Anda di halaman 1dari 9

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

Dampak Negatif Perkembangan Pariwisata Terhadap


Lingkungan Fisik Pesisir. Studi Kasus: Pantai Pangandaran
Renna Lestyono
Program Studi Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK),
ITB.

Abstrak
Perkembangan pariwisata di Kawasan Wisata Pangandaran terus meningkat. Sarana dan prasarana
pendukung pariwisata terus dibangun. Daya tarik wisata yang pada awalnya hanya berupa pantai
dan pemandangan kini dilengkapi dengan fasilitas bersepeda, berenang, voli pantai. Bertambahnya
daya tarik pantai ini terus meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dampak lingkungan yang terjadi pada guna lahan serta kondisi visual,
persampahan, air, flora, dan fauna. Keenam komponen lingkungan ini dipilih karena merupakan
faktor yang sangat menentukan berkembangnya pariwisata di Kawasan Wisata Pangandaran.
Kata-kunci : perkembangan Pangandaran, dampak pariwisata, lingkungan fisik pesisir

.
Pengantar
Sumber daya alam dan lingkungan dalam
ekonomi memiliki tiga fungsi. Fungsi pertama
adalah sebagai persediaan bahan baku untuk
rumah tangga dan perusahaan yang
bergantung pada air, udara serta keperluan
lain seperti mineral dan tenaga. Kedua,
sebagai tempat pembuangan limbah dari
rumah tangga dan perusahaan. Ketiga adalah
sebagai penyedia fasilitas lingkungan yang
menyediakan
keindahan
dan
estetika
(Djajadiningrat,1997). Pariwisata berkembang
pemanfaatannya berdasarkan fungsi ketiga
dari sumber daya alam dan lingkungan.
Pariwisata dianggap sebagai salah satu usaha
pemanfaatan alam yang dapat menjaga
kelestarian lingkungan dengan memanfaatkan
estetika sumber daya alam dan lingkungan.
Secara global pariwisata dipandang sebagai
salah satu sektor yang terus meningkat
kontribusinya terhadap pendapatan negara.
Berdasarkan data WTTC (World Travel and
Tourism Council) pada tahun 2004,
pertumbuhan rata-rata industri pariwisata
adalah
sebesar
4,6%.
Perkembangan
pariwisata meliputi pembangunan fisik obyek
wisata yang dijual, baik berupa fasilitas
akomodasi, restoran, fasilitas umum, fasilitas

sosial,
angkutan
wisata,
maupun
perencanaan promosi, disebut sebagai
komponen pariwisata (Gunn, 1988).
Seiring
dengan
terus
berkembangnya
pariwisata,
terjadilah
perubahan
pada
komponen
lingkungan
sebagai
penyangganya. Menurut Inskeep (1991)
pengembangan pariwisata menimbulkan 2
tipe dampak, dampak tersebut dapat berupa
dampak positif maupun dampak negatif.
Dampak positif dapat berupa konservasi
kawasan alam, konservasi lokasi sejarah dan
arkeologi serta bentukan khas, peningkatan
kualitas
lingkungan,
peningkatan
infrastruktur,
peningkatan
kesadaran
lingkungan. Sedangkan dampak negatifnya
dapat berupa polusi air, polusi udara, polusi
suara,
polusi
pemandangan,
masalah
pengolahan limbah, penurunan ekologi,
bencana lingkungan, kerusakan situs-situs
bersejarah dan arkeologi, serta permasalahan
guna lahan.
Pesisir merupakan salah satu lokasi yang
sangat baik sebagai objek daya tarik wisata.
Pariwisata pesisir merupakan kombinasi
antara komponen daratan dan laut yang
menyajikan keindahan berupa air laut, pantai,
keanekaragaman biota laut maupun darat,
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N2 | 291

Dampak Negatif Perkembangan Pariwisata Terhadap Lingkungan Fisik Pesisir

keragaman budaya dan adat istiadat,


makanan segar dan infrastruktur yang baik.
Pariwisata pesisir ini sebenarnya sangat
bergantung pada kondisi alam (iklim, bentang
alam, dan ekosistem) dan budaya (sejarah,
adat istiadat, kesenian, kerajinan, dan lainlain).
Dari
sinilah
berangkatnya
pemikiran
bagaimana keadaan lingkungan di sebuah
kawasan pariwisata pesisir. Salah satu
kawasan pesisir di pulau Jawa yang telah
berkembang sejak lama sebagai salah satu
primadona wisata pantai adalah pantai
Pangandaran. Perkembangan yang cukup
pesat
terjadi
di
Kawasan
Wisata
Pangandaran, mulai dari perkembangan daya
tarik berupa olahraga bersepeda, berenang,
voli
pantai,
menyelam,
kemudian
perkembangan infrastruktur. Semua hal
tersebut bertujuan agar membuat nyaman
wisatawan ketika berada di kawasan wisata
Pangandaran. Akan tetapi tanpa disadari
semua hal tersebut bisa saja menimbulkan
dampak yang buruk bagi lingkungan fisik.
Metodologi Penelitian
Pendekatan penelitian dalam penelitian ini
adalah pendekatan studi kasus. Pendekatan
studi kasus ini membantu mempelajari secara
secara intensif tentang latar belakang
masalah keadaan dan posisi suatu peristiwa
yang sedang berlangsung saat ini, misalnya
interaksi pariwisata terhadap lingkungan yang
bersifat apa adanya (given).
Data primer yang digunakan dalam penelitian
ini diperoleh melalui pengamatan dan
pencatatan langsung yaitu berupa observasi
lapangan dan wawancara. Dalam melakukan
wawancara, digunakan teknik pengambilan
sampel secara purposive sampling yaitu
sampel dipilih sesuai dengan maksud dan
tujuan tertentu. Sampel dalam penelitian
adalah penduduk yang tinggal di kawasan
studi selama 10 tahun.
Sedangkan data sekunder adalah data
pendukung penelitian yang berupa hasil
laporan kegiatan, petunjuk teknis, petunjuk
pelaksanaan dan data penunjang lainnya
292 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N2

yang diperoleh dari studi kepustakaan. Data


sekunder diperoleh dari Dinas Kebudayaan
dan
Pariwisata,
Badan
Perencanaan
Lingkungan Hidup, BPS, PHRI sebagai
lembaga-lembaga yang terkait dengan
terhadap pengembangan pariwisata. Selain
dari lembaga-lembaga tersebut, data juga
diperoleh dari hasil penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya di Pangandaran baik
oleh civitas akademik maupun oleh institusi
wisata.
Metode analisis berfungsi untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang telah disebutkan
sebelumnya. Pertama, untuk mengidentifikasi
perkembangan pariwisata yang dilihat dari
komponen-komponen pariwisata. Kemudian
untuk
melihat
perkembangannya
menggunakan metode deskriptif kuantitatif.
Data komponen pariwisata akan ditampilkan
dalam bentuk tabel. Selain itu, data-data
yang ada juga akan ditampilkan dalam
bentuk grafik. Secara analisis deskriptif dapat
dijabarkan
perkembangan
penginapan,
wisatawan, dan rumah makan.
Dilihat perubahan kondisi lingkungan pesisir
yang terdiri dari visual, persampahan, flora,
fauna, dan air. Data-data yang sudah
didapatkan berupa kajian dari literatur dan
hasil wawancara. Data-data dari literatur
dianalisis
dengan
metode
deskriptif
sedangkan hasil wawancara diolah dengan
menggunakan analisis isi. Analisis isi
merupakan metode yang digunakan untuk
mengidentifikasi berbagai karakter dengan
cara membahas secara mendalam informasi
yang didapat dari lapangan.
Setelah semua data dianalisis dan dampakdampak telah teridentifikasi, pada bagian
akhir pembahasan ditambahkan besaran
dampak yang timbul akibat pengembangan
pariwisata.
Analisis
Kawasan Wisata Pangandaran merupakan
kawasan yang terdiri dari pantai Pangandaran
dan Cagar Alam Pananjung. Secara topografi
Kawasan ini terdiri dari 70% lahan datar dan
30% berbukit, sehingga wilayah ini dapat

Renna Lestyono

dikategorikan landai dengan ketinggian


< 50 m di atas permukaan laut. Semenanjung
di kawasan ini terbentuk pada periode
Miocene, dengan kondisi batuan Breccia dan
susunan kapur di bagian pantai, dan endapan
aluvial dari laut yang terdiri dari pasir dan
tanah. Dengan suhu udara berkisar antara
23C - 31C dan rata-ratanya 27C.
Potensi Kawasan Wisata Pangandaran
Perkembangan Pariwisata
Perkembangan pariwisata yang ada di
Kawasan Wisata Pangandaran dapat dilihat
dari data komponen-komponen pariwisata,
yaitu jumlah kedatangan wisatawan, jumlah
akomodasi, dan jumlah rumah makan yang
ada.

sebanyak 63 unit akomodasi mengalami


kerusakan.
Dari data yang diperoleh, di kawasan
Pangandaran terdapat 30 unit rumah makan
pada tahun 2010. Dari 30 rumah makan
tersebut, 12 diantaranya berada di pasar ikan
dan yang lainya tersebar di dalam Kawasan
Wisata Pangandaran. Jumlah ini juga
mengalami penurunan, dari 41 rumah makan
pada tahun 2000 sekarang hanya tersisa 11
unit saja.
Dilihat dari 3 komponennya, perkembangan
pariwisata
di
Pangandaran mengalami
kemunduran akibat adanya bencana alam
berupa
tsunami.
Seiring
dengan
meningkatnya jumlah wisatawan setelah
tsunami sebesar 38,89 % pada tahun 2006,
pembangunan fasilitas pendukung pariwisata
pun ikut berkembang.
Perubahan Guna Lahan

Gambar 1 Grafik Jumlah Wisatawan


Grafik di atas memperlihatkan jumlah
kunjungan yang menurun akibat dari
terjadinya tsunami di Aceh dan Pangandaran.
Setelah
dilakukan
perbaikan,
jumlah
wisatawan yang datang ke wilayah studi
mengalami peningkatan. Menurut INDECON,
puncak jumlah kedatangan wisatawan
Pangandaran terjadi pada tahun 2000. Setiap
tahunnya
kedatangan
wisatawan
ke
Pangandaran mengalami peningkatan pada
bulan Juli serta bulan Desember hingga
Januari.
Pada tahun 2010, di Kawasan Wisata
Pangandaran terdapat 118 akomodasi yang
terdiri dari 3 hotel berbintang dan 114 hotel
tidak berbintang. Jumlah ini mengalami
penurunan dibanding tahun 2005 dimana
kawasan Pangandaran memiliki 130 unit
akomodasi.
Karena
diterjang
tsunami

Penggunaan lahan di Kawasan Wisata


Pangandaran didasarkan pada penggunaan
lahan yang ada di desa Pananjung dan Cagar
Alam Pangandaran. Guna lahan permukiman
mengalami
penambahan
0,52%
atau
3,57 Ha. Guna lahan permukiman disini terdiri
dari bangunan milik penduduk. Penambahan
guna lahan ini terjadi karena adanya
pertambahan jumlah penduduk. Penambahan
luasan guna lahan permukiman berpengaruh
pada luasan guna lahan kebun dan ladang
yang ada. Guna lahan kebun yang tadinya
26,04 Ha berkurang menjadi 23, 33 Ha atau
mengalami penurunan sebesar 0,4% dari
total wilayah penelitian, sedangkan guna
lahan ladang yang tadinya 6,37 Ha berkurang
menjadi 5,62 Ha atau mengalami penurunan
sebesar 0,75 Ha. Penurunan kedua guna
lahan ini karena berada dekat dengan guna
lahan permukiman.
Guna lahan tanah kosong menghilang pada
tahun 2010 hal ini disebabkan guna lahannya
sebagian menjadi guna lahan semak belukar
dan kebun serta wisata. Guna lahan tanah
kosong pada tahun 2000 yang berada di
dalam Cagar Alam berubah menjadi semak
belukar pada tahun 2010. Guna lahan tanah
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N2 | 293

Dampak Negatif Perkembangan Pariwisata Terhadap Lingkungan Fisik Pesisir

kosong yang berada di sisi timur pantai


Pangandaran berubah pula menjadi guna
lahan wisata. Begitu pula guna lahan Sawah
tadah
hujan
yang
berganti
menjadi
Kolam/Empang.

Gambar 2 Perubahan Guna


Kawasan Wisata Pangandaran

Lahan

di

Selama 10 tahun terakhir guna lahan hutan


masih
menutupi
Kawasan
Wisata
Pangandaran dengan luasan total mencapai
70% dari total luasan yang ada. Hal ini
disebabkan guna lahan hutan yang ada di
Kawasan Wisata Pangandaran merupakan
Cagar
Alam
sehingga
sangat
dijaga
kelestariannya. Guna lahan tempat wisata
yang merupakan guna lahan terbangun yang
terdiri dari hotel, rumah makan, kantor
pengelolaan wisata, pasar wisata, dan
beberapa fasilitas wisata lainnya memiliki luas
50, 09 ha pada tahun 2000 dan bertambah
sebesar 1,36% menjadi 59, 41 ha pada tahun
2010. Dengan total luasan wisata dalam
kisaran 9,32%.
Terlihat bahwa pengembangan pariwisata
yang di kawasan ini terbatas pada dan hanya
dapat memperluas pembangunan sarana &
prasarana wisata pada 10% guna lahan yang
bukan merupakan guna lahan hutan. Terlihat
pula guna lahan permukiman yang lebih luas
dibandingkan dengan guna lahan tempat
wisata karena awalnya merupakan desa
nelayan yang kemudian dikembangkan
menjadi kawasan wisata, sehingga masih
banyak penduduk lokal yang tinggal. Walapun
hanya sedikit mengalami perluasan pada
guna lahan pariwisata, pengembangan wisata
berupa pembangunan infrastruktur pariwisata
telah menekan guna lahan lain yang ada.
294 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N2

Dampak pariwisata terhadap guna lahan


dapat dikatakan kecil.
Perubahan
Kondisi
Persampahan

Visual

dan

Kawasan wisata Pangandaran saat ini


memiliki kondisi visual yang kurang baik,
sebagai sebuah kawasan wisata hal ini sangat
merugikan karena dapat mengurangi minat
wisatawan untuk berkunjung. Pertambahan
jumlah perahu yang bersandar di pantai barat
Pangandaran yang begitu banyak dalam 5
tahun, berdasarkan hasil wawancara bahwa
perahu yang bersandar pada tahun 2000
hanya kisaran 20 perahu. Pada tahun 2010
sendiri perahu yang bersandar di pantai barat
lebih dari 50 perahu motor. Perahu-perahu
yang bersandar di pantai barat ini sangat
mengganggu, menyebabkan pantai terlihat
jorok.
Pemandangan kumuh yang disebabkan oleh
sampah karena kurangnya kesadaran akan
kebersihan. Semakin tinggi tingkat kunjungan
khusus pada hari libur sekolah, sampahsampah yang berserakan di sepajang pantai
barat Pangandaran sangat banyak. Tempat
sampah yang tersedia di sepanjang jalan
Kawasan Wisata Pangandaran tidak cukup
membantu menanggulangi sampah yang
berserakan di baik di pantai maupun di
jalanan hal ini menjadikan lingkungan pantai
barat telihat tidak terawat dan terpelihara.
Demikian pula dengan pedagang kaki lima
yang menjajakan makanan dan sovenir di
sepanjang jalan pantai barat membuat kesan
pangandaran menjadi kumuh sebenarnya
sudah disediakan pasar wisata yang
terjangkau oleh wisatawan. Selain pedagang
kaki lima, pedagang asongan yang berjualan
hingga masuk ke pantai juga menambah
kondisi buruk pemandangan pantai dengan
merusak suasana ruang terbuka dengan
panorama yang ada, mereka menjajakan
makanan
ringan
berkeliling
pantai
menghampiri
wisatawan
yang
sedang
menikmati bermain di pantai.
Berdasarkan standar Dirjen Cipta Karya
(1991) dapat dihitung timbulan sampah yang

Renna Lestyono

dihasilkan oleh wisatawan pada tahun 2000


adalah 5,43 m3/hari. Sedangkan pada tahun
2010, jumlah limbah padat yang dihasilkan
hanya mencapai 2,92 m3/hari. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa limbah padat yang
dihasilkan oleh wisatwan selama periode
waktu tersebut secara rata-rata mengalami
penurunan. Walaupun terjadi penurunan
jumlah limbah padat tetap saja masih banyak
timbulan sampah yang masih belum
tertangani. Ini disebabkan sampah-sampah
ini diangkut 2 kali dalam 1 minggu oleh truk
sumpah dengan muatan 6 m3 sekali angkut,
sehingga sampah yang terangkut hanya 65%
dari total yang dibuang oleh wisatawan.
Sehingga dampak negatif perkembangan
pariwisata terhadap kondisi visual dan
persampahan cukup besar.
Perubahan Kondisi Air

Gambar 3. Peningkatan Penggunaan Air


Dari Gambar 3 terlihat bahwa penggunaan
air untuk sektor pariwisata masih tergolong
kecil dibandingkan dengan kebutuhan air
domestik yang dipakai oleh penduduk seharihari. Adanya peningkatan kebutuhan air pada
sektor pariwisata masih tergolong kecil yaitu
2% dari total ketersediaan air baku yang ada
yaitu
sebesar
865.586,73
m3/tahun
(Nurazizah, 2010). Kenaikan kebutuhan air
pada sektor wisata sendiri dipicu karena
adanya penambahan bangunan serta kamar
hotel yang ada di Kawasan Wisata
Pangandaran. Dampak pada kuantitas air
yang diakibatkan oleh pariwisata relatif kecil
dibandingkan dengan penggunaan oleh
penduduk lokal.

Air tanah yang menjadi sumber air baku


maupun air bersih dikawasan Pangandaran
teridentifikasi telah mengalami intrusi air laut
dibeberapa bagian pantai. Dari hasil
wawancara penduduk pantai timur yang
tinggal berjarak 100 meter dari pantai
merasakan bahwa selama 10 tahun terakhir
rasa dari air yang mereka pakai telah berubah
menjadi agak payau. Intrusi ini merupakan
akibat dari penurunan muka air tanah, hal ini
terindikasi pada musim kemarau yang
dulunya masyarakat mendapatkan air pada
sumur dengan kedalaman 4 meter tetapi kini
mereka harus mencari sumur yang lebih
dalam
lagi
untuk
mendapatkan
air.
Penurunan muka air tanah dan intrusi air laut
ini tidak lepas dari kehadiran penginapan
yang ada. Penginapan yang ada di
Pangandaran menggunakan air tanah dan
PDAM sebagai penyuplai air bersih mereka.
Akan
tetapi
penginapan
disini
lebih
mengutamakan air tanah sebagai penyuplai
kebutuhan mereka.
Drainase yang ada di Kawasan Wisata
Pangandaran didominasi dengan kontruksi
tanah/alami.
Sebagian
besar
saluran
kondisinya kurang baik, hal ini dikarenakan
jaringan-jaringan
drainase
yang
ada
tertimbun oleh sampah, tanah, dan pasir
sehingga menyebabkan terputusnya saluran
drainase yang ada. Terputusnya jaringan
drainase ini dapat menyebabkan banjir
maupun genangan air ketika hujan. Selain
buruknya sistem drainase, terjadi juga
pencemaran limbah cair yang berasal dari
buangan kamar mandi penginapan yang
dialirkan ke laut melalui saluran drainase air
hujan. Hal ini terlihat dari saluran yang
tergenang air berwarna hitam saat tidak ada
hujan, seharusnya saluran tersebut kering
saat tidak ada hujan. Berdasarkan paparan
narasumber, hotel-hotel yang ada di Kawasan
Wisata Pangandaran belum mengelola air
limbahnya secara baik.
Limbah cair dari buangan hotel yang ada
disaluran drainase dapat menjadi transmisi
atau media penyebaran berbagai penyakit,
terutama kolera, typhus abdominalis, disentri
basiler dan mikroorganisme patogen. Juga
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N2 | 295

Dampak Negatif Perkembangan Pariwisata Terhadap Lingkungan Fisik Pesisir

menimbulkan bau yang tidak enak serta


pandangan
yang
tidak
sedap
serta
merupakan
sumber
pencemaran
air
permukaan, tanah dan lingkungan hidup
lainnya. Ketika sudah bercamur dengan air
laut di dekat pantai menyebabkan gatal-gatal
pada wisatawan yang berenang. Hal ini juga
merupakan penurunan kualitas lingkungan
yang disebabkan oleh kegiatan pariwisata.
Dampak pariwisata pada kondisi air yang ada
di Pangandaran masuk dalam tahap
menengah
karena
telah
mengganggu
kenyamanan pengunjung.

karang. Selain itu terjadi pula karena


banyaknya nelayan yang mengambil ikan
dengan cara yang tidak sesuai kaidah
penangkapan yang seharusnya. Pengambilan
karang-karang sebagai pernak-pernik wisata
secara besar-besaran juga mempengaruhi
jumlah karang hidup yang ada. Sedimetasi,
pembuangan limbah, unsur hara berlebihan,
dan penangkapan ikan yang berlebihan juga
merupakan bagian dari penyebab kerusakan
terumbu karang yang ada di Kawasan Wisata
Pangandaran.

Perubahan Kondisi Flora


Kondisi vegetasi yang ada di Kawasan Wisata
Pangandaran mengalami penurunan jumlah
vegetasi, terlihat di pantai timur Pangandaran
yang terlihat gersang tanpa ada pepohonan
tinggi
yang
menaunginya.
Sedangkan
dipantai barat lebih baik dibandingkan
dengan pantai timur. Pepohonan berukuran
sedang terlihat menaungi jalan dan pantai
disepanjang pantai barat, akan tetapi hal ini
berbeda dengan keadaaan pada tahun
1990an, menurut tokoh masyarakat yang ada
di Kawasan Wisata Pangandaran, pohonpohon yang ada dipantai barat berukuran
besar sehingga membuat teduh pantai. Hal
tersebut terjadi karena banyak pohon yang
ditebang dan diganti dengan bangunan hotel.
Kondisi saat ini, area pada pantai barat
ditumbuhi pohon-pohon berukuran sedang
yang berjejer sepanjang jalan, sedangkan di
pantai timur kondisinya masih gersang, tidak
ada pohon-pohon sedang maupun besar yang
tumbuh dan menaungi area tersebut
Karang hidup dalam keadaan yang mulai
membaik dari keadaan sebelumnya, bukan
berarti kondisi terumbu sekarang sudah baik.
Kondisi terumbu karang yang rusak di
Kawasan Wisata Pangandaran disebabkan
berbagai hal, diantaranya pariwisata dan
bencana alam. Berdasarkan hasil wawancara,
pariwisata
berperan
dalam
kerusakan
terumbu
karang
yang
ada
seperti
pengambilan
terumbu
karang
sebagai
sovenir, dan berjalan-jalan di atas terumbu
296 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N2

Gambar 4
Perubahan Persentase Karang Hidup
Berdasarkan perubahan-perubahan flora yang
ada, perubahan besar terjadi pada pantai
barat dan timur Pangandaran yang berada
diluar kawasan cagar alam, serta penurunan
jumlah terumbu karang dikedua pantai
tersebut. Perubahan berupa hilangnya hutan
pantai disebabkan desakan pembangunan
pariwisata
seperti
hotel,
jalan,
dan
pendukung wisata lainnya. Sedangkan
perubahan negatif pada terumbu karang
disebabkan karena banyaknya wisata yang
datang ke Kawasan Wisata Pangandaran.
Terumbu karang yang ada dijadikan sebagai
pernak-pernik yang dapat dibawa pulang oleh
wisatawan
dari
Kawasan
Wisata
Pangandaran.
Dampak
negatif
yang
ditimbulkan oleh perkembangan pariwisata
pada flora cukup besar.
Perubahan Kondisi Fauna
Fauna yang mendiami Kawasan Wisata
Pangandaran
khususnya
cagar
alam
Pananjung cukup banyak. Dari penelusuran
literatur, kawasan Pananjung pada tahun
1983 memiliki 32 jenis mamalia. Mamalia

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

yang ada antara lain banteng, rusa, macam


tutul, owa, surili, babi hutan, ekor monyet
panjang, dan lutung. Mengalami penurunan
menjadi 44 jenis pada tahun 2000
(Anoymous, 2000). Tidak hanya mamalia
saja, pada tahun 1977 (rencana pengelolaan
1977) di cagar alam Pananjung terdapat 62
jenis burung. Sementara menurut BKSDA
pada tahun 2004 diketahui terdapat 99 jenis
burung yang ada di cagar alam Pananjung.
Penurunan jumlah fauna yang ada di
Pangandaran sendiri lebih disebabkan oleh
bencana alam dan perburuan liar.
Pada tahun 1983 di cagar alam laut
Pananjung terdapat 103 jenis ikan karang.
Pada tahun 1998, ada sebanyak 38, dan pada
tahun 2006 hanya tersisa 16 ikan karang.
Penurunan jumlah ikan lebih disebabkan
hilangnya terumbu karang yang ada di sekitar
cagar alam laut Pangandaran, dan aktivitas
pariwisata memberikan dampak yang besar
pada penurunan jumlah jenis ikan yang ada
secara tidak langsung, pengambilan terumbu
karang sebagai kerajinan tangan yang dijual
kepada wisatawan yang datang ke Kawasan
Wisata Pangandaran.
Awal

Baru
103

32

62
28

Mamalia

44

Burung

38

Ikan

Gambar 5 Perubahan Jumlah Fauna


Selain dari segi jumlah, ditemui juga mamalia
yang mengalami perubahan perilaku makan,
yaitu monyet dan rusa. Monyet dan rusa ini
dulunya dapat mencari makanan sendiri yang
tersedia ditaman wisata alam dan cagar alam
penanjung. Sejak wisatawan yang jumlahnya
terus meningkat dan memberi mereka
makanan berupa kacang dan sebagainya, hal
ini menyebabkan kedua fauna tersebut
tergantung
mencari
makanan
pada
wisatawan dan mengais makanan dari
tempat-tampat sampah yang tersedia di

dalam taman wisata dan sekitar pintu masuk


timur dan barat taman wisata alam.
Secara keseluruhan perkembangan pariwisata
memiliki andil dalam perubahan kondisi
lingkungan di Kawasan Wisata Pangandaran.
Hal tersebut tidak lepas dari pembangunan
sarana dan prasarana serta jumlah kunjungan
wisatawan yang cukup besar ke Kawasan
Wisata Pangandaran ini. Kondisi lingkungan
yang ada di Kawasan Pangandaran dapat di
bedakan berdasarkan wilayahnya. Wilayah
yang terbangun perubahan lingkungan
mengarah pada penurunan yang dirasakan
cukup besar karena semua faktor lingkungan
yang ada tertekan oleh pembangunan wisata.
Sedangkan di wilayah tidak terbangun atau di
bagian kawasan cagar alam kondisinya
cenderung terjaga, tetapi terjadi penurunan
disebabkan karena adanya bencana alam,
sehingga dampak negatif dari perkembangan
wisata terhadap fauna cukup besar.
Kesimpulan
Perkembangan pariwisata di Pangandaran
tidak terlepas dari kunjungan wisatawan.
Sempat mengalami penurunan kunjungan
wisatawan, pada Tahun 2010 wisatawan yang
datang mengalami kenaikan sebesar 38,89 %
dibandingkan wisatawan pada tahun 2006.
Fasilitas
pendukung
pariwisata
juga
mengalami hal yang sama seperti kunjungan
wisatawan, mengalami penurunan, tetapi
setelah 2006 fasilitas pendukung pariwisata
yang ada semakin meningkat.
Perubahan penggunaan lahan yang ada di
Kawasan Wisata Pangandaran tidak terlalu
berubah secara besar. Dalam 10 tahun
terakhir tidak banyak guna lahan yang
mengalami perubahan. Dari hasil analisis,
luas guna lahan hutan yang ada di Kawasan
Wisata Pangandaran adalah 72,04% dari luas
total dan guna lahan wisata mengalami
penambahan sebesar 1,36% atau 9,32Ha dari
selama 10 tahun terakhir. Begitu juga dengan
guna
lahan
wisata
yang
mengalami
penambahan tetapi relatif kecil yaitu 0,52%
atau 3,58 Ha dari tahun 2000 hingga 2010.

Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N2 | 297

Dampak Negatif Perkembangan Pariwisata Terhadap Lingkungan Fisik Pesisir

Dari hasil analisis diperoleh bahwa kondisi


visual di Kawasan Wisata Pangandaran cukup
buruk. Faktor-faktor yang mengakitbatkan hal
tersebut adalah perahu yang sangat banyak
bersandar di pantai barat. Dalam kurun waktu
10 tahun perahu yang besandar dari awalnya
20 saat ini mencapai jumlah lebih dari 50
perahu yang membuat padat dan sumpek
pantai. Kemudian pedagang kaki lima yang
berjualan di sepanjang jalan pantai barat,
ditambah beberapa pedagang asongan yang
berkeliling di dalam pantai. Faktor terakhir
adalah sampah yang berserakan di dalam
pantai dan pinggiran jalan saat siang hingga
menjelang malam juga menambah buruk
visual pantai Pangandaran.
Sampah yang berasal dari wisatawan dalam
kurun waktu 10 tahun terakhir mengalami
penurunan akan tetapi masih saja ada
sampah yang berserakan dan tertinggal di
Kawasan Wisata Pangandaran, hal ini
disebabkan karena adanya kesalahan dalam
pengelolaan kawasan oleh Pemerintah
Kabupaten Pangandaran.
Perkembangan pariwisata dan pertumbuhan
penduduk di Kawasan Wisata Pangandaran
mendorong meningkatnya kebutuhan akan air
bersih. Sumber air yang ada di Kawasan
Wisata Pangandaran berasal dari air tanah
dan PDAM, akan tetapi baru sedikit yang
menggunakan PDAM.
Potensi Air tanah disini adalah potensi air
tanah yang dapat digunakan oleh penduduk
dan
kegiatan
pariwisata.
Peningkatan
kebutuhan air bersih pada tahun 2011
sebesar 4% dari jumlah kebutuhan air bersih
pada tahun 2001 masih dapat dipenuhi oleh
potensi air tanah yang ada di kawasan ini.
Sedangkan kualitas air tanahnya masih
sangat baik berdasarkan standar yang
dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan No.
907/Menkes/SK/VII/2002.
Terdapat
juga
pencemaran
air
permukaan
akibat
pembuangan limbah hotel melalui saluran
drainase. Dampak negatif dari perkembangan
pariwisata kondisi air adalah sedang, karena
belum berpengaruh signifikan pada kondisi
sumber air tapi sudah mencemari kondisi air
298 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N2

permukaan sekitar pantai


dikunjungi oleh wisatawan.

yang

sering

Kondisi terumbu karang di Kawasan Wisata


Pangandaran
sangat
buruk.
Hal
ini
dikarenakan eksploitasi terumbu karang oleh
penduduk. Penurunan jumlah serta luasan
tidak serta merta mengurangi jumlah
kedatangan
wisatawan,
akan
tetapi
sebaliknya semakin banyak wisatawan yang
datang sehingga kondisi terumbu karang
semakin rusak.
Kondisi 2 dari 3 ekosistem yang ada yaitu
hutan tanaman dan hutan dataran rendah di
Kawasan Wisata Pangandaran sangat baik,
penurunan jumlah vegetasi disebabkan oleh
adanya bencana alam. Sedangkan ekosistem
lainnya yaitu hutan pantai hanya terdapat di
dalam Kawasan Cagar Alam saja yang masih
dalam kondisi baik, sedangkan kondisi hutan
pantai di pantai barat dan timur Pangandaran
sudah lenyap, karena desakan pembangunan
sarana dan prasarana wisata.
Kondisi fauna juga dapat dikatakan buruk.
Fauna tidak terlihat di wilayah terbangun
kecuali monyet dan kijang yang mencari
makanan
dari
pemberian
wisatawan.
Hilangnya banyak jenis mamalia, burung dan
ikan, secara tidak langsung disebabkan oleh
perkembangan pariwisata.
Agar kondisi ini tidak berlangsung terus
menerus serta diharapkan menjadi lebih baik
diperlukan upaya-upaya pelestarian.
Rekomendasi
a. Pengawasan terhadap perkembangan
fasilitas pariwisata harus sesuai rencana
tata ruang yang ada.
b. Perlu adanya penataan segera terhadap
perahu-perahu wisata yang bersandar di
sepanjang pantai barat Pangandaran.
Misalnya
pembuatan jadwal
hanya
perahu-perahu yang beroperasi dapat
bersandar di pantai.
c. Perlu adanya penataan segera terhadap
perahu-perahu wisata yang bersandar di
sepanjang pantai barat Pangandaran.
Misalnya
pembuatan jadwal
hanya

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

d. perahu-perahu yang beroperasi dapat


bersandar di pantai
e. Perlu adanya peningkatan waktu ritasi
pengangkutan sampah menjadi setiap hari
oleh dinas kebersihan.
f. Perlu adanya instalasi pengolahan dari
setiap fasilitas akomodasi pariwisata.
g. Melakukan upaya konvervasi terumbu
karang. Salah satunya melalui wisata
diving yang dilengkapi penanaman
terumbu karang oleh wisatawan.
h. Perlu
adanya
sosialiasi
mengenai
pengelolaan limbah yang dihasilkan
infrastruktur pariwisata, khususnya hotel,
oleh pemerintah Kab. Pangandaran dan
lembaga
perhimpunan
pariwisata
setempat.
i. Penangkaran monyet dan kijang agar
kedua hewan tersebut makaPn makanan
yang sesuai.
j. Peningkatan peran pemerintah dalam
penataan Kawasan Wisata Pangandaran
berupa rencana pengelolaan pariwisata
sesegera mungkin dan kerjasama dengan
lembaga
yang
bergerak
dibidang
lingkungan dalam melestarikan kawasan
ini.
k. Perlu adanya edukasi lebih kepada
wisatawan mengenai wisata yang ramah
lingkungan baik berupa pemasangan
tanda-tanda mengenai lingkungan di
dalam Kawasan Wisata Pangandaran
sendiri ataupun melalui jejaring sosial
yang tidak hanya menawarkan untuk
datang
tetapi
juga
harus
bisa
mengedukasi wisatawan yang akan
berkunjung.

Kurniawan, A., Parikesit (2008). Persebaran

Jenis Pohon di Sepanjang Faktor


Lingkungan di Cagar Alam Pananjung
Pangandaran, Jawa Barat. Biodiversitas
Volume 9 (4). 275 279
Nurazizah, Ghoitsa Rohmah (2010). Potensi

Airtanah Untuk Pemenuhan Kebutuhan


Wisata Di Kawasan Wisata Pantai
Pangandaran. Bandung: Skripsi S-1.
Universitas Pendidikan Indonesia
__. Data Potensi Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Ciamis 2000 - 2010. Kab. Ciamis
: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
__(2008). Report : Tourism Development

Supporting Biodiversity Conservation in


Pangandaran, Indonesia.WTO, Indecon,
LWG, Pemkab Ciamis.

Daftar Pustaka
Anonymous (2004). Rencana Pengelolaan

Taman Wisata Alam dan Cagar Alam


Pangandaran. Balai Konservasi Sumber
Daya Alam Jawa Barat II. Ciamis
Djajadiningrat, Surna.T (1997). Pengantar
Ekonomi Lingkungan. Jakarta : LP3ES.
Gunn, A.Clare (1988). Tourism Planning.
Prancis : Taylor.
Inskeep, Edward (1991). Tourism Planning:
An Integrated Sustainable Approach. New
York : Van Nostrand Reinhold
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V2N2 | 299

Anda mungkin juga menyukai