Anda di halaman 1dari 55

1

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang.
Pembukaan UUD 1945 menyebutkan bahwa tujuan negera adalah

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejaheraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Oleh karena itu perlindungan segenap bangsa dan peningkatan
kesejahteraan umum merupakan tanggung jawab Negara untuk mewujudkannnya.
Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah terjaminnya hak atas pangan bagi
segenap rakyat yang merupakan hak asasi manusia yang sangat mendasar
sehingga menjadi tanggung jawab Negara untuk memenuhinya.

Untuk

membangun ketahanan pangan, kemandirian pangan menuju kedaulatan pangan,


perlu diupayakan melalui pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.
Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah terjaminnya hak atas
pangan bagi segenap rakyat yang merupakan hak asasi manusia yang sangat
fundamental sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Hal
ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 28A dan Pasal 28C Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga sesuai dengan Article 25
Universal Declaration of Human Rights Juncto Article 11 International Covenant
on Economic, Social, and Cultural Right (ICESCR).
Sejalan dengan itu, upaya membangun ketahanan dan kedaulatan pangan
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah hal yang sangat penting untuk
direalisasikan. Dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan perlu
diselenggarakan pembangunan pertanian berkelanjutan.
Lahan pertanian memiliki peran dan fungsi strategis bagi masyarakat
Indonesia yang bercorak agraris karena terdapat sejumlah besar penduduk
Indonesia yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Dengan demikian,
lahan tidak saja memiliki nilai ekonomis, tetapi juga sosial, bahkan memiliki nilai
religius. Dalam rangka pembangunan pertanian yang berkelanjutan, lahan

merupakan sumber daya pokok dalam usaha pertanian, terutama pada kondisi
yang sebagian besar bidang usahanya masih bergantung pada pola pertanian
berbasis lahan. Lahan merupakan sumber daya alam yang bersifat langka karena
jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat.
Alih fungsi lahan pertanian merupakan ancaman terhadap pencapaian
ketahanan dan kedaulatan pangan. Alih fungsi lahan mempunyai implikasi yang
serius terhadap produksi pangan, lingkungan fisik, serta kesejahteraan masyarakat
pertanian dan perdesaan yang kehidupannya bergantung pada lahannya. Alih
fungsi lahan-lahan pertanian subur selama ini kurang diimbangi oleh upaya-upaya
terpadu mengembangkan lahan pertanian melalui pencetakan lahan pertanian baru
yang potensial. Di sisi lain, alih fungsi lahan pertanian pangan menyebabkan
makin sempitnya luas lahan yang diusahakan dan sering berdampak pada
menurunnya tingkat kesejahteraan petani. Oleh karena itu, pengendalian alih
fungsi lahan pertanian pangan melalui perlindungan lahan pertanian pangan
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan
pangan, dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan petani dan
masyarakat pada umumnya.
Ditengah besarnya tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkan
ketahanan pangan, pembangunan pertanian menghadapi permasalahan dan
tantangan yang sangat besar terutama tingginya alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian sebagai akibat pertambahan penduduk.
Kondisi geografi Kabupaten Cianjur menjadi suatu aspek penting dalam
perencanaan pembangunan Kabupaten Cianjur berkaitan dengan potensi yang
dapat dikedepankan.Potensi pengembangan wilayah didasarkan pada hasil analisis
terhadap kondisi wilayah dan berbagai kemungkinan perkembangan di masa
mendatang. Beberapa kondisi umum geografis daerah yang dipertimbangkan
antara lain meliputi letak, luas, dan batas wilayah; kondisi geografi beberapa
bagian wilayah; karakteristik topografi, klimatologi, kondisi geologis, dan jenis
tanah; serta sumberdaya air berdasarkan hidrogeologi. Untuk kepentingan
perencanaan pembangunan, maka perlu diperhatikan potensi wilayah sebagaimana
diutarakan di atas dan sebaliknya persoalan pengembangan wilayah yang dapat

menghambat proses pengembangan wilayah atas pengaruh negatifnya pada upaya


peningkatan akselerasi pertumbuhan wilayah Kabupaten Cianjur.
Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak di tengah Propinsi Jawa Barat,
diantara 6021 - 7025 Lintang Selatan dan 106042 - 107025 Bujur Timur.
Wilayah Kabupaten Cianjur memiliki luas kurang lebih 361.435 Ha (sumber :
RTRW Provinsi Jawa Barat), Kabupaten Cianjur juga terbagi dalam 3 wilayah
yaitu Wilayah Utara,Wilayah Tengah dan Wilayah Selatan dengan jumlah
kecamatan sebanyak 32 Kecamatan, jumlah desa sebanyak 354 desa dan jumlah
kelurahan sebanyak 6 kelurahan yang berada diwilayah kota Cianjur.
Secara administratif Kabupaten Cianjur berbatasan dengan :
-

Sebelah utara adalah Wilayah Kabupaten Bogor dan Purwakarta;

Sebelah barat adalah Wilayah Kabupaten Sukabumi;

Sebelah selatan adalah Samudera Indonesia; dan

Sebelah timur adalah Wilayah Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten


Bandung, dan Garut.
Secara geografis wilayah Kabupaten Cianjur terbagi dalam 3 bagian :

Wilayah Cianjur Utara, Wilayah Cianjur Tengah, dan Wilayah Cianjur Selatan.
Wilayah Cianjur Utara yang merupakan dataran tinggi terletak di kaki Gunung
Gede dengan ketinggian sekitar 2.962 m di atas permukaan laut. Wilayahnya juga
meliputi daerah Puncak dengan ketinggian sekitar 1.450 m, Kota Cipanas
(Kecamatan Cipanas dan Pacet) dengan ketinggian sekitar 1.110 m, serta Kota
Cianjur dengan ketinggian sekitar 450 m di atas permukaan laut. Sebagian
wilayah ini merupakan dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan
perkebunan dan persawahan. Di bagian barat dekat zona Bogor terdapat
Gunung Salak dengan ketinggian 2.21 m yang merupakan gunung api termuda
yang sebagian besar permukaannya ditutupi bahan vulkanik. Wilayah Cianjur
Tengah merupakan perbukitan, tetapi juga terdapat dataran rendah persawahan,
perkebunan yang dikelilingi oleh bukit - bukit kecil yang tersebar dengan keadaan
struktur tanahnya yang labil. Wilayah Cianjur Selatan merupakan dataran rendah
yang terdiri dari bukit - bukit kecil dan diselingi oleh pegunungan - pegunungan
yang melebar ke Samudra Indonesia, di antara bukit - bukit dan pegunungan

tersebut terdapat pula persawahan dan ladang huma. Dataran terendah di selatan
Cianjur mempunyai ketinggian sekitar 7 m di atas permukaan laut.
Dengan karakteristik wilayah yang beragam, Kabupaten Cianjur menyimpan
potensi

sumber

daya

alam

yang

sangat

besar

dalam

membangun

wilayahnya.Setiap bagian wilayah memiliki kekhasan yang dapat dimanfaatkan


melalui pengembangan potensi dalam mendukung kegiatan perekonomian
masyarakatnya.Namun kondisi tersebut tidak terlepas pula dari permasalahan
yang dibatasi oleh kondisi geografis yang memiliki kerentanan dan kelabilan
tanah, sehingga dalam pengelolaannya diperlukan strategi yang tepat.Wilayah
utara Kabupaten Cianjur letaknya sangat strategis dan berkembang cepat.Di
samping berada pada jalur pariwisata Puncak, Kota Cianjur dilalui oleh jalur
regional Bandung - Jakarta dan sebaliknya.Wilayah selatan Kabupaten Cianjur
belum berkembang seperti di bagian utara. Dengan posisinya yang berada pada
lintasan antara ibukota negara dan ibukota propinsi telah memberikan implikasi
positif terhadap kegiatan perekonomian masyarakat Kabupaten Cianjur,
khususnya yang berada pada lintasan jalur regional maupun pengembangan
wilayah secara keseluruhan. Hal ini ditunjukkan dengan berkembangnya berbagai
kegiatan yang bersifat komersial dan menjadi mata pencaharian andalan
masyarakat sekitar.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem ketahanan pangan
mencakup empat aspek penting yaitu: ketersediaan, distribusi, cadangan pangan,
konsumsi di tingkat rumah tangga, peran Pemerintah serta masyarakat dalam
sistem ketahanan pangan. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah nomor 68
tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan mengatur berbagai hal tentang system
ketahanan pangan, termasuk peran Pemerintah Daerah (khususnya kabupaten)
untuk menciptakan ketahanan pangan nasional. Peran pemerintah daerah menjadi
sangat penting artinya karena sistem ketahanan pangan yang baik harus dibangun
berlandaskan kemampuan sumberdaya

lokal (daerah) dalam mencukupi

kebutuhan pangan nasional.Hingga saat ini kemampuan sumberdaya lokal dalam


mendukung sistem ketahanan pangan masih harus dioptimalkan agar dapat lebih
terjangkau bagi masyarakat luas.

Salah satu pendekatan wilayah basis pengembangan bahan pangan di kabupaten


adalah dalam satuan wilayah kecamatan.Satu kecamatan dipandang sebagai satu
kesatuan wilayah pengembangan yang memiliki keunggulan kompetitif untuk
menghasilkan satu atau beberapa komoditi pangan. Beberapa kecamatan dengan
daya dukung agroekologi yang sesuai akan menjadi penyumbang utama
ketersediaan

bahan

pangan

di

suatu

kabupaten.

Konsentras

wilayah

pengembangan komoditas utama di beberapa kecamatan sentra (basis) dengan


kondisi agroekologi yang sesuai akan mempermudah pengembangan komoditi
komoditi tersebut. Pengetahuan tentang lokasilokasi (kecamatan) basis akan
mempermudah kemungkinan pengembangan untuk memenuhi target kenaikan
produksi dengan investasi yang lebih efisien.1
Mengingat dampak yang ditimbulkan oleh adanya konversi lahan yang
begitu luas, perlu kiranya ada upaya-upaya pengendaliannya.Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Mukhtar Rosyid Harjono pengendalian konversi
lahan pertanian merupakan sebuah sistem yang melibatkan peraturan dan
pelakunya.Sehingga diperlukan adanya keterikatan misi antar instansi agar dapat
mengintegrasikan berbagai kepentingan dalam rangka pengendalian lahan
pertanian. Disamping juga perlu adanya sosialisasi pada masyarakat akan
pentingkan menjaga kelestarian lahan pertanian demi ketahanan pangan.

Di Kabupaten Cianjur alih fungsi lahan pertanian merupakan ancaman


terhadap pencapaian ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan. Alih fungsi
lahan mempunyai implikasi yang serius terhadap produksi pangan, lingkungan
fisik serta kesejahteraan masyarakat pertanian dan perdesaan yang kehidupannya
tergantung pada lahannya. Alih fungsi lahan-lahan pertanian subur yang selama
ini terjadi kurang diimbangi dengan upaya-upaya secara terpadu dalam
pengembangan lahan pertanian melalui pencetakan lahan pertanian baru yang
potensial. Disamping itu alih fungsi lahan menyebabkan makin sempitnya luas
garapan yang berdampak kepada tidak terpenuhinya skala ekonomi usahatani,
1

Endro Pranoto, Potensi Wilayah Komoditas Pertanian Dalam Mendukung Ketahanan Pangan
Berbasis Agribisnis Kabupaten Banyumas,, Tesis, UNDIP, Semarang, 2008, hlm 17.
2
Mukhtar Rosyid Haryono, Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan
Pertanian di Kabupaten Kendal, Tesis, Undip, Semarang, 2005, hlm 131.

sehingga berakibat kepada in efisiensi dan pada akhirnya menurunnya


kesejahteraan petani. Kecilnya luas garapan petani juga disebabkan oleh
peningkatan jumlah rumah tangga petani yang tidak sebanding dengan luas lahan
yang diusahakan.

Akibatnya jumlah petani gurem dan buruh tani tanpa

penguasaan/kepemilikan lahan terus bertambah yang berakibat kepada sulitnya


upaya peningkatan kesejahteraan petani dan pengentasan kemiskinan di kawasan
perdesaan. Oleh karena itu pengendalian alih fungsi lahan pertanian melalui
usaha-usaha perlindungan lahan pertanian pangan merupakan salah satu upaya
untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan menuju kemandirian
pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pada
umumnya.Berdasarkan uraian di atas naskah akademis tentang pelestarian lahan
untuk ketahanan pangan di kabupaten Cianjur perlu ditindaklanjuti dengan
peraturan daerah.

B.

Identifikasi Masalah.
Naskah akadaemik ini mencoba memetakan berbagai permasalahan yang

dihadapi oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur khsusnya berkenaan dengan


pelestarian lahan untuk ketahanan pangan di Kabupaten Cianjur, adapun
identifikasi masalah dalam naskah akademik ini meliputi :
1.

Apakah latar belakang diperlukannya peraturan daerah tentang pelestarian


lahan untuk ketahanan pangan di Kabupaten Cianjur ?

2.

Apakah pengelolaan lahan untuk ketahanan pangan yang dilaksanakan oleh


Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur selama ini telah sejalan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku ?

3.

Bagaimana pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis


pembentukan rancangan peraturan daerah tentang pelestarian lahan untuk
ketahanan pangan di Kabupaten Cianjur?

4.

Bagaimanakah sasaran, ruang lingkup, jangkauan dan arah pengaturan


pelestarian lahan untuk ketahanan pangan di Kabupaten Cianjur kedepan?

C.

Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik.


1.

Tujuan Penyusunan Naskah Akademik.

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan diatas,


tujuan penyusunan Naskah Akademik ini meliputi :
1.

Latar belakang diperlukannya peraturan daerah tentang pelestarian lahan


untuk ketahanan pangan di Kabupaten Cianjur.

2.

Pengelolaan lahan untuk ketahanan pangan yang dilaksanakan oleh


Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur selama ini telah sejalan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3.

Pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan


rancangan peraturan daerah tentang pelestarian lahan untuk ketahanan
pangan di Kabupaten Cianjur.

4.

Sasaran, ruang lingkup, jangkauan dan arah pengaturan pelestarian lahan


untuk ketahanan pangan di Kabupaten Cianjur kedepan.

2.

Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik.


Kegunaan penyususnan Naskah Akademik secara umum adalah sebagai

acuan, panduan atau referensi bagi pengelolaan lahan untuk ketahanan pangan di
Kabupaten Cianjur, disamping hal tersebut juga diharapkan dapat memberi
manfaat secara :
a.

Manfaat Teoritis
Hasil penelitian naskah akademis ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam upaya untuk mendorong peningkatan
ketahanan pangan di kabupaten Cianjur.

b.

Manfaat Praktis
Hasil penelitian naskah akdemik ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran kepada para pihak stakeholder diantaranya :
1) Bagi pemerintah dapat dijadikan dasar pembuatan peraturan daerah
tentang pelestarian lahan untuk ketahanan pangan di Kabupaten Cianjur
kedepan;

2) Bagi akademisi, hasil penelitian naskah akademis ini diharapkan dapat


menambah reperensi sebagai pengayaan argumentasi akademis dalam
mengelaborasi berbagai kebijakan dari pemerintah daerah Kabupaten
Cianjur dalam rangka proses pembelajaran;
3) Bagi Masyarakat, melalui penelitian naskah akademis ini diharapkan
menjadi salah satu forum untuk lebih memahami dan mengetahui
berbagai kebijakan pemerintah khususnya dalam bidang ketahanan
pangan di Kabupaten Cianjur kedepan.

D.

Metode Penelitian.
Metode yang dipilih dalam penelitian naskah akademik ini adalah metode

deskriptif analisis, yang dilakukan untuk membuat deskripsi atau gambaran atau
lukisan serta hubungan antara fenomena yang diselidiki, penelitian naskah
akademik ini

juga

bertujuan untuk mengungkapkan secara

sistematis,

metodologis, dan konsisten dengan mengadakan analisis dan konstruksi.3


Dalam penelitian naskah akademik ini pengkajian difokuskan terhadap
hubungan sebab akibat antara kaidah hukum positif tentang pelestarian lahan
untuk ketahanan pangan di Kabupaten Cianjur, penelitian dilaksanakan dengan :
1. Metode Pendekatan.
Dalam penelitian naskah akademik ini memakai metode pendekatan Yuridis
Normatif, penelitian ini dapat digunakan untuk mencari asas hukum, teori hukum
dan sistem hukum, terutama dalam hal penemuan dan pembentukan asas-asas
hukum baru, pendekatan hukum baru dari sistem hukum nasional terutama dalam
pelestarian lahan untuk ketahanan pangan di Kabupaten Cianjur.4
Dalam penelitian naskah akademik ini juga meliputi usaha untuk
menemukan hukum yang in concertio yang tujuannya untuk menemukan hukum

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat,
Cetakan VI, Raja Gerapindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 1
Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Abad ke 20, Alumni, Bandung, 1994, hlm.105;
penelitian yang bersifat yuridis normative, dapat dibedakan menjadi penelitian
monodisipliner dan interdisipliner.

yang sesuai dan yang akan diterapkan dalam suatu permasalahan tertentu di dalam
penelitian naskah akademik tersebut.5
Sunaryati Hartono, mengatakan penelitian hukum untuk menemukan suatu
kebijakan (policy) baru, biasanya menggunakan penelitian hukum interdisipliner
dan penelitian yang mengembangkan satuan teori adalah merupakan penelitian
murni, beliau juga mengatakan bahwa kegunaan penelitian hukum normatif antara
lain adalah :
a)

Untuk mengetahui atau mengenal apakah dan bagaimakah hukum positifnya


mengenai suatu masalah yang tertentu dan ini merupakan tugas semua
sarjana hukum;

b)

Untuk dapat menyusun dokumen-dokumen hukum;

c)

Untuk menulis makalah/buku hukum;

d)

Untuk dapat menjelaskan atau menerangkan kepada orang lain apakah dan
bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah tertentu;

e)

Untuk melakukan penelitian dasar (basic research) di bidang hukum


penyajian penulisan penelitian secara basic research menggunakan datadata yang kumulatif dan metode yang digunakan adalah metode hukum,
yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis.6
2. Jenis dan Sumber Data.
Penelitian naskah akademik ini dilakukan guna memperoleh data yang

akurat maka dilakukan melalui 2 (dua) tahapan besar sebagai berikut :


a)

Penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan mengumpulkan dan


mempelajari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang berkaitan
dengan penyelenggaraan kearsipan di Kabupaten Cianjur.7
Dalam realisasinya penggalian data sebagai salah satu sumber penelitian
maka peneliti memfokuskan pada tiga sumber bahan hukum diantaranya :

6
7

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990, hlm. 22
Sunaryati, Op Cit, hlm. 74
Dedi Mulyadi, Kebijakan Legislasi Tentang Sanksi Pidana Pemilu Legislatif di Indonesia Dalam
Perspektif Demokrasi, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Katolik Parahiyangan Bandung, 2011, hlm. 56; lihat pula Wila Chandra Wila
Supardi, Metode Penelitian, Materi Kuliah Metode Penelitian Program Pascasarjana Doktor
Ilmu Hukum Universitas Katolok Parahyangan, Bandung, 2009, hlm. 17

10

1) Bahan Hukum Primer, berupa peraturan-peraturan yang berkaitan


dengan hukum tata cara pembentukan produk hukum daerah yang
berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri dan peraturan lain yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kearsipan.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan pustaka yang relevan
dengan objek yang diteliti, anatara lain tentang referensi buku-buku,
majalah, koran dan internet yang berkaitan penyelenggaraan kearsipan;8
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan sekunder, seperti brosur-brosur, media
cetak dan Blacks Law Dictionary.9
b)

Penelitian lapangan (field research) , tujuannya mencari data-data lapangan


yang menyangkut pandangan, aspirasi dan ekspektasi masyarakat kampus
tentang penyelenggaraan kearsipan di Kabupaten Cianjur (data Primer)
yang berkaitan dengan materi penelitian dan berfungsi sebagai pendukung
data sekunder.
3. Prosedur Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data dalam penelitian naskah akademik ini melalui 2

(dua) cara diantaranya :


1)

Penelitian Awal (Pra Survey), yaitu pengambilan data awal di


instansi/lembaga terkait, untuk memudahkan langkah pengumpulan data
selanjutnya;

2)

Studi Pustaka (Library research), yakni melalui berbagai dokumen dan


bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penyelenggaran
kearsipan yang sedang dibahas dalam penelitian naskah akademik ini.
4. Teknik Pengecekan Validasi Data
Disamping teknik diatas pengecekan keabsahan data juga dilakukan melalui

teknik pemeriksaan triangulasi, khususnya triangulasi sumber, Patton dalam


8
9

Ibid, hlm. 57
Nasution, Metode Research, Bumi Aksara, Bandung, 2001, hlm. 58

11

bukunya dengan judul Qualitative Data Analysis; A Sourcebook of New


Methods,

sebagaimana dikutip oleh Lexi J. Moleng menyebutkan bahwa

triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik tingkat


kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda
dalam metode kualitatif.10
5.

Analisis Data

Pengertian analisis di sini dalam penelitian naskah akademis ini


dimaksudkan sebagai interpretasi secara logis, sistimatis dan konsisten dimana
dilakukan penelaahan data yang lebih rinci dan mendalam.Dari data yang berhasil
dikumpulkan dalam penelitian ini, baik yang berupa data primer maupun data
sekunder dianalisis menggunakan metode kualitatif, tanpa menggunakan angka
(matematik dan statistik).
Metode analisis data dalam penelitian ini meliputi 4 (empat) tahap kegiatan
yaitu :
1)

Tahap pengumpulan data;

2)

Tahap reduksi data;

3)

Tahap pengujian data; dan

4)

Tahap penarikan kesimpulan.


Tahapan di atas merupakan siklus yang interaktif, artinya analisis data ini

merupakan upaya yang terus berlanjut dan berulang terus menerus bergerak di
antara empat tahapan kegiatan tersebut selama pengumpulan data.Penarikan
kesimpulan yang dilakukan melalui pemeriksaan terhadap data/informasi yang
telah diperoleh di lapangan, menjadi gambaran keberhasilan secara berturut-turut
sebagai rangkaian kegiatan analisis yang saling menyusul. 11

10

11

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001, hlm.
178
M.B. Miles dan A.M. Huberman, Analisis Data Kualitatif, Universitas Indonesia Press, Jakarta,
1992, hlm. 19

12

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis.
UUD 1945 mengamanatkan bahwa lahan pertanian pangan merupakan
bagian dari bumi yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena negara Indonesia adalah
negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai
petani, sudah selayaknyalah jika negara perlu menjamin penyediaan lahan
pertanian pangan yang berkelanjutan, sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan
yang

layak

bagi

kemanusiaan

dengan

mengedepankan

prinsip

kebersamaan,efisiesi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan


kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional. Negara berkewajiban menjamin hak asasi warganegaranya atas
kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan.Isu penting dalam pembangunan
dewasa ini adalah pertanian berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan adalah suatu
proses yang memanfaatkan sumberdaya pertanian secara optimal untuk memenuhi
kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat masa kini tanpa harus mengorbankan
kebutuhan dan kesejahteraan generasi yang akan datang. Seiring dengan laju
konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian,sumberdaya pertanian yang perlu
mendapatkan prioritas adalah lahan pertanian, terutama lahan pertanian pangan. 12
Menurut

Notohadipawiro,

lahan

merupakan

kesatuan

berbagai

sumberdaya daratan yang saling berinteraksi membentuk suatu sistem struktural


dan fungsional. Sifat dan perilaku lahan ditentukan oleh jenis sumberdaya
dominan dan intensitas interaksi yang berlangsung antar sumberdaya.Sumberdaya
lahan dapat mengalami perubahan karena aktivitas manusia. Penggunaan lahan
(land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap
lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya,baik material maupun

12

Anita Widhy, Implementasi Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di


Kabupaten Magelang, Tesis, UNDIP, Semarang, 2012, hlm 3. Diunduh tanggal 30 Juni 2014,
pukul 12.15 WIB.

13

spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar


yaitu (1) pengunaan lahan pertanian dan (2) penggunaan lahan bukan pertanian.13
Menurut

Sabiham,

pertanian

berkelanjutan

adalah

pengelolaan

sumberdaya untuk menghasilkan kebutuhan pokok manusia, yaitu sandang,


pangan dan papan, sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas
lingkungan dan melestarikannya. Definisi tersebut mencakup hal-hal sebagai
berikut: mantap secara ekologis, bisa berlanjut secara ekonomis, adil, manusiawi
dan luwes.
Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan
pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten
guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan
pangan nasional. Sedangkan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan
sendiri diartikan sebagai sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan,
mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan dan mengawasi
lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan.
Menurut Rustiadi dan Reti, tersedianya sumberdaya lahan pertanian
pangan yang berkelanjutan merupakan syarat untuk ketahanan pangan nasional.
Ketersedian lahan pertanian pangan berkaitan erat dengan beberapa hal, yaitu : 1)
Potensi sumberdaya lahan pertanian pangan, 2) Produktivitas lahan, 3)
Fragmentasi lahan pertanian, 4) Skala luasan penguasaan lahan pertanian, 5)
Sistem irigasi, 6) land rent lahan pertanian, 7) Konversi, 8) Pendapatan petani, 9)
Kapasitas SDM pertanian serta 10) kebijakan di bidang pertanian.14
Dalam rangka pengendalian alih fungsi lahan pertanian pangan,
pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dalam UU Nomor 41
13

Sabiham, Manajemen Sumberdaya lahan dan usaha pertanian berkelanjutan, dalam Arsyad dan
E. Rustiadi (ed), Penyelamatan tanah, air dan lingkungan, Crestpent Press dan yayasan Obor
Indonesia, hlm 3-16.
14
Rustiadi dan W. Reti, Urgensi Lahan Pertanian Pangan Abadi dalam Perspektif Ketahanan
Pangan, dalam Arsyad s dan E. Rustiadi (ed), Penyelamatan tanah, air dan lingkungan,
Crestpent Press dan yayasan Obor Indonesia hlm 61-86.

14

Tahun 2009 tersebut dengan jelas disebutkan bahwa Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LP2B) adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk
dilindungi dan dikembangkan secara konsistem guna menghasilkan pangan pokok
bagi kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. LP2B dapat berupa
lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut (lebak)
dan/atau lahan tidak beririgasi (lahan kering).
Walapun suatu kawasan telah ditetapkan sebagai LP2B, bukan berarti
bahwa lahan tersebut tidak dapat dialihkan kepemilikannya. LP2B dapat dialihkan
kepemilikannya kepada pihak lain dengan tidak mengubah fungsi lahan tersebut
sebagai LP2B. Lahan yang ditetapkan sebagai LP2B dilindungi dan dilarang
untuk dialihfungsikan, tetapi dalam hal untuk kepentingan umum, dapat dilakukan
alih fungsi tetapi dengan syarat harus melalui kajian kelayakan strategis, disusun
rencana alih fungsi lahan, dibebaskan terlebih dahulu haknya dari pemilik dan
disediakan lahan pengganti terhadap LP2B yang dialihfungsikan. Dalam UU
Nomor 41 Tahun 2009 juga secara tegas mengatur bahwa orang atau badan yang
melanggar tentang ketentuan alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
dapat dikenakan sanksi, baik sanksi administratif berupa peringatan tertulis,
penghentian sementara kegiatan sampai kepada penutupan lokasi, pencabutan izin
sampai kepada denda dan hukuman penjara.
Memperhatikan uraian tersebut di atas, tampak jelas bahwa apabila UU
Nomor 41 Tahun 2009 benar-benar dapat diimplementasikan secara tertib dan
benar, maka merupakan suatu langkah strategis dalam upaya mengerem laju alih
fungsi lahan pertanian produktif. Tinggal sekarang sejauhmana pemerintah,
pemerintah

daerah

provinsi,

kabupaten/kota

mau

dan

mampu

mengimplementasikan UU Nomor 41 Tahun 2009 tersebut serta mencantumkan


LP2B dalam rencana tata ruang wilayah masing-masing guna mendukung upaya
mewujudkan ketahanan pangan, kemandirian pangan menuju kedaulatan
pangan.15

15

I Made Oka Parwata,

Lahan Pertanian, internet, diunduh, hari senin, 16 Juni 2014, pukul 12.00 WIB.

15

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang selama ini masih
diandalkan oleh Negara Indonesia karena sektor pertanian mampu memberikan
pemulihandalam mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia. Keadaan inilah yang
menampakkan bahwa sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang andal dan
mempunyai

potensi

besar

untuk

berperan

sebagai

pemicu

pemulihan

ekonominasional melalui salah satunnya adalah ketahanan pangan nasional.


Dengandemikian diharapkan kebijakan untuk sektor pertanian lebih diutamakan.
Namun setiap tahun untuk luas lahan pertanaian selalu mengalami alih fungsi
lahan dari lahan sawah ke lahan non sawah.
Alih fungsi lahan sudah sejak lama menjadi masalah, khususnya di Jawa
Barat.Sebagai provinsi yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota Negara,
memang tidak mengherankan bila areal sawah yang berubah fungsi di Jawa Barat
terus meningkat setiap tahun. Alih fungsi lahan pertanian produktif di Jawa Barat,
terutama lahan sawah, menjadi lahan non pertanian telah berlangsung dan
sulitdihindari sebagai akibat pesatnya laju pembangunan antara lain digunakan
untuk pemukiman, industri, sarana infrastruktur dan lainnya. Penurunan produksi
padi di Jawa Barat yang menyediakan 17,84 % produksi beras nasional terjadi
akibatpenciutan lahan sawah karena alih fungsi lahan dan pelandaian tingkat
produktivitas di daerah-daerah itensifikasi.
Usaha yang dilakukan pemerintah untuk mempertahankan swasembada
pangan adalah peningkatan mutu program itensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi
dan rehabilitasi lahan pertanian.. Hal ini penting dilakukan guna mengantisipasi
kebutuhan pangan khususnya beras yang terus meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk dan penciutan lahan sawah khususnya di Jawa
Barat.
Hasil analisis menunjukkan perubahan alih fungsi lahan sawah ke lahan
non sawah pada periode tahun 1995-2006 sebesar -225.292 hektar atau sebesar 1.82persen. Dengan demikian setiap tahun Jawa Barat mengalami mutasi lahan
sebesar

-18.774

hektar.

Sementara

produksi

padi

tahun

1995-2006

mengalamipenurunan akibat alih fungsi lahan pertanian sebesar -1,304,853 ton

16

atau sebesar -1.09 persen. Dengan demikian setiap tahun Jawa Barat mengalami
pengurangan produksi padi sebesar -108.738 ton.
Secara keseluruhan pada periode tahun 1995-2006 rata rata setiap
tahunmengalami produksi padi 9.936.649 ton dan produktivitas pertanian sebesar
5.03ton setiap tahun meskipun dipengaruhi oleh konversi lahan pertanian
sebesar18.774 hektar setiap tahun. Apabila pada tahun 1995-2006 tidak
mengalamikonversi lahan pertanian tentu akan mempengaruhi peningkatan
produksi padi di Jawa Barat sebesar 94.435 ton setiap tahun dengan demikian
tentu dengan adanya konversi lahan pertanian berpengaruh terhadap produksi padi
di Jawa Barat.
Apabila kondisi alih fungsi lahan pertanian tidak segera dilakukan
tindakanpencegahan dan produksi padi tidak dapat dipertahankan serta
ditingkatkanmelalui intensifikasi pertanian, sementara jumlah penduduk terus
meningkat makadiprediksi Jawa Barat akan mengalami krisis pangan khususnya
kebutuhan beraspada tahun 2021.
Permasalahan yang ditimbulkan oleh akibat pergeseran atau mutasi lahan
sawah ke non sawah perlu dilihat bukan saja berdasarkan dampaknya kepada
produksipadi saja, tetapi perlu dilihat dalam perspektif yang lebih luas. Dampak
yang lebih luas tersebut termasuk pengaruhnya terhadap kesetabilan politik yang
diakibatkan oleh kerawanan pangan, perubahan sosial yang merugikan,
menurunya kualitas lingkungan hidup terutama yang menyangkut sumbangan
fungsi lahan sawah kepada konservasi tanah dan air untuk menjamin kehidupan
masyarakat di masadepan. Dampak dari kehilangan lahan pertanian produktif
adalah kehilangan hasil pertanian secara permanen, sehingga apabila kondisi ini
tidak terkendali maka dipastikan kelangsungan dan peningkatan produksi akan
terus berkurang dan pada akhirnya akan mengancam kepada tidak stabilnya
ketahanan pangan di JawaBarat.
Untuk mengurangai alih fungsi lahan yang lebih luas pemerintah Jawa Barat Perlu
melakukan strategi dan kebijakan mengenai pengendalian konversi lahan sawah
karena permasalahannya sangat kompleks maka strategi pengendalian alih fungsi

17

lahan

pertanian

memerlukan

pendekatan

holistik

(memuat

instrumen

yuridis,instrumen insentif bagi pemilik lahan pertanian, dan instrumen rencana


tata ruang wilayah dan perizinan lokasi secara terpadu). Serta dalam rangka
menjagaketahanan pangan Jawa Barat khususnya untuk meningkatkan produksi
padi selain melakukan pengendalian alih fungsi lahan juga perlu dilakukan
intensifikasipertanian melalui penerapan teknologi pertanian tepat guna spesifik
lokasi danberwawasan lingkungan agar dapat meningkatkan budaya sains dan
teknologipertanian Jawa Barat.
Pengertian ketahanan pangan menurut PP No. 68 tahun 2002 adalah:
kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermindari tersedianya
pangan yang cukup jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dari
pengertian di atas nampak bahwa satuan / unit tujuan dari ketahanan pangan
adalah rumah tangga (termasuk individuindividu didalamnya). Tidak hanya
aspek jumlah yang perlu diperhatikan namun aspeklain seperti mutu pangan,
kontinyuitas ketersediaan dan keterjangkauannyajuga diperhatikan. Dilihat dari
sisi kualitas, kontinyuitas danketerjangkauannya (aspek harga) ini berarti bahwa
konsepsi ketahananpangan mengandung isi keadilan.Amanat yang terkandung
dalam pengertian tesebut adalah pangan yang baik harus tersedia secara
berkesinambungan hingga ke segenap lapisan masyarakat.
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem
ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Hasil akhir dari system tersebut adalah
stabilitas antara pasokan pangan, distribusi dan kemudahan akses masyarakat
terhadap pangan serta pemanfaatan pangan termasuk didalamnya pengaturan
menu dan distribusi pangan dalam keluarga.Indikator dari kebaikan sistem
ketahanan pangan tercermin dalam status gizi masyarakat dengan indikator utama
adalah status gizi anak balita.Indikator ini dipilih karena anakanak merupakan
kelompok masyarakat yang paling rentan dan paling cepat terkena dampak dari
buruknya sistem ketahananpangan di suatu daerah.
Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber,yaitu: (i) produksi
dalam negeri, (ii) impor pangan, (iii)pengelolaan cadangan pangan. Sumber utama
dari ketersediaan pangan harus berasal dari produksi lokal / dalam negeri.

18

Ketersediaan pangan yang berasal dari dalam negeri merupakan kunci suksesnya
sistem ketahanan pangan.Lahan yang luas dan jumlah penduduk yang besar serta
sebagian besar dari pendudukhidup dari sektor pertanian merupakan modal utama
yang harus selalu digali untuk menjadi sumber pasokan pangan nasional.
Dalam kondisi perekonomian nasional yang masih lemah seperti saat ini maka
kemampuan bangsa untuk memenuhi kebutuhanpangan dari produksi dalam
negeri menjadi indikator bagikelanjutan eksistensi bangsa dan martabat dimata
internasional.
Diperlukan kebijakan yang kondusif untukmendukung peningkatan
produksi pangan dalam negeri.Bantuan teknis produksi, akses permodalan yang
mudah dengan bungalunak bagi para petani kecil merupakan insentif produksi
yangsangat diharapkan.Perlindungan terhadap petani kecil daritingginya fluktuasi
harga beras musiman juga sangat diperlukan.
Harga gabah yang rendah pada musim panen harus segera dapat diatasi
dengan menciptakan mekanisme penyerapan gabah minimal pada harga dasar
yang berlaku. Penyediaan sarana produksiberkualitas (pupuk, benih, pestisida dan
alsintan (alat mesinpertanian ) di tingkat usahatani dengan harga terjangkau akan
memacu petani kecil untuk selalu berusaha meningkatkanproduktivitas usaha
taninya.
Impor merupakan pilihan terakhir dari system ketahanan pangan, sebagai
upaya sementara untuk mengatasi kesenjangan antara produksi musiman dan
permintaan dalam negeri.Impor mempunyai dampak buruk bagi kelangsungan
hidup petani kecil yang merupakan mayoritas dari petani Indonesia.
Cadangan pangan terdiri dari atas dua komponen,yaitu: cadangan pangan
yang dimiliki oleh pemerintah dan cadangan pangan yang dikelola oleh
masyarakat. Cadangan pangan yang dikelola oleh Pemerintah terdiri atas
cadangan pangan yang dikelola oleh Pemerintah Pusat, Propinsi dan
Kabupaten/Kota.
Cadangan pangan yang dikelola oleh masyarakat terdiri atas:cadangan
pangan di tingkat rumah tangga, pedagang dan industry serta distributor pangan.

19

Isu penting dalam pembangunan dewasa ini adalah pertanian berkelanjutan.


Pertanian berkelanjutan adalah suatu proses yang memanfaatkan sumberdaya
pertanian secara optimal untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan
masyarakat masa kini tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan kesejahteraan
generasi yang akan datang. Seiring dengan laju konversi lahan pertanian ke lahan
non pertanian,sumberdaya pertanian yang perlu mendapatkan prioritas adalah
lahan pertanian, terutama lahan pertanian pangan. Untuk mengendalikan konversi
lahan pertanian, melalui Undang Undang RI Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan

Lahan

Pertanian Pangan

Berkelanjutan, diharapkan dapat

mendorong ketersediaan lahan pertanian untuk menjaga kemandirian, ketahanan


dan kedaulatan pangan. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 bertujuan untuk:
1. melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;
2. menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;
3. mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan;
4. melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani;
5. meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat;
6. meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani;
7. meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak;
8. mempertahankan keseimbangan ekologis, dan
9. mewujudkan revitalisasi pertanian.
Mengingat kondisi lahan pertanian di Pulau Jawa adalah lahan yang subur
sangat disayangkan jika dikonversi untuk kegiatan non pertanian. Jika praktek
konversi lahan pertanian ini tidak dikendalikan maka akan mengganggu ketahanan
pangan. Dengan konversi lahan produksi pertanian akan berkurang dan untuk
memenuhi kebutuhan pokok kita harus memenuhinya dengan import.

B. Kajian Asas/Norma.
I.C. Van Der Vlies, membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang masuk kedalam asas formal
diantaranya :

dan asas materil

20

Asas-asas formal yang dimaksud Van der Vlies meliputi : 1) asas tujuan
yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling); 2) asas organ/lembaga yang tepat
(begisel van het juiste organ); 3) asas perlunya pengaturan (het noodzakeijkheids
beginsel); 4) asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid); dan 5)
asas consensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas material menurut Vlies meliputi : 1) asas terminology dan sistem
matika yang benar (het beginsel van duidelijke systematiek); 2) asas dapat dikenal
(het beginsel van de kenbaarheid); 3) asas perlakuan yang sama dalam hukum
(het

rechtsgelijkheidsbeginsel);

4)

asas

rechtszekerheidsbeginsel);5) asas perlakuan hukum

kepastian

hukum

(het

sesuai keadaan individual

(het beginsel van de individuele rechtbedeling).


Pandangan A Hamid S. Attamimi tentang asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia juga bersimpul pada dua asas penting, yang
relatip sama dengan konsepsi Van Der Vlies, asas formal dan asas material
diantaranya yang termasuk asas formal adalah : 1) asas tujuan yang jelas; 2) asas
perlunya pengaturan; 3) asas organ/lembaga yang tepat; 4) asas materi muatan
yang tepat; 5) asas dapatnya dilaksanakan; dan 6) asasnya dapatnya dikenali.
Sedangkan asas-asas material terdiri dari : 1) asas harus sesuai dengan ciri hukum
dan norma fundamental Negara; 2) asas harus sesuai dengan hukum dasar Negara;
3) asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasarkan atas hukum; dan
4) asas hukum sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem
konstitusi.
Hamid S. Attamimi, menyampaikan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan,

setidaknya

ada

beberapa

pegangan

yang

harus

dikembangkan guna memahami asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik (algemene beginselen van behorlijke regelgeving) secara
benar, meliputi :
Pertama, asas yang terkandung dalam Pancasila selaku asas-asas hukum
umum bagi peraturan perundang-undangan; Kedua, asas-asas Negara berdasar
atas hukum selaku asas-asas hukum umum bagi perundang-undangan; Ketiga,
asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi selaku asas-asas umum bagi

21

perundang-undangan, dan Keempat, asas-asas bagi perundang-undangan yang


dikembangkan oleh ahli.16
Berkenaan dengan hal tersebut pembentukan peraturan daerah yang baik
selain berpedoman pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik (beginselen van behoorlijke wetgeving), juga perlu dilandasi oleh asasasas hukum umum (algemene rechtsbeginselen), yang didalamnya terdiri dari asas
Negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat), pemerintahan berdasarkan sistem
konstitusi, dan Negara berdasarkan kedaulatan rakyat.
Sedangkan menurut Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam membentuk peraturan
perundang-undangan termasuk Perda, harus berdasarkan pada asas-asas
pembentukan yang baik yang sejalan dengan pendapat Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto17 meliputi :
a.

Asas Kejelasan Tujuan adalah bahwa setiap pembentukan Peraturan


Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai;

b.

Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap
jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat
pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan

16

17

Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik; Gagasan


Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, Hlm.
115
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtiar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai
Landasan Filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, 1985, Hlm. 47; memperkenalkan enam asas
undang-undang yaitu :
a. Undang-undang tidak berlaku surut;
b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi pula;
c. Undang-undang yang bersifat khuhus mengenyampingkan Undang-undang yang bersifat
umum;
d. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku
terdahulu;
e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat;
f. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui
pembaharuan dan pelestarian (Asas Welvaarstaat)

22

perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum,


apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang;
c.

Asas Kesesuaian antara jenis dan materi muatanadalah bahwa dalam


pembentukan

peraturan

perundang-undangan

harus

benar-benar

memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan


Perundang-undangannya;
d.

Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan


perundang-undangan

harus

perundang-undangan tersebut,

memperhitungkan

efektifitas

peraturan

baik secara filosofii, yuridis maupun

sosiologis.
1)

Aspek Filosofis adalah terkait dengan nilai-nilai etika dan moral yang
berlaku di masyarakat. Perda yang mempunyai tingkat kepekaan
yang tinggi dibentuk berdasarkan semua nilai-nilai yang baik yang
ada dalam masyarakat;

2)

Aspek Yuridis adalah terkait landasan hukum yang menjadi dasar


kewenangan pembuatan perda.

3)

Aspek Sosiologisadalah terkait dengan bagaimana

Perda yang

disusun tersebut dapat dipahami oleh masyarakat, sesuai dengan


kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan.
e.

Asas hasil guna dan daya guna adalah bahwa setiap peraturan perundangundangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

f.

Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundangundangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan. Sistematika dan pilihan kata atau terminology, serta
bahasa

hukumnya

jelas dan mudah dimengerti, sehingga

tidak

menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaanya.


g.

Asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan


perundang-undangan mulai

perencanaan, persiapan, penyusunan dan

pembahasan bersifat transparan. Dengan demikian seluruh lapisan


masyarakat

mempunyai

kesempatan

yang

seluas-luasnya

untuk

23

memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundangundangan;


h.

Asas materi muatan adalah materi muatan peraturan perundang-undangan


mrenurut UU No. 12 Tahun 2011 harus mengandung asas-asas sebagai
berikut :
1)

Asas kekeluargaan adalah mencerminkan musyawarah untuk


mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;

2)

Asas Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan


daerah senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang
dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila;

3)

Asas Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan peraturan


daerah harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang
menyangkut

masalah-masalah

sensitif

dalam

kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;


4)

Asas Keadilan adalah mencerminkan keadilan secara proporsional


bagi setiap warga Negara tanpa kecuali;

5)

Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah


bahwa setiap materi muatan peraturan daerah tidak boleh berisi halhal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara
lain, agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial;

6)

Asas

ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi

muatan peraturan daerah harus dapat menimbulkan ketertiban dalam


masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum;
7)

Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa


setiap materi muatan peraturan daerah harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan
individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan Negara;

24

8)

Asas pengayoman adalah memberikan perlindungan dalam rangka


menciptakan ketentraman masyarakat;

9)

Asas

Kemanusiaan

adalah

mencerminkan

perlindungan

dan

penghormatan hak-hak asasi manusia serta hakekat dan martabat


setiap warga Negara secara proporsional;
10) Asas

kemanusiaan

adalah

mencerminkan

perlindungan

dan

penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat


setiap warga Negara secara proporsional;
11) Asas Kebangsaan adalah mencerminkan sifat dan watak Bangsa
Indonesia yang pluralistik dengan tetap menjaga prinsip Negara
kesatuan RI.
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diselenggarakan
berdasarkan asas:
a. manfaat;
b. keberlanjutan dan konsisten;
c. keterpaduan
d. keterbukaan dan akuntabilitas;
e. kebersamaan dan gotong-royong;
f. partisipatif;
g. keadilan;
h. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
i. kelestarian lingkungan dan kearifan lokal;
j. desentralisasi;
k. tanggung jawab negara;
l. keragaman; dan
m. sosial dan budaya.
Manfaat adalah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang
diselenggarakan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi kini maupun generasi masa
depan.

25

Keberlanjutan dan konsisten adalah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan


Berkelanjutan

yang

fungsi,

pemanfaatan,

dan

produktivitas

lahannya

dipertahankan secara konsisten dan lestari untuk menjamin terwujudnya


kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional dengan memperhatikan
generasi masa kini dan masa mendatang.
Keberlanjutan dan konsisten adalah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan

yang

fungsi,

pemanfaatan,

dan

produktivitas

lahannya

dipertahankan secara konsisten dan lestari untuk menjamin terwujudnya


kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional dengan memperhatikan
generasi masa kini dan masa mendatang.
Keterpaduan adalah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
yang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang
bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.
Keterbukaan dan akuntabilitas adalah Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan yang diselenggarakan dengan memberikan akses yang
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan
dengan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Kebersamaan dan gotong-royong adalah Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan yang diselenggarakan secara bersama-sama baik antara
Pemerintah, pemerintah daerah, pemilik lahan, petani, kelompok tani, dan dunia
usaha untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Partisipatif adalah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
yang melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pembiayaan, dan pengawasan.
Keadilan adalah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa
terkecuali.
Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan adalah Perlindungan Lahan
Pertanian

Pangan

Berkelanjutan

yang

harus

mencerminkan

keserasian,

keselarasan, dan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat,


lingkungan, dan kepentingan bangsa dan negara serta kemampuan maksimum
daerah.

26

Kelestarian lingkungan dan kearifan lokal adalah Perlindungan Lahan


Pertanian Pangan

Berkelanjutan

yang harus

memperhatikan

kelestarian

lingkungan dan ekosistemnya serta karakteristik budaya dan daerahnya dalam


rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Desentralisasi
Berkelanjutan

yang

adalah

Perlindungan

diselenggarakan

di

Lahan

daerah

Pertanian

dengan

Pangan

memperhatikan

kemampuan maksimum daerah.


Tanggung jawab negara adalah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan yang dimiliki negara karena peran yang kuat dan tanggung
jawabnya terhadap keseluruhan aspek pengelolaan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.
Keragaman adalah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
yang memperhatikan keanekaragaman pangan pokok, misalnya padi, jagung,
sagu, dan ubi kayu.
Sosial dan budaya adalah Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan yang memperhatikan fungsi sosial lahan dan pemanfaatan lahan
sesuai budaya yang bersifat spesifik lokasi dan kearifan lokal misalnya jagung
sebagai makanan pokok penduduk Pulau Madura dan sagu sebagai makanan
pokok penduduk Kepulauan Maluku.

C. Kajian Terhadap Penyelenggaraan.


Ditinjau

dari

aspek

pertanahan,

pengembangan

sektor

pertanian

dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain:


1. Terbatasnya sumber daya tanah yang cocok untuk kegiatan pertanian.
2. Sempitnya tanah pertanian per kapita penduduk Indonesia.
3. Makin banyaknya jumlah kepala keluarga petani gurem.
4. Cepatnya konversi tanah pertanian menjadi non pertanian.
Tingginya

konversi

tanah

pertanian

menjadi

mempengaruhi berbagai aspek kehidupan sebagai berikut:

non

pertanian

dapat

27

1. Menurunnya produksi pangan yang menyebabkan terancamnya ketahanan


pangan.
2. Hilangnya mata pencaharian petani yang menimbulkan pengangguran dan
pada akhirnya memicu masalah social.
3. Hilangnya investasi infrastruktur pertanian (irigasi) yang menelan biaya
sangat tinggi.
Faktor-faktor yang menyebabkan cepatnya konversi lahan pertanian
menjadi non pertanian antara lain:
1. Faktor kependudukan; pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah
meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industry dan
fasilitas umum lainnya.
2. Kebutuhan tanah untuk kegiatan non pertanian antara lain pembangunan
real estate, kawasan industry, kawasan perdagangan dan jasa-jasa lainnya
yang memrlukan tanah yang luas, sebagian diantaranya berasal dari lahan
pertanian termasuk sawah.
3. Faktor ekonomi, yaitu tingginya tingkat keuntungan yang diperoleh sektot
non pertanian dan rendahnya land rent dari sector pertanian itu sendiri.
4. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang
menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian sehingga tidak memenuhi
skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
5. Degradasi lingkungan, antara lain kemarau panjang yang menimbulkan
kekurangan air untuk pertanian terutama sawah, penggunaan pupuk dan
pestisida secara berlebihan yang berdampak pada meningkanya serangan
hama tertentu akibat musnahnya predator alami dari hama yang
bersangkutan serta meracuni air irigasi, rusaknya lingkungan sawah sekitar
pantai mengakibatkan terjadinya intrusi air laut ke daratan yang berpotensi
meracuni tanaman padi.18

18

Iwan isa, Kebijakan dan Permasalahan Penyediaan Tanah Mendukung Ketahanan Pangan,
diunduh tanggal 7 Juli 2014, pukul 08.00 WIB, hlm 84-85.

28

Kebijakan bidang pertanahan dalam rangka pengendalian konversi tanah


pertanian adalah terintegrasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Dalam rangka perlindungan dan pengendalian tanah pertanian secara
menyeluruh dapat ditempuh melalui tiga strategi yaitu:
1. Memperkecil peluang terjadinya konversi,
2. Mengendalikan kegiatan konversi tanah,
3. Mengembangkan instrument pengendalian konversi tanah.
Sehubungan dengan itu, kebijakan prioritas yang diusulkan oleh BPN-RI
dalam rangka pengendalian konversi tanah pertanian adalah sebagai berikut:
1. Menyusun peraturan perundang-undangan tentang ketentuan perlindungan
tanah pertanian produktif, baik dalam bentuk Perpres, PP maupun UU.
2. Menetapkan zonasi (lokasi) tanah-tanah pertanian yang dilindungi,
misalnya sawah perlindungan abadi, sawah konversi terbatas dan sawah
konversi dalam bentuk Keppres.
3. Menetapkan bentuk insentif dan disinsentif terhadap pemilik tanah dan
Pemda setempat.
4. Mengintegrasikan ketiga ketentuan tersebut dalam RTRW Nasional,
provinsi dan kabupaten/Kota.
5. Membentuk komisi pengendali tanah sawah baik di tingkat nasional,
provinsi maupun kabupaten/kota dengan keputusan kepala daerah yang
bersangkutan.19

D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru.


Konversi lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non
pertanian

sebenarnya

bukan

masalah

baru.

Pertumbuhan

penduduk

danpertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik


berupa jalan, bangunan industri dan pemukiman, hal ini tentu saja harus didukung
denganketersediaan lahan. konversi lahan pertanian dilakukan secara langsung
19

Ibid, hlm 86

29

olehpetani pemilik lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang
sebelumnyadiawali dengan transaksi jual beli lahan pertanian. Faktor-faktor
yangmempengaruhi

pemilik

lahan

mengkonversi

lahan

atau

menjual

lahanpertaniannya adalah harga lahan, proporsi pendapatan, luas lahan,


produktivitaslahan, status lahan dan kebijakan-kebijakan oleh pemerintah.
Kawasan

perkotaan

dapat

diartikan

sebagai

kawasan

yang

mempunyaikegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan


sebagai tempatpermukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan,pelayanan sosial. Dalam rencana tata ruang kawasan perkotaan
sendiri, diaturalokasi pemanfaatan ruang untuk berbagai penggunaan (perumahan,
perkantoran,perdagangan, ruang terbuka hijau, industri, sempadan sungai, dsb)
berdasarkanprinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, keserasian, keterbukaan
(transparansi)dan efisiensi, agar tercipta kualitas permukiman yang layak huni
danberkelanjutan. Rencana tata

ruang merupakan landasan pengelolaan

pembangunankawasan perkotaan atau ekonomi.


Undang-Undang No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan dalam pelaksanaannya memiliki beberapa peraturan
pendukung. Peraturan yang mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41
tahun 2009, adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih
Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2012 tentang Sistem Informasi
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan
pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten

30

guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan


pangan nasional. Sedangkan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan
sendiri diartikan sebagai sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan,
mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan dan mengawasi
lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan.
Menurut Rustiadi dan Reti, tersedianya sumberdaya lahan pertanian
pangan yang berkelanjutan merupakan syarat untuk ketahanan pangan nasional.
Ketersedian lahan pertanian pangan berkaitan erat dengan beberapa hal, yaitu : 1)
Potensi sumberdaya lahan pertanian pangan, 2) Produktivitas lahan, 3)
Fragmentasi lahan pertanian, 4) Skala luasan penguasaan lahan pertanian, 5)
Sistem irigasi, 6) land rent lahan pertanian, 7) Konversi, 8) Pendapatan petani, 9)
Kapasitas SDM pertanian serta 10) kebijakan di bidang pertanian.20
Dalam rangka pengendalian alih fungsi lahan pertanian pangan,
pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dalam UU Nomor 41
Tahun 2009 tersebut dengan jelas disebutkan bahwa Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LP2B) adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk
dilindungi dan dikembangkan secara konsistem guna menghasilkan pangan pokok
bagi kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. LP2B dapat berupa
lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut (lebak)
dan/atau lahan tidak beririgasi (lahan kering).
Untuk menjamin kecukupan pemenuhan akan bahan pangan, maka dalam
perencanaan penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan didasarkan kepada
: 1) pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk; 2)
pertumbuhan produktivitas; 3) kebutuhan pangan nasional; 4) kebutuhan dan
ketersediaan lahan pertanian pangan; 5) pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta 6) musyawarah petani. Penyusunan perencanaan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat nasional,
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Perencanaan Lahan Pertanian Pangan
20

Rustiadi dan W. Reti, Urgensi Lahan Pertanian Pangan Abadi dalam Perspektif Ketahanan
Pangan, dalam Arsyad s dan E. Rustiadi (ed), Penyelamatan tanah, air dan lingkungan,
Crestpent Press dan yayasan Obor Indonesia hlm 61-86.

31

Berkelanjutan

Nasional

menjadi

acuan

perencanaan

Lahan

Pertanian

Berkelanjutan provinsi dan kabupaten/kota. Perencanaan LP2B diawali dengan


penyusunan usulan perencanan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan
pemerintah daerah kabupaten/kota yang dilakukan berdasarkan hasil inventarisasi,
identifikasi dan penelitian. Usulan selanjutnya disebarkan kepada masyarakat
untuk memperoleh tanggapan dan saran perbaikan.

32

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Sistem norma hukum Indonesia pernah mengalami evolusi hierarki
Peraturan Perundang-undangan, saat ini yang menjadi acuan hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia adalah UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khusus untuk Peraturan Daerah
maka ditambah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 53 Tahun 2011
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Sebelumnya UU No. 12 Tahun 2011, yang disahkan oleh DPR RI dan
Presiden RI pada tanggal 12 Agustus 2011, sebagai pedoman pembentukan
peraturan perundang-undangan, acuan hierarki peraturan perundang-undangan di
Negara ini di tuangkan dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. UU No. 12 Tahun 2011 merupakan pengganti
dari UU No. 10 Tahun 2004. Sebelum diatur dalam bentuk UU, hierarki
perundang-undangan mengacu kepada dua Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPR/MPRS).
TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai
sumber tertib hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan RI, TAP
MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundangundangan.
Apabila kita merujuk kepada teori jenjang norma dari Hans Kelsen dan
teori jenjang norma hukum dari Hans Nowiasky maka kita bisa melihat adanya
pencerminan dari dua sistem norma tersebut dalam sistem norma hukum
(jednis/hierarki Peraturan Perundang-undangan) di Indonesia.
Norma hukum yang satu selalu berlaku, bersumber, dan berdasarkan pada
norma hukum yang lebih tinggi diatasnya, dan norma hukum yang lebih tinggi
juga selalu merujuk pada norma hukum yang lebih tinggi lagi sehingga lahir gium
yang mengatakan Lex superior derogate legis inferiori yang dapat diartikan
hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih

33

tinggi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma fundamental negara


(staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia yaitu Pancasila.
Asasnya adalah peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya
lebih tinggi. Sistem norma hukum Indonesia khususnya dalam pembuatan
rancangan peraturan daerah menggaris bawahi bahwa Pancasila merupakan norma
hukum tertinggi atau sumber dari segala sumber hukum Negara. Jenjang dibawah
Pancasila sekaligus menempati puncak hierarki Peraturan perundang-undangan di
Indonesia adalah UUD 1945 sebagai aturan dasar Negara/ aturan pokok Negara
(staatsgrundgesetz).
Untuk memberikan jaminan hukum, penetapan Rencana Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan (LP2B) dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana
Tahunan, baik nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. Disamping itu pada UU
Nomor 41 Tahun 2009 Pasal 23 dengan tegas disebutkan bahwa penetapan
Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nasional diatur dalam Peraturan
Pemerintah mengenani Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan untuk di
Tingkat Provinsi diatur dalam Perda mengenai tata ruang wilayah provinsi serta di
kabupaten/kota diatur dalam Perda tata ruang wilayah kabupaten/kota. Demikian
juga halnya apabila suatu Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan tertentu
memerlukan perlindungan khusus, kawasan tersebut dapat ditetapkan sebagai
Kawasan Strategis Nasional (KSN). Ketentuan lebih detail tentang Penetapan dan
Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diatur dalam Peraturan
Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2011.
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2009 juga dinyatakan bahwa dalam suatu hal,
suatu daerah/kawasan ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
maka pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
konservasi tanah dan air yang meliputi : 1) perlindungan sumber daya lahan dan
air; 2) pelestarian sumber daya lahan dan air; 3) pengelolaan kualitas lahan dan air
serta 4) pengendalian terhadap pencemaran. Hal ini dilakukan guna memberikan
jaminan bahwa LP2B yang telah ditetapkan, tetap produktif dan mampu

34

memberikan dukungan dalam proses produksi pangan dalam jangka panjang dan
berkelanjutan.
Menyadari atas keberadaan hak miliki masyarakat, terhadap lahan
masyarakat yang ditetapkan sebagai LP2B dan memperhitungkan nilai ekonomi
lahan serta hasil yang diperoleh dari pengusahaan lahan tersebut oleh pemilik
lahan, maka dalam rangka perlindungan dan pengendalian LP2B dilakukan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah melalui pemberian : insentif, disinsentif,
mekanisme perizinan, proteksi dan penyuluhan. Insentif dapat diberikan dalam
bentuk : 1) keringanan PBB; 2) pengembangan infrastruktur pertanian; 3)
pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul; 4)
kemudahan dalam mengkases informasi dan teknologi; 5) penyediaan sarana dan
prasarana produksi pertanian; 6) jaminan penerbitan sertifikat bidang tanah
pertanian tanaman pangan serta 7) penghargaan bagi petani berprestasi tinggi.
Pemberian insentif diberikan dengan mempertimbangkan : jenis lahan, kesuburan
tanah, luas,kondisi irigasi, produktivitas usahatani, lokasi, dll. Pemberian insentif
perlindungan LP2B lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 12
Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan.
Pemberian insentif perlindungan LP2B bertujuan untuk : 1) mendorong
perwujudan LP2B yang telah ditetapkan; 2) meningkatkan upaya pengendalian
alih fungsi LP2B; 3) meningkatkan pemberdayaan, pendapatan dan kesejahteraan
petani; 4) memberikan kepastian hak atas tanah bagi petani dan 5) meningkatkan
kemitraan

semua

pemangku

kepentingan

dalam

rangka

pemanfaatan,

pengembangan dan perlindungan LP2B. Pembiayaan perlindungan LP2B


dibebankan pada APBN, APBD Provinsi serta APBD Kabupaten/Kota.Ketentuan
lebih lanjut tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 30 Tahun 2012.

35

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis.
Dasar filosofis berkaitan dengan rechtsidee dimana semua masyarakat
mempunyainya, yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum, misalnya untuk
menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya. Cita hukum atau
rechtsidee tersebut tumbuh dari sistem nilai mereka mengenai baik atau buruk,
pandangan terhadap hubungan individu dan kemasyarakatan, tentang kebendaan,
kedudukan wanita dan sebagainya.
Semuanya itu bersifat filosofis artinya menyangkut pandangan mengenai
hakikat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut baik
sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada
yang dibiarkan dalam masyarakat sehingga setiap pembentukan hukum atau
peraturan perundang-undangan harus dapat menangkapnya setiap kali akan
membentuk hukum atau peraturan perundang-undangan. Akan tetapi adakalanya
sistem nilai tersebut telah terangkum dengan baik berupa teori-teori filsafat
maupun dalam doktrin-doktrin resmi (Pancasila).
Dalam tataran filsafat hukum, pemahaman mengani pemberlakuan moral
bangsa ke dalam hukum (termasuk peraturan perundang-undangan dan Perda) ini
dimasukan dalam pengertian yang disebut dengan rechtsidee yaitu apa yang
diharapkan dari hukum, misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban,
kesejahteraan dan sebagainya yang tumbuh dari sistem nilai masyarakat (bangsa)
mengenai baik dan buruk, pandangan mengenai hubungan individu dan
masyarakat, tentang kebendaan, tentang kedudukan wanita, tentang dunia gaib
dan lain sebagainya.21
Berdasarkan pada pemahaman seperti ini, maka bagi pembentukan/
pembuatan hukum atau peraturan perundang-undangan di Indonesia harus
berlandaskan pandangan filosofis Pancasila, yakni :
21

Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju,
Bandung, 1995, Hlm. 20

36

a.

Nilai-nilai religiusitas bangsa Indonesia yang terangkum dalam sila


Ketuhanan Yang Maha Esa;

b.

Nilai-nilai hak-hak asasi manusia dan penghormatan terhadap harkat dan


martabat kemanusiaan sebagaimana terdapat dalam sila kemanusiaan yang
adil dan beradab;

c.

Nilai-nilai kepentingan bangsa secara utuh, dan kesatuan hukum nasional


seperti yang terdapat di dalam sila Persatuan Indonesia;

d.

Nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat, sebagaimana terdapat di


dalam Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan; dan

e.

Nilai-nilai keadilan baik individu maupun sosial seperti yang tercantum


dalam sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima dasar filosofis tersebut harus tersurat maupun tersirat tertuang

dalam suatu peraturan daerah bahkan alasan atau latar belakang terbentuknya
suatu peraturan daerah harus bersumber dari kelima nilai filosofi tersebut.
Seperti telah banyak disinggung dalam pembukaan di atas bahwa landasan
filsafat dalam suatu Negara yang menganut paham Negara Hukum Kesejahteraan,
fungsi dan tugas negara tidak semata-mata hanya mempertahankan dan
melaksanakan

hukum

seoptimal

mungkin

guna

terwujudnya

kehidupan

masyarakat yang tertib dan aman, melainkan yang terpenting adalah bagaimana
dengan landasan hukum tersebut kesejahteraan umum dari seluruh lapisan
masyarakatnya (warga negara) dapat tercapai.
Pemahaman di atas merupakan implementasi dari negara hukum
kesejahteraan, yang oleh beberapa sarjana sering disebut dengan berbagai macam
istilah misalnya negara hukum modern, negara hukum materiil, negara
kesejahteraan. Dan

tugas yang terpenting dari suatu Negara yang menganut

hukum kesejahteraan mencakup dimensi yang luas yakni mengutamakan


kepentingan seluruh warga negaranya, sudah sewajarnya bila dalam melaksanakan
tugasnya tidak jarang bahkan pada umumnya pemerintah atau Negara turut

37

campur secara aktif dalam berbagai aspek kehidupan warga negaranya, hal ini
sejalan dengan pendapat Sudargo Gautama. 22
Di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dijelaskan
bahwa dalam membentuk Peraturan perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik,
yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Selanjutnya

materi

muatan

Peraturan

Perundang-undangan

harus

mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
22

Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni Bandung, 1983, Hlm. 10;
Negara hukum modern dianggap mempunyai kewajiban yang lebih luas, Negara yang
modern harus mengutamakan kepentingan seluruh masyarakatnya. Kemakmuran dan
keamanan sosial yang harus dicapai. Berdasarkan tugas pemerintah ini, penguasa zaman
sekarang turut serta dengan aktif dalam mengatur pergaulan hidup khalayak ramai.
Lapangan kerja penguasa pada waktu ini jauh lebih besar dan luas dari pada pemerintah
model kuno. Dalam tindakan-tindakan pemerintah dewasa ini yang menjadi tujuan utama
ialah kepentingan umum.

38

Secara filosofis, Lahan pertanian pangan merupakan bagian dari bumi


sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa yang dikuasasi oleh Negara dan
dipegunakan untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Indonesia sebagai Negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan
pertanian pagan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghiduan
yang layak bagi kemanusiaan dengan mengendepankan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan kemandirian
serta menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

B. Landasan Sosiologis.
Dasar sosiologis dari peraturan daerah adalah kenyataan yang hidup dalam
masyarakat (living law) harus termasuk pula kecenderungan-kecenderungan dan
harapan-harapan masyarakat. Tanpa memasukan faktor-faktor kecenderungan dan
harapan, maka peraturan perundang-undangan hanya sekedar merekam seketika
(moment opname). Keadaan seperti ini akan menyebabkan kelumpuhan peranan
hukum. Hukum akan tertinggal dari dinamika masyarakat. Bahkan peraturan
perundang-undangan akan menjadi konservatif karena seolah-olah pengukuhan
kenyataan yang ada. Hal ini bertentangan dengan sisi lain dari peraturan
perundang-undangan yang diharapkan mengarahkan perkembangan masyarakat.
Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh Negara dengan harapan
dapat diterima dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat secara sadar tanpa kecuali.
Harapan seperti ini menimbulkan konsekuensi bahwa setiap peraturan perundangundangan harus memperhatikan secara lebih seksama setiap gejala sosial
masyarakat yang berkembang. Dalam hal ini Eugene Ehrlich mengemukakan
gagasan yang sangat rasional, bahwa terdapat perbedaan antara hukum positif di
satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) di pihak lain.
Oleh karena itu hukum posistif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila
berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.23
23

Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Apakah Hukum itu, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, Hlm. 4950

39

Berpangkal tolak dari pemikiran tersebut, maka peraturan perundangundangan sebagai hukum positif akan mempunyai daya berlaku jika dirumuskan
ataupun disusun bersumber pada living law

tersebut. Dalam kondisi yang

demikian maka peraturan perundang-undangan tidak mungkin dilepaskan dari


gejala sosial yang ada di dalam masyarakat tadi.
Sehubungan dengan hal

itu,

Soerjono Soekanto dan

Purnadi

Purbacaraka mengemukakan landasan teoritis sebagai dasar sosiologis


berlakunya suatu kaidah hukum termasuk peraturan daerah yaitu :
a.

Teori kekuasaan (Machttbeorie), secara sosiologis kaidah hukum berlaku


karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh
masyarakat;

b.

Teori

pengakuan

(Annerkennungstbeorie),

kaidah

hukum

berlaku

berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.24


Berdasarkan landasan teoritis tersebut, maka pemberlakuan suatu
peraturan daerah ditinjau dari aspek sosiologis, tentunya sangat ideal jika
didasarkan pada penerimaan masyarakat pada tempat peraturan daerah itu berlaku,
dan tidak didasarkan pada faktor teori kekuasaan yang menekankan pada aspek
pemaksaan dari penguasa. Kendatipun demikian, teori kekuasaan memang tetap
dibutuhkan bagi penerapan suatu peraturan daerah. Penerapan teori kekuasaan ini
dilakukan sepanjang budaya hukum masyarakat memang masih sangat rendah.
Terkait dengan dua landasan teoritis yang menyangkut landasan sosiologis
bagi suatu peraturan daerah, Moh. Mahfud MD, mengemukakan karakter produk
hukum yang menjadi pilihan diantaranya :
a.

Produk hukum responsive/ populis adalah produk hukum yang


mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat dalam
proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh
kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Hasilnya
bersifat responsive terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau
individu dalam masyarakat;

24

Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hil Co, Jakarta, 1992, Hlm. 16

40

b.

Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang


isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan
keinginan pemerintah, bersifat positivis instrumentalis, yakni menjadi alat
pelaksana idiologi dan program Negara. Sifatnya lebih tertutup terhadap
tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat.
Dalam pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.25
Pandangan seperti ini sangat relevan jika diletakan dalam konteks

peraturan daerah sebagai salah satu dari produk hukum seperti peraturan daerah.
Dalam argumen lain Allen mengemukakan bahwa ciri demokratis masyarakatmasyarakat dunia sekarang ini memberikan capnya sendiri tentang cara-cara
peraturan daerah itu diciptakan, yaitu yang menghendaki unsur-unsur sosial
kedalam peraturan perundang-undangan juga peraturan daerah.26
Oleh karena yang disebut sebagai unsur-unsur sosial adalah bersifat
multidimensional dan multisektoral maka tidak dapat disangkal jika proses
pembuatan suatu peraturan daerah dapat juga disebut sebagai proses pembuatan
pilihan-pilihan hukum dari berbagai sektor dan dimensi sosial yang akan
dipergunakan sebagai kaidah yang mengikat dan bersifat umum. Demikian halnya
dengan rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur tentang Pelestarian Lahan
untuk Ketahanan pangan.
Dasar sosiologis dibuatnya peraturan daerah tentang pelestarian lahan
untuk ketahanan pangan adalah bahwa Negara menjamin hak atas pangan sebagai
hak asasi setiap warga Negara sehingga Negara berkewajiban menamin
kemandirian,

ketahanan

dan

kedaulatan

pangan.

Makin

meningkatnya

pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industry mengakibatkan


terjadinya alih fungsi lahan pertanian.
Produksi pangan dalam negeri menjadi unsur utama dalam memperkuat
ketahanan pangan dan pembangunan pedesaan. Upaya kearah itu menjadi strategis
di masa dating. Dalam konteks prtanahan upaya peningkatan produksi tersebut

25
26

Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3S, Jakarta, 1998, Hlm. 25
Ibid, Hlm. 115-116

41

dapat ditempuh melalui dua hal yaitu, jaminan ketersediaan tanah pertanian dan
peningkatan akses masyarakat petani terhadap tanah pertanian.
Ketersediaan akses terhadap tanah hingga kini masih merupakan isu
penting di Indonesia, yang dicirikan dengan terjadinya ketimpangan dalam alokasi
penguasaan, penggnaan dan pemanfaatan tanah antar sector khususnya antara
sector pertanian dan non pertanian, yang berdampak kepada penyusutan tanah
pertanian terutama tanah pertanian tanaman pangan. Ha ini secara langsung
merupakan ancaman terhadap ketahanan pangan yang berdampak kepada
goncangan politk di masa mendatang.27
Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan upaya yang tidak
terpisahkan dari reforma agraria. Reforma agraria tersebut mencakup upaya
penataan yang terkait dengan aspek penguasaan/pemilikan serta aspek
penggunaan/ pemanfaatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR-RI/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

C. Landasan Yuridis.
Pembentukan peraturan perundang-undangan, haruslah mengacu pada
landasan pembentukan peraturan perundang-undangan atau ilmu perundangundangan (gesetzgebungslehre),28 yang diantaranya landasan yuridis. Setiap
produk hukum, haruslah mempunyai dasar berlaku secara yuridis (juridische
gelding). Dasar yuridis ini sangat penting dalam pembuatan peraturan perundangundangan khususnya peraturan daerah.
Peraturan daerah merupakan salah satu unsur produk hukum, maka
prinsip-prinsip
27

28

pembentukan,

pemberlakuan

dan

penegakannya

harus

Iwan isa, Kebijakan dan Permasalahan Penyediaan Tanah Mendukung Ketahanan Pangan,
diunduh tanggal 7 Juli 2014, pukul 08.00 WIB, hlm 82.
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun & Merancang
Peraturan Daerah; Suatu Kajian Teoritis & Praktis Disertai Manual; Konsepsi Teoritis Menuju
Artikulasi Empiris, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, Hlm. 23; Krems,
mengatakan gesetzgebungslehre mempunyai tiga sub bagian disiplin, yakni proses
perundang-undangan gesetzgebungsverfahren (slehre); metode perundang-undangan
gesetzgebungsmethode (nlehre); dan teknik perundang-undangan gesetzgebungstechnik
(lehre).

42

mengandung nilai-nilai hukum pada umumnya. Berbeda dengan nilai-nilai sosial


lainnya, sifat kodratinya dari nilai hukum adalah mengikat secara umum dan ada
pertanggungjawaban konkrit yang berupa sanksi duniawi ketika nilai hukum
tersebut dilanggar.
Oleh karena itu peraturan daerah merupakan salah satu produk hukum,
maka agar dapat mengikat secara umum dan memiliki efektivitas dalam hal
pengenaan sanksi maka dapat disesuaikan dengan pendapat Lawrence M.
Friedman,29 mengatakan bahwa sanksi adalah cara-cara menerapkan suatu norma
atau peraturan. Sanksi hukum adalah sanksi-sanksi yang digariskan atau di
otorisasi oleh hukum. Setiap peraturan hukum mengandung atau mengisyaratkan
sebuah statemen mengenai konsekuensi-konsekuensi hukum, konsekuensikonsekuensi ini adalah sanksi-sanksi, janji-janji atau ancaman.
Dalam pembentukan peraturan daerah

sesuai pendapat Bagir Manan

harus memperhatikan beberapa persyaratan yuridis. Persyaratan seperti inilah


yang dapat dipergunakan sebagai landasan yuridis, yang dimaksud disini adalah :
a.

Dibuat atau dibentuk oleh organ yang berwenang, artinya suatu peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh pejabat atau badan yang
mempunyai kewenangan untuk itu. Dengan konsekuensi apabila tidak
diindahkan persyaratan ini maka konsekuensinya undang-undang tersebut
batal demi hukum (van rechtswegenietig);

b.

Adanya kesesuaian bentuk/ jenis Peraturan perundang-undangan dengan


materi muatan yang akan diatur, artinya ketidaksesuaian bentuk/ jenis
dapat menjadi alasan untuk membatalkan peraturan perundang-undangan
yang dimaksud;

29

Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Persfektif Ilmu Sosial, The Legal System; A Social
Science Perspective, Nursamedia, Bandung, 2009, Hlm. 93-95; efek pencegah atau efek
insentif dari sanksi pertama-tama berarti pencegahan umum, yakni kecenderungan bahwa
populasi atau sebagian populasi yang mendengar tentang sanksi atau melihat beroperasinya
sanksi akan memodifikasi prilakunya sesuai hal itu.

43

c.

Adanya prosedur dan tata cara pembentukan yang telah ditentukan adalah
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus melalui prosedur
dan tata cara yang telah ditentukan;30

d.

Tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang


lebih tinggi tingkatannnya adalah sesuai dengan pandangan stufenbau
theory, peraturan perundang-undangan mengandung norma-norma hukum
yang sifatnya hirarkhis. Artinya suatu Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya merupakan grundnorm (norma dasar) bagi
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.31
Peraturan daerah tentang pelestarian lahan untuk ketahanan pangan

mempunyai keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu:


1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria;
2. Undang-Undang Nomor 56 Prp tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian;
3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman;
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional;
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
9. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan.
10. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
11. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Pembiayaan
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
30

31

Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 dan lihat pula Pasal 136 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Bagir Manan, Op Cit, Hlm. 14-15

44

Aspek penguasaan/pemilikan berkaitan dengan hubungan hukum antara


manusia dan lahan, sedangkan aspek penggunaan/pemanfaatan terkait dengan
kegiatan pengambilan manfaat atau nilai tambah atas sumber daya lahan.
Ketentuan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dimaksudkan agar
bidang-bidang lahan tertentu hanya boleh digunakan untuk aktifitas pertanian
pangan yang sesuai. Untuk mengimplementasikannya, diperlukan pengaturanpengaturan

terkait

dengan

penguasaan/pemililikan

lahannya

agar

penguasaan/pemilikan lahan terdistribusikan secara efisien dan berkeadilan. Pada


saat yang sama diharapkan luas lahan yang diusahakan petani dapat meningkat
secara memadai sehingga dapat menjamin kesejahteraan keluarga petani serta
tercapainya produksi pangan yang mencukupi kebutuhan.

45

BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERDA

A. Ketentuan Umum.
Dalam rancangan Peraturan daerah tentang pelestarian lahan untuk
ketahanan pangan di Kabupaten Cianjur, ada beberapa istilah yang perlu
dicantumkan yaitu:
1. Daerah adalah Kabupaten Cianjur.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah Kabupaten Cianjur.
3. Bupati adalah Bupati Cianjur.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cianjur.
5. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris daerah Cianjur.
6. Bagian Hukum adalah Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten
Cianjur.
7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD
adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh Pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan
dengan peraturan daerah.
8. Organisasi Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat OPD adalah
sekretariat daerah, dinas, badan, kantor, kecamatan dan kelurahan di
lingkungan Pemerintah Daerah.
9. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah
penyidik pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten
Cianjur.
10. Dinas adalah Dinas yang bertanggung jawab di bidang pertanian,
ketahanan pangan.
11. Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai lingkungan
fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi

46

penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang


terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia.
12. Lahan Pertanian adalah bidang lahan yang digunakan untuk usaha
pertanian.
13. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang
ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna
menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan
pangan nasional.
14. Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah perubahan
fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi bukan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara.
15. Setiap orang adalah Orang Perseorangan, Kelompok orang atau Korporasi,
baik yang berbentuk Badan Hukum maupun Bukan Badan Hukum.
16. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat RTRW adalah
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cianjur.
17. Kemandirian Pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri
yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin
pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup ditingkat rumah tangga, baik
dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang
didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan
keragaman lokal.
18. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
19. Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri
dapat menentukan kebijakan pangannya, yang menjamin hak atas pangan
bagi rakyatnya, serta memberikan hak bagi masyarakatnya untuk
menentukan sistem pertanian pangan yang sesuai dengan potensi sumber
daya lokal.

47

B. Materi Yang Akan Diatur


Adapun materi yang diatur dalam rancangan peraturan daerah Kabupaten
Cianjur tentang pelestarian lahan untuk ketahanan pangan adalah sebagai berikut:
Bab I. Ketentuan umum.
Di dalam ketentuan umum dijelaskan mengenai beberapa peristilahan yang
dimuat dalam raperda tentang pelestarian lahan untuk ketahanan pangan di
Kabupaten Cianjur .
Bab II. Landasan, Asas dan Tujuan.
Di dalam bab ini dijelaskan mengenai landasan pelestarian lahan untuk
ketahanan pangan, asas-asas dan tujuannya.
Bab III. Ruang Lingkup.
Di dalam bab ini dijelaskan ruang lingkup Pelestarian Lahan untuk
Ketahanan Pangan dilaksanakan secara terintegrasi.
Bab IV. Kewenangan.
Didalam bab ini dijelaskan mengenai kewenangan pemerintah Daerah
dalam hal menangani pelestarian lahan untuk ketahanan pangan.
Bab V. Pengendalian Alih Fungsi lahan.
Pengendalian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan secara
terkoordinasi antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah.
Bab VI. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Di dalam Bab VI dijelaskan mengenai perlindungan dan pemberdayaan
petani.
Bab VII. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
Dalam bab ini dijelaskan mengenai pembinaan, pengawasan dan
pengendalian.
Bab VIII. Pembiayaan
Pembiayaan dibebankan kepada APBD CIanjur.
Bab IX. Peran serta Masyarakat.
Dalam bab ini dijelaskan mengenai Masyarakat berperan serta dalam
pelestarian lahan untuk ketahanan Pangan.
Bab X. Penyidikan.

48

Penyidikan dilakukan oleh PPNS.


Bab XI. Ketentuan Penutup
Dijelaskan mengenai perintah pengundangan dalam Lembaran Daerah.

49

BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan.
Di dalam penyusunan naskah akademik Raperda Kabupaten Cianjur
tentang Pelestarian Tanah untuk ketahanan pangan ada beberapa hal yang dapat
disimpulkan yaitu:
1.

Latar belakang diperlukannya peraturan daerah tentang pelestarian lahan


untuk ketahanan pangan di Kabupaten Cianjur adalah usaha-usaha yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam memberikan perlindungan lahan
pertanian pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan
pangan menuju kemandirian pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan
petani dan masyarakat pada umumnya.

2.

Pengelolaan lahan untuk ketahanan

pangan yang dilaksanakan oleh

Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur selama ini belum sesuai dengan


peraturan perundang-undangan yang berlaku karena masih ada beberapa alih
fungsi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman yang diharuskan untuk
penggantian lahan yang sama belum terrealisasikan oleh Pemerintah Daerah
dan Pengusaha.
3.

Pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan


rancangan peraturan daerah tentang pelestarian lahan untuk ketahanan
pangan di Kabupaten Cianjur adalah Di Kabupaten Cianjur alih fungsi lahan
pertanian merupakan ancaman terhadap pencapaian ketahanan pangan
menuju kedaulatan pangan. Alih fungsi lahan mempunyai implikasi yang
serius terhadap produksi pangan, lingkungan fisik serta kesejahteraan
masyarakat pertanian dan perdesaan yang kehidupannya tergantung pada
lahannya. Alih fungsi lahan-lahan pertanian subur yang selama ini terjadi
kurang diimbangi dengan upaya-upaya secara terpadu dalam pengembangan
lahan pertanian melalui pencetakan lahan pertanian baru yang potensial.
Disamping itu alih fungsi lahan menyebabkan makin sempitnya luas

50

garapan yang berdampak kepada tidak terpenuhinya skala ekonomi


usahatani, sehingga berakibat kepada in-efisiensi dan pada akhirnya
menurunnya kesejahteraan petani. Kecilnya luas garapan petani juga
disebabkan oleh peningkatan jumlah rumah tangga petani yang tidak
sebanding dengan luas lahan yang diusahakan. Akibatnya jumlah petani
gurem dan buruh tani tanpa penguasaan/kepemilikan lahan terus bertambah
yang berakibat kepada sulitnya upaya peningkatan kesejahteraan petani dan
pengentasan kemiskinan di kawasan perdesaan. Secara yuridis penyediaaan
lahan untuk ketahanan pangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
dan peraturan perundang-undangan lainnya.
4.

Sasaran, ruang lingkup, jangkauan dan arah pengaturan pelestarian lahan


untuk ketahanan pangan di Kabupaten Cianjur kedepan adalah harus
memuat mengenai asas dan tujuan dari pelestarian lahan untuk ketahanan
pangan, kewenangan pemerintah daerah, pengendalian, pembinaan dan
pengawasan serta peran serta masyarakat dalam pelestarian lahan.

B. Saran.
1.

Diharapkan Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakan penyediaan tanah


untuk mendukung ketahanan pangan berpedoman terhadap asas-asas
ketahanan pangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.

Diharapkan dalam pengawasan terhadap penyediaan tanah yang mendukung


ketahanan pangan dilakukan secara berkesinambungan.

51

DAFTAR FUSTAKA

Buku-Buku :
A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Makalah pada
Pidato Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap di Fakultas
Hukum UI Jakarta, 25 April 1992
A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005
Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara
Hukum Demokrasi, Total Media, Yogyakarta, 2007
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Melalui
Pemilihan Umum, dalam Bagir Manan (Ed), Kedaulatan Rakyat,
Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Gaya Media Pratama,
Jakarta, 1996
-------------------Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan
Nasional, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 1994
-------------------Dasar-dasar

Perundang-undangan

Indonesia,

Ind-Hil

Co,

Jakarta, 1992
-------------------Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara,
Mandar Maju, Bandung, 1995
Brian Z. Tamahana, On the Rule of Law, History, Politics, Theory, Cambridge
University Press,2004
H. Rojidi Ranggawijaya, Pengatar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Mandar
Maju, Bandung, 1998
H.W.R. Wade, Administrative Law, Third Edition (Oxford: Clarendon Press,
1971)
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun &
Merancang Peraturan Daerah; Suatu Kajian Teoritis & Praktis

52

Disertai Manual; Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris,


Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010
J.J. Oostenbrink, Administratieve Sancties, Vuga Boekerij, s-Gravenhage, tt
Jilmy Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekretariat Jendral
dan Kepanitraan RI, Jakarta,2006
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Persfektif Ilmu Sosial, The Legal System;
A Social Science Perspective, Nursamedia, Bandung, 2009
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Apakah Hukum itu, Remaja Rosdakarya, Bandung,
1991
Mahendra Putra Kurnia dkk, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif
(urgensi, strategi, dan proses bagi pembentukan Perda yang baik),
Total Media, Yogyakarta, 2007
Miriam Budiarjdo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. XIII, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Mochtar

Kusumaatmadja,

Fungsi

dan

Perkembangan

Hukum

Dalam

Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976


Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3S, Jakarta, 1998
Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Studi Tentang Prinsip-prinsipnya
dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode
Negara Madinah dan Masa Kini, Cet. II, Prenada Media, Jakarta,
2003
N.E. Algra dan H.C.J.G. Jansen, Rechtsingang Een Orientasi in Het Recht, H.D.
Tjeenk Willink bv, Groningen, 1974
P.J.P. Tak, Rechtsvorming in Nederland, Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1991
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.

53

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,


Surabaya, 1987
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtiar Antinomi Aliran Filsafat
Sebagai Landasan Filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, 1985
Ridwan HR, Hukum Adminsitrasi Negara, UII Perss Yogyakarta, 2003
Rustiadi dan W. Reti, Urgensi Lahan Pertanian Pangan Abadi dalam Perspektif
Ketahanan Pangan, dalam Arsyad s dan E. Rustiadi (ed),
Penyelamatan tanah, air dan lingkungan, Crestpent Press dan
yayasan Obor Indonesia.
Sabiham, Manajemen Sumberdaya lahan dan usaha pertanian berkelanjutan,
dalam Arsyad dan E. Rustiadi (ed), Penyelamatan tanah, air dan
lingkungan, Crestpent Press dan yayasan Obor Indonesia,

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 1984


Sri Soemantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1971
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni Bandung, 1983
Sudikno Mertokusumo dalam Y. Sari Murti Widiyastuti, Ringkasan Disertasi
untuk Ujian Promosi Doktor Dari Dewan Penguji Sekolah
Pascasarjana UGM, 12 Desember 2007
Suko Wiyono, Otonomi Daerah Dalam Negara Hukum Indonesia, Pembentukan
Peraturan Daerah Partisipatif, Faza Media, Jakarta, 2006
Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik;
Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2009
B. Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Dasar 1945

54

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria;
Undang-Undang Nomor 56 Prp tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian;
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
Undang-Undang

Nomor

25

Tahun

2004

tentang

Sistem

Perencanaan

Pembangunan Nasional;
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Pembiayaan Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

C. Internert, jurnal, makalah.


Anita Widhy, Implementasi Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan di Kabupaten Magelang, Tesis, UNDIP, Semarang,
2012, hlm 3. Diunduh tanggal 30 Juni 2014, pukul 12.15 WIB.
Endro Pranoto, Potensi Wilayah Komoditas Pertanian Dalam Mendukung
Ketahanan Pangan Berbasis Agribisnis Kabupaten Banyumas,,
Tesis, UNDIP, Semarang, 2008.

55

Mukhtar Rosyid Haryono, Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengendalian


Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Kendal, Tesis, Undip,
Semarang, 2005.
Iwan isa, Kebijakan dan Permasalahan Penyediaan Tanah Mendukung
Ketahanan Pangan, 2014.
I Made Oka Parwata, Lahan Pertanian, internet, 2014.

Anda mungkin juga menyukai