk dengan jenis obat batuk yang benar.
Menurut

Beers

(2003)

pengobatan

batuk

secara

umumnya

diklasifikasikan berdasarkan jenis batuknya berdahak atau tidak.

dapat

27

Jenis-jenis obat batuk yang terkait dengan batuk yang berdahak dan tidak
berdahak yang dapat diberikan pada swamedikasi yang dibahaskan di sini
adalah mukolitik, ekspektoran dan antitusif.
a. Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara mengencerkan
sekret saluran pernafasan dengan jalan memecah benang-benang
mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum (Estuningtyas, 2008).
Agen mukolitik berfungsi dengan cara mengubah viskositas sputum
melalui aksi kimia langsung pada ikatan komponen mukoprotein. Agen
mukolitik yang terdapat di pasaran adalah bromheksin, ambroksol, dan
asetilsistein (Estuningtyas, 2008).
(i) Bromheksin
Bromheksin merupakan derivat sintetik dari vasicine. Vasicine
merupakan suatu zat aktif dari Adhatoda vasica. Obat ini diberikan
kepada penderita bronkitis atau kelainan saluran pernafasan yang lain.
Obat ini juga digunakan di unit gawat darurat secara lokal di bronkus
untuk memudahkan pengeluaran dahak pasien. Menurut Estuningtyas
(2008) data mengenai efektivitas klinis obat ini sangat terbatas dan
memerlukan penelitian yang lebih mendalam pada masa akan datang.
Efek samping dari obat ini jika diberikan secara oral adalah mual dan
peninggian transaminase serum. Bromheksin hendaklah digunakan
dengan hati-hati pada pasien tukak lambung. Dosis oral bagi dewasa
seperti yang dianjurkan adalah tiga kali, 4-8 mg sehari. Obat ini
rasanya pahit sekali.
(ii)Asetilsistein
Asetilsistein (acetylcycteine) diberikan kepada penderita penyakit
bronkopulmonari kronis, pneumonia, fibrosis kistik, obstruksi mukus,
penyakit bronkopulmonari akut, penjagaan saluran pernafasan dan
kondisi lain yang terkait dengan mukus yang pekat sebagai faktor
penyulit (Estuningtyas, 2008). Ia diberikan secara semprotan
(nebulization) atau obat tetes hidung. Asetilsistein menurunkan

28

viskositas sekret paru pada pasien radang paru. Kerja utama dari
asetilsistein adalah melalui pemecahan ikatan disulfida. Reaksi ini
menurunkan viskositasnya dan seterusnya memudahkan penyingkiran
sekret tersebut. Ia juga bisa menurunkan viskositas sputum.
Efektivitas maksimal terkait dengan pH dan mempunyai aktivitas
yang paling besar pada batas basa kira-kira dengan pH 7 hingga 9.
Sputum akan menjadi encer dalam waktu 1 menit, dan efek maksimal
akan dicapai dalam waktu 5 hingga 10 menit setelah diinhalasi.
Semasa trakeotomi, obat ini juga diberikan secara langsung pada
trakea. Efek samping yang mungkin timbul berupa spasme bronkus,
terutama pada pasien asma. Selain itu, terdapat juga timbul mual,
muntah, stomatitis, pilek, hemoptisis, dan terbentuknya sekret
berlebihan sehingga perlu disedot (suction). Maka, jika obat ini
diberikan, hendaklah disediakan alat penyedot lendir nafas. Biasanya,
larutan yang digunakan adalah asetilsistein 10% hingga 20%.
b. Ekspektoran
Ekspektoran merupakan obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak
dari saluran pernafasan (ekspektorasi). Penggunaan ekspektoran ini
didasarkan pengalaman empiris. Tidak ada data yang membuktikan
efektivitas ekspektoran dengan dosis yang umum digunakan. Mekanisme
kerjanya diduga berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya
secara refleks merangsang sekresi kelenjar saluran pernafasan lewat
nervus vagus, sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah
pengeluaran dahak. Obat yang termasuk golongan ini ialah ammonium
klorida dan gliseril guaiakoiat (Estuningtyas, 2008).
(i)

Ammonium Klorida
Menurut Estuningtyas (2008) ammonium klorida jarang digunakan
sebagai terapi obat tunggal yang berperan sebagai ekspektoran tetapi
lebih sering dalam bentuk campuran dengan ekspektoran lain atau
antitusif. Apabila digunakan dengan dosis besar dapat menimbulkan
asidosis metabolik, dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien

29

dengan insufisiensi hati, ginjal, dan paru-paru. Dosisnya, sebagai


ekspektoran untuk orang dewasa ialah 300mg (5mL) tiap 2 hingga 4
jam. Obat ini hampir tidak digunakan lagi untuk pengasaman urin
pada keracunan sebab berpotensi membebani fungsi ginjal dan
menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit.
(ii)Gliseril Guaiakolat
Penggunaan gliseril guaiakolat didasarkan pada tradisi dan kesan
subyektif pasien dan dokter. Tidak ada bukti bahwa obat bermanfaat
pada dosis yang diberikan. Efek samping yang mungkin timbul
dengan dosis besar, berupa kantuk, mual, dan muntah. Ia tersedia
dalam bentuk sirup 100mg/5mL. Dosis dewasa yang dianjurkan 2
hingga 4 kali, 200-400 mg sehari.
c.

Antitusif
Menurut Martin (2007) antitusif atau cough suppressant merupakan obat
batuk yang menekan batuk, dengan menurunkan aktivitas pusat batuk di
otak dan menekan respirasi. Misalnya dekstrometorfan dan folkodin yang
merupakan opioid lemah. Terdapat juga analgesik opioid seperti kodein,
diamorfin dan metadon yang mempunyai aktivitas antitusif.
Menurut Husein (1998) antitusif yang selalu digunakan merupakan
opioid dan derivatnya termasuk morfin, kodein, dekstrometorfan, dan
fokodin. Kebanyakannya berpotensi untuk menghasilkan efek samping
termasuk depresi serebral dan pernafasan. Juga terdapat penyalahgunaan.
(i) Dekstrometorfan
Menurut Dewoto (2008) dekstrometorfan tidak berefek analgetik atau
bersifat aditif. Zat ini meningkatkan nilai ambang rangsang refleks
batuk secara sentral dan kekuatannya kira-kira sama dengan kodein.
Berbeda dengan kodein, zat ini jarang menimbulkan mengantuk atau
gangguan saluran pencernaan. Dalam dosis terapi dekstrometorfan
tidak menghambat aktivitas silia bronkus dan efek antitusifnya
bertahan 5-6 jam. Toksisitas zat ini rendah sekali, tetapi dosis sangat
tinggi mungkin menimbulkan depresi pernafasan. Dekstrometorfan

30

tersedia dalam bentuk tablet 10 mg dan sebagai sirup dengan kadar 10


mg dan 15 mg/5mL. dosis dewasa 10-30 mg diberikan 3-4 kali sehari.
Dekstrometorfan sering dipakai bersama antihistamin, dekongestan,
dan ekspektoran dalam produk kombinasi (Corelli, 2007).
Kapan pasien disarankan untuk pergi ke dokter?
Jika batuk yang dialami pasien setelah swamedikasi selama lebih kurang 1
minggu belum juga hilang atau berkurang pasien disarankan konsultasi
kedokter karena ada kemungkinan bahwa batuknya disebabkan oleh
penyakit serius. Selain itu, pasien dapat dirujuk bila :
-

Berinteraksi dengan penderita TBC


Batuk pada bayi yang lebih kecil dari 3 bulan
Batuk lebih dari 10-14 hari
Batuk berdarah
Demam (mungkin merupakan tanda infeksi bakteri yang memerlukan

antibiotik)
- Dahak kental, berbau tidak enak dan berwarna hijau-kekuningan
(mungkin merupakan infeksi bakteri)
- Kehilangan berat badan atau keringat di malam hari (mungkin TBC)
- Batuk yang sangat keras secara tiba-tiba
V. EVALUASI PRODUK
No
.
1.

2.

3.

Zat Aktif

Produk

Indikasi

Bromheksin
Asecrin,
Mukolitik
(4mg/5ml
Bisolvon,
syrup;
8 Bromifar,
mg/tab)
Celovon
Asetilsistein
Fluimucyl
Mukolitik
(100
mg/bungkus
5
mg),
Sistenol (200
mg)
Ammonium
klorida

Adrylan,
benadryl,
colfin,dexyl,
komix

Ekspektoran

Efek Samping

Keterangan

Mual, muntah, P: pasien tukak


diare,
Iritasi lambung
GI,
sakit
kepala, vertigo
Spasme
brongkus,
mual, muntah,
stomatitis,
pilek,
hemoptisis,
suction
P:
pasien
insufisiensi hati,
ginjal, dan paruparu;

31

4.

Gliseril
guaiakolat
(100 mg)
Dekstrometorf
an

Biasanya
dikombinasikan
dengan ZA lain.
Kantuk, mual, P: hipersensitif
dan muntah

Bufabat,
Ekspektoran
glyceril
guaiacolate
5.
Dextronova,
Antitusif/
Kantuk,
dextromethor batuk tidak gangguan GI
pham,Dextral berdahak
(kombinasi),
Dextromex
(kombinasi)
Tambahan kombinasi obat batuk dengan zat aktif tertentu
6. Pseudoefedrin Kemodryl,
Dekongestan Takikardi,
kontrabat,
Aritma.
Nasamex
Palpitasi, susah
forte, lapifed
buang air kecil
DM
(kombinasi)
7. Fenilefrin
Domeryl,
Dekongestan
Dextrop,
lodecon,
(kombinasi)
8. Fenilpropanol Allerin,
Dekongestan
amin
Antiza,
cymatusin
(kombinasi)
9. Difenhidramin Domeryl,
Anti
alergi Kantuk,
sakit
floradryl,
(antagonis
kepala,
Samcodryl
H1)
hipotensi, mual,
(kombinasi)
diare
10. CTM
Antiza,
Anti
alergi kantuk
Dexophan,
(antagonis
Dextrop,
H1)
Dexyl
(kombinasi)
11. Parasetamol
Anaprin,
Analgetik,
Gangguan
Antiza,
antipiretik
fungsi
hati
Bimacold,
(dosis
besar),
Bodrex
hipersensitivitas
Migra

Untuk
pasien
batuk
yang
disertai pilek.
P: hipertensi

Untuk
pasien
batuk
yang
disertai pilek.
P: hipertensi
Untuk
pasien
batuk
yang
disertai pilek.
P: hipertensi
Untuk
pasien
batuk
karena/disertai
alergi
Untuk
pasien
batuk
karena/disertai
alergi
Untuk
batuk
disertai
kepala
demam.

pasien
yang
sakit
atau

32

(kombinasi)

P:
hati

Gangguan

KASUS

Ibu Sari datang ke apotek anda ingin membeli obat untuk anaknya yang
berusia 4 tahun. Ibu Sari menyampaikan bahwa anaknya mengalami flu,
batuk berdahak dan disertai demam. Anak dari Ibu Sari sudah mengalami
gejala tersebut selama 2 hari. Ibu Sari telah memberikan parasetamol pada
anaknya, tetapi belum sembuh-sembuh. Apa pilihan obat yang tepat untuk
anak Ibu Sari?
Informasi penting:

33

1. W - Who is it for ?
Anak dari Ibu Sari, berusia 4 tahun.
2. W - What are the symptoms ?
Flu, batuk berdahak dan disertai demam.
3. H - How long have the symptoms ?
Sudah berlangsung selama 2 hari.
4. A - Actions taken so far ?
Pemberian obat parasetamol
5. M - Medications they are taking ?
Parasetamol untuk menurunkan demam (output: belum sembuh)

Terapi Non Farmakologi


- Istrirahat yang cukup
- Perbanyak minum air putih 8-10 gelas sehari (dianjurkan air hangat)
untuk menjaga agar lendir/dahak tetap encer dan mengganti cairan
tubuh yang hilang (keringat) akibat demam.
- Memberikan asupan gizi yang cukup
- Menggunakan pakaian hangat
- Oleskan minyak kayu putih
- kontrol suhu tubuh pasien tiap 4-6 jam.
- Kompres dahi anak dengan air hangat

Terapi Farmakologi
1. Pengobatan Flu: dapat diberikan pseudoefedrin HCl Dekongestan.
Perlu diperhatikan dosis dan bentuk sediaan yang sesuai untuk anak.
KI: Hipertensi.
2. Pengobatan batuk berdahak: perlu diberikan mukolitik atau kombinasi
mukolitik-ekspektoran. Balita yang belum sempurna secara refleks
mengeluarkan dahaknya sendiri akan lebih baik jika diberi
mukolitik/ekspektoran

atau

kombinasi

mukolitik-ekpsektoran,

contohnya dapat diberikan gliseril guaiakolat (ekspektoran).


3. Pengobatan demam:
- Perlu dilakukan evaluasi penggunaan parasetamol apakah sudah tepat
penggunaannya

atau

tidak.

Jika

tidak

perlu

dilakukan

edukasi/pemberian informasi tentang cara penggunaan obat yang tepat.

34

Untuk pasien anak dianjurkan untuk diberikan parasetamol dalam


bentuk sediaan sirup.
- Pengobatan demam dengan parasetamol dapat dilanjutkan dan perlu
dilakukan monitor jika demam lebih dari 5 hari tidak membaik maka
perlu diperiksakan ke dokter. Karena demam juga dapat disebabkan
karena infeksi bakteri sehingga demam karena infeksi perlu diberikan
antibiotik yang tepat dengan resep dokter.
- Demam yang disebabkan oleh virus akan membaik selama beberapa
hari dengan mengkonsumsi makanan bergizi dan istirahat yang cukup

(perbaikan sistem imun).


Contoh produk obat yang dapat diberikan pada Ibu Sari untuk
mengobati penyakit anaknya, yaitu:
Hufagripp sirup obat flu anak
Komposisi: tiap sendok takar (5 ml) mengandung parasetamol 120
mg, Pseudoephedrine HCl 7,5 mg, Chlorpheniramine
Maleate 0,5 mg, Glyceryl Guaiacolate 50 mg.
Aturan pakai: 2-6 tahun : 3x sehari 1 sendok takar (5ml).
Harga: Hufagripp sirup obat flu anak 60 ml Rp. 12.500
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y . 1993, Patofisiologi batuk, Cermin Dunia Kedokteran Indonesia.


No. 84. Hal. 5-7. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05PatofisiologiBatuk
084.pdf/05PatofisiologiBatuk084.html Diakses tanggal 16 Oktober 2014.
Anonim, 2011, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, BIP, Jakarta.
Anonim, 2013, WAO White Book on Allergy: Update 2013, WAO, Wisconsin.
Beers, N.N., Fletcher, A.J., T.V., Porter, R., 2003, The Merk Manual of Medical
Information, 2nd, New York, Pocket Book.
Berardi, Rosemary R. et al., 2009, Handbook of Nonprescription Drugs, 16th
edition, American Pharmacists Association, Washington, DC.
Corell, R.L., 2007, Therapeutic & Toxic Potential of Over the Counter Agents,
10nd ed, USA, MC Gran Hill, 1045-1046.
Dewoto, H.R., 2008, Analgesik Opioid dan Antagonis 5th, Jakarta , Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia , 228-229.

35

Digpinigaitis, P. V., 2009, Acute Cough: A Diagnostic and Therapeutic Challenge,


USA, Available from: http://www.coughjournal.com/cotent/5/1/11 diakses
pada tanggal 7 Oktober 2014.
Estuningtyas, A., Anp, A., 2008, Obat Lokal 5th ed, Jakarta, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta 531-532.
Haque, R.A., Chung, K.F, 2005, Cough: Meeting the Need of A Growing Field,
London. Available from : http://www.coughjournal.com/cotent/511/11
diakses pada tanggal 7 Oktober 2014.
Husein, H, 1998, Prescibing for Cough: The Use of Antituseive and Expectorants,
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 34.
Ismoedijanto., 2000, Demam pada Anak, Sari Pediatri Vol 2 (2), 103-108.
Jusuf, A., Anef, N., 1991, Pendekatan Terapetik Pada Batuk Kronis dan Batuk
Darah, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 17-29 ,
Kementrian Kesehatan Malaysia, 2009, Medicine for Cough, Perpadanan
Putrajaya,

Kementrian

Kesehatan

Malaysia,

Available

from:

http://www.knowyourmedicine.gov.my/nervsmoster.cfm?
&menuid=20&action;view&retrivied;14stang=EN

diakses

tanggal

Oktober 2014
Mc Gowan, P., Jeffries, A., Turley., A, 2006, Crash Course: Respiratory System
2nd , United Kingdom, Nosby.
Neal, Michael, 2002, Medical Pharmacology at Glance 4th edition, Blackwell
Science, London.
Nelwan, R.H.H., 2006. Demam: Tipe dan Pendekatan. cit. Kusumaningrum, O.D,.
2008. Uji Aktivitas Antipiretik Infusa Rimpang Kunyit (Curcuma domestica
Val) Pada Kelinci Putih Jantan Galur New Zealand, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Sukandar, E., Andrajati R., Sigit J., Adnyana, I., Setiadi, A., dan Kusnadar, 2002,
ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta.
Weinberger, S.E., 2005, Cough and Homotypsis 16th , USA, McGran, 205-206.

Anda mungkin juga menyukai