Bahan Tes3
Bahan Tes3
A. DEFINISITES INTELEGENSI
Apabila anda sebagai psikolog ingin menguji perbendaharaan kata pada anak-anak,
ketelitian seorang akuntan, atau koordinasi tangan dan mata bagi pilot, maka anda tentu akan
menguji kinerja (performance) mereka dengan tes psikologi, masing-masing adalah tes
rangkaian kata, tes penjumlahan matematika, dan tes motorik. Masing-masing tes tersebut
dapat dibagi-bagi lagi menjadi beberapa sub tes. Lalu apa yang dimaksud dengan tes
psikologi?
Tes psikologi pada dasamya adalah sampel perilaku yang diambil pada suatu saat
tertentu. Tes seringkali dibedakan menjadi tes prestasi dan tes bakat. Tes prestasi digunakan
untuk mengukur ketrampilan yang telah dicapai/dipelajari dan menunjukkan apa yang dapat
dilakukan sesorang pada saat ini, sedangakn tes bakat adalah untuk memprediksi apa yang
dapat dilakukan seseorang apabila dilatih. Perbedaan ini akhimya tidak dianggap sebagai
perbedaan, melainkan dianggap sebagai begian dari suatu kesatuan (Atkinson dkk., 1993).
Suatu tes psikologi dalam mengukur sampel perilaku harus memiliki sifat standar dan
objektif. Standardisasi berhubungan dengan keseragaman tes dalam hal administrasi dan
skoring, sementara objektivitas berhubungan dengan standardisasi, terutama dalam hal
administrasi, skoring, dan interpr~asi skor yang hams tidak bergantung kepada penilaian
subjektif dari pengujinya (Anastasi, 1988). Keseragarnan tes beserta validitas dan reliabilitasnya akan dibahas dalam sub bab terakhir dalam babini.
95
kemampuan mental seseorang. Sebagai contoh, teori Faktor G akan menyarankan bahwa
skor tunggal akan dapat mewakili intelegensi secara adekuat. Sementara ahli-ahli lain yang
menyarankan perbedaan perangkat dari faktor-faktor memisahkannya ke dalam subtessubtes. Kita kenaI dua buah tes intelegensi individual yang terbaik yaitu Binet dan Wechsler.
B. BEBERAPA SIFAT TES INTELEGENSI
Menurut Atkinson dkk. (1993) intelegensi oleh beberapa pakar psikologi dipandang
sebagaikapasitasumum untukmemahamidan menalarsesuatuyangkemudiandiejawantahkan
ke dalam berbagai cara. Asumsi Binet adalah meski suatu tes intelegensi terdiri dari berbagai
macam butir soal (yang mengukur kemampuan seperti rentang ingatan, berhitung, dan kosa
Tabel VI.I. Beberapa Contoh Item-item dalam Skala Intelegensi Stanford-Binet
Usia
TUGAS
Menyebut bagian-bagian tubuh: Kepada anak ditunjukkan sebuah kertas yang besar
dan diminta untuk menunjukkan berbagai bagian tubuh.
Analogi yang berlawanan: Mengisi titik-titik dengan kata yang tepat jika ditanya:"Saudara laki-Iakiseorang pria adalah ; Saudaraperempuan adalah seorang ;
Siang hari terang, malam hari.........
Penalaran: Menjawab dengan tepat jika ditanya:
"Mengapa kita memerlukan rumah?"
"Mengapa kita memerlukan buku?"
Konsep angka: Dapat memberikan 9 buah balok kepada penguji jika diminta
melakukannya.
14
Dewasa
(15 th.
ke atas)
97
kata) seperti dalam tes Binet, akan tetapi anak yang cerdas akan cenderung mendapatkan skor
yang lebih tinggi dari pada anak yang bodoh. Dengan demikian, Binet dan Simon lalu
berasumsi bahwa tugas yang berbeda-beda tersebut menggali kecakapan atau kemampuan
dasar. Dalam intelegensi kecakapan tersebut jika mengalami perubahan dan kekurangan
akan mempengaruhi kehidupan praktis. Kecakapan ini berupa daya timbang, akal sehat, cita
rasa praktis, inisiatif, dan kecakapan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi. Menimbang
dengan baik, memahami dengan baik, menalar dengan baik, kesemua- nya itu merupakan
kegiatan intelegensi yang sangat penting.
David Wechsler (dalam Atkinson dkk., 1993) meski dengan tes intelegensi dengan
beragam skala, juga meyakini bahwa intelegensi merupakan himpunan kapasitas untuk
bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan berhubungan dengan lingkungan
secara efektif.
Tabel VI.2. Beberapa Contoh Item-item dalam WISC
(Wechsler Intelligence Scale for Children)
TES
Skala verbal
Information
Comprehension
Arithmetic
Similarities
Digit Span
(Deret angka)
Vocabulary
URAIAN
Pertanyaan-pertanyaan tentang infonnasi yang umum: misalnya, "Satu kilogram sarna dengan berapa pon?"
Mengukur infonnasi praktis dan kemampuan untuk mengevaluasi pengalaman
masa lampau; misalnya, Mengapa kita perlu menabung?"
Soal-soal verbal yang mengukur penalaran aritmetika
Menanyakan kesamaan objek atau konsep tertentu (misalnya: telur & benih);
mengukur pemikiran abstrak.
Serangkaian angka yang disajikan
secara auditoris (misalnya 7-5-6-3-8) diulang dari depan atau dari belakang;
mengukur perhatian dan ingatan luar kepala
Mengukur pengetahuan kita
Skala performance
Digit symbol
Tugas pengkodean yang diberi batas waktu dimana angka diasosiasikan
dengan berbagaimacam bentuk tanda; mengukur kemampuan belajar menulis.
Picture
Bagian yang hilang dari gambar yang completation tidak lengkap hams dicari
dan disebutkan; mengukur kemampuan untuk memahami dan menganalisis
pola.
Block design
Susunan yang tergambar hams ditim dengan menggunakan balok; mengukur
kemampuan untuk memahami dan menganalisis pola.
Picture
Serangkaian gambar hams disusun arrangement menjadi cerita yang hidup
dengan urutan ke kanan; mengukur pemahaman tentang situasi sosial.
Object
Potongan-potongan kayu hams disatukan assembly untuk membentuk suatu
benda yang sempurna;mengukur kemampuanyang berkaitandengan hubungan
bagian-keselumhan.
Sumber: Atkinson dkk.(1993)
98
Pada bagian terdahulu dikatakan bahwates Binetdan tesWechsler adalah tes kemampuan
individual, karena kedua tes tersebut dilaksanakan pada satu individu oleh seorang penguji
yang dilatih secara khusus. Sementara itu kitajuga mengenal tes kemampuan klasikal, yang
dapat dilakukan terhadap sejumlah orang dengan satu orang penguji, serta biasanya dalam
bentuk tertulis. Tes kemampuan yang bersifat klasikal tersebut berfungsijika sejumlah orang
harus segera dievaluasi, sementara hanya terdapat sedikit orang penguji. Salah satu bentuk
tes klasikal adalah SPM (Standard Proggresive Matrices).
2.
pada tahap intelegensi tertentu (IQ sekitar 120), terdapat korelasi yang rendah antara skor
intelegensi dengan skor kreativitas. Beberapaindividu yang memiliki skoryang sangat tinggi
pada tes intelegensi akan memperoleh skor yang rendah pada tes kreativitas. Sedangkan
individu yang memiliki intelegensi sedikit di atas rata-rata akan memperoleh skor yang tinggi
pada tes kreativitas. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada distribusi bagian atas, kreativitas
tidak tergantung pada intelegensi.
Lalu apakah hasHtes kreativitas dapat diprediksi sebagai alat untuk melihat kreativitas
dalam kehidupan sehari-hari?
Menurut Kogan danPankove (dalam Atkinsondkk., 1993)kita hanya dapat berspekulasi
tentang apakah tes kreativitas dapat memprediksi prestasi kreatif yang sebenamya. Beberapa
penelitian jangka panjang telah dilakukan, yang hasilnya tidak menggembirakan. Salah
satunya menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang rendah antara skor berpikir divergen
dengan kecakapan ekstrakurikuler yang membutuhkan bakat dalam hal kepemimpinan,
drama, seni, atau ilmu pengetahuan pada siswa-siswa sekolah lanjutan.
Tabel VI.3. Beberapa Contoh Item-item dalam Tes Kreativitas
A.kibat(GQilford, 1954)
Bayangkan emua hal yang mungkio terjadi bila tiba-tibahukum nasional dan
hukum daerah dihapuskan
3.
4.
100
Pilih salahsatu huruf di bawah ini sebagai penutup yang terbaik untuk melengkapi pola
gambar
+
+ +
EZ)
+
I+~)
.::::.
......
v
CD
f
CD ~tt>
Gambar VI.I. Salah Satu Item dalam SPM (Standard Progressive Matrices)
Sumber: Morris (1990).
Cattel (dalam Morris, 1990) mengembangkan Culture Fair Intelligence Test (CFIT), yang
berusaha mengkombinasikan beberapa pertanyaan pemahaman verb engetahuan yang bebas
budaya. Dengan membandingkan skor-skor dalam dua macam pertanyaan, maka faktor
budaya dapat dikesampingkan.
101
Pilihlah salah satu item untuk melengkapi rangkaian empat gambar di sebelah kiri
Gambar
VI.2. Salah Satu Item dalam CFIT (Culture Fair Intelligence Test)
Sumber: Morris (1990)
Anak yang tuli akan membutuhkan waktu lebih lama untuk mempelajari kata-kata dari pada
anak normal. Para imigran atau tenaga kerja asing yang berprofesi sebagai pengacara atau
insinyur tentu akan membutuhkan waktu yang lama dalam mempelajari bahasa Indonesia.
Bayi di bawah tiga tahun tentu akan mengalami kesulitan dalam menjawab beberapa
pertanyaan verbal. Lalu munculpertanyaan: bagaimanakitamengukurdengan tes intelegensi
terhadap orang-orang seperti itu?
Cara yang digunakan adalah dengan meminimalkan penggunaankata-kata, yaitu dengan
perform ace test atau tes kinerja, yang merupakan tes non-verbal. Salah satu contoh tes
kinerja yang pertama kali dikembangkan adalahpada tahun 1866adalahSeguin Form Board,
yang merupakan suatupuzzle yang dipakai pada anak-anak yang mengalami retardasi mental.
Tes kinerja lainnya yang terkenal adalahPorteus Maze, yang berupajaringan jalan yang rumit
dan memiliki tingkat kesulitan yang bertingkat (Morris, 1990).
Bagi anak-anak yang masih kecil, salah satu tes yang paling efektif digunakan adalah
Bayley Scales of Infant Development. Skala Bayley digunakan untuk mengevaluasi
perkembangan kemampuan anak dari umur 2 bulan hingga 1,5 tahun. Skala-skalanya
meliputi persepsi, memori, komunikai verbal, dan beberapa skala motorik seperti duduk,
berdiri, berjalan, dan ketangkasan. Skala Bayley inijuga dapat digunakan untuk mendeteksi
tanda-tanda awal dari kerusakan sensorisdan neurologis, gangguan emosional, dan kesulitan
beradaptasi dengan lingkungan fisik (Morris, 1990).
c.
SYARAT-SYARAT
Sebuah tes dapat dikatakan baik apabila skornya dapat dikatakan sudah sahih (valid) dan
andal (reliable).
1.
Keandalan
(Validitas)
Validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauhmana ketepatan dan kecermatan
suatu tes dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai validitas
yang tinggi apabila tes tersebut menjalankan fungsi ukurnya, yang sesuai dengan maksud
dikenakannya tes tersebut. Suatu tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan
tujuan diadakannya pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas yang rendah.
Sisi lain dari konsep validitas adalah kecermatan pengukuran. Suatu tes yang validitasnya
102
tinggi bukan saja akan rnenjalankan fungsi ukurnya dengan tepat, akan tetapi harus juga
rnerniliki kecermatan tinggi (Azwar, 1989).
Estirnasi validitas suatu pengukuran pada urnurnnya dinyatakan secara ernpiris oleh
suatu koefisien yang kernudian disebut koefisien validitas. Koefisien ini dinyatakan oleh
korelasi antara distribusi skor tes yang bersangkutan dengan distribusi suatu skor suatu
kriteria. Kriteria ini dapat berupa skor tes lain yang rnernilikifungsi yang sarna,dan dapat pula
berupa ukuran-ukuran yang lain yang relevan (Azwar, 1989).
Apabila suatu tes diberi sirnbol X dan skor kriteria diberi sirnbol Y, rnaka koefisiensi
korelasi antara tes dan kriteria rnerupakan suatu koefisien validitas dengan sirnbol 'XY
(Azwar, 1989).
2.
Keterandalan
(Reliabilitas)
Reliabilitas berasal dari kata reliability, yang berasal dari kata rely (=dipercaya) dan
ability (=kernarnpuan). Suatu tes dapat dikatakan reliabel apabila rnerniliki reliabilitas yang
tinggi.
Reliabilitas seringkali rnerniliki beragarn istilah lain seperti keterpercayaan, keterandalan,
keajegan, konsistensi, kestabilan, dan sebagainya yang kesernuanya itu rnengacu kepada
konsep reliabilitas yang berarti sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Artinya
hasil ukur yang dapat dipercaya apabila dalarn beberapa kali pengukuran terhadap kelornpok
subjek yang sarna akan diperoleh hasil yang relatif sarna,jikalau aspek yang diukur dalarn diri
subjek rnernang belurn berubah. Pengertian relatif tersebut rnenunjukkan bahwa terdapat
toleransi terhadap perbedaan-perbedaan kecil di antara hasil pengukuran. Apabila perbedaan
hasil pengukuran tersebut besar dari waktu ke waktu, rnaka tes tersebut tidak dapat dipercaya
atau tidak reliabel (Azwar, 1989).
Untuk rnengukur reliabilitas dapat dilakukan dengan perolehan dua nilai dari orang yang
sarna pada tes yang sarna, yakni dengan cara rnengulanginya atau dengan rnernberikan dua
bentuk tes yang berbeda tetapi setara. Jika setiap individu dapat rnencapai skor yang kurang
lebih sarna pada kedua pengukuran tersebut, rnaka berari bahwa tes tersebut reliabel. Meski
suatu tes dapat dikatakan reliabel, beberapa perbedaan dapat rnuncul di antara kedua karena
adanya perbedaan peluang dan kesalahan pengukuran. Oleh karena itu, dibutuhkan pengukuran
statistik mengenai tingkat hubungan di antara seperangkat pasangan skor. Tingkat hubungan
tersebut ditetapkan dengan koefisien korelasi (Atkinson dkk., 1993).
Menurut Azwar (1989) koefisien korelasi dilambangkan dengan huruf r. Apabila skor
pada tes pertarna diberi larnbang X dan skor yang kedua (paralelnya) diberi larnbang X' , rnaka
koefisien korelasi antara keduanya diberi larnbang rxx" dirnana sirnbol ini kernudian
digunakan sebagai sirnbol koefisien reliabilitas.
Secara teoritis, besarnya koefisien reliabilitas berkisar dari 0 sarnpai I. Akan tetapi pada
kenyataannya koefisien korelasi sebesar 1 tidak akan pernah dijurnpai. Di sarnping itu,
rneskipun koefisien korelasi dapat saja positif (+) rnaupun negatif (-), akan tetapi hal
reliabilitas koefisien yang besarnya kurang dari 0 tidak ada, karena interpretasi reliabilitas
selalu rnengacu kepada koefisien yang positif (Azwar, ] 989).
103
Apabila koefisien reliabilitas sebesar rxx.=l, berarti adanya konsistensi yang sempurna
pada alat ukur yang bersangkutan. Konsistensi sempurna ini tidak akan pernah terjadi, karena
dalam pengukuran psikologis, manusia merupakan sumber error yang potensial (Azwar,
1989).
Selain validitas dan reliabilitas, suatu tes yang baik juga harus memenuhi syarat
keseragaman prosedur tes. Untuk menghindari pengaruh variabel yang mengganggu,
maka suatu tes harus seragam di dalam prosedur. Keseragaman tersebut meliputi: instruksi,
batas waktu (speed test atau power test), dan cara skoring. Dalam instruksi misalnya,
penjelasan yang diberikan oleh penguji mengenai cara penyajian materi tes seyogyanya harus
bersifat standar dari waktu ke waktu (Atkinson dkk., 1993).
Akan tetapi tidak semua variabel yang mengganggu dapat kita kendalikan dengan baik,
seperti misalnya penampilan umum (ekspresi wajah, nada suara, pakaian, dan sebagainya),
jenis kelamin dan suku bangsa penguji juga akan mempengaruhi hasil tes subjek (Atkinson
dkk., 1993) . Apabila seorang anak perempuan dari Jawa Tengah mengerjakan tes dengan
hasil buruk ketika diuji oleh seorang penguji pria dari Batak, harus dipertimbangkan pula
bahwa kecemasan dan motivasi anak tersebut mungkin akan berbeda apabila diuji oleh
penguji perempuan dari Jawa.
LA TIHAN SOAL
1. Suatu tes psikologi dalam mengukur sampel perilaku harus memiliki sifat standar dan
objektif. Pernyataan ini dikemukakan oleh:
a. Anastasi
b. Terman
c. Guilford
d. Atkinson
2.
3.
Tes yang digunakan untuk mengukur ketrampilan yang telah dicapai/dipelajari dan
menunjukkan apa yang dapat dilakukan sesorang pada saat ini disebut:
a. tes kepribadian
b. asesmen
c. tes bakat
d. tes prestasi
4.
Tes untuk memprediksi apa yang dapat dilakukan seseorang apabila dilatih adalah:
a. tes kepribadian
b. asesmen
c. tes bakat
d. tes prestasi
5.
Syarat yang berhubungan dengan keseragaman tes dalam hal administrasi dan skoring
disebut
a. validitas
b. reliabilitas
c. standar
d. objektif
104
105
---
106
KUNCI JAWABAN:
I. A
6. All.
C
2.B
7.C
12.D
3. D
8. C
13. D
4.C
9.A
14.D
5. C
10. B
15. D
16. D
17. A
18. B
19. A
20.B
21. B
107