Anda di halaman 1dari 14

KONSEP PSIKOLOGI BIMBINGAN DAN KONSELING

A. Tujuan Pembelajaran Psikologi Bimbingan dan Konseling


Proses mendidik dan membimbing peserta didik merupakan tanggung jawab
bersama dan membutuhkan kerjasama dari setiap komponen yang terlibat dalam
dunia pendidikan (peserta didik, tenaga kependidikan (akademik maupun non
akademik), orangtua, dan masyarakat). Para komponen yang terlibat dalam dunia
pendidikan diharapkan dapat memahami bahwa kesuksesan peserta didik bukan
hanya berdasarkan nilai ademik yang tinggi, tetapi mampu mengembangkan
potensi kecerdasan spritual dan emosional agar dapat menyesuaikan diri dengan
berbagai permasalahan realitas sosial.
Kesadaran akan pentingnya menangani permasalahan peserta didik
membutuhkan pemahaman pendidik mengenai psikologi bimbingan dan konseling
agar dapat : (1) Membantu peserta didik memahami potensi dan lingkungan, (2)
Mengantisipasi dan mencegah berbagai masalah agar tidak dialami oleh peserta
didik, (3) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif , (4) Membantu peserta
didik mengatasi masalah, (5) Membantu peserta didik menyalurkan minat, bakat,
dan keahliannya, (6) membantu pelaksana pendidikan untuk menyesuaikan
program pendidikan dengan latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan
kebutuhan peserta didik, (7) membantu peserta didik untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif, (8) Memperbaiki pola pikir
peserta didik agar berpikir rasional dan bertindak normatif, (9) memudahkan
peserta didik mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal, serta (10)
Memfasilitasi kondusifitas dan produktivitas peserta didik melalui program yang
menarik, rekreatif, dan sesuai minat peserta didik (Sudrajat, 2008).
Hal ini dapat difasilitasi dengan tersedianya pendidik yang ahli dalam bidang
psikologi bimbingan dan konseling atau konselor yang ideal yakni konselor yang
memiliki minat konsisten terhadap kemampuan peserta didik, memahami aspirasi
peserta didik, bersikap simpatik, ramah, humoris, sabar, objektif, tulus, bijaksana,
adil, dan toleran (Danim, 2010).
B. Bimbingan dan Konseling
1. Definisi bimbingan

a. Prayitno & Amti (2004): Bimbingan adalah proses pemberian bantuan


yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa
individu, baik anak hingga orang dewasa agar dapat mengembangkan
kemampuannya dan mandiri berdasarkan norma-norma yang berlaku.
b. Winkel (2005): Bimbingan merupakan pelayanan kepada individu agar
dapat memahami dirinya, menentukan pilihan, menetapkan tujuan
dengan tepat dan menyusun rencana yang realistis, sehingga dapat
menyesuaikan diri dalam lingkungannya.
c. Ahmadi (1991): Bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada
individu (peserta didik) mampu mengembangkan diri melalui potensinya
secara optimal dengan memahami diri, memahami lingkungan, mengatasi
hambatan guna menentukan rencana masa depan yang lebih baik.
d. Walgito (2004): Bimbingan adalah bantuan untuk individu atau
sekumpulan individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitankesulitan hidupnya, agar mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa bimbingan adalah
proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada
individu atau beberapa individu agar memahami diri sendiri, menghubungkan
pemahaman tentang dirinya dengan lingkungan, memilih, menentukan, dan
menyusun rencana sesuai konsep dirinya dan tuntutan lingkungan berdasarkan
norma-norma yang berlaku.
2. Definisi konseling
a. Prayitno & Amti (2004) : Konseling adalah proses pemberian bantuan
yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli
(konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah
(klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien.
b. Winkel (2005) : Konseling adalah serangkaian kegiatan paling pokok
dari bimbingan guna membantu konseli/klien secara tatap muka dengan
tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap
berbagai persoalan atau masalah khusus.
c. Jones (Mappiare, 1992): Konseling merupakan suatu hubungan
profesional antara seorang konselor terlatih dengan klien yang bersifat
individual atau lebih dari dua orang yang dirancang untuk membantu

klien memahami dan memperjelas pandangan terhadap ruang lingkup


hidupnya, sehingga dapat membuat pilihan yang bermakna bagi dirinya.
d. Tolbert (Prayitno & Amti, 2004): Konseling adalah hubungan pribadi
yang dilakukan secara tatap muka antara dua orang, dimana konselor
berusaha memahami dan menyediakan situasi belajar bagi konseli
untuk memahami diri sendiri, sehingga konseli belajar memecahkan
masalah dan menemukan kebutuhannya yang sekarang dan akan datang
melalui potensinya, demi kesejahteraan pribadi maupun masyarakat.
Dari pengertian konseling di atas dapat dipahami bahwa konseling adalah
usaha membantu konseli/klien secara tatap muka agar klien dapat bertanggung
jawab sendiri atau mengatasi berbagai persoalan atau masalah khusus.
Berdasarkan semua pendapat di atas dapat dirumuskan bahwa bimbingan
dan konseling adalah pelayanan bantuan yang dilakukan antara pendidik yang
menguasai psikologi bimbingan dan konseling (konselor) kepada peserta didik
(konseli), baik secara individu atau kelompok agar dapat mandiri dan
berkembang secara optimal berdasarkan norma-norma yang berlaku.
3.

Perbedaan Bimbingan dan Konseling


Bimbingan dan konseling merupakan satu bagian integral, namun kegiatan

bimbingan dan konseling memiliki sejumlah perbedaan (Danim, 2010), yakni:


No.
Kegiatan
a. Layanan
melanjutkan
studi

b.

c.

1)
2)
3)
4)

Fungsi/kegiatan bimbingan
Orientasi
Pendaftaran
Pilihan program
Familiarisasi dengan lokasi
di institusi pendidikan
(perpustakaan,
kafetaria,
dan lainnya)

Fungsi/kegiatan konseling
1) Pemahaman diri
2) Konseling individu
3) Memahami orang lain,
termasuk
guru
dan
dimensi kelembagaan
4) Konseling
kelompok
dalam bidang akademik,
sosial, dan karir pribadi
1) Seleksi program dan
rencana masa depan
2) Konseling
akademik
dalam berbagai bentuk
3) Stabilisasi hubungan antar
pribadi
4) Etika pemeriksaan

Layanan
1) Peningkatan belajar efektif
2) Penggunaan perpustakaan
proses
secara
intensif
dan
pembelajaran
pencarian bahan pustaka
3) Inovasi pembelajaran
4) Strategi menjaga stabilitas
akademis,
sosial,
dan
lainnya
5) Pelaksanaan ujian
6) Analisis perilaku belajar
Layanan
1) Mencari pekerjaan
1) Hidup

sebagai

lulusan
3

persiapan
lulus

2) Menulis
aplikasi
dan
baru
mengumpulkan informasi 2) Realitas dunia kerja
3) Frustrasi
mencari
tentang formasi
pekerjaan
3) Keterampilan wawarancara
4)
Menghadapi pasar tenaga
pekerjaan
kerja,
alternatif
4) Orientasi lulus
penawaran besar gaji, dan
lainnya

4. Aspek-aspek yang mendasari pengembangan bimbingan dan konseling


Prayitno & Amti (2004) memaparkan bahwa terdapat sejumlah aspek yang
mendasari perlunya pengembangan bimbingan dan konseling, antara lain:
a. Aspek filosofis
Arahan dan pemahaman konselor dalam berinteraksi dan menangani klien
berlandaskan rasa kasih sayang terhadap sesama dan melaksanakan
kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan.
b. Aspek paedagogis
1) Pendidikan sebagai usaha sadar dalam mengembangkan kepribadian
menuntut adanya pendekatan yang lebih dari sekedar pengajaran yakni
pendekatan pribadi melalui layanan bimbingan dan konseling.
2) Pendidikan bersifat dinamis dan memerlukan penyesuaian, sehingga
peserta didik (klien) memerlukan bantuan dalam penyesuaian diri
melalui layanan bimbingan dan konseling.
3) Pendidik berperan sebagai pengajar dan pendidik, sehingga sepatutnya
menggunakan pendekatan pribadi dalam mendidik peserta didik yang
diwujudkan melalui layanan bimbingan.
c. Aspek psikologis
1) Layanan bimbingan dan konseling membantu dan memudahkan siswa
agar mencapai tugas perkembangan dan penyesuaian yang baik.
2) Institusi pendidikan hendaknya memberikan pelayanan kepada peserta
didik (klien) secara invidual sesuai dengan keunikan masing-masing.
3) Pengenalan terhadap jenis dan tingkat kebutuhan peserta didik melalui
program bimbingan dan konseling akan sangat membantu.
4) Program bimbingan dan konseling hendaknya membantu peserta didik
untuk mengatasi masalah belajar, sehingga berhasil dalam belajar.
d. Aspek religius
1) Manusia sebagai makhluk Tuhan.

2) Sikap yang mendorong perkembangan dari perikehidupan manusia


berjalan ke arah yang sesuai dengan kaidah-kaidah agama.
3) Upaya agar suasana, perangkat budaya (IPTEK), dan kemasyarakatan
berkembang dan dimanfaatkan secara optimal untuk meneguhkan
kehidupan beragama dan membantu pemecahan masalah.
e. Aspek sosial-budaya
Konselor dan pihak sekolah wajib membantu peserta didik, baik sebagai
pribadi atau sebagai calon anggota masyarakat agar berhasil menyesuaikan
diri dan mampu menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya.
f.

Aspek ilmu pengetahuan dan teknologi


1) Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis
dan

sistematis

menggunakan

berbagai

metode

(pengamatan,

wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, dan analisis laboratorium)


yang dituangkan dalam berbagai bentuk tulisan ilmiah.
2) Teori dan praktek bimbingan dan konseling bersifat multireferensial
(gabungan dari beberapa disiplin ilmu, seperti: psikologi, pendidikan,
statistik, evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antropologi, ekonomi,
manajemen, ilmu hukum, dan agama).
3) Konselor merupakan ilmuwan yang menguasai dan mengembangkan
teknologi informasi berbasis komputer (cyber counseling) untuk
kegiatan bimbingan dan konseling.
g. Aspek yuridis-formal
Peraturan dan perundangan di Indonesia tentang penyelenggaraan
bimbingan dan konseling bersumber dari Undang-Undang Dasar,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, serta pedoman lainnya.
C. Teori dalam Psikologi Bimbingan dan Konseling
Psikologi bimbingan dan konseling muncul berdasarkan berbagai teori. Winkel
(2005) menyatakan bahwa teori konseling adalah kerangka acuan tentang
bagaimana proses konseling berlangsung, bagaimana perubahan yang dituju,
mengapa perubahan terjadi, dan apa saja unsur yang berperan pokok.
Teori konseling dapat digolongkan dalam kategori (Corey, 2005) berikut ini:
1. Kategori teori yang berlandaskan pada pendekatan psikoanalitik
Teori ini berbentuk terapi psikoanalitik yang dipelopori oleh Sigmund Freud.
5

Fokus terapi: pemahaman klien akan motivasi tak sadar dan rekonstruksi

kepribadian klien dengan mengalami kembali pengalaman masa kecilnya.


Teknik terapi:
Asosiasi bebas: klien berbaring di balai, membersihkan pikiran dari
rutinitas keseharian, mengatakan apapun yang terlintas dipikiran untuk
mengulang pengalaman lampau, dan melepaskan emosi yang berkaitan
dengan situasi traumatik (katarsis).
Analisis mimpi: klien mengasosiasikan bebas isi mimpi guna menyingkap
ketidaksadaran agar memahami area masalah yang tidak terselesaikan.
Analisis atas resistensi: Menganalisis ketidaksadaran berupa
ketidaksediaan menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman
tertentu agar klien menyadarinya dan dapat menanganinya.
Analisis atas transferensi: Menganalisis urusan tak terselesaikan dengan
orangtua di masa lalu yang terdistorsi di masa kini dengan memberi
pemahaman untuk tidak menjadikannya acuan hidup di masa dewasa.
Penafsiran: menganalisis, mengajarkan, dan membuat klien memahami

makna manifestasi asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi.


Fungsi dan peran konselor: bekerjasama sebagai pendengar yang
memperhatikan, menganalisis, dan menafsirkan sifat asli dari masalah
klien; serta mengajarkan arti proses terapi agar klien memahami masalah,
berubah, jujur, mengefektifkan hubungan personal, menangani kecemasan

secara realistis, dan mengendalikan kehidupannya secara rasional.


Klien: bekerjasama dengan konselor, terlibat terapi intensif, memahami
masa lampau yang tidak disadari, dan belajar mengenai diri sendiri.

2. Kategori Teori yang Berlandaskan pada Pendekatan Humanistik


Teori berorientasi pada eksperiensial dan relasi yang berdasarkan psikologi
humanistik. Adapun bentuk terapinya antara lain:
a. Terapi eksistensial humanistis
Terapi ini dipelopori oleh May, Maslow, Frankl, dan Jourard.
Fokus terapi: klien bersifat terbuka, menyadari, dan bertindak berdasarkan
potensinya, serta bertanggung jawab atas kehidupannya.
Teknik terapi:
Kesadaran diri: klien menyadari alternatif pilihan dalam kehidupan.

Kebebasan dan tanggung jawab: klien bebas memilih alternatif hidup,


sehingga bertanggung jawab atas penentuan nasibnya sendiri.
Keterpusatan dan kebutuhan akan orang lain: keberhasilan klien
menemukan jati diri dan berhubungan dengan orang lain menghasilkan
hubungan bermakna, namun kegagalan menghasilkan keterasingan
Pencarian makna: klien dibantu untuk percaya diri dalam menciptakan
cara hidup konsisten dan hidup bermakna sesuai potensinya.
Kecemasan sebagai syarat hidup: tenaga motivasional akibat kesadaran
atas kebebasan dan tanggung jawab dari konsekuensi pilihan hidup.
Kesadaran atas kematian dan ketiadaan: pemahaman klien mengenai
konsep masa depan yang tidak dapat menghindari kematian dan membuat
setiap tindakan manusia itu berarti.
Perjuangan untuk aktualisasi diri: klien dibantu untuk menjadi apapun

yang mereka mampu dan mencapai potensi yang tertinggi.


Fungsi dan peran konselor: memakai terapi bervariasi antar klien;
pendekatan antar pribadi; optimalisasi kesadaran penerimaan diri individu;
panutan untuk bertindak kreatif dan positif; mengurangi ketergantungan

dan membebaskan klien untuk mengembangkan keputusan sendiri


Klien: menyadari keadaan hidupnya (sebelum dan setelah terapi);
sebaiknya bersikap aktif dalam terapi, karena harus memutuskan segala

kecemasan yang akan dieksplorasinya, serta menetapkan masa depannya.


b. Terapi client-centered
Terapi ini didirikan oleh Carl Rogers. Prosesnya dijelaskan sebagai berikut:
Fokus terapi: menciptakan iklim kondusif agar klien membuka
pengalaman, percaya diri, mengevaluasi diri, dan menjalani kehidupan

pilihannya.
Teknik terapi: penekanan pada kepribadian konselor yang selaras
(bersikap terbuka tanpa kepalsuan); penghargaan tanpa syarat
(perhatian yang mendalam dan tulus); dan empati yang akurat (peka
dan mendorong klien untuk memahami dirinya, serta membantu klien

untuk mengatasi ketidakselarasan dirinya).


Fungsi dan peran konselor: pendekatan pribadi kepada klien; klien
dapat menyembuhkan diri bila berada dalam iklim terapi kondusif agar
klien terbuka dan mengeksplorasi area hidup yang diingkarinya.

Klien:

menyadari

ketidakselarasan

antara

ideal

self

consept

(pandangan yang disukai klien tentang dirinya) dan real self consept
(kenyataan mengenai diri klien), sehingga berkeinginan untuk berubah.
c. Terapi Gestalt
Pendiri terapi ini adalah Frederick Perls. Prosesnya sebagai berikut:
Fokus terapi: menyadarkan klien untuk tidak bergantung pada orang

lain dan menemukan bahwa potensinya amat banyak.


Teknik terapi: Permainan dialog; Berkeliling; Latihan

Saya

bertanggung jawab atas...; Saya memiliki surat rahasia; Bermain


proyeksi; Teknik pembalikan; Permainan ulangan; Permainan melebihlebihkan; Tetap dengan perasaan; dan Pendekatan Gestalt terhadap

kerja mimpi.
Fungsi dan peran konselor: peka terhadap ketidakselarasan ucapan dan
bahasa tubuh klien; serta membantu klien menyadari hambatan diri,

dan memutuskan sendiri pengembangan potensinya agar mandiri.


Klien: bertanggung jawab menetapkan sendiri apa yang diinginkan dari
terapi serta keinginannya untuk berubah.

3. Kategori teori yang berlandaskan pada pendekatan behavioristik


Teori berorientasi pada perilaku, pikiran logis, dan tindakan yang mencakup:
a. Analisis transaksional
Pendiri terapi ini adalah Eric Berne. Prosesnya dijelaskan sebagai berikut:
Fokus terapi: membantu klien mengevaluasi keputusan mengenai gaya

hidup yang layak agar menyadari keputusan sebelumnya terlalu dini.


Teknik terapi: Analisis struktural; Metode didaktik; Analisis
transaksional; Kursi kosong; Permainan peran; Percontohan keluarga;
Analisis upacara, hiburan, dan permainan; Analisis permainan dan

ketegangan; serta Analisis skenario.


Fungsi dan peran konselor: mendorong dan mengajari klien agar
mempercayai

kendali

pikirannya

sendiri

dalam

mengevaluasi

keputusan hidup lamanya untuk membuat keputusan hidup baru .


Klien: aktif memahami dan menerima kontrak terapi tentang sasaran

dan kriteria yang ingin dicapai untuk menghasilkan perubahan.


b. Terapi tingkah laku
Wolpe, Eysenck, Lazarus, dan Salter merupakan tokoh utama terapi ini.
Prosesnya dijelaskan sebagai berikut:

Fokus terapi: penghapusan perilaku maladaptif dan menggantinya

dengan perilaku adjustive (dapat disesuaikan) sesuai prinsip belajar.


Teknik terapi: Desensitisasi sistematik; Terapi implosif dan
pembanjiran; Latihan asertif; Terapi aversi; Pengondisian operan;
Perkuatan positif; Pembentukan respons; Perkuatan intermiten;

Penghapusan; Pencontohan; dan Token economy.


Fungsi dan peran konselor: panutan klien dalam berperilaku,
mendiagnosis perilaku maladaptif klien, dan menentukan prosedur

penyembuhan yang menuju pada tingkah laku baru dan adjustive.


Klien: aktif terlibat dalam penentuan tujuan terapi, memiliki motivasi

berubah, dan bersedia bekerjasama dalam berbagai kegiatan terapi.


c. Terapi rasional-emotif
Terapi yang didirikan oleh Albert Ellis ini terdiri atas proses berikut:
Fokus terapi: membantu klien bebas dari pikiran tidak logis dengan
belajar berpikir logis untuk mencapai kebahagiaan.
Teknik terapi:
Penerapan pada terapi individual:
Metode A-B-C untuk memahami gangguan emosional
A

DIATASI DENGAN MENGUBAH PIKIRAN TIDAK LOGIS DENGAN PIKIRAN LOGIS


PERISTIWA YG MEMBANGKITKAN PIKIRAN TIDAK LOGIS

KONSEKUENSI
EMOSIONAL

Penerapan pada terapi kelompok:


A weekend of rational encounter (terapi maraton akhir pekan)
JAM TERAPIMENGAMBIL RISIKO UNTUK BERBAGI PENGALAMAN PALING MEMALUKAN
KLIEN
SALING14
MENGENAL,
1
+
8 JAM ISTIRAHAT

TERAPI MARATON AKHIR PEKAN

10 JAMMENGGALI
TERAPI
MASALAH PRIBADI TIAP KLIEN, DISKUSI TERBUKA
+
PEKERJAAN RUMAH

Fungsi dan peran konselor: Aktif-direktif (berperan sebagai pengajar


yang mereedukasi klien dengan menunjukkan penyebab masalah
3

7-8 MINGGU KEMUDIAN

EVALUASI TIAP KLIEN

bersumber dari pikiran tidak logis); mendorong klien belajar


memisahkan dan mengakui pikiran logis dan tidak logis; mendorong

klien memperbaiki dan meninggalkan pikiran tidak logisnya; serta


menantang klien untuk mengembangkan pandangan hidup logis agar

berhenti menyalahkan diri.


Klien: belajar cara menerapkan pikiran logis dan mencapai

pemahaman emosional pada pemecahan masalah.


d. Terapi realitas
William Glasser merupakan pendiri terapi ini. Prosesnya yakni:
Fokus terapi: membantu klien menentukan dan memperjelas tujuan

hidup agar mencapai kebahagian dengan menerima tanggung jawab.


Teknik terapi: menggunakan humor; mengonfrontasikan klien dan
menolak dalih apapun; membantu klien merumuskan rencana spesifik
bagi tindakan; bertindak sebagai model dan guru; memasang batasan
situasi terapi; menggunakan terapi kejutan verbal (sarkasme) untuk
mengonfrontasikan klien dengan perilaku yang tidak realistis; serta

melibatkan diri dengan klien yang mencari kehidupan efektif.


Fungsi dan peran konselor: membuat klien ikut terapi dengan sukarela;
membimbing klien menilai perilaku sendiri secara realistis dan
menemukan alternatif tujuan hidup; serta memuji tindakan klien yang

bertanggung jawab dan menunjukkan ketidaksetujuan jika sebaliknya


Klien: individu yang belum mampu menjalani kehidupan bertanggung
jawab; diharapkan fokus, menilai pada perilakunya sekarang;
memutuskan berubah; serta berkomitmen dan aktif dalam merubah
perilaku gagal menjadi berhasil.

D. Kontribusi Psikologi Bimbingan dan Konseling bagi Peserta Didik


1. Fungsi Bimbingan dan Konseling bagi peserta didik
Bimbingan dan konseling bagi peserta didik berfungsi (Makmun, 2003)
sebagai:
a. Pemahaman: membantu peserta didik memahami diri dan lingkungannya.
b. Pencegahan: membantu peserta didik mampu mencegah atau menghindari
berbagai permasalahan yang dapat menghambat perkembangan dirinya.

10

c. Pengentasan: membantu peserta didik mengatasi masalah yang dialaminya.


d. Pemeliharaan dan pengembangan: membantu peserta didik memelihara dan
menumbuh-kembangkan berbagai potensi dan kondisi positif miliknya.
e. Advokasi: membantu peserta didik memperoleh pembelaan atas hak dan
atau kepentingannya yang kurang mendapat perhatian.
2. Prinsip dan Asas Bimbingan dan Konseling bagi peserta didik
Prinsip bimbingan dan konseling berkenaan (Yusuf & Nurihsan, 2008) dengan:
a. Dibutuhkan oleh semua peserta didik
b. Fokus pada kegiatan belajar peserta didik(
c. Konselor dan guru merupakan fungsionaris yang bekerjasama
d. Berorientasi tim dan pelayanan konselor profesional
e. Memiliki dasar dalam psikologi anak dan perkembangan anak.
Hal ini bertujuan, agar peserta didik (Yusuf & Nurihsan, 2008): (a) mengenal
dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkembangan, (b) mengenal
dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungan, (c) mengenal dan
menentukan tujuan dan rencana hidup serta rencana pencapaian tujuan tersebut,
(d) memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri (e) menggunakan
kemampuan untuk kepentingan diri, lembaga tempat bekerja dan masyarakat, (f)
menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan lingkungan; serta (g)
mengembangkan segala potensi yang dimiliki secara tepat, teratur, dan optimal.
Adapun keberhasilan pelaksanaan bimbingan dan konseling sebaiknya sesuai
dengan asas-asas bimbingan dan konseling (Winkel, 2005), antara lain:
a. Asas kerahasiaan (confidential): guru pembimbing (konselor) merahasiakan
semua data peserta didik (klien).
b. Asas kesukarelaan: konselor membina dan mengembangkan kesukarelaan klien
untuk menjalani layanan yang diperuntukkan baginya.
c. Asas keterbukaan: konselor bersikap terbuka dan mengembangkan keterbukaan
klien agar jujur memberi atau menerima informasi yang berguna bagi dirinya.
d. Asas kegiatan: konselor memotivasi klien untuk berpartisipasi aktif dalam
setiap kegiatan bimbingan yang diberikan kepadanya.
e. Asas kemandirian: konselor mengarahkan kegiatan bimbingan dan konseling
bagi perkembangan kemandirian klien agar memahami diri dan lingkungan,
mampu mengambil keputusan, dan mewujudkan diri sendiri.

11

f. Asas kekinian: sasaran bimbingan dan konseling adalah permasalahan klien


saat ini, sedangkan masa lampau dan masa depan dilihat sebagai dampak dan
memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan diperbuat klien pada masa kini.
g. Asas kedinamisan: isi layanan untuk klien hendaknya bervariasi, berkembang,
dan berkelanjutan sesuai kebutuhan dan tahap perkembangan setiap waktu.
h. Asas keterpaduan: kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan
konselor atau pihak yang terkait, saling menunjang, harmonis dan terpadukan.
i. Asas kenormatifan: kegiatan bimbingan dan konseling membuat klien paham
dan mengamalkan norma agama, hukum, adat istiadat, dan ilmu pengetahuan.
j. Asas keahlian: kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan sesuai
dengan kode etik profesionalitas konselor bimbingan dan konseling.
k. Asas alih tangan kasus: Pihak (orangtua atau konselor) yang tidak mampu
menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas
atas suatu masalah klien dapat mengalih-tangankan kepada konselor yang lebih
ahli, baik yang berada di dalam lembaga sekolah maupun di luar sekolah.
l. Asas tut wuri Handayani : Pelayanan bimbingan dan konseling dapat
menciptakan suasana aman, mengembangkan keteladanan, memberikan
motivasi, dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada klien untuk maju.
3. Jenis Layanan Bimbingan dan Konseling pada peserta didik
Berikut ini dijelaskan beberapa jenis layanan bimbingan dan konseling untuk
membantu peserta didik (Yusuf & Nurihsan, 2008), antara lain:
a. Orientasi: peserta didik memahami lingkungan baru

(lingkungan

sekolah/madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari) untuk menyesuaikan diri


serta memperlancar peran peserta didik di lingkungan baru.
b. Informasi: peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri,
sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan.
c. Penempatan dan penyaluran: peserta didik memperoleh penempatan dan
penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi,
program latihan, magang, dan kegiatan ekstra kurikuler.
d. Penguasaan konten: peserta didik menguasai konten tertentu, terutama
kompetensi atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah,
keluarga, dan masyarakat.
e. Bimbingan dan konseling perorangan: peserta didik mengentaskan masalah
pribadinya.

12

f. Bimbingan Kelompok: peserta didik mengembangkan pribadi, hubungan


sosial, kegiatan belajar, karir, dan pengambilan keputusan, serta melakukan
kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok.
4. Penilaian Hasil Dan Layanan Bimbingan Konseling
Penilaian dilakukan melalui kegiatan pengungkapan untuk memperkirakan
sejauh mana usaha tersebut efektif dan membawa dampak positif terhadap peserta
didik yang mendapatkan layanan bimbingan konseling. Adapun hasil-hasil
penilaian digunakan untuk (Corey, 2005):
a. Memperkirakan upaya keberhasilan pengentasan masalah peserta didik (klien).
b. Memperkirakan perolehan peserta didik (klien) dalam kelanjutan
perkembangannya.
c. Penyusunan laporan kepada pihak-pihak yang memerlukannya.
d. Bahan pertimbangan untuk pemberian dan pengembangan kegiatan bimbingan
konseling dan kemampuan guru pembimbing.
e. Memperkuat akuntabilitas bimbingan konseling.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. 1991. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.


Corey, G. 2005. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT.
Refika Aditama.
Danim, S. 2010. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: CV. Alfabeta.
Makmun, A.S. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Rosda Karya Remaja.
Mappiare, A. 1992. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. J a k a r t a : P T.
R a j a Grafindo.
Prayitno & Amti, E. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan Konseling. Cetakan ke dua.
Bandung : CV. Ilmu.

13

Sudradjat, A. 2008. Fungsi, Prinsip, dan Asas Bimbingan dan Konseling (Online),
(Http://akhmadsudradjat.wordpress.com, diakses pada 6 Mei 2012).
Yusuf, S. & Nurihsan, A.J. 2008. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Winkel, W.S. 2005. Bimbingan dan Konseling di Intitusi Pendidikan (Edisi
Revisi). Jakarta: Gramedia
Walgito, B. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: CV. Andi.

14

Anda mungkin juga menyukai