Anda di halaman 1dari 19

Kolangitis

Dr.Hendra Cipta

I. Pendahuluan

Kholangitis Akuta adalah inflamasi pada sistem bilier akibat adanya infeksi dan
hambatan aliran empedu.(9,12) Secara epidemiologis, penyakit ini menunjukkan
insidensi yang berbeda-beda di seluruh dunia. Di Amerika Serikat Kholangitis relatif
jarang, dan kejadiannya sering berhubungan dengan penyebab obstruksi dan baktibilia
yaitu pada prosedur ERCP (1-3%) yang sering terjadi akibat Injeksi zat kontras secara
retrograd. Sedangkan di negara-negara lainnya, Oriental cholangio-hepatitis sangat
endemik di Asia Tenggara, Cina, dan Taiwan. Dalam bentuk ini sering timbul "
recurrent pyogenic cholangitis" dengan batu intra & extrahepatal pada 70-80%
pasien dan cholelithiasis pada 50-70% pasien. Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin
di dalam insidensi penyakit ini. Mayoritas pasien berusia antara dekade ke-empat dan
lima, serta pada usia yang lebih tua akan lebih banyak disertai penyakit penyerta
lainnya dan tingkat mortalitasnya pun lebih tinggi.( 12 )
Secara ras terdapat perbedaan insidensi Kholangitis. Namun hal ini ternyata lebih
disebabkan oleh pola makanan yang berbeda. Pada bangsa-bangsa di Eropah Utara,
Hispanik, Amerika,

dan

Pima

Indian

yang

mempunyai

kebiasaan

untuk

mengkonsumsi diit tinggi lemak, maka Kholangitis terjadi berhubungan dengan


cholelithiasis yang disebabkan oleh batu cholesterol. Sebaliknya pada bangsa-bangsa
yang banyak mengkonsumsi makanan tinggi serat seperti di Asia, maka penyebab
Kholangitis tersering adalah batu primer pada ductus choledochus yang disebabkan
oleh infeksi, stasis empedu, striktur dan parasit ("recurrent pyogenic cholangitis").
Sedangkan di Afrika : terdapat hal yang unik yaitu berkaitan dengan pasien yang
menderita "sickle cell anemia".(12,15)

Mortalitas penyakit ini dahulu sangat tinggi yaitu 100 %, terutama jika disertai oleh
penyakit penyerta. Sekarang angka mortalitasnya jauh menurun yaitu berkisar antara 7
- 40 %. Jika dilakukan tindakan operasi emergensi maka kematiannya akan meningkat
yaitu 17 - 40 %. Namun demikian, apabila dilakukan terapi bedah definitifnya secara
elektif , tingkat mortalitasnya akan menurun sampai dengan 3 % saja.(12,14)
Pada makalah ini akan dibahas secara singkat beberapa aspek panyakit ini dan secara
lebih luas akan dibicarakan pula terapi dan pengelolaan bedahnya.

II. Etiologi

Kholangitis dapat disebabkan oleh berbagai keadaan patologis yang semuanya akan
berakhir dengan stasis aliran cairan empedu dan akhirnya terjadi infeksi oleh bakteri
akibat adanya multiplikasi yang meningkat pada sistem bilier. Berbagai jenis etiologi
dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1. : Etiologi Kholangitis
Choledocholithiasis
Striktur sistem bilier
Neoplasma pada sistem bilier
Komplikasi iatrogenik akibat manipulasi "CBD" (Common Bile Duct)
Parasit : cacing Ascaris, Clonorchis sinensis
Pankreatitis kronis
Pseudokista atau tumor pankreas
Stenosis ampulla
Kista Choledochus kongenital atau penyakit Caroli
Sindroma Mirizzi atau Varian Sindroma Mirizzi
Diverticulum Duodenum

Batu saluran empedu adalah penyebab terbanyak (hampir 90%), yang kemudian
disusul oleh striktur sistem bilier dan tumor pada sistem bilier. Di negara-negara Asia
2

Tenggara dan Cina cacing tidak jarang ditemukan sebagai penyebab, walaupun jenis
cacing yang ditemukan berbeda-beda.(1,4,5,10,12,15)

III. Patofisiologi

Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak mengalami
hambatan sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier. Kholangitis terjadi
akibat adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai oleh bakteria yang
mengalami multiplikasi. Obstruksi terutama disebabkan oleh batu "CBD" , striktur,
stenosis, atau tumor , serta manipulasi endoskopik "CBD". Dengan demikian pasase
empedu menjadi lambat sehingga bakteri dapat berkembang biak setelah mengalami
migrasi ke sistem bilier melalui vena porta, sistem limfatik porta ataupun langsung
dari duodenum. Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara asenderen menuju duktus
hepatikus, yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan

intrabilier yang tinggi

dan melampaui batas 250 mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik empedu
yang berakibat terjadinya infeksi pada kanalikuli biliaris, vena hepatika dan limfatik
perihepatik, sehingga pada gilirannya akan terjadi bakteriemia yang bisa berlanjut
menjadi sepsis (25-40%). Apa bila pada keadaan tersebut disertai dengan
pembentukan pus maka terjadilah Kholangitis supurativa.(9,10,12)
Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kholangitis yaitu :(5,9)
1. Kholangitis dengan cholecystitis : Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi
pada sistem bilier, maupun pelebaran dari duktus intra maupun ekstra hepatal.
Keadaan ini sering disebabkan oleh batu "CBD" yang kecil, kompresi oleh vesica
felea / kelenjar getah bening / inflamasi pankreas, edema/spasme sphincter Oddi,
edema mukosa "CBD", atau hepatitis. (lihat gambar 1.)
2. "Acute Non Suppurative Cholangitis" : Terdapat baktibilia tanpa pus pada sistem
bilier yang biasanya disebabkan oleh obstruksi parsial. (Gambar2.)

3. "cute suppurative cholangitis" : "CBD" berisi pus dan terdapat bakteria, namun
tidak terdapat obstruksi total sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis. (Lihat
Gambar 3.)
Gambar 3.: Kholangitis disertai dengan pus dan obstruksi parsial
4. "Obstructive Acute Suppurative Cholangitis" : Di sini terjadi obstruksi total sistem
bilier sehingga melampaui tekanan normal pada sistem bilier yaitu melebihi 250
mm H20 sehingga terjadi bakterimia akibat reflluk cairan empedu yang disertai
dengan influks bakteri ke dalam sistem limfatik dan vena hepatika.( Lihat Gambar
5. Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu sepsis
berlarut, syok septik, gagal organ ganda yang biasanya didahului oleh gagal ginjal
yang disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik (sering multipel)
dan bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat komplikasi, maka prognosisnya
menjadi lebih buruk. Beberapa kondisi yang memperburuk prognosis adalah
sebagai berikut (tabel 2.).
Tabel 2. : Faktor yang meningkatkan mortalitas
Umur
Febris
Lekositosis
Syok Septik
Kultur darah (+)
Gangguan sistem phagositosis
Immunosuppresi
Adanya Neoplasma hepar
Obstruksi intrahepatal multipel
Penyakit hepar kronis
Abses hepar

IV. Bakteriologi

Adanya infeksi bakteri merupakan hal yang penting di dalam patogenesis Kholangitis.
Sesuai dengan rute infeksi yang telah diuraikan sebelumnya, maka jenis bakteri yang
dapat ditemukan pada kultur cairan empedu maupun darah adalah yang terbanyak
berturut-turut yaitu bakteri gram negatif, anaerob dan gram positif yang terutama
berasal dari usus halus. Tabel 2. Memperlihatkan berbagai jenis bakteri yang dapat
ditemukan pada kultur empedu maupun darah.(14)
Tabel 3. :Bakteriologi Kholangitis Akut
EMPEDU
Cholecystitis
Escherichia coli

Kholangitis

31%

Keduanya Darah

26%

44%

Enterococcus

18%

11%

13%

9%

Klebsiella spp

15%

12%

11%

14%

26 %

Pseudomonas spp

6%

5%

5%

9%

Enterobacter spp

2%

5%

4%

1%

Staphylococcus

0.3%

3%

3%

9%

Bacteriodes spp

3%

4%

4%

2%

Clostridium spp

2%

4%

3%

0.3%

Toloza EM & Wilson SF. In: Fry DE (ed). Surgical Infections 1995
Terdapat berbagai faktor yang dapat dijadikan prediktor terjadinya baktibilia
sebagaimana tercantum pada tabel3. (14)

Tabel 4. : Faktor-faktor prediktor terjadinya baktibilia.

Umur > 60 tahun

Febris > 37.30 C

Bilirubin Total > 8.6 mol/L

Lekositosis > 14.000/mm3

Episode cholecystitis akuta atau Kholangitis yang baru lalu

Kanulasi bilier atau prosedur by pass

Diabetes mellitus

Hyperamylasemia

Obesitas

Toloza EM & Wilson SF. In: Fry DE (ed). Surgical Infections 1995

V. Diagnosis:

Diagnosis kholangitis akuta dapat ditegakkan secara klinis yaitu dengan


ditemukannya "Charcots Triad " yang terdiri dari nyeri di kuadran kanan atas, ikterus
dan febris yang dengan/tanpa menggigil. Namun demikian, kurang dari 50 % kasus
ditemukan ketiganya secara bersamaan. Adapun frekuensi gejala-gejala dan tandatanda yang dapat ditemukan adalah : (14)
Febris > 38 C
Nyeri abdomen
Ikterus

: 87 - 90 %
: 40 %
: 65 %

Tidak ditemukannya ketiga tanda tersebut secara bersamaan terutama disebabkan oleh
obstruksi saluran empedu yang tidak komplit. Apabila keadaan penyakit menjadi lebih
berat yaitu disertai oleh sepsis atau syok maka akan ditemukan "Reynolds Pentad"
yang ditandai oleh Charcots triad ditambah dengan "Mental confusion / Lethargy"
dan syok. Keadaan ini terjadi pada 10 - 23 % pasien. Perubahan tersebut disebabkan
oleh obstruksi total saluran empedu sehingga tekanan yang meningkat menyebabkan
refluks aliran empedu sehingga bakteri dapat mencapai sistem pebuluh darah sistemik
6

dan terjadi sepsis. Oleh karena itu pada keadaan ini perlu segera dilakukan drainase
untuk mengadakan dekompresi dan pengendalian terhadap sumber infeksi.
Pemeriksaan alat bantu terutama berguna untuk mencari kemungkinan etiologi
Kholangitis yang sangat menentukan jenis terapi yang harus dilakukan sebagai terapi
pembedahan definitif maupun untuk tujuan dekompresi sementara. Pemeriksaan yang
dilakukan adalah : (1,6,10,12,14)

USG hepatobilier dan pankreas :

Dapat ditemukan "CBD" yang berdilatasi.

Kemungkinan disertai dengan batu "CBD".

CT.Scan lebih sensitif dan spesifik dari pada USG dan memberikan gambaran :

Batu "CBD".

Tumor sistem bilier atau pankreas

Batu pada sistem bilier intrahepatal

Adanya atrofi pada hepar

Abscess pada hepar (biasanya multipel bila penyebab batu)

MRI Cholangiografi : Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik, serta akurat,
yaitu masing-masing 91.6 %,: 100 %, dan 96.8 %. Kelebihan alat ini adalah non
invasif, dapat dilakukan hampir semua usia dan dapat membedakan jenis batu
cholesterol dari jenis lainnya secara jelas.

Cholangiography : Menimbulkan morbiditas 1-7 % dan mortalitas 0,25%, oleh


karena itu sebaiknya dihindari, kecuali disertai oleh tindakan dekompresi yang
dilakukan bersama-sama. Dapat dilakukan secara ERCP (Endoscopic Retrograde
Choalngio

Pancreatography)

ataupun

PTC

(Percutanues

Transhepatic

Cholangiography).

Cholescintigraphy dengan HIDA :


-

Menunjukkan "Liver uptake"

Tidak terdapat visualisasi kandung empedu, CBD, maupun usus halus oleh
karena adanya obstruksi total.

Laboratorium, menunjukkan perubahan-perubahan sebagai berikut :

Leukositosis > 10.000 / mm3 : 33-80%

Serum bilirubin 2-10 mg / dl : 68-76 %

Alkali phosphatase 2-3x normal pada 90%

C-reactive protein : Biasanya ditemukan peningkatan

VI. Pengelolaan :

Mengingat mortalitas yang tinggi jika terapi bedah dilakukan pada saat emergensi,
maka langkah awal pengobatan Kholangitis akut adalah sebagai berikut :
(3,5,10,12,14)

Perbaikan keadaan umum :

Pasien dipuasakan

Dekompressi dengan NGT ("Naso Gastric Tube")

Pemasangan infus dan dilakukan rehidrasi

Dilakukan koreksi kelainan elektrolit

Pemberian antibiotika parenteral

Dengan melakukan tindakan tersebut, 80-85 % pasien akan mengalami perbaikan,


sehingga dalam periode berikutnya (dalam 48 - 72 jam) dapat dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk memastikan diagnosis penyebabnya dan menentukan jenis operasi
definitifnya.
Meskipun

demikian, apabila pasien pertama kali datang dengan shock dan

hipoperfusi jaringan yang berat maka diperlukan :

"Invasive monitoring"

Analgesik non narkotik , namun jika telah ada konfirmasi diagnostik, Meperidine
atau Fentanyl dapat diberikan.

Pada 15 % kasus terapi medikamentosa tidak berhasil memperbaiki keadaan umum


penderita, sehingga tindakan dekompresi emergensi diperlukan dan dapat dilakukan
dengan cara :

Pembedahan terbuka

Drainase secara endoskopik

Drainase perkutan sistem bilier

Setelah terapi medikamentosa dan suportif lainnya berhasil memperbaiki keadaan


umum, maka tindakan bedah untuk dekompresi dapat dilakukan secara elektif dan
pada umumnya yang dilakukan adalah :
Cholecystectomy + Eksplorasi CBD +/- Drainase T-tube , +/- choledochoenterostomy

Mortalitas pada berbagai tindakan baik bedah maupun non bedah adalah sebagai
berikut :

Terapi konservatif tanpa drainase menimbulkan angka mortalitas antara 40-100


%.

Tindakan dekompresi secara bedah secara keseluruhan akan menunjukkan angka


mortalitas antara 2 13 % dan morbiditasnya adalah 12 21 %.

Drainase secara endoskopik akan disertai oleh tingkat mortalitas antara 1 13


%, dan morbiditas 4 24 %.

Terapi

invasif

minimal

dengan

teknik

Percutaneus

Transhepatic

Cholangiography Drainage (PTCD) menunjukkan mortalitas yang rendah yaitu


0.05 7.00 %, namun morbiditasnya sangat bervariasi yaitu 4 80 %.

Jika penyebabnya adalah neoplasma maligna primer maka :

Angka mortalitas tindakan pembedahan adalah sampai dengan 40 %, namun


jika sudah terdapat metastasis yang ekstensif maka akan meningkat menjadi
59 %.

Drainase endoskopik akan memberikan tingkat mortalitas sampai dengan 46


%.

Terapi

antibiotika parenteral adalah merupakan hal yang penting pula, sehingga

pemilihan jenis antibiotika yang tepat secara empirik adalah sebagai berikut : (14)
Tabel 5. Jenis antibiotika parenteral pilihan secara empirik .

Cholecystitis Akuta :
- Aminoglikosida - penicillin
- Penicillin spektrum luas
- Cephalosporin generasi ketiga

Kholangitis Akuta :
-

Penicillin spektrum luas

Aminoglikosida penicillin

Cephalosporin generasi ke-tiga

Imipenem-cilastatin

Cephalosporin generasi ke-dua

Prophylaxis :
-

Cephalosporin generasi ke-dua

Penicillin spektrum luas

10

Hadirnya cephalosporin generasi ke-tiga adalah suatu langkah maju di dalam terapi
infeksi bakteri, namun demikian penggunaannya harus tepat. Jenis ini mempunyai
spektrum antibakteri yang kuat terhadap Eschericia coli, Klebsiela, enterococci dan
bakteri anaerob seperti Bacteroides yang merupakan bakteri yang paling sering
ditemukan di dalam cairan empedu dan menyebabkan peningkatan pembentukan batu
pada sistem saluran empedu. Yang dimasukkan ke dalam
Cefotaxime,

Ceftriaxone, dan

kelompok ini adalah

Ceftizoxine karena memiliki indikasi klinis dan

spektrum antibiotika yang sama. (15)


Dari ketiga cephalosporin tersebut di atas, tampaknya Ceftriaxone merupakan pilihan
terbaik mengingat beberapa keuntungan sebagai berikut : (14)
1. Penetrasi jaringan 24 jam dan konsentrasi bilier cukup tinggi.
2. Proteksi 24 jam dengan dosis 1 gram sekali pemberian /hari.
3. Dual Excretion yaitu pada renal dan hepar, menambah keamanan.
4. Aktifitas bakterisidal cukup luas.
5. Keuntungan farmakoekonomik dari segi biaya keseluruhan dan beban kerja staf
rumah sakit.
6. Efek samping yang rendah.
7. Dosis 1 kali sehari terbukti efektif secara klinis.
Pada kasus yang disertai oleh peningkatan bilirubin yang melebihi 5.0 mg/dl ,
penggunaan Aminoglikosida harus dihindari karena resiko nephrotoksik yang semakin
meningkat. Hal ini disebabkan oleh sensitasi ginjal oleh karena perfusi ginjal yang
menurun, peningkatan bilirubin dan garam empedu lainnya, dan adanya endotoksemia
bakteri gram negatif.
Baktibilia dapat tetap bertahan walaupun obstruksi telah berhasil diatasi. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh bakteri jenis anaerob, bakteri yang resisten terhadap
antibiotika, bakteri gram negatif, dan jamur.

11

Sebagaimana

telah

diuraikan

sebelumnya,

penyebab

terbanyak

adalah

choledocholitihiasis, dan oleh karena itu pengelolaannya akan dibahas lebih


mendalam sebagaimana tercantum pada gambar 5. di bawah ini.

No jaundice
Suspicion of CBD stones
Routine per-op
cholangiogram

selective per-op cholangiogram

CBD stones
open
expl

laparosc
chole

failure

pre-op ERCP

No stones
laparosc
expl BCD

CBD stones

laparosc
cholecystec

failure

endoscopic sphinct
and duct clearance
success

failure

post-op
ERCP

open
laparosc
expl CBD
expl CBD
failure
Algorithm showing available strategies for CBD stone.
Hepatobil Panc Surg 1999

Gambar 5. : Algoritme sebagai strategi pada penanganan batu CBD.


Dengan demikian, sesuai dengan skema tersebut di atas maka pilihan di dalam
pengelolaanya terdapat dua jenis tindakan yaitu One Step Approach dan Two Step
Approach (lihat

gambar 6. Dan 7.) Tindakan mana yang dipilih, haruslah

berdasarkan pertimbangan ketersediaan fasilitas yang ada, ketrampilan ahli bedah


yang

menanganinya

dan

tentunya

biaya

yang

harus

dikeluarkan

untuk

pengelolaannya. Terdapat keuntungan maupun kerugian dua teknik tersebut . (Lihat


tabel 6. )

12

Tabel 6. : Perbandingan keuntungan dan kerugian dengan dua teknik.


One-step approach

Two-step approach

LC+LTCDCBDE

LC + pre/post-op ERS

Advantages

Advantages

- Lower costs

- Shorter operating time

- Shorter hospital stay

- Less technically

demanding
- Potentially decreased morbidity

- Requires less equipment

Disadvantages

Disadvantages

- More technically demanding

- Longer hospital stay

- Requires expensive equipment

- Increased total costs

- Longer operative time

- Potentially increased

morbidity
- Increased operating room cost

- Two separate procedure

Rosenthal RJ et al. World J Surg 1998; 22: 1125-1132


Langkah-langkah pengelolaan untuk setiap jenis tahap secara terinci dapat dilihat
pada gambar 6. dan 7.

13

One step approach to suspected


choledocholithiasis
Patient with suspected choledocholithiasis
Intraoperative cholangiography
No CBD stone
Laparoscopic
cholecystectomy

CBD stone
Stone < 0.9 mm

LC + Lap transcystic
CBD exploration
Succesful

Laparoscopic
choledochotomy

Stone > 0.9 mm

Open CBD
exploration

Retained stones
Rosenthal RJ et al. World J Surg 1998; 22: 1125-1132

Gambar 6. : Teknik Pengelolaan batu CBD satu tahap


Pada teknik pengelolaan satu tahap, setelah mengalami perbaikan keadaan umum
pasien dilakukan operasi cholecystectomy per laparoskopi dan kholangiografi
intraoperatif. Jika tidak ditemukan batu CBD atau hambatan dalam aliran zat kontras
ke dalam duodenum maka cholecystectomy saja telah cukup. Namun jika ditemukan
batu CBD maka tindakan selanjutnya bergantung pada ukuran batu yang ditemukan.
Jika batu ditemukan berukuran kecil yaitu < 0,9 mm maka dapat dilakukan eksplorasi
saluran empedu trancystic dengan laparoskopi jika sarana dan keahlian tersedia.
Apabila batu berukuran > 0,9 mm maka dilakukan choledochotomy perlaparoskopi
atau eksplorasi saluran empedu secara terbuka. Keuntungan cara ini adalah lama
rawat yang pendek, biaya yang rendah, dan morbiditas yang lebih rendah, namun
memerlukan ketrampilan laparoskopi yang tinggi dan peralatan yang lengkap dan
mahal, serta waktu operasi yang lebih lama.

14

Two-step approach to patient with


suspected choledocholithiasis
Patient with suspected choledocholithiasis
Nonresolving pancreatitis, Jaundice, Cholangitis, Poor operative risk
No
Laparoscopic intraoperative
cholangiography

Yes
ERCP / ERS
Stone Extraction
Retained stones
Stones cleared

Laparoscopic
cholecystectomy

Laparoscopic cholecystectomy

Yes
Postoperative
ERCP / ERS /
stone extraction
Open CBDE / percutan
stone extraction

Retained stones
No
Done

Rosenthal RJ et al. World J Surg 1998; 22: 1125-1132

Gambar 7. : Teknik Pengelolaan dua tahap


Pasien-pasien cholangitis yang disebabkan oleh choledocholithiasis tidak jarang
memiliki resiko tinggi operasi sehingga sering kali teknik dua tahap lebih tepat
dilakukan karena tindakan awal bisa berupa terapi bedah invasif yang minimal dan
tidak memerlukan waktu operasi yang lama. Jika setelah tindakan invasif menimal
seperti ERCP/ERS batu penyebab sumbatannya dapat dihilangkan maka tindakan
cholecystectomy dapat dilakukan setelah keadaan umum pasien menjadi lebih baik.
Terlebih lagi, jika setelah ekstraksi batu melalui teknik ERCP masih terdapat batu,
maka selanjutnya dilakukan eksplorasi saluran empedu secara terbuka untuk sekaligus
dilakukan cholecystectomy dan pengangkatan batu empedu yang tertinggal. Pilihan
tindakan yang lain adalah dilakukan terlebih dahulu cholecystectomy per laparoskopi
jika tidak terdapat resiko tinggi operasi, baru kemudian dilakukan ERCP untuk
mengambil batu saluran empedu yang tertinggal. Keuntungan pendekatan ini adalah
waktu operasi yang relatif lebih singkat, tidak membutuhkan peralatan dan keahlian
yang terlalu tinggi, namun terdapat kerugian yaitu memerlukan waktu rawat yang
lebih lama dan morbiditas yang lebih tinggi.
Pilihan pendekatan mana yang dipilih tentunya bergantung kepada terutama sarana
dan keahlian yang tersedia, serta perawatan yang intensif yang melibatkan berbagai
15

disiplin ilmu yang terkait seperti ilmu bedah, penyakit dalam, radiologi, dan
anestesiologi.
VII. Kasus Kholangitis di Bandung :

Untuk memberi gambaran sejauh mana pengalaman dalam menghadapi kasus


kholangitis, penulis menyampaikan kasus-kasus yang ditemui di kota Bandung dalam
periode tahun 1983 sampai dengan 1998. Kasus-kasus tersebut adalah yang dilakukan
pengelolaannya oleh penulis di rumah sakit-rumah sakit besar yaitu RSUP Dr. Hasan
Sadikin, RS St. Borromeus, RS Advent, RS Immanuel, dan RS Kebonjati. Dari
sebanyak 1574 kasus operasi pada saluran empedu ditemukan sebagai berikut :
Tabel 7. : Ringkasan kasus-kasus kholangitis di Bandung :
Jumlah kasus operasi saluran empedu

1574

Jumlah kasus cholangitis

308 (19.56%)

Jumlah penderita :
Laki-laki

162 orang

Perempuan

146 orang

Rata-rata umur (tahun ):


Morbiditas :komplikasi pembedahan

50.09 + 15.8
5 kasus (1.62%)

Mortalitas

3 kasus (0.97%)

Tabel 8.: Jenis kausa kholangitis yang ditemukan pada 308 kasus:
Etiologi

Jumlah

Persentase

Cholecystitis + Cholelithiasis
Choledocholitihiasis +Cholecystitis+ Cholelithiasis
Hepatolihtiasis
Sclerosing cholangitis
Cacing
Striktur
Kista Choledochus
Tumor pankreas
Ca Empedu

kasus
103
171
9
3
3
4
4
2
5

33.44%
55.51%
2.92 %
0.97 %
0.97 %
1.29 %
1.29 %
0.64 %
1.62 %
16

Post ERCP
Batu pankreas
Total

3
1
308

0.97 %
0.32 %

Penanganan yang dilakukan pada kasus-kasus tersebut adalah sesuai dengan protokol
yang telah diuraikan pada makalah ini yaitu tidak dilakukannya tindakan bedah
emergensi, namun terlebih dahulu diberikan terapi konservatif untuk memperbaiki
keadaan umum dan kemudian dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan
diagnosis kausanya. Setelah persiapan operasi yang cukup yaitu keadaan pasien yang
membaik dan diagnosis yang benar telah ditegakkan, maka dilakukan pembedahan
definitif secara elektif. Dengan pola pengelolaan seperti tersebut di atas, maka tingkat
mortalitasnya sangat rendah yaitu 0.97 %.
VIII. Kesimpulan :
1. Kholangitis akuta terutama yang datang dengan sepsis dan syok harus mendapat
penanganan segera karena merupakan suatu kegawatan hepatobilier.
2. Tindakan operasi segera diperlukan untuk menanggulangi kausanya, tetapi harus
ditunda sampai

dengan hemodinamik menjadi stabil untuk menekan angka

mortalitas, selain itu selama perioperatif harus sudah diketahui penyebab


kholangitisnya.
3. Perkembangan baru ditemukan dalam sarana untuk mempercepat diagnosis,
tindakan darurat untuk drainase pus atau mengurangi obstruksi sementara, serta
intervensi endoskopik.
4. Jenis terapi bedah yang dipilih disesuaikan dengan fasilitas yang tersedia dan
kemampuan ahli bedahnya, tetapi hal yang terpenting adalah sejak pasien masuk
dirawat harus dilakukan perawatan yang intensif multidisipliner yaitu kerjasama
antara spesialis bedah, penyakit dalam, anestesi, dan radiologi.

IX.

Daftar Pustaka:

17

1. Benjamin I.S., Benign and Malignant Lesions of the Biliary Tract, in Garden O.J.
(Ed), Hepatobiliary and Pancreatic Surgery, W.B. Saunders Company Ltd.1999 :
201 - 219.
2. Csendes A., Burdiles P., Diaz J.C., Present Role of Classic Open
Choledochostomy in the Surgical Management of Patients with Common Bile
Duct Stones, World Journal of Surgery 1998; 22 : 1167 - 1170.
3. Karnadihardja W., Kholangitis Akut Sebagai Komplikasi Obstruksi Saluran
Empedu, PIT IKABI IX , Semarang, 1994.
4. Liu C.L., Fan S.T., Wong J., Primary Biliary Stones : Diagnosis and Management,
World Journal of Surgery 1998; 22 : 1162 - 1166.
5. Lipsett P.A., Pitt H.A., Acute Cholangitis, in The Surgical Clinics of North
America, December 1990 : 1297 - 1312.
6. Moston R.W., Menzies D., Gallstones in Garden O.J. (Ed), Hepatobiliary and
Pancreatic Surgery, W.B. Saunders Company Ltd.1999 : 175- 197.
7. Microbiology and Pharmacokinetics of Parenteral Cephalosporins, Roche
Products 1985 621 93472 (Sydney).
8. Navarrete C.G., Castillo C.T., Castillo P.Y., Choledocholithiasis : Percutaneus
Treatment, World Journal of Surgery 1998; 22 : 1151 - 1154.
9. Pitt H.A., Longmire W.P., Suppurative Cholangitis, in Hardy J.D. (Ed), Critical
Surgical Illness, Second Edition, W.B. Saunders Company, 1980 : 380 - 408.
10. Raraty M.G.T., Finch M., Neoptolemos J.P., Acute Cholangitis and Pancreatitis
Secondary to Common bile Duct Stones : Management Update, World J Surg
1998; 22: 1151 - 1161.

18

11. Rosenthal R.J., Rossi R.L., Martin R.F., Options and Strategies for Management
of Choledocholithiasis, World J Surg 1998; 22: 1125-1132.
12. Sally

Santen,

Cholangitis

in

Emergency

Medicine,

11/09/1999

at

www.emedicine.com.
13. Seitz U, Bapaye A, Bochnaker S., et al., Advances in Therapeutic Endoscopic
Treatment of Common Bile Duct Stones, World J Surg 1998; 22 : 1133.
14. Toloza EM & Wilson SF. Cholecystitis and Cholangitis, In: Fry DE (ed). Surgical
Infections, 1995 : 251 - 260.
15. Thistle J.L., Pathophysiology of Bile Duct Stones, World Journal of Surgery 1998;
22 : 1114 - 1118.

-------------------------

19

Anda mungkin juga menyukai