Anda di halaman 1dari 307

PENDALAMAN MATERI

PATOLOGI

Oleh :
Kelompok 4
D-IV Keperawatan tingkat 1

Putu Yeni Yunitasari


Ni Putu Erna Libya
Ni Made Desi Sugiani
Ni Kadek Dian Inlam Sari

(P07120214004)
(P07120214014)
(P07120214017)
(P07120214018)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2015
INTERAKSI GENETIK DAN LINGKUNGAN

a. Pengaruh Faktor Intrinsik Dan Ekstrinsik Terhadap Gangguan


Struktur Dan Fungsi Tubuh
Faktor Intrinsik
Genetik
Berdasarkan saat terjadinya:

Diturunkan

Timbul saat konsepsi/embriogenesis

Timbul setelah dilahirkan: tumor/neoplasma

Secara klinis:

Kelainan kromosom

Defek dari gen dianalisis dari family tree

Faktor ekstrinsik
Agen infeksi,
Trauma mekanis,
Bahan kimia beracun,
Radiasi,
Suhu yang ekstrim,
Masalah gizi dan
Stres psikologik.
b. Pewarisan Mendelian
Masalah penurunan sifat atau hereditas mendapat perhatian banyak
peneliti. Peneliti yang paling popular adalah Gregor Johann Mendel yang
lahir tahun 1822 di Cekoslovakia. Pada tahun 1842, Mendel mulai
mengadakan penelitian danmeletakkan dasar-dasar hereditas. Ilmuwan dan
biarawan ini menemukan prinsip-prinsip dasar pewarisan melalui
percobaan yang dikendalikan dengan cermat dalampembiakan
silang. Penelitian Mendel menghasilkan hukum Mendel I dan II.
Mendel melakukan persilangan monohibrid atau persilangan satu
sifat beda, dengan tujuan mengetahui pola pewarisan sifat dari tetua
kepada generasi berikutnya. Persilangan ini untuk membuktikan hukum
Mendel I yang menyatakan bahwa pasangan alel pada proses
pembentukkan sel gamet dapat memisah secara bebas. Hukum Mendel I
disebut juga dengan hukum segregasi.
Hukum segregasi bebas menyatakan bahwa
pada pembentukan gamet (sel kelamin), kedua gen induk (Parent) yang

merupakan pasangan alel akan memisah sehingga tiap-tiap gamet


menerima satu gen dari induknya.
Secara garis besar, hukum ini mencakup tiga pokok:
1. Gen memiliki bentuk-bentuk alternatif yang mengatur variasi pada
karakter turunannya. Ini adalah konsep mengenai dua macam alel; alel
resisif (tidak selalu nampak dari luar, dinyatakan dengan huruf kecil,
misalnya w dalam gambar di sebelah), dan alel dominan (nampak dari
luar, dinyatakan dengan huruf besar, misalnya R).
2. Setiap individu membawa sepasang gen, satu dari
tetua jantan (misalnya ww dalam gambar di sebelah) dan satu dari
tetua betina (misalnya RR dalam gambar di sebelah).
3. Jika sepasang gen ini merupakan dua alel yang berbeda (Sb dan sB
pada gambar 2), alel dominan (S atau B) akan selalu terekspresikan
(nampak secara visual dari luar). Alel resesif (s atau b) yang tidak
selalu terekspresikan, tetap akan diwariskan pada gamet yang dibentuk
pada turunannya.

Hukum
kedua
Gambar
1

Mendel

menyatakan Gambar
bahwa2

bila

dua individu mempunyai dua pasang atau lebih sifat, maka diturunkannya
sepasang sifat secara bebas, tidak bergantung pada pasangan sifat yang

lain. Dengan kata lain, alel dengan gen sifat yang berbeda tidak saling
memengaruhi. Hal ini menjelaskan bahwa gen yang menentukan e.g.
tinggi tanaman dengan warna bunga suatu tanaman, tidak saling
memengaruhi.
Seperti nampak pada gambar 1, induk jantan (tingkat 1)
mempunyai

genotipe

ww

(secara

fenotipe berwarna putih), dan induk


betina

mempunyai

genotipe

RR

(secara fenotipe berwarna merah).


Keturunan pertama (tingkat 2 pada
gambar) merupakan persilangan dari
genotipe induk jantan dan induk
betinanya, sehingga membentuk 4
individu baru (semuanya bergenotipe
wR).

Selanjutnya,

persilangan/perkawinan dari keturuan


pertama ini akan membentuk indidividu pada keturunan berikutnya
(tingkat 3 pada gambar) dengan gamet R dan w pada sisi kiri (induk jantan
tingkat 2) dan gamet R dan w pada baris atas (induk betina tingkat 2).
Kombinasi gamet-gamet ini akan membentuk 4 kemungkinan individu
seperti nampak pada papan catur pada tingkat 3 dengan genotipe: RR, Rw,
Rw, dan ww. Jadi pada tingkat 3 ini perbandingan genotipe RR , (berwarna
merah) Rw (juga berwarna merah) dan ww (berwarna putih) adalah 1:2:1.
Secara fenotipe perbandingan individu merah dan individu putih adalah
3:1.
Kalau contoh pada gambar 1 merupakan kombinasi dari induk
dengan satu sifat dominan (berupa warna), maka contoh ke-2
menggambarkan induk-induk dengan 2 macam sifat dominan: bentuk
buntut dan warna kulit. Persilangan dari induk dengan satu sifat dominan
disebut monohibrid, sedang persilangan dari induk-induk dengan dua sifat
dominan dikenal sebagai dihibrid, dan seterusnya.

Pada gambar 2, sifat dominannya adalah bentuk buntut (pendek


dengan genotipe SS dan panjang dengan genotipe ss) serta warna kulit
(putih dengan genotipe bb dan coklat dengan genotipe BB). Gamet induk
jantan yang terbentuk adalah Sb dan Sb, sementara gamet induk betinanya
adalah sB dan sB (nampak pada huruf di bawah kotak). Kombinasi gamet
ini akan membentuk 4 individu pada tingkat F1 dengan genotipe SsBb
(semua sama). Jika keturunan F1 ini kemudian dikawinkan lagi, maka
akan membentuk individu keturunan F2. Gamet F1nya nampak pada sisi
kiri dan baris atas pada papan catur. Hasil individu yang terbentuk pada
tingkat F2 mempunyai 16 macam kemungkinan dengan 2 bentuk buntut:
pendek (jika genotipenya SS atau Ss) dan panjang (jika genotipenya ss);
dan 2 macam warna kulit: coklat (jika genotipenya BB atau Bb) dan putih
(jika genotipenya bb). Perbandingan hasil warna coklat:putih adalah 12:4,
sedang perbandingan hasil bentuk buntut pendek:panjang adalah 12:4.
Perbandingan

detail

mengenai

genotipe

SSBB:SSBb:SsBB:SsBb:

SSbb:Ssbb:ssBB:ssBb: ssbb adalah 1:2:2:4: 1:2:1:2: 1.


c. Pengelompokan Penyakit Genetik Berdasarkan Penyebabnya
Penyakit autosomal dominan :

Bermanifestasi dalam tingkat heterogen

Biasanya salah satu orang tua terkena

50% keturunannya kemungkinan kena penyakit

Saraf: penyakit Huntington, Neurofibromatosis, distrofi miotonik,


sklerosis tuberosa

Saluran kemih: peny. Ginjal polikistik

Saluran cerna: familial polyposis coli

Hematopoetik: sferositosis herediter, peny Von Willebrand

Otot: Sindrom Marfan, Sindrom Ehlers-Danlos, osteogenesis


imperfekta, akondroplasia

Metabolik: hiperkolesterolemia familial, acute inttermitent porphyria

Penyakit autosomal resesif :

Kelainan biasanya tdk mengenai orang tuanya

25% keturunan dapat terkena

Metabolik : cystic fibrosis, phenilketonuria, galaktosemia, lysosomal


storage

diseases,

Defisiensi

antitrypsin,

Penyakit

Wilson,

Hemokromatosos , Penyakit glikogen

Hematopoitik: anemia sickle cell, thalasemia

Endokrin: hiperplasia adrenal kongenital

Otot: sindrome Ehlers-Danlos, Alkapnouria

Saraf: atrofi otot neurogenik, ataksia Friedreich, atropi otot spinal

Penyakit X-linked :

Diturunkan oleh karier wanita (heterozigot)

Laki-laki yg terkena tdk menurunkan ke anak laki-lakinya, tetapi


semua anak perempuan adalah karier.

Anak laki-laki dari wanita heterozigot mempunyai kemungkinan


50% untuk menerima gen mutan

Muskuloskeletal: Duchenne muscular dystrophy

Darah: hemofilia A dan B, chronic granulomatous disease, glucose-6phosphate dehydrogenase deficiency

Sistem imun: agammaglobulinemia, sindrom Wiskott-Aldrich

Metabolik: diabetes insidipus, Sindrom Lesch-Nyhan

Saraf: Fragile X syndrome

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Hukum Pewarisan Mendel. Tersedia (online):
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Pewarisan_Mendel . Diakses pada tanggal 20
April 2015 Pukul 19.09 WITA
Reswari, Chamalia.2014.Genetika dan Hukum Mendel. Tersedia (online):
http://www.academia.edu/5433084/GENETIKA_DAN_HUKUM_MENDEL.
Diakses pada tanggal 20 April 2015 Pukul 19.20 WITA

MEKANISME ADAPTASI SEL


1. PENYEBAB JEJAS SEL
a. Hipoksia
Penyebab jejas dan kematian sel paling penting,
Mempengaruhi respirasi oksidasi aerob,
Hilangnya perbekalan darah, penyebab hipoksia yang paling sering,
Oksigenasi darah yang tidak memadai karena kegagalan kardio
respirasi.
b.

Bahan Kimia dan Obat :


Penyebab penting adaptasi, jejas dan kematian sel,
Setiap agen kimia atau obat dapat dilibatkan,
Bahan yang tidak berbahaya bila konsentrasinya cukup sehingga
dapat merusak lingkungan osmosa sel akan berakibat jejas atau

kematian sel tersebut,


Racun dapat menyebabkan kerusakan hebat pada sel dan

kemungkinan kematian seluruh organisme,


Masing-masing agen biasanya memiliki sasaran khusus dalam
tubuh.

c. Agen Fisika
Trauma mekanik pada organel intrasel atau pada keadaan yang

ekstrem, dapat merusak sel secara keseluruhan.


Suhu rendah Vasokonstriksi dan mengacau perbekalan darah untuk
sel-sel, bila suhu semakin rendah, air intrasel akan mengalami

kristalisasi.
Suhu tinggi yang merusak dapat membakar jaringan.
Perubahan mendadak tekanan atmosfer juga dapat berakibat

gangguan perbekalan darah untuk sel-sel.


Tenaga Radiasi menyebabkan ionisasi lansung senyawa kimia yang
dikandung dalam sel, mutasi yang dapat berjejas atau membunuh

sel-sel.
Tenaga listrik meyebabkan luka bakar, dapat mengganggu jalur
konduksi syaraf dan sering berakibat kematian karena aritmia
jantung.

d. Agen Mikrobiologi
Virus dan rcketsia merupakan parasit obligat intrasel yang

hidupnya hanya di dalam sel-sel hidup.


Virus yang menyebabkan perubahan pada sel : Sitolisis (dapat
menyebabkan kematian sel), onkogen (merangsang replikasi sel,

berakibat tumor).
Kuman dengan membebaskan eksotoksin dan endotoksin yang
mampu mengakibatkan jejas sel, melepaskan enzim sehinga dapat

merusak sel.
Jamur, protozoa dan cacing dapat menyebabkan kerusakan dan
penyakit pada sel

e. Mekanisme Imun
Penyebab kerusakan sel dan penyakit pada sel.
Antigen penyulut berasal dari eksogen (Resin tanaman beracun),
endogen (antigen sel) yang menyebabkan penyakit autoimun.
f. Cacat Genitika
Beberapa keadaan abnormal genetika diturunkan sebagai sifat
keluarga (anemia sel sabit).
g. Ketidak seimbangan Nutrisi
Defesiensi nutrisi penyebab jejas sel yang penting, mengancam

menjadi masalah kehancuran di masa mendatang.


Defesiensi protein-kalori, avitaminosis, kalori berlebihan dan diet
kaya lemak merupakan masalah ketidakseimbangan nutrisi di

dunia.
h. Penuaan
Penuaan dan kematian sel merupakan akibat penentuan progresif
selama jangka waktu hidup sel dengan informasi genitik yang tidak
sesuai akan menghalangi fungsi normal sel.
2. MEKANISME JEJAS SEL
Respons selular terhadap stimulus yang berbahaya bergantung pada
tipe cedera, durasi, dan keparahannya. Jadi, toksin berdosis rendah atau
iskemia berdurasi singkat dapat menimbulkan jejas sel yang reversible,
begitupun sebaliknya. Akibat suatu stimulus yang berbahaya bergantung

pada tipe, status, kemampuan adaptasi, dan susunan genetic sel yang
mengalami jejas. Ada banyak cara yang berbeda yang menyebabkan jejas
sel. Selain itu, mekanisme biokimia yang berkaitan dengan jejas dan
menghasilkan manifestasi pada sel dan jaringan sangatlah kompleks dan
berkaitan erat dengan intracellular pathway. Meskipun demikian beberapa
prinsip umum yang relevan untuk membentuk jejas sel adalah :
1. Respon selular terhadap stimulus jejas tergantung pada tipe jejas,
durasinya, dan tingkat keparahannya. Jadi, racun yang sedikit atau durasi yang
cepat dari ischemia bisa menyebabkan jejas sel reversible, sedangkan racun yang
banyak atau ischemi yang lebih panjang bisa menyebabkan jejas sel
irreversible dan kematian sel.
2. Konsekuensi dari stimulus jejas tergantung pada tipe, status,
kemampuan adaptasi, dan komponen genetik dari sel yang terkena
jejas.
3. Empat system intraselular yang rentan terhadap jejas antara lain : (1)
integritas membrane sel, sangat penting untuk homeostasis selular
ionik dan osmotik; (2) pembentukan adenosine triphosphate (ATP),
secara besar melalui respirasi aerobik di mitokondria; (3) sintesis
protein; dan (4) integritas dari komponen genetik.
4. Komponen struktural dan biokimia dari sel saling berhubungan yang
menghiraukan permulaan tempat terjadinya jejas, efek kedua yang berlipat secara
cepat terjadi. Sebagai contoh, keracunan respirasi aerobik oleh sianida
menghasilkan gangguan aktivitas Na-K ATPase yang penting untuk
mempertahankan keseimbangan osmotik intraselular, sebagai akibatnya sel dapat
dengan cepat membengkak dan pecah.
5. Fungsi sel telah hilang jauh sebelum kematian sel terjadi, dan perubahan morfologi
dari jejas sel (atau kematian sel) tertinggal jauh dibelakang keduanya.

a. Kekurangan ATP
Berkurangnya sintesis ATP adalah frekuensi yang diikuti oleh hipoksik
(kekurangan O2) dan jejas kimia (racun). ATP diproduksi dengan cara
phosphorilasi oksidative yang merubah ADP menjadi ATP dari hasil
reaksi reduksi O2 dengan transfer elektron di mitokondria. Atau
dengan glycolyticpathway dimana produksi ATP tanpa menggunakan O2
dengan menghidrolisis glikogen ataupun glukosa darah.

Aktivitas membrane plasma ATP-driven pompa natrium menurun, dengan


akumulasi natrium di intraselular dan difusi kalium keluar sel.
Meningkatnya zat terlalur sodium diikuti isosmotik air,
menghasilkan pembengkakan sel akut. Pada nantinya hal ini akan
meningkatkan pemenuhan osmotik dari akumulasi dari hasil
metabolism lain, seperti in organic phosphate, asam laktat, dan

nukleotida purine.
Glikolisis anaerob meningkat karena penurunan ATP dan diikuti meningkatnya
adenosine monophosphat (AMP) yang menstimulasi enzim
phosphofructokinase. Jalur ini meningkatkan asam laktat yang

menurunkan ph intraselular.
Penurunan ph intraselular dan level ATP menyebabkan ribosom
lepas dari retikulum endoplasma kasar dan polysome berpisah menjadi
monosome, dengan menghasilkan reduksi dari sintesis protein.

b. Kerusakan Mitokondria
Mitokondria dapat rusak oleh karena meningkatnya kalsium
sitosolik, oksidative stress, danlipid peroxidasi.Kerusakan mitokondria
sering dihasilkan dalam pembentukan high-conductance chanel, yang juga
disebut mitochondrial permeability transition (MPT) di innermembran.
Kerusakan mitokondria sering pula diikuti oleh kebocoran sitokrom c
ke dalamsitosol. Yang mana sitosol ini penting dalam transport electron
dan inisiasi apoptosis sel.

c. Kehilangan Homeostatis Kalsium

Ion kalsium merupakan mediator penting dalam sel injury, kalsium dalam
sitosol memiliki konsentrasi yang amat rendah (<0,1 mol) yang
sebagian besar tersimpan di dalam mitokondriadan reticulum
endoplasma. Sedangkan konsentrasi kalsium di ekstraselular sangatlah
besar (>1,3 mmol).

Ischemi dan beberapa toksik menyebabkan influx kalsium


melewati membrane plasma dan dikeluarkannya kalsium dari
mitokondria dan reticulum endoplasma yang menyebabkan kalsium
intraselular sangat tinggi dari keadaan normal. Meningkatnya
konsentrasi kalsium intraselular ini berakibat dalam aktivasi enzim yang
potensial berefek buruk pada sel.
Enzim-enzim itu diantaranya ATP ase (mempercepat kehabisan
ATP), phospholipase (kerusakanmembrane plasma), protease
(memecah membrane dan protein sitoskeleton), endonuclease
(fragmentasi DNA dan kromatin). Dan seperti yang telah diuraikan sebelumnya
bahwa peningkatan kalsium sitosol pula dapat menyebabkan meningkatnya
permeabilitas membrane mitokondria dan menginisiasi apoptosis.
d. Akumulasi Oksigen Radikal Bebas
Reactive oxygen species merupakan oksigen yang terbentuk dari hasil reduksi
pada respirasi di mitokondria yang merupakan radikal bebas, yang mana
dapat merusak lipid, protein, asam nukleat dengan cara berikatan dengan
salah satu molekul diatas yang menyebabkan disfungsi dalam salah satu
komponen tenting selular. Kondisi yang terjadi bersamaan dengan keadaan

patologi, dimana terjadi ketidakseimbangan antara free-radical


generating dan defense systemdisebut oxidative stress. Hal ini
dikarenakan oleh :
1. Penyerapan energy radiasi (contoh ultraviolet, sinar x)
2. Metabolism enzymatic dari exogenous chemical atau obatobatan.
3. Reaksi oksidasi-reduksi yang terjadi selama proses metabolism
normal.
4. Transisi metal
5. Nitric oxide (NO)

Efek dari akumulasi oksigen radikal bebas ini, adalah :


1. Peroksidasi lipid dalam plasma dan organel bermembran. Asam
lemak tak jenuh dalammembrane plasma dapat berikatan dengan
radikal bebas menyebabkan keadaan yang tidakstabil, reactive,
autocatalitik.
2. Modifikasi oksidatif pada protein. Menyebabkan
fragmentasi protein, degradasi atauhilangnya aktivitas
enzimatik.
3. Fragmentasi DNA
e. Kerusakan pada Permeabilitas Membran
Plasma membrane dapat rusak secara langsung oleh racun
bakteri, protein virus, litikcomplement component, dan beberapa agen
fisik serta kimia. Mekanisme dari rusaknyamembrane ini dapat dikarenakan
oleh :

1. Menurunya fungsi mitokondria mengakibatkan sintesis phospolipid


menurun yang berefek pada membrane sel.
2. Peningkatan sitosolik kalsium ditambah dengan kekurangan ATP
mengaktivasi phospolipase yang memecah phospholipid pada
plasma membrane. Hal ini juga mengakibatkan
aktivasiprotease yang menyebabkan kerusakan sitoskeleton.
3. Karena pengaruh reactive oxygen species.
4. Dihasilkannya lipid breakdown product, seperti :
unesterified fatty acid, acyl carnitine,lypophospholipid,
catabolic product yang menyebabkan perubahan
permeabilitas dan electrophysiologic.
5. Lisisnya membrane lisosom dapat mengeluarkan enzim
lisosom yang dapat mencerna komponen-komponen dalam
sel yang nantinya menghasilka necrosis.
3. JEJAS ISKHEMIK DAN HIPOKSIK
a. Jejas Reversible
Mula-mula hipoksia menyebabkan hilangnya fosforilasi oksidatif
dan pembentukan ATP oleh mitokondria. Penurunan ATP (dan
peningkatan AMP secara bersamaan) merangsang fruktokinase dan
fosforilasi, menyebabkan glikolis aerobik. Glikogen cepat menyusut,
dan asam laktat dan fosfat anorganik terbentuk sehingga menurunkan
PH intrasel.
Manifestasi awal dan umum pada jejas hipoksit non letal
ialah pembengkakan sel akut. Ini disebabkan oleh :

Kegagalan transportasi aktif dalam membran dari pada


ion Na +, ion K+, ATP-ase yang sensitif-ouabain, menyebabkan
natrium masuk kedalam sel, kalium keluar dari dalam sel dan

bertambahnya air secara isosmotik.


Peningkatan beban osmotik intrasel karena penumpukan fosfat
dan laktat anorganik, serta nukleusida purin.

b. Jejas Ireversibel
Jejas ireversibel ditandai oleh valkuolisasi keras metokondria,
kerusakan membran plasma yang luas, pembengkakan lisosom, dan

terlihatnya densitas mitokondria yang besar dan amort. Jejas membram


lisosom disusul oleh bocornya enzim ke dalam sitoplasma, dan karena
aktivasinya terjadi pencernaan enzimatik komponen sel dan inti.
Ada dua peristiwa yang penting pada jejas ireversibel. Depresi
ATP dan kerusakan membran sel .

Deplesi ATP
Peristiwa awal pada jejas sel yang berperan pada konsekuensi
hipoksia iskemik yang fungsional dan struktural, dan juga pada
kerusakan membran, walaupun demikian, masalah
menimbulkan pertanyaan apakah hal ini sebagai akibat atau

penyebab ireversibilitas.
Kerusakan membran sel. Jejas ireversibel berhubungan dengan
defek membran sel fungsional dan struktural.
- Kehilangan fosfolipid yang progesif, disebabkan oleh :
Aktivasi fosfolipid membran oleh peningkatan kalsium
sitosolik, disusul oleh degradasi fosfolipid dan hilangnya
fosfolipid, atau penurunan realisasi dan sintesi fosfolipid,
mungkin berhubungan dengan hilangnya ATP.
-

Abnormalitas sitoskeletal. Aktivasi protease intrasel,


didahului oleh peningkatan kalsium sitosolik, dapat
menyebabkan pecahnya elemen sitoskeletal intermediate,
menyebabkan membran sel rentan terhadap terikan dan

robekan, terutama dengan adanya pembengkakan sel.


Produk pemecahan lipid. Asam lemak bebas dan
lisofosfolipid berkumpul dalam sel iskemik sebagai akibat
degradasi fosfolipid dan langsung bersifat toksin terhadap

membran.
Hilangnya asam amino intrasel. Seperti glisin dan L-alanin
yang penyebabnya belum diketahui.

4. JEJAS YANG DIINDUKSI RADIKAL BEBAS

Radikal bebas adalah atom / molekul yang memiliki satu elektron


bebas pada orbit luarnya
Ciri radikal bebas:
- Bereaksi dengan segala unsur kimia organik/anorganik
- Hasil reaksinya berupa radikal bebas baru membentuk rantai reaksi
- Reaktifitasnya hilang sendiri atau dihentikan secara enzimatik
Tiga spesies radikal bebas yang penting:
- Superoksid (O2)
- Hidrogen peroksid (H2O2)
- Hidroksil radikal (OH)
Efek radikal bebas terhadap sel:
- Peroksidasi membran lipid (terutama oleh OH)
- Kerusakan protein: cross linking antar asam amino, peningkatan
-

aktifitas enzim protease


Kerusakan DNA: pembentukan strand tunggal yang berakhir

dengan kematian sel atau malah transformasi ganas


Menetralkan Radikal Bebas :
- Kecepatan kerusakan spontan meningkat bermakna oleh kerja
-

superoksida dismutase (SOD) yang ditemukan pada banyak tipe sel


Glutation (GSH) peroksidase juga melindungi sel agar tidak

mengalami jejas dengan mengatalisis perusakan radikal bebas.


Katalase terdapat dalam peroksisom, langsung mendegradasi

hydrogen peroksida.
Antioksidan endogen atau eksogen (misalnya vitamin E, A, dan C,
serta Beta-karoten).

5. ADAPTASI SEL TERHADAP JEJAS


a. Hiperplasia
Hiperplasia merupakan suatu kondisi membesarnya alat
tubuh/organ tubuh karena pembentukan atau tumbuhnya sel-sel baru
(Saleh, 1973). Sama halnya dengan atrofi, terdapat dua jenis
hyperplasia, yaitu hyperplasia fisiologis dan patologis. Contoh yang
sering kita temukan pada kasus hyperplasia fisiologis yaitu bertambah
besarnya payudara wanita ketika memasuki masa pubertas. Sedangkan
hyperplasia patologis sering kita temukan pada serviks uterus yang
dapat mengakibatkan kanker serviks.

b. Hipertropi

Hipertrofi adalah Pertambahan besar organ akibat adanya


pertambahan ukuran sel pada organ. Hipertrofi adalah suatu respons
adaptif yang terjadi apabila terdapat peningkatan beban kerja suatu sel.
Kebutuhan sel akan oksigen dan zat gizi meningkat, menyebabkan
pertumbuhan sebagian besar struktur dalam sel. Contoh hipertrofi yang
menguntungkan adalah yang terjadi pada jaringan yang terdiri atas sel
permanen misalnya otot skelet pada binaragawan. Hipertrofi yang
bersifat patologis contohnya adalah jantung yang dipotong melintang,
kapasitas jadi lebih kecil dan kerja jantung jadi lebih berat

c. Displasia

Displasia adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan


perkembangan sel dan jaringan yang tidak normal. Istilah ini sering
digunakan pada bidang onkologi, yaitu ilmu mengenai penyakit
keganasan atau kanker. Sebagai contoh adalah penyakit displasia sel
leher rahim. Displasia dinding leher rahim dapat diperiksa dengan pap
smear. Di bawah mikroskop akan tampak banyaknya sel-sel muda.
Jika hal ini terjadi, maka pasien harus segera mendapat tindakan, jika
dibiarkan displasia tersebut dapat segera menjadi kanker leher rahim.
d. Metaplasia

Metaplasia adalah perubahan sel dari satu subtype ke subtype


lainnya. Metaplasia biasanya terjadi sebagai respons terhadap cedera
atau iritasi kontinu yang menghasilkan peradangan kronis pada
jaringan. Dengan mengalami metaplasia, sel-sel yang lebih mampu
bertahan terhadap iritasi dan peradangan kronik akan menggantikan
jaringan semula.
Contoh metaplasia yang paling umum adalah perubahan sel saluran
pernapasan dari sel epitel kolumnar bersilia menjadi sel epitel
skuamosa bertingkat sebagai respons terhadap merokok jangka
panjang.

DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2011. Jejas dan Kematian Sel. Available :
https://blogcalondokter.wordpress.com/2011/01/08/jejas-dan-kematian-sel2/ (Diakses pada tanggal 20 April 2015 pukul 18.20)
Anonym. 2012. Jejas dan Kematian Sel. Available :
https://sababjalal.wordpress.com/2012/10/20/jejas-dan-kematian-sel/
(Diakses pada tanggal 20 April 2015 pukul 18.30)
Anonym. Jejas dan Kematian. Available :
https://www.scribd.com/doc/96717208/Jejas-Dan-Kematian
(Diakses pada tanggal 20 April 2015 pukul 18.35)
Usman, Dellery. 2014. Adaptasi Sel Jejas Sel. Available:
www.academia.edu/4152512/ADAPTASI_SEL_JEJAS_SEL_FKG
(Diakses pada tanggal 20 April 2015 pukul 19.00 WITA)

KELAINAN RETROGRESIF
Setiap sel melaksanakan kebutuhan fisiologik yang normal yang disebut
Homeostasis normal. Sel memiliki fungsi dan struktur yang terbatas, dalam
metabolisme, difrensiasi, dan fungsi lainnya karena pengaruh dari sel-sel
sekitarnya dan tersedianya bahan-bahan dasar metabolisme.
Sel mendapatkan stimulus yang patologik, fisiologik dan morphologic.
Bila stimulus patologik diperbesar hingga melampaui adaptasi sel maka timbul
jejas sel atau sel yang sakit (cell injury) yang biasanya bersifat sementara
(reversible). Namun jika stimulus tetap atau bertambah besar , sel akan mengalami
jejas yang menetap (irreversible) yaitu sel yang mati atau nekrosis.
Perubahan-perubahan tersebut hanya mencerminkan adanya cederacedera biomolekuler, yang telah berjalan lama dan baru kemudian dapat dilihat.
Adaptasi, jejas dan nekrosis dianggap sebagai suatu tahap gangguan progresif dari
fungsi dan struktur normal suatu sel. Kelainan retrogesif (regresif) adalah
merupakan suatu proses kemunduran. Yang termasuk kelainan retrogesif (regresif)
:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Atropi
Degenerasi dan Infiltrasi
Gangguan Metabolisme
Kematian sel ; Nekrosis
Apoptosis
Postmortal
Penimbunan pigment
Melanin
Mineral
Defisiensi

1. Atrofi
Atrofi merupakan pengurangan ukuran yang disebabkan oleh
mengecilnya ukuran sel atau mengecilnya/berkurangnya (kadang-kadang dan
biasa disebut atrofi numerik) sel parenkim dalam organ tubuh (Syhrin, 2008).
Secara umum, terdapat dua jenis atrofi, yaitu atrofi fisiologis dan atrofi
patologis.
Atrofi fisiologis merupakan atrofi yang bersifat normal atau alami.
Beberapa organ tubuh dapat mengecil atau menghilang sama sekali selama

masa perkembangan atau pertumbuhan, dan jika alat tubuh tersebut organ
tubuh tersebut tidak menghilang ketika sudah mencapai usia tertentu, malah
akan dianggap sebagai patologik ( Saleh, 1973). Contoh dari atrofi fisiologis
ini yaitu proses penuaan (aging process) dimana glandula mammae mengecil
setelah laktasi, penurunan fungsi/produktivitas ovarium dan uterus, kulit
menjadi tipis dan keriput, tulang-tulang menipis dan ringan akaibat resorpsi.
Penyebab proses atrofi ini bervariasi, diantaranya yaitu
berkurangnya/hilangnya stimulus endokrin, involusi akibat menghilangnya
rangsan-rangsang tumbuh (growth stimuli), berkurangnya rangsangan saraf,
berkurangnya perbekalan darah, dan akibat sklerosis arteri. Penyebabpenyebab tersebut terjadi karena proses normal penuaan (Saleh, 1973).
Berbeda dengan atrofi fisiologis, atrofi patologis merupakan atrofi yang terjadi
di luar proses normal/alami.
Secara umum, atrofi patologis dan fisiologis terbagi menjadi lima
jenis, yaitu atrofi senilis, atrofi local, atrofi inaktivas, atrofi desakan, dan atrofi
endokrin.
a. Atrofi senilis

Atrofi senilis terjadi pada semua alat tubuh secara umum, karena atrofi
senilis termasuk dalam atofi umum (general atrophy). Atropi senilis tidak
sepenuhnya merupakan atropi patologis karena proses aging pun masuk ke
dalam kelompok atrofi senilis padahal proses aging merupakan atropi
fisiologis. Contoh atropi senilis yang merupakan proses patologik yaitu
starvation (kelaparan). Starvation atrophy terjadi bila tubuh tidak mendapat
makanan/nutrisi untuk waktu yang lama. Atropi ini dapat terjadi pada orang
yang sengaja berpuasa dalam jangka waktu yang lama (tanpa berbuka puasa),
orang yang memang tidak mendapat makanan sama sekali (karena terdampar
di laut atau di padang pasir).
Orang yang menderita gangguan pada saluran pencernaan misalnya
karena penyempitan (striktura) esophagus. Pada penderita stiktura esophagus
tersebut mungkin mendapatkan suplai makanan yang cukup, namun makanan
tersebut tidak dapat mencapai lambung dan usus karena makanan akan di
semprotkan keluar kembali. Karena itu, makanan tidak akan sampai ke

jaringan-jaringan tubuh sehingga terjadilah emasiasi, inanisi, dan badan


menjadi kurus kering.
b. Atrofi Lokal

Atrofi local dapat terjadi akibat keadaan-keadaan tertentu.


c. Atropi inaktivitas
Terjadi akibat inaktivitas organ tubuh atau jaringan. Misalnya
inaktivitas otot-otot mengakibatkan otot-otot tersebut mengecil. Atropi otot
yang paling nyata yaitu bila terjadi kelumpuhan otot akibat hilangnya
persarafan seperti yang terjadi pada poliomyelitis.
Atrofi inaktivitas disebut juga sebagi atrofi neurotrofik karena
disebabkan olehhilangnya impuls trofik. Tulang-tulang pada orang yang
karena suatu keadaan terpaksa harus berbaring lama mengalami atrofi
inaktivitas. Akibatnya, tulang-tulang menjadi berlubang-lubang karena
kehilangan kalsiumnya sehingga tidak dapat menunjang tubuh dengan baik.
Sel-sel kelenjar akan rusak apabila saluran keluarnya tersumbat untuk waktu
yang lama. Ini misalnya terjadi pada pankreas. Jika terjadi sumbatan
(occlusion) pada saluran keluar pancreas, sel-sel asinus pancreas (eksokrin)
menjadi atrofik. Namun, pulau-pulau Langerhans (endokrin) yang membentuk
hormon dan disalurkan ke dalam darah tidak mengalami atrofi.
d. Atrofi desakan
Atrofi ini terjadi akibat desakan yang terus-menerus atau desakan
dalam waktu yang lama dan yang mengenai suatu alat tubuh atau jaringan.
Atrofi desakan fisiologik terjadi pada gusi akibat desakan gigi yang mau
tumbuh dan dan yang mengenai gigi (pada nak-anak). Atroi desakan patologik
misalnya terjadi pada sternum akibat aneurisma aorta. Pelebaran aorta di
daerah substernal biasanya terjadi akibat sifilis. Karena desakan yang tinggi
dan terus menerus mengakibatkan sternum menipis.
Atrofi desakan ini pun dapat terjadi pada ginjal. Parenkim ginjal dapat
menipis akibat desakan terus-menerus. Ginjal seluruhnya berubah menjadi
kantung berisi air, yang biasanya terjadi akibat obstruksi ureter, yang biasanya
disebabkan oleh batu. Atrofi dapat terjadi pada suatu alat tubuh kerena
menerima desakan suatu tumor didekatnya yang makin lama makin
membesar ( Saleh, 1973).

e. Atrofi endokrin
Terjadi pada alat tubuh yang aktivitasnya bergantung pada rangsangan
hoemon tertentu. Atrofi akan terjadi jika suplai hormon yang dibutuhkan oleh
suatu organ tertentu berkurang atau terhenti sama sekali. Hal ini misalnya
dapat terjadi pada penyakit Simmonds. Pada penyakit ini, hipofisis tidak aktif
sehingga mrngakibatkan atrofi pada kelenjar gondok, adrenal, dan ovarium.
Secara umum, atrofi dapat terjadi karena hal-hal/kondisi berikut.

Kurangnya suplai Oksigen pada klien/seseorang


Hilangnya stimulus/rangsangan saraf
Hilangnya stimulus/rangsangan endokrin
Kekurangan nutrisi
Disuse/inaktivitas (organ tidak sering digunakan, maka akan
mengakibatkan pengecilan organ tersebut).

2. Degenerasi
Degenerasi sel atau kemunduran sel adalah kelainan sel yang terjadi
akibat cedera ringan.Cedera ringan yang mengenai struktur dalam sel seperti
mitokondria dan sitoplasma akan mengganggu proses metabolisme sel.
Kerusakan ini sifatnya reversibel artinya bisa diperbaiki apabila penyebabnya
segera dihilangkan. Apabila tidak dihilangkan, atau bertambah berat, maka
kerusakan menjadi ireversibel, dan sel akan mati.Kelainan sel pada cedera
ringan yang bersifat reversibel inilah yang dinamaknan kelainan degenerasi.
Degenerasi ini akan menimbulkan tertimbunnya berbagai macam bahan di
dalam maupun di luar sel. Berbagai kondisi degenerasi sel yang sering
dijumpai antara lain:
a. Degenerasi Albuminosa
Awal nya terjadi akubat terkumpulnya butir-butir protein di dalam
sitoplasma, sehingga sel menjadi bengkak dan sitoplasma menjadi keruh
(cloudy swelling: bengkak keruh).Contohnya adalah pada penderita
pielonefritis atau pada beberapa jam setelah orang meninggal. Banyak
ditemukan pada tubulus ginjal.

b. Degenerasi Hidropik
Stroma vili korialis yang avaskuler menyebabkan terganggunya
metabolisme dan oksidasi sel. Fungsi membran sel yang terganggu
mengakibatkan cairan tertimbun di sitoplasma sel. Kematian sel stroma
villi korealis yang terjadi mengakibatkan isi sel keluar, sehingga villi
menggelembung.Gelembung ini secara makroskopis terlihat seperti anggur
(gelembung mola) sehingga disebut sebagai kelainan Mola Hidratosa
c. Degenerasi Hialin
Koagulasi protein dalam sel memberikan gambaran suatu masa
homogen yang jernih berwarna merah muda.Sering ditemukan pada
glomerulus ginjal dan mioma uteri.
d. Degenerasi Lemak
Sering terjadi pada parenkim, otot jantung, hati (paling sering), yang
mempunyai metabolik rata-rata tinggi, karena ketidakmampuan jaringan
non-lemak memetabolik sejumlah lemak sehingga tertimbun dalam
sitoplasma yang mengakibatkan sitoplasma membesar ketepi. Jika
degenerasi lemak ini terjadi dihati maka hati akan tertimbun lemak dapat
berkembang menjdi cirrosis hepatis dan hati mengecil (carsinoma
hep/hepatoma).
e. Degenerasi Mukoid (musin & lendir)

Degenerasi Mukoid adalah Suatu perubahan yang seringterjadi pada


tumor epitel yg mensekresi musin.Epitel yangdegenerasi melarut dalam
musin.Kadang-kadang jaringan ikat nampak mensekresi musin yang
mengisi ruang antaranya yang disebut myxomatous. Contoh : FAM
(Fibroma Adeno Mamae)
f. Infiltrasi (degenerasi) glikogen
Glikogen normal terdapat dalam semua sel dan terutama sel otot dan
hati. Pada keadaan-keadaan tertentu glikogen mengumpul dalam jumlah
banyak dibawah mikroskop terlihat sebagai vakuol-vakuol dalam
sitoplasma maupun inti sel. Sel tidak menunjukkan gangguan fungsi,
dianggap bahwa kelainan ini disebabkan oleh ketidak seimbangan
metabolik antara glikogenisis dan glikogenosis. Infiltrasi glikogen
ditemukan terutama pada disbetes mellitus dan golongan penyakit yang
disebut glicogen stroge diseases ( penyakit von cierke).
g. Degenerasi Amnoid
Degenerasi Amnoid adalah Timbunan berupa bahan-bahan lilin
terdiri dari protein abnormal di jaringan ekstra sel, terutama : sekitar
jaringan penyokong pembuluh darah, sekitar membran basalis. bersifat
amiloid tidak gampang rusak, tidak gampang bergerak timbunan tersebut
mengeras. Degenerasi amnoid ini dibagi menjadi dua tipe:
-

primer (tdk diketahia sebabnya)

sekunder (mengikuti penyakit kronik spt TBC, sifilis, rheumatik.

3. Gangguan Metabolisme
Memang setiap sel selalu terancam mengalami kerusakan, tetapi sel
hidup mempunyai kemampuan untuk coba menanggulanginya. Jejas ini
kemudian mengakibatkan gangguan dalam metabolisme karbohidrat,
protein dan lemak pada sel. Gangguan metabolisme intraseluler ini
akhirnya mengakibatkan perubahan pada struktur sel.
4. Kematian Sel (Nekrosis)

Nekrosis merupakan kematian sel sebagai akibat dari adanya


kerusakan sel akut atau trauma (misalnya: kekurangan oksigen, perubahan
suhu yang ekstrem, dan cedera mekanis), di mana kematian sel tersebut
terjadi secara tidak terkontrol yang dapat menyebabkan rusaknya sel,
adanya respon peradangan dan sangat berpotensi menyebabkan masalah
kesehatan yang serius.
Stimulus yang terlalu berat dan berlangsung lama serta melebihi
kapasitas adaptif sel akan menyebabkan kematian sel di mana sel tidak
mampu lagi mengompensasi tuntutan perubahan. Sekelompok sel yang
mengalami kematian dapat dikenali dengan adanya enzim-enzim lisis yang
melarutkan berbagai unsur sel serta timbulnya peradangan. Leukosit akan
membantu mencerna sel-sel yang mati dan selanjutnya mulai terjadi
perubahan-perubahan secara morfologis.
Nekrosis biasanya disebabkan karena stimulus yang bersifat
patologis. Selain karena stimulus patologis, kematian sel juga dapat terjadi
melalui mekanisme kematian sel yang sudah terprogram di mana setelah
mencapai masa hidup tertentu maka sel akan mati. Mekanisme ini disebut
apoptosis, sel akan menghancurkan dirinya sendiri (bunuh diri/suicide),
tetapi apoptosis dapat juga dipicu oleh keadaan iskemia.
Jenis-jenis Nekrosis :
a. Nekrosis Koagulativa (Coagulation Necrosis) : Koagulasi protein.
Terjadi pada nekrosis iskhemik akibat putusnya perbekalan darah.
nekrosis ini dapat juga terjadi akibat toksin bakteri, misalnya pada
thypus abdominalis, pada diphteria, pneumonia, dan infeksi keras
lainnya.
b. Nekrosis Colliquativa (Liquefaction Necrosis) : tejadi dalam waktu
yang lebih cepat, akibat pengaruh enzim-enzim yang bersifat litik.
sering terjadi pada jaringan otak. Nekrosis mencair ini juga dapat
terjadi pada jaringan yang mengalami infeksi bakterio logic yang

membentuk nanah (piogenik). Pada infeksi ini dibentuk berbagai


enzim proteolitik oleh bakteri yang merusak jaringan.
c. Nekrosis Saseosa (Caseosa Necrosis/perkijuan) : infeksi bakteri
tuberkulosis dapat menimbulkan saranga-sarang nekrosis dengan
membentuk suatu masa yang rapuh, berbutir, berlemak, putih kuning
seperti kiju. Mikroskopik tampak sebagai masa eosinofilik amorf,
tanpa sisa struktur sama sekali. Nekrosis saseosa juga dapat terjadi
pada ifekso lain seperti tularemia, lymphogranuloma venereum dan
pada berbagain infeksi jamur.
d. Gangren : iskhemik disertai superimposisi bakteri saprofitik
mengakibatkan nekrosis ganrenosa. Proses biasanya dimulai dengan
infeksi bakteri. Akibat gangguan perbekalan darah karena sel-selnya
yang membengkak, kemudian terjadi iskhemik. Masuknya kuman
saprofitik yang hidup baik pada jaringan iskhemik melanjutkan proses
sehingga terjadi gangren. Proses ini sering terjadi pada appendik
sehingga terjadi appendiksitis gangrenosa.
e. Nekrosis Enzimatik : Destruksi jaringan pankreas dapat
mengakibatkan dikeluarkannya lipase dan enzim lain-lain yang
kemudian mempengaruhi jaringan sekitarnya.
f. Nekrosis Fibrinoid : Bukan nekrosis yang sesungguhnya. Disinggung
juga karena sering disebut berhubungan dengan persoalan imunitas,
karena dibentuknya bangunan-bangunan menyerupai fibrin pada
jaringan ikal atau dinding pembuluh darah. Struktur ini tidak jelas
apakah merupakan depolimensasi kolagen ataukah perubahan dari pada
substansi dasar, neukleoprotein ataukah hanya suatu prespitasi fibrin,
atau gamma globulin yang terjadi pada suatu daerah yang mengalami
reaksi antigen-zat anti.
5. Apoptosis
Apoptosis didefinisikan sebagai kematian sel terprogram, yang terjadi
sangat sistematis. Biasanya kematian sel dapat terjadi dalam dua cara. Salah

satunya adalah dengan apoptosis ini dan yang lainnya adalah dengan nekrosis,
yang terjadi dalam kondisi patogenik atau defisiensi.

Apoptosis adalah proses yang sangat teratur. Selama apoptosis sel-sel


yang dibongkar sangat sistematis. Mereka melepaskan diri dari sel-sel
tetangga dari jaringan dan protoplasma nya memadat. Organel terikat
membran seperti mitokondria hancur dengan melepaskan isinya ke dalam
sitoplasma. Enzim, endonuklease, bertindak pada bahan kromatin dan
memecahkan DNA menjadi fragmen-fragmen. Pada tahap akhir membran sel
mulai membentuk pelepuhan dan fragmen sel ke dalam tubuh apoptosis.
Jenis kematian sel adalah suatu proses fisiologi normal dan selalu
terjadi selama perkembangan organ. Dibandingkan dengan apoptosis nekrosis
terjadi secara teratur dan terjadi karena aksi dari racun yang dihasilkan oleh
patogen pada sel.
Apoptosis memainkan peran penting dalam mengembangkan dan
menjaga kesehatan tubuh dengan menghilangkan sel-sel tua, sel-sel yang tidak
perlu, dan sel-sel sehat. Tubuh manusia menggantikan mungkin satu juta sel
per detik. Terlalu sedikit atau terlalu banyak apoptosis dapat memainkan peran

dalam banyak penyakit. Ketika apoptosis tidak bekerja dengan benar, sel-sel
yang harus dihilangkan dapat bertahan dan menjadi abadi, misalnya, kanker
dan leukemia. Ketika apoptosis bekerja terlalu baik, membunuh terlalu banyak
sel dan menimbulkan kerusakan jaringan kuburan. Ini adalah kasus stroke dan
gangguan neurodegenerative seperti Alzheimer, Huntington, dan penyakit
Parkinson. Juga dikenal sebagai kematian sel terprogram dan sel bunuh diri.

6. Postmortal
Serangkaian perubahan yang terjadi setelah kematian tubuh antara lain :

Autolisis; jaringan yang mati dihancurkan oleh enzim-enzim antara lain


enzim dari lisosom, mikroorganisme yang mengifeksi jaringan mati.
Tubuh yang mati akan mencair, kecuali jika dicegah dengan pengawetan

atau pendinginan.
Algor Mortis; suhu tubuh menjadi dingin sesuai suhu lingkungan
memerlukan waktu 24 s/d 48 jam untuk menjadi dingin sesuai suhu
lingkungan. Suhu tubuh menjadi dingin karena proses metabolisme
terhenti. Jika ditempat yang dingin maka akan lebih cepat dingin, tetapi

jika ditempat yang panas akan lebih lambat.


Rigor Mortis (kaku mayat); timbul setelah 2 s/d 4 jam setelah kematian.
Mencapai puncak setelah 48 jam dan kemudian menghilang selama 3

sampai 4 hari.
Livor Mortis (lebam mayat); Nampak setelah 30 menit kematian dan
mencapai puncaknya setelah 6 hingga 10 jam.Lebam mayat timbul pada

bagian bawah tubuh.


Pembekuan Darah postmortal; beku darah post mortal berkonsistensi
lunak, elastic dan seperti gel, berbeda dengan thrombus yang

konsistensinya keras dan kering.


Jejas postmortal; enzim dalam tubuh masih aktif untuk beberapa waktu
setelah kematian. Jejas postmortal tidak dijumpai reaksi radang pada jejas,

sedangkan pada lesi antemortal Nampak reaksi radang.


Pembusukan; hancurnya tubuh yang mati karena invasi bakteri. Kulit
menjadi kehijauan setelah 1 sampai 2 minggu.

7. Penimbunan Pigmen

Pigment adalah substansi berwarna yang dapat merupakan bahan


normal dalam sel. Pigmen yang ada dalam tubuh dapat berasal dari endogen
yang disintesa dalam tubuh, dan eksogen berasal dari luar tubuh.
Pigmen eksogen dari luar tubuh misal :
-

debu carbon
perak, masuk kedalam tubuh sebagai obat-obatan
tanda rajah (tattoo)
Pigmen endogen
Hampir seluruhnya berasal dari peruntuhan haemoglobin, meliputi :
a. Hemosiderin ; adalah pigmen yang berbentuk granular atau kristal dan
berwarna kuning keemasan hingga coklat dan banyak mengandung zat
besi didalam sel (intraselular). Haemosiderin dibentuk dalam 24 jam.
b. Hematoidin; pigmen bentuk Kristal berwarna coklat keemasan, tidak
mengandung zat besi dan identik dengan bilirubin. Hematoidin
merupakan pigmen ekstraselular. Haemotoidin dibentuk dalam 7 hari.
c. Bilirubin; pigmen normal yang dijumpai pada empedu, berasal dari
haemoglobin tetapi tidak mengandung besi. Jika konsentrasi pigmen
dalam sel dan jaringan meningkat, terjadi pigmentasi warna kuning yang
disebut ikterus. Meskipun didistribusikan keseluruh tubuh namun jumlah
terbanyak ditemukan dalam hati dengan produksi normal 0,2 0,3 gram,
berasal dari penghancuran sel eritrosit yang sudah tua oleh proses fagosif
mononuclear di limpa, hati dan sumsum tulang.

8. Melanin
Melanin merupakan pigmen endogen yang berwarna coklat-hitam dan
dapat dijumpai pada rambut, kulit, iris mata dan lain-lain.
Pigmen melanin berasal dari yang oleh enzim tirosin oksidase diubah
menjadi 3,4-dihidroksifenilalanin (DOPA), selanjutnya DOPA oleh enzim
DOPA oksidase diubah menjadi melanin. Untuk kerja dari enzim tirosin
oksidase dan enzim DOPA oksidase diperlukan tirosinase (Cu).
Beberapa hal yang dapat mengurangi pengurangan pigmen melanin :
-

Faktor yang menghalangi kualitas enzim tirosinase.


Defisiensi tembaga (Cu)
Zat yang mengandung belerang seperti glutation dan sistein.

Substansi yang mengandung belerang akan mengikat tembaga yang


diperlukan untuk pembentukan melanin. Meningkatnya suhu dan sinar
ultraviolet menyebabkan hyperpigmentasi. Kegunaan pigmen melanin adalah
melindungi tubuh dari sinar. Hal ini didukung oleh tingginya karsinoma kulit
pada kulit putih dibanding kulit hitam.
9. Mineral
Selain zat karbon, hydrogen, nitrogen dan oksigen yang merupakan
bagian terpenting dalam jaringan pada tubuh terdapat 13 macam unsur lain
yang juga sangat penting dalam kehidupan manusia, 7 diantaranya terdapat
dalam jumlah banyak yaitu kalsium, fosfor, magnesium, natrium, kalium,
chlor, dan sulfur. Sedangkan 6 lainnya merupakan trace elements tetapi vital
yaitu besi, tembaga, mangan, yodium, kobal (Co), dan seng (Zn). Dalam
makanan sehari-hari sudah cukup, tetapi pengeluaran berlebihan (muntah,
diare) atau gangguan penyerapan dapat menimbulkan defisiensi.
Sebaliknya jumlah yang berlebihan dalam makanan atau gangguan
ekskresi, menimbulkan penimbunan yang berlebihan pada jaringan atau cairan
tubuh dan dapat menyebabkan gangguan metabolik, susunan kimiawi dan
gejala klinik yang nyata.
10. Defisiensi
Ketidak seimbangan nutrisi merupakan penyebab utama jejas sel antara
lain defisiensi protein, vitamin dan mineral. Jumlah lipid yang berlebihan
merupakan faktor pendukung terjadinya arteriosklerosis yang dapat
menyebabkan sel/jaringan mengalami defisiensi oksigen dan makanan. Jejas
yang disebabkan oleh defisiensi nutrisi antara lain Starvation, marasmus,
kwashiorkor atau yang lebih dikenal gangguan nutrisi.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Jejas Sel (Injury of Cells). Available:
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/03/10/jejas-sel-injuryof-cells-347495.html (Diakses pada tanggal 20 April 2015 pukul
20.09 WITA)
Anonim. 2011. Nekrosis. Available:
https://dentistrymolar.wordpress.com/2011/03/04/nekrosis-liquefaktif/
(Diakses pada tanggal 20 April 2015 pukul 20.15 WITA)
Anonim. Nekrosis. Available:
http://www.academia.edu/5466932/Nekrosis (Diakses pada tanggal 20
April 2015 pukul 20.20 WITA)
Sridanti. Pengertian Apoptosis. Available:
http://www.sridianti.com/pengertian-apoptosis-sel-kematian-selterprogram.html (Diakses pada tanggal 20 April 2015 pukul 20.29
WITA)

TAHAP KEMATIAN JARINGAN NEKROSIS SEL


1. Perubahan Morfologis Pada Sel Cedera
Bila sel mengalami cedera tetapi tidak mati, maka sering sel-sel tersebut
menunjukkan perubahan-perubahan morfologis yang sudah dapat dikenali. Secara
potensial perubahan-perubahan subletal ini reversibel, sehingga jika rangsang
yang menimbulkan cedera dapat dihentikan, maka sel kembali sehat seperti
semula. Sebaliknya, perubahan-perubahan ini mungkin merupakan
suatu langkah ke arah kematian sel jika pengaruh yang berbahaya ini
tidak dapat diatasi. Perubahan subletal terhadap sel secara tradisional
disebut degenerasi atau perubahan degeneratif. Walaupun tiap sel dalam tubuh dapat
menunjukkan perubahan-perubahan semacam itu, tetapi pada umumnya sel yang
terlibat adalah sel-sel yang aktif secara metabolik, seperti sel hati, ginjal
dan jantung. Perubahan-perubahan degeneratif cenderung melibatkan
sitoplasma sel, sedangkan nukleus mempertahankan integritas mereka selama
seltidak mengalami cedera letal. Walaupun agen-agen yang menimbulkan luka
atau yang menyerang selsangat banyak jumlahnya, kelainan morfologis yang
diperlihatkan oleh sel agak terbatas.
Bentuk perubahan degeneratif sel yang paling sering dijumpai adalah
penimbunan air di dalam sel yang bersangkutan. Cedera menyebabkan hilangnya
pengaturan volume pada bagian-bagian sel. Biasanya, dalam rangka untuk
menjaga kestabilan lingkungan internal, sel harus mengeluarkan energy metabolik
untuk memompa ion natrium keluar dari sel. Ini terjadi pada tingkat membran sel.
Apapun yang mengganggu metabolisme energi dalam sel atau sedikit saja melukai
membran sel, dapat membuat sel tidak mampu memompa ion natrium yang cukup.
Akibat osmosis yang wajar dari kenaikan konsentrasi natrium di dalam sel adalah
masuknya air ke dalam sel.
Bentuk perubahan degeneratif sel :
a. Pembengkakan Sel
Pembengkakan sel menyebabkan influk air ke dalam sel, sehingga terjadi
peningkatan konsentrasi Na yang mengakibatkan kemampuan memompa ion
Na menurun sehingga terjadi gangguan metabolisme pembentukan energi dan
kerusakan membrane sel.

Bengkak keruh, menggambarkan perubahan sel yang menunjukan


keadaan setengah matang dan secara mikroskopik terlihat sitoplasmanya
bergranular. Organel sel juga menyerap air yg tertibun dalam sitoplasma
Pada pemeriksaan mikroskopik akan tampak sitoplasma bervakuola. Ini
disebut perubahan hidropik atau perubahan vacuolar.
b. Penimbunan lipid intra sel
Secara mikroskopis, sitoplasma dari sel-sel yg terkena tampak bervakuola.
Vakaoula-vakuola tersebut berisi lipid. Inti sel terdesak ke satu sisi dan
sitoplasma diduduki oleh satu vakuola besar yg berisi lipid. Misal : pada hati
banyak lipid yg tertibun di dalam sel hati yang terserang hebat akan berwarna
kuning cerah, jika disentuh terasa berlemak. Jenis perubahan ini disebut
perubahan berlemak atau degenerasi lemak.
2. Kematian Sel
Dewasa ini, perkembangan penyakit amat pesat. Penyakit tersebut dapat
menyebabkan kematian sel. Banyak agen yang dapat menyebabkan kematian sel,
salah satunya adalah mikroba. Mikroba patogen dapat menyebabkan suatu
penyakit dalam tubuh manusia. Salah satu caranya yaitu dengan merusak sel dan
organelnya. Kemudian respon sel yang utama adalah atrofi, hipertrofi, hiperplasia,
dan metaplasia. Jika respon berlebihan akan terjadi jejas (cedera sel) dan berlanjut
pada kematian sel.
Kematian sel bermula dari jejas (cedera) yang terjadi pada sel. Jejas tersebut
dapat kembali normal apabila keadaan lingkungan mendukung. Namun, ketika
lingkungan tetap buruk, cedera akan semakin parah yang mana sel tidak akan
kembali normal (irreversible) dan selanjutnya akan mati. Terdapat dua jenis utama
kematian sel, yaitu apoptosis dan nekrosis.
1. Apoptosis
Apoptosis (dari bahasa yunani apo = dari dan ptosis = jatuh) adalah
kematian sel terprogram (programmed cell death), yang normal terjadi dalam
perkembangan sel untuk menjaga keseimbangan pada organisme multiseluler.
Sel-sel yang mati adalah sebagai respons dari beragam stimulus dan selama
apoptosis kematian sel-sel tersebut terjadi secara terkontrol dalam suatu
regulasi yang teratur. Apoptosis adalah suatu proses yang ditandai dengan
terjadinya urutan teratur tahap molekular yang menyebabkan disintegrasi sel.

Apoptosis tidak ditandai dengan adanya pembengkakan atau peradangan,


namun sel yang akan mati menyusut dengan sendirinya dan dimakan oleh oleh
sel di sebelahnya. Apoptosis berperan dalam menjaga jumlah sel relatif
konstan dan merupakan suatu mekanisme yang dapat mengeliminasi sel yang
tidak diinginkan, sel yang menua, sel berbahaya, atau sel pembawa transkripsi
DNA yang salah.
Kematian sel terprogram dimulai selama embriogenesis dan terus berlanjut
sepanjang waktu hidup organisme. Rangsang yang menimbulkan apoptosis
meliputi isyarat hormon, rangsangan antigen, peptida imun, dan sinyal
membran yang mengidentifikasi sel yang menua atau bermutasi. Virus yang
menginfeksi sel akan seringkali menyebabkan apoptosis, yang pada akhirnya
akan menyebabkan kematian virus dan sel pejamu (host). Hal ini merupakan
satu cara yang dikembangkan oleh organisme hidup untuk melawan infeksi
virus.
Perubahan morfologi dari sel apoptosis diantaranya sebagai berikut :
a. Sel mengkerut
b. Kondesasi kromatin
c. Pembentukan gelembung dan apoptotic bodies
d. Fagositosis oleh sel di sekitarnya
2. Nekrosis
Nekrosis adalah kematian sekelompok sel atau jaringan pada lokasi
tertentu dalam tubuh. Nekrosis sel dapat menyebar di seluruh tubuh tanpa
menimbulkan kematian pada individu. Istilah nekrobiosis digunakan untuk
kematian yang sifatnya fisiologik dan terjadi terus-menerus. Nekrobiosis
misalnya terjadi pada sel-sel darah dan epidermis. Indikator Nekrosis
diantaranya hilangnya fungsi organ, peradangan disekitar nekrosis, demam,
malaise, lekositosis, peningkatan enzim serum. Nekrosis dapat disebabkan
oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Iskemia
Terjadi akibat anoksia (hambatan total pasokan oksigen) atau hipoksia
seluler (kekurangan oksigen pada sel). Dapat disebakan oleh berbagai hal
seperti berikut ini (Sarjadi, 2003):
a. Obstruksi aliran darah
b. Anemia (eritrosit pembawa oksigen berkurang jumlahnya)

c. Keracunan karbon monoksida


d. Penurunan perfusi jaringan dari darah yang kaya oksigen
e. Oksigenasi darah yang buruk, sebagai akibat penyakit paru, obstruksi
saluran nafas, konsentrasi oksigen udara yang rendah.
2. Agen biologik
Toksin bakteri dapat mengakibatkan kerusakan dinding pembuluh
darah dan trombosis. Toksin biasanya berasal dari bakteri yang
virulensinya tinggi baik endogen maupun eksogen. Virus dan parasit juga
dapat mengeluarkan berbagai enzim dan toksin yang secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi jaringan dan menyebabkan
nekrosis (Pringgoutomo, 2002).
3. Agen kimia
Natrium dan glukosa merupakan zat kimia yang berada dalam tubuh.
Namun ketika konsentrasinya tinggi dapat menimbulkan nekrosis akibat
gangguan keseimbangan osmotik sel. Beberapa zat tertentu dapat pula
menimbulkan nekrosis ketika konsentrasinya rendah (Pringgoutomo,
2002).
Respon jaringan terhadap zat kimia berbeda. Misalnya, sel epitel pada
tubulus ginjal dan sel beta pada pulau Langerhans mudah rusak oleh
alloxan. Gas yang digunakan pada perang seperti mustard dapat merusak
jaringan paru, gas kloroform dapat merusak parenkim hati serta masih
banyak lagi (Pringgoutomo, 2002).
4. Agen fisik
Trauma, suhu yang ekstrim (panas maupun dingin), tenaga listrik,
cahaya matahari, dan radiasi dapat menimbulkan kerusakan inti sehingga
menyebabkan nekrosis (Pringgoutomo, 2002).
5. Hipersensitivitas
Hipersensitivitas (kerentanan) pada seorang individu berbeda-beda.
Kerentanan ini dapat timbul secara genetik maupun didapat (acquired) dan
menimbulkan reaksi imunologik kemudian berakhir pada nekrosis. Sebagai
contoh, seseorang yang hipersensitif terhadap obat sulfat ketika
mengonsumsi obat sulfat dapat timbul nekrosis pada epitel tubulus ginjal
(Pringgoutomo, 2002).
Dua proses penting yang menunjukkan perubahan nekrosis yaitu :
a. Disgestif enzimatik sel baik autolisis (dimana enzim berasal dari sel mati)
atau heterolysis(enzim berasal dari leukosit). Sel mati dicerna dan sering

meninggalkan cacat jaringan yang diisi oleh leukosit imigran dan


menimbulkan abse.
b. Denaturasi protein, jejas atau asidosis intrasel menyebabkan denaturasi
protein struktur dan protein enzim sehingga menghambat proteolisis sel
sehingga untuk sementara morfologi sel dipertahankan. Kematian sel
menyebabkan kekacauan struktur yang parah dan akhirnya organa
sitoplasma hilang karena dicerna oleh enzym litik intraseluler (autolysis).
Nekrosis sel terlihat sangat eosin, gambaran seperti kaca (homogeny), dan
sitoplasma bervakuola serta membrane sel terpotong-potong. Pada peristiwa
nekrosis sel nukleus berubah menjadi :
a. Kariolisis : inti menghilang akibat hidrolisis kromatin
b. Piknosis : menyusutnya inti sel, batas tidak teratur serta peningkatan
basofil sehingga tampak hyperkromatik
c. Karioreksis : inti terpecah-pecah membentuk granula-granula yang
menggumpal

Perbedaan Nekrosis dan Apoptosis

Tabel 1. Perbedaan apoptosis dan nekrosis

Gambar 1: Perbedaan apoptosis dan nekrosis


Perbedaan mendasar antara nekrosis sel dan apoptosis adalah
1. Nekrosis

Kematian oleh faktor luar sel

Sel membengkak

Pembersihan debris oleh fagosit dan sistem imun sulit

Sel sekarat tidak dihancurkan fagosit maupun sistem imun

Lisis sel

Merusak sel tetangga (inflamasi)


2. Apoptosis

Kematian diprogram oleh sel

Sel tetap ukurannya

Pembersihan berlangsung cepat

Sel sekarat akan ditelan fagosit karena ada sinyal dari sel

Non-lisis

Sel tetangga tetap hidup normal

Proses Kematian Sel


Akibat jejas yang paling ekstrim adalah kematian sel (cellular death). Jika
pengaruh berbahaya pada sebuah sel cukup hebat atau berlangsung cukup lama,
maka sel akan mencapai titik di mana sel tidak lagi dapat
mengkompensasi dan tidak dapat melangsungkan metabolisme. Pada
hipotesis yang tidak dapat dibantah, proses-proses ini menjadi ireversibel dan sel
sebetulnya mati. Pada saat kematian hipotetik ini, sewaktu sel tepat
mencapai titik di mana sel tidak dapat kembali lagi, secara morfologis tidak
mungkin untuk mengenali bahwa sel itu sudah mati secara ireversibel. Namun,
jika sekelompok sel yang sudah mencapai keadaan ini masih tetap berada dalam
hospes yang hidup selama beberapa jam saja, maka terjadi hal-hal
tambahan yang mempermudah identifikasi apakah sel-sel atau jaringan
tersebut sudah mati. Semua sel memiliki berbagai enzim yang banyak di antaranya
bersifat litik. Sewaktu sel hidup, enzim-enzim ini tidak menimbulkan kerusakan
pada sel, tetapi enzim-enzim ini dilepaskan pada saat kematian sel, dan mulai
melarutkan berbagai unsure sel. Kematian sel dapat mengenai seluruh tubuh
(somatic death) atau kematian umum dan dapat pula setempat, terbatas mengenai
suatu daerah jaringan teratas atau hanya pada sel-sel tertentu saja.
Akibat Kematian Sel
Kematian sel dapat mengakibatkan gangren. Gangren dapat diartikan sebagai
kematian sel dalam jumlah besar. Gangren dapat diklasifikasikan sebagai kering
dan basah. Gangren kering sering dijumpai diektremitas, umumnya terjadi akibat
hipoksia berkepanjangan. Gangren basah adalah suatu area kematian jaringan
yang cepat perluasan, sering ditemukan di organ dalam dan berkaitan dengan
infasi bakteri kedalam jaringan yang mati tersebut. Gangren ini menimbulkan bau
yang kuat dan biasanya disertai oleh manivestasi sistemik. Gangren basah dapat
timbul dari gangren kering. Gangren ren gas adalah jenis gangren khusus yang
terjadi sebagai respon terhadap infeksi jaringan oleh suatu jenis bakteri anaerob
yang disebut clostridium. Gangren gas cepat meluas kejaringan disekitarnya
sebagai akibat dikeluarkannya toksin yang mematikan oleh bakteri yang

membunuh sel-sel disekitarnya. Sel-sel otot sangat rentan terhadap toksin ini dan
apabila terkena akan mengeluarkan gas hidrogen sulfida yang khas. Gangren jenis
ini dapat mematikan.
3. Kematian Somatik
Kematian somatik/kematian klinis, yaitu kematian atau berhentinya tiga pilar
kehidupan. Tiga pilar kehidupan tersebut ialah sistem saraf pusat, sistem
pernapasan dan sistem kardiovaskuler.
Yang dimaksud berhentinya sistem saraf pusat adalah berhentinya innervasi
dimana akan dijumpai refleks refleks tubuh menjadi tiada atau negatif. Refleks
cahaya negatif, refleks kornea negatif dan relaksasi otot.
Berhentinya sistem pernapasan berarti berhentinya kerja paru . Pada
pemeriksaan akan dijumpai suara vesikular (-) , relaksasi otot- otot pernapasan.
Sedangkan berhentinya sistem kardiovaskuler berarti berhentinya kerja
pompa jantung dimana pada pemeriksaan dijumpai bunyi jantung negatif dan
denyut nadi tidak teraba.
Pada saat kematian somatik sesungguhnya tubuh pada tingkat sel masih
melakukan aktivitas secara molekuler, walaupun dengan persediaan oksigen yang
terbatas. Apabila persidaan oksigen ini telah habis barulah metabolisme sel akan
berhenti secara bertahap, sesuai dengan kemampuan sel untuk dapat bertahan
mengahadapi ketiaadaan oksigen . Pemikiran inilah yang mendasari seorang
dokter untuk mengembangkan metode transplantasi sel.
a. Kriteria kematian somatik adalah:

Terhentinya fungsi sirkulasi secara ireversibel (denyut jantung),

Terhentinya fungsi pernafasan dan

Terhentinya fungsi otak (tidak ada reflek batang otak)

Perubahan post mortem, yaitu:


-

rigor mortis (kekakuan)


livor mortis (warna ungu kebiruan)
algor mortis (pendinginan),
autolisis (pencairan)

4. Perubahan Post Moterm

Perubahan-perubahan post mortem ini juga dipengaruhi oleh bermacam-macam


faktor. Diantaranya, suhu sekitar, suhu tubuh pada saat terjadi kematian dan
adanya infeksi umum. Berikut adalah jenis-jenis perubahan Post Moterm.
1.
Algor Mortis
Adalah perubahan suhu badan, sehingga suhu badan menjadi kurang lebih
sama dengan suhu sekitarnya. Algor mortis merupakan salah satu perubahan
yang dapat kita temukan pada mayat yang sudah berada pada fase lanjut post
mortem. Perubahan ini terjadi karena metabolisme yang terhenti. Terdapat dua
hal yang mempengaruhi cepatnya penurunan suhu yakni:

Faktor internal
Suhu tubuh saat mati
Sebab kematian, misalnya perdarahan otak dan septikemia, mati
dengan suhu tubuh tinggi. Suhu tubuh yang tinggi pada saat mati ini
akan mengakibatkan penurunan suhu tubuh menjadi lebih cepat.
Sedangkan, pada hypothermia tingkat penurunannya menjadi
sebaliknya.
Keadaan tubuh mayat
Pada mayat yang tubuhnya kurus, tingkat penurunannya menjadi lebih

cepat.
Faktor eksternal
Suhu medium
Semakin besar selisih suhu antara medium dengan mayat maka
semakin cepat terjadinya penurunan suhu. Hal ini dikarenakan kalor
yang ada di tubuh mayat dilepaskan lebih cepat ke medium yang lebih
dingin.
Keadaan udara di sekitarnya
Pada udara yang lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar.
Hal ini disebabkan karena udara yang lembab merupakan konduktor
yang baik. Selain itu, Aliran udara juga makin mempercepat penurunan
suhu tubuh mayat
Jenis medium
Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat sebab air
merupakan konduktor panas yang baik sehingga mampu menyerap
banyak panas dari tubuh mayat.
Pakaian mayat

Semakin tipis pakaian yang dipakai maka penurunan suhu mayat


semakin cepat. Hal ini dikarenakan kontak antara tubuh mayat dengan
suhu medium atau lingkungan lebih mudah.
2.

Rigor Mortis
Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang

kadang-kadang disertai dengan sedikit pemendekan serabut otot. Rigor mortis


terjadi karena penipisan ATP pada otot. Hal ini disebabkan karena terjadinya
perubahan kimiawi pada protein yang terdapat pada serabut-serabut otot.
Menurut Szen-Gyorgyi di dalam pembentukan kaku mayat peranan ATP adalah
sangat penting. Seperti diketahui bahwa serabut otot dibentuk oleh dua jenis
protein, yaitu aktin dan myosin, dimana kedua jenis protein ini bersama dengan
ATP membentuk suatu masa yang lentur dan dapat berkontraksi Bila kadar ATP
menurun, maka akan terjadi pada perubahan pada akto- miosin, dimana sifat
lentur dan kemampuan untuk berkontraksi berkurang.
Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortem dan mencapai
puncaknya setelah 10-12 jam pos mortem, keadaan ini akan menetap selama 24
jam dan setelah 24 jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan urutan
terjadinya, yaitu dimulai dari otot-otot wajah, leher, lengan, dada, perut, dan
tungkai.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi kaku mayat:

Kondisi otot

Persediaan glikogen
Cepat lambat kaku mayat tergantung persediaan glikogen otot. Pada
kondisi tubuh sehat sebelum meninggal, kaku mayat akan lambat dan
lama, juga pada orang yang sebelum mati banyak makan karbohidrat,
maka kaku mayat akan lambat.

Kegiatan Otot
Pada orang yang melakukan kegiatan otot sebelum meninggal maka kaku
mayat akan terjadi lebih cepat. Pergerakan yang banyak sebelum kematian,
misalnya prajurit. Demam yang tinggi, kecapaian dan suhu sekeliling yang
tinggi, mempercepat terjadinya kaku mayat. Sebaliknya pada penderita
yang sakit lama, kaku mayat lebih lama.

Gizi
Pada mayat dengan kondisi gizi jelek saat mati, kaku mayat akan cepat
terjadi.
Usia
Pada orang tua dan anak-anak lebih cepat dan tidak berlangsung lama.
Pada bayi premature tidak terjadi kaku mayat, kaku mayat terjadi pada

bayi cukup bulan yaitu17,18 bulan.


Keadaan Lingkungan
Keadaan kering lebih lambat dari pada panas dan lembab. Pada mayat
dalam air dingin, kaku mayat akan cepat terjadi dan berlangsung lama.
Pada udara suhu tinggi, kaku mayat terjadi lebih cepat dan singkat, tetapi
pada suhu rendah kaku mayat lebih lambat dan lama. Kaku mayat tidak

terjadi pada suhu dibawah 10 derajat celcius.


Cara Kematian
Pada mayat dengan penyakit kronis dan kurus, kuku mayat lebih cepat
terjadi dan berlangsung tidak lama. Pada mati mendadak, kaku mayat

terjadi lebih lambat dan berlangsung lebih lama.


Waktu terjadinya rigor mortis (kaku mayat)
- Kurang dari 3-4 jam post mortem : belum terjadi rigor mortis
- Lebih dari 3 - 4 jam post mortem : mulai terjadi rigor mortis
- Rigor mortis maksimal terjadi 12 jam setelah kematian
- Rigor mortis dipertahankan selama 12 jam
- Kaku mayat bisanya menetap sampai 2-3 hari, dan kemudian
menghilang

3.

Livor Mortis
Livor mortis merupakan perubahan warna yang terjadi karena sel-sel darah

merah mengalami hemolisis dan darah turun ke bawah, sehingga mengakibatkan


lebam-lebam mayat pada bagian terbawah.
Lebam mayat terbentuk bila terjadi kegagalan sirkulasi darah dalam
mempertahankan tekanan hidrostatik yang menggerakan darah mencapai
capillary bed dimana pembuluhpembuluh darah kecil afferent dan efferent
saling berhubung.
Adanya eritrosit di daerah yang lebih rendah akan terlihat di kulit sebagai
perubahan warna biru kemerahan. Oleh karena pengumpulan darah terjadi
secara pasif maka tempattempat di mana mendapat tekanan lokal akan

menyebabkan tertekannya pembuluh darah di daerah tersebut sehingga


meniadakan terjadinya lebam mayat yang mengakibatkan kulit di daerah
tersebut berwarna lebih pucat.
Fenomena lebam mayat yang menetap ini sifatnya lebih bersifat relatif.
Perubahan lebam ini lebih mudah terjadi pada 6 jam pertama sesudah kematian.
Akan tetapi waktu yang pasti untuk terjadinya pergeseran lebam ini adalah tidak
pasti, ada beberapa pendapat yaitu Polson mengatakan untuk menunjukan
tubuh sudah diubah dalam waktu sampai 12 jam, sedangkan Camps memberi
patokan kurang lebih 10 jam.
4.

Pembekuan darah
Pembekuan darah terjadi segera setelah penderita meninggal. Dapat pula

terjadi pada masa agoni (agonal clots). Beku darah yang terjadi setelah orang
meninggal disebut postmortem clot, warnanya merah elastic atau seperti agaragar(cruor clot) dan beku darah ini tidak melekat pada dinding pembuluh darah
jantung.
Bila beku darah terbentuk lambat, maka beku darah nampak berlapislapis, sel darah merah karena lebih berat maka menempati lapisan terbawah
disebut juga sebagai cruor clot diantara leukosit. Lapisan teratas terdiri dari
plasma darah dan sedikit leukosit yang berwarna kuning disebut juga sebagai
chiken fat clot. Beku darah semacam ini terdapat dalam jantung dan dapat
ditemukan pada bedah mayat.
5.

Pembusukan (putrefaction) dan autolysis


Pembusukan terjadi akibat pengaruh fermen-fermen pada tubuh, jaringan

mengalami autodigestion. Pada jaringan tertentu seperti mukosa lambung,


kantung empedu, autolisis cepat terjadi. Karena itu biasanya tidak dapat
diperoleh sediaan mikroskopik yang baik. Pada umumnya makin tinggi
diferensiasi jaringan, makin cepat autolisis. Pembusukan terjadi akibat
masuknya kuman saprofitik. Biasanya kuman ini berasal dari usus. Secara garis
besar terdapat 17 tanda pembusukan pada jenazah, yaitu:
1. Wajah membengkak
2. Bibir membengkak

3.
4.
5.
6.
7.

Mata menonjol
Lidah terjulur
Lubang hidung keluar darah
Lubang mulut keluar darah
Lubang lainnya keluar isinya seperti feses (usus), isi lambung, dan partus

(gravid)
8. Badan gembung
9. Bulla atau kulit ari terkelupas
10. Aborescent pattern / morbling yaitu vena superfisialis kulit berwarna
kehijauan
11. Pembuluh darah bawah kulit melebar
12. Dinding perut pecah
13. Skrotum atau vulva membengkak
14. Kuku terlepas
15. Rambut terlepas
16. Organ dalam membusuk
17. Larva lalat
Autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan secara spontan yang
terjadi dalam tubuh setelah kematian dalam keadaan steril melalui proses
kimia yang disebabkan oleh enzim- enzim intraseluler, sehingga organ-organ
yang kaya dengan enzim- enzim akan mengalami proses autilisis lebih cepat
daripada organ-organ yang tidak memiliki enzim, dengan demikian pankreas
akan mengalami autolisis lebih cepat dari pada jantung. Proses autolisis ini
tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme
Proses auotolisis terjadi sebagai akibat dari pengaruh enzim yang
dilepaskan pasca mati. Mula-mula yang terkena adalah nukleoprotein yang
terdapat pada kromatin dan sesudah itu sitoplasmanya, kemudian dinding sel
akan mengalami kehancuran sebagai akibatnya jaringan akan menjadi lunak
dan mencair. Autolisis mengacu pada pancernaan jaringan oleh substansi yang
dilepaskan, seperti enzim dan lisosom.
DAFTAR PUSTAKA
Azuram.2013. Patologi Perubahan Post Mortem. From:
https://azurama.wordpress.com/all-about-nurse/patologi/perubahan-postmortem/. Diakses pada Senin, 20 April 2015. Pukul 17.37 Wita.

Aswika, Tina. 2013. Makalah Cedera dan Kematian Sel.


http://tisnaaswika.blogspot.com/2013/04/makalah-cedera-dan-kematiansel.html. Diakses pada Senin, 20 April 2015. Pukul 19.20 Wita.
Cheapslionn, Vivien. 2014. Nekrosis. From:
https://www.academia.edu/5466932/Nekrosis. Diakses pada Senin, 20 April
2015. Pukul 16.40 Wita
Latu, Nachen.2012. Apoptosis. From:
http://www.academia.edu/3994145/Apoptosis. Diakses pada Senin, 20 April
2015. Pukul 18.00 Wita.
Pawes, Anna. 2013. Perubahan Morfologi Pada Sel. From:
http://annapawes.blogspot.com/2013/03/perubahan-morfologi-pada-selyang.html, Diakses pada Senin, 20 April 2015. Pukul 18.45 Wita
Suparyanto (2010). Cedera Sel dan Kematian Sel. From:
http://dr-suparyanto.blogspot.com/2010/04/cedera-sel-dan-kematian-sel.html.
Diakses pada Senin, 20 April 2015. Pukul 19.00 Wita.

KELAINAN KONGENITAL
A. DEFINISI
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi
yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital
dapat merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian
segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya
sering diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakanakan merupakan suatu seleksi alamu terhadap kelangsungan hidup bayi yang
dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital besar, umumnya
akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai
bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan
kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama
kehidupannya. Di samping pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik
untuk menegakkan diagnose kelainan kongenital setelah bayi lahir, dikenal
pula adanya diagnosisi pre/- ante natal kelainan kongenital dengan beberapa
cara pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan
air ketuban dan darah janin.
B. FAKTOR ETIOLOGI
Beberapa faktor etiologi yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya
kelainan kongenital antara lain:
1. Kelainan Genetik dan Kromosom.
Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan
berpengaruh atas kelainan kongenital pada anaknya. Di antara
kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi
dapat pula diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur
dominan ("dominant traits") atau kadang-kadang sebagai unsur resesif.
Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya kelainan
kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkahlangkah selanjutya.
Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran,
maka telah dapat diperiksa kemungkinan adanya kelainan kromosom
selama kehidupan fetal serta telah dapat dipertimbangkan tindakantindakan selanjutnya. Beberapa contoh kelainankhromosom autosomai

trisomi 21 sebagai sindroma Down (mongolism) kelainan pada


kromosom kelamin sebagai sindroma Turner.
2. Faktor mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat
menyebabkan kelainan hentuk organ tubuh hingga menimbulkan
deformitas organ cersebut. Faktor predisposisi dalam pertumbuhan
organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya deformitas suatu
organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes
pada kaki sepcrti talipes varus, talipes valgus, talipes equinus dan
talipes equinovarus (clubfoot)
3. Faktor infeksi.
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi
yang terjadi pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama
kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini
dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ rubuh.
Infeksi pada trimesrer pertama di samping dapat menimbulkan
kelainan kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya
abortus. Sebagai contoh infeksi virus pada trimester pertama ialah
infeksi oleb virus Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
menderita infeksi Rubella pada trimester pertama dapat menderita
kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem
pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan.
Beberapa infeksi lain pada trimester pertama yang dapat menimbulkan
kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus,
infeksi toksoplasmosis, kelainan-kelainan kongenital yang mungkin
dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada system saraf pusat
seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau mikroftalmia.
4. Faktor Obat
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada
trimester pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan
terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang
telah diketahui dagat menimbulkan kelainan kongenital ialah
thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau
mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil

muda dengan tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya
dengan terjadinya kelainan kongenital, walaupun hal ini secara
laboratorik belum banyak diketahui secara pasti. Sebaiknya selama
kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari pemakaian obatobatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal ini kadang-kadang
sukar dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus minum obat.
Hal ini misalnya pada pemakaian trankuilaiser untuk penyakit tertentu,
pemakaian sitostatik atau prepaat hormon yang tidak dapat
dihindarkan; keadaan ini perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya
sebelum kehamilan dan akibatnya terhadap bayi.
5. Faktor umur ibu
Telah diketahui bahwa mongoIisme lebih sering ditemukan pada
bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause.
Di bangsal bayi baru lahir Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo pada
tahun 1975-1979, secara klinis ditemukan angka kejadian mongolisme
1,08 per 100 kelahiran hidup dan ditemukan resiko relatif sebesar
26,93 untuk kelompok ibu berumur 35 tahun atau lebih; angka keadaan
yang ditemukan ialah 1: 5500 untuk kelompok ibu berumur < 35 tahun,
1: 600 untuk kelompok ibu berumur 35-39 tahun, 1 : 75 untuk
kelompok ibu berumur 40 - 44 tahun dan 1 : 15 untuk kelompok ibu
berumur 45 tahun atau lebih.
6. Faktor hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan
kejadian kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu
hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk
mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan
dengan bayi yang normal.
7. Faktor radiasi
Radiasi ada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat
menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi
yang cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat
mengakibatkan mutasi pada gene yang mungkin sekali dapat
menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya.

Radiasi untuk keperluan diagnostik atau terapeutis sebaiknya


dihindarkan dalam masa kehamilan, khususnya pada hamil muda.
8. Faktor gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa
kehamilan dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia,
pada penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi
kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
kekurangan makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi
yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya
defisiensi protein, vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lainIain dapat menaikkan kejadian &elainan kongenital.
9. Faktor-faktor lain
Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya.
Faktor janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat
menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia,
atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali
penyebab kelainan kongenitai tidak diketahui.
C. GANGGUAN KELAINAN KONGENITAL
a) Pewarisan Sifat Autosomal Dominan
Pewarisan sifat autosomal dominan ditentukan oleh gen-gen yang terdapat
di dalam DNA pada autosom (kromosom somatis), yaitu di antara pasangan
kromosom ke-1 sampai sampai pasangan ke-22. Pada pasangan kromosom,
huruf pertama adalah genotip yang terdapat pada kromosom pertama dan
huruf kedua adalah genotip yang terdapat pada kromosom kedua. Misalnya
tertulis genotip Pp pada pasangan kromosom, maka pada kromosom pertama
terdapat gen dominan P (huruf kapital) dan pada kromosom kedua terdapat
gen resesif p (huruf kecil). Untuk genotip PP, pada kromosom pertama
maupun kedua terdapat gen dominan. Sedangkan untuk genotip pp, pada
kromosom pertama maupun kedua terdapat gen resesif.
Pewarisan sifat jenis ini, diturunkan oleh genotip dominan (huruf kapital).
Apabila genotip dominan ini ada, maka sifat tertentu yang diturunkan akan
muncul fenotipnya (sifat yang tampak). Sebagai contoh, jika ada satu gen
dominan P (huruf kapital) saja misalnya genotip Pp, maka sifat yang

diwariskan akan muncul, karena gen dominan ini akan mendominasi dan
menutup gen resesif p (huruf kecil). Jika pasangan berupa gen resesif semua
misalnya pp, barulah sifat yang dipengaruhi oleh gen resesif ini akan muncul.
Tentu saja jika genotipnya dominan semua misalnya PP, sifat yang diwariskan
oleh gen dominan ini akan muncul.
Beberapa pewarisan sifat dari gen autosom dominan yang penting pada
manusia antara lain:
1. Polidaktili dan sindaktili (gen autosom dominan P)
PP : Polidaktili
Pp : Polidaktili
pp : Normal

Gambar 34. Polidaktili (A) dan sindaktili (B)


(Dimodifikasi dari: http://www.i-am-pregnant.com dan
http://img379.imageshack.us)
2. Taster (perasa) feniltiokarbamid atau feniltiourasil (gen autosom
dominan T). Taster mengecap feniltiokarbamid dengan rasa pahit.
TT : Taster
Tt : Taster
tt : Buta kecap

Gambar 35. Taster merasakan pahitnya feniltiokarbamid (Sumber:


http://justbeer.files.wordpress.com)
3. Thalasemia (gen autosom dominan Th)
Huruf Th dianggap 1 huruf saja dalam pembacaannya. Penderita
thalasemia mengalami kekurangan dalam sintesis hemoglobin sehingga
eritrosit mudah lisis.
ThTh
: Thalasemia mayor yang dapat berakibat fatal
Thth
: Thalasemia minor yang masih dapat bertahan
thth
: Normal

Gambar 36. Penderita thalasemia


(http://3.bp.blogspot.com)
4. Dentinogenesis imperfecta/gigi berwarna putih susu (gen autosom
dominan D)
DD: Dentinogenesis imperfecta
Dd : Dentinogenesis imperfecta
dd : Normal

Gambar 37. Dentinogenesis imperfecta


5. Anonikia (tidak memiliki kuku) yang diwariskan oleh gen autosom
dominan An.
An An
: Anonikia
An an
: Anonikia
an an
: Normal

Gambar 38. Anonikia pada jari kaki


(Sumber: http://www.scielo.br)
6. Retinal aplasia (buta sejak lahir karena tidak memiliki retina), yang
diwariskan oleh gen autosom dominan Ra.
Ra Ra
: Retinal aplasia
Ra ra
: Retinal aplasia
ra ra
: Normal
7. Katarak kongenital yang diwariskan oleh gen autosom dominan K.
KK: Katarak kongenithal
Kk : Katarak kongenithal
kk : Normal
8. Lekuk pipit, lekuk dagu, ketebalan rambut tangan, lengan dan dada,
kemampuan membengkokkan ibu jari
9. Daun telinga bebas, pangkal rambut dahi runcing dan sebagainya

Gambar 39. Daun telinga bebas dan tak bebas


(Sumber: http://learn.genetics.utah.edu)
b) Pewarisan Sifat Autosomal Resesif
Pewarisan sifat autosomal resesif ditentukan oleh gen-gen yang terdapat di
dalam DNA pada autosom, yaitu di antara pasangan kromosom ke-1 sampai
sampai pasangan ke-22. Pewarisan sifat jenis ini, diturunkan oleh genotip

resesif (huruf kecil). Apabila genotip dominan ada, maka sifat tertentu
(fenotip) yang diturunkan oleh gen resesif tidak muncul karena didominasi
oleh gen dominan. Sebagai contoh, jika gen resesif b (huruf kecil) berperan
menampakkan fenotip mata biru, sedangkan kita memiliki genotip Bb, maka
mata kita tidak akan berwarna biru. Kondisi ini terjadi karena fungsi gen
resesif p tertutup oleh dominasi gen dominan P. Jika genotip kita pp, barulah
akan muncul fenotip mata biru.
Beberapa pewarisan sifat dari gen autosom resesif yang penting pada
manusia antara lain:
1. Mata biru, yang diwariskan oleh gen autosom resesif b.
BB : tidak biru
Bb : tidak biru
bb : biru

Gambar 40. Mata biru yang diturunkan oleh gen resesif b


(Sumber: http://www.theflagbearer.com)
2. Kistik fibrosis, suatu gangguan metabolisme protein yang berakibat
pada kelainan organ tubuh (diturunkan oleh gen autosom resesif cf)
Cf Cf
: normal
Cf cf
: normal
cf cf
: kistik fibrosis

Gambar 41. Penyakit kistik fibrosis


(Sumber: http://medicastore.com)
3. Tay Sach, suatu degenerasi jaringan saraf yang berakibat pada
penurunan intelektual, kelemahan otot, kebutaan dan sebagainya.

Gambar 42. Penderita Sindroma Tay Sach


(Sumber: http://www.curetay-sachs.org)
c) Kesalahan Metabolisme Bawaan
Beberapa kesalahan metabolisme bawaan yang penting antara lain:
1. Fenilketonuria (diturunkan oleh gen resesif p)
Dalam hal ini fenilalanin tidak dapat diubah menjadi tirosin, yang
dapat menyebabkan keracunan otak dan organ lainnya.
PP : normal
Pp : normal
pp : fenilketonuria

Gambar 43. Penderita fenilketonuria


(Sumber: http://pediatrics.aappublications.org)
2. Albino (diturunkan oleh gen resesif a)
Dalam hal ini tirosin tidak dapat diubah menjadi melanin yaitu pigmen
atau zat warna kulit.
AA
: normal
Aa
: normal
aa
: albino

Gambar 44. Anak albino


(Sumber: http://naturescrusaders.files.wordpress.com)
3. Tirosinosis (diturunkan oleh gen resesif t)
Dalam hal ini tirosin berlebihan sehingga terjadi tanda-data seperti
fenilketonuria, tetapi intelektualitas ada dalam batas normal.
TT
: normal
Tt
: normal
tt
: Tirosinosis
4. Alkaptonuria (diturunkan oleh gen resesif h)

Dalam hal ini alkapton tidak dapat diubah menjadi asam maleylasetat
dan selanjutnya menjadi H2O dan CO2. Akibatnya urine berwarna
coklat tua sampai hitam, nyeri sendi dan timbul bercak di kulit.
HH
: normal
Hh
: normal
hh
: alkaptonuria

Gambar 45. Urin normal dan urin penderitab alkaptonuria


(Sumber: http://www.nexusediciones.com)

Gambar 46. Bercak alkapton


(Sumber: http://www.wikilearning.com)
5. Kretinisme (diturunkan oleh gen resesif c)
Dalam hal ini tirosin tidak dapat diubah menjadi tiroksin dan
triiodotironin yang berperan penting dalam pertumbuhan tubuh,
akibatnya tubuh menjadi kerdil.
CC
: normal
Cc
: normal
cc
: kretin

Gambar 47. Kretinisme


(Sumber: http://www.arastiralim.net)
d) Kodominansi
Kodominansi adalah paduan antara dua jenis gen dominan. Dalam hal ini,
gen dominan ada 2 macam, misalnya HbA dan HbB (meskipun gen tersebut
tertulis dalam 3 huruf anggaplah sebagai 1 huruf). Contoh dari kodominansi
adalah terjadinya fenotip golongan darah dan fenotip anemia sel sabit (sickle
cell anemia).
1. Golongan darah AB (diturunkan oleh gen dominan IA dan IB)
Dalam hal ini, gen dominan adalah I namun ada 2 jenis yaitu IA dan IB,
sedangkan gen resesif adalah i. Dengan demikian, terdapat banyak
variasi genotip yaitu:
IA IB
: golongan darah AB
A A
I I
: golongan darah A
IA i
: golongan darah A
IB IB
: golongan darah B
B
I i
: golongan darah B
ii
: golongan darah O
2. Anemia sel sabit/sickle cell anemia (diturunkan oleh gen dominan HbA
dan HbS)
HbA HbA
HbA HbS
HbS HbS

: normal
: anemia sel sabit ringan
: anemia sel sabit berat

Gambar 48. Struktur sel darah merah pada anemia sel sabit
(Sumber: http://content.revolutionhelath.com)
e) GEN LETAL
Gen letal adalah gen yang menyebabkan kematian pada orang yang
memiliki genotip tersebut. Gen letal ada yang berasal dari gen dominan (gen
dominan letal) dan ada pula yang berasal dari gen resesif (gen resesif letal).
Gen dominan letal
Contoh dari gen dominan letal adalah penyakit Huntingtons chorea dan
brakhidaktili.
1. Brakhidaktili atau jari pendek (diturunkan oleh gen dominan B)
BB
: letal
Bb
: Brakhidaktili
bb
: normal

Gambar 49. Tangan dengan brakhidaktili


(Sumber: http://www.nature.com)
2. Huntingtons chorea dengan gejala adanya gerakan-gerakan tak
terkendali (diturunkan oleh gen dominan H)
HH
: letal
Hh
: Huntingtons chorea
hh
: normal

Gambar 49. Penderita Huntingtons chorea


(Sumber: http://graphics2.jsonline.com)
Gen resesif letal
Contoh dari gen resesif letal adalah penyakit Ichtyosis congenital.
1. Ichtyosis Congenital yaitu bayi baru lahir dengan ciri berkulit tebal,
banyak luka, dan umumnya lahir mati. Penyakit ini diturunkan oleh
gen resesif i.
II
: normal
Ii
: normal
ii
: letal (ichtyosis congenithal)

Gambar 50. Bayi lahir mati dengan ichtyosis congenithal


(Sumber: http://media.photobucket.com)
f) GEN KOMPLEMENTER

Dalam hal ini, gen dominan yang berbeda saling membantu membentuk
fenotip tertentu.
P
F1
F2

DD ee
Bisu tuli
Dd Ee
Normal
D E
D ee
dd E
dd ee

dd EE
bisu tuli
X
Dd Ee
Normal
: normal
: bisu tuli
: bisu tuli
: bisu tuli

Dari paparan di atas tampak bahwa kondisi normal (tidak bisu tuli) terjadi
jika terdapat gen dominan D dan E.
g) RANGKAIAN KELAMIN
Rangkaian kelamin adalah penurunan sifat oleh gen yang terdapat pada
kromosom seks, baik diturunkan oleh gen dominan maupun gen resesif.
Pengaruh gen dominan pada rangkaian kelamin
1. Gigi coklat akibat kekurangan email (diturunkan oleh gen dominan B)
Gen gigi coklat hanya terdapat pada kromosom X, sehingga wanita
yang memiliki kromosom sex XX, tentu memiliki pasangan gen gigi
coklat. Karena pria memiliki kromosom seks XY atau hanya memiliki 1
kromosom X, maka hanya memiliki 1 gen untuk gigi coklat.
PRIA (XY)

WANITA (XX)

B - : gigi coklat
b - : normal

CC
Cc
cc

: gigi coklat
: gigi coklat
: normal

Pengaruh gen resesif pada rangkaian kelamin


1. Buta warna (diturunkan oleh gen resesif c)
Gen buta warna hanya terdapat pada kromosom X, sehingga wanita
yang memiliki kromosom sex XX, tentu memiliki pasangan gen buta
warna. Karena pria memiliki kromosom seks XY atau hanya memiliki 1
kromosom X, maka hanya memiliki 1 gen untuk buta warna.
PRIA (XY)
C - : normal
c - : buta warna

WANITA (XX)
CC
: normal
Cc
: normal
cc
: buta warna

2. Anodontia atau gigi tidak tumbuh (diturunkan oleh gen resesif a)


Gen anodontia hanya terdapat pada kromosom X, sehingga wanita yang
memiliki kromosom sex XX, tentu memiliki pasangan gen anodontia.
Karena pria memiliki kromosom seks XY atau hanya memiliki 1
kromosom X, maka hanya memiliki 1 gen untuk anodontia.
PRIA (XY)
A - : normal
a - : anodontia

WANITA (XX)
AA
: normal
Aa
: anodontia
aa
: anodontia

Gambar 51. Gigi yang tidak tumbuh pada penderita anodontia


(Sumber: http://content.answers.com)
3. Hemofili (gen resesif h)
Gen hemofili hanya terdapat pada kromosom X, sehingga wanita yang
memiliki kromosom sex XX, tentu memiliki pasangan gen hemofili.
Karena pria memiliki kromosom seks XY atau hanya memiliki 1
kromosom X, maka hanya memiliki 1 gen untuk hemofili.
PRIA (XY)
H - : normal
h - : hemofili

WANITA (XX)
HH
: normal
Hh
: hemofili
hh
: hemofili

Gambar 52. Perdarahan yang sulit berhenti pada penderita hemofilia


(Sumber: http://www.dentiss.com)
h) PERUBAHAN EKSPRESI GEN OLEH SEKS

Ekspresi dari gen-gen tertentu dapat ditentukan oleh seks. Dalam hal ini
ada yang benar-benar dibatasi oleh seks sehingga ekspresinya benar-benar
berbeda antara pria dan wanita. Namun ada pula yang cuma dipengaruhi oleh
seks, sehingga ekspresinya berbeda namun tidak terlalu mutlak.

Ekspresi gen yang dibatasi oleh seks


Gen yang mengekspresikan pertumbuhan testis, kumis dan ciri khas
lainnya dari pria, serta gen yang mengekspresikan pertumbuhan ovarium,
pembesaran payudara dan ciri khas lainnya dari wanita.
Ekspresi gen yang dipengaruhi oleh seks
Contoh dari ekspresi gen yang dipengaruhi oleh seks adalah kebotakan dan
panjang jari telunjuk.
1. Kebotakan
PRIA
BB : botak
Bb : botak
bb
: normal
2. Panjang jari telunjuk
PRIA
TT: pendek
Tt : pendek
tt : panjang

WANITA
BB
: botak
Bb
: normal
bb
: normal

WANITA
TT
: pendek
Tt
: panjang
tt
: panjang

i) KELAINAN JUMLAH KROMOSOM


a. Kelainan pada autosom
Sindrom Down
Salah satu kondisi aneuploidi. Sindrom down sering disebut
trisomi 21, memiliki tiga salinan autosom terkecil sehingga setiap
sel tubuh memiliki total 47 kromosom.
Ciri-ciri:
1) Kariotipe 45A+XX/45A+XY pada kromosom 21
2) Mempunyai wajah yang khas, mongolism.
3) Tubuh pendek
4) keterbelakangan mental/idiot
5) cacat jantung

Selain itu, penderita sindrom down rentan terkena leukemia dan


penyakit Alzhaimer. Penyebab sindrom ini adalah terjadi non
disjunction meiosis autosom nomor 21, sering terjadi selama
perkembangan ovum.

Sumber:http://4.bp.blogspot.com/nMhzYGZ5pns/UWF6BLgimTI/AAAAAAAAAXM/GELfRVIQ
8-M/s1600/SINDROM+DOWN.jpg

Sindrom Edward
Disebut trisomi 18. Sering terjadi pada autosom kromosom
nomor 16,17, atau 18.
Ciri-ciri:
1) kariotipe (45A+XX/XY)
2) tengkorak lonjong, bahu lebar pendek, telinga agak ke bawah
dan tidak wajar

Sumber: http://wianva.blogspot.com/2011/11/foto-mutasimutasi.htm
http://www.larasig.com/sites/larasig.com/files/images/trisomy18_
1.jpg

Sindrom Patau
Trisomik pada kromosom autosom. Kelainan kromosom pada
kromosom 13, nomor 14, atau 15. Nama lain dari kelaianan janin
ini adalah trisomi 13.
Ciri-ciri:
1) kariotipe (45A + XX / XY),
2) bibirnya sumbing,
3) gangguan berat pada perkembangan otak, jantung, ginjal,
tangan dan kaki.

Sindrom Cri-du-Chat
Disebut juga tangisan kucing. Keadaan langka ini disebabkan
oleh pemusnahan bagia terpendek dari kromosom nomor 5. Bayi
dengan sindrom ini mengalami kelain fisik, retardasi mental, dan
defek laring yang mengakibatkan suara tangisan seperti suara
kucing mengeong.

Sumber: http://www.mun.ca/biology/scarr/iGen3_16_04_FigureL.jpg
b. Kelainan pada gonosom
Sindrom Turner
Sindrom turner adalah kelainan kromosom yang terjadi pada
perempuan. Terjadi pada perempuan di mana kehilangan saah
satu kromosom seks sehingga hanya memiliki satu kromosom X,
monosomi X. Sindrom turner memiliki kariotipe 22 AA+XO atau
44AXO dengan jumlah kromosom 45.
Ciri-ciri:
1) bertubuh pendek, kehilangan lipatan kulit di sekitar leher,
pembengkakan pada tangan dan kaki, wajah menyerupai anak
kecil, dan dada berukuran kecil.
2) disfungsi gonad (ovarium tidak bekerja), yang mengakibatkan
amenore (tidak adanya siklus menstruasi) dan kemandulan.
3) Memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menderita
keterbelakangan mental.

Sumber:
http://www.neurologiepediatrica.ro/wpcontent/uploads/2010/03/cariotip_turner_sindrom.jpg
http://3.bp.blogspot.com/N1Em0h2K6KA/TgFpy4vMLgI/AAAAAAAAABo/cqht0p
_kGZQ/s320/Sindrom_turner.jpg

Sindrom Klinefelter
Sindrom ini di derita oleh pria. Kariotipe 22AA+XXY (kelebihan
kromosom seks X). Trisomik pada gonosom kromosom nomor 23
dan 24.
Ciri-ciri:

1) Testis mengecil dan stril. Testis yang kecil diakibatkan oleh


sel germinal testis dan sel selitan (interstital cell) gagal
berkembang secara normal. Sel selitan adalah sel yang ada di
antara sel gonad dan dapat menentukan hormon seks pria.
2) Payudara membesar
3) Tinggi tubuh berlebihan (lengan dan kaki memanjang)
4) jika jumlah kromosom X lebih dari dua akan mengalami
keterbelakangan mental.

Sumber:
http://devideposs.files.wordpress.com/2010/08/si55551770
1.jpg

Sindrom Jacobs
Sindrom Jacobs terjadi karena nondisjunction yang
mengakibatkan sel sperma memiliki kelebihan kromosom Y.
Penderita sindrom Jacobs mengalami penambahan satu
kromosom Y pada kromosom kelaminnya sehingga mempunyai
44 autosom dan 3 kromosom kelamin yaitu XYY. kariotipe
(22AA + XYY), mengalami kelainan pada kromosom no.13
berupa trisomik. Biasanya di derita oleh pria.
Perkembangannya normal, dimana organ seksual dan ciri seksual
sekundernya berjalan normal juga pubertas terjadi tepat

waktunya. Pria XYY ini tidak mandul, mereka memiliki testis


yang berkembang normal dengan gairah seksual yang normal.
Ciri-ciri:
1) Bertubuh normal dan berperawakan tinggi
2) Bersifat antisosial
3) Perilaku kasar dan agresif
4) Memperlihatkan watak kriminal dan suka melawan hukum
5) Tingkat kecerdasannya rendah

DAFTAR PUSTAKA
Rachmat. Congenital.
Diambil dari :
http://www.angelfire.com/ga/RachmatDSOG/congenital.html.
Diakses tanggal 20 April 2015 pukul 18.00 WITA
Anonim. Genetika.
Diambil dari : https://www.academia.edu/4905762/GENETIKA
Diakses tanggal 20 April 2015 pukul 18.35 WITA
Anonim. Genetika.
Diambil dari :
http://static.schoolrack.com/files/14204/366336/GENETIKA.doc
Diakses tanggal 20 April 2015 pukul 19.10 WITA
Krisma, Dena. Penyakit Menurun Pada Genetika.
Diambil dari : https://denadeblong.wordpress.com/2013/02/04/penyakitmenurun-pada-genetika/ Diakses tanggal 20 April 2015 pukul 19.30 WITA

APOPTOSIS DAN NEOPLASMA


I. APOPTOSIS
1. Pengertian Apoptosis

Apoptosis (dari bahasa Yunani apo = "dari" dan ptosis = "jatuh") adalah
mekanisme biologi yang merupakan salah satu jenis kematian sel terprogram.
Apoptosis digunakan oleh organisme multisel untuk membuang sel yang sudah
tidak diperlukan oleh tubuh. Apoptosis berbeda dengan nekrosis. Apoptosis
pada umumnya berlangsung seumur hidup dan bersifat menguntungkan bagi
tubuh, sedangkan nekrosis adalah kematian sel yang disebabkan oleh kerusakan
sel secara akut. Dalam literatur lain menyebutkan apoptosis merupakan suatu
bentuk kematiansel yang didesain untuk menghilangkan sel-sel host yang tidak
diinginkan melalui aktivasi serangkaian peristiwa yang terprogram secara
internal melalui serangkaian produk gen. Adapun terjadinya penyebab diatas
sebagai berikut:
a) Selama proses perkembangan.
b) Sebagai suatu mekanisme homeostatik untuk memelihara sel di
jaringan.
c) Sebagai suatu mekanisme pertahanan seperti reaksi imun.
d) Apabila sel-sel dihancurkan oleh penyakit atau agent-agent yang
berbahaya.
e) Proses Penuaan.

Apoptosis merupakan suatu proses kematian sel yang terprogram, diatur


secara genetik, bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi chromatin,
fragmentasi sel dan pagositosis sel tersebut oleh sel tetangganya, serta
merupakan proses penting dalam pengaturan homeostasis normal, proses ini
menghasilkan keseimbangan dalam jumlah sel jaringan tertentu melalui
eliminasi sel yang rusak dan proliferasi fisiologis dan dengan demikian
memelihara agar fungsi jaringan normal. Secara kronologis tahapan yang
terjadi adalah yang pertama fragmentasi DNA, selanjutnya penyusutan dari
sitoplasma, perubahan pada membran, yang terakhir kematian sel tanpa lisis
atau tanpa merusak kematian sel tetangga.
2. Faktor-Faktor Peristiwa Apoptosis
Faktor-faktor yang bertanggungjawab dari serangkaian peristiwa apoptosis
baik fisiologis, adaptif maupun patologis adalah:
a) Kerusakan sel yang terprogram selama embriogenesis termasuk
implantasi, organogenesis, involusi perkembangan dan metamorfosis
yang tidak selalu didefinisikan secara fungsional sebagai kematian sel
yang terprogram, Oleh ahli Embriologi terminologi ini sering
digunakan.
b) Proses involusi yang tergantung hormon pada orang dewasa seperti
penurunan sel endometrium selama siklus menstruasi, atresia folikuler
ovarium pada menopause, regresi payudara setelah menyapih dan
atropi prostat setelah katrasi.
c) Delesi sel pada populasi sel-sel yang berproliferasi seperti epitel kripta
usus (intestinum).
d) Kematian sel pada tumor paling sering selama regresi tapi juga pada
tumor dengan pertumbuhan sel yang aktif.
e) Kematian netropil selama respon respon inflamasi akut.
f) Kematian sel-sel imun baik limfosit B & T, setelah deflesi sitokin,
seiring dengan delesi sel-sel T autoreaktif pada timus yang sedang
berkembang.
g) Kematian sel yang diinduksi oleh sel-sel T Sitotoksik, seperti pada
penolakan imum seluler.
h) Atropi patologis pada organ parenkim setelah obtruksi duktus, seperti
yang terjadi di pankreas, kelenjer parotis & ginjal.

i) Lesi sel pada penyakit virus tertentu, misalnya pada hepatitis virus,
dimana sel-sel yang mengalami apoptosis dihepar yang dikenal sebagai
badan Councilman.
j) Kematian sel akibat berbagai stimulus lesi yang mampu menyebabkan
nekrosis, kecuali bila diberikan dosis rendah, contohnya panas, radiasi,
obatobat anti kanker sitotoksik & hipoksia dapat menyebabkan
apoptosis jika kerusakan ringan, tapi dosis besar dengan stimulus yang
sama menyebabkan kematian sel nekrotik.
3. Morfologi
Gambaran morfologi dapat dilihat dengan mikroskop elektron yang
menggambarkan :
a) Pengerutan sel
Sel berukuran lebih kecil , sitoplasmanya padat, meskipun organella
masih normal tetapi tampak padat.
b) Kondensasi Kromatin (piknotik)
Ini gambaran apoptosis yang paling khas. Kromatin mengalami
agregasi diperifer dibawah selaput dinding inti menjadi massa padat
yang terbatas dalam berbagai bentuk dan ukuran. Intinya sendiri dapat
pecah membentuk 2 fragmen atau lebih ( karyorhexis).
c) Pembentukan tonjolan sitoplasma dan apoptosis.
Sel apoptotik mula-mula menunjukkan blebbing permukaan yang
luas kemudian mengalami fragmentasi menjadi sejumlah badan
apoptosis yang berikatan dengan membran yang disusun oleh
sitoplasma dan organella padat atau tanpa fragmen inti.
d) Fagositosis badan Apoptosis
Badan apoptosis ini akan difagotosis oleh sel-sel sehat disekitarnya,
baik sel-sel parenkim maupun makropag. Badan apoptosis dapat
didegradasi di dalam lisosom dan sel-sel yang berdekatan bermigrasi
atau berproliferasi untuk menggantikan ruangan sebelumnya diisi oleh
sel apoptosis yang hilang.
4. Peranan Apoptosis
Apoptosis memainkan peranan penting dalam perkembangan sel normal
vertebrata. Sebagai contoh, hal yang bertanggungjawab untuk regresi dari ekor
tadpole (berudu) yang mengambil tempat selama metamorfosis menjadi seekor

kodok dan untuk memindahkan interdigital webs selama pertumbuhan anggota


gerak pada embrio mamalia.
Pada mamalia dewasa, apoptosis terjadi secara berkesinambungan dalam
polulasi sel yang berproliferasi lambat seperti epitel hati, prostat dan korteks
adrenal dan dalam populasi yang berproliferasi cepat seperti epitel intestinal
yang membentukkan kripta dan deferensiasi spermatogonia. Walaupun banyak
sel yang hilang dalam populasi pada tipe yang lebih lambat secara jelas adalah
hasil dari kumpulan selsel dijaringan, dalam kenyataannya, mitosis dan
apoptosis seimbang satu sama lain dibawah kondisi yang siap. Ada yang
sedang tumbuh membuktikan bahwa apoptosis diatur dalam suatu mode
resiprokal ke mitosis oleh faktor pertumbuhan (growth factor) dan hormon hormon tropik. Raff telah menegaskan bahwa kebanyakan sel-sel pada binatang
yang lebih tinggi mungkin memerlukan simulasi tropik yang terus menerus
untuk kehidupan. Raff juga menyatakan bahwa suatu peningkatan dalam
jumlah sel pada tempat-tempat khusus dapat memimpin kompetisi seluler yang
lebih besar untuk faktor tropik yang menstimulasi mitosis dan menghambat
apoptosis, ini berbalik secara temporer terhadap keseimbangan antara kedua
proses, mengakibatkan populasi sel kebentuk levelnya. Walaupun demikian,
terdapat bukti bahwa substansi yang aktif menstimulasi apoptosis juga
mungkin terlibat didalam hemostatis populasi sel normal.
Dalam kultur primer sel endokrin kelinci, faktor yang menginduksi mitosis
dan apoptosis telah ditemukan disekresi ke dalam siklik kecuali model
reciprocal, dengan hasil bahwa sejumlah sel menunjukkan fluktuasi pada dasar
harian tetapi relatif tetap konstan untuk berlanjut ke periode waktu tertentu.
Sejumlah proses involusi tumor dalam mamalia dewasa normal telah
ditunjukkan berhubungan dengan peningkatan apoptosis. Dokumentasi yang
baik mencontohkan termasuk reversi mamae laktasi menjadi keadaan istirahat
setelah menyapi, atresia folikel ovarium dan involusi folikel rambut. Tanggung
jawab triger untuk peningkatan apoptosis yang terjadi selama involusi mamae
tepatnya hormonal, tetapi dalam contoh lain secara alamiah stimulasi awal
dapat ditentukan.
Pada sistem imun, apoptosis memiliki aturan fisiologi spesifik yang
eksklusif untuk kebutuhan fungsi sistem tersebut. Sebagai contoh tanggung

jawab untuk penghapusan sel-sel T autoreaktif dalam thymus


bertanggungjawab untuk batas toleransinya sendiri dan untuk seleksi sel-sel B
dalam pusat germinal limfoid selama respon imune humoral. Fungsi spesialis
lain adaptasi dalam hewan normal adalah menghapus sel-sel yang tak berguna,
seperti leukosit netropil yang tua dan megakaryosit yang telah menumpahkan
sitoplasmanya selama pembentukan platelet.
APOPTOSIS SPONTAN DALAM TUMOR
Apoptosis dapat ditemukan pada semua tumor ganas yang tidak diterapi
dan walaupun terdapat beberapa penelitian kwantitatif yang ringkas, penilaian
histologik mengindikasikan bahwa luasnya pendekatan beberapa tumor
manusia yang terlihat didalam involusi yang cepat mengindikasikan bahwa
kemaknaan kinetik kadang dapat dipertimbangkan.
Sel didalam daerah stemsel secara hirarki mengatur proliferasi populasi
yang cepat seperti kripta usus, diffrensiasi spermatogonia, proliferasi yang
cepat dijanin dan limfosit mempunyai kepekaan khusus dan telah
diargumentasikan secara teologikal, bahwa ditandai dengan berlangsungnya
destruksi sel setelah induksi kerusakan DNA sebagai reflikasi yang berpotensi
berbahaya yang berhubungan penetapan dalam bentuk mutan. Oleh karenanya,
menetapnya sel-sel stem dengan kerusakan DNA yang tak diperbaiki dalam
abnormalitas genetik, satu sel mutan hidup didalam suatu zona proliferasi pada
janin akan memberikan banyak asalusul mutan dalam menghasilkan jaringan
matur, spermatogonia mutan yang survive akan menimbulkan gamet-gamet
mutan, dan beberapa limfosit dengan mutasi pada reseptor gennya mungkin
mempunyai kapasitas untuk menjadi penyakit autoimum. Bagian yang mana
radiasi menstimulasi apoptosis pada sel-sel normal & neoplastik secara lengkap
belum diketahui sampai sekarang, dan kemungkinan bahwa gen-gen supresor
tumor p53 terlibat. Telah ditegaskan bahwa produk p53 bereaksi sebagai
polisi molekuler memantau integritas genome jika DNA dirusak, produk p53
bertumpuk melalui suatu mekanisme stabilisasi dan mengistirahatkan siklus sel
di G1 memberikan waktu untuk perbaikan. Jika perbaikan gagal, p53 boleh
memicu penghapusan sel dengan apoptosis. Cogent membuktikan keterlibatan

gen p53 dalam induksi apoptosis oleh radiasi telah terdapat didalam penemuan
bahwa thymocyte kekurangan p53 adalah resisten terhadap efek letal dari
radiasi tetapi mempertahankan kenormalannya untuk terjadi apoptosis setelah
pengobatan dengan glukokortikoid. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa
langkah teakhir dalam deretan usulan, induksi apoptosis oleh sutu peningkatan
level normal (wild-tepy). Gen p53 tampak telah didemonstrasikan hanya pada
derivat sel tumor.
INDUKSI APOPTOSIS OLEH OBAT KEMOTERAPI KANKER
Bermacam obat kanker telah menunjukkan penginduksian apoptosis secara
luas dalam populasi sel yang berproliferasi normal, jaringan limfoid dan tumor.
Oleh karenanya peningkatan apoptosis bertanggung jawab dari berbagai
kerugian efek dari kemoterapi dan regresi tumor. Cara obat-obat anti kanker
menginduksi apoptosis tidak diketahui. Pengertian yang lebih baik dari proses
keterlibatan secara jelas mungkin dipakai untuk memperbaiki regimen terapi.
Walaupun demikian, terdapat suatu tambahan penting sebagai konsekuensi dari
realisasi bahwa obat-obat anti kanker menengahi efek terapinya dengan
mentriger apoptosis. Telah ditekankan apoptosis adalah suatu fenomena
pengaturan yang mampu dihambat dan dan diaktifkan. Di dalam hepar
mungkin terletak suatu penjelasan untuk contoh tertentu resistensi obat.
Terdapat bukti bahwa stimulasi beberapa lapisan sel oleh sitokine tropik atau
peningkatan level ekspresinya dari proto-oncogen bcl-2 (gen bcl-2
menghambat terjadinya apoptosis dalam suatu variasi keadaan) dapat
meningkatkan secara besar restensi mereka terhadap efek induksi apoptosis
dari obat anti kanker. Kemoterapi sekarang diketahui yang membunuh sel
dengan menginduksi apoptosis dimana ada suatu proses yang memerintahkan
program kematian sel.
Saat sel hematopotik merupakan derivat dari faktor pertumbuhan (Growth
Factor) merupakan hal yang penting, mereka juga mati dengan cara apoptosis.
Percobaan pada laboratorium kemoterapi dapat mempengaruhi growth factor.
Sabagai contoh: bekerja pada reseptor growth faktor epidermis di sel-sel Hela

dan 3T3. Aktivasi sinyal protein kinase C intrasel meningkatkan pembunuhan


sel oleh cisplastin tanpa meningkatkan uptake obat.
INDUKSI APOPTOSIS OLEH HORMON WITHDRAWAL ATAU
TAMBAHAN
Apoptosis terlibat dalam proses atrofi dari organ endokrin independent,
seperti prostat dan adrenal yang mengikuti withdrawal stimulasi hormonal
tropik dan mungkin diharapkan juga mempertinggi tumor yang disebabkan
oleh hormonal dependen setelah berhasil diterapi. Sebaliknya peningkatan level
glukokortikoid menginduksi apoptosis timosit dan efek yang sama diamati
pada banyak leukimia limfositik dan limfoma maligna. Gambaran
kemungkinan peranan peningkatan ekspresi bcl-2 proto oncogen di dalam
pertumbuhan resistensi tumor terhadap obat anti kanker, ketertarikan yang
besar bahwa laporan baru baru ini mengindikasikan bahwa mungkin juga
terlibat dalam resistensi terapi hormonal. Oleh karena itu, walaupun ekspresi
bcl-2 telah ditemukan secara virsuali tidak dapat dideteksi oleh
imunohistokimia pada kanker prostat manusia yang merupakan androgendependent pada bungkus 13-19, semua kanker androgen-independen yang
diteliti dengan kekecualian jaringan yang didapat dari metatasis sumsum
tulang, terpajang pengecatan positif untuk protein bcl-2. Sebagai tambahan,
ekspresi bcl-2 terlihat dihubungkan dengan resistensi untuk menginduksi
apoptosis oleh glukokotikoid pada beberapa sel limfoid.
INDUKSI APOPTOSIS OLEH ANTIBODI APO-1 ATAU FAS ANTIGEN
Antigen APO-1 telah didefinisikan dari penelitian antibodi monoklonal
yang meningkat pada sel limfoblast B manusia. Satu dari antibodi yang telah
ditemukan menginduksi apoptosis yang diaktifkan imfosit B dan T manusia
dan bermacam-macam sel dari derivat sel tumor limfoid manusia. Antigen
membran sel dimana antibodi ini melekat dibari nama APO-1. Antigan FAS,
didefinisikan sebagai suatu antibodi monoklonal kedua yang dikembangkan
oleh kelompok kerja lain, telah menemukan identitas antigen APO-1. Molekul
ini memiliki reseptor faktor nekrosis tumor manusia/ reseptor faktor
pertumbuhan syaraf yang merupakan famili dari protein permukaan sel. Injeksi

anti-antibodi monoklonal APO-1 menyebabkan regresi yang cepat murime


xenograft dari APO-1, ekspresi dari turunan sel limfoid manusia, dengan
regresi yang didampingi oleh apoptosis meningkat cepat dari sel-sel yang
didorong. Tidak diketahui apakah efek anti-antibodi APO-1 pada sel-sel normal
akan mencegah pengaturan sel pada manusia.
INDUKSI APOPTOSIS OLEH LIMFOSIT SITOKSIK
Penelitian penelitian invitro telah menunjukkan bahwa target kematian sel
diinduksi oleh sel T dan sel K dan sel NK, dan peningkatan apoptosis telah
diamati secara invitro pada penolakan imunitas selular dari alograp dan
penyakitpenyakit graft-versus host. Penghapusan sel sel terinfeksi virus oleh
imfosit sitotoksik berperan penting dalam pengaturan eliminasi virus dari
tubuh, dan keterlibatan apoptosis dalam penghapusan ini secara jelas
menunjukkan fungsi hemostatik. Induksi apoptosis oleh sel-sel T sitotoksin
tidak dihambat oleh penghambat sintesis protein atau oleh ekspresi bcl-2.
5. Mekanisme Apoptosis
Mekanisme terjadinya Apoptosis adalah akibat dikatifkannya beberapa
sinyal yang mencetuskan kematian, berkisar dari kurangnya faktor atau hormon
pertumbuhan, sampai interaksi Ligand reseptor positif dan agent-agent lesi
spesifik sebagai tambahan ada koordinasi tapi sering pula ada hubungan yang
berlawanan antara pertumbuhan sel dan apoptosis sebenarnya.

a) Peran aktivitas

Mekanisme terjadinya apopotosis untuk tiap sel berbeda-beda.


Aktivasi mekanisme apoptosis untuk tiap sel tertentu disebabkan oleh
aktivitas yang berbeda-beda pula.
b) Kadar ion kalsium
Apabila terjadi aktivitas stimulus terhadap sel dan aktivitas
apoptosis , akan terjadi peningkatan kadar ion Ca++ didalam inti sel.
Ion Ca++ ini mengaktifkan enzim Kalsium dependen Nuklear Indo
Nuklease yang terdiri dari Endonoklease, Protease Transglutaminase.
c) Reseptor Makrofag
Proses Fagositosis terhadap apoptotic bodies atau sel lain
ditentukan oleh reseptor yang ada di permukaan makrofag atau sel
fagosit tersebut: contoh sel makrofag yang mengandung viktonektin
reseptor, suatu beta 3 integrin, memudahkan fagositas apoptotic
netropil.
d) Regulasi genetic
Beberapa gen bila distimulasi akan menyebabkan apoptosis, seperti
Heta shock protein dan proto onkogen. Tetapi stimulasi gen ini tidak
berhubungan langsung dengan proses mulainya apoptosis (Bimantara,
2009).
Fragmentasi inti DNA yang cepat dan teratur sudah sejak lama
dianggap pertanda utama dari apoptosis. Sinyal apoptosis dapat berasal
dari luar maupun dari dalam sel. Dari luar sel, sinyal apoptosis dibawa
oleh Sel T, yaitu protein Fas atau sinyal kematian lainnya misalnya
protein Tumor Necrosis Factor (TNF). Bila protein-protein tersebut
berikatan dengan masing-masing reseptornya, maka proses apoptosis
dimulai. Sinyal apoptosis tersebut ditangkap oleh death domain yang
teraktivasi oleh kehadiran Fas dan TNF. Sebelum dilanjutkan,
apoptosis diyakinkan kembali untuk diteruskan atau dihambat melalui
mekanisme seleksi oleh protein FLIP (Flice/caspase-8 inhibitory
protein). Ekspresi yang berlebihan dari FLIP, akan menyebabkan
proses apoptosis terhenti. FLIP inilah sebagai penyeleksi awal dan
memastikan apakah sel layak atau tidak. Model penghambatan
apoptosis melalui mekanisme FLIP terjadi pada apoptosis ekstrinsik

yaitu mekanisme apoptosis dengan sinyal kematian berasal dari luar


sel. Bila ekspresi FLIP rendah, maka sinyal kematian akan diteruskan
oleh mediator apoptosis selanjutnya yaitu caspase-8.
Lingkungan sekitar dapat mempengaruhi kondisi sel. Beberapa
protein dapat terekspresi pada kondisi lingkungan yang ekstrem.
Protein Bax, yang merupakan anggota keluarga protein Bcl-2,
merupakan protein pembawa sinyal apoptosis dari dalam sel. Ekspresi
yang berlebihan dari Bax dalam sitoplasma, dapat menyebabkan
membran mitokondria berlubang. Mitokondria adalah organ sel yang
berfungsi sebagai tempat pembangkit energi sel. Rusaknya membran
mitokondria menyebabkan sel kehilangan energi dan salah satu protein
terpenting di dalamnya, yaitu cytochrome C lepas menuju sitoplasma.
Sebelum Bax merangsek membran mitokondria, kerja protein tersebut
harus mendapat izin terlebih dahulu dari protein Bcl-2. Bila tidak
mengantongi izin, maka ekspresi protein Bcl-2 akan meningkat dan
mendesak keberadaan protein Bax sehingga apoptosis tidak terjadi.
Kehadiran cytochrome C di dalam sitoplasma dapat menyebabkan
teraktivasinya protein Apaf-1, yang nantinya bersama-sama dengan
caspase-9 akan melanjutkan perjalan akhir dari sinyal kematian.
Mekanisme tersebut merupakan bagian dari jalur apoptosis intrinsik,
yang dilihat dari asal sinyal kematian yaitu dari dalam sel. Perjalanan
akhir sinyal apoptosis, akan dieksekusi oleh salah satu anggota
keluarga protein caspase, yaitu caspase-3. Bila sinyal apoptosis sudah
mencapai caspase-3, maka kepastian dari apoptosis sudah final.
Caspase-3 akan memotong-motong protein histon yang berfungsi
mengikat rangkaian DNA, menjadi beberapa bagian. Salah satu ciri
khas dari sel yang mengalami apoptosis yaitu bentuk sel menjadi
bulatan-bulatan kecil. Berbeda dengan kematian sel akibat nekrosis
yang berbentuk tidak beraturan, bentuk bulatan-bulatan kecil ini
dimaksudkan untuk memudahkan dan meringankan tugas makrofage
yang berfungsi sebagai pencerna sel yang mati akibat apoptosis dan
diangkut menuju sistem pembuangan.

II.

NEOPLASMA (TUMOR)
a. Definisi Neoplasma

Neoplasia secara harfiah berarti proses pertumbuhan baru dan suatu


pertumbuhan baru disebut neoplasma. Kata tumor semula diterapkan untuk
pembengkakan akibat peradangan. Neoplasma juga dapat memicu
pembengkakan, tetapi setelah beberapa lama pemakaian tumor untuk
menerangkan hal selain neoplasma mulai ditinggalkan. Oleh karena itu, kata
ini sekarang berarti neoplasma. Onkologi (Yunani oncos=tumor) adalah ilmu
tentang tumor atau neoplasma. Kanker adalah kata umum untuk semua tumor
ganas. Meskupun asal mula asal kata ini agak kurang jelas, diperkirakan
kanker berasal dari kata lathin untuk kepiting, cancer-mungkin karena kanker
melekat pada bagian apapun yang dapat dicenghkramnya secara terus
menerus, seperti kepiting.
Onkologi ialah ilmu yang mempelajari penyakit yang disebabkan oleh
tumor. Dalam artian umum, tumor adalah benjolan atau pembengkakan
abnormal didalam tubuh, tetapi dalam artian khusus, tumor adalah benjolan
yang disebabkan neoplasma. Secara klinis secara klinis, tumor dibedakan atas
golongan neoplasma dan nonneoplasma misalnya, kista, akibat reaksi radang
atau hiper trofi.
Menurut Sir Rupert Willis, Neoplasma (Tumor) adalah massa abnormal
jaringan yang pertumbuhannya berlebihan & tidak terkoordinasikan dengan

pertumbuhan jaringan normal serta terus demikian walaupun rangsangan yang


memicu perubahan tersebut telah berhenti.
Klasifikasi patologi tumor dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan
miskroskopik pada jarinagan dan sel tumor. Dari pemeriksaan mikroskopik ini
tampak gambaran keganasan yang sangat bervariasi, mulai dari yang relatif
jinak, ke yang paling ganas. Pada satu organ dapat timbul satu atau lebih
neoplasma yang sifatnya berlainan.
Meskipun semua dokter mengetahui apa yang maksud ketika
menggunakan kata neoplasma, untuk menentukan difinisi kata ini, ternyata
cukup sulit. Ahli onkologi inggris terkemuka Willis, mungkin paling
mendekati, neoplasma adalah suatu massa abnormal jaringan, yang
pertumbuhannya melebihi serta tidak terkoordinasi dengan jaringan normal
dan tetap berlebihan walaupun rangsangan yang memicunya telah berhenti.
Kita mengetahui bahwa mneatapnya tumor karena bahkan setelah rangsangan
pemicu lenyap terjadi akibat perubahan genetik (herediter) yang diwariskan
keketurunan sel tumor. Perubahan genetik ini memungkinkan sel tumor
berpoliperasi secara berlebihan dan tidak terkendali serta menjadi
otonom(independen terhadap rangsangan pertumbuhan fisiologis).
Neoplasma dapat bersifat ganas atau jinak. Neoplasma ganas atau kanker
terjadi karena timbul atau berkembangbiaknya sel secara tidak terkendali
sehingga sel-sel ini tumbuh terus merusak bentuk dan fungsi organ tempat
tumbuhnya. Kanker karsinoma, atau sarkoma tumbuh menyusut (infiltratif)
kejaringan sekitarnya sambil merusaknya (destruktif), dapat menyebar kelain
tubuh, dan umumnya fatal jika dibiarkan. Neoplasma jinak tumbuh dengan
batas tegas dan tidak menyusup, tidak merusak, tetapi membesar dan menekan
jaringan disekitarnya (ekspansif), dan umumnya tidak bermetastasis* misalnya
lifoma.
Neoplasma adalah masa jaringan yang abnormal, tumbuh berlebihan, tidak
terkordinasi dengan jaringan normal lainnya dan tumbuh terus- menerus
sehingga merugikan bagi tubuh. Penyebab neoplasma adalah mutasi pada
DNA sel, sehingga terjadi gangguan pada proses regulasi homeostasis sel. Hal
inilah yang menyebabkan transformasi sel karena pembelahan sel tidak
terkontrol dan timbul neoplasma. Pada neoplasma, proliferasi berlangsung
terus menerus. Proliferasi demikian disebut proliferasi neoplastik, yang

mempunyai sifat progresif,tidak bertujuan, tidak memperdulikan jaringan


sekitarnya,tidak ada hubungan dengan kebutuhan tubuh dan bersifat parasit.
(Chrestella, 2009; Suwandono, 2010)
Sel neoplasma bersifat parasitic dan pesaing sel atau jaringan normal atas
kebutuhan metabolismenya pada penderita yang berada dalam keadaan lemah.
Neoplasma bersifat otonom karena ukurannya meningkat terus. Proliferasi
neoplastik menimbulkan massa neoplasma, menimbulkan pembengkakan atau
benjolan pada jaringan tubuh membentuk tumor.
b. Etiologi
Faktor penyebab kanker berbeda-beda di berbagai negara. Yang berperan
penting, antara lain makanan (kelebihan kalori, kelebihan zat lemak,
kekurangan serat) dan peracunan diri (asap rokok). Selain itu, karsinogen
mealalui makanan, industri dan kedokteran dapat mengancam. Infeksi
9hepatitis, sistomiasis) masih memegang perananpenting dibeberapa negara.

a) Karsinogenesis Kimiawi

Ada beberapa bahan kimia yang dikenal sebagai bahan yang


bersifat karsinogenik. Diantara bahan tersebut ada yang bersifat alami,
dan ada yang bersifat sintetik atau semi sintetik. Yang merupakan
bahan antara (industrial intermediates) dalam Industri.
Aflatoksin B1, dustu karsinogen alami, adalah mitoksin yang
berasal dari Aspergillus Flavus yang mudah tumbuh pada berbagai
butira tanaman serelia atau tanaman kacang kacangan, misalnya
kacang tanah yang di simpan dalam suasana lembap. Bahan ini
merupakan promotor kuat bagi karsinoma pada pengidap sirosis hati.
Vinilklorida yang merupakan bahan antara dalam industri plastik,
dapat menginduksi angiosarkoma hepatis, terutama pada karyawan di
industri plastik, sedangkan bahan antara pada industri bahan celup,
yaitu 2-naftilamin adalah suatu karsinogen yang menimbulkan
karsinoma kandung kemih. Benzo(a)piren, suatu pencemar lingkungan
yang terdapat di mana-mana, berasal dari pembakaran tak sempurna
pada mesin mobil dan mesin lain (jelaga dan ter), terkenal sebagai
suatu karsinogen untuk binatang, dan mungkin sebagai suatu
karsinogen untuk binatang, dan mungkin sekali juga bersifat
karsinogen pada manusia.

Umumnya bahan karsinogen ini mencemari udara, terutama di


kota-kota besar dan di kawasan industri sehingga penduduk kota
beresiko tinggi untuk menderita kanker. Demikian juga pekerja pada
industri yang menghasilkan bahan antara karsinogenik. Di kota, mobil
merupakan sumber karsinogen terpenting selain industri. Lingkungan
di sana lebih tercemar oleh buangan air dan sisa produksi industri yang
sering mengandung berbagai macam karsinogen.
Kemungkinan adanya bahan karsinogen akibat pekerjaan di
lingkungan kedokteran juga penting diingat, misalnya akibat
penggunaan kemoterapi dalam onkologi.
Virlilklorida yang merupakan bahan antara industru palstik, dapat
menginduksi angiosarkoma hepatis, etrutama pada karyawan di indutri
plastik, sedangkan bahan antara pada industri bahan celup, yaitu 2naftilamin adalah suatu karsinogen yang menimbulkan karsinoma
kandung kemih.
b) Karsinogen Fisik

Sinar ionisasi ternyata bersifat karsinogen. Pada akhir abad yang


lalu sudah diketahui bahwa bahwa banyak pkerja industri radium
menderita sarkoma tulang dan karsinoma paru. Pajanan sinar radioaktif
dari bom atom di Jepang juga ternyata mengakibtakan karsinoma dan
leukimia. Demikian juga penduduk Ukraina sekitar Tsejnorbyl setelah

ledakan di pusat nuklir tenaga listrik. Para dokter yang dahulu


melakukan pemeriksaan sinar tembus tanpa perlindungan tangan
ternyata banyak menderita karsinoma kulit tangan. Sinar penyinaran
Rotgen merupakan penyinaran dengan sinar radioaktif.
Dalam hal sinar ini harus diingat kemungkinan karsinogenesis
iatrogen, yaitu yang disebabkan oleh tindakan kedokteran, umpamanya
eksposisi pada sianr tembus yang merupakan sinar ionisasi atau
ultraviolet yang digunakan revalidasi.
Radiasi, dimanapun sumbernya (UV, sinar x, fisi nuklir,
radionuklida) merupakan karsinogen.Pelopor & pengembang sinar
rontgen menderita kanker kulit. Korban selamat bom Hiroshima
Nagasaki mengungkapkan peningkatan nyata insiden leukemia. Efek
onkogenik UV alami sinar matahari dapat menyebabkan kanker kulit
(resikoberkulit terang yg tinggal di tempat panas)
c) Faktor Genetik

Faktor genetik tampaknya berperan dalam keganasan tertentu


sehingga kanker ini ditemukan pada keluarga tertentu. Misalnya, ada
keluarga yang anggotanya banyak menderita poliposis koli, suatu
penyakit familial yang cendurung menjadi maligna. Penyakit kanker
yang familial,atau yang diturunkan oleh faktor genetik, kadang
ditemukan, misalnya kanker payudara dan kanker ovarium. Akan
tetapi, umumnya keganasan dalam suatu keluarga sipengaruhi oleh

gaya hidup dan lingkungan (Faktor kimiawi dan fisik).Konstitusi


genetika dapat berupa kerusakan:
1. Kerusakan Struktural, disebabkan konstitusi gen itu rusak
2. Kerusakan Fungsional, kerusakan fungsi atau sistem kerjanya
dan ini menentukan kemampuan tumbuh untuk:
Menetralisasi karsinogen yang masuk ke dalam tubuh
Mereparasi kerusakan gen dalam chromosom
Menjaga imunitas tubuh
Mematikan sel kanker yang baru terbentuk.
(Hegner,2003)
Sistem kerja, adanya kerusakan konginetal ini
menentukan apakah seseorang itu mempunyai tidak bakat
atau mudah/ sukar mendapat kanker.
d) Karsinogenesis viral
Saat ini dikenal empat keluarga virus yang berhubungan dengan
terjadinya kanker pada manusia. Keganasan tersebut timbul pada orang
dewasa maupun anak-anak dan mengakibatkan moratlitas kira-kira
25% dari jumlah kasus kanker baru didunia. Jadi kebanyakan proses
keganasan dapat dicegah jika infeksi virus dapat dihindar.

Virus yang bersifat karsinogen disebut virus onkogenik. Dari


berbagai penelitian diketahui bahwa baik virus DNA maupun virus
RNA dapat menimbulkan transformasi sel.
Virus DNA mengandung DS-DNA yang dapat berintegrasi
sebagian atau seluruhnya dengan kromosom sel pejamu. Mereka dapat

bergabung untuk waktu yang lama. Pada perpaduan yang lama ini
menimbulkan mutasi sehingga terbentuk neoplasma.
e) Peranan Hormon
Hormon dapat merupakan promotor terjadinya keganasan; ini
terbukti secara ekspremental maupun secara klinis. Pada hewan coba
tikus, terbukti bahwa karsinoma uteri lebih mudah timbul jika pada
tikus tersebut diberikan juga sediaan estrogen. Sementara itu
pemberian sediaan estrogen pada wanita pascamenopause
mempengaruhi perkembangan karsinoma korpus uteri. Pemberian
diestilbestrol (DES) yang lazim dilakukan untuk mencegah abortus
pada beberapa yang lalu, mengakibatkan wabah karsinoma sel bening
pada vulva dan vagina anak perempuan pada usia 15 tahun lebih.
Selain itu, terdapat cacat bawaan pada alat kelamin luar dan dalam
pada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Beberapa jenis hormone menjadi salah satu co-faktor pada
karsinogenesis. Sebagai contoh estrogen membantu pembentukan
kanker endometrium dan payudara. Hormone steroid merangsang
pembentukan karsinoma sel hati.
f) Faktor gaya hidup
Gaya hidup, khususnya kebiasaan makan, merupakan salah satu
sebab meningkatnya risiko terserang kanker. Asupan kalori yang
berlebihan terutama yang berasal dari lemak binatang dan kebiasaan
makan makanan yang kurang serat meninggikan resiko terhadap
berbagai keganasan, sperti karsinoma payudara dan karsinoma kolon.
Asap rokok merupakan bahan yang mengandung berbagai macam
karsinogen. Akibat buruk asap rokok tidak tertandingi oleh asap dan
bahan kimia lain yang mencemari udara. Dampak negatif lain dari
kebiasaan merokok adalah mempercepat perkembangan arterosis juga
pada masih muda.
Alkohol mempenngaruhi selaput lendir mulut, faring dan esofagus,
sehingga lebih mudah mengalami keganasan. Selain itu, alkohol
meningkatkan kejadian kanker hati. Pengaruh karsinogenik rokok
diperbesar oleh alcohol.
g) Parasit

Parasit Schistosoma hematobium menyebabkan karsinogen


planoseluler, dan bukan karsinoma sel transisel yang lazim terdapat di
buli-buli akibat serbuan parasit yang ke dinding buli-buli usia 25-40
tahun. Penyakit ini banyak terdapat di Mesir karena sistosamiasis yang
tinggi.
Schistosoma dan Clonorchis sinensis adalah parasit yang
dihubungkan dengan tejadinya kanker kandung kemih dan infeksi
Clonorchis sinensis yang dihubungkan dengan terjadinya kanker pada
kandung empedu.
h) Sunat dan Fimosis
Smegma yang tertimbun antara glans dan prepusium pada keadaan
fimosis menyebabkan iritasi kronik yang mungkin disertai
balanopostitis. Rangsangan setempat yang menahun ini dapat
menyebabkan terbentuknya karsinoma planoseluler di glans penis atau
permukaan prepusium.
Sunat atau sirkumsisi mencegah terjadinya karsinogenesinoma
penis, kecuali bila dilakukan secara tidak sesuai dengan tata cara
berlaku karena sirkumsisi yang tidak lengkap dapat menyebabkan
i)

fimosis.
Penurunan Imunitas
Penurunan imunitas karena tindakan kedokteran (iatrogen),
misalanya penggunaan kemoterapi, pemberian kartikosteroid jangka
lama, atau terapi penyinaran luas dapat mengakibatkan timbulnya
keganasan setelah sepuluh tahun atau lebih. Keganasan yang dapat
timbul pada defisiensi imunitas ini, antara lain imfoma malignum dan
leukemia. Imunosupresi oleh infeksi HIV dapat menyebabkan
terjadinya tumos Koposi.

c. Klasifikasi Neoplasma
Sel tumor adalah sel tubuh yang mengalami transformasi dan tumbuh
secara autonom lepas dari kendali pertumbuhan sel normal sehingga sel ini
berbeda dari sel normal dalam bentuk dan strukturnya. Perbedaan sifat sel
timor tergantung pada besarnya penyimpangan dalam bentuk dan fungsi,
autonominya dalam pertumbhan, dan kemampuannya mengadakan infiltrasi
dan menyebabkan metastasis.

Sel tumor terbentuk bermacam-macam (polimorfi) dengan warna yang


beraneka (polikromasi) karena tinggi kadar asam nukleat dalam inti dan tidak
meratanya distribusi kromosom inti. Inti sel relatifn besar dengan rasio
inti/sitoplasma yang lebih randah. Insidens mitosis lebih tinggi dan terdapat
mitosis abnormal. Susunan sel tidak teratur (anaplastik). Sel tumor bersifat
tumbuh terus tanpa batas sehingga tumor makin lama makin besar dan
mendesak jaringan sekitarnya. Pada neoplasma ganas, selnya tumbuh sambil
menyusup dan merembes ke jaringan sekitarnya.
Selain bersifat menyusup, sel kanker dapat melepaskan diri, meninggalkan
tumor induknya dan masuk ke dalam pembuluh limfa atau pembuluh darah,
terutama pembuluh kapiler. Dengan cara ini, terjadi penyebaran (metastasis)
lomfogen dan hematogen.
Akhirnya sel-sel ganas ini dapat merusak bentuk dan fungsi organ yang
bersangkutan. Tumor dapat menyumbat saluran tubuh dan menimbulkan
obstruksi. Oleh karena kadang kecepatan tumbuh sel kanker tidak seimbang
dengan pasokan darah, sebagian sel kanker dakan mengalami hipoksia atau
anoksia sehingga terjadi nekrosis yang menyebabkan ulkus di permukaan.
Struktur tumor :
Sel neoplastik : terus menerus mensintesis dan mensekresi produk sel
seperti kolagen, musin atau keratin yang terakumulasi di dalam jaringan

tumor (histologi).
Stroma : kelompok sel neoplastik dilekatkan ke dalam dan didukung oleh
jaringan ikat yang memberikan dukungan mekanis dan nutrisi pada sel
neoplastik.

1) Atas dasar sifat biologik tumor


Atas dasar sifat biologiknya tumor dapat dibedakan atas tumor yang
bersifat jinak (tumor jinak), tumor yang bersifat ganas (tumor ganas) dan
tumor yang terletak antara jinak dan ganas yang disebut intermediate.
1. Tumor jinak atau beligna
Tumor jinak tumbuhnya lambat dan biasanya mempunyai simpai
(kapsul), tidak tumbuh infiltrative, tidak merusak jaringan sekitarnya

dan tidak menimbulkan anak sebar pada tempat yang jauh. Tumor
jinak pada umumnya dapat disembuhkan dengan sempurna kecuali
yang mensekresi horrmon atau yang terletak pada tempat yang sangat
penting, misalnya di sumsum tulang belakang yang dapat
menimbulkan paraplegia atau pada saraf otak yang menekan jaringan
otak.
2. Tumor ganas atau maligna
Tumor ganas lebih dikenal dengan nama kanker . pertumbuhannya
sangat cepat dan tidak terkendali karena sel-sel jaringan telah berubah
bentuk menjadi sel-sel kanker. Kanker tidak berbatas tegas, merusak
jaringan, dan tumbuh menjalar ke bagian lain melalui pembuluh
darah atau pembulh getah bening. Perkembangbiakan sel kanker
hingga ke bagian tubuh lain disebut metastasis. Jika jaringan tumor
ganas menyerupai jaringan embrio disebut blastoma. Jika berasal dari
dua lapis jaringan ebrio disebut karsinosarkoma, sedangkan jika dari
tiga

lapis

jaringan

embrio

disebut

teratoma.

(Otto,2003;

Pringgoutomo, 2002)
Tumor ganas pada umumnya tumbuh cepat, infiltrative dan
merusak jaringan sekitarnya. Disamping itu dapat menyebar ke
seluruh tubuh melalui aliran limfe atau aliran darah dan dapat
menimbulkan kematian.
3. Tumor intermediate
Di antara dua kelompok, terdapat segolongan tumor yang memiliki
sifat invasive local tetapi kemampuan metastasisnya kecil. Tumor
demikian disebut tumor yang agresif local atau tumor ganas
berderajat rendah. Sebagai contoh ialah karsinoma sel basal kulit.
2) Atas dasar sel atau jaringan
Tumor diklasifikasikan dan diberi nama atas dasar jaringan dasar sel
tumor yaitu
1. Berasal dari sel totipoten
Sel totipoten adalah sel yang dapat berdeferensiasi ke dalam tiap
jenis sel tubuh. Sebagai contoh ialah zigot yang berkembang menjadi

janin. Paling sering ditemui pada gonad yaitu sel germinal. Dapat pula
terjadi retroperitoneal, dimediastinum dan daerah pineal.
2. Berasal dari sel embrional pluripoten
Sel embrional dapat berdeferensiasi ke dalam berbagai jenis sel dan
sebagai tumor akan membentuk berbagai jenis struktur alat tubuh.
Sebagai contoh ialah tumor sel embrional pluripoten yang berasal dari
anak ginjal, disebut nefroblastoma, sering berdeferensiasi ke dalam
struktur yang menyerupai tubulus ginajal dan kadang-kadang jaringan
otot, tulang rawan atau tulang rudimenter. Tumor ini contohnya dapat
terdapat pada retinoblastoma, hepatoblastoma, embrional
rhabdomisarcoma.
3. Berasal dari sel yang berdeferensiasi
Jenis sel dewasa yang bederensiasi, terdapat dalam bentuk sel alatalat tubuh pada kehidupan postnatal. Kebanyakan tumor pada manusia
terbentuk dari sel berdeferensiasi.
Neoplasma (jinak / ganas) mempunyai 2 komponen dasar:

a. Parenkim: sel tumor/neoplastik yang proliferatif, yang menentukan


perilaku determine their behavior atau sifat biologis tumor and
pathologic consequences
b. Stroma: jaringan pendukung parenkim, tidak bersifat neoplastik,
terdiri dari jaringan ikat & the growthpembuluh darah and evolution
of neoplasms Desmoplasia: sel parenkim merangsang pembentukan

kolagen dalam jumlah yang banyak pada stroma berdasarkan,


Penamaan neoplasma berdasarkan komponen parenkimnya.

Serupa sel asal

Perbedaan Neoplasma Jinak dan Ganas


Jinak
Ganas
Tidak sama dengan sel asal

Tepian licin (bersimpai)

Tepian tidak rata

Menekan

Menyusup

Tumbuh perlahan

Tumbuh Cepat

Sedikit Vaskuler

Vaskuler/sangat Vaskuler

Jarang Timbul Ulang

Sering residif setelah dibuang

Jarang nekrosis dan ulserasi

Umumnya nekrosis dan ulserasi

Jarang efek sistemik kecuali

Umumnya efek sistemik

Neoplasma endokrin
Contoh :
PERBANDINGANANTARATUMORJINAK DAN GANAS(CONTOH:
LEIOMYOMA>< LEIOMYOSARCOMA)

Tumor Ganas ( Kanker Payudara)

Tumor Jinak (Pada Kulit)

Untuk membedakan tumor jinak dan tumor ganas selain cara diatas:
Sitologik
Melihat keadaan sel tumor yaitu inti dan nukleolus, kromatin, bentuk dan

besarnya sel-sel tumor


Histologik
Hubungan jaringan tumor dengan jaringan sehat sekitarnya, misalnya :

tumor tumbuh secara infiltratif


Imonohistokimia
Merupakan penggabungan konsep ikatan kimia dan prinsip imunologik
yang dapat menilai sifat sel. Bagaimana kaitan analisis morfologik sel
dengan perubahan fungsional sel yang diperiksa secara imunokimia untuk
memprediksi sifat keganasan sel tumor.

Karakteristik Sel Tumor Ganas


Pemorfisme inti dan seluler :
Bentuk dan ukuran sel serta inti sel bervariasi
Hiperkromatik
Inti sel berwarna gelap yang mengandung banyak anak inti.
Ratio inti sitoplasma (n/c) lebih mendekati 1 : 1 bukan 1 : 4 atau 1 : 6.
Terjadi pembesaran inti.

Mitosis yang sangat banyak, mencerminkan aktivitas proliferasi. Tidak


terorganisir untuk mitosis (disorganized).

d. Golongan Risiko Tinggi


Risiko terjadinya penyakit kanker dipengaruhi oleh banyak faktor. Yang
terpenting ialah usia; secara umum dapat dikatakan makin tua, makin besar
resikonya. Hal ini dapat dimengerti karena pajanan pada karsinogen inisiator,
dan promotor lebihlama ada usia lanjut.
Faktor genetik kadang ada, dan mungkin memainkan peranan penting. Di
dalama keluarga tertentu,, ada penyakit yang tampak familial, tetapi umumnya
bukan karena sifat turun-temurun, malainkan lebih karena faktor gaya hidup.
Pengaruh ionisasi pada prakteknya tidak penting. Walaupun demikian,
penggunaan sianr secara massal dan kemungkinan terjadinya kecelakaan
dalam insutri atom harus disadari.
Pencemaran lingkungan makin mengancam dunia;ini tentu merisaukan.
Peracunan lingkungan orang per orang, misalnya dari makanan, minuman,
rokok, merupakan bahan yang harus disampaikan dalam komunikasi,
informasi dan edukasi kesehatan.
Secara umum, frekuensi kanker meningkat seiring pertumbuhan usia.
Sedangkan besar mortalitas akibat kanker terjadi pada usia antara 55-75 tahun.
Peningkatan insiden seiring usia munmgkin dapat dijelaskan dengan trjadinya
akumulasi mutasi somatic yang disebabkan oleh berkembangnya neoplasma
ganas, menurunya kompetensi imunitas yang menyertai penuaan juga mungkin
berperan.
Kanker menyebabkan lebih dari 10% kematian pada anak-anak berusia 15
tahun atau kurang. Kanker mematikan yang utama pada anak: leukimia, tumor,
dan sarcoma tulang.
e. Tata Nama
Semua tumor jinak dan ganas, memiliki dua komponen, yaitu (1) sel
neoplastik yang berproliferasi dan membentuk parenkim dan (2) stroma
penunjang yang terdiri dari jaringan ikat dan pembuluh darah. Selain itu,
terdapat komunikasi antara sel tumor & sel stroma dan nampaknya secara
langsung mempengaruhi pertumbuhan tumor yang tampaknya secara langsung
mempengaruhi pertumbuhan tumor. Pada sebagian tumor, stroma jaringan
penunjang hanya sedikit sehinnga neoplasma menjadi lunak & menyerupai

daging. Kadang-kadang, sel parenkip merangsang pembentukan stroma


kolagen dalam jumlah besar dan disebut Desmoplasia. Akan tetapi, tata nama
tumor didasarkan pada komponen parenkim.
Menurut Barbara (2008), Neoplasma sering diberi nama sesuai dengan asal
jaringan yang terkena, misalnya tumor jinak:
Fibroma berasal dari jaringan ikat fibrosa
Khondroma berasal dari jaringan tulang rawan
Tumor jinak epitel disebut adenoma jika terbentuk dari epitel kelenjar
misalnya adenoma tiroid, adenoma kolon
Jika berasal dari epitel permukaan dan mempunyai arsitektur popiler
disebut papiloma. Papiloma dapat timbul dari eitel skuamosa (papiloma
skuamosa), epitel permukaan duktus kelenjar ( papiloma interaduktual
pada payudara ) atau sel transisional ( papiloma sel transisional ).
Sedangkan tumor ganas (maligna), contohnya :
Tumor ganas epitel disebut karsinoma. Kata ini berasal dari kota yunani
yang berarti kepiting. Jika berasal dari sel skuamosa disebut karsinoma sel
skuamosa. Bila berasal dari sel transisional disebut karsinoma sel
transisional. Tumor ganas epitel yang berasal dari epitel belenjar disebut
adenokarsinoma
Tumor ganas jaringan mesenkim yang ditemukan kurang dari 1
persendiberi nama asal jaringan (dalam bahasa latin atau yunani ) dengan
akhiran sarcoma sebagai contoh tumor ganas jaringan ikat tersebut
Fibrosarkoma dan berasal dari jaringan lemak diberi nama Liposarkoma.
Terkadang, tumor diberi nama sesuai dengan orang yang pertama kali
menemukannya, misalnya :
Penyakit Hodgkin, tumor yang menyerang limfe
Tumor Wolm, tumor yang menyerang ginjal
Sifat neoplasma :
1) Hilangnya respon terhadap pengendalian pertumbuhan

2) Bertindak sebagai parasit


3) Berkompetisi terhadap sel/jaringan untuk kebutuhan metabolisme.
4) Tidak tergantung growth factor
a) Tumor jinak
adenoma : neoplasma epitel jinak berawal dari kelenjar.
Papiloma : neoplasma epitel jinak tumbuh di suatu permukaan
dan menghasilkan tonjolan seperti jari.
Polip : suatu massa yang menonjol di atas permukaan mutosa.
Kristadenoma : massa kistik berongga khas ditemukan di ovarium.
Tumor Jinak
Asal

: Epitel, mesenkim

Nama Jaringan atau sel + OMA


Contoh : Adenoma
b) Tumor ganas
Sarkoma : neoplasma ganas yang berasal dari jaringan
mesenkim/ turunannya.
fibrosarkoma : berasal dari jaringan fibrosa.
karsinom : neoplasma yang terdiri atas kondrosit.
karsinoma: neoplasma ganas yang berasal dari sel epitel
Tata nama Tumor Ganas pada dasarnya mengikuti tata nama tumor
jinak, dengan penambahan dan pengecualian tertentu.
Maligna : nama sel asal + KARSINOMA / SARKOMA
Asal sel epitel: + KARSINOMA
Asal jaringan mesenchym: + SARKOMA
Epitel tubuh manusia berasal dari 3 germ layers: Ektoderm (epitel
kulit) mesoderm, endoderm (epitel Usus)
Contoh:
Jaringan asal

Jinak

Ganas

Sel epitel
1. Epitel permukaan
2. Epitel kelenjar

Papiloma
Adenoma

Sel penunjang
1. Jaringan ikat
[fibrosis]
2. Jaringan
lemak [lipid]
3. Dan lain-lain

Fibroma
Lipoma

f. SKEMA PATOGENESIS KANKER

Ca
Skuamosa
Adenoma
Ca

Fibro
Sarkoma
Lipo
Sarkoma

KARAKTERISTIK KARSINOMA dan SARKOMA


Bentuk

Karsinoma

Sarkoma

Asal
Sifat
Frekuensi
Alur metastasis
Tahap in situ
Kelompok umur

Epitel
Ganas
Sering
Limfe
Ya
Biasanya >

Jaringan

50 tahun

ikat
Ganas
Relatif
jarang
Darah
Tidak
Biasanya <
50 tahun

g. Sifat Neoplasma Benigna dan Neoplasma Maligna


1. Diferensiasi dan Anaplasia
Istilah diferensiasi dipergunakan untuk sel parenkim tumor.
Diferensiasi yaitu derajat kemiripan sel tumor ( parenkim tumor ).
Jaringan asalnya yang terlihat pada gambaran morfologik dan fungsi sel
tumor. Proliferasi neoplastik menyebabkan penyimpangan bentuk.
Susunan dan sel tumor. Hal ini menyebabkan set tumor tidak mirip sel
dewasa normal jaringan asalnya. Tumor yang berdiferensiasi baik terdiri
atas

sel-sel

yang

menyerupai

sel

dewasa

normal

jaringan

asalnya,sedangkan tumor berdiferensi buruk atau tidak berdiferensiasi


menunjukan gambaran sel primitive dan tidak memiliki sifat sel dewasa
normal

jaringan

asalnya.

Semua

neoplasma

benigna

umumnya

berdiferensiasi baik. Sebagai contoh neoplasma benigna otot polos yaitu


leiomioma uteri. Sel tumornya menyerupai sel otot polos. Demikian pula
lipoma yaitu tumor jinak berasal dari jaringan lemak ,sel tumornya terdiri
atas sel lemak matur,menyerupai sel jaringan lemak normal.

Neoplasma

maligna yang terdiri dari sel-sel yang tidak

berdiferensiasi disebut anaplastik.Anaplasia ditentukan oleh sejumlah


perubahan gambaran morfologik dan perubahan sifat, pada anaplasia
terkandung 2 jenis kelainan organisasi yaitu kelainan organisasi sitologik
dan kelainan organisasi posisi. Anaplasia sitologik menunjukkan
pleomorfi yaitu beraneka ragam bentuk dan ukuran inti sel tumor. Sel
tumor berukuran besar dan kecil dengan bentuk yang bermacam-macam .
mengandung banyak DNA sehingga tampak lebih gelap (hiperkromatik ).
Anaplasia posisionalmenunjukkan adanya gangguan hubungan antara sel
tumor yang satu dengan yang lain . terlihat dari perubahan struktur dan
hubungan antara sel tumor yang abnormal.(Otto, 2003)
2.

Derajat Pertumbuhan
Tumor jinak biasanya tumbuh lambat sedangkan tumor ganas cepat. tetapi
derajat kecepatan tumbuh tumor jinak tidak tetap,kadang kadang tumor
jinak tumbuh lebih cepat daripada tumor ganas.karena tergantung pada
hormone yang mempengaruhi dan adanya penyediaan darah yang
memadai.
Pada dasarnya derajat pertumbuhan tumor berkaitan dengan tingkat
diferensiasi sehingga kebanyakan tumor ganas tumbuh lebih cepat
daripada tumor jinak. Derajat pertumbuhan tumor ganas tergantung pada 3
hal,yaitu :
a) Derajat pembelahan sel tumor
b) Derajat kehancuran sel tumor
c) Sifat elemen non-neoplastik pada tumor

3. Invasi Lokal
Hampir semua neoplasma beligna tumbuh sebagai massa sel yang
kohesif dan ekspansif pada tempat asalnya dan tidak mempunyai
kemampuan mengilfiltrasi ,invasi atau penyebaran ketempat yang jauh
seperti pada tumor ganas. Oleh karena tumbuh dan menekan perlahan
lahan maka biasanya dibatasi jaringan ikat yang tertekan disebut kapsul

atau simpai,yang memisahkan jaringan tumor dari jaringan sehat


sekitarnya. Simpai sebagian besar timbul dari stroma jaringan sehat diluar
neoplasma, karena sel parenkim atropi akibat tekanan ekspansi neoplasma.
Oleh

karena

ada

simpai

makaneoplasma

maligna

tumbuh

progresif,invasive,dan merusak jaringan sekitarnya. Pada umumnya


terbatas tidak tegas dari jaringan sekitarnya. Namun demikian ekspansi
lambat dari tumor ganas dan terdorong ke daerah jaringan sehat sekitarnya.
(Sudiono, 2008)
Kebanyakan tumor ganas invasive dan dapat menembus dinding dan
alat tubuh berlumen seperti usus,dinding pembuluh darah,limfe atau ruang
perineural.

Pertumbuhan

invasive

demikian

menyebabkan

reseksi

pengeluaran tumor sangat sulit. Pada karsinoma in situ misalnya di serviks


uteri ,sel tumor menunjukkan tanda ganas tetapi tidak menembus
membrane basal. Dengan berjalannya waktu sel tumor tersebut akan
menembus membrane basal.
4. Metastasis / Penyebaran
Metastasis adalah penanaman tumor yang tidak berhubungan dengan
tumor primer. Tumor ganas menimbulkan metastasis sedangkan tumor
jinak tidak. Infasi sel kanker memungkinkan sel kanker menembus
pembuluh darah, pembuluh limfe dan rongga tubuh, kemudian terjadi
penyebaran. Dengan beberapa perkecualian semua tumor ganas dapat
bermetastasis. Kekecualian tersebut adalah Glioma ( tumor ganas sel glia )
dan karsinoma sel basal , keduanya sangat infasif, tetapi jarang
bermetastasis. (Otto,2003)
Umumnya tumor yang lebih anaplastik, lebih cepat timbul
kemungkinan terjadinya metastasis lebih besar. Tumor kecil berdiferensiasi
baik, tumbuh lambat, kadang- kadang metastasisnya luas. Sebaliknya
tumor tumbuh cepat ,tetap terlokalisir untuk waktu bertahun- tahun.
1) Metastasis per continuatum:
Lewat rongga tubuh(body cavity)
Contoh: Ca ovarium---keperitoneum

Ca colon ---kecavumperitoneum
Ca paru---kecavumpleura
2) Metastasis secara limfogen:
Terutama pada carcinoma

Pola penyebaran metastasis kelenjar limfe mengikuti rute


normal dari lymphatic drainage.

contoh: Ca mamma - metastasis KGB axilla Ca paru


metastasis ke KGB hilus Ca nasofaring metastasis KGB
colli
3) Metastases secara hematogen
Terutama pada sarcoma

Dapat juga terjadi pada carcinomayaitu vena renalis,Renal


cell ca , Penetrasi ke vena ke arteri, karena arteri memiliki
dinding lebih tebal tahan. Sel tumor, Invasi pada vena
metastasis mengikuti aliran vena sering terjadi pada paru
dan hepar.

h. Penyebaran Tumor Ganas


1. Penyebaran setempat / local :
Penjalaran sel-sel tumor dari tumor induk ke jaringan sehat
sekitarnya secara infiltrative, masa sel tumor bberhubungan dengan
tumor induknya.
2. Penyebaran jauh / metastasis :
Pelepasan sel-sel tumor dari tumor induk, diangkut oleh aliran
darah atau getah bening ke tempat jauh,, membenntuk pertumbuhan
baru atau anak sebar atau metastase. Masa tumor anak sebar tidak
berhubungan dengan masa tumor induk.
Syarat terjadinya penyebaran tumor ganas :
1) Adanya pelepasan sel-sel tumor yang dapat hidup otonom
Pada tumor jinak, proliferasi sel tumor menyebabkan
bertambahnya isi dan tekanan mekanik yang menekan jaringan sehat
sekitarnya ( pertumbuhan ekspansif ) dan mengakibatkan terentuknya
simpai yang merupakan batas tegas jaringan sehat dan tumor.

Pada tumor ganas, proliferasi sel tumor menyebabkan


bertambahnya isi dan tekanan mekanik. Terjadinya penurunan kadar
kalsium dinding sel menyebabkan kohesi sel-sel tumor ganas
berkurang sehingga terjadi pelepasan sel-sel tumor dari induknya.
Sel-sel tumor juga mengelurkan enzim-enzim litik seperti kolagenase,
hialuronidase, musinase yang mempengaruhi jaringan sekitarnya
sehingga sel-sel tumor dapat bebas bergerak masuk ke ruang antar sel
atau menembus sitoplasma sel-sel otot, membentuk pertumbuhan
infiltrative. Sel-sel tumor juga dapat menembus pembuluh limfe,
tumbuh sepanjang pembuluh limfe (lymphatic permeation) yang
merupakan siifat penyebaran spesifik pada karsinoma prostat.
Kesemuanya ini ttidak cukup untuk membentuk anak sebar tanpa
kesanggupan sel-sel yang terpisah itu untuk hidup otonom.
2) Adanya jalan penyebaran
a) Melalui pembuluh darah (hematogen)
Penyebaran ini spesifik untuk sarcoma. Pembuluh vena
berdinding tipis sehingga mudah ditembus oleh sel-sel tumor,
sel-sel tumor sebagai embolus oleh aliran darah vena dan
tersangkut pada hati atau paru-paru dan membentuk anak sebar
disana. Sel tumor dapat juga masuk ke pembuluh limfe ( pada
tumor rongga perut ) kemudian melalui duktud torasikus masuk
ke vena jugularis sinistra. Arteri berdinding tebal sehingga sukar
ditembus, karena penyebaran dengan cara ini jarang terjadi.
Penyebaran melalui pembuluh darah arteri hanya dapat terjadi
pada tumor paru-paru atau anak sebar di paru-paru yang
membentuk embulos tumor. Sel-sel tumor sebagai embilos
masuk ke jantung kiri kemudian ke pembuluh arteri dan
tersangkut pada alat tubuh yang menerima banyak darah arteri
missal, ginjal, anak ginjal, sumsum tulang.
b) Melalui pembuluh limfe (limfogen)
Penyebaran ini spesifik untuk carcinoma, sel-sel tumor
yang telah menembus pembuluh limfe diangkut oleh cairan getah
bening sebagai embolus, kemudian tersangkut pada kelenjar
getah bening regional. Anak sebar mungkun menyebabkan

terbendungnya aliran cairan getah bening sehingga terjadi aliran


retrograde dan menimbulkan penyebbaran retrograde.
c) Penyebaran dengan transplantasi langsung
Penyebaran ini terjadi pada rongga serosa ( rongga perut,
pleura ) yang disebut transcoelomic spread. Misalnya, pada
tumor ganas lambung, sel-sel menembus serosa dan dengan gaya
gravitasi sel akan jatuh keda lam rongga di bawahnya ( misalnya
rongga pelvis). Sel dengan bantuan fibrin akan melekat pada
serosa ovarium atau rectum dan membentuk anak sebbar disana.
d) Adanya lingkungan yang memungkinkan untuk hidupnya
sel-sel tumor di tempat yang baru
Setelah sel-sel tumor terlepas dan dapat hidup otonom. Lingkungan
yang baru harus cocok untuk pertumbuhannya agar dapat
membentuk anak sebar.
i. Efek Neoplasma
Tumor jinak memberikan akibat-akibat pada sipenderita karena 3
kemungkinan :
1) Karena Posisinya
Proliferasi sel tumor akan membentuk masa yang dapat
menekan jaringan sekitarnya. Jaringan yang tertekan akan menjadi
atrofik. Adenoma kelenjar gondok akan menekan trachea dan
mengganggu pernapasan. Tumor dalam ureter atau piala ginjal akan
menyebabkan bendungan air kemih. Tumor intracranial meninggi.
2) Karena Komplikasi Sekunder
Perdarahan dapat terjadi pada tumor-tumor jinak di selaput
lender, misalnya papilloma pada tractus digestivus dan tractus
urinarius. Pada tumor-tumor ini dapat juga terjadi tukak pada
permukaannya yang kemudian akan diikuti oleh infeksi. Pada
tumor-tumor jinak yang bertangkai seperti pada myoma
subserosum atau suatuu cystadenoma ovarii dapat terjadi
perputaran tangkai dan dapat menimbulkan rasa nyeri yang sangat.
Tumor-tumor yang bertangkai pada usus dapat menimbulkan
intususepsi (invaginasi
3) Pada tumor atau kelenjar endokrin karena produksi hormone
yang berlebihan

Tumor-tumor jinak kelenjar endokrin dapat menghasilkan


hormone yang berlebihan sehingga akan timbul akibat-akibat
kelebihan hormone ini pada si penderita. Misalnya pada adenoma
eosinofilik hipofisis akan terjadi acromegalia atau gigantisme, pada
adenoma parathyroid akan timbul osteitis fibrosa cystic
generalisata.
j. Derajat Keganasan Tumor
Diferensiasi tumor merupakan petunjuk keganasan dan kecepatan
pertumbuhan tumor. Derajat keganasan tumor dapat menentukan prognosis.
Derajat keganasan tumor dapat ditentukan dengan:
1) Gambaran makroskopik
Tumor yang tumbu eksofitik(fungating) kurang ganas dibandingkan
dengan yang tumbuh infiltrative.
2) Gambaran mikroskopik, didasarkan pada:
a) Derajat diferensiasi,
b) Kelainan-kelainan inti, dan
c) Banyaknya mitosis; makin banyak makin ganas.
(menentukan derajat diferensiasi, missal pada adenokarsinoma,
dilihat pembentukan unsure kelenjarnya, pada karsinoma sel
skuamosa dilihat kornifikasinya).
3) Gambaran makroskopik dan keadaan klinis
Contoh pada karsinoma leher rahim (karsinoma serviks uteri):
Stadium 0 : merupakan tumor ganas intraepitalial.
Stadium I : jaringan tumor terbatas pada leher rahim.
Stadium II : jaringan tumor pada leher rahim dan
parametrium.
Stadium III : jaringan tumor telah menjalar pada dua pertiga
bagian atas vagina.
Stadium IV : jaringan tumor telah menjalar sampai dinding
pelvis dan sepertiga bagian bawah vagina.
4) Klasifikasi TNM oleh UICC (Union Internationale Centre le Cancer)
Dengan memperhatikan keadaan:
T = tumor induk;
N = kelenjar getah bening regional;
M= metastasis

k. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Sudiono (2008) dan Hegner (2003) ada beberapa cara untuk
menegakkan diagnosis seseorang menderita neoplasma atau tidak, yaitu
dengan cara:
1. Pemeriksaan makroskopis
Pemeriksaan dengan mata biasa untuk memperhatikan jaringan
tumor, misalnya bercak berwarna kuning kemerahan menunjukkan
adanya jaringan nekrotik dan perdarahan. Pemeriksaan ini juga
digunakan untuk mengetahui ada tidaknya simpah dan rapuh tidaknya
konsistensi tumor. Bila rapuh dan tidak bersimpai maka meunjukkan
keganasan.
2. Pemeriksaann hormone dan enzim
Pemeriksaan ini tidak umu dilakukan untuk neoplasma rongga
mulut. Terbentuknya asam fosfatase menunjukkan adanya metastasis
karsinoma dalam tulang. Adanya hormone korionik gonadotropin
dalam

urine

pria

dalam

serum

darah

menunjukkan

adanya

koriokarsinoma testis atau ekstragonad. Sedangkan adanya kadar


korionik gonadrotopin yang tinggi dalam urine wanita yang tidak hamil
menunjukkan adanya mola hidatidosa atau koriokarsinoma.
3. Pemeriksaan darah tepi
Pemeriksaan hematologi dilakukan dengan pulasan sedimen untuk
mencari sel tumor yang terlepas dan masuk peredaran darah. Sel darah
dihancurkan dengan saponin atau enzim dan sel darah putih dengan
streptolisin O, kemudian disaring dan filtrate yang mengandung sel
tumor disentrifugasi dengan kecepatan tinggi untuk mengendapkan sel
tumor yang lebih besar. Biasanya sangat sedikit sel yang ditemukan
pada pemeriksaan pulasan darah rutin. Kebanyakan sel neoplasma ini
akan menjadi rusak. Adanya sel tumor dalam peredaran darah tidak
berhubungan dengan adanya metastasis.
4. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis merupakan cara yang sangat penting
untuk

menegakkan

diagnosis

neoplasma.

Suatu

pertumbuhan

neoplastik khususnya kegananasan dini tidak dapat didiagnosis


berdasarkan pengamatan klinis semata.
5. Pemeriksaan Hispatologis
Biopsi merupakan salah satu cara pemeriksaan patologi anatomi
yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pasti suatu lesi,
khususnya yang dicurigai sebagai suatu keganasan. Pemeriksaan ini
bermanfaat untuk menegakkan prognosis, diagnosis dan rencana
keperawatan
l. Diagnosis Dini Kanker
Untuk menemukan stadium dini kanker harus dilakukan pemeriksaan
rutin pada pasien yang tidak menunjukkan gejala. Beberapa usaha
penemuan kanker tingkat dini:
a. Pemeriksaan sitologi serviks rutin tiap tahun pada wanita berusia > 35
tahun.
b. Usia 50 tahun atau lebih diadakan pemeriksaan sigmoideskopi tiap 3-5
tahun,untuk menemukan lesi pada rectum.
c. Memeriksa payudara sendiri ,untuk menemukan benjolan kecil pada
payudara
d. Pemeriksaan kesehatan menyeluruh secara berkala.
m. Pencegahan
1. Penyuluhan kesehatan
Penyegahaan kanker sangat dihambat oleh salah pengerti antara
masyarakat awam dan dokter. Proses KIE kesehatan untuk masyarakat
terdiri atas beberapa langkah yang dapat disingkat sebagai berikut;
penangkapan, pemahaman, pengulangan, penerimaan, dan dimengerti
masyarakat; umumnya harus diberikan beberapa kali sebelum dapat
diterima dan akhirnya dilaksanakan. Penyuluhan untuk mengubah gaya
hidup baru berhasil bila terjadi proses motivasi dan keyakinan, disertai
kesadaran untuk melakukannya.
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan dengan melakukan perubahan dalam
gaya hidup buruk menuju ke gaya hidup sehat dengan cara

mengkonsumsi makanan yang cukup gizi dan sehat, tidak merokok,


dan lain-lain.
3. Penapisan
Proses penapisan meliputi pemeriksaan seseorang yang tidak
menunjukkan gejala atau tanda penyakit, dengan tujuan menemukan
kasus yang belum menimbulkan masalah klinis. Penapisan ini bertitik
tolak pada anggapan bahwa jika diagnosis ditegakkan sedemikian dini
dan terapi langsung diberikan diberikan hasil penanganan akan lebih
baik dibanding hsil pengobatan pada penyakit yang menyebabkan
seseorang mencari pengobatan.
n. Peran Perawat
Dalam pemeriksaan diagnostic, perawat harus menyispkan pasien
untuk melakukan tes yang diminta. Persiapan pasien yang tidak tepat
fdapat mengakibatkan hasil tes tidak akurat, pengobatan terhambat, biaya
bertambah dan kecemasan pasien meningkat. Peran perawat dari upaya
promotif hingga rehabilitative yaitu memberikan dukungan pada klien
terhadap prosedur diagnostic, mengenali kebutuhan klien baik psiko social
dan spiritual, berpartisipasi dalam koleksi data penelitian regitrasi kanker,
membantu klien untuk tindak lanjut pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA
Nachen Latu, Apoptosis, https://www.academia.edu/3994145/Apoptosis, Diakses
pada tanggal 24 Maret 2015 pukul 14.30 Wita
Rangga A. Ekananta, Basic Science II,
https://www.academia.edu/7693018/BASIC_SCIENCE_II , Diakses pada
tanggal 24 Maret 2015 pukul 14.50 Wita
Imam Abror, Apoptosis, https://imamabror.wordpress.com/2010/04/03/apoptosisnekrosis-organela-prokariotik-dan-eukariotik/, Diakses pada tanggal 24
Maret 2015 pukul 15.50 Wita
Herlina, Neoplasma,
http://herlina.lecture.ub.ac.id/files/2013/12/Neoplasma.1.pdf, Diakses pada
tanggal 24 Maret 2015 pukul 16.200 Wita
Anna biya, Neoplasma, http://annabiya.blogspot.com/2012/05/makalahneoplasma.html, Diakses pada tanggal 24 Maret 2015 pukul 16.40 Wita
Dr. Humairah Medina Liza, Invasi Tumor Ganas,
http://www.scribd.com/doc/212055600/Invasi-Tumor-Ganas#scribd,
Diakses pada tanggal 24 Maret 2015 pukul 17.50 Wita

PROSES PENUAAN
1. TEORI PENUAAN
1.1.

Teori Biologis
Teori biologi merupakan teori yang menjelaskan mengenai
proses fisik penuaan yang meliputi perubahan fungsi dan
struktur organ, pengembangan, panjang usia dan kematian
(Christofalo dalam Stanley). Perubahan yang terjadi di
dalam tubuh dalam upaya berfungsi secara adekuat untuk
dan melawan penyakit dilakukan mulai dari tingkat molekuler
dan seluler dalam sistem organ utama. Teori biologis
mencoba menerangkan menganai proses atau tingkatan
perubahan yang terjadi pada manusia mengenai perbedaan
cara dalam proses menua dari waktu ke waktu serta
meliputi faktor yang mempengaruhi usia panjang,
perlawanan terhadap organisme dan kematian atau
perubahan seluler.
1.1.1. Teori Genetika
Teori genetika merupakan teori yang
menjelaskan bahwa penuaan merupakan suatu proses
yang alami di mana hal ini telah diwariskan secara
turun-temurun (genetik) dan tanpa disadari untuk
mengubah sel dan struktur jaringan. Teori
genetika terdiri dari teori DNA, teori ketepatan dan
kesalahan, mutasi somatik, dan teori glikogen. DNA
merupakan asam nukleat yang berisi pengkodean
mengenai infornasi aktivitas sel, DNA berada pada
tingkat molekuler dan bereplikasi sebelum
pembelahan sel dimulai, sehingga apabila terjadi
kesalahan dalam pengkodean DNA maka akan

berdampak pada kesalahan tingkat seluler dan


mengakibatkan malfungsi organ.
Pada manusia, berlaku program genetik jam
biologi di mana program maksimal yang diturunkan
adalah selama 110 tahun. Sel manusia normal akan
membelah 50 kali dalam beberapa tahun. Sel secara
genetik diprogram untuk berhenti membelah setelah
mencapai 50 divisi sel, pada saat itu sel akan mulai
kehilangan fungsinya.
Teori genetika dengan kata lain mengartikan bahwa
proses menua merupakan hal yang tidak dapat
dihindari dan akan semakin terlihat bila usia semakin
bertambah. Teori ini juga bergantung dari dampak
lingkungan pada tubuh yang dapat mempengaruhi
susunan molekular.
1.1.2. Teori Wear And Tear (Dipakai dan Rusak)
Teori Wear And Tear mengajukan akumulasi
sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak
sintesis DNA. August Weissmann berpendapat bahwa
sel somatik nomal memiliki kemampuan yang
terbatas dalam bereplikasi dan menjalankan fungsinya.
Kematian sel terjadi karena jaringan yang sudah tua
tidak beregenerasi. Teori wear and tear mengungkapkan
bahwa organisme memiliki energi tetap yang terseddia
dan akan habis sesuai dengan waktu yang
diprogramkan.
1.1.3. Teori Rantai Silang
Teori rantai silang mengatakan bahwa struktur
molekular normal yang dipisahkan mungkin terikat
bersama-sama melalui reaksi

kimia. Agen rantai

silang yang menghubungkan menempel pada rantai

tunggal dengan bertambahnya usia, mekanisme


pertahanan tubuh akan semakin melemah, dan
proses cross-link terus berlanjut sampai terjadi
kerusakan. Hasil akhirnya adalah akumulasi silang
senyawa yang menyebabkan mutasi pada
ketidakmampuan untuk menghilangkan sampah
metabolic.

sel

1.1.4. Riwayat Lingkungan


Menurut teori ini, faktor yang ada dalam lingkungan dapat
membawa perubahan dalam proses penuaan. Faktorfaktor tersebut merupakan karsinogen dari industri, cahaya
matahari, trauma dan infeksi.
1.1.5. Teori Imunitas
Teori imunitas berhubungan langsung dengan proses
penuaan. Selama proses penuaan, sistem imun juga
akan mengalami kemunduran dalam pertahanan terhadap
organisme asing yang masuk ke dalam tubuh sehingga pada
lamsia akan
sangat mudah mengalami infeksi dan kanker.perubahan
sistem imun ini diakibatkan perubahan pada jaringan
limfoid sehingga tidak adanya keseimbangan dalam sel
T intuk memproduksi antibodi dan kekebalan tubuh menurun.
Pada sistem imun akan terbentuk autoimun tubuh.
Perubahan yang terjadi merupakan pengalihan integritas
sistem tubuh untuk melawan sistem imun itu sendiri.
1.1.6. Teori Lipofusin dan Radikal Bebas
Radikal

bebas

merupakan

contoh

produk

sampah

metabolisme yang dapat menyebabkan kerusakan apabila


terjadi akumulasi. Normalnya radikal bebas akan
dihancurkan oleh enzim pelindung, namun beberapa
berhasil lolos dan berakumulasi di dalam organ tubuh.
Radikal bebas yang terdapat di lingkungan seperti
kendaraan bermotor, radiasi, sinar ultraviolet,
mengakibatkan

perubahan

pigmen dan

kolagen pada proses penuaan.


Radikal bebas tidak mengandung DNA. Oleh karena
itu, radikal bebas dapat menyebabkan gangguan genetik
dan menghasilkan produk-produk limbah yang menumpuk di
dalam

inti dan sitoplasma. Ketika radikal bebas menyerang molekul,


akan terjadi kerusakan membran sel; penuaan diperkirakan
karena kerusakan

sel akumulatif

yang pada

akhirnya

mengganggu fungsi.
Dukungan untuk teori radikal bebas ditemukan
dalam lipofusin, bahan limbah berpigmen yang kaya
lemak dan protein. Peran lipofusin pada penuaan mungkin
kemampuannya untuk mengganggu transportasi
dan

replikasi

sel

DNA. Lipofusin, yang

menyebabkan bintik-bintik penuaan, adalah dengan produk


oksidasi dan oleh karena itu tampaknya terkait
dengan radikal bebas.
1.1.7. Teori Neuroendokrin
Teori neuroendokrin merupakan teori yang mencoba
menjelaskan tentang terjadinya proses penuaan melalui
hormon. Penuaan terjadi karena adanya keterlambatan
dalam sekresi hormon tertentu sehingga berakibat pada sistem
saraf.
Hormon dalam tubuh berperan dalam mengorganisasi
organ-organ

tubuh

melaksanakan

tugasnya

dam

menyeimbangkan fungsi tubuh apabila terjadi gangguan dalam


tubuh.
Pengeluaran

hormon

diatur

oleh

hipotalamus

dan

hipotalamus juga merespon tingkat hormon tubuh


sebagai panduan untuk aktivitas hormonal. Pada lansia,
hipotalamus kehilangan kemampuan dalam pengaturan dan
sebagai reseptor yang mendeteksi hormon individu menjadi
kurang sensitif. Oleh karena itu, pada lansia banyak hormon
yang tidak dapat
dapat disekresi dan mengalami penurunan keefektivitasan.
Penerunan kemampuan hipotalamus dikaitkan dengan
hormon kortisol. Kortisol dihasilkan dari kelenjar
adrenal (terletak di ginjal) dan kortisol bertanggung jawab
untuk stres.

Hal ini dikenal sebagai salah satu dari beberapa hormon yang
meningkat dengan usia. Jika kerusakan kortisol
hipotalamus, maka seiring waktu hipotalamus akan
mengalami kerusakan. Kerusakan

ini

kemudian

dapat menyebabkan ketidakseimbangan


hormon sebagai hipotalamus kehilangan
kemampuan untuk mengendalikan sistem.
1.1.8. Teori Organ Tubuh (Single Organ Theory)
Teori penuaan organ tunggal dilihat sebagai kegagalan
penyakit yang berhubungan dengan suatu organ tubuh
vital. orang meninggal karena penyakit atau keausan,
menyebabkan bagian penting dari tubuh berhenti fungsi
sedangkan sisanya tubuh masih mampu hidup. Teori ini
berasumsi bahwa jika tidak ada penyakit dan tidak ada
kecelakaan, kematian tidak
akan terjadi.
1.1.9. Teori Umur Panjang dan Penuaan

(Longevity and

Senescence Theories)
Palmore (1987) mengemukakan dari beberapa hasil
studi, terdapat

faktor-faktor

tambahan

berikutyang

dianggap berkontribusi untuk umur panjang:


tertawa; ambisi rendah, rutin setiap hari, percaya pada Tuhan;
hubungan keluarga baik, kebebasan dan
terorganisir,

perilaku

kemerdekaan;
yang

memiliki tujuan, dan pandangan hidup positif.


Wacana yang timbul dari teori ini adalah sindrom penuaan
merupakan sesuatu yang universal, progresif, dan
berakhir dengan kematian.
1.1.10. Teori Harapan Hidup Aktif dan Kesehatan Fungsional
Penyedia layanan kesehatan juga tertarik dalam masalah ini

karena kualitas hidup tergantung secara signifikan berkaitan

dengan tingkat fungsi. pendekatan fungsional perawatan


pada lansis menekankan pada hubungan yang kompleks
antara biologis,

sosial, dan

psikologis

yang

mempengaruhi kemampuan fungsional seseorang


dan kesejahteraannya.
1.1.11. Teori Medis (Medical Theories)
Teori medis geriatri mencoba menjelaskan bagaimana
perubahan biologis yang berhubungan dengan proses
penuaan mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh manusia.
Biogerontologi merupakan subspesialisasi terbaru yang
bertujuan menentukan hubungan antara penyakit tertentu dan
proses penuaan. Metode penelitian yang lebih canggih telah
digunakan dan banyak data telah dikumpulkan dari subjek
sehat dalam studi longitudinal, beberapa kesimpulan
menarik dari penelitian tiap bagian
berbeda.
1.2.

Teori Sosiologi
Teori sosiologi merupakan teori yang berhubungan dengan
status hubungan sosial. Teori ini cenderung dipengaruhi oleh
dampak dari luar tubuh.
1.2.1. Teori Kepribadian
Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek
pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan harapan atau
tugas spesifik lansia. Teori pengembangan kepribadian yang
dikembangkan oleh Jung menyebutkan bahwa terdapat dua
tipe kepribadian yaitu introvert dan ekstrovert. Lansia akan
cenderung menjadi introvert kerenan penurunan
tanggungjawab dan tuntutan dari
keluarga dan ikatan sosial.

1.2.2. Teori Tugas Perkembangan


Tugas perkembangan merupakan aktivitas dan tantangan
yang harus dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap
spesifik dalam hidupnya untuk mencapai penuaan yang
sukses.pada kondisi tidak danya pencapaian perasaan
bahwa ia telah menikmati kehidupan yang baik, maka lansia
tersebut berisiko untuk memiliki rasa penyeselan atau putus
asa.
1.2.3. Teori Disengagement (Penarikan Diri)
Teori ini menggambarkan penarikan diri ole lansia dari
peran masyarakat dan tanggung jawabnya. Lansia akan
dikatakan bahagia apabila kontak sosial telah berkurang
dan tanggungjawab telah diambil oleh generasi yang lebih
muda. Manfaat dari pengurangan kontak sosial bagi lansia
adalah agar dapat
mengrefleksi

menyediakan

eaktu

untuk

kembali pencapaian yang telah dialami

dan untuk menghadapi harapan


yang belum dicapai.
1.2.4. Teori Aktivitas
Teori ini berpendapat apabila seorang lansia menuju
penuaan

yang

sukses

maka

ia

harus

tetap

beraktivitas.kesempatan untuk turut berperan dengan cara yang


penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting bagi dirinya
adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi lansia.
Penelitian menunjukkan bahwa hilangnya fungsi peran
lansia secara negatif mempengaruhi kepuasan hidup, dan
aktivitas mental serta fisik yang berkesinambungan akan
memelihara
kesehatan sepanjang kehidupan.

1.2.5. Teori Kontinuitas


Teori

kontinuitas

mencoba

menjelaskan

mengenai

kemungkinan kelanjutan dari perilaku yang sering


dilakukan klien pada usia dewasa. Perilaku hidup yang
membahayakan kesehatan dapat berlangsung hingga usia
lanjut dan akan semakin menurunkan kualitas hidup.
1.2.6. Teori Subkultur
Lansia, sebagai suatu kelompok, memiliki norma
mereka sendiri, harapan, keyakinan, dan kebiasaan; karena itu,
mereka telah memiliki subkultur mereka sendiri. Teori
ini juga menyatakan bahwa orang tua kurang terintegrasi
secara baik dalam masyarakat yang lebih luas dan berinteraksi
lebih baik di antara lansia lainnya bila dibandingkan
dengan orang dari kelompok usia berbeda. Salah satu hasil
dari subkultur usia akan menjadi pengembangan "kesadaran
kelompok umur" yang akan berfungsi untuk meningkatkan
citra diri orang tua dan
mengubah definisi budaya negatif dari penuaan.
1.3.

Teori Psikologis
Teori psikologis merupakan teori yang luas dalam berbagai lingkup
karena penuaan psikologis dipengaruhi oleh faktor biologis dan sosial,
dan

juga

melibatkan

penggunaan

kapasitas

adaptif

untuk

melaksanakan kontrol perilaku atau regulasi diri.


1.3.1. Teori Kebutuhan Manusia
Banyak teori psikologis yang memberi konsep motivasi dan
kebutuhan manusia. Teori Maslow merupakan salah
satu contoh yang diberikan pada lansia. Setiap manusia yang
berada pada level pertama akan mengambil prioritas untuk
mencapai

level yang lebih tinggi; aktualisasi diri akan terjadi apabila


seseorang dengan yang lebih rendah tingkat
kebutuhannya terpenuhi untuk beberapa derajat, maka ia akan
terus bergerak
di antara tingkat, dan mereka selalu berusaha menuju tingkat
yang lebih tinggi.
1.3.2. Teori

Keberlangsungan

Hidup

dan

Perkembangan

Kepribadian
Teori

keberlangsungan

hidup

menjelaskan beberapa

perkembangan melalui berbagai tahapan dan


menyarankan bahwa progresi sukses terkait dengan cara
meraih kesuksesan
di tahap sebelumnya. ada empat pola dasar kepribadian lansia:
terpadu, keras-membela, pasif-dependen, dan tidak terintegrasi
(Neugarten et al.).
Teori yang dikemukakan Erik Erikson tentang
delapan tahap hidup telah digunakan secara luas dalam
kaitannya dengan
tahap-tahap

lansia. Ia

mendefinisikan

kehidupan sebagai kepercayaan vs

ketidakpercayaan, otonomi vs rasa malu dan keraguan,


inisiatif vs rasa bersalah, industri vs rendah diri, identitas
difusi

mengidentifikasi,

keintiman

vs

vs

penyerapan diri, generativitas vs stagnasi, dan integritas ego vs


putus asa. Masing-masing pada tahap ini menyajikan orang
dengan kecenderungan yang saling bertentangan dan harus
seimbang sebelum dapat berhasil dari tahap itu. Seperti dalam
teori keberlangsungan hidup lain, satu tahapan menentukan
langkah menuju tahapan selanjutnya.
1.3.3. Recent and Evolving Theories
Teori kepribadian genetik berupaya menjelaskan
mengapa beberapa lansia lebih baik dibandingkan lainnya.; hal
ini tidak berfokus pada perbedaan dari kedua kelompok

tersebut.

Meskipun didasarkan pada bukti empiris yang terbatas, teori ini


merupakan upaya yang menjanjikan untuk mengintegrasikan
dan mengembangkan lebih lanjut beberapa teori
psikologi tradisional dan baru bagi lansia. Tema dasar dari
teori ini adalah perilaku bifurkasi atau percabangan dari
seseorang di berbagai aspek seperti biologis, sosial, atau
tingkat fungsi psikososial. Menurut teori ini, penuaan
didefinisikan sebagai rangkaian transformasi terhadap
meningkatnya gangguan dan
ketertiban dalam bentuk, pola, atau struktur.

2. PERUBAHAN PADA LANSIA PADA SEMUA SISTEM DAN


IMPLIKASI KLINIK
2.1.

Perubahan pada Sistem Sensoris


Persepsi sensoris mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk saling berhubungan dengan orang lain dan untuk
memelihara atau membentuk
terhadap

hubungan baru,

bahaya,

berespon

dan

menginterprestasikan masukan sensoris dalam aktivitas


kehidupan sehari-hari.
Pada lansia yang mengalami penurunan persepsi sensori akan
terdapat keengganan untuk bersosialisasi karena kemunduran
dari fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki. Indra yang dimiliki
seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan
perabaan merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensori.
2.1.1. Penglihatan
Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang
dianggap normal dalam proses penuaan termasuk penurunan
kemampuan dalam melakukan akomodasi, konstriksi pupil,
akibat penuan,

dan perubahan warna serta kekeruhan lansa mata, yaitu


katarak.
Semakan bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi
di sekitar kornea dan membentuk lingkaran berwarna putih
atau kekuningan di antara iris dan sklera. Kejadian ini disebut
arkus sinilis, biasanya ditemukan pada lansia.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada
penglihatan akibat proses menua:
2.1.1.1. Terjadinya awitan presbiopi dengan kehilangan kemampuan
akomodasi. Kerusakan ini terjadi karena otot-otot siliaris
menjadi lebih lemah dan kendur, dan lensa kristalin
mengalami sklerosis, dengan kehilangan elastisitas
dan kemampuan untuk memusatkan penglihatan jarak
dekat. Implikasi dari hal ini yaitu kesulitan dalam membaca
huruf- huruf yang kecil dan kesukaran dalam melihat
dengan jarak
pandang dekat.
2.1.1.2. Penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi karena
sfingkter pupil mengalami sklerosis. Implikasi dari hal
ini yaitu penyempitan lapang pandang dan
mempengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu.
2.1.1.3. Perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa
kristal yang terakumulasi dapat menimbulkan katarak.
Implikasi dari hal ini adalah penglihatan menjadi
kabur yang mengakibatkan

kesukaran

dalam

membaca

dan memfokuskan

penglihatan,

peningkatan

sensitivitas

terhadap cahaya, berkurangnya penglihatan pada malam


hari, gangguan dalam persepsi kedalaman atau
stereopsis (masalah dalam penilaian ketinggian),
perubahan dalam
persepsi warna.
2.1.1.4. Penurunan produksi air mata. Implikasi dari hal ini adalah
mata berpotensi terjadi sindrom mata kering.

2.1.2. Pendengaran
Penurunan pendengaran merupakan kondisi yang secara
dramatis dapat mempengaruhi kualitas hidup. Kehilangan
pendengaran pada lansia disebut presbikusis.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada
penglihatan akibat proses menua:
2.1.2.1. Pada telinga bagian dalam terdapat penurunan
fungsi sensorineural, hal ini terjadi karena telinga bagian
dalam dan komponen saraf tidak berfungsi dengan baik
sehingga terjadi perubahan konduksi. Implikasi dari hal
ini adalah kehilangan pendengaran secara bertahap.
Ketidak mampuan untuk mendeteksi volume suara dan
ketidakmampuan dalam mendeteksi suara dengan
frekuensi tinggi seperti
beberapa konsonan (misal f, s, sk, sh, l).
2.1.2.2. Pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya
tangkap membran timpani, pengapuran dari tulang
pendengaran, otot dan ligamen menjadi lemah dan kaku.
Implikasi dari hal ini adalah gangguan konduksi suara.
2.1.2.3. Pada telingan bagian luar, rambut menjadi panjang dan
tebal, kulit menjadi lebih tipis dan kering, dan peningkatan
keratin. Implikasi dari hal ini adalah potensial terbentuk
serumen sehingga berdampak pada gangguan
konduksi suara.
2.1.3. Perabaan
Perabaan merupakan sistem sensoris pertama yang menjadi
fungisional apabila terdapat gangguan pada penglihatan dan
pendengaran. Perubahan kebutuhan akan sentuhan dan sensasi
taktil karena lansia telah kehilangan orang yang
dicintai, penampilan lansia tidak semenarik sewaktu muda
dan tidak

mrngundang sentuhan dari orang lain, dan sikap dari


masyarakat umum terhadap lansia tidak mendorong
untuk melakukan kontak fisik dengan lansia.
2.1.4. Pengecapan
Hilangnya kemampuan untuk menikmati makanan
seperti pada saat seseorang bertambah tua mungkin dirasakan
sebagai kehilangan salah satu keniknatan dalam kehidupan.
Perubahan yang terjadi pada pengecapan akibat proses
menua yaitu penurunan jumlah dan kerusakan papila atau
kuncup-kuncup perasa lidah. Implikasi dari hal ini adalah
sensitivitas terhadap
rasa (manis, asam, asin, dan pahit) berkurang.
2.1.5. Penciuman
Sensasi penciuman bekerja akibat stimulasi reseptor
olfaktorius oleh zat kimia yang mudah menguap.
Perubahan yang terjadi pada penciuman akibat proses
menua yaitu penurunan atau kehilangan sensasi penciuman
kerena penuaan dan usia. Penyebab lain yang juga dianggap
sebagai pendukung terjadinya kehilangan sensasi
penciuman termasuk pilek, influenza, merokok, obstruksi
hidung, dan faktor lingkungan. Implikasi dari hal ini adalah
penurunan sensitivitas terhadap
bau.

2.2.

Perubahan pada Sistem Integumen


Pada lasia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling
jelas diatas tonjolan-tonjolan tulang, telapak tangan, kaki
bawah dan permukaan dorsalis tangan dan kaki. Penipisan ini
menyebabkan vena- vena tampak lebih menonjol. Poliferasi abnormal
pada terjadinya sisa melanosit, lentigo, senil, bintik pigmentasi
pada area tubuh yang

terpajan sinar mata hari, biasanya permukaan dorsal dari tangan dan
lengan bawah.
Sedikit kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat
penurunan jaringan elastik, mengakibatkan penampiln yang
lebih keriput. Tekstur kulit lebih kering karena kelenjar eksokrin
lebih sedikit dan penurunan aktivitas kelenjar eksokri dan kelenar
sebasea. Degenerasi menyeluruh jaringan penyambung, disertai
penurunan
cairan tubuh total, menimbulkan penurunan turgor kulit.
Massa lemak bebas berkurang 6,3% BB per dekade dengan
penambahan massa lemak 2% per dekade. Massa air berkurang sebesar
2,5% per dekade.
2.2.1. Stratum Koneum
Stratum korneun merupakan lapisan terluar dari
epidermis yang terdiri dari timbunan korneosit. Berikut ini
merupakan perubahan yang terjadi pada stratum koneum
akibat proses menua:
2.2.1.1. Kohesi sel dan waktu regenerasi sel menjadi lebih lama.
Implikasi dari hal ini adalah apabila terjadi luka maka
waktu yang diperlukan untuk sembuh lebih lama.
2.2.1.2. Pelembab pada stratum korneum berkurang. Implikasi dari
hal ini adalah penampilan kulit lebih kasar dan kering.
2.2.2. Epidermis
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada
epidermis akibat proses menua:
2.2.2.1. Jumlah sel basal menjadi lebih sedikit , perlambatan dalam
proses perbaikan sel, dan penurunan jumlah kedalaman
rete ridge. Implikasi dari hal ini adalah pengurangan
kontak antara epidermis dan dermis sehingga mudah
terjadi

pemisahan antarlapisan kulit, menyebabkan kerusakan dan


merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi.
2.2.2.2. Terjadi penurunan jumlah melanosit. Implikasi dari hal ini
adalah perlindungan terhadap sinar ultraviolet berkurang
dan terjadinya pigmentasi yang tidal merata pada kulit.
2.2.2.3. Penurunan jumlah sel langerhans sehingga
menyebabkan penurunan konpetensi imun. Implikasi dari
hal ini adalah respon
pemeriksaan

terhadap
kulit terhadap alergen

berkurang.
2.2.2.4. Kerusakan struktur nukleus keratinosit. Implikasi dari
hal ini
sel

adalah

perubahan kecepatan poliferasi

yang menyebabkan pertumbuhan yang

abnormal seperti keratosis seboroik dan lesi kulit


papilomatosa.
2.2.3. Dermis
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada dermis
akibat proses menua:
2.2.3.1. Volume dermal mengalami penurunan yang
menyebabkan penipisan dermal dan jumlah sel berkurang.
Implikasi dari hal
terhadap

ini

adalah lansia

rentan

penurunan termoregulasi, penutupan

dan penyembuhan luka lambat, penurunan respon


inflamasi, dan penurunan absorbsi kulit terhadap zat-zat
topikal.
2.2.3.2. Penghancuran serabut elastis dan jaringan kolagen oleh
enzim-enzim. Implikasi dari hal ini adalah perubahan dalam
penglihatan karena adanya kantung dan pengeriputan
disekitar mata, turgor kulit menghilang.
2.2.3.3. Vaskularisasi menurun dengan sedikit pembuluh
darah kecil. Implikasi dari hal ini adalah kulit tampak lebih
pucat dan kurang mampu malakukan termoregulasi.

2.2.4. Subkutis
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada
subkutis akibat proses menua:
2.2.4.1. Lapisan jaringan subkutan mengalami penipisan.
Implikasi dari hal

ini

adalah penampilan

kulit yangkendur/ menggantung di atas tulang rangka.


2.2.4.2. Distribusi kembali dan penurunan lemak tubuh. Implikasi
dari hal ini adalah gangguan fungsi perlindungan dari kulit.

2.2.5. Bagian tambahan pada kulit


Bagian tambaha pada kulit meliputi rambut, kuku,
korpus pacini, korpus meissner, kelenjar keringat, dan
kelenjar sebasea.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada rambut,
kuku, korpus pacini, korpus meissner, kelenjar keringat,
dan kelenjar sebasea akibat proses menua:
2.2.5.1. Berkurangnya folikel rambut. Implikasi dari hal ini
adalah Rambut bertambah uban dengan penipisan
rambut pada kepala. Pada wanita, mengalami
peningkatan rambut pada wajah. Pada pria, rambut dalam
hidung dan telinga semakin jelas, lebih banyak dan kaku.
2.2.5.2. Pertumbuhan kuku melambat. Implikasi dari hal ini adalah
kuku menjadi lunak, rapuh, kurang berkilsu, dan cepet
mengalami kerusakan.
2.2.5.3. Korpus pacini (sensasi tekan) dan korpus meissner (sensasi
sentuhan) menurun. Implikasi dari hal ini adalah
beresiko untuk terbakar, mudah mengalami nekrosis
karenan rasa terhadap tekanan berkurang.
2.2.5.4. Kelenjar keringat sedikit. Implikasi dari hal ini adalah
penurunan respon dalam keringat, perubahan termoregulasi,
kulit kering.

2.2.5.5. Penurunan kelenjar apokrin. Implikasi dari hal ini adalah


bau badan lansia berkurang.
2.3.

Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal


Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas,
gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia,
perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi
karena penurunan hormon esterogen pada wanita, vitamin D, dan
beberapa hormon lain. Tulang-tulang trabekulae menjadi lebih
berongga, mikro- arsitektur berubah dan seiring patah baik
akibat benturan ringan
maupun spontan.
2.3.1. Sistem Skeletal
Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah masa otot
tubuh mengalami penurunan. Berikut ini merupakan perubahan
yang terjadi pada sistem skeletal akibat proses menua:
2.3.1.1. Penurunan

tinggi

badan

secara

progresif

karena

penyempitan didkus intervertebral dan penekanan


pada kolumna vertebralis. Implikasi dari hal ini adalah
postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan penampilan
barrel- chest.
2.3.1.2. Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang
berfungsi sebagai perlindungan terhadap beban geralkan
rotasi dan lengkungan. Implikasi dari hal ini adalah
peningkatan terjadinya risiko fraktur.
2.3.2. Sistem Muskular
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem
muskular akibat proses menua:

Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang.


Implikasi dari hal ini adalah perlambatan waktu untuk
bereaksi, pergerakan yang kurang aktif.

Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau


kekakuan ligamen dan sendi, penyusustan dan sklerosis
tendon dan otot, den perubahan degeneratif
ekstrapiramidal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan
fleksi.

2.3.3. Sendi
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sendi
akibat proses menua:

Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen.


Implikasi dari hal ini adalah nyeri, inflamasi, penurunan
mobilitas sendi da deformitas.

Kekakuan ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini adalah


peningkatan risiko cedera.

2.3.4. Estrogen
Perubahan yang terjadi pada sistem skeletal akibat
proses menua, yaitu penurunan hormon esterogen. Implikasi
dari hal ini adalah kehilangan unsur-unsur tulang yang
berdampak pada pengeroposan tulang.
2.4.

Perubahan pada Sistem Neurologis


Berat otak menurun 10 20 %. Berat otak 350 gram pada saat
kelahiran, kemudian meningkat menjadi 1,375 gram pada usia 20
tahun,berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini
kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume
otak berkurang
tahun.

rata-rata 5-10%
Otak

selama umur

20-90

mengandung 100 million sel termasuk diantaranya sel neuron yang


berfungsi menyalurkan impuls listrik dari susunan saraf pusat.
Pada penuaan otak kehilangan 100.000 neuron / tahun. Neuron
dapat mengirimkan signal kepada sel lain dengan kecepatan 200
mil/jam. Terjadi penebalan atrofi cerebral (berat otak menurun
10%) antar usia 30-70 tahun. Secara berangsur-angsur tonjolan
dendrit di neuron hilang disusul membengkaknya batang dendrit dan
batang sel. Secara progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel.
Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear)
yang terbentuk di
sitoplasma, kemungkinan berasal dari lisosom atau mitokondria.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem
neurologis akibat proses menua:
2.4.1. Konduksi saraf perifer yang lebih lambat. Implikasi dari hal ini
adalah refleks

tendon dalam

yang lebih

lambat dan

meningkatnya waktu reaksi.


2.4.2. Peningkatan lipofusin sepanjang neuron-neuron. Implikasi dari
hal ini adalah vasokonstriksi dan vasodilatasi yang
tidak sempurna.
2.4.3. Termoregulasi oleh hipotalamus kurang efektif. Implikasi dari
hal ini adalah bahaya kehilangan panas tubuh.
2.5.

Perubahan pada Sistem Kardiovaskular


Jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan baik struktural
maupun fungisional. Penurunan yang terjadi berangsur-angsur
sering terjadi
tingkat

ditandai dengan

penurunan

aktivitas, yang mengakibatkan penurunan

kebutuhan darah yang teroksigenasi.


Jumlah detak jantung saat istirahat pada orang tua yang sehat tidak
ada perubahan, namun detak jantung maksimum yang dicapai selama
latihan berat berkurang. Pada dewasa muda, kecepatan jantung di

bawah tekanan yaitu, 180-200 x/menit. Kecepatan jantung pada usia


70-75 tahun menjadi 140-160 x/menit.
2.5.1. Perubahan Struktur
Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup
berpengaruh secara signifikan terhadap fungsi
kardiovaskuler. Gaya hidup dan pengaruh lingkungan
merupakan faktor penting dalam menjelaskan berbagai
keragaman fungsi kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk
perubahan tanpa penyakit-terkait.
Secara singkat, beberapa perubahan dapat diidentifikasi
pada otot jantung, yang mungkin berkaitan dengan usia
atau penyakit seperti penimbunan amiloid, degenerasi
basofilik, akumilasi lipofusin, penebalan dan kekakuan
pembuluh darah, dan
fibrosis.

Pada

peningkatan
lansia

jaringan

terjadi perubahan

ukuran jantung yaitu hipertrofi dan atrofi pada usia


30-70 tahun.
Berikut ini merupakan perubahan struktur yang terjadi pada
sistem kardiovaskular akibat proses menua:
2.5.1.1. Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan
densitas kolagen dan hilangnya fungsi serat-serat elastis.
Implikasi dari hal ini adalah ketidakmampuan jantung untuk
distensi dan penurunankekuatan kontraktil.
2.5.1.2. Jumlah sel-sel peacemaker mengalami penurunan dan
berkas his kehilangan serat konduksi yang yang membawa
impuls ke ventrikel. Implikasi dari hal ini adalah terjadinya
disritmia.
2.5.1.3. Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak
lurus karena peningkatan serat kolagen dan hilangnya serat
elastis dalam lapisan medial arteri. Implikasi dari hal ini
adalah penumpulan

respon baroreseptor dan

penumpulan respon terhadap panas dan dingin.

2.5.1.4. Vena meregang dan mengalami dilatasi. Implikasi dari


hal ini adalah vena menjadi tidak kompeten atau gagal
dalam menutup

secara

sempurna sehingga

mengakibatkan terjadinya edema pada


ekstremitas bawah dan penumpukan darah.
2.6.

Perubahan pada Sistem Pulmonal


Perubahan anatomis seperti penurunan komplians paru dan dinding
dada turut berperan dalam peningkatan kerja pernapasan sekitar
20% pada usia 60 tahun. Penurunan lajuekspirasi paksa atu detik
sebesar 0,2 liter/dekade.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem
pulmonal akibat proses menua:
2.6.1. Paru-paru kecil dan kendur, hilangnya rekoil elastis,
dan pembesaran alveoli. Implikasi dari hal ini adalah
penurunan daerah permukaan untuk difusi gas.
2.6.2. Penurunan kapasitas vital penurunan PaO2 residu. Implikasi
dari hal ini adalah penurunan saturasi O2 dan peningkatan
volume.
2.6.3. Pengerasan bronkus dengan peningkatan resistensi. Implikasi
dari hal ini adalah dispnea saat aktivitas.
2.6.4. Kalsifikasi kartilago kosta, kekakuan tulang iga pada
kondisi pengembangan. Implikasi dari hal ini adalah
Emfisema sinilis, pernapasan abnominal, hilangnya suara paru
pada bagian dasar.
2.6.5. Hilangnya tonus otot toraks, kelemahan kenaikan dasar paru.
Implikasi dari hal ini adalah atelektasis.
2.6.6. Kelenjar mukus kurang produktif. Implikasi dari hal ini adalah
akumulasi cairan, sekresi kental dan sulit dikeluarkan.
2.6.7. Penurunan sensitivitas sfingter esofagus. Implikasi dari hal ini
adalah hilangnya sensasi haus dan silia kurang aktif.

2.6.8. Penurunan sensitivitas kemoreseptor. Implikasi dari hal ini


adalah tidak ada perubahan dalam PaCO2 dan kurang aktifnya
paru-paru pada gangguan asam basa.
2.7.

Perubahan pada Sistem Endokrin


Sekitar 50% lansia menunjukka intoleransi glukosa, dengan kadar
gula puasa yang normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa
ini adalah faktor diet, obesitas, kurangnya olahraga, dan penuaan.
Frekuensi hipertiroid pada lansia yaitu sebanyak 25%, sekitar 75%
dari jumlah tersebut mempunyai gejala, dan sebagian
menunjukkan apatheic thyrotoxicosis.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem
endokrin akibat proses menua:
2.7.1. Kadar glukosa darah meningkat. Implikasi dari hal ini adalah
Glukosa darah puasa 140 mg/dL dianggap normal.
2.7.2. Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat. Implikasi
dari hal ini adalah kadar glukosa darah 2 jam PP 140-200
mg/dL dianggap normal.
2.7.3. Residu urin di dalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari
hal ini adalah pemantauan glukosa urin tidak dapat diandalkan.
2.7.4. Kelenjar tiroad menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit
menurun, dan waktu paruh T3 dan T4 meningkat.
Implikasi dari hal ini adalah serum T3 dan T4 tetap stabil.

2.8.

Perubahan pada Sistem Renal dan Urinaria


Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada
ginjal, bladder, uretra, dan sisten nervus yang berdampak pada
proses fisiologi terlait eliminasi urine. Hal ini dapat mengganggu
kemampuan

dalam

mengontrol

berkemih,

sehingga

dapat

mengakibatkan

inkontinensia, dan akan memiliki konsekuensi yang lebih jauh.


2.8.1. Perubahan pada Sistem Renal
Pada usia dewasa lanjut, jumlah nefron telah berkurang
menjadi 1 juta nefron dan memiliki banyak
ketidaknormalan. Penurunan nefron terjadi sebesar 5-7%
setiap dekade, mulai usia 25 tahun. Bersihan kreatinin
berkurang 0,75 ml/m/tahun. Nefron bertugas sebagai
penyaring darah, perubahan aliran vaskuler akan
mempengaruhi kerja nefron dan akhirnya mempebgaruhi
fungsi pengaturan, ekskresi, dan matabolik
sistem renal.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem
renal akibat proses menua:
2.8.1.1. Membrana basalisglomerulus mengalamipenebalan,
sklerosis pada area fokal, dan total permukaan
glomerulus mengalami

penurunan,

panjang

dan

volume tubulus proksimal berkurang, dan


penurunan aliran darah renal. Implikasi dari hal ini
adalah filtrasi menjadi kurang efisien, sehingga secara
fisiologis glomerulus yang mampu
menyaring 20% darah dengan kecepatan 125 mL/menit
(pada lansia menurun hingga 97 mL/menit atau kurang) dan
menyaring protein dan

eritrosit menjadi

terganggu,

nokturia.
2.8.1.2. Penurunan massa otot yang tidak berlemak, peningkatan
total lemak tubuh, penurunan cairan intra sel,
penurunan sensasi haus, penurunan kemampuan untuk
memekatkan urine. Implikasi dari hal ini adalah
penurunan total cairan tubuh dan risiko dehidrasi.

2.8.1.3.

Penurunan hormon yang penting untuk absorbsi


kalsium dari saluran gastrointestinal. Implikasi dari hal
ini adalah peningkatan risiko osteoporosis.

2.8.2. Perubahan pada Sistem Urinaria


Perubahan yang terjadi pada sistem urinaria akibat
proses menua, yaitu penurunan kapasitas kandung kemih (N:
350-400 mL), peningkatan volume residu (N: 50 mL),
peningkatan kontraksi kandung kemih yang tidak di sadari,
dan atopi pada otot kandung kemih secara umum. Implikasi
dari hal ini adalah peningkatan risiko inkotinensia.
2.9.

Perubahan pada Sistem Gasrointestinal


Banyak masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia
berkaitan dengan gaya hidup. Mulai dari gigi sampai anus terjadi
perubahan morfologik degeneratif, antara lain perubahan atrofi
pada rahang, mukosa, kelenjar dan otot-otot pencernaan.

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem


gastrointestinal akibat proses menua:
2.9.1. Rongga Mulut
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada rongga
mulut akibat proses menua:
2.9.1.1. Hilangnya tulang periosteum dan periduntal,
penyusustan dan fibrosis pada akar halus,
pengurangan dentin, dan retraksi dari struktur gusi.
Implikasi dari hal ini adalah tanggalnya gigi,
kesulitan
pelekatan gigi palsu yang lepas.

dalam

mempertahankan

2.9.1.2. Hilangnya kuncup rasa. Implikasi dari hal ini


adalah perubahan sensasi rasa dan peningkatan
penggunaan garam atau gula untuk mendapatkan rasa yang
sama kualitasnya.
2.9.1.3. Atrofi pada mulut. Implikasi dari hal ini adalah
mukosa mulut tampak lebih merah dan berkilat. Bibir
dan gusi tampak tipis kerena penyusutan epitelium dan
mengandung keratin.
2.9.1.4. Air liur/ saliva disekresikan sebagai respon
terhadap makanan yang yang telah dikunyah. Saliva
memfasilitasi pencernaan melalui mekanisme sebagai
berikut: penyediaan enzim
pelumasan

pencernaan,

dari

jaringan

lunak,

remineralisasi pada gigi, pengaontrol flora pada mulut, dan


penyiapan makanan untuk dikunyah. Pada lansia
produksi
saliva telah mengalami penurunan.
2.9.2. Esofagus, Lambung, dan Usus
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada
esofagus, lambung dan usus akibat proses menua:
2.9.2.1. Dilatasi esofagus, kehilangan tonus sfingter jantung,
dan penurunan
dari

refleks

muntah.

Implikasi

hal

ini adalahpeningkatan

terjadinya risiko aspirasi.


2.9.2.2. Atrofi penurunan

sekresi asam hidroklorik mukosa

lambung sebesar 11% sampai 40% dari populasi. Implikasi


dari hal ini adalah perlambatan dalam mencerna
makanan dan mempengaruhi penyerapan vitamin B12,
bakteri usus halus akan bertumbuh secara berlebihan dan
menyebabkan kurangnya penyerapan lemak.
2.9.2.3. Penurunan motilitas lambung. Implikasi dari hal ini
adalah penurunan absorbsi obat-obatan, zat besi, kalsium,
vitamin B12, dan konstipasi sering terjadi.

2.9.3. Saluran Empedu, Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas


Pada hepar dan hati mengalami penurunan aliran darah
sampai 35% pada usia lebih dari 80 tahun.

Berikut

ini merupakan perubahan yang terjadi pada saluran empedu,


hati, kandung empedu, dan pankreas akibat proses menua:
2.9.3.1. Pengecilan ukuran hari dan penkreas. Implikasi dari hal ini
adalah terjadi penurunan kapasitas dalam menimpan dan
mensintesis protein dan enzim-enzim pencernaan.
Sekresi insulin normal dengan kadar gula darah yang
tinggi (250300 mg/dL).
2.9.3.2. Perubahan proporsi

lemak

empedu

tampa

diikuti

perubahan metabolisme asam empedu yang


signifikan. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan sekresi
kolesterol.

2.10. Perubahan pada Sistem Reproduksi


2.10.1. Pria
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem
reproduksi pria akibat proses menua:
2.10.1.1.

Testis masih dapat memproduksi spermatozoa

meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur.


2.10.1.2.

Atrofi asini prostat otot dengan area fokus

hiperplasia. Hiperplasia noduler benigna terdapat pada 75%


6

pria >90 tahun.


2.10.2. Wanita

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem


reproduksi wanita akibat proses menua:
2.10.2.1.

Penurunan estrogen yang bersikulasi. Implikasi dari

hal ini adalah atrofi jaringan payudara dan genital.

2.10.2.2.

Peningkatan androgen yang bersirkulasi.

Implikasi dari hal ini adalah penurunan massa tulang


dengan risiko osteoporosis
peningkatan

dan

kecepatan aterosklerosis.

fraktur,

DAFTAR PUSTAKA
Anonym. Proses Penuaan. Available :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24764/4/Chapter%20II.pdf
(Diakses pada tanggal 20 April 2015 pukul 14.18 WITA)
Anonym. Proses Penuaan. Available :
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-231-1651891725-bab
%20ii%20%28revised%29%20.pdf (Diakses pada tanggal 20 April 2015
pukul 19.05 WITA)

RADANG DAN MEKANISME PROSES INFEKSI


A. Respon Imun Primer dan Sekunder
1.1 Definisi Sistem Imun
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem perlindungan dari pengaruh luar
biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika
sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh
terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing
lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi
tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang
menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan
juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini
juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker.
Setiap sistem, organ, atau kelompok sel di dalam tubuh mewakili keseluruhan di
dalam suatu pembagian kerja yang sempurna. Setiap kegagalan dalam sistem akan
menghancurkan tatanan ini. Sistem imun sangat sangat diperlukan bagi tubuh
kita. Sistem imun adalah sekumpulan sel, jaringan, dan organ yang terdiri atas :
a.

Pertahanan lini pertama tubuh, merupakan bagian yang dapat dilihat oleh

tubuh dan berada pada permukaan tubuh manusia sepeti kulit, air mata, air liur,
bulu hidung, keringat, cairan mukosa, rambut.
b.

Pertahanan lini kedua tubuh, merupakan bagian yang tidak dapat dilihat

seperti timus, limpa, sistem limfatik, sumsum tulang, sel darah putih/ leukosit,
antibodi, dan hormon.
Semua bagian sistem imun ini bekerja sama dalam melawan masuknya virus,
bakteri, jamur, cacing, dan parasit lain yang memasuki tubuh melalui kulit,
hidung, mulut, atau bagian tubuh lain. Sistem imun kita tersebar di seluruh tubuh
dan tidak berada di bawah perintah otak, tetapi bekerja melalui rangkaian
informasi pada tiap bagian dari sistem imun. Jumlah sel-sel imun lebih banyak 10
kali lipat dari sistem saraf dan mengeluarkan empat puluh agen imun yang

berbeda-beda untuk melindungi tubuh dari penyakit. Sistem pertahanan tubuh


pada manusia atau lebih kita kenal sebagai sistem imun sering diartikan sebagai
suatu efektor dalam menghalau musuh yang terdiri atas zat asing yang akan
memasuki tubuh. Istilah Imun berasal dari suatu istilah pada era Romawi yang
berarti suatu keadaan bebas hutang. Dengan demikian, sistem imun lebih tepat
diartikan sebagai suatu sistem yang menjamin terjalinnya komunikasi antara
manusia dan lingkungan yaitu media hidupnya secara setara dan tidak saling
merugikan.
Komponen Dalam Sistem Imun
Komponen utama dalam sistem imun selain yang telah disebutkan, adalah sel
darah putih. Sistem kekebalan tubuh berkaitan dengan sel darah putih atau
leukosit. Berdasarkan adanya bintik-bintik atau granular, leukosit terbagi atas:
a.

Granular, memiliki bintik-bintik. Leukosit granular yaitu basofil,

asidofil/eosinofil dan neutrofil.


b.

Agranular, tidak memiliki bintik-bintik . Leukosit agranular yaitu monosit

dan limfosit.
Selain itu, ada juga sel bernama Macrophage (makrofag), yang biasanya berasal
dari monosit. Makrofag bersifat fagositosis, menghancurkan sel lain dengan cara
memakannya. Kemudian, pada semua limfosit dewasa, permukaannya tertempel
reseptor antigen yang hanya dapat mengenali satu antigen. Ada juga sel pemuncul
antigen (Antigen Presenting Cells). Saat antigen memasuki memasuki sel tubuh,
molekul tertentu mengikatkan diri pada antigen dan memunculkannya di hadapan
limfosit. Molekul ini dibuat oleh gen yang disebut Major Histocompability
Complex (MHC) dan dikenal sebagai molekul MHC. MHC 1 menghadirkan
antigen di hadapan limfosit T pembunuh dan MHC II menghadirkan antigen ke
hadapan limfosit T pembantu.
Limfosit berperan utama dalam respon imun diperantarai sel. Limfosit terbagi atas
2 jenis yaitu limfosit B dan limfosit T. Berikut adalah perbedaan antara limfosit T
dan limfosit B:

Limfosit B
dibuat di sumsum tulang yaitu

Limfosit T
dibuat di sumsum tulang dari sel

sel batang yang sifatnya pluripotensi

batang yang pluripotensi (pluripotent

(pluripotent stem cells) dan

stem cells) dan dimatangkan di timus

dimatangkan di sumsum tulang


(Bone Marrow)
Berperan dalam imunitas

Berperan dalam imunitas selular


Menyerang antigen yang berada di

humoral
Menyerang antigen yang ada di

dalam sel
Terdapat 3 jenis sel limfosit T

cairan antar sel


terdapat 3 jenis sel Limfosit B

yaitu:
1. Limfosit T pembantu (helper T

yaitu :
1.limfosit B plasma, memproduksi

cells), mengatur sistem imun dan

antibodi.
2. Limfosit B pembelah,
menghasilkan limfosit B dalam
jumlah banyak dan cepat
3. Limfosit B memori, menyimpan
mengingat antigen yang pernah
masuk ke dalam tubuh

mengontrol kualitas sistem imun


2. Limfosit T pembunuh (killer T
cells), menyerang sel tubuh yang
terinfeksi oleh patogen
3.Limfosit T supresor (supressor T
cells), menurunkan dan
menghentikan respon imun jika
infeksi berhasil diatasi.

1.2 Fungsi Sistem Imun


Sistem imun adalah serangkaian molekul, sel, dan organ yang bekerja sama dalam
mempertahankan tubuh dari serangan luar yang dapat mengakibatkan penyakit,
seperti bakteri, jamur dan virus. Kesehatan tubuh bergantung pada kemampuan
sistem imun untuk mengenali dan menghancurkankan serangan ini.
Sistem imun memiliki beberapa fungsi bagi tubuh, yaitu sebagai berikut:

Penangkal benda asing yang masuk ke dalam tubuh

Untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan

komponen tubuh yang telah tua

Sebagai pendeteksi adanya sel-sel abnormal, termutasi atau ganas, serta

menghancurkannya.

Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit dengan menghancurkan

dan menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur,


dan virus serta sel tumor) yang masuk ke dalam tubuh.

Menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak untuk perbaikan

jaringan.

Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.

Sistem imun menyediakan kekebalan terhadap suatu penyakit yang disebut


imunitas. Respon imun adalah suatu cara yang dilakukan tubuh untuk memberi
respon terhadap masuknya patogen atau antigen tertentu ke dalam tubuh.
Dilihat dari beberapa kali pajanan antigen maka dapat dikenal dua macam respon
imun yaitu:
1. Respons imun primer
Respons imun primer adalah respon imun yang terjadi pada pajanan yang pertama
kalinya dengan antibodi. Antibodi yang terbentuk pada respons imun ini kebanyakan
adalah IgM dengan titer yang lebih rendah dibanding dengan respons imun sekunder,
demikian pula daya afinitasnya. Waktu antara antigen masuk sampai timbul antibodi
(lag phase) lebih lama bila disbanding dengan respons imun sekunder.
2. Respons imun sekunder
Pada respons imun ini, antibodi yang dibentuk terutama adalah IgG, dengan titer dan
afinitas lebih tinggi, serta fase lag lebih pendek dibanding respons imun primer. Hal
ini disebabkan oleh karena sel memori yang yang terbentuk pada respons imun
primer akancepat mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi
sel plasma yang menghasilkan antibodi. Demikian pula dengan imunitas seluler, sel
limfosit T akan lebih cepat mengalami transformasi blast dan berdeferensiasi menjadi
sel T aktif sehingga lebih banyak terbentuk sel efektor dan sel memori (Ranuh, 2001).
B. Tipe Imunitas
Kerja dari sistem imun sendiri cukup menarik, dan dapat dibagi menjadi:

1. Innate immunity, atau sering disebut imunitas alamiah, merupakan mekanisme pertama
yang akan terjadi saat infeksi berlangsung, terjadi secara cepat terhadap infeksi
mikrobia, dan terjadi antara jam ke-0 sampai jam ke-12 infeksi. Mekanisme tersebut
melibatkan (1) penghalang fisik dan kimiawi, seperti epitel dan senyawa antimikrobia
yang dihasilkan oleh sel epitel, (2) sel fagosit (neutrofil dan maktofag) dan
sel natural killer, (3) protein darah, termasuk sistem komplemen dan mediator
inflamasi lainnya, dan (4) protein sitokin yang mengatur sel-sel pada mekanisme
ini. Innate immunity terjadi karena tubuh dapat mengenali struktur mikroba yang
masuk, bisa karena sebelumnya mikroba tersebut sudah pernah menginfeksi tubuh,
atau karena struktur mikroba tersebut mirip seperti struktur mikroba lain yang pernah
menginfeksi tubuh. Kelemahan dari mekanisme ini adalah tidak dapat mengenali
struktur yang sama sekali baru menginfeksi tubuh. Untuk infeksi tersebut, adaptive
immunity yang berperan.
2. Adaptive immunity, atau imunitas spesifik, terjadi ketika innate immunity gagal
menghalau infeksi karena benda asing yang masuk memiliki struktur yang sama
sekali baru bagi tubuh. Mekanisme ini terjadi sekitar 1 hingga 5 hari setelah infeksi.
Secara singkat, makanisme ini akan mencoba membuat "ingatan" baru tentang
struktur benda asing yang masuk ke tubuh, kemudia bereaksi untuk menghalau benda
asing tersebut. Sel yang terlibat pada mekanisme ini adalah limfosit, baik sel T
limfosit maupun sel B limfosit. Adaptive immunity sendiri terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Imunitas humoral, yaitu imunitas yang dimediasi oleh molekul di dalam darah, yang
disebut antibodi. Antibodi dihasilkan oleh sel B limfosit. Mekanisme imunitas ini
ditujukan untuk benda asing yang berada di di luar sel (berada di cairan atau jaringan
tubuh). B limfosit akan mengenali benda asing tersebut, kemudian akan memproduksi
antibodi. Antibodi merupakan molekul yang akan menempel di suatu molekul
spesifik (antigen) di permukaan benda asing tersebut. Kemudian antibodi akan
menggumpalkan benda asing tersebut sehingga menjadi tidak aktif, atau berperan
sebagai sinyal bagi sel-sel fagosit.
b. Imunitas selular, yaitu imunitas yang dimediasi oleh sel T limfosit. Mekanisme ini
ditujukan untuk benda asing yang dapat menginfeksi sel (beberapa bakteri dan virus)

sehingga tidak dapat dilekati oleh antibodi. T limfosit kemudian akan menginduksi 2
hal: (1) fagositosis benda asing tersebut oleh sel yang terinfeksi, dan (2) lisis sel yang
terinfeksi sehingga benda asing tersebut terbebas ke luar sel dan dapat di dilekati oleh
antibodi.
Imunitas Bawaan
Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan hampir semua jenis
organisme atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh.
Kemampuan itu disebut imunitas. Dari sebagian besar imunitas merupakan imunitas
didapat yang tidak timbul sampai tubuh pertama kali diserang oleh bakteri yang
menang menyebabkan penyakit atau toksin, seringkali memerlukan waktu
berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk membentuknya. Ada suatu imunitas
tambahan yang merupakan akibat dari proses yang terarah pada organisme penyebab
penyakit spesifik. Imunitas ini disebut imunitas bawaan, yang meliputi:
1. Fagositosis terhadap bakteri dan penyerbu lainnya oleh sel darah putih dan sel pada
sistem makrofag jaringan.
2. Pengrusakan oleh asam lambung dan enzim pencernaan terhadap organisme yang
tertelan kedalam lambung.
3. Daya tahan kulit terhadap invasi organisme.
4. Adanya senyawa kimia tertentu dalam darah yang melekat pada organisme asing atau
toksin dan menghancurkannya. Beberapa senyawa tersebut adalah:
1) Lisozim: suatu polisakarida mukolitik yang menyerang bakteri dan membuatnya
terlarut.
2) Polipeptida dasar: yang bereaksi dengan bakteri gram-positif tertentu dan membuatnya
menjadi tidak aktif.
3) Kompleks komplemen: merupakan suatu sistem yang terdiri dari kurang lebih 20
protein yang dapat diaktifkan untuk merusak bakteri.
4) Limfosit pembunuh alami: yang dapat mengenali dan menghancurkan sel-sel asing,
sel-sel tumor, dan bahkan beberapa sel yang terinfeksi.
Imunitas bawaan ini membuat tubuh manusia tahan terhadap penyakit.
Imunitas didapat (non spesifik)

Selain imunitas bawaan, tubuh juga mampu membentuk imunitas spesifik yang
sangat kuat untuk melawan agen penyerbu yang bersifat mematikan, seperti bakteri,
virus, toksin, dan bahkan jaringan asing yang berasal dari binatang lain. Imunitas
semacam ini disebut imunitas didapat. Imunitas didapat dihasilkan oleh sistem imun
khusus yang membentuk antibodi dan mengaktifkan limfosit yang mampu menyerang
dan menghancurkan organisme spesifik atau toksin.
Tipe-tipe dasar dari imunitas didapat
Didalam tubuh dijumpai dua tipe dasar dari imunitas didapat yang berhubungan erat
satu sama lain. Pada salah satunya tubuh membentuk antibodi yang bersirkulasi, yaitu
molekul globulin dalam darah yang mampu menyerang agen penyerbu. Tipe ini
disebut imunitas humoral atau imunitas sel-B (karena limfosit B memproduksi
antibodi). Tipe kedua dari imunitas didapat diperoleh melalui pembentukan limfosit
teraktivasi dalam jumlah besar yang secara khusus dirancang untuk menghancurkan
benda asing. Jenis ini disebut imunitas yang diperantarai sel atau imunitas sel-T
(karena limfosit yang teraktifasi merupakan limfosit T).
Imunitas didapat merupakan produk dari sistem limfosit tubuh. Pada orang yang
memiliki cacat genetik pada limfosit atau yang limfositnya rusak akibat radiasi atau
bahan-bahan kimia, tidak dapat membentuk imunitas didapat. Dan dalam beberapa
hari setelah lahir, penderita seperti ini akan meninggal akibat infeksi bakteri yang
fulminan kecuali bila diobati. Oleh karena itu, jelaslah bahwa limfosit sangat penting
untuk menjaga kelangsungan hidup manusia.
Limfosit terletak secara tersebar dalam nodus limfe, namun dapat juga dijumpai
dalam jaringan limfoid khusus, seperti limpa, daerah submukosa dari traktus
gastrointestinal, dan sumsum tulang. Jaringan tersebut sangat menguntungkan
didalam tubuh untuk menahan invasi organisme atau toksin sebelum dapat menyebar
lebih luas. Pada kebanyakan kasus, mula-mula agen masuk dalam cairan jaringan dan
kemudian dibawa melalui pembuluh limfe ke nodus limfe atau jaringan limfoid lain.
Ada dua macam limfosit yang berturut-turut menimbulkan imunitas diperantarai sel
dan imunitas humoral, limfosit T dan limfosit B. Walaupun kebanyakan limfosit

dalam jaringan limfoid normal tampak serupa dibawah mikroskop, tapi sel-sel
tersebut secara jelas dapat dibedakan dalam dua kelompok besar. Satu kelompok
yaitu limfosit T, bertanggung jawab dalam pembentukan limfosit teraktifasi yang
dapat membentuk imunitas diperantarai sel, dan kelompok lain, yaitu limfosit B
bertanggung jawab dalam pembentukan antibodi yang memberikan imunitas humoral.
Sewaktu embrio, kedua macam limfosit ini berasal dari sel stem
hemopoietikpluripoten yang berdiferensiasi dan membentuk limfosit. Limfosit yang
terbentuk akhirnya berada dalam jaringan limfoid, namun sebelum sampai, limfosit
berdiferensiasi lebih lanjut atau diolah lebih dulu dengan cara sebagai berikut.
Limfosit yang pada akhirnya membentuk limfosit T teraktivasi, mula-mula bermigrasi
ke dan diolah lebih dulu dalam kelenjar timus, sehingga dengan alasan inilah mereka
disebut limfosit T. limfosit ini bertanggung jawab terhadap imunitas diperantarai sel.
Kelompok limfosit yang lain yaitu limfosit B yang dipersiapkan untuk membentuk
antibodi, mula-mula diolah lebih dulu dalam hati selama masa pertengahan kehidupan
janin, dan dalam sumsum tulang pada masa akhir janin dan sesudah dilahirkan.

Pengolahan pendahuluan limfosit T dan limfosit B


Walaupun semua limfosit tubuh berasal dari sel stem yang membentuk limfosit di
embrio, sel stem ini sendiri tidak mampu membentuk limfosit T teraktifasi atau
antibodi. Sebelum melakukan hal itu, mereka harus dideferensiasi lebih lanjut pada
tempat pengolahan yang tepat didalam timus atau tempat pengolahan sel B. Kelenjar
timus melakukan pengolahan pendahuluan terhadap limfosit T. Setelah
pembentukannya di sumsum tulang, mula-mula bermigrasi ke kelenjar timus. Disini
limfosit T membelah secara cepat dan pada waktu yang bersamaan membentuk
keanekaragaman yang ekstrim untuk bereaksi melawan berbagai antigen yang
spesifik. Artinya, tiap satu limfosit dikelenjar timus membentuk reaktifitas yang
spesifik untuk melawan satu antigen. Kemudian limfosit berikutnya membentuk
spesifisitas melawan antigen yang lain. Hal ini terus berlangsung sampai terdapat

bermacam-macam limfosit timus dengan reaktifitas spesifik untuk melawan jutaan


antigen yang berbeda-beda. Berbagai tipe limfosit T yang diproses ini sekarang
meninggalkan timus dan menyebar ke seluruh tubuh untuk memenuhi jaringan
limfoid di setiap tempat. Timus juga membuat ketentuan bahwa setiap limfosit T yang
meninggalkan timus tidak akan bereaksi terhadap protein atau antigen lain yang
terdapat dijaringan tubuhnya sendiri. Sebaliknya, limfosit T akan dimatikan oleh
tubuh hanya dalam waktu beberapa hari. Timus menyeleksi limfosit T yang akan
dilepaskan, yaitu pertama-tama dengan mencampurkannya dengan semua antigensendiri yang spesifik yang berasal dari jaringan tubuhnya sendiri. Jika limfosit T
bereaksi, ini akan dihancurkan dan difagositosis, tetapi yang tidak bereaksi akan
dilepaskan, inilah yang terjadi pada sebanyak 90% sel. Jadi yang akhirnya dilepaskan
hanyalah sel-sel yang bersifat nonreaktif terhadap antigen tubuhnya sendiri. Malahan
hanya dapat melawan antigen dari sumber di luar tubuh, seperti dari bakterium,
toksin, atau bahkan jaringan yang ditransplantasikan dariorang lain.
Hati dan sumsum tulang melakukan pengolahan pendahuluan bagi limfosit B. Lebih
sedikit lagi yang diketahui mengenai rincian pengolahan pendahuluan limfosit B
daripada yang diketahui mengenai limfosit T. pada manusia limfosit B diketahui
diolah lebih dulu di hati selama pertengahan kehidupan janin, dan di sumsum tulang
selama masa akhir janin dan setelah lahir. Limfosit B berbeda dengan limfosit T
dalam dua hal: Pertama, berbeda dengan seluruh sel yang membentuk reaktifitas
terhadap antigen, seperti yang terjadi pada limfosit T, maka limfosit B secara aktif
mengekresi antibodi yang merupakan bahan reaktif. Bahan ini berupa molekul protein
yang besar yang mampu berkombinasi dengan dan menghancurkan bahan antigenik.
Kedua, limfosit B bahkan memiliki lebih banyak keanekaragaman dari pada limfosit
T, jadi membentuk banyak sekali sampai berjuta-juta dan bahkan bermiliar-miliar
antibodi tipe limfosit B dengan berbagai reaktifitas yang spesifik. Setelah diolah lebih
dulu, limfosit B seperti juga limfosit T, bermigrasi ke jaringan limfoid diseluruh
tubuh dimana mereka menempati daerah yang sedikit lebih kecil dari pada limfosit T.
Terdapat berjuta-juta limfosit B dan limfosit T yang mampu membentuk antibodi
yang sangat spesifik atau sel T bila dirangsang oleh antigen yang sesuai. Masing-

masing limfosit ini hanya mampu membentuk satu jenis antibodi atau satu jenis sel T
dengan satu macam spesifisitas. Begitu limfosit spesifik diaktifkan oleh antigennya,
maka ia akan berkembang dengan baik membentuk banyak sekali limfosit turunan.
Bila limfosit itu adalah limfosit B, maka turunannya kemudian akan mengekresi
antibodi yang kemudian bersirkulasi diseluruh tubuh. Dan bila limfosit tersebut
adalah limfosit T, maka turunannya adalah sel T yang rentan yang akan dilepaskan
kedalam cairan limfe dan diangkut ke dalam darah, kemudian disirkulasikan ke
seluruh cairan jaringan dan kembali lagi ke dalam limfe, sirkulasi dalam lingkaran ini
kadang-kadang terjadi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Mekanisme untuk mengaktifkan suatu klon limfosit.
Setiap klon limfosit hanya responsif terhadap satu tipe antigen tunggal (atau terhadap
beberapa antigen yang sifat stereokimianya hampir sama). Alasannya adalah sebagai
berikut: pada limfosit B, pada permukaan setiap membran selnya terdapat kira-kira
100.000 molekul antibodi yang hanya akan bereaksi secara sangat spesifik terhadap
satu macam antigen spesifik saja. Jadi bila ada antigen yang cocok, maka antigen ini
segera melekat pada membran sel, keadaan ini akan menimbulkan proses aktifasi.
Pada permukaan membran limfosit sel-T nya terdapat molekul yang sangat mirip
dengan antibodi, yang disebut protein reseptor permukaan (atau penanda sel T), dan
ternyata protein ini juga bersifat sangat spesifik terhadap satu macam antigen tertentu
yang mengaktifikasinya.

Peran makrofag dalam proses aktifasi.


Dalam jaringan limfoid, selain limfosit terdapat juga berjuta-jutamakrofag. Makrofag
membatasi sinusoid-sinusoid dari nodus limfe, limpa, dan jaringan limpoid lain.
Makrofag ini terletak dalam arah yang berlawanan dengan banyak limfosit dalam
nodus limfe. Kebanyakan organisme yang menyerbu mula-mula difagositosis dan
sebagian dicernakan oleh makrofag, dan produk antigeniknya dilepaskan kedalam
sitosol makrofag. Makrofag kemudian melewatkan antigen-antigen tersebut dengan

cara kontak sel ke sel langsung ke limfosit, jadi menimbulkan aktifasi klon yang
khusus. Selain itu, makrofag juga mengekresi bahan pengaktifasi khusus yang
meningkatkan pertumbuhan dan reprodoksi limfosit spesifik. Bahan ini disebut
interleukin-l.
Peran sel T dalam mengaktifkan limposit B.
Kebanyakan antigen mengaktifkan limfosit T dan limfosit B pada saat yang
bersamaan. Beberapa sel T yang terbentuk, disebut sel pembantu. Kemudian
menyekresi bahan khusus (yang secara kolektif disebut limfokim) yang selanjutnya
mengaktifkan limposit B. sesungguhnya tanpa bantuan limfosit T ini, jumlah antibodi
yang dibentuk oleh limfosit B biasanya sedikit.
Sifat-sifat khusus sistem limfosit B dalam imunitas humoral dan antibodi.
1.

Pembentukan antibodi oleh sel plasma.


Sebelum terpajan dengan antigen yang spesifik, klon limfosit B tetap dalam keadaan
dormant di dalam jaringan limfoid. Bila ada antigen asing yang masuk, makrofag
dalam jaringan limfoid akan memfagositosis antigen dan kemudian membawanya ke
limfosit B didekatnya. Disamping itu, antigen tersebut dapat juga dibawa ke sel T
pada saat bersamaan, dan sel T pembantu yang teraktifasi kemudian juga
membantu mengaktifkan limfosit B. Limfosit B yang bersifat spesifik terhadap
antigen segera membesar dan tampak seperti gambaran limfoblas. Beberapa limfoblas
berdiferensiasi lebih lanjut untuk membentuk plasmablas, yang merupakan prekursor
dari sel plasma. Dalam sel-sel ini sitoplasma meluas dan retikulum endoplasma kasar
akan berproliferasi dengan cepat. Sel-sel ini kemudian membelah dengan kecepatan
satu kali setiap 10 jam, sampai sekitar sembilan pembelahan, sehingga dari satu
plasmablas dapat terbentuk kira-kira 500 sel dalam waktu 4 hari. Sel plasma yang
matur kemudian menghasilkan antibodi gamma globulin dengan kecepatan tinggi
kira-kira 2000 molekul per detik untuk setiap sel plasma. Antibodi yang disekresikan
kemudian masuk kedalam cairan limfe dan diangkut ke darah sirkulasi. Proses ini

berlanjut terus selama beberapa hari atau beberapa minggu sampai sel plasma
kelelahan dan mati.
2.

Pembentukan sel memori.


Beberapa limfoblas yang terbentuk oleh pengaktifan suatu klon limfosit B, tidak
berlanjut membentuk sel plasma, melainkan membentuk sel limfosit B baru dalam
jumlah yang cukup dan serupa dengan yang terdapat pada klon asal. Dengan kata
lain, populasi sel B dari klon yang teraktifasi secara spesifik menjadi sangat
meningkat. Dan limfosit B baru tersebut ditambahkan ke limfosit asal pada klon.
Limfosit B yang baru ini juga bersirkulasi ke seluruh tubuh untuk mendiami seluruh
jaringan limfoid, tetapi secara imunologis, mereka tetap dalam keadaan dormant
sampai diaktifkan lagi oleh sejumlah antigen baru yang sama. Limfosit ini disebut sel
memori. Pajanan berikutnya oleh antigen yang sama akan menimbulkan respon
antibodi yang jauh lebih cepat dan jauh lebih kuat.

3.

Sifat antibodi.
Antibodi merupakan globulin gamma yang disebut immunoglobulin, dan berat
molekulnya antara 160.000 dan 970.000. Imunoglobulin biasanya merupakan sekitar
20% dari seluruh protein plasma. Semua imunoglobulin terdiri atas kombinasi rantai
polipeptida ringan dan berat, kebanyakan merupakan kombinasi 2 rantai berat dan 2
rantai ringan. Meskipun begitu, ada imunoglobulin yang mempunyai kombinasi
sampai 10 rantai berat dan 10 rantai ringan. Yang menghasilkan imunoglobulin
dengan berat molekul besar. Dalam semua imunoglobulin tiap rantai berat terletak
sejajar dengan satu rantai ringan pada salah satu ujungnya, jadi membentuk satu
pasangan berat dan ringan. Serta selalu terdapat sedikitnya 2 pasang dan sebanyakbanyaknya 10 pasang dalam setiap molekul imunoglobulin.

4.

Spesifikasi antibodi.
Setiap antibodi bersifat spesifik untuk antigen tertentu, hal ini disebabkan oleh
struktur uniknya yang tersusun atas asam-asam amino pada bagian yang dapat
berubah dari kedua rantai ringan dan berat. Susunan asam amino ini memiliki bentuk
sterik-sterik yang berbeda untuk setiap spesifisitas antigen, sehingga bila suatu
antigen berkontak dengan bagian ini, maka berbagai kelompok prostetik antigen

tersebut seperti sebuah bayangan cermin dengan asam amino yang terdapat dalam
antibodi, sehingga terjadilah ikatan yang cepat antara antibodi dan antigen. Ikatan itu
bersifat nonkovalen, tapi bila antibodi bersifat sangat spesifik, maka akan ada banyak
tempat ikatan yang dapat membuat pasangan antibodi-antigen itu sangat kuat terikat
satu sama lain, yaitu dengan cara (1) ikatan hidrofobik, (2) ikatan hidrogen, (3) daya
tarik ionik, dan (4) kekuatan van der Waals. Ikatan ini juga mematuhi hukum kerja
massa termodinamik.
5.

Penggolongan antibodi.
Terdapat lima golongan umum antibodi, masing-masing diberi nama IgM, IgG, IgA,
IgD, dan IgE. Ig singkatan dari imunoglobulin, dan kelima huruf di atas menunjukkan
masing-masing golongan. Ada dua golongan antibodi yang sangat penting: IgG yang
merupakan antibodi bivalen dan kira-kira 75% dari seluruh antibodi pada orang
normal, dan IgE yang merupakan antibodi dalam jumlah kecil tapi khususnya terlibat
dalam peristiwa alergi. Golongan IgM juga penting sebab sebagian besar antibodi
yang terbentuk sewaktu terjadi respons primer adalah golongan ini. Antibodi ini
mempunyai 10 tempat ikatan sehingga membuatnya menjadi sangat efektif dalam
melindungi tubuh terhadap agen penyebab penyakit, walaupun antibodi IgM
jumlahnya tak begitu banyak.

6.

Mekanisme kerja antibodi


Antibodi bekerja terutama melalui dua cara untuk mempertahankan tubuh terhadap
agen penyebab penyakit:
(1) dengan langsung menyerang penyebab penyakit tersebut dan (2) dengan
mengaktifkan sistem komplement yang kemudian dengan berbagai cara yang
dimilikinya akan merusak penyebab penyakit tersebut.

7.

Kerja langsung antibodi terhadap agen penyebab penyakit.


Akibat sifat bivalen dari antibodi dan banyaknya tempat antigen pada sebagian besar
agen penyebab penyakit, maka antibodi dapat mematikan aktifitas agen penyebab

1)

penyakit tersebut dengan salah satu cara berikut ini:


Aglutinasi, dimana berbagai partikel besar dengan antigen pada permukaannya
seperti bakteri atau sel darah merah, terikat bersama-sama menjadi satu kelompok.

2)

Presipitasi, dimana kompleks molekular dari antigen yang larut (misalnya racun
tetanus) dan antibodi menjadi begitu besar sehingga berubah menjadi tak larut dan

3)

membentuk presipitat.
Netralisasi, dimana antibodi menutupi tempat-tempat yang toksik dari agen yang

4)

bersifat antigenik.
Lisis, dimana beberapa antibodi yang sangat kuat kadang-kadang mampu langsung
menyerang membran sel agen penyebab penyakit sehingga menyebabkan sel tersebut
robek.
Dalam keadaan normal, kerja antibodi yang langsung menyerang penyebab penyakit
yang bersifat antigenik mungkin tak cukup kuat untuk berperan dalam
mempertahankan tubuh terhadap penyebab penyakit tersebut. Kebanyakan sifat
pertahanan didapat melalui efek penguatan dari sistem komplemen.

8.

Sistem komplemen pada kerja antibodi.


Komplemen merupakan istilah gabungan yang menggambarkan suatu sistem yang
terdiri dari kira-kira 20 protein yang kebanyakan merupakan prekursor enzim.
Pemeran utama dalam sistem ini adalah 11 protein yang ditandai dengan C1 sampai
C9, B, dan D. dalam keadaan normal, semua protein ini terdapat diantara proteinprotein plasma dan juga dalam protein plasma yang bocor keluar dari kapiler masuk
kedalam ruang jaringan. Biasanya prekursor enzim ini bersifat inaktif, namun dapat
diaktifkan dengan dua cara: (1) jalur klasik, (2) jalur alternatif.

a. Jalur Klasik.
Jalur ini diaktifkan oleh suatu reaksi antigen-antibodi. Yaitu, bila suatu antibodi
berikatan dengan suatu antigen, maka tempat reaktif yang spesifik pada bagian yang
tetap dari antibodi akan menjadi tak tertutup, atau diaktifkan, dan gabungan ini
kemudian langsung berikatan dengan molekul C1 dari sistem komplemen, masuk
dalam rangkaian reaksi-reaksi, yang diawali dengan pengaktifan proenzim C1 itu
sendiri. Untuk mengaktifkan banyak molekul pada tahap pertama dari sistem
komplemen ini hanya dibutuhkan sedikit gabungan antigen-antibodi. Enzim C1 yang
terbentuk kemudian secara berturut-turut mengaktifkan enzim yang jumlahnya

meningkat pada tahapakhir dari sitem ini, sehingga dari awal yang kecil terjadilah
reaksi penguat yang besar sekali. Produk akhir dan beberapa di antaranya
menimbulkan efek penting yang membantu mencegah kerusakan akibat organisme
yang menyerbu atau oleh toksin. Efek-efek yang penting tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Opsonisasi dan fagositosis. Salah satu produk dari rangkaian komplemen yaitu C3b,
dengan kuat mengaktifkan fagositosis oleh netrofil dan makrofag, menyebabkan selsel ini menelan bakteri yang telah dilekati oleh kompleks antigen-antibodi. Proses ini
disebut opsonisasi. Proses ini seringkali mampu meningkatkan jumlah bakteri yang
dapat dirusak, sampai 100 kali lipat.
2. Lisis. Produkyang paling penting adalah kompleks litik. Yang merupakan gabungan
dari banyak faktor komplemen dan ditandai dengan C5b6789. Produk ini mempunyai
pengaruh langsung untuk merobek membran sel bakteri atau organisme penyerbu
lainnya.
3. Aglutinasi. Komplemen juga mengubah permukaan organisme penyerbu, sehingga
saling melekat satu sama lain, jadi meningkatkan proses aglutinitas.
4. Netralisasi virus-virus. Enzim komplemen dan produk komplemen dapat menyerang
struktur beberapa virus dan dengan demikian mengubahnya menjadi nonvirulen.
5. Kemotaksis. Fragmen C5a menyebabkan kemotaksis dari netrofil dan makrofag,
jadi menyebabkan sebagian besar sel fagosit ini bermigrasi kedalam regio lokal dari
agen antigenik.
6. Pengaktifan sel mast dan basofil. Fragmen C3a, C4a dan C5a semuanya mengaktifkan
sel mast dan basofil, sehingga menyebabkan sel-sel tersebut melepaskan histamin,
heparindan substansi lainnya ke dalam cairan setempat. Bahan-bahan ini kemudian
menyebabkan peningkatan aliran darah setempat, meningkatkan kebocoran cairan dan
protein plasma ke dalam jaringan, dan reaksi jaringan setempat lainnya yang
membantu menginaktifkan atau mengimobilisasi agen antigenik. Faktor-faktor yang
sama juga berperan dalam proses peradangan.
7. Efek inflamasi. Disamping efek peradangan yang disebabkan oleh pengaktifan sel mast
dan basofil, ada beberapa produk komplemen lain yang turut menimbulkan
peradangan setempat. Produk-produk ini meningkatkan aliran darah yang sebelumnya

telah meningkat, meningkatkan kebocoran protein dari kapiler, dan kemudian protein
akan berkoagulasi dalam ruang jaringan, jadi menghambat pergerakan organisme
yang menyerbu melewati jaringan.
b.

Jalur alternatif.
Sistem komplemen kadang-kadang diaktifkan tanpa diperantarai oleh suatu reaksi
antigen-antibodi. Hal ini terjadi dalam respons terhadap molekul-molekul
polisakarida besar dalam membran sel mikro-organisme yang menyerbu masuk, yang
bereaksi dengan faktor komplemen B dan D, menghasilkan bahan pengaktif yang
mengaktifkan faktor C3, untuk memulai rangkaian komplemen yang tersisa, diluar
tingkat C3. Jadi pada dasarnya semua hasil akhir yang dihasilkan itu sama dengan
yang dihasilkan dalam jalur klasik, dan ini juga menghasilkan pengaruh yang sama
terhadap penyerbu dalam mempertahankan tubuh. Karena jalur alternatif tidak
melibatkan reaksi antigen-antibodi, maka jalan ini juga merupakan garis pertahanan
pertama terhadap mikro-organisme penyerbu, bahkan mampu berfungsi sebelum
orang tersebut terimunisasi terhadap organisme.

C. Reaksi Hipersensitivitas

Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun


selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh
antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.

Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4


tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang
bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan
tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih
ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory
hipersensitivity.

Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk
mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan
sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi
suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I

Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari
100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang
mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya.
Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran
penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator
yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi
reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya
suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi
antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau
basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada
permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks
kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai
mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita,
misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat
reaksi serbuk bunga.

Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa
peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat
kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi
komplemen (lihat bab mengenai komplemen).

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I


melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil
chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari
preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil

chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit


asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase
cepat dan fase lambat.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase


cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini
dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi.
Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam,
dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian
dapat responsif lagi terhadap alergen.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi


hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata
sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti
terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi
alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan
sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator
fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang
meningkatkan sel radang.

Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase


lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin
releasing factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan
mediator-mediator dari sel mast dan sel lain.

Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein


(MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil
melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang
berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada

infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi
yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain,
terutama eosinofil.
Mediators:

Histamin

Slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A)

Bradykinin.

Serotonin (5-hydroxytryptamine)

Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A).

Platelet activating factor (PAF).

Prostaglandins hasil produksi metabolisme cyclooxygenase dari arachidonic


acid. Prostaglandin E1 (PGE1) dan PGE2 adalah bronchodilators dan
vasodilators kuat. PGI2 atau prostacyclin adalah suatu disaggregates platelets.

Genetic factors: Hay fever, asthma, and food allergies, show familial
tendency.

Manifestasi Klinis

Anaphylaxis

Atopy immediate hypersensitivity response

Terapi : Avoidance, Hyposensitization, pemberian modified allergens


atau allergoids.

Obat Diphenhydramine, Corticosteroids, Epinephrine. Sodium cromolyn,


Theophylline

Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di


atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan
IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi
dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
(preformed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed
mediator).Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan
mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator
sekunder).

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast


Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor
of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).
1. Histamin
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin
dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik
serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal
dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2
ng/L setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat
terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan,
kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa
gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi.
Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah

hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil
pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada
mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik
berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal
setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi
fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara
memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini
mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal
saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga
histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2
diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk
limfosit.
2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)
Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi
radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah
terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada
waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).
Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4
yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas
pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast
atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)

NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru
manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam
beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan
alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh
karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator
primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I
fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi.
Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.

Mediator yang terbentuk kemudian


Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat,
faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat
terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan
mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi
(lihat Gambar 12-3).
1. Produk siklooksigenase
Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi
pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2,
PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).
Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya
membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga
dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul
di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan
limfosit).

Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat
bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan
permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama
sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan,
akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.
2. Produk lipoksigenase
Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang
membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4
merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan
LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan
produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan
dari jaringan paru yang tersensitisasi.
Slow reacting substance of anaphylaxis
Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih
lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit
perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap
mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator
ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga
meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi,
SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4,
LTD4, serta LTE4.
Faktor aktivasi trombosit (PAF = Platelet activating factor)
Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF
dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari
trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta

peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada


reaksi yang diperan oleh IgE.
Serotonin
Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna.
Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia.
Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang
dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2.
Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI
Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber
beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.
Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen
menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu
normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen
asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari
(pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu
misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2.
Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas.
Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons
terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang
menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai
alergen.
Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2,
akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu,
individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons

terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar
orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen
yang berperan.
Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu
Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNF, serta GM-CSF tetapi
tidak memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh
makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel
limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk
memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh
sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang
sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan dapat langsung dari
sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4
tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B.
Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fc (FcRII) pada sel
limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell
stimulating factor).Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNF, tetapi
dihambat oleh IFN, IFN, TGF, PGE2, dan IL-I0
Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat
menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen
pada sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai
aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating
factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T expressed and presumably
secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat
pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan
histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar
12-7).

Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan
mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata
dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF.
Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan
pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth
factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan
diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat
aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi
antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil
activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan
GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan
dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP
(formil metionil leukosil fenilalanin).
PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI
(REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)

Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada


target antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi
hipersensitivitas tipe II) atau dengan membentuk kompleks imun yang
mengendap di pembuluh darah (reaksi hipersensitivitas tipe III)

Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibodymediated) merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis
pada manusia. Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat
mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan target antigen.
Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan
tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat
turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus

ginjal dan sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung
merupakan suatu penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis,
artritis dan nefritis.
Sindrom klinik dan pengobatan
Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan
dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan
pengobatan ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi
dan kerusakan jaringan yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid.
Pada kasus yang berat, digunakan plasmapheresis untuk mengurangi kadar
autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam darah.
Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan

Penyakit
Anemia
hemolitik
autoimun

Antigen target
Protein membran
eritrosit (antigen
golongan darah

Purpura

Rh)
Protein membran

trombositopenia

platelet

autoimun

(gpIIb:integrin

(idiopatik)

IIIa)
Protein pada
hubungan

Pemfigus

interseluler pada

vulgaris

sel epidermal
(epidemal

Sindrom

cadherin)
Protein non-

Mekanisme
Opsonisasi dan
fagositosis
eritrosit

Manifestasi
klinopatologi
Hemolisis,
anemia

Opsonisasi dan
fagositosis

Perdarahan

platelet
Aktivasi protease
diperantarai
antibodi,
gangguan adhesi

Vesikel kulit
(bula)

interseluler
Inflamasi yang

Nefritis,

kolagen pada
Goodpasture

membran dasar
glomerulus ginjal
dan alveolus paru
Antigen dinding
sel streptokokus,

Demam

antibodi bereaksi

reumatik akut

silang dengan
antigen

diperantarai
komplemen dan perdarahan paru
reseptor Fc

Inflamasi,
aktivasi
makrofag

Artritis,
miokarditis

miokardium
Antibodi
menghambat
Miastenia gravis

Reseptor

ikatan

Kelemahan otot,

asetilkolin

asetilkolin,

paralisis

modulasi
reseptor
Stimulasi
Penyakit Graves

Reseptor hormon

reseptor TSH

TSH

diperantarai

Hipertiroidisme

antibody
Netralisasi faktor
Anemia
pernisiosa

Faktor intrinsik

intrinsik,

Eritropoesis

dari sel parietal

penurunan

abnormal,

gaster

absorpsi vitamin

anemia

B12
(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Penyakit oleh kompleks imun

Penyakit
Lupus
eritematosus
sistemik

Poliarteritis
nodosa

Spesifitas
antibodi

Mekanisme
Inflamasi

DNA,

diperantarai

nukleoprotein

komplemen dan

Antigen
permukaan virus
hepatitis B

Glomreulonefirtis Antigen dinding

reseptor Fc
Inflamasi
diperantarai
komplemen dan

Manifestasi
klinopatologi
Nefritis,
vaskulitis,
artritis

Vaskulitis

reseptor Fc
Inflamasi
diperantarai

post-streptokokus sel streptokokus komplemen dan

Nefritis

reseptor Fc
(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)
Point of interest

Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan


jaringan dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II).

Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn
menstimulasi fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi,
aktivasi komplemen menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat
menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi
fungsi organ dengan berikatan pada reseptor sel organ tersebut.

Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk


kompleks imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan
menyebabkan kerusakan jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan
jaringan terutama disebabkan oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.

PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)


Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin
dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia
pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh
sel limfosit T.

Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme


autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen
pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena
itu penyakit T cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu
dan biasanya tidak bersifat sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi
menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis,
terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut
menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi
granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat
infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak
jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit
yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar.

Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan


jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang
diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs

Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan


oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T
CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin
yang menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan
disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain.
Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing.
Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel T

CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya
berperan pada kerusakan jaringan.
Sindrom klinik dan pengobatan
Banyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi
yang diperantarai oleh sel T .
Penyakit yang diperantarai sel T
Spesifitas sel T

Penyakit pada

Contoh pada

patogenik
Antigen sel islet

manusia

hewan

(insulin,

Spesifisitas sel T

dekarboksilase

belum ditegakkan

asam glutamat)
Antigen yang tidak

Spesifisitas sel T

Artritis

diketahui di

dan peran antibodi

diinduksi

sinovium sendi

belum ditegakkan

kolagen
Induksi oleh

Penyakit
Diabetes melitus
tergantung insulin
(tipe I)

Artritis reumatoid

Ensefalomielitis

Protein mielin

alergi

dasar, protein

eksperimental

proteolipid

Postulat : sklerosis
multipel

Tikus NOD,
tikus BB, tikus
transgenik

imunisasi
dengan antigen
mielin SSP;
tikus transgenik
Induksi oleh

Penyakit inflamasi
usus

Tidak diketahui,
peran mikroba
intestinal

Spesifisitas sel T
belum ditegakkan

rusaknya gen
IL-2 atau IL-10
atau kurangnya
regulator sel T

D. Imunodefisiensi
A. Gangguan Imunodefisiensi

Gangguan imunodefisiensi dapat disebabkan oleh defek atau defisiensi pada selsel fagositik, limfosit B, limfosit T atau komplemen. Gejala yang spesifik serta
beratnya penyakit, usia saat penyakit dimulai dan prognosis penyakit bergantung pada
komponen apa yang terkena dalam sistem imun dan sampai dimana fungsi imun
tersebut terganggu. Terlepas dari penyebab yang mendasari kelainan imunodefisiensi,
gejala utamanya mencakup infeksi kronik atau infeksi berat kambuhan, infeksi karena
mikroorganisme yang merupakan flora normal tubuh, respon tubuh yang buruk
terhadap pengobatan infeksi dan diare kronik. Imunodefisiensi dapat diklasifikasikan
sebagai kelainan yang primer atau sekunder dan dapat pula dipilah berdasarkan
komponen yang terkena pada sistem imun tersebut.
1. Imunodefisiensi Primer
Imunodefisiensi primer merupakan kelainan langka yang penyebabnya bersifat
genetik dan terutama ditemukan pada bayi serta anak-anak kecil.gejala biasanya
timbul pada awal kehidupan setelah perlindungan oleh antibodi maternal
menurun.tanpa terapi, bayi dan anak-anak yang menderita kelainan ini jarang dapat
bertahan hidup sampai usia dewasa. Kelainan ini dapat mengenai satu atau lebih
komponen pada sistem imun.
a. Disfungsi Fagositik
1) Manifestasi Klinis
Kelainan pada sel-sel fagositik akan bermanifestasi dalam bentuk
peningkatan insidensi infeksi bakterial. Di samping infeksi bakterial,
penderita sindrom hiperimunoglobulinemia E (HIE) yang dahulunya dikenal
sebagai sindrom Job akan menderita pula infeksi oleh Candida dan virus
herpes simpleks atau herpes zoster. Penderita sindrom ini akan terkena
furunkolosis rekuren, abses kulit, dermatitis ekzematoid kronik, bronkitis,
pneumonia, otitis media kronik dan sinusitis. Sel-sel darah putih tidak
mampu menghasilkan respons inflamasi terhadap infeksi kulit; keadaan ini
mengakibatkan abses dingin yang letaknya dalam dan kurang menunjukkan
tanda-tanda serta gejala klasik inflamasi (yaitu, kemerahan, panas dan nyeri).
2) Penatalaksanaan

Penanganan kelainan ini mencakup penatalaksanaan infeksi bakteri dengan


terapi antibiotik profilaktik. Pada penderita sindrom HIE, terapi mungkin
diperlukan untuk mengatasi infeksi jamur maupun virus. Transfusi sel-sel
granulosit pernah dilakukan tetapi kerap kali tanpa hasil karena sel-sel
tersebut memiliki masa paruh yang pendek. Terapi dengan faktor
penstimulasi koloni granulosit-makrofag (GM-CSF; granulocytemacrophage colony stimulating factor) atau granulosit CSF (G-CSF) terbukti
memberikan hasil yang baik karena protein ini akan menarik sel-sel dari
sumsum tulang dan mempercepat maturasinya.
b. Defisiensi Sel-B
Ada dua tipe kelainan bawaan defisiensi sel-B. Tipe yang pertama terjadi
karena kurangnya diferensiasi prekursor sel-B menjadi sel-B matur yang
mengakibatkan kurangnya sel plasma dan tidak tampaknya pusat-pusat germinal
dari semua jaringan limfoid. Fenomena ini menyebabkan defisiensi total
produksi antibodi terhadap bakteri, virus dan mikroorganisme patogen lain yang
menginvasi tubuh penderitanya. Bayi yang lahir dengan kelainan ini akan
menderita infeksi berat yang terjadi segera setelah bayi tersebut dilahirkan.
Sindrom ini dinamakan sex-linked agammaglobulinemia (penyakit Bruton)
karena semua jenis antibodi menghilang dari dalam plasma pasien.
Tipe defisiensi sel-B yang kedua terjadi akibat kurangnya diferensiasi sel-sel
yang menjadi sel plasma. Pada kelainan ini hanya terjadi penurunan produksi
antibodi. Meskipun sel plasma merupakan penghasil antibodi yang paling agresif,
namun penderitanya akan memiliki folikel kelenjar limfe yang normal dan
limfosit B dalam jumlah banyak yang memproduksi sejumlah antibodi. Sindrom
ini dinamakan hipogamaglobulinemia. Keadaan ini merupakan kelainan
imunodefisiensi yang sering terjadi dan karena itu dinamakan common variable
immunodeficiency (CVID). Istilah ini mencakup sejumlah defek yang berkisar
mulai dari defisiensi IgA dimana hanya terjadi defisiensi sel plasma yang
memproduksi IgA sehingga kelainan ekstrem lainnya dimana terjadi
panhipoglobulinemia berat (defisiensi umum imunoglobulin dalam darah).
1) Manifestasi Klinis

CVID merupakan kelainan imunodefisiensi primer yang paling sering


terlihat pada usia dewasa. Laki-laki dan wanita terkena sama seringnya.
Meskipun awitannya dapat terjadi pada segala usia, kelainan ini paling
sering dijumpai pada usia dekade kedua. Lebih dari 50% penderita CVID
akan mengalami anamia pernisiosa. Gambaran umum yang ditemukan pada
pemeriksaan mencakup hiperplasia limfoid usus halus dan lien disamping
atrofi lambung yang terdeteksi melalui biopsi lambung. Kerap kali pasien
CVID juga mengalami penyakit autoimun yang lain seperti artritis dan
hipotiroidisme.
Penderita CVID rentan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti
Haemophilus influenza, Streptococcus pneumonia dan Staphylococcus
aureus. Infeksi saluran nafas yang sering terjadi secara khas akan
berkembang menjadi bronkiektasis progresif kronik dan kegagalan paru.
Infeksi oleh Giardia lamblia juga sering dijumpai pada penderita CVID ini.
Infeksi oportunistik dengan Pneumocystis carinii hanya terlihat pada
penderita yang juga mengalami defisiensi dalam imunitas sel-T.
2) Penatalaksanaan
Penderita CVID mungkin memerlukan terapi pengganti dengan
suntikan gama globulin IV. Penderita yang mendapatkan terapi adekuat
dengan gama globulin IV biasanya tidak memerlukan antibiotik profilaktik
kecuali jika mengalami penyakit respiratorius kronik. Terapi antimikroba
diberikan pada infeksi respiratorius untuk mencegah komplikasi seperti
pneumonia, sinusitis atau otitis media. Infestasi intestinal oleh Giardia
lamblia harus diobati dengan pemberian metronidazol (Flagyl) atau
kuinakrin hidroklorida (Atabrine) selama 7 hari. Penderita yang mempunyai
anemia pernisiosa memerlukan suntikan vitamin B12 sebulan sekali.
c. Defisiensi sel-T
1) Patofisiologi dan Penatalaksanaan
Hilangnya fungsi sel-T biasanya disertai dengan hilangnya sebagian
aktivitas sel-B karena peranan regulasi yang dilaksanakan oleh sel-T dalam
sistem imun. Status sel-T dapat dievaluasi lewat hitung limfosit darah tepi.
Limfosipenia dapat menandakan defisit sel-T. Sel-T merupakan 65%hingga

85% dari total limfosit darah tepi. Evaluasi untuk mengetahui apakah sel T
mampu memproduksi respons sel-T dapat dilakukan melalui pemeriksaan
sensitisasi dermal penderitanya atau stimulasi mesing-masing sel T secara in
vitro.
Sindrom DiGeorge atau hipoplasia timus merupakan defisiensi sel-T
yang terjadi kalau kelenjar tmus tidak dapat tumbuh secara normal selama
embriogenesis. Bayi yang dilahirkan dengan sindrom DiGeorge akan
menderita hipoparatiroidisme yang mengakibatkan hipokalsemia yang
resisten terhadap terapi standar, penyakit jantung kongenital, wajah yang
abnormal dan kemungkinan kelainan renal. Bayi yang menderita sindrom ini
rentan terhadap infeksi kandida, jamur, protozoa dan virus. Bayi-bayi
tersebut terutama rentan terhadap penyakit kanak-kanak (cacar air, campak
serta rubela)yang biasanya berat dan mungkin pula fatal.
Kandidiasis Mukokutaneus Kronik dengan atau tanpa endokrinopati
merupaka kelainan yang berkaitan dengan defek selektif pada imunitas sel-T
yang diperkirakan terjadi akibat pewarisan autosomal-resesif. Kelainan ini
dianggap sebagai kelainan autoimun dimana kelenjar timus dan kelenjar
endokrin lainnya terlibat dalam proses autoimun. Gambaran awal kandidiasis
mukotaneus kronik dapat berupa infeksi kandida yang kronik atau
endokrinopati idiopatik. Kelainan ini mengenai laki-laki maupun wanita
penderitanya dapat bertahan hidup sampai usia dekade kedua atau ketiga.
Penyakit kandidiasis mukokutaneus kronik akan menyebabkan peningkatan
morbiditas karena disfungsi endokrin. Masalahnya dapat mencakup
hipokalsemia dan tetani yang terjadi sekunder akibat hipofungsi kelenjar
paratiroid. Hipofungsi korteks adrenal (penyakt Addison) merupakan
penyebab utama kematian pada penderita kelainan ini, dan hipofungsi
korteks adrenal tersebut dapat terjadi mendadak tanpa riwayat gejala apapun.
Infeksi kandida kronik pada kulit dan membran mukosa sulit diobati
kendati infeksi sistemik oleh Candida biasanya tidak terjadi. Penderita
infeksi kandida kronik pada kulit dan membran mukosa kerap kali
mengalami masalah psikologis yang berat. Terapi topikal dengan mikonazol

pernah dilaporkan dapat mengendalikan infeksi ini pada sebagian pasien.


Pemberian suntikan amfoterisin B IV memberikan manfaat pada sebagian
pasien kendati pemakaiannya sangat terbatas mengingat toksisitasnya pada
ginjal. Terapi oral dengan agens klotrimazol dan ketokonazol dilaporkan
juga bermanfaat.
d. Defisiensi sel-B dan sel-T
1) Patofisiologi dan Penatalaksanaan
Ataksia-telangiektasia merupakan kelainan yang mengenai imunitas sel-T
dan sel-B. Kelainan ini diturunkan secara autosomal-resesif. Pada 40%
penderita kelainan ini terdapat defisiensi selektif IgA. Defisiensi subkelas
IgA dan IgG disamping defisiensi IgE pernah ditemukan. Defisiensi sel-T
dengan derajat yang bervariasi dapat terlihat dan bertambah parah bersamaan
dengan pertambahan usia penderitanya. Penyakit ini meliputi sistem
neurologik, vaskuler, endokrin dan sistem imun. Awitan ataksia (geraka otot
yang tidak terkoordinasi) dan telangiektasia (lesi vaskuler akibat pelebaran
pembuluh darah) biasanya terjadi pada usia 4 tahun pertama, kendati banyak
pasien yang tetap terbebas dari gejala selama 10 tahun atau lebih.
Morbiditasnya akan meningkat jika terdapat penyakit paru kronik, retardasi
mental serta gejala neurologik; ketidakmampuan fisik semakin parah ketika
pasien mendekati usia dekade kedua. Pasien yang dapat bertahan hidup dalam
waktu lama akan mengalami kemunduran fungsi imunologik dan neurologik
yang progresif. Sebagian pasien da[pat mencapai usia dekade kelima.
Penyebab kematian pada penderita kelainan ini adalah infeksi yang
menyeluruh dan penyakit kanker limforetikuler atau epitelial. Terapinya
mencakup penanganan infeksi secara dini dengan antimikroba, penanganan
penyakit paru kronik dengan drainase postural serta fisioterapi, dan
penanganan gejala yang ada lainnya. Terapi yang lain mencakup transplantasi
jaringan timus janin dan pemberian suntikan gama globulin IV.
Sindrom Nezelof diperkirakan terjadi akibat kelainan genetik yang berciri
resesif. Bayi yang lahir dengan sindrom Nezelof tidak memiliki kelenjar
timus dan mengalami imunodefisiensi sel-B dalam pelbagai derajat dengan

disertai oleh kombinasi kadar imunoglobulin yang meningkat, menurun atau


normal. Bayi dengan sindrom Nezelof memiliki penekanan yang tinggi
terhadap infeksi virus, bakteri, jamur, dan protozoa. Bayi yang menderita
sindrom ini juga memiliki insidensi penyakit malignan yang tinggi.
Baik sel-B maupun sel-T tidak terdapat pada penyakit SCID (severe
combined immunodeficiency disease). Pada penyakit ini sama sekali tidak
terdapat imunitas humoral maupun seluler yang disebabkan oleh kelainan
genetik yang bersifat autosomal atau yang berkaitan dengan kromosom X (xlinked). Pada sebagian kasus terjadi bentuk-bentuk sporadis penyakit ini.
Sindrom Wiscott Aldrich merupakan varian penyakit SCID dengan
trombositopenia (penurunan jumlah trombosit) disamping tidak terdapatnya
sel T dan B.
Prognosis defisiensi sel-B dan -T umunya jelek karena sebagian besar
bayi yang terkena akan mengalami infeksi fatal yang menyeluruh. Pilihan
terapi yang masih sedang diselidiki mencakup transplantasi sumsum tulang,
terapi pengganti dengan suntikan imunoglobulin IV, faktor yang berasal dari
timus dan tranplantasi kelenjar timus. Dengan keberhasilan terapi yang
semakin meningkat, maka dari pasien-pasien yang seharusnya sudah
meninggal pada masa bayi ternyata semakin banyak jumlahnya yang dapat
hidup sampai usia dewasa.
e. Defisiensi sistem komplemen
Dengan semakin baiknya teknik pemeriksaan untuk mengidentifikasi
komponen masing-masing komplemen, maka identifikasi defisiensi pada sistem
komplemen juga terus mengalami peningkatan yang mantap. Defisiensi
komponen C2 dan C3 akan mengakibatkan penurunan resistensi terhadap infeksi
bakteri. Angioneurotik edema disebakan oleh kelainan bawaan defisiensi
inhibitor enzim esterase C1 yang melawan pelepasan mediator dan proses
inflamasi. Defisiensi inhibitor ini mengakibatkan episode edema yang sering
pada berbagai bagian tubuh.
Penderita hemoglobulinuria paroksismal nokturnal mengalami defisiensi
decay-accelerating factor (DAF) yang ditemukan pada eritrosit (sel darah
merah). Dalam keadaan normal DAF akan melindungi eritrosit dari kemungkinan

lisis (penguraian). Dalam kelainan ini, komponen-komponen C3b akan bertumpuk


pada molekul CR1 pada eritrosit, lalu bertindak sebagai tempat pengikatan untuk
komponen yang kerjanya kemudian, dan mengakibatkan terjadinya lisis.
2. Imunodefisiensi Sekunder
Imunodefisiensi sekunder lebih sering menjumpai dibandingkan defisiensi primer
dan kerapkali terjadi sebagai akibat dari proses penyakit yang mendasarnya atau
akibat dari terapi terhadap penyakit ini. Penyebab umum imonodefisiensi sekunder
adalah malnutrisi, stres kronik, luka bakar, uremia, diabetes miletus, kelainan
autoinum tertentu, kontak dengan obat-obatan serta zat kimia yang imunotoksik.
Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan imonodefisiensi
sekunder yang paling sering ditemukan. Penyakit ini dibahas secara rinci dalam BAB
50. Penderita imonosupresi dan sering disebut sebagai hospes yang terganggu
kekebalanya (immunocompromised host). Intervensi untuk mengatasi imunodefisiensi
sekunder mencakup upaya menghilangkan faktor penyebab, mengatasi keadaan yang
mendasari dan menggunakan perinsip-perinsip pengendalian infeksi yang nyaman.
a. Penatalaksaan Medis
Penatalaksaan medis untuk imunodefisiensi primer dapat mencakup terapi
pengganti dengan suntikan gamaglobulin IV dan terapi rekonstitusi dengan selsel prekursor yang memperbaharui diri sendiri melalui trasplamasi sumsum
tulang serta kelenjar timus janin. Penderita defisiensi fagositik dapat diobati
dengan GM-CSF atau G-CSF. Penangan infeksi virus, bakteri, jamur dan
protozoa dapat mencakut terapi antivirus, antibiotik, antifungal dan antiprotozoa.
Pasien dengan anemia pernisiosa mungkin memerlukan suntikan vitamin B12.
Penatalaksanaan medis diarahkan pada penanganaan proses penyakit yang
mendasari dan mengendalikan gejala. Penatalaksanaan imunodefisiensi sekunder
mencakup penegakan diagnostik dan penatalaksaan terapi terhadap proses
penyakit yang mendasari.
b. Pertimbangan Keperawatan
Penatalaksanan keperawatan bagi orang-orang yang kekebalannya terganggu
mencakup penilaian yang cermat terhadap status imun masing-masing. Karena
pasien yang kekebalannya terganggu menghadapi resiko tinggi mengalami

infeksi, pengkajian difokuskan pada riwayat infeksi pada masa lalu, khususnya
tipe dan frekuensi infeksi. Tanda-tanda dan gejala setiap infeksi kulit,
respiratorius, gastrointestinal atau pun urogenital yang baru saja terjadi; dan
tingkat pengetahuan pasien terhadap penyakit dan tindakan untuk mencegah
infeksi. Pengkajian juga harus difokuskan pada status nutrisi, tingkat stres dan
keterampilan untuk mengatasi masalah, penggunaan alkohol, obat-obatan atau
tembakau, dan hygiene umum semua faktor ini akan mempengaruhi sistem imun.
Asuhan keperawatan diarahkan kepada upaya untuk mengurangi infeksi,
membantu pasien dengan berbagai tindakan medis yang bertujuan mengatasi
infeksi, memperbaiki status nutrisi klien dan mempertahankan fungsi usus serta
kandung kemih. Aspek-aspek lain dalam asuhan keperawatan mencakup tindakan
membantu pasien dalam mengatasi stres dan menyesuaikan diri dengan gaya
hidup yang akan meningkatkan fungsi sistem imun.
Perawat harus memantau kondisi pasien untuk memantau tanda-tanda dan
gejala infeksi yang berupa : panas, gejala menggigil, batuk-batuk dengan atau
tanpa sputum, sesak nafas, kesulitan bernafas, kesulitan menelan, bercak-bercak
putih dalam rongga mulut, kelenjar limfe membengkak, mual, vomitus, diare
menetap, gejala sering kencing (frequency), rasa ingin kencing tapi tidak bisa
(urgency) dan disuria, kemerahan, pembengkakan, atau drainase dari luka-luka
pada kulit, lesi pada wajah, bibir atau daerah perianal, pengeluaran sekret vagina
menetap dengan atau tanpa gatal di daerah peirianal, dan nyeri abdomen yang
persisten.
Perawat juga harus memantau hasil pemeriksaan laboratorium yang
menunjukkan infeksi seperti menghitung leukosit dan menghitung jenis. Hasil
pemeriksaan kultur dan sensitivitas kuman dari drainase luka, lesi, sputum, tinja,
urine dan darah harus dipantau untuk mengidentifikasi mikroorganisme patogen
serta menentukan terapi antimikroba yang tepat.
Intervensi harus dimulai untuk mengurangi resiko infeksi yang bisa dicegah.
Intervensi ini mencakup membasuh tangan dengan cermat, mendorong pasien
untuk batuk serta untuk melakukan latihan bernapas dalam. Dengan interval yang
teratur dan melindungi keutuhan kulit serta membran mukosa. Semua petugas

kesehatan harus menggunakan teknik aseptik yang ketat ketika melaksanakan


prosedur invasif seperti mengganti balutan, memasang infus, atau melakukan
pungsi vena, dan memasang kateter kandung kemih. Perubahan pada hasil
laboratorium dan perubahan yang sedikit sekalipun pada status klinis penderita
harus dilaporkan kepada dokter yang merawatnya karena penderita yang
kekebalannya terganggu ini mungkin tidak memperlihatkan tanda-tanda serta
gejala infeksi yang khas.
1) Pendidikan Pasien Dan Pertimbangan Perawatan Dirumah
Pasien dan petugas kesehatan yang merawatnya harus mengetahui
tanda-tanda serta gejala yang menunjukkan infeksi. Mereka juga harus
waspada dan siap untuk melakukan tindakan jika tanda-tanda tersebut timbul
seperti contoh, menghubungi petugas kesehatan dan segera memulai terapi
yang sudah dipreskripsikan. Pasien dan petugas kesehatan memerlukan
petunjuk mengenai setiap obat yang digunakan bagi terapi profilaksis,
termasuk takaran, saat ketika obat diperlukan, kerja obat dan efek
sampingnya. Mereka juga harus mempelajari cara-cara lain untuk mencegah
infeksi.
2) Penatalaksanaan Pasien Ynag Mendapat Suntikan Gama-globulin IV
Dalam dasawarsa yang lalu, gamaglobulin merupakan agen yang cocok
untuk diberikan secara intravena. Sebelumnya tersedia imunoglobulin yang
hanya diberikan dengan suntikan intramuskular. Namun demikian, agen
gama globulin IV kini dapat diberikan dengan takaran yang lebih besar dan
lebih efektif tanpa menimbulkan efek samping nyeri. Terapi pengganti
diperlukan pada kelainan imunodefisiensi primer dan sekunder dimana
pasien tidak memiliki imunoglobulin dalam jumlah yang cukup.
Preparat gama globulin IV tersedia dalam bentuk larutan 5% atau serbuk
liofiliz dengan pengencernya. Agen ini dibuat dari fraksi Cohn II jika
diperoleh dari kumpulan 1.000 hingga 10.000 orang donor. Sekarang
terdapat 7 macam agen IV yang berbeda yang penggunaannya sudah
disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA Amerika). Ketujuh agen
tersebut mengandung antibodi yang dikehendaki dengan jumlah yang

sebanding dan setelah melalui uji klinis ekstensif ternyata efektif serta aman.
Resiko penularan hepatitis, HIV atau virus lain juga sangat kecil.
Takaran. Dosis optimal bagi seseorang ditentukan oleh respon orang
tersebut. Pada kebanyakan kasus dosis IV yang dianjurkan adalah 350
hingga 500 mg per kilogram berat badan yang diberikan sebulan sekali atau
150 hingga 250 mg yang diberikan setiap dua minggu sekali. Kalau pasien
mendapat gama globulin dengan frekuensi yang lebih rendah, ia dapat
mengalami gejala mudah lemah, tidak enak badan, dan berbagai gejala lain
sebelum mendapatkan terapi berikutnya. Selanjutnya pasien akan mematuhi
terapi dengan pemberian seminggu atau dua minggu sekali. Untuk mencegah
efek samping yang tidak menyenangkan, pemberian agen gama globulin IV
harus dilakukan dengan lambat dan kecepatan pemberiannya tidak melebihi
3 ml/menit. Pemberian lewat infus secara mandiri dirumah dapat
mengurangi biaya pengobatan dan menghindari kesulitan yang timbul karena
seringnya dirawat dirumah sakit untuk mendapatkan infus tersebut.
Efek yang merugikan. Reaksi terhadap gama globulin intramuskular
mencakup keluhan nyeri dilipat paha, gejala mengigil dan perasaan berat
pada dada. Reaksi tersebut akan berakhir sedikit kenaikan suhu tubuh. Lebih
lanjut, hipertensi dapat terjadi pada reaksi yang berat. Reaksi terdapat
pemberian gama globulin intravena umumnya tidak begitu berat dan dapat
dikendalikan dengan mengurangi kecepatan infus. Pasien dengan keadaan
gama globulinnya rendah akan memperlihatkan reaksi yang lebih berat
dibandingkan pasien yang kadarnya normal (sebagai contoh, pasien yang
mendapatkan gama globulin untuk trombositopenia atau penyakit
Kawasaki). Reaksi dapat dicegah atau dikurangi dengan aspirin sebelum
pemberian infus atau dengan suntikan antihistamin IV seperti dipenhidramin
( Benadryl) sebelum infus diberikan. Pada sebagian kasus, pasien
memperoleh prednison untuk menghindari reaksi, tetapi cara ini tidak
diperlukan.
Pada kasus-kasus yang lebih jarang dijumpai dapat terjadi reaksi
anafilaktik setelah pemberian gama globulin atau whole plasma. Pasien

dengan defisiensi IgA dan memerlukan pemberian plasma atau terapi


pengganti imunoglobulin dari orang lain yang juga dengan defisiensi IgA.
Karena semua preparat gama globulin IV mengandung IgA, preparat ini
membawa resiko terjadi reaksi anafilaktik pada pasien-pasien dengan
antibodi IgE anti-IgA.
Pertimbangan kasus keperawatan. Penatalaksanaan keperawatan
mencakup pengkajian terhadap pemahaman pasien tentang terapi dan reaksi
yang mungkin saja terjadi. Pasien memerlukan informasi mengenai manfaat
serta hasil akhir terapi yang diharapkan, efek samping yang merugikan yang
bisa saja terjadi, dan penatalaksaan penyakit itu. Pasien yang dapat
memberikan infus sendiri dirumah memerlukan petunjuk tentang teknik
strelisasi, takaran obat, kecepatan pemberian obat, dan pengenalan serta
penanganan reaksi yang merugikan. Rujuka kepada perawat home care dan
perawat yang akan memberikan terapi infus mungkin diperlukan.
Berat badan pasien harus ditimbang dahulu sebelum terapi diberikan dan
tanda-tanda dicatat sebelum, selama serta sesudah terapi. Kemudian perawat
dapat memberikan aspirin atau antihistamin yang diresepkan sebagai
profilaksis pratindakan. Selajutnya perawat memasang infus serat membantu
memberikan infus gama globulin tersebut dan melakukan pengkajian
terhadap berbagai reaksi yang merugikan, termasuk syok analfilaktik.

DAFTAR PUSTAKA
Anonym. Mekanisme Sistem Radang dan Infeksi. Available :
https://materi78.files.wordpress.com/2014/04/imun_bio3_4.pdf
Anonym. Sistem Pertahanan Tubuh. Available :
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/tutinfik/material/fisiologisistempertahanantubuh
.pdf (Diakses pada tanggal 20 April 2015 pukul 19.00 WITA)

KELAINAN SIRKULASI, CAIRAN TUBUH, DAN ASAM BASA


A. Gangguan Keseimbangan Cairan Tubuh.
Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi tubuh tetap
sehat. Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh adalah merupakan salah
satu bagian dari fisiologi homeostatis. Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan
komposisi dan perpindahan berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh adalah larutan yang
terdiri dari air (pelarut) dan zat tertentu (zat terlarut). Elektrolit adalah zat kimia yang
menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam
larutan. Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, dan
cairan intravena (IV) dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh.
Cairan tubuh dibagi dalam dua kelompok besar yaitu : cairan intraseluler dan
cairan ekstraseluler. Cairan intraseluler adalah cairan yang berda di dalam sel di
seluruh tubuh, sedangkan cairan akstraseluler adalah cairan yang berada di luar sel
dan terdiri dari tiga kelompok yaitu : cairan intravaskuler (plasma), cairan interstitial
dan cairan transeluler. Cairan intravaskuler (plasma) adalah cairan di dalam sistem
vaskuler, cairan intersitial adalah cairan yang terletak diantara sel, sedangkan cairan
traseluler adalah cairan sekresi khusus seperti cairan serebrospinal, cairan intraokuler,
1.

dan sekresi saluran cerna.


Proportion Of Body FluidProsentase dari total cairan tubuh bervariasi sesuai

dengan individu dan tergantung beberapa hal antara lain :


a. Umur
b. Kondisi lemak tubuh
c. Jenis kelamin.
Perhatikan Uraian berikut ini :
a. Bayi (baru lahir) 75 %
b. Dewasa : Pria (20-40 tahun) 60 %
Wanita (20-40 tahun) 50 %
c. Usia Lanjut 45-50 % Pada orang dewasa kira-kira 40 % berat badannya atau 2/3 dari
TBW-nya berada di dalam sel (cairan intraseluler/ICF), sisanya atau 1/3 dari TBW
atau 20 % dari berat badannya berada di luar sel (ekstraseluler) yang terbagi dalam
2.

15 % cairan interstitial, 5 % cairan intavaskuler dan 1-2 % transeluler.


Cairan elektrolit dan nonelektrolit

Non elektrolit adalah zat terlarut yang tidak terurai dalam larutan dan tidak bermuatan
listrik, seperti : protein, urea, glukosa, oksigen, karbon dioksida dan asam-asam
organik. Sedangkan elektrolit tubuh mencakup natrium (Na+), kalium (K+),
Kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), Klorida (Cl-), bikarbonat (HCO3-), fosfat
(HPO42-), sulfat (SO42-).
3.
Perpindahan Cairan dan Elektrolit
Perpindahan cairan dan elektrolit tubuh terjadi dalam tiga fase yaitu :
a. Fase I : Plasma darah pindah dari seluruh tubuh ke dalam sistem sirkulasi, dan nutrisi
dan oksigen diambil dari paru-paru dan tractus gastrointestinal
b. Fase II : Cairan interstitial dengan komponennya pindah dari darah kapiler dan sel
c. Fase III : Cairan dan substansi yang ada di dalamnya berpindah dari cairan interstitial
masuk ke dalam sel.
Secara Skematis Jenis dan Jumlah Cairan Tubuh dapat digambarkan sebagai berikut

B.

RUTE PEMASUKAN DAN KEHILANGAN CAIRAN TUBUH


Air dan elektrolit diperoleh dengan berbagai cara. Dalam keadaan sehat,
seseorang memperoleh cairan dengan minum dan makan. Dalam beberapa jenis
penyakit, cairan mungkin diberikan melalui jalur parental (secara intravena atau
subkutan) atau melalui selang nutrisi enteral dalam lambung atau intestin. Jika
keseimbangan cairan bersifat kritis, semua cara pemenuhan dan semua cara
kehilangan harus dicatat dan volumenya dibandingkan. Organ-organ tempat

kehilangan cairan termasuk ginjal, kulit, dan saluran gastrointestinal.


1.
Ginjal

Volume urin yang biasa pad orang dewasa adalah antara 1 dan 2 liter per hari.
Sebagai aturan umum adalah haluaran kurang lebih 1 ml urin per kilogram dari berat
2.

badan per jam (1 ml/kg/jam) pada semua kelompok usia.


Kulit
Perspirasi kasat mata mengacu pada kehilangan air dan elektrolit yang dapat terlihat
melalui kulit dengan cara berkeringat. Zat terlarut utama dalam keringat adalah
natrium, klorida, dan kalium. Kehilagan keringat yang nyata dapat bervariasi dari 0
sampai 1000 ml atau lebih setiap jam, tergantung pada suhu lingkungan. Kehilangan
air yang terus menerus melalui evaporasi (kurang lebih 600 ml/hari) terjadi melalui
kulit sebagai perspirasi tidak kasat mata, suatu bentuk kehilangan air yang tidak
tampak. Demam banyak meningkatkan kehilangan air tidak kasat mata melalui paru-

paru dan kulit, seperti kehilangan barier kulit alami melalui luka bakar yang luas.
3.
Paru Paru
Paru-paru normalnya membuang uap air (kehilangan tidak kasat mata) pada tingkat
antara 300 sampai 400 ml setiap hari. Kehilangan lebih besar dengan peningkatan
frekuensi atau kedalaman pernapasan, atau keduanya.
4.
Traktus Gastrointestinal
Kehilangan yang lazim melalui saluran gastrointestinal hanya 100 sampai 200 ml
setiap hari, meskipun kurang lebih 8 liter cairan bersirkulasi melalui sistem
gastrointestinal setiap 24 jam (disebut sirkulasi gastrointestinal). Karena cairan
dalam jumlah besar direabsorpsi dalam usus halus, jelas bahwa kehilangan yang besar
dapat terjadi melalui saluran gastrointestinal jika terjadi diare atau fistula.
Pada orang yang sehat, rata-rata masukan dan haluaran air dalam
24 jam kurang
5.

lebih sama.
Mengembalikan Cairan Tubuh
Untuk mengembalikan cairan tubuh yang hilang, kita harus banyak minum minimal 8

a.

gelas ( 2 liter ) air setiap hari yang bisa didapat dari :


Air putih yang higienis/air mineral
Air putih mengandung beberapa zat penting untuk tubuh seperti oksigen, magnesium,

b.

sulfur, dan klorida.


Air berion
Air berion tidak hanya menghilangkan dahaga melainkan juga berfungsi sebagai
sumber energi seperti halnya karbohidrat, lipid, dan protein. Air berion bekerja
sebagai perantara dalam reaksi-reaksi biokimia dan berperan dalam proses

metabolisme tubuh sehingga dapat mengembalikan kesegaran otot tubuh setelah


c.

beraktivitas mengeluarkan keringat dengan cepat.


Jus buah
Selain rasanya nikmat dan segar, jus buah mengandung beragam vitamin dan mineral
yang menyehatkan. Menurut penelitian, jus jambu biji mengandung vitamin C
sebanyak 3-6 kali lebih tinggi dibandingkan jus jeruk, 10 kali lebih tinggi
dibandingkan pepaya, dan 10-30 kali lebih tinggi dibanding pisang. Namun, atlet
kurang disarankan meminum jus buah saat berolahraga karena cairan padatnya tidak
mudah terserap tubuh.

C.

GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT


Tiga kategori umum yang menjelaskan abnormalitas cairan tibuh adalah :
1) Volume
2) Osmolalitas
3) Komposisi
Ketidakseimbangan osmotik terutama mempengaruhi cairan intraseluler (ICF) dan
menyangkut bertambahnya atau kehilangan natrium dan air dalam jumlah yang relatif
tidak seimbang. Gangguan osmotik umumnya berkaitan dengan hiponatremia dan
hipernatremia sehingga nilai natrium serum penting untuk mengenali keadaan ini.
Kadar dari kebanyakan ion di dalam ruang ekstraseluler dapat berubah tanpa disertai
perubahan yang jelas dari jumlah total dari partikel-partikel yang aktif secara osmotik
sehingga mengakibatkan perubahan komposisional.

1.

Hipovolemia
Kekurangan Volume Cairan Ekstraseluler (ECF) Kekurangan volume ECF atau
hipovolemia didefinisikan sebagai kehilangan cairan tubuh isotonik, yang disertai
kehilangan natrium dan air dalam jumlah yang relatif sama. Kekurangan volume
isotonik sering kali diistilahkan dehidrasi yang seharusnya dipakai untuk kondisi

kehilangan air murni yang relatif mengakibatkan hipernatremia.


a. Cairan Isotonis adalah cairan yang konsentrasi/kepekatannya sama dengan cairan
tubuh, contohnya : larutan NaCl 0,9 %, Larutan Ringer Lactate (RL).

b.

Cairan hipertonis adalah cairan yang konsentrasi zat terlarut/kepekatannya melebihi


cairan tubuh, contohnya Larutan dextrose 5 % dalam NaCl normal, Dextrose 5%

c.
2.

dalam RL, Dextrose 5 % dalam NaCl 0,45%.


Cairan Hipotonis adalah cairan yang konsentrasi zat terlarut/kepekataannya kurang
dari cairan tubuh, contohnya : larutan Glukosa 2,5 %., NaCl.0,45 %, NaCl 0,33 %.
Hipervolemia
Kelebihan cairan ekstraseluler dapat terjadi bila natrium dan air kedua-duanya
tertahan dengan proporsi yang kira- kira sama. Dengan terkumpulnya cairan isotonik
yang berlebihan pada ECF (hipervolumia) maka cairan akan berpindah ke
kompartement cairan interstitial sehingga mnyebabkan edema. Edema adalah
penunpukan cairan interstisial yang berlebihan. Edema dapat terlokalisir atau

generalisata.
3. Ketidakseimbangan Osmolalitas dan perubahan komposisional Ketidak-seimbangan
osmolalitas melibatkan kadar zat terlarut dalam cairan-cairan tubuh. Karena natrium
merupakan zat terlarut utama yang aktif secara osmotik dalam ECF maka kebanyakan
kasus hipoosmolalitas (overhidrasi) adalah hiponatremia yaitu rendahnya kadar
natrium di dalam plasma dan hipernatremia yaitu tingginya kadar natrium di dalam
4.
5.

plasma.
Hipokalemia adalah keadaan dimana kadar kalium serum kurang dari 3,5 mEq/L.
Hiperkalemia adalah keadaan dimana kadar kalium serum lebih dari atau sama
dengan 5,5 mEq/L. Hiperkalemia akut adalah keadaan gawat medik yang perlu segera

6.

dikenali, dan ditangani untuk menghindari disritmia dan gagal jantung yang fatal.
Edema
penimbunan abnormal cairan dalam ruang jaringan intersel atau ruangan

tubuh.Terjadi apabila :
a. Tekanan hidrostatik vaskuler meningkat
b. Tekanan osmotik koloid plasma menurun
c. Gangguan aliran limfe
Gambaran klinis 3 tempat tersering ( makroskopis ) :
a. Jaringan subkutan ditandai tanda : pitting edema
b. Paru-paru ditandai sembab ( sesak )
c. Otak
Penyebab primer edema : Tekanan hidrostatik meningkat, tekanan osmotic menurun,
7.

sunbatan limfe dan retensi natrium.


Dehidrasi

Gangguan keseimbangan air ditandai oleh output yang melebihi intake dan sering
disertai gangguan elektrolit. Penyebab :
a. Water (H2O) depletion (dehidrasi primer)
b. Sodium (Na) depletion (dehidrasi sekunder)
c. H2O dan Na depletion.
8. Hiponatremia
kadar Na+ serum di bawah normal (<> . penyebabnya adalah CHF, gangguan ginjal
dan sindroma nefrotik, hipotiroid, penyakit Addison.
Tanda dan Gejala :
a. Jika Na plasma turun 10 mEq/L dalam beberapa jam, pasien mungkin mual, muntah,
sakit kepala dan keram otot.
b. Jika Na plasma turun 10 mEq/L dalam satu jam, bisa terjadi sakit kepala hebat,
c.

letargi, kejang, disorientasi dan koma.


Mungkin pasien memiliki tanda-tanda penyakit dasar (seperti gagal jantung, penyakit

Addison).
d. Jika hiponatremia terjadi sekunder akibat kehilangan cairan, mungkin ada tanda-tanda
syok seperti hipotensi dan takikardi.
9.

Hipernatremia
Na+ serum di atas normal (>145 mEq/L). Penyebabnya adalah kehilangan Na+
melalui ginjal misalnya pada terapi diuretik, diuresis osmotik, diabetes insipidus,
sekrosis tubulus akut, uropati pasca obstruksi, nefropati hiperkalsemik; atau karena
hiperalimentasi dan pemberian cairan hipertonik lain.
Tanda dan Gejala :
a. iritabilitas otot, bingung, ataksia, tremor, kejang dan koma yang sekunder

terhadap hypernatremia.
10. Hipokalemia
kadar K+ serum di bawah normal. Penyebabnya adalah :
a. Kehilangan K+ melalui saluran cerna (misalnya pada muntah-muntah, sedot
nasogastrik, diare, sindrom malabsorpsi, penyalahgunaan pencahar)
b. Diuretik
c. Asupan K+ yang tidak cukup dari diet
d. Ekskresi berlebihan melalui ginjal
e. Maldistribusi K+
f. Hiperaldosteron
Tanda dan Gejala : Lemah (terutama otot-otot proksimal), mungkin arefleksia,
hipotensi ortostatik, penurunan motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus.

Hiperpolarisasi myokard terjadi pada hipokalemia dan dapat menyebabkan denyut


ektopik ventrikel, reentry phenomena, dan kelainan konduksi. EKG sering
memperlihatkan gelombang T datar, gelombang U, dan depresi segmen ST.
11. Hiperkalemia
kadar K+ serum di atas normal (> 5,5 mEq/L). Etiologi :
a. Ekskresi renal tidak adekuat; misalnya pada gagal ginjal akut atau kronik, diuretik
hemat kalium, penghambat ACE.
b. Beban kalium dari nekrosis sel yang masif yang disebabkan trauma (crush injuries),
pembedahan mayor, luka bakar, emboli arteri akut, hemolisis, perdarahan saluran
cerna atau rhabdomyolisis. Sumber eksogen meliputi suplementasi kalium dan
pengganti garam, transfusi darah dan penisilin dosis tinggi juga harus dipikirkan.
c. Perpindahan dari intra ke ekstraseluler; misalnya pada asidosis, digitalisasi, defisiensi
insulin atau peningkatan cepat dari osmolalitas darah.
d. Insufisiensi adrenal
e. Pseudohiperkalemia. Sekunder terhadap hemolisis sampel darah atau pemasangan
torniket terlalu lama
f. Hipoaldosteron
Tanda dan Gejala : Efek terpenting adalah perubahan eksitabilitas jantung. EKG
memperlihatkan perubahan-perubahan sekuensial seiring dengan peninggian kalium
serum. Pada permulaan, terlihat gelombang T runcing (K+ > 6,5 mEq/L). Ini disusul
dengan interval PR memanjang, amplitudo gelombang P mengecil, kompleks QRS
melebar (K+ = 7 sampai 8 mEq/L). Akhirnya interval QT memanjang dan menjurus
ke pola sine-wave. Fibrilasi ventrikel dan asistole cenderung terjadi pada K+ > 10
mEq/L. Temuan-temuan lain meliputi parestesi, kelemahan, arefleksia dan paralisis
ascenden.
B. Gangguan Sirkulasi Cairan Tubuh
Agar fungsi jaringan dapat berjalan normal maka perlu Sirkulasi darah yang
baik Keseimbangan antara cairan tubuh intra-dan ekstravaskulerKonsentrasi zat-zat
dalam cairan yang tetap, termasuk elektrolit-elektrolit. Seluruh susunan sirkulasi
tubuh menyelenggarakan pengangkutan semua substansi yang dibutuhkan untuk
digunakan, maupun yang telah dibentuk dan harus dibuang. Termasuk ini adalah

oksigen, karbondioksida, air, garam-garam, zat-zat makanan, metabolit-metabolit,


hormon-hormon, panas, dll.
Pertukaran zat antara cairan tubuh dan cairan intraseluler terjadi melalui
membran sel.
Karena fungsi sirkulasi peredaran cairan tubuh melibatkan komponen cairan, volume,
dan aliran cairan ini, maka gangguan fungsinya pun dapat dikelompokkan seperti
dalam tabel berikut ini: Jenis Gangguan Kejadian
Gangguan cairan tubuh dan elektrolit
Gangguan volume
Gangguan obstruksi Edema, dehidrasi, defisiensi elektrolit atau kelebihan elektrolit.
Hiperemi, perdarahan (hemoragi) dan syok. Trombosis, emboli, iskemi, infark, serta
sumbatan akibat adanya hal lain seperti tumor, jaringan fibrosis dan parasit.
1)

Kongesti (Hiperemia)

Kongesti adalah keadaan dimana terdapat darah secara berlebihan (peningkatan


jumlah darah) di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Kata lain untuk
kongesti adalah hiperemia. Pada dasarnya terdapat dua mekanisme dimana kongesti
dapat timbul :
Kongesti aktif Kenaikan jumlah darah yang mengalir ke daerah itu dari biasanya.
Kenaikan aliran darah lokal ini disebabkan oleh karena adanya dilatasi arteriol yang
bekerja sebagai katup yang mengatur aliran ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kongesti
aktif ini biasanya terjadi dengan waktu yang relatif singkat. Contoh : Warna merah
padam pada wajah pada saat marah/ malu, yang pada dasarnya adalah vasodilatasi
yang timbul akibat respon terhadap stimulus neurogenik. Kongesti pasif Penurunan
jumlah darah yang mengalir dari daerah yang disebabkan oleh adanya tekanan pada
venula-venula dan vena-vena yang mengalirkan darah dari jaringan. Selain sebab
lokal tadi, kingesti pasif juga dapat terjadi akibat sebab sistemik, sebagai contoh
adalah kegagalan jantung dalam memompa darah yang mengakibatkan gangguan
aliran vena. Berdasarkan waktu serangannya, kongesti pasif dibagi 2,yaitu:
a. Kongesti pasif akut : berlangsung singkat, tidak ada pengaruh pada jaringan yang

terkena.
b. Kongesti pasif kronis : berlangsung lama, dapat terjadi perubahan- perubahan yang
permanen pada jaringan, terjadi dilatasi vena. Contoh kongesti pasif adalah varises.
2)

Edema

Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan diantara sel-sel tubuh atau di
dalam berbagai rongga tubuh (beberapa ahli juga memasukkan dalam definisi itu
penimbunan cairan berlebihan di dalam sel). Jika edema mengumpul dalam rongga,
biasanya dinamakan efusi, misalnya efusi perikardium, efusi pleura. Penimbunan
cairan di dalam rongga peritoneum biasanya diberi nama asites. Sedangkan edema
umum atau menyeluruh disebut anasarka.
Etiologi edema ada beberapa, yaitu:
Tekanan hidrostatik
Obstruksi saluran limfe
Kenaikan permeabilitas dinding pembuluh
Penurunan konsentrasi protein
Dalam edema, cairan yang tertimbun digolongkan menjadi 2, yaitu:
Transudat : yaitu cairan yang tertimbun di dalam jaringan karena bertambahnya
permeabilitas pembuluh terhadap protein.
Eksudat : yaitu cairan yang tertimbun karena alasan-alasan lain dan bukan akibat dari
perubahan permeabilitas pembuluh.
Akibat dari edema adalah sebagai petunjuk untuk mengetahui ada sesuatu
yang terganggu dalam tubuh kita. Sebagai contoh adalah pada kasus payah jantung
kongestif, terdapat edema pada mata kaki si penderita. Hal ini menjadi indikator
adanya kehilangan protein. Edema juga berbahaya jika mengenai otak, otak akan
membengkak dan tertekan pada tulang pembatas tengkorak, peningkatan tekanan
intrakranial akan membahayakan aliran darah dalam otak dan
dapat menimbulkan kematian.

3.Perdarahan
Perdarahan adalah keluarnya darah dari sistem kardiovaskuler, disertai
penimbunan dalam jaringan atau ruang tubuh atau disertai keluarnya darah dari
tubuh. Untuk menyatakan berbagai keadaan pendarahan digunakan istilah-istilah
deskriptif khusus. Penimbunan darah pada jaringan disebut hematoma. Jika darah
masuk ke dalam berbagai ruang dalam tubuh, maka dinamakan menurut ruangannya.
Misalnya : hemoperikardium, hemotoraks, hemoperitoneum, hematosalping.
Penyebab perdarahan yang paling sering dijumpai adalah hilangnya integritas
dinding pembuluh darah yang memungkinkan darah keluar, dan hal ini sering
disebabkan oleh trauma eksternal contohnya cedara yang disertai memar. Dinding
pembuluh bisa pecah akibat penyakit maupun trauma. Penyebab lainnya adalah
adanya gangguan faktor pembekuan darah.

4.Trombosis
Proses pembentukan bekuan darah atau koagulum dalam sistem
kardiovaskuler selama manusia masih hidup, disebut trombosis. Koagulum darah
dinamakan trombus.
Terdapat tiga keadaan dasar dimana bekuan terbentuk secara tidak normal,
yaitu:
Adanya kelainan dinding dan lapisan pembuluh,
Kelainan aliran darah,
Peningkatan daya koagulasi darah sendiri
5.Embolisme
Embolisme adalah transportasi massa fisik yang terbawa dalam aliran darah
dari satu tempat ke tempat lain dan tersangkut di tempat baru. Massa fisik itu sendiri
dinamakan emboli. Emboli berasal dari :

Emboli pada manusia yang paling sering dijumpai berasal dari trombus dan
dinamakan tromboemboli.
Pecahan jaringan dapat menjadi emboli bila memasuki sistem pembuluh darah,
biasanya dapat terjadi pada trauma.
Sel-sel kanker dapat menjadi emboli, cara penyebaran penyakit yang sangat tidak
diharapkan.
Benda asing yang disuntikkan ke dalam sistem kardiovaskular.
Tetesan cairan yang terbentuk dalam sirkulasi akibat dari berbagai keadaan atau yang
masuk ke dalam sirkulasi melaui suntikan dapat menjadi emboli.
Gelembung gas juga dapat menjadi emboli. Emboli dalam tubuh terutama berasal dari
trombus vena, paling sering pada vena profunda di tungkai atau di panggul. Karena
keadaan anatomis, emboli yang berasal dari trombus vena biasanya berakhir sebagai
emboli arteri pulmonalis.
Akibat dari emboli :

Jika fragmen trombus yang sangat besar menjadi emboli maka sebagian besar suplai
arteri pulmonalis dapat tersumbat dengan mendadak. Hal ini dapat menimbulkan
kematian mendadak.

Sebaliknya, emboli arteri pulmonalis yang lebih kecil dapat tanpa gejala,
mengakibatkan perdarahan paru-paru sekunder karena kerusakan vaskular atau dapat
mengakibatkan nekrosis sebagian dari paru-paru.
6. Aterosklerosis
Aterosklerosis atau pengerasan arteri merupakan fenomena penyakit yang
sangat penting pada kebanyakan negara maju. Istilah aterosklerosis sebenarnya
meliputi setiap keadaan pembuluh arteri yang mengakibatkan penebalan atau
pengerasan dinding.
Etiologi dan Insidens Aterosklerosis Laju peningkatan ukuran dan jumlah ateroma
dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Faktor genetik tertentu penting, dan aterosklerosis serta komplikasinya sering


cenderung terjadi dalam keluarga.

Orang dengan kadar kolesterol yang meninggi ( Hiperkolesterol )


Orang yang menderita D.M. (Diabetes Melitus) seringkali peka akan aterosklerosis.
Tekanan darah merupakan faktor penting bagi insiden dan beratnya aterosklerosis.
Pada umumnya penderita hipertensi akan menderita aterosklerosis lebih awal dan
lebih berat dan beratnya penyakit mempunyai hubungan dengan tekanan darah,
walaupun dalam batas normal.
Faktor risiko lain di dalam perkembangan aterosklerosis adalah merokok. Merokok
merupakan faktor lingkungan utama yang menyebabkan peningkatan
beratnya aterosklerosis.Akibat Aterosklerosis
Akibat aterosklerosis sebagian bergantung pada ukuran arteri yang terserang

Jika arteri berukuran sedang, aterosklerosis lambat laun dapat mengakibatkan


penyempitan atau obstruksi total. Komplikasi aterosklerosis dapat mengakibatkan
penyumbatan mendadak. (Trombosis cenderung menimbulkan penyumbatan dalam
arteri kecil ataupun ukuran sedang, tetapi mungkin dalam bentuk endapan mural yang
relatif tipis pada pembuluh besar seperti aorta).

Pembentukan trombus pada intima yang kasar, yang ditimbulkan oleh bercak
aterosklerosis.

Komplikasi lain aterosklerosis adalah perdarahan ke pusat bercak yang lunak

Komplikasi lain yang dapat mengakibatkan penyumbatan arteri akut adalah ruptur
bercak disertai pembengkakan kandungan lipid yang lunak ke dalam lumen dan
penyumbatan pada bagian hilir pembuluh yang lebih sempit.n Kerusakan tunika
media yang dapat mengakibatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma
aterosklerosis yang merupakan penggelembungan dinding arteri yang lemah.
7.Iskemia dan Infark
Iskemia adalah suplai darah yang tidak memadai ke suatu daerah/jaringan.
Jika jaringan dibuat iskemik, jaringan tersebut akan menderita karena tidak mendapat
suplai oksigen dan zat-zat makanan yang dibutuhkan. Setiap hal yang mempengaruhi

aliran darah dapat menimbulkan iskemia jaringan. Sebab yang paling jelas adalah
obstruksi lokal arteri.
Pengaruh iskemia bervariasi tergantung pada intensitas iskemianya, kecepatan
timbulnya, dan kebutuhan metabolik pada jaringan itu. Akibat dari Iskemik :
Pada beberapa keadaan iskemia, biasanya yang mengenai jaringan otot, rasa sakit
dapat merupakan gejala penurunan suplai darah.
Efek lain dari iskemia jika timbul perlahan-lahan dan berlangsung lama, adalah atrofi
dari jaringan yang terkena. (pengurangan massa jaringan)
Akibat iskemia yang paling ekstrim adalah kematian jaringan yang iskemik. Daerah
yang mengalami nekrosis iskemik dinamakan infark. Dan proses
pembentukan infark disebut infarksi.
8. Shock
Shock adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh defisiensi sirkulasi akibat
disparitas (ketidakseimbangan) antara volume darah dengan ruang susunan vaskuler.
Gejala-gejala shock : Rasa Lesu dan Lemas, Kulit yang basah (keringat), Kesadaran
menurun, kolaps vena, terutama vena-vena superfisial, Kepucatan, Nadi cepat dan
lemah, Tachicardia (tekanan nadi tidak normal), Pernafasan dangkal (Sesak nafas),
Tekanan darah rendah (hipotensi), oliguria dan kadang-kadang disertai muntah yang
berwarna seperti air kopi akibat perdarahan dalam lambung (hematemesis).
9.Dehidrasi
Dehidrasi ialah suatu gangguan dalam keseimbangan air yang disertai
output yang melebihi intake sehingga jumlah air pada tubuh berkurang.
Meskipun yang hilang terutama ialah cairan tubuh, tetapi dehidrasi juga disertai
gangguan elektrolit.
Dehidrasi dapat terjadi karena :
Kemiskinan air (water depletion)
Kemiskinan natrium (sodium depletion)
Water and sodium depletion bersama-sama.

C. Gangguan Keseimbangan Asam-Basa.


Asam adalah substansi yang mengandung 1 atau lebih H+ yang dapat dilepaskan
dalam larutan. Asam di bagi dua, yaitu :
Asam kuat
Asam lemah
Basa adalah substansi yang dapat menangkap/ersenyawa dengan ion hidrogen
dari sebuah larutan. Basa di bagi dua, yaitu :
Basa kuat
Basa lemah
Kelainan asam basa yaitu:
1. Asidosis respiratorik
Asidosis adalah suatu keadaan pada saat darah terlalu banyak mengandung asam
(atau terlalu sedikit mengandung basa) dan sering menyebabkan menurunnya pH
darah. Asidosis Respiratorik adalah keasaman darah yang berlebihan karena
penumpukan karbondioksida dalam darah sebagai akibat dari fungsi paru-paru yang
buruk atau pernafasan yang lambat.
Penyebab
Asidosis respiratorik terjadi jika paru-paru tidak dapat mengeluarkan
karbondioksida secara adekuat.
Gejala :
kebingungan, lesu, sesak napas, mengantuk, dan mudah lelah Beberapa gejala
lain termasuk kulit hangat, hipertensi paru, denyut jantung tidak teratur, refleks
tendon berkurang, batuk, mudah marah, dll.
2. Asidosis Metabolik
Asidosis Metabolik adalah keasaman darah yang berlebihan, yang ditandai
dengan rendahnya kadar bikarbonat dalam darah. Bila peningkatan keasaman
melampaui sistem penyangga pH, darah akan benar benar menjadi asam.
Penyebab :
Asidosis metabolik dapat dikelompokkan kedalam 3 kelompok utama:
1. Jumlah asam dalam tubuh dapat meningkat jika mengkonsumsi suatu asam atau
suatu bahan yang diubah menjadi asam.

Sebagian besar bahan yang menyebabkan asidosis bila dimakan dianggap


beracun.Contohnya adalah metanol (alkohol kayu) dan zat anti beku (etilen
glikol).Overdosis aspirin pun dapat menyebabkan asidosis metabolik.
2. Tubuh dapat menghasilkan asam yang lebih banyak melalui metabolisme.
Tubuh dapat menghasilkan asam yang berlebihan sebagai suatu akibat dari

beberapa penyakit; salah satu di antaranya adalah diabetes melitus tipe I.


Jika diabetes tidak terkendali dengan baik, tubuh akan memecah lemak dan

menghasilkan asam yang disebut keton.


Asam yang berlebihan juga ditemukan pada syok stadium lanjut, dimana asam

laktat dibentuk dari metabolisme gula.


3. Asidosis metabolik bisa terjadi jika ginjal tidak mampu untuk membuang asam
dalam jumlah yang semestinya.
Bahkan jumlah asam yang normal pun bisa menyebabkan asidosis jika ginjal

tidak berfungsi secara normal.


Kelainan fungsi ginjal ini dikenal sebagai asidosis tubulus renalis (ATR) atau
rhenal tubular acidosis (RTA), yang bisa terjadi pada penderita gagal ginjal atau
penderita kelainan yang mempengaruhi kemampuan ginjal untuk membuang
asam.
Penyebab utama dari asidosis metabolik:
Gagal ginjal, Asidosis tubulus renalis (kelainan bentuk ginjal), Ketoasidosis

diabetikum, Asidosis laktat (bertambahnya asam laktat), Bahan beracun seperti etilen
glikol, overdosis salisilat, metanol, paraldehid, asetazolamid atau amonium klorida,
Kehilangan basa (misalnya bikarbonat) melalui saluran pencernaan karena diare,
ileostomi atau kolostomi.

Gejala :

Meskipun asidosis metabolik biasanya ditandai dengan napas yang cepat, gejala
mungkin tidak spesifik, dan bisa bervariasi tergantung pada penyebab yang
mendasarinya. Namun, beberapa gejala umum adalah:
Nyeri dada, sakit kepala, jantung berdebar, nyeri otot dan tulang, kelemahan otot,
sakit perut.

Asidosis laktat kadang-kadang ditandai dengan tekanan darah rendah dan

anemia.
Pada ketoasidosis diabetik, pasien mungkin menderita dari kadar gula darah
tinggi dan dehidrasi. Seperti kondisi ini dapat mempengaruhi sistem saraf pusat,
individu mungkin mengalami kecemasan dan kantuk progresif. Mual, muntah,
kehilangan nafsu makan, dan penurunan berat badan adalah beberapa gejala

lainnya.
Dalam kondisi ekstrim, dapat menyebabkan komplikasi parah seperti pingsan,
koma, dan kejang.

3. Alkalosis Respiratorik
Alkalosis adalah suatu keadaan pada saat darah terlalu banyak mengandung basa
(atau terlalu sedikit mengandung asam) dan kadang menyebabkan meningkatnya pH
darah. Kelainan klinis yang menyebabkan peningkatan pH darah karena
hiperventilasi alveolar (hipokapnia) sehingga rasio (HCO/PCO+ 0.03) akan naik
Penyebab :
Selain hiperventilasi, terdapat beberapa penyebab alkalosis yang lain, antara
lain :
Kecemasan, stres, fobia, atau histeria
Meningitis, ensefalitis, perdarahan subarachnoid, atau stroke
Pneumonia, asma, bronkitis kronis, emfisema atau penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK)
Demam tinggi
Kehamilan
Tinggi tingkat NH4 +
Obat seperti doxapram, keracunan aspirin, dan asupan kafein yang berlebihan
Gejala :
Napas cepat dan dalam (40 x/mnt), pusing, gelisah,pingsan, mual / muntah
kedutan, kejang otot (kasus ekstrim), kebingungan, koma (kasus ekstrim), kesemutan

di kaki, jari tangan, dan wajah, otot terasa lemah, sering terdapat tanda chvostek
positif dan tanda trousseau. Sering ditemui pada penderita penyakit berat dan
penggunaan ventilasi mekanik. Penatalaksanaan dengan bernapas sambil ditampung
dalam kantong atau kompensasi terjadi pada ginjal dengan peningkatan pengeluaran
ion bikarbonat oleh tubulus.
4. Alkalosis Metabolik
Peningkatan serum HCO (bahkan sampai >35 mEq/L) yang diakibatkan
hilangnya ion H, sehingga (HCO/PCO+ 0.03) akan naik. Kompensasi dengan
hipoventilasi sehingga CO tertimbun.
Penyebab :
karena jumlah kelebihan alkali (basa), yaitu bikarbonat dalam darah atau
keasaman zat apapun. Sebuah pH 7,0 dianggap netral. Apa pun di atas 7,0 disebut
basa, sementara apa pun di bawah 7,0 adalah asam. Kisaran normal pH darah 7,36
7,44, yang berarti darah dalam tubuh biasanya cenderung lebih berat pada dasar
(alkali). Setelah ini berjalan di atas tingkat rata-rata, itu disebut sebagai alkalosis
metabolik. Penyebabnya yaitu :
Hilangnya asam (atau kehilangan Hidrogen) yang mungkin terjadi melalui
muntah atau melalui buang air kecil. Muntah dapat menyebabkan hilangnya asam
klorida dalam tubuh. Nasogastric (NG) hisap juga dapat menyebabkan kondisi

ini.
Penggunaan obat-obatan tertentu dan obat diuretik juga bisa menyebabkan
kelebihan buang air kecil, yang dapat menyebabkan alkalosis hipokalemia, yang
merupakan hilangnya kalium dari tubuh. Ini mungkin menguras kadar cairan

dalam tubuh dan menyebabkan ketidakseimbangan dalam pH.


Konsumsi berlebihan obat yang bersifat alkali di alam dapat menyebabkan dasar
yang lebih dalam cairan tubuh. Diare juga dapat menyebabkan kondisi ini, ketika

ada hilangnya klorida dari tubuh.


Obat-obat tertentu seperti alkalosis mereka yang diberikan untuk mengobati

ulkus peptikum dan hyperacidity, juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan.


Kontraksi ruang ekstraselular juga bisa terjadi karena asupan obat diuretik dan

perawatan, yang dapat mengakibatkan alkalosis metabolik.


Hipokalemia juga dapat dikaitkan dengan kelebihan alkalinitas dalam tubuh.

Gejala :
Alkalosis metabolic ditandai dengan :
sakit kepala dan lesu adalah gejala-gejala awal;
kulit memerah hangat
kejang,
kebingungan mental,
otot berkedut,
agitasi; koma (asidosis berat);
anoreksia, mual, muntah dan diare;
respirasi dalam dan cepat (respirasi Kussmaul);
hiperkalemia (pergeseran asam untuk ICF dan K + ke ECF);
disritmia jantung.
sedangkan kelemahan umumnya adalah :
kram otot,
refleks hiperaktif,
tetani (karena penurunan kalsium);
kebingungan dan kejang dapat terjadi dalam situasi yang parah.
Peningkatan pH darah; meningkat HCO3-; PaCO2 normal atau meningkat jika
kompensasi terjadi.
HASIL ANALISA GAS DARAH KETIDAKSEIMBANGAN ASAM BASA
Kondisi

pH

HCO3

PaCO2

Asam basa seimbang

7,35 -7,45

22 26 mEq/L

35 45 mmHg

Asidosis metabolic

<7,35

<22 mEq/L

Normal atau <35

Asidosis respiratorik

<7,35

Normal atau >26

>45 mmHg

Alkalosis metabolic

>7,45

>26 mEq/L

Normal atau >45

Alkalosis respiratorik

>7,45

Normal atau <22

<35 mmHg

DAFTAR PUSTAKA
Anonym. Makalah Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Available:
https://www.academia.edu/8645109/Makalah_Keseimbangan_Cairan_dan_Elektrolit
(Diakses pada tanggal 20 April 2015 pukul 17.08 WITA)
Anonym. Makalah Patofisiologi. Available :
https://www.scribd.com/doc/240265364/MAKALAH-PATOFISIOLOGI (Diakses
pada tanggal 20 April 2015 pukul 17.18 WITA)
Anonym. Penyebab Terjadinya Kelainan Sirkulasi Cairan Tubuh dan Asam Basa.
Available :
https://www.academia.edu/8705717/penyebab_terjadinya_KELAINAN_SIRKULASI
_CAIRAN_TUBUH_dan_ASAM_BASA (Diakses pada tanggal 20 April 2015 pukul
17.20 WITA)

Patologi dan Patofisiologi Kelainan Struktur dan Fungsi Tubuh


1. Patologi dan Patofisiologi Kelainan Struktur dan Fungsi Tubuh Pernapasan
Penyakit paru obstruksi menahun
Penyakit patru obstruksi menahun ( PPOM ) serupa dengan asma
yaitu aliran udara ekspirasi disumbat dan eksaserbasi serta kambuhan
umum terjadi. Penyakit obstruksi menahun dan akut berbeda dalam
jaringan paru yang tidak kembali ke normal di antara eksarsebasi
pada kondisi menahun. Malahan, kerusakan paru adalah progresif
secara lambat. Dibawah ini merupakan penyakit PPOM:
a. Bronkitis menahun
1. Pengertian
Bronkitis kronis idefinisikan sebagai adanya batuk produktif
yang berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama 2 tahun
berturut-turut.
Istilah bronchitis kronis menunjukkan kelainan pada bronchus
yang sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan
oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari luar bronchus
maupun dari bronchus itu sendiri, merupakan keadaan yang
berkaitan dengan produksi mukus trakeobronkial yang
berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan
ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari
2 tahun secara berturut-turut. Inflamasi bronkus terus menerus
dan peningkatan progresif pada batuk produktif dan dispnea
yang tidak dapat dihubungkan dengan penyebab spesifik,
adalah gambaran klasik dari bronkitis menahun. Istilah ini
biasanya digunakan pada individu yanga mengalami batuk
produktif sepanjang selama sedikitnya 3 bulan berturut- turut
dalam 2 tahun terakhir. Bisanya inflamasi dan batuk ini adalah
respon pada mukosa bronkial terhadap iritasi kronis dari
merokok sigaret, polusi atmosfer, atau infeksi. Bakteri
khususnya Haemophilus influenza dan Sterptococcus
pneumonia, sering dibiakkan dari jalan napas ini.

Bronkitis ini sangat erat berhubungan dengan emfisema


tetapi biasanya didefinisikan sebagai abnormalitas yang
mencakup sekresi mukus berlebihan dan inflamasi bronkial,
sedangkan emfisema melibatkan degenerasi parenkim alveolar.
Bronkitis dapat menimbulkan hal berikut:
1) peningkatan tahanan jalan napas dengan atau tanpa
perubahan emfisema;
2) gagal jantung kanan ( kor pulmonal ); dan displasia sel
epitel pernapasan, yang dapat berubah menjadi keganasan.
Manifestasi klinis mencakup sianosis, produksi sputum
berlebihan, derajat hiperinflasi ringan, hiperkapnia nyata,
dan hipoksemia berat.
2. Etiologi
Terdapat tiga jenis penyebab bronkhitis , yaitu:
a) Infeksi:
1) Staphylococcus (stafilokokus)
2) Streptococcus (streptokokus)
3) Pneumococcus (pneumokokus)
4) Haemophilus influenza
b) Alergi
c) Rangsangan lingkungan, misal:
asap pabri,
asap mobil
asap rokok
dll.
Selain penyebab diatas, bronkhitis kronis dapat merupakan
komplikasi kelainan patologik pada beberapa alat tubuh, yaitu:
a)

Penyakit jantung menahun, yang disebabkan oleh kelainan


patologik pada katup maupun miokardia. Kongesti
menahun pada dinding bronkhus melemahkan daya tahan
sehingga infeksi bakteri mudah terjadi

b)

Infeksi sinus paranasalis dan rongga mulut, area infeksi


merupakan cumber bakteri yang dapat menyerang dinding

c)

bronkhus.
Dilatasi bronkhus (bronkInektasi), menyebabkan gangguan
susunan dan fungsi dinding bronkhus sehingga infeksi

d)

bakteri mudah terjadi.


Rokok dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput
lendir bronkhus sehingga drainase lendir terganggu.
Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik

untuk pertumbuhan bakteri.


3. Tanda dan Gejala
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien
bronchitis tergantung pada luas dan beratnya penyakit, lokasi
kelainannya, dan ada tidaknya komplikasi lanjut. Ciri khas
pada penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi
sputum, adanya haemaptoe dan pneumonia berulang.
Gejala dan tanda klinis dapat demikian hebat pada
penyakit yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala
pada penyakit yang ringan.
Bronchitis yang mengenai bronkus pada lobis atas
sering dan memberikan gejala :
Keluhan-keluhan
a. Batuk
Batuk pada bronchitis mempunyai ciri antara lain batuk
produktif berlangsung kronik dan frekuensi mirip seperti
pada bronchitis kronis, jumlah seputum bervariasi,
umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari
sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun dari tidur.
Kalau tidak ada infeksi skunder sputumnya mukoid,
sedang apabila terjadi infeksi sekunder sputumnya purulen,
dapat memberikan bau yang tidak sedap.
Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob,
akan menimbulkan sputum sangat berbau, pada kasus yang
sudah berat, misalnya pada saccular type bronchitis,

sputum jumlahnya banyak sekali, puruen, dan apabila


ditampung beberapa lama, tampak terpisah menjadi 3
bagian :
1)

Lapisan teratas agak keruh

2)

Lapisan tengah jernih, terdiri atas saliva ( ludah )

3)

Lapisan terbawah keruh terdiri atas nanah dan jaringan


nekrosis dari bronkus yang rusak ( celluler debris ).

b. Haemaptoe
Hemaptoe terjadi pada 50 % kasus bronchitis, kelainan
ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus
mengenai pembuluh darah ( pecah ) dan timbul perdarahan.
Perdarahan yang timbul bervariasi mulai dari yang paling
ringan ( streaks of blood ) sampai perdarahan yang cukup
banyak ( massif ) yaitu apabila nekrosis yang mengenai
mukosa amat hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai
cabang arteri broncialis ( daerah berasal dari peredaran
darah sistemik).
Pada dry bronchitis ( bronchitis kering ), haemaptoe
justru gejala satu-satunya karena bronchitis jenis ini
letaknya dilobus atas paru, drainasenya baik, sputum tidak
pernah menumpuk dan kurang menimbulkan reflek batuk.,
pasien tanpa batuk atau batukya minimal. Pada tuberculosis
paru, bronchitis ( sekunder ) ini merupakan penyebab
utama komplikasi haemaptoe.
c. Sesak nafas ( dispnue )
Pada sebagian besar pasien ( 50 % kasus ) ditemukan
keluhan sesak nafas. Timbul dan beratnya sesak nafas
tergantung pada seberapa luasnya bronchitis kronik yang
terjadi dan seberapa jauh timbulnya kolap paru dan

destruksi jaringan paru yang terjadi sebagai akibat infeksi


berulang ( ISPA ), yang biasanya menimbulkan fibrosis
paru dan emfisema yang menimbulkan sesak nafas. Kadang
ditemukan juga suara mengi ( wheezing ), akibat adanya
obstruksi bronkus. Wheezing dapat local atau tersebar
tergantung pada distribusi kelainannya.

d. Demam berulang
Bronchitis merupakan penyakit yang berjalan kronik,
sering mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun
pada paru, sehingga sering timbul demam (demam
berulang)
4. Patofisiologi
Dokter akan mendiagnosis bronkhitis kronis jika pasien
mengalami batuk atau mengalami produksi sputum selama
kurang lebih tiga bulan dalam satu tahun atau paling sedikit
dalam dua tahun berturut-turut. Secara patofisiologis,
penebalan dan kekebalan mukosa abronkus akibat dari
vasodilatasi, bendungan, dan edema. Area mukosa dapat
terinfiltrasi dengan leukosit,makrofag, dan leukosit
polimorfonuklear. Sekresi yang berlebihan ditambah
penyempitan jalan napas menyebabkan obstruksi pertama pada
ekspirasi maksimal dan selanjutnya aliran udara inspirasi
maksimal. Serangan bronkhitis disebabkan karena tubuh
terpapar agen infeksi maupun non infeksi (terutama rokok).
Iritan (zat yang menyebabkan iritasi) akan menyebabkan
timbulnya respons inflamasi yang akan menyebabkan
vasodilatasi, kongesti, edema mukosa, dan bronkospasme.
Tidak seperti emfisema, bronkhitis lebih memengaruhi jalan
napas kecil dan besar dibandingkan alveoli. Dalam keadaan

bronkhitis, aliran udara masih memungkinkan tidak mengalami


hambatan.
Pasien dengan bronkhitis kronis akan mengalami:
a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada
bronkhus besar sehingga meningkatkan produksi
mukus.
b. Mukus lebih kental
c. Kerusakan fungsi siliari yang dapat menunjukkan
mekanisme pembersihan mukus.
Bronkhitis kronis mula-mula hanya memengaruhi bronkhus
besar, namun lambat laun akan memengaruhi seluruh saluran
napas. Mukus yang kental dan pembesaran bronkhus akan
mengobstruksi jalan napas terutama selama ekspirasi. Jalan
napas selanjutnya mengalami kolaps dan udara terperangkap
pada bagian distal dari paru-paru.
Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolus,
hipoksia, dan acidosis. Pasien mengalami kekurangan 02,
iaringan dan ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, di mana
terjadi penurunan PO2 Kerusakan ventilasi juga dapat
meningkatkan nilai PCO,sehingga pasien terlihat sianosis.
Sebagai kompensasi dari hipoksemia, maka terjadi polisitemia
(produksi eritrosit berlebihan)
5. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik : fokus dada
a. Inspeksi : Irama, kedalaman, frekuensi pernapasan,
kesimetrisan dinding dada saat bernapas, Penggunaan
otot bantu pernapasan, Cuping hidung, cyanosis pada
ekstremitas. Pasien biasanya tampak kurus dengan
barrel-shaped chest (diameter anteroposterior dada

meningkat) kremitus taktil dada berkurang atau tidak


ada
b. Palpasi

:Kesimetrisan dinding dada,Taktil

fremitus,Letak trachea.
c. Auskultasi
:Ronkhi, vokal fremitus
d. Perkusi
:Resonance, perkusi dada hipersonor,
peranjakan hak mengecil, batas paru hati lebih rendah,
pekak jantung berkurang.
Suara nafas berkurang dengan ekspirasi memanjang
6. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologi.
Ada hal yang perlu diperhatikan yaitu adanya tubular
shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar
dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang
bertambah.
b. Pemeriksaan fungsi paru.
Terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah
dan KTP yang normal. Sedang KRF sedikit naik atau
normal. Diagnosis ini dapat ditegakkan dengan spirometri,
yang menunjukkan (VEP) volume ekspirasi paksa dalam 1
detik < 80% dari nilai yang diperkirakan, dan rasio VEP1 :
KVP <70%.
c. Pemeriksaan gas darah.
Penderita bronkitis kronik tidak dapat mempertahankan
ventilasi dengan baik sehingga PaCO2 naik dan PO2 turun,
saturasi hemoglobin menurun dan timbul sianosis, terjadi
juga vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penambahan
eritropoeisis.
d. Pemeriksaan EKG.
Pemeriksaan ini mencatat ada tidaknya serta perkembangan
kor pulmonal (hipertrofi atrium dan ventrikel kanan)
e. Pemeriksaan laboratorium darah : hitung sel darah putih.
(Ikawati, 2007).
7. Penatalaksanaan
Pengobatan utama ditujukan untuk mencegah, mengontrol

infeksi, dan meningkatkan drainase bronkhial menjadi jernih.


Pengobatan yang diberikan adalah sebagai berikut:
a. Antimicrobial
b. Postural drainase
c. Bronchodilator
d. Aerosolized Nebulizer
e. Surgical Intervention
Untuk terapi disesuaikan dengan penyebab, karena
bronkitis biasanya disebabkan oleh virus maka belum ada obat
kausal. Obat yang diberikan biasanya untuk mengatasi gejala
simptomatis (antipiretika, ekspektoran, antitusif, roburantia).
Bila ada unsur alergi maka bisa diberikan antihistamin. Bila
terdapat bronkospasme berikan bronkodilator. Selain obat
diatas ada beberapa lainnya
1. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan
pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya
sensivitas terhadap CO2.
2. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan
sputum dengan baik.
3. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan nafas,
termasuk di dalamnya golongan adrenergik b dan
antikolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol
5 mg dan iptakopium bromida 250 mg diberikan tiap 6

jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,2 - 0,15 giu


secara perlahan.
Penatalaksanaannya adalah istirahat yang cukup, kurangi
rokok (bila merokok), minum lebih banyak daripada biasanya,
dan tingkatkan intake nutrisi yang adekuat.
Bila pengobatan sudah dilakukan selama 2 minggu tetapi
tidak ada perbaikan maka perlu dicurigai adanya infeksi bakteri
sekunder dan antibiotik boleh diberikan. Pemberian antibiotik
adalah 7-10 hari, jika tidak ada perbaikan maka perlu
dilakukan thorak foto untuk menyingkirkan kemungkinan
kolaps paru segmental dan lobaris, benda asing dalam saluran
pernafasan dan tuberkulosis.
2. Patologi dan Patofisiologi Kelainan Struktur dan Fungsi Tubuh
Kardiovaskuler
1. Hipertensi
a. Definisi Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya
140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Istilah tradisional tentang
hipertensi ringan dan sedang gagal menjelaskan pengaruh utama tekanan darah tinggi
pada penyakit kardiovaskuler sehingga The Joint National Committee on Detection,
Evalution and Treatment of High BloodPressure membuat suatu klasifikasi baru.
Klasifikasi Tekanan Darah untuk Dewasa Usia 18 Tahunn atau lebih
Kategori
Normal
Normal Tinggi
Hipertensi
1. Tingkat 1 (ringan)
2. Tingkat 2 (sedang)
3. Tingkat 3 (berat)

Sistolik (mmHg)
<130
130-139

Diastolik (mmHg)
<85
85-89

140-159
160-179
180

90-99
100-109
110

b. Etiologi
Pada umunya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik. Hipertensi
terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output atau peningkatan tekanan
perifer.Namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi:
1. Genetik: Respon nerologi terhadap stress atau kelainan eksresi atau transport
Na.
2. Obesitas: terkait dengan level insulin yang tinggi yang
mengakibatkantekanan darah meningkat.
3. Stress Lingkungan.
4. Hilangnya Elastisitas jaringan and arterisklerosis pada orang tua serta
pelabaran pembuluh darah.
Berdasarkan etiologinya Hipertensi dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
1. Hipertensi Esensial/Idiopatik (Primer)
Patogenesis pasti sangat kompleks dengan interaksi dari berbagai variabel.
Mungkin pula ada predisposisi genetik. Mekanisme lain yang dikemukakan
mencakup perubahan-perubahan berikut: ekresi natrium dan air oleh ginjal, kepekaan
baroreseptor, respons vaskuler dan sekresi renin.
2. Hipertensi Sekunder
Penyakit hipertensi yang diakibatkan karena penyakit parenkim renal/vakuler
renal.Penggunaan kontrasepsi oral yaitu pil. Gangguan endokrin dll.
c. Patofisiologi
Menurunnya tonus vaskuler meransang saraf simpatis yang diterukan ke sel
jugularis. Dari sel jugalaris ini bisa meningkatkan tekanan darah. Dan apabila
diteruskan pada ginjal, maka akan mempengaruhi eksresi pada rennin yang berkaitan
dengan Angiotensinogen. Dengan adanya perubahan pada angiotensinogen II
berakibat pada terjadinya vasokontriksi pada pembuluh darah, sehingga terjadi
kenaikan tekanan darah.Selain itu juga dapat meningkatkan hormone aldosteron yang
menyebabkan retensi natrium. Hal tersebut akan berakibat pada peningkatan tekanan
darah. Dengan Peningkatan tekanan darah maka akan menimbulkan kerusakan pada
organ organ seperti jantung.

Mekanisme bagaimana hipertensi menimbulkan kelumpuhan atau kematian


berkaitan langsung dengan pengaruhnya pada jantung dan pembuluh darah.
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan
darah dari ventrikel kiri sehingga beban kerja jantung bertambah. Sebagai akibatnya,
terjadi hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Akan tetapi
kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertrofi
kompensasi akhirnya terlampaui dan terjadi dilatasi dan payah jantung. Jantung
menjadi semakin terancam oleh semakin parahnya ateroskleroris koroner. Bila proses
ateroskelooris berlanjut, penyediaan oksigen miokardium berkurang. Peningkatan
kebutuhan oksigen pada miokardium terjadi akibat hipertrofi ventrikel dan
peningkatan beban kerja jantung sehingga akhirnya akan menyebabkan angina atau
infark miokardium.
Kerusakan pembuluh darah akibat hipertensi terlihat jelas di seluruh pembuluh
darah perifer. Perubahan pembuluh darah retina yang mudah diketahui melalui
pemeriksaan oftalmoskopik, sangat berguna untuk menilai perkembangan penyakit
dan respons terhadap terapi yang dilakukan. Ateroskeloris yang dipercepat dan
nekrosismedial aorta merupakan faktor prediposisi terbentuknya aneurisme dan
diseksi. Perubahan struktur dalam arteri-arteri kecil dan arteriol menyebabkan
penyumbatan pembuluh darah progresif. Bila pembuluh darah menyempit maka
aliran arteri terganggu dan dapat menyebabkan mikroinfark jaringan. Akibat
perubahan pembuluh ini paling nyata terjadi pada otak dan ginjal. Obstruksi atau
ruptura pembuluh darah otak merupakan penyebab sekitar sepertiga kematian akibat
hipertensi.
d. Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis pada klien dengan hipertensi adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg


Sakit kepala
Epistaksis
Pusing / migrain
Rasa berat ditengkuk
Sukar tidur
Mata berkunang kunang

8. Lemah dan lelah


9. Muka pucat
10. Suhu tubuh rendah
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang yang dilakukan pada px yang mengalami hipertensi
1. Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume
cairan(viskositas) dan dapat mengindikasikan factor resiko seperti :
hipokoagulabilitas, anemia.
2. BUN / kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi / fungsi ginjal.
3. Glucosa : Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapatdiakibatkan
oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
4. Urinalisa : darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal danada
DM.
5. CT Scan : Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati
6. EKG : Dapat menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian
gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
7. IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti : Batu
ginjal,perbaikan ginjal
8. Photo dada : Menunjukan destruksi kalsifikasi pada area katup,pembesaran
jantung.
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Non Farmakologis
1. Diet Pembatasan atau pengurangan konsumsi garam. Penurunan BB dapat
menurunkan tekanan darah dibarengi dengan penurunan aktivitas rennin dalam
plasma dan kadar adosteron dalam plasma.
2. Aktivitas
Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan denganbatasan
medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan, jogging,bersepeda atau
berenang.
Penatalaksanaan Farmakologis
Secara garis besar terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pemberian ataupemilihan obat anti hipertensi yaitu:

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Mempunyai efektivitas yang tinggi.


Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.
Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
Tidak menimbulakn intoleransi.
Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
Memungkinkan penggunaan jangka panjang.Golongan obat - obatan yang
diberikan pada klien dengan hipertensi sepertigolongan diuretic, golongan
betabloker, golongan antagonis kalsium,golongan penghambat konversi
rennin angitensin.

3. Patologi dan Patofisiologi Kelainan Struktur dan Fungsi Tubuh


Gastrointestinal
GASTRITIS
A. PENGERTIAN
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan
mukosa yang dapat bersifat akut, kronis,difusi,atau likal. Dua jenis gastritis
yang paling sering terjadi adalah gastritis superficial akut dan gastritis
atrofik kronis.
B. ETIOLOGI
Gastritis disebabkan oleh infeksi kuman helicobacter pylori dan pada
awal infeksi mukosa lambung menunjukkan respons inflamasi akut dan
jika diabaikan akan menjadi kronik (Sudoyo Aru, dkk2009)
Klasifikasi gastritis: ( Wim de jong et al. 2005)
1) Gastritis akut
gastritis akut tanpa perdarahan
gastritis akut dengan perdarahan ( gastritis hemoragik atau gastritis
erosive) gastritis akut berasal dari makan terlalu banyak atau terlalu
cepat, makan makanan yang terlalu berbumbu atau yang
mengandung mikroorganisme penyebab penyakit, iritasi bahan
semacam alcohol, aspirin, NSAID, lisol, serta bahan korosif lain,
refluks empedu atau cairan pancreas.
2) Gastritis kronik
Inflasi lambung yang lama dapat disebabkan oleh ulkus beningna atau
maligna dari lambung, atau oleh bakteri helicobacter pylory
(H.pylory).

C. TANDA DAN GEJALA


Gejala penyakit ini bervariasi pada setiap individu. Gejala yang paling
umum termasuk :

Nyeri perut

Mual

Muntah

Gangguan pencernaan

Perut kembung

Kehilangan nafsu makan

Tinja berwarna hitam

Berat badan menurun


Orang mungkin juga mengalami rasa seperti panas di perut di malam

hari atau saat makan. Gastritis akut dapat menyebabkan mual dan rasa tidak
nyaman di perut, sedangkan, gastritis kronis dapat menyebabkan rasa sakit
ringan bersama dengan perasaan kenyang, malas makan, atau kehilangan
nafsu makan. Dalam kasus yang jarang terjadi, gastritis dapat menyebabkan
pendarahan internal di perut, dan akhirnya pasien mungkin mulai muntah
darah atau mengeluarkan tinja berwarna hitam. Ada dapat kasus dimana
gejala awal seperti sakit tanpa sebab, sampai korban mengalami komplikasi
yang lebih parah seperti pendarahan internal. Masalah ini, paling sering,
diperhatikan pada orang dewasa.
D. PATOFISIOLOGI
Gastritis superficial akut

Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya


bersifatjinak dan swasirna; merupakan respon mukosa lambung terhadap
berbagai iritan local. Endotoksin bakteri (setelah menelan makanan
terkontaminasi), kafein, alcohol, dan aspirin merupakan agen pencetus
yang lazim infeksi H.pylori lebih sering dianggap sebagai penyebab
gastritis akut. Organism tersebut melekat pada epitel lambung dan
menghancurkan lapisan mukosa pelindung, meninggalkan daerah epitel
yanggundul. Obat lain juga terlibat, misalnya anti inflamasi nonsteroid
(NSAD; mis; indometasisn, ibuprofen, naproksen), sulfonamide, steroid,
dan digitalis. Asam empedu, enzim pancreas, dan etanol juga diketahui
mengganggu sawar mukosa lambung
Apabila alcohol diminum bersama dengan aspirin, efeknya akan
lebih merusak dibandingkan dengan efek masing-masing agen tersebut
bila diminum secara terpisah. Gastritis erosif hemoragik difus biasanya
biasanya terjadi pada peminum berat dan pengguna aspirin, dan dapat
menyebabkan perlunya rekseksi lambung. Penyakit yang serius ini akan
dianggap sebagai ulkus akibat stress, karena keduanya memiliki banyak
persamaan. Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan
mekanisme patogenik yang menyebabkan cedera, dan akan dibicarakan
nanti pada gastritis superficial, mukosa memerah, edema, dan ditutupi
oleh mucus yang melekat; juga sering terjadi erosi kecil dsn perdarahan.
Derajat peradangan sangat bervariasi.
Manifestasi klinis gastritis akut dapat bervariasi dari keluhan
abdomen yang tidak jelas, seperti anoreksia, berserdawa, atau mual,
sampai gejala yang lebih berat seperti nyeri epigastrium, muntah,
perdarahan, dan hematemesis. Pada beberapa kasus, bila gejala-gejala
menetap dan resisten terhadap pengobatan, mungkin diperlukan
tindakan diagnostik tambahan seperti endoskopi, biopsy mukosa, dan
analisis cairan lambung untuk memperjelas diagnosis.

Gastritis superficial akut biasanya mereda bila agen


penyebabnya dihilangkan. Obat anti muntah dapat membantu
menghilangkan mual dan muntah. Bila penderita tetap muntah, mungkin
perlu koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit dengan memberikan
infuse intravena. Penggunaan obat penghambat- H 2 (misalnya
ranitidine) (untuk mengurangi sekresi asam), antacid (untuk
menetralkan asam yang tersekresi), dan sukralfat (untuk melapisi daerah
inflamasi atau ulserasi) dapat mempercepat pertumbuhan.

Gastritis atrofik kronis


Gastristis atrofik kronis ditandai oleh atrofi progresif epitel

kelenjardisertai kehilangan sel pariental dan chief cell. Dinding


lambung menjadi tipis, dan mukosa mempunyai permukaan yang rata.
Gastritis kronis digolongkan menjadi dua kategori: gastritis tipe A
(atrofik atau fundal) dan tipe B (antaral).
Gastritis kronis tipe A juga disebut sebagai gastritis atrofik atau
fundal (karena mengenai fundus lambung). Gastritis kronis tipe A
merupakan suatu penyakit autoimin yang disebabkan oleh adanya
autoantibody terhadap sel parietal kelenjar lambung danfaktor intrinsik
dan berkaitan dengan adanya sel parietal da cief cells, yang menurunkan
sekresi asam dan menyebabkan tingginya kadar gastrin. Dalam keadaan
sangat berat, tidak terjadi produksi factor intrinsic. Anemia pernisiosa
seringkali dijumpai pada pasien karena tidak tersedianya factor intinsik
untuk mempermudah absorpsi vitamin B 12 dalam ileum.
Gastritis kronis tipe B disebut juga sebagai gastritis antral karena
umumnya mengenai daerah antrum lambung dan lebih sering terjadi
dibandingkan gastritis kronis tipe A.gastritis tipe A lebih sering terjadi
pada penderita yang berusia tua . bentuk gastritis ini memiliki sekresi
asam yang normal dan tidak berkaitan dengan anemia pernisiosa. Kadar
gastrin serum yang rendah sering terjadi. Penyebab utama gastritis
kronis tipe B adalah infekssi kronis oleh H.pylori. factor etiologi

gastritis kronis lainnya adalah asupan alcohol yang berlebihan,


merokok, da refluks empedu kronis dengan kofaktor H.pylori.
Gastritis atrofi kronis dapat mencetuskan terjadinya ulkus peptikum
dan karsinoma. Insidensi kankerlambung terutama tinggi pada penderita
anemia pernisiosa (10hingga 15%). Gejala gastritis kronis umumnya
bervariasi dan tidak jelas yaitu rasa penuh, anoreksia, dan distress
epigatrik yang tidak jelas. Diagnosis ini dicurigai bila pasien mengalami
aklorhidria atao BAO atau MAO yang rendah, dan diagnosis ini
dipastikan dari perubahan histologist pada biopsy.
Pengobatan gastritis atrofik kronis bervariasi, tergantung penyebab
penyakit yang dicurigai. Bila terdapat lesi ulkus duodenum, dapat
diberikan antibiotic untuk membatasi H.pylori. namun demikian, lesi
tidak selalu muncul dengan gastritis kronis. Alcohol dan obat yang
diketahui mngiritas lambung harus dihindari. Bila terjadi anemia
dfisiensi besi(disebabkan oleh perdarahan kronis), maka penyakit ini
harus diobati. Pada anemia pernisiosa harusdiberi pengobatan B 12 dan
terapi lainyang sesuai
E. PEMERIKSAAN FISIK
a) Tanda-tanda vital
b) Keadaan
Pada penderita dengan perdarahan gastrointestinal, penyebab
berikut yang
mengubah sensorium yang harus dipikirkan pertama kali:
1)Hipotensi
2)Intoksikasi alcohol atau obat-obat lain
3)Ensefalopati hepatic.
4)Insufisiensi ginjal.
5)Hiper-atau hipoglikemia.
6)CVA atau hematom subdural.
c) Stigmata penyakit hati kronis
Ikterus, angiomata kulit, palmar eritema, ginekomastia, pembesaran
kelenjar parotis, dan atrofi testis merupakan kelainan untuk penyakit
hati kronis. Varises esophagus biasanya ada jika tanda-tanda lain dari
hipertensi portal seperti splenomegali, asites dan kaput medusa ada.
d) Integument

Ekimosis multiple, petekia atau telangektasia merupakan adanya


gangguan hemostasis. Juga ada beberapa penyakit sistemik yang
berhubungan dengan perdarahan gastrointestinal dan lesi di kulit.
e) Hidung dan tenggorokan
Pemeriksaan yang teliti terhadap nasofaring dan tenggorokan harus
dilakukan sebab perdarahan yang profus dari daerah ini dapat
menyebabkan melena atau hemetamesis. Trauma terhadap nasal sewaktu
memasukkan cup nasogastrik dapat menyebabkan perdarahan.
f) Abdomen
Hepatosplenomegali, sikatrik bekas operasi sebelumnya dan tanda-tanda
asites adalah pemeriksaan yang sangat penting. Nyeri local abdomen
dapat membantu menegakkan perdarahan penderita.
g) Limfatik
Adanya adenopati regional atau generalisata mendukung adanya suatu
penyakit sistemik yang mendasar.
h) Pemeriksaan rectum
Warna dari feses harus dicatat dan adaya massa pada rectum harus
disingkirkaan
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG ( LAB)
1. Penghitungan darah lengkap
a) Hemoglobin dan hematokrit dapat normal selama perdarahan akut,
memakan waktu sampai 6jam untuk terjadinya keseimbangan
ruangan intravascular.
b) Trombosit dapat terjadi pada perdarahan akut. Jumlah trombosit
yang rendah pada penderita dengan perdarahan intestinal dapat
disebabkan oleh hipersplenisme, gangguan konsumsi trombosit
(seperti koagulasi intravascular diseminata), atau keadaan
trombositopenia primer.
2. Prothrombine Time (PT) dan partial Thromboplastin Time (PTT)
a) Pemanjangan PT dapat disebabkan oleh penggunaan dikomarol,
penyakit hati, gangguan malabsorbsi lemak dan pemakaian
antibiotic yang lama.

b) Abnormalitas PTT biasanya merupakan konsekuensi gangguan


hemostasis factor VII, penyakit von willebrand dan koagulasi
intravascular diseminata.
3. Elektrolit serum
Elektrolit harus dipantau secara ketat jika penderita menerima jumlah
cairan dan darah dalam jumlah banyak atau menggunakan pipa
nasogastrik yang digunakan untuk penyedotan kontinu. Asidosis laktat
dapat disebabkan oleh hipotensi yang memanjang atau
iskemia,sedangkan alkalosis hipokloremik dapat terjadi selama aspirasi
nasogastrik yang lama.
4. Glukosa dan kalsium
Hipoglekemia dapat berkembang pada penderita dengan penyakit hati
kronis atau hiperglikemia dapat terjadi pada diabetes setelah mendapat
cairan yang mengandung dekstrosa dalam jumlah banyak. Hipokalsemia
dapat terjadi selama pemberian tranfusi darah dengan volume besar.
5. Nitrogen urea darah (BUN) dan kretinin
Peningkatan BUN yang tidak seimbang dibandingkan dengan kreatinin
(rasio besar dari 20:1) memberikan keterangan bahwa daerah
perdarahan adalah didalam saluran cerna bagian atas. Gagl ginjal sering
disertai dengan perdarhan gastrointestinal.
6. Apusan darah perifer
Apusan darah dapat memberikan informasi yang penting sehubungan
dengan kehilangan darah yang kronis (anemia mikrositik) atau adnya
gangguan hati atau hematologi yang mendasari
7. Kimia hati
Peningkatan serum transaminase yang hebat dapat ditemukan setelah
periode hipoperfusi hati (liver shock). Kelainan kimia hati mendukung
adanya suatu penyakit hati.
8. Elektrokardiogram
Elektrokardiogram harus dilakukan sebelum melakukan tes diagnostic
invasive untuk menyingkirkan adanya iskemia koroner yang disebabkan
oleh hipotensi.
G. PENATALAKSANAAN

Seperti telah dikemukakan, umunya penyebab gastritis kronik bersifat


multifaktorial. Penatalaksanaan pasien harus dilakukan secara utuh, dengan
memperhatikan factor-faktor mana yang lebih berperan. Pemberian diit
lambung secara khusus biasanya diperlukan pada saat episode serangan,
tetapi kemudiandapat ditingkatkan sesuai dengan toleransi pasien. Harus
dihindari pemberian diit yang terlalu ketat, agar tidak terjadi kekurangan
gizi.
Terapi obat didasarkan pada konsep keseimbangan factor agresif dan
desensif. Pada pasien gastritis kronik , asam lambung umumnya tidak
meninggi, dapat normal atau bahkan hipoasiditas. Walaupun demikian obat
yang menetralkan atau mengurai asam lambung seperti antasida,
antikolinegik, masih dapat digunakan sebagai terapi sistomatik.
Obat golongan antagonis reseptor

H 2 seperti simetidin, ranitidine

atau famotidin dapat diberikan bila peradangan disertai dengan erosi


mukosa lambung.
Dewasa ini telah dikembangkan pula obat-obat yang bersifat
sitoprotektif terhadap mukosa lambung.
1. Golongan prostaglandin E.
2. Golongan protektif local.
Yang termasuk golongan prostaglandin E adalah misoprostol dan
enprostil. Prostaglandin akan merangsan sekresi bikarbonat, meningkatkan
produksi musin, meningkatkan mikrosirkulasi mukosa serta mempengaruhi
sel epitel yang rusak.
Obat yang tergolong protektif local antara lain sukralfat,
setraksat.terprenone dan koloidal bismuth subsitrat (KBS). KBS juga
mempunyai efek bakterisid terhadap campylobacter pylori. Obat
golongan ini secara mekanik membentuk lapisan pelindung mukosa,
merangsang sekresi bikarbonat, meningkatkan mikrosirkulasi serta
mempercepat regenerasi sel yang rusak. Pemberian obat biasanya selama 48 minggu dengan hasi yang cukup baik.

4. Patologi dan Patofisiologi Kelainan Struktur dan Fungsi Tubuh Urogenital


1. Gagal Ginjal Kronik (Chronic Kidney Disease)

a)

Definisi
Gagal ginjal kronis (Chronic Renal Failure) adalah kerusakan

ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea
dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta
komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal),
(Nursalam, 2006). Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal
yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga terjadi uremia ( Smeltzer, Suzanne C, 2002).
Menurut Doenges, 1999, Chronic Kidney Disease biasanya
berakibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap. Penyebab
termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vascular
(nefrosklerosis), proses obstruktif (kalkuli), penyakit kolagen (lupus
sistemik), agen nefrotik (aminoglikosida), penyakit endokrin (diabetes).
Bertahapnya sindrom ini melalui tahap dan menghasilkan perubahan utama
pada semua sistem tubuh. Gagal ginjal kronik (Chronic Renal Failure)
terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan

lingkungan yang cocok untuk kelangsungan hidup, yang bersifat


irreversible, (Baradero, Mary). Dari beberapa pengertian diatas, penulis
menyimpulkan bahwa gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal
yang irreversible dan berlangsung lambat sehingga ginjal tidak mampu
mempertahankan metabolisme tubuh dan keseimbangan cairan dan elektrolit
serta menyebabkan uremia.
a. Etiologi
Penyebab GGK menurut Price, 1992; 817, dibagi menjadi delapan
kelas, antara lain:
Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
Pielonefritis adalah infeksi bakteri yang terjadi pada tunulus dan
jaringan interstinal dari salah satu atau kedua ginjal (Brunner & Suddarth,
2002 ) dan dapat terjadi akibat infeksi berulang, dan biasanya dijumpai
pada individu yang mengidap obstruksi lain, atau refleks vesikoureter.
Glomerulonefritis adalah penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan
dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan/atau
hematuria.

Penyakit vaskuler hipertensi misalnya nefrosklerosis benigna,


nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
Nefrosklerosis benigna adalah jenis kelainan ginjal akibat hipertensi
yang berlansung cukup lama sehingga terjadi pengendapan fraksi-fraksi
plasma daya permeabilitas dinding pembuluh darah berkurang.
Nefrosklerosis maligna merupakan kelainan ginjal yang di tandai dengan
naiknya tekanan diastole di atas 130 mmHg yang disebabkan
terganggunya fungsi ginjal. Stenosis arteri renalis (RAS) adalah
penyempitan dari satu atau kedua pembuluh darah ke ginjal. RAS dapat
menyebabkan sulit untuk mengontrol tekanan darah.

Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,


poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif

Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit radang atau inflamasi


multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem
imun. Poliarteritis nodosa adalah kondisi medis yang ditandai dengan
peradangan pada pembuluh-pembuluh darah dan menyebabkan pembuluhpembuluh darah tersebut membengkak dan menurunkan aliran darah ke
organ-organ utama. Sehingga menyebabkan penurunan suplai oksigen ke
organ-organ tersebut dan akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan.
Sklerosis sistemik progresif (scleroderma) adalah penyakit autoimun atau
jaringan ikat yang ditandai oleh fibrosis dan perubahan degeneratif pada
kulit, sinovium, dan arteri.

Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,


asidosis tubulus ginjal
Penyakit ginjal polikistik (PKD) ditandai dengan kista-kista multiple,
bilateral, dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan
menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. Asidosis
tubulus ginjal adalah suatu penyakit ginjal (renal) khususnya pada bagian
tubulus renalis.

Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis


Gout adalah suatu penyakit yang ditandai dengan serangan mendadak
dan berulang dari artritis yang terasa sangat nyeri karena adanya endapan
kristal monosodium urat, yang terkumpul di dalam sendi sebagai akibat
dari tingginya kadar asam urat di dalam darah
(hiperurisemia).Hiperparatiroidisme adalah suatu keadaan dimana
kelenjar-kelenjar paratiroid memproduksi lebih banyak hormon paratiroid
dari biasanya Amiloidosis sebutan untuk berbagai macam kondisi dengan
adanya penumpukan protein amiloid pada organ dan/atau jaringan,
sehingga mengakibatkan timbulnya penyakit.

Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal

Nefropati timbale adalah kerusakan yang di akibatkan oleh adanya


timbale dalam ginjal.

Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli


neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung
kemih dan uretra.
b. Tanda dan Gejala
Beberapa tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada penderita gagal

ginjal kronik, yaitu :


Tanda atau gejala umum awal adalah gatal-gatal secara terus-menerus di

bagian tubuh atau badan (bervariasi).


Tidak nafsu makan.
Pembengkakan cairan di bagian kulit, contohnya di bagian kulit kaki,

betis, dan area yang tidak biasanya.


Hemoglobin menurun drastis pada kisaran 6-9, ditandai dengan lemas dan
tidak kuat untuk berjalan kaki dalam waktu yang lama, gejala ini

merupakan tanda awal sebelum ke arah yg lebih kritis.


Karena hemoglobin menurun, aktivitas normal biasanya terasa lebih berat

dari biasanya.
Sulit buang air kecil, jika volume atau kuantitas buang air kecil menurun,

perlu diwaspadai.
Tekanan darah meningkat karena kelebihan cairan dan produksi hormon
vasoaktif yang diciptakan oleh ginjal melalui RAS (renin-angiotensin
system). Ini meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami hipertensi
dan / atau gagal jantung.

b) Patofisiologi

c) Tahap Perkembangan Gagal Ginjal Kronik

1
2
3
4

Stadium I (Penurunan Cadangan Ginjal/Faal Ginjal antara 40-75%)


Pada tahap ini, ada beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita,
diantaranya:
Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi.
Laju flitrasi glomerulus 40-50% normal.
BUN dan Kreatinin serum masih normal.
Pasien asimtomatik.
Tahap ini merupakan tahap perkembangan penyakit ginjal yang paling
ringan, karena faal ginjal masih dalam kondisi baik. Oleh karena itu,
penderita juga belum merasakan gejala apapun. Bahkan, hasil
pemeriksaan laboraturium menunjukan bahwa faal ginjal masih berada
dalam batas normal. Selain itu, kreatinin serum dan kadar BUN (Blood
urea nitrogen) masih berada dalam batas normal dan penderita
asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal baru diketahui setelah pasien diberi
beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan kemih dalam waktu lama

1
2
3
4
5

atau melalui tes GFR dengan teliti.


Stadium II (Indufisiensi Ginjal/Faal Ginjal antara 20-50%)
Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita,
diantaranya:
Sekitar 75-80% nefron tidak berfungsi.
Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal.
BUN dan kreatinin serum mulai meningkat.
Anemia dan azotemia ringan
Nokturia dan poliuria

Pada tahap ini, penderita masih dapat melakukan tugas-tugas seperti


biasa, walaupun daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pengobatan harus
dilakukan dengan cepat untuk mengatasi kekurangan cairan, kekurangan
garam, dan gangguan jantung. Selain itu, penderita juga harus diberi obat
untuk mencegah gangguan faal ginjal. Apabila langkah-langkah ini
dilakukan dengan cepat dan tepat, perkembangan penyakit ginjal yang
lebih berat pun dapat dicegah. Pada stadium ini, lebih dari 75% jaringan
ginjal yang berfungsi telah rusak. Selain itu, kadar BUN dan kreatinin
serum juga mulai meningkat melampaui batas normal.
c

Stadium III (Gagal Ginjal/Faal Ginjal Kurang dari 10%)


Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita,
diantaranya:
Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal.
BUN dan kreatinin serum meningkat.
Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik.
Poliuria dan nokturia.
Gejala gagal ginjal.
Pada tahap ini, penderita merasakan beberapa gejalan, antara lain

1
2
3
4
5

mual, muntah, nafsu makan berkurang, sesak napas, pusing, sakit kepala,
air kemih berkurang, kurang tidur, kejang-kejang, dan mengalami
penurunan kesadaran hingga koma. Oleh karena itu, penderita tidak dapat
melakukan tugas sehari-hari.
d

1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Stadium IV (End-stage Real Disease/ESRD)


Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh penderita,
diantaranya:
Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi.
Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal.
BUN dan kreatinin tinggi.
Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik.
Berat jenis urine tetap 1,010.
Oliguria.
Gejala gagal ginjal.
Pada stadium akhir, kurang lebih 90% massa nefron telah hancur. Nilai
GFR 10% dibawah batas normal dan kadar kreatinin hanya 5-10 ml/menit,

bahkan kurang dari jumlah tersebut. Selain itu, peningkatan kreatinin


serum dan kadar BUN juga meningkat secara mencolok.
Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita tidak sanggup
mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit didalam tubuh.
Biasanya, penderita menjadi oliguria (Pengeluaran kemih kurang dari
500 ml/hari karena kegagalan glomerulus). Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita harus mendapatkan pengobatan dalam bentuk
transplantasi ginjal atau dialisis.
d) Pemeriksaan Fisik
1 Keluhan umum : lemas, nyeri pinggang.
2 Tingkat kesadaran komposmentis sampai koma.
3 Pengukuran antropometri : beratbadan menurun, lingkar lengan atas
4
5

(LILA) menurun.
Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi lemah,
disritmia, pernapasan kusmaul, tidak teratur.
Kepala
a Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur,
b
c
d

6
7

edema periorbital.
Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
Hidung : pernapasan cuping hidung
Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia, mual,

muntah serta cegukan, peradangan gusi.


Leher : pembesaran vena leher.
Dada dab toraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan
dangkal dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema

pulmoner, friction rub pericardial.


8 Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
9 Genital : atropi testikuler, amenore.
10 Ekstremitas : capirally refill time > 3 detik,kuku rapuh dan kusam
serta tipis, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, foot
drop, kekuatan otot.
11 Kulit : ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu, mengkilat
atau hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan rapuh, memar
(purpura), edema.
e) Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
1) Urine
a. Volume, biasnya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine
tidak ada.
b. Warna, secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh
pus, bakteri, lemak, pertikel koloid, fosfat atau urat.
c. Berat jenis urine, kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010
menunjukkan kerusakan ginjal berat)
d. Klirens kreatinin, mungkin menurun
e. Natrium, lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsobsi natrium.
f. Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4 +) secara kuat
menunjukkan kerusakan glomerulus.
2) Darah
a. Hitung darah lengkap, Hb menurun pada adaya anemia, Hb
biasanya kurang dari 7-8 gr
b. Sel darah merah, menurun pada defesien eritropoetin seperti
azotemia.
c. GDA, pH menurun, asidosis metabolik (kurang dari 7,2)
terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk
mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil akhir
katabolisme prtein, bikarbonat menurun, PaCO2 menurun.
d. Kalium, peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan.
e. Magnesium fosfat meningkat
f. Kalsium menurun
g. Protein (khusus albumin), kadar serum menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan atau sintesa karena kurang
asam amino esensial.
h. Osmolaritas serum: lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama
dengan urin.
2. Pemeriksaan Radiologi
Beberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan utntuk
mengetahui gangguan fungsi ginjal antara lain:

a.Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, uereter dan vesika


urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan
kalsifikasi dari ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal
mengecil yang mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
b.
Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk
melihat secara jelas sturktur anatomi ginjal yang penggunaanya
dengan memakai kontras atau tanpa kontras.
c.Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi
keadaan fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa
digunakan pada kasus gangguan ginjal yang disebabkan oleh
trauma, pembedahan, anomali kongental, kelainan prostat, calculi
ginjal, abses / batu ginjal, serta obstruksi saluran kencing.
d.
Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem
aretri, vena, dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras .
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis,
aneurisma ginjal, arterovenous fistula, serta beberapa gangguan
bentuk vaskuler.
e.Magnetic Resonance

Imaging

(MRI)

digunakan

untuk

mengevaluasi kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF,


proses infeksi pada ginjal serta post transplantasi ginjal.
f. KUB fota : Menunujukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih
dan adanya obstruksi (batu)
Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis

g.

ginjal dan ureter.


h.
Arteriogram

Ginjal

Mengkaji

sirkulasi

ginjal

dan

mengidentifikasi ekstravaskular massa.


i. Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih,
refluks ke dalam ureter, terensi.
j. Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa,
kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
k.
Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk
menentukan sel jaringan untuk diagnosis histoligis.
l. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis
ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.

3. Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan mengambil


jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus
golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan
perencanaan transplantasi ginjal.
4. EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa.
5. Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral dan Tangan : Dapat menunjukan
demineralisasi.

f) Penatalaksanaan Medis
Menurut Muttaqin (2011:173), tujuan dari penatalaksanaan medis pada
pasien dengan gagal ginjal kronik untuk menjaga keseimbangan cairan
elektrolit dan mencegah komplikasi.
1 Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Dialisis
memperbaiki abnormalitas biokimia; menyebabkan cairan, protein, dan
natrium dapat dikonsumsi secara bebas; menghilangkan
2

kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka.


Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat
menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat
adalah jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan
darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG.
Bila terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan
mengurangi intake kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian

infus glukosa.
Koreksi anemia
Usaha pertama harus ditunjukan untuk mengatasi faktor defisiensi,
kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi.
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan

Hb. Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat,
4

misalnya ada insufisiensi koroner.


Koreksi asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus di hindari.
Natrium bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada
permulaan 100 mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahanlahan, jika diperlukan dapat diulang. Hemodialisis dan dialisis

peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.


Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa, dan vasodilator dilakukan
mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-

hati karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.


Transplantasi ginjal
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka seluruh
faal ginjal dengan ginjal yang baru.

g) Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Price (2005:965) prinsip-prinsip dasar penatalaksanaan
konservatif sangat sederhana dan didasarkan pada pemahaman mengenai
batas-batas ekskresi yang dapat dicapai oleh ginjal yang terganggu. Selain itu,
terapi diarahkan pada pencegahan dan pengobatan komplikasi yang terjadi,
yaitu:
1. Pengaturan diet protein
Pengaturan diet penting sekali pada pengobatan gagal ginjal kronik.
Pembatasan asupan protein telah terbukti menormalkan kembali
kelainan dan memperlambat terjadinya gagal ginjal. Kemungkinan
mekanisme yang terkait dengan fakta bahwa asupan rendah protein
mengurangi beban ekskresi sehingga menurunkan hiperfiltrasi
glomerulus, tekanan intraglomerulus, dan cedera sekunder pada nefron
intak.
2. Pengaturan diet kalium
Hiperkalemia umumnya menjadi masalah dalam gagal ginjal lanjut,
dan juga menjadi penting untuk membatasi asupan kalium dalam diet.
Tindakan yang harus dilakukan adalah dengan tidak memberikan obat-

obatan atau makanan yang tinggi kandungan kalium. Makanan atau


obat-obatan ini mengandung tambahan garam (Yang mengandung
amonium klorida dan kalium klorida), ekspektoran, kalium sitrat, dan
makanan seperti sup, pisang dan jus buah murni. Pemberian makanan
atau obat-obatan yang tidak diperkirakan akan menyebabkan
hiperkalemia yang berbahaya.
3. Pengaturan diet natrium dan cairan
Pengaturan Natrium dalam diet memiliki arti penting dalam gagal
ginjal. Asupan yang terlalu bebas dapat menyebabkan terjadinya
retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi, dan gagal jantung
kongestif. Asupan cairan membutuhkan regulasi yang hati-hati dalam
gagal ginjal lanjut, karena rasa haus pasien merupakan panduan yang
tidak dapat diyakini mengenai keadaan hidrasi pasien. Asupan yang
terlalu bebas dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi, edema,
dan intoksikasi cairan. Asupan yang kurang optimal dapat
menyebabkan dehidrasi, hipotensi, dan pemburukan fungsi ginjal.
Aturan umum untuk asupan cairan adalah keluaran urine dalam 24 jam
lebih dari 500 ml.

5. Patologi dan Patofisiologi Kelainan Struktur dan Fungsi Tubuh Reproduksi


ENDOMETRIOSIS
1

Definisi
Endometriosis yaitu suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih
berfungsi berada di luar kavum uteri. Jaringan ini terdiri atas kelenjar dan
stroma, terdapat di dalam endometriumnataupun di luar uterus. Bila jaringan
endometrium terdapat di dalam miometrium disebut adenomiosis, bila brada
di luar uterus disebut endometriosis. Pembagian ini sudah tidak dianut lagi,

karena secara patologik, klinik, ataupun etiologic adenomiosis berbeda


dengan endometriosis. Adenomiosis secara klinis lebih banyak persamaan
dengan mioma uteri. Adenomiosis sering ditemukan pada multipara dalam
masa premenopause, sedangkan endometriosis terdapat pada wanita yang
lebih muda dan yang infertile (Sarwono.2007). Terdapat kurang lebih 15%
wanita reproduksi dan pada 30% dari wanita yang mengalami infertilitas.
Implantasi endometriosis bisa terdapat pada ovarium, ligamentum
sakrouterina, kavum dauglasi, ligamentum latum dan ligamentum rotundum,
tuba fallopi, dan pada tempat-tempat ekstra peritoneal ( serviks, vagina,
vulva, dan kelenjar-kelenjar limfe). Penampakan kasarnya bisa dalam bentuk
luka berupa sebuah peninggian atau kista yang berisi darah baru, merah atau
biru-hitam. Karena termakan waktu, luka tersebut berubah menjadi lebih rata
dan berwarna coklat tua. Ukuran luka dapat berkisar dari luka kecil dari 10
cm. (Rayburn, F. William.2001)
2

Gejala- Gejala
Penderita endometriosis bisa datang dengan keluhan nyeri panggul, terutama
bila datang haid, infertilitas, disparenia, perdarahan uterus abnormal, rasa
nyeri atau berdarah ketika kencing atau pada rectum dalam masa haid. Gejalagejala endometriosisi datangnya berkala dan bervariasi sesuai datangnya
haid tetapi bias menetap. Banyak penderita endometriosis yang tidak

bergejala, dan terdapat sedikit korelasi antara hebatnya gejala dengan beratnya
penyakit.
Adapun gambaran klinis endometriosis menurut Sarwono yaitu :
a

Nyeri perut bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada dan
selama haid (dismenore)
Dismenorea pada endometriosis biasanya merupakan rasa nyeri waktu

haid yang semakin lama semakin hebat. Sebab dari dismenorea ini tidak
diketahui secara pasti tetapi mungkin ada hubungannya dengan
vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu
sebelum dan semasa haid. Jika kista endometriumnya besar dan terdapat
perlengketan ataupun jika lesinya melibatkan peritoneum usus, keluhan
dapat berupa nyeri abdomen bawah atau pelvis yang konstan dengan
intensitas yang berbeda-beda. (Derek Llewellyn-Jones.2002)
b

Dispareunia
Merupakan keadaan yang sering dijumpai disebabkan oleh karena

adanya endometriosis di kavum douglasi.


c

Nyeri pada saat defekasi


Defekasi yang sukar dan sakit terutama pada waktu haid disebabkan

oleh karena adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid.


d

Gangguan Haid (Polimenorea dan hipermenorea)


Gangguan haid dan siklusnya terjadi apabila kelainan pada ovarium

demikian luasnya sehingga fungsi ovarium terganggu.Menstruasi tidak


teratur terdapat pada 60% wanita penderita. Pasien mungkin mengeluhkan
bercak merah premenstruasi, perdarahan menstruasi dalam jumlah banyak
(menoragia), atau frekuensi menstruasi yang lebih sering dan banyak
mengeluarkan darah. (Jones. Derek Llewellyn.2001)
e

Infertilitas

Ada korelasi yang nyata antara endometriosis dan infertilitas. 30%-40%


wanita dengann endometriosis menderita infertilitas. Factor penting yang
menyebabkan infertilitas pada endometriosis adalah apabila mobilitas tuba
terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan di sekitarnya. Pada
pemeriksaaan ginekologik khususnya pemeriksaan vagina-rekto-abdominal,
ditemukan pada endometriosis ringan benda-benda padat seperti butir beras
sampai butir jagung di kavum douglas dan pada ligamentum sakrouterinum
dengan uterus dalam posisi retrofleksi dan terfiksasi. (Wiknjosastro,
hanifa.2007.)
3

Tanda
Tanda-tanda fisik dari endometriosis yaitu rahim yang terfiksasi ke belakang,
terdapat benjolan pada ligamentum sakrouterina dan dalam kavum douglasi,
massa adneksa yang asimetris, dan nyeri pada pemeriksaan bimanual. Luka
yang terlihat pada pemeriksaan speculum adalah sangat menunjukan
endometriosis, dan jika ada harus dilakukan pemeriksaan biopsy. (Rayburn,
F. William.2001)

Patologi
Dimanapun lokasinya, endometrium ektopik, yang dikelilingi stroma ,
mengadakan implantasi dan membentuk kista kecil, yang berespon terhadap
sekresi estrogen dan progesterone secara siklik, sama seperti yang terjadi di
dalam endometrium uteri. Selama menstruasi, terjadi perdarahan di dalam
kista. Darah, jaringan endometrium dan cairan jaringan terperangkap di dalam
kista tersebut. Pada siklus berikutnya , cairan jaringan dan plasma darah
diabsorpsi, sehingga meninggalkan darah kental berwarna coklat. Ukuran
maksimal kista tergantung lokasinya. Kista kecil mungkin tetap kecil atau
diserang makrofag dan menjadi luka fibrotic kecil. Kista ovarium cenderung
lebih besar daripadakista lainnya, tetapi biasanya tidak lebih besar daripada

jeruk berukuran sedang. Ketika kista tumbuh, tekanan internal mungkin


merusak dinding endometrium yang aktif, sehingga kista tidak berfungsi lagi.
Tidak jarang terjadi rupture dari kista yang kecil. Darah kental yang keluar
sangat iritatif dan mengakibatkan perlengketan multiple disekeliling kista.
Jika ada kista ovarium menyerupai endometrioma tetapi tidak ada
perlengketan, diagnosisnya tidak mungkin endometriosis.
( Jones. Derek Llewellyn.2001)
5

Penyebab
Beberapa ahli mencoba menerangkan kejadian endometriosis yaitu berupa
beberapa teori,antara lain:
a

Teori Implantasi dan Regurgitasi.


Teori ini menerangkan adanya darah haid yang dapat menjalar dari kavum
uteri melalui tuba Falopii, tetapi teori ini tidak dapat menerangkan kasus
endometriosis di luar pelvis.

Teori Metaplasia.
Teori ini menerangkan terjadinya metaplasia pada sel-sel coelom yang
berubah menjadi endometrium.
Perubahan ini dikatakan sebagai akibat dari iritasi dan infeksi atau
hormonal pada epitel coelom. Secara endokrinologis hal ini benar karena
epitel germinativum dari ovarium, endometrium dan peritoneum berasal
dari epitel coelom yang sama.

Teori Hormonal.
Telah lama diketahui bahwa kehamilan dapat menyembuhkan
endometriosis. Rendahnya kadar FSH, LH, dan E2 dapat menghilangkan
endometriosis. Pemberian steroid seks dapat menekan sekresi FSH, LH,
dan E2. Pendapat yang sudah lama dianut mengemukakan bahwa
pertumbuhan endometriosis sangat tergantung dari kadar estrogen di
dalam tubuh.

Teori Imunologik.

Secara embriologis, sel epitel yang membungkus peritoneum parietal dan


permukaan ovarium sama asalnya, oleh karena itu sel endometriosis
sejenis dengan mesotel. Banyak peneliti berpendapat bahwa
endometriosisn adalah suatu penyakit autoimun karena memiliki criteria
cenderung lebih banyak pada wanita, bersifat familiar, menimbulkan
gejala klinik, melibatkan multiorgan, menunjukkan aktivitas sel Bpoliklonal.
( Baziad,Ali dkk.1993)
6

Faktor-faktor resiko
Factor-faktor resiko untuk endometriosis :

Nuliparitas

Infertilitas

Usia 25-40 tahun (Rayburn, F. William.2001)

Diagnosis
Secara klinis endometriosis sering sulit dibedakan dari penyakit radang pelvis
atau kista ovarium lainnya. Visualisasi endometriosis diperlukan untuk
memastikan diagnosis. Cara yang biasa dilakukan untuk menegakan diagnose
yaitu dengan melakukan pemeriksan laparoskopi untuk melihat luka dan
mengambil specimen biopsy. Pemeriksaan ultrasonografi pelvis bias
membantu untuk menilai massa dan bisa menduga adanya endometriosis.
Kadar antigen kanker 125 (CA-125) tinggi pada penderita endometriosis.
(Rayburn, F. William.2001)
Adapun Pemeriksaan Penunjang yang dilakukan yaitu :
a. Laparoskopi
Bila ada kecurigaan endometriosis panggul , maka untuk menegakan
diagnosis yang akurat diperlukan pemeriksaan secara langsung ke rongga
abdomen per laparoskopi. Pada lapang pandang laparoskopi tampak

pulau-pulau endometriosis yang berwarna kebiruan yang biasanya


berkapsul. Pemeriksaan laparoskopi sangat diperlukan untuk
mendiagnosis pasti endometriosis, guna menyingkirkan diagnosis
banding antara radang panggul dan keganasan di daerah pelviks. Moeloek
mendiagnosis pasien dengan adneksitis pada pemeriksaam dalam,
ternyata dengan laparoskopi kekeliruan diagnosisnya 54%, sedangkan
terhadap pasien yang dicurigai endometriosis, kesesuaian dengan
pemeriksaan laparoskopi adalah 70,8%.
b. Pemeriksaan Ultrasonografi
Secar pemeriksaan, USG tidak dapat membantu menentukan adanya
endometriosis, kecuali ditemukan massa kistik di daerah parametrium,
maka pada pemeriksaan USG didapatkan gambaran sonolusen dengan
echo dasar kuat tanpa gambaran yang spesifik untuk endometriosis.
8

Jenis- jenis endometriosis


Berdasarkan lokasi tempat endometriosis dibagi menjadi :
a

Endometriosis Interna (adenomiosi uteri)


Fokus Endometriosis berada multilokuler di dalam otot uterus. Akan
terjadi penebalan atau pembesaran uterus. Gejala yang timbul hampir
tidak ada. Ada dua gejala yang khas buat adenomiosis uterus, yaitu:

Nyeri saat haid.

Perdarahan haid yang banyak atau haid yang memanjang.

Endometriosis Tuba.
Yang paling sering terkena adalah bagian proksimal tuba.Akibatnya
adalah:
-

Saluran tuba tertutup,terjadi infertilitas.

Resiko terjadinya kehamilan ektopik.

Hematosalping

Edometriosis Ovarium
Akibat adanya endometriosis pada ovarium akan terbentuk kista coklat.
Kista coklat ini sering mengadakan perlekatan dengan organ-organ di
sekitarnya dan membentuk suatu konglomerasi.

Endometriosis Retroservikalis.
Pada rectal toucher sering teraba benjolan yang nyeri pada cavum
Douglas. Benjolan-benjolan ini akan melekat dengan uterus dan rectum,
akibatnya adalah:

Nyeri pada saat haid.

Nyeri pada saat senggama.


Diagnosa banding yang perlu diperhatikan adalah:

Karsinoma ovarium.

Metastasis di kavum Douglas.

Mioma multiple.

Karsinoma rectum.

Endometriosis Ekstragenital.
Setiap nyeri yang timbul pada organ tubuh tertentu pada organ tbuh
tertentu bersamaan dengan datangnya haid harus dipikirkan adanya
endometriosis.
( Baziad,Ali dkk.1993)

Penanganan

Penanganan endometriosis terdiri atas pencegahan, observasi, terapi


hormonal, pembedahan dan radiasi.
a

Pencegahan

Bila disminorea yang berat terjadi pada seorang pasien muda, kemungkinana
bermacam-macam tingkat sumbatan pada aliran haid harus
dipertimbangkan.kemungkinan munculnya suatu tanduk rahim yang tumpul
pada rahimbikornuata atau sebuah sumbatan septum rahim atau vaginal harus
diingat.dilatasi serviks untuk memungkinkan pengeluaran darah haid yang
lebih mudah pada pasien dengan tingkat disminorea yang hebat.
( Moore, Hacker.2001)
Kemudian, adapula pendapat dari Meigs. Meigs berpendapat bahwa
kehamilan adalah pencegahan yang paling baik untuk endometriosis. Gejalagejala endometriosis memang berkurang pada waktu dan sesudah kehamilan
karena regresi endometrium dalam sarang-sarang endometriosis. Maka dari itu
perkawinan hendaknya jangan ditunda terlalu lama dan diusahakan
secepatnya memiliki anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu
lama. Sikap demikian tidak hanya merupaka profilaksis yang baik untuk
endometriosis, melainkan juga mrnghindari terjadinya infertilitas sesudah
endometrium timbul.selain itu juga jangan melakukan pemeriksaan yang kasar
atau kerokan saat haid, karena dapat mengalirkan darah haid dari uterus ke
tuba fallopi dan rongga panggul.
(Wiknjosastro, hanifa.2007.)
b.Observasi
pengobatab ini akan berguna bagi wanita dengan gejala dan kelainan fisik
yang ringan. Pada wanita yang agak berumur, pengawasan ini bisa dilanjutkan
sampai menopause, karena sesudah itu gejala-gejala endometriosis hilang
sendiri. Dalam masa observasi ini dapat diberi pengobatan paliatif berupa
pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri. (Wiknjosastro,
hanifa.2007.)
c.Pengobatan Hormonal

Prinsip pertama pengobatan hormonal ini adalah menciptakan ingkungan


hormone rendah estrogen dan asiklik. Kadar estrogen yang rendah
menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Keadaan yang asiklik mencegah
terjadinya haid, yang berarti tidak terjadi pelepasan jaringan endometrium
yang normal ataupun jaringan endometriosis. Dengan demikian dapat
dihindari timbulnya sarang endometriosis yang baru karena transport
retrograde jaringan endometrium yang lepas serta mencegah pelepasan dan
perdarahan jaringan endometriosis yang menimbulkan rasa nyeri karena
rangsangan peritoneum.
Prinsip kedua yaitu menciptakan lingkungan tinggi androgen atau tinggi
progesterone yang secara langsung dapat menyebabkan atrofi jaringan
endomeetriosis.
(Wiknjosastro, hanifa.2007.)
d.Pembedahan
adanya jaringan endometrium yang berfungsi merupakan syarat mutlak
tumbuhnya endometriosis. Oleh krarena itu pada waktu pembedahan,harus
dapat menentukan apakah ovarium dipertahankan atau tidak. Pada
andometriosis dini , pada wanita yang ingin mempunyai anak fungsi ovarium
harus dipertahankan. Sebaliknya pada endometriosis yang sudah menyebar
luas pada pelvis, khususnya pada wanita usia lanjut. Umumnya pada terapi
pembedahan yang konservatif sarang endometriosis diangkat dengan
meninggalkan uterus dan jaringan ovarium yang sehat, dan perlekatan
sedapatnya dilepaskan. Pada operasi konservatif, perlu pula dilakukan
suspensi uterus, dan pengangkatan kelainan patologik pelvis. Hasil
pembedahan untuk infertile sangat tergantung pada tingkat endometriosis,
maka pada penderita dengan penyakit berat, operasi untuk keperluan infertile
tidak dianjurkan. (Wiknjosastro, hanifa.2007)
e.Radiasi
pengobatan ini bertujuan menghentikan fungsi ovarium, tapi sudah tidak
dilakukan lagi, kecuali jika ada kontraindikasi terhadap pembedahan.
(Wiknjosastro, hanifa.2007.)

6. Patologi dan Patofisiologi Kelainan Struktur dan Fungsi Tubuh Endokrin


A. Gangguan Pada Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi
utama: menghasilkan enzimpencernaan atau fungsi eksokrin serta
menghasilkan beberapa hormon atau fungsi endokrin. Pankreas terletak pada
kuadran kiri atas abdomen atau perut dan bagian kaput/kepalanya menempel
pada organ duodenum. Produk enzim akan disalurkan dari pankreas ke
duodenum melalui saluran pankreas utama.Pankreas dikenal manusia sejak
lama. Pankreas diidentifikasi oleh dokter bedah Yunani Herophilus yang hidup
di tahun 335-280 SM. Pankreas dapat didefinisikan sebagai organ kelenjar
yang hadir dalam endokrin dan sistem pencernaan dari semua vertebrata.
Pankreas seperti spons dengan warna kekuningan. Bentuk pankreas
menyerupai seperti ikan. Pankreas ini sekitar panjang 15 cm dan sekitar 3,8
cm lebar. Pankreas meluas sampai ke bagian belakang perut, di belakang
daerah perut dan melekat ke bagian pertama dari usus yang disebut
duodenum. Sebagai kelenjar endokrin, menghasilkan hormon seperti insulin,
somatostatin dan glukagon dan sebagai kelenjar eksokrin yang mensintesis
dan mengeluarkan cairan pankreas yang mengandung enzim pencernaan yang
selanjutnya diteruskan ke usus kecil. Enzim-enzim pencernaan berkontribusi
pada pemecahan dari karbohidrat, lemak dan protein yang hadir di paruh
makanan yang dicerna.

Fungsi Pankreas
1. Mengatur kadar gula dalam darah melalui pengeluaran glucogen, yang
menambah kadar gula dalam darah dengan mempercepat tingkat pelepasan
dari hati.
2. Pengurangan kadar gula dalam darah dengan mengeluarkan insulin yang mana
mempercepat aliran glukosa ke dalam sel pada tubuh, terutama otot. Insulin
juga merangsang hati untuk mengubah glukosa menjadi glikogen dan
menyimpannya di dalam sel-selnya.
Fungsi Dari Pankreas Yang Disebut Kelenjar Ganda
1. Kelenjar endokrin
Ini bagian dari pankreas yang melakukan fungsi endokrin terbentuk dari jutaan
cluster sel. Ini cluster sel dikenal sebagai pulau Langerhans. Ini pulau terdiri dari
empat jenis sel, yang diklasifikasikan berdasarkan hormon yang mereka keluarkan.
Sel mensekresi glukagon disebut sel alfa. Sel-sel mensekresi insulin dikenal sebagai
sel beta sementara somatostatin disekresikan oleh sel delta. Polipeptida pankreas
disekresikan oleh sel-sel PP. Struktur pulau terdiri dari kelenjar endokrin diatur dalam
kabel dan cluster. Kelenjar endokrin yang saling silang dengan rantai tebal kapiler. Ini
kapiler yang berbaris lapisan sel endokrin yang berada dalam kontak langsung dengan
pembuluh darah. Beberapa sel endokrin berada dalam kontak langsung sementara
yang lain terhubung melalui proses sitoplasma.
2. Eksokrin
Pankreas eksokrin menghasilkan enzim pencernaan bersama dengan cairan alkali.
Keduaduanya ini disekresi ke dalam usus kecil melalui saluran eksokrin. Fungsi
sekresi dilakukan sebagai respon terhadap hormon usus kecil yang disebut
cholecystokinin dan secretin. Enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kelenjar

eksokrin terdiri dari chymotrypsin, tripsin, lipase pankreas, dan amilase pankreas.
Enzim pencernaan sebenarnya diproduksi oleh sel-sel asinar hadir dalam pankreas
eksokrin. Sel yang melapisi saluran pankreas disebut sel centroacinar. Sel-sel
centroacinar mengeluarkan larutan kaya isi garam dan bikarbonat ke dalam usus.
Dengan demikian, fungsi pankreas memainkan peran penting dalam aktivitas
tubuh. Pankreas berfungsi dengan benar penting karena masalah pankreas dapat
menyebabkan penyakit seperti pankreatitis dan diabetes. Pankreatitis adalah
peradangan pankreas sedangkan diabetes dikaitkan dengan sekresi insulin dari
pankreas. Menghentikan konsumsi alkohol dapat menyembuhkan pankreatitis.
Berolahraga secara teratur dan mengikuti diet diabetes untuk mengontrol kadar gula
darah bisa menjadi pilihan pengobatan diabetes yang baik. Tapi, sebagai pencegahan
lebih baik daripada mengobati, yang terbaik adalah untuk mencegah masalah
pankreas dan memastikan berfungsinya pankreas.
Bagian-bagian Pankreas
1. Kepala Pankreas yang paling lebar, terletak disebelah kanan rongga abdomen
dan didalam lekukan duodenum.
2. Badan Pankreas merupakan bagian utama pada organ tersebut, letaknya di
belakang lambung dan di depan vertebra lumbalis pertama.
3. Ekor Pankreas adalah bagian yang runcing disebelah kiri, dan sebenarnya
menyetuh limpa.

Hormon Yang Dihasilkan Oleh Pankreas

1. Insulin, yang berfungsi menurunkan kadar gula dalam darah


2. Glukagon, yang berfungsi menaikkan kadar gula dalam darah
3. Somatostatin, yang berfungsi menghalangi pelepasan kedua hormon lainnya
(insulin dan glukagon).

Jaringan Pankreas
1. Acini : Untuk mengeluarkan cairan pencernaan ke duodenum
2. Pulau Langerhans : Mensekresi insulin dan glucagon langsung ke dalam
darah
3. Pankreas manusia manusia mempunyai 1-2 juta pulau Langerhans.
Diameter 0,3 mm, dikelilingi oleh kapiler-kapiler kecil.

Hasil Sekresi Pankreas

1. Hormon insulin, hormon insulin ini langsung dialirkan ke dalam darah


tanpa melewati duktus. Sel-sel kelenjar yang menghasilkan insulin ini
termasuk sel-sel kelenjar endokrin. Kumpulan dari sel-sel ini berbentuk
seperti pulau-pulau yang disebut pulau langerhans.
2. Getah pankreas. Sel-sel yang memproduksi getah pankreas ini termasuk
kelenjar eksokrin. Getah pankereas ini dikirim ke dalam duodenum
melalui duktus pankreatikus. Duktus ini bermuara pada papila vateri yang
terletak pada dinding duodenum.
Pankreas menerima darah dari arteri pankreatika dan mengalirkan darahnya ke
vena kava inferior melalui vena pankreatika. Jaringan pankreas terdiri atas lobulus
dari sel sekretori yang tersusun mengitari saluran-saluran halus. Saluran ini mulai dari
sambungan saluran-saluran kecil dari lobulus yang terletak di dalam ekor pankreas
dan berjalan melalui badan pankreas dari kiri ke kanan. Saluran kecil ini menerima
saluran dari lobulus lain dan kemudian bersatu untuk membentuk saluran utama yaitu
duktus wirsungi.
Gangguan pada pankreas :
1. Diabetes Melitus
a.Definisi
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis
termasuk heterogen dengan manisfestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika
telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes militus ditandai dengan
hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskular
mikroiangiopati, dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah
bertahun tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya.
Pasien dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan
gangguan toleransi glukosa) dapat tetap berisiko mengalami komplikasi metabolik
diabetes.
b. Etiologi
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes militus bermacam- macam
meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada

insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting


pada mayoritas penderita diabetes militus. Diabetes militus tipe 1 adalah penyakit
autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala gejala yang pada akhirnya
menuju proses bertahap kerusakan imunologi sel sel yang memproduksi insulin.
Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan respons terhadap kejadian
kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus dengan memproduksi
autoantibodi terhadap sel sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi
insulin yang dirangsang oleh glukosa. Manifestasi klinis diabetes militus terjadi jika
lebih dari 90% sel sel beta menjadi rusak. Pada diabetes militus dalam bentuk yang
lebih berat, sel sel beta telah dirusak semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan
semua kelainan metabolik yang berkaitan dengan defisiensi insulin. Bukti untuk
determinan genetik diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan dengan tipe tipe
histokompatibilitas (humanleukocyte antigen[hla]) spesifik. Tipe dari gen
histokompatibilitas yang berkaitan dengan diabetes tipe 1 (DW3 dan DW4) adalah
yang memberi kode kepada protein protein yang berperanan penting dalam interaksi
monosit limfosit. Protein protein ini mengatur respon sel T yang merupakan
bagian normal dari respons imun. Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit T yang
terganggu akan berperan penting dalam patogenesis kerusakan sel sel pulau
Langelhans. Juga terdapat bukti adanya peningkatan antibodi antibodi terhadap sel
sel pulau Langelhans yang ditujukan terhadap komponen antigenik tertentu dari sel
beta. Kejadian pemicu yang menunjukkan proses autoimun pada individu yang peka
secara genetik dapat berupa infeksi virus coxsackie B4 atau gondongan atatu virus
lain.
Epidemi diabetes tipe 1 awitan baru telah diamati pada saat saat tertentu dalam
sentuhan pada anggota anggota kelompok sosial yang sama. Obat obatan tertentu
yang diketahui dapat memicu penyakit autoimun lain juga dapat memulai proses
autoimun pada pasien pasien diabetes tipe 1. Antibodi sel sel pulau Langelhans
memiliki presentasi yang tinggi pada pasien dengan diabetes tipe 1 awitan baru dan
memberikan bukti yang kuat adanya mekanisme autoimun pada patogenesis penyakit.
Penapisan imunologik dan pemeriksaan sekresi insulin pada orang-orang dengan

risiko tinggi terhadap diabetes tipe 1 akan memberi jalan untuk pengobatan
imunosulpresif dini yang dapat menunda awitan manisfestasi klinis defisiensi insulin.
Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola
familiar yang kuat. Index untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%
risiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33%
untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik
terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY) yaitu sub tipe penyakit
diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika orang tua menderita
diabetes tipe 2, rasio diabetes dan non diabetes pada anak adalah 1 :1, dan sekitar
90% pasti membawa (carier) diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan
sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya, terdapat resestensi dari sel-sel
sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptorreseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang
menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor
glukosa menembus membran sel.
Pada pasien-pasien diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin
dengan reseptor. Kelainan ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor
pada membran sel yang selnya resposif pada insulin atau akibat ketidaknormalan
reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks
reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat
mengganggu kerja insulin pada akhirnya timbul kegagalan sel beta dengan
menurunya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk
mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas
karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul
kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat
badan sering kali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan
pemulihan toleransi glukosa.
a. Klasifikasi dan Diagnosis Diabetes mellitus

Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh PERKENI adalah yang sesuai dengan


anjuran klasifikasi DM American Diabetes Association (ADA) 2007. Klasifikasi
etiologi Diabetes mellitus, menurut ADA 2007 ada 4 macam klasifikasi diabetes
mellitus adalah :
1. Diabetes tipe 1 disebabkan destruksi sel beta, umumnya menjurus ke
defisiensi insulin absolut (autoimun dan idiopatik ).
2. Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin
disertai defesiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin
disertai resistensi insulin).
3. Diabetes tipe lain dapat disebabkan karena defek genetik fungsi sel beta ,
defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena
obat/ zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain
yang berkaitan dengan DM ( Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom
Turner dan lain-lain).
4. Diabetes mellitus Gestasional (DMG) Diagnosis DM ditegakkan dengan
mengadakan pemeriksaan kadar glukosa darah. Untuk penentuan Diagnosis
DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
b. Tanda dan Gejala
Gejala dan Tanda-Tanda Awal Diabetes Melitus Adanya penyakit diabetes ini
pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari oleh penderita.
Beberapa keluhan dan gejala yang biasanya timbul pada penderita diabetes
melitus adalah :
a. Penurunan berat badan (BB) dan rasa lemah
Penurunan BB yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus
menimbulkan kecurigaan. Hal ini disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat
masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk
menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa
diambil dari cadangan lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita
kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus.
b. Banyak kencing
Jika insulin (insulin adalah hormon yang mengendalikan gula darah) tidak ada
atau sedikit maka ginjal tidak dapat menyaring glukosa untuk kembali ke

dalam darah. Kemudian hal ini akan menyebabkan ginjal menarik tambahan
air dari darah untuk menghancurkan glukosa. Hal ini membuat kandung
kemih cepat penuh dan hal ini otomatis akan membuat para penderita DM
akan sering kencing buang air kecil. Kencing yang sering dan dalam jumlah
banyak akan sangat mengganggu penderita, terutama pada waktu malam hari.
c. Banyak minum
Rasa haus amat sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang
keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalahtafsirkan. Untuk
menghilangkan rasa haus itu penderita minum banyak.
d. Banyak makan
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisasikan menjadi
glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, penderita selalu
merasa lapar.
e. Mudah lelah
Para penderita penyakit diabetes mellitus akan juga merasakan bahwasannya
tubuhnya akan sering dan sepat merasa lemah. Hal ini salah satu penyebabnya
adalah produksi glukosa terhambat sehingga sel-sel makanan dari glukosa
yang harusnya didistribusikan ke semua sel tubuh untuk membuat energi jadi
tidak berjalan dengan semestinya dan juga optimal. Karena sel energi tidak
mendapat asupan sehingga orang dengan kencing manis akan merasa cepat
lelah.
f. Berat Badan Akan Cepat Menurun.
Pankreas pada penderita diabates berhenti membuat insulin akibat serangan
virus pada sel-sel pankreas atau respons autoimun yang membuat tubuh
menyerang sel-sel yang memproduksi insulin. Akibatnya tubuh akan kesulitan
mencari sumber energi karena sel-sel tidak memperoleh glukosa. Kemudian
tubuh mengadakan adaptasi dengan cara mulai memecah jaringan otot dan
lemak untuk energi sehingga berat badan terus menyusut.Pada penderita
diabetes tipe 2 (faktor perubahan gaya hidup), penurunan berat badan terjadi
secara bertahap dengan peningkatan resistensi insulin sehingga penurunan
berat badan tidak begitu terlihat
g. Tanda-tanda Neuropati.

Tanda-tanda neropati pada pasien dengan DM yang seringkali dirasakan


adalah kesemutan di kaki dan tangan. Hal tersebut terjadi secara bertahap dari
waktu ke waktu karena glukosa dalam darah tinggi akan merusak sistem saraf.
Pada penderita diabetes tipe 2 kejadiannya secara bertahap, dan orang-orang
sering tidak menyadari bahwa itu salah satu pertanda. Kondisi gula darah
tinggi kemungkinan telah terjadi beberapa tahun sebelum seseorang itu
mengetahui bahwa dirinya telah terkena DM. Kerusakan saraf dapat menyebar
tanpa pengetahuan para penderita kencing manis ini.
h. Kulit Kering dan bila terjadi luka akan lama proses penyembuhannya.
Bila diperhatikan maka para pasien dengan DM mempunyai ciri khas yang
ada pada kulitnya yaitu kulitnya akan cenderung kering dan bila sering
menjumpai pasien DM hal ini akan mudah dikenali akan tanda DM ini. Satu
lagi bila pada tingkat lanjut para penderita DM akan diberikan pengetahuan
dan juga pendidikan kesehatan agar mengurangi kemungkinan terjadinya luka
pada bagian tubuh. Karena bila telah terjadi luka, maka penyembuhan luka
lama dan juga kerapkali bisa menyebabkan organ yang luka bisa diamputasi
pada keadaan dan situasi tertentu. Untuk itu pendidikan kesehatan bagi
penderita DM juga penting dalam hal mencegah dan juga mengatur kadar gula
darahnya.
c. Patofisiologi
Patofisiologi Diabetes Millitus
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan
insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan,
yaitu :
1. Rusaknya sel-sel pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia
tertentu)
2. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas.
3. Desensitasi/kerusakan reseptor insulin (down regulation) di jaringan
perifer.
Aktivitas insulin yang rendah akan menyebabkan ;
a. Penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel, disertai peningkatan
pengeluaran glukosa oleh hati melalui proses glukoneogenesis dan
glikogenolisis. Karena sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan

glukosa tanpa bantuan insulin, timbul keadaan ironis, yakni terjadi


kelebihan glukosa ekstrasel sementara terjadi defisiensi glukosa intrasel kelaparan di lumbung padi.
b. Kadar glukosa yang meninggi ke tingkat dimana jumlah glukosa yang
difiltrasi melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi akan
menyebabkan glukosa muncul pada urin, keadaan ini dinamakan
glukosuria.
c. Glukosa pada urin menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O
bersamanya. Keadaan ini menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh
poliuria (sering berkemih).
d. Cairan yang keluar dari tubuh secara berlebihan akan menyebabkan
dehidrasi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi
perifer karena volume darah turun mencolok. Kegagalan sirkulasi, apabila
tidak diperbaiki dapat menyebabkan kematian karena penurunan aliran
darah ke otak atau menimbulkan gagal ginjal sekunder akibat tekanan
filtrasi yang tidak adekuat.
e. Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat
perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik.
Akibatnya timbul polidipsia (rasa haus berlebihan) sebagai mekanisme
kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.
f. Defisiensi glukosa intrasel menyebabkan sel kelaparan akibatnya nafsu
makan (appetite) meningkat sehingga timbul polifagia (pemasukan
makanan yang berlebihan).
g. Efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak menyebabkan penurunan
sintesis trigliserida dan peningkatan lipolisis. Hal ini akan menyebabkan
mobilisasi besar-besaran asam lemak dari simpanan trigliserida.
Peningkatan asam lemak dalam darah sebagian besar digunakan oleh sel
sebagai sumber energi alternatif karena glukosa tidak dapat masuk ke
dalam sel.
h. Efek insulin pada metabolisme protein menyebabkan pergeseran netto
kearah katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot menyebabkan
otot rangka lisut dan melemah sehingga terjadi penurunan berat badan

E. Pemeriksaan Fisik
Pada penderita diabetes tipe I dilakukan pengkajian untuk memeriksa tanda-tanda
ketoasidosis diabetik, yang mencakup pernapasan kussmaul, hipotensi ortostatik, dan
latergi. Pasien ditanya tentang gejala ketoasidosis diabetik, seperti mual, muntah dan
nyeri abdomen. Hasil-hasil laboratorium dipantau untuk mengenali tanda-tanda
asidosis metabolik, seperti penurunan nilai pH serta kadar bikarbonat dan untuk
mendeteksi tanda-tanda gangguan keseimbangan elektrolit.
Pemeriksaan fisik selama episode hipoglikemik menunjukkan :

Respon autonomik
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Berkeringat
Palpitasi
Tremor
Gugup
Pucat
Lapar

Respon neuroglikopenik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Sakit kepala
Pening
Kacau mental
Peka rangsang
Kesulitan berkonsentrasi
Kerusakan penilaian
Kelemahan dan kejang
Koma pada kasus berat
Pasien diabetes tipe II dikaji untuk melihat adanya tanda-tanda sindrom HHNK,

mencakup hipotensi, gangguan sensori, dan penurunan turgor kulit. Nilai


laboratorium dipantau untuk melihat adanya tanda hiperosmolaritas dan
ketidakseimbangan elektrolit.
Pasien dikaji untuk menemukan faktor-faktor fisik yang dapat mengganggu
kemampuannya dalam mempelajari melakukan keterampilan perawatan mandiri,
seperti :
1. Gangguan penglihatan (pasien diminta untuk membaca angka atau tulisan pada
spuit insulin, lembaran menu, suratkabar, atau bahan pelajaran)

2. Gangguan koordinasi motorik (pasien diobservasi pada saat makan atau


mengerjakan pekerjaan lain atau pada saat menggunakan spuit atau lanset untuk
menusuk jari tangannya)
3. Gangguan neurologis (misalnya, akibat stroke) (dari riwayat penyakit yang
tercantum pada bagan: pasien dikaji untuk menemukan gejala afasia atau
penurunan kemampuan dalam mengikuti perintah sederhana).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi DM.
Yaitu kelompok usia dewasa tua (>40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi, riwayat
keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi >4.000 g, riwaya DM
pada kehamilan, dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan
pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar gula darah puasa (Tabel 53.1), kemudian
dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar. Untuk kelompok
resiko tinggi yang hasil penyaringannya negatif, perlu pemeriksaan penyaring ulang
tiap tahun. Bagi pasien berusia 45 tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaring
dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Tabel 53.1 kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik
sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma vena
Darah kapiler
Kadar glukosa darah puasa
Plasma vena
Darah kapiler

Bukan DM

Belum pasti DM

DM

<110
<90

110-199
90-199

>200
>200

<110
<90

110-125
90-109

>126
>110

Cara pemeriksaan TTGO, adalah :


1.
2.
3.
4.
5.

Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.


Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.
Pasien puasa semalam selama 10-12 jam.
Periksa glukosa darah puasa.
Berikan glukosa 75 g yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam

waktu 5 menit.
6. Periksa glukosa darah 1 jam sesudah beban glukosa.
7. Selama pemeriksaan, pasien diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

Pemeriksaan hemoglobin glikosilasi


Hemoglobin glikosilasi merupakan pemeriksaan darah yang mencerminkan
kadar glukosa darah rata-rata selama periode waktu 2 hingga 3 bulan. Ketika terjadi
kenaikan kadar glukosa darah, molekul glukosa akan menempel pada hemoglobin
dalam sel darah merah.
Ada berbagai tes yang mengukur hal yang sama tetapi memiliki nama yang
berbeda, termasuk hemoglobin A1C dan hemoglobin A1. Nilai normal antara
pemeriksaan yang satu dengan yang lainnya, serta keadaan laboratorium yang satu
dan lainnya, memilikmi sedikit perbedaan dan biasanya berkisar dari 4% hingga 8%.
Pemeriksaan urin untuk glukosa Pada saat ini, pemeriksaan glukosa urin hanya
terbatas pada pasien yang tidak bersedia atau tidak mampu untuk melakukan
pemeriksaan glukosa darah. Prosedur yang umum dilakukan meliputi aplikasi urin
pada strip atau tablet pereaksi dan mencocokkan warna pada strip dengan peta warna.
Pemeriksaan urin untuk keton
Senyawa-senyawa keton (atau badan keton) dalam urin merupakan sinyal
yang memberitahukan bahwa pengendalian kadar glukosa darah pada diabetes tipe I
sedang mengalami kemunduran. Apabila insulin dengan jumlah yang efektif mulai
berkurang, tubuh akan mulai memecah simpana lemaknya untuk menghasilkan
energi. Badan keton merupakan produk-sampingan proses pemecahan lemak ini, dan
senyawa-senyawa keton tersebut bertumpuk dalam darah serta urin.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DM secara umum bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes dengan tujuan jangka pendek yaitu menghilangkan keluhan dan
tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian gula
darah. Sedangkan tujuan jangka panjang meliputi pencegahan dan penghambatan
timbulnya komplikasi DM serta menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat
DM. Target penatalaksanaan DM meliputi kendali kadar gula darah, kendali penyakit
penyerta dan pengelolaan komplikasi. Kendali gula darah meliputi diet atau gaya
hidup sehat, latihan jasmani, dan penggunaan obat atau insulin. Kendali penyakit
penyerta meliputi dislipidemia (peningkatan kadar kolesterol, LDL, trigliserida dan
atau penurunan HDL), peningkatan tekanan darah, obesitas, dan penyakit jantung

koroner. Pengelolaan komplikasi meliputi pencegahan dan pengobatan komplikasi


pada organ mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. Untuk mencapai tujuan
tersebut perlu dilakukan pengendalian gula darah, tekanan darah, berat badan, dan
profil lipid. Kadar gula darah pada penderita DM dikatakan terkendali bila kadar gula
darah puasa < 100mg/dl, gula darah 2 jam sesudah makan < 140 mg/dl, dan kadar
HbA1C < 7,0. Tekanan darah pada penderita DM sebaiknya 130/80 mmHg. Kadar
kolesterol Low Density Lypoprotein (LDL) harus < 100 mg/dl pada penderita tanpa
penyakit jantung dan < 70 mg/dl pada penderita dengan penyakit jantung.
Penatalaksanaan terpadu pada penderita DM meliputi 4 pilar utama, yaitu Edukasi,
Diet atau Perencanaan Makan, Latihan Jasmani, dan Penggunaan Obat Anti Diabetes
atau Insulin.
1. Edukasi
Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemahaman tentang perjalanan
penyakit DM, perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan, penyulit/komplikasi DM dan risikonya, dan cara penggunaan
obat diabetes/insulin. Selain itu, untuk mencapai pengelolaan diabetes yang
optimal pada penyandang DM dibutuhkan perubahan perilaku agar dapat
menjalani pola hidup sehat meliputi :
a. Mengikuti pola makan sehat
b. Merningkatkan kegiatan jasmani
c. Menggunakan obat diabetes dan obatobatan pada keadaan khusus secara
aman dan teratur
d. Melakukan pemantauan gula darah mandiri
e. Melakukan perawatan kaki secara berkala
f. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut
seperti hipoglikemia
2. Diet atau perencanaan makan
Perencanaan makan menggambarkan apa yang dimakan, berapa banyak, dan
kapan makan. Dietisien atau ahli diet dapat membantu membuat perencanaan
makan yang cocok. Makanan sehari-hari hendaknya cukup karbohidrat, serat,
protein,rendah lemak jenuh, kolesterol, sedangkan natrium dan gula
secukupnya. Karbohidrat adalah sumber zat tenaga dan zat gizi utama yang
menyebabkan kadar gula darah naik. Namun penyandang diabetes tidak usah

takut mengkonsumsi karbohidrat. Kebutuhan karbohidrat pada penyandang


diabetes antara 45-65% kebutuhan kalori dengan asupan karbohidrat tersebar
dalam sehari, hindari makan karbohidrat dalam jumlah besar dalam satu kali
makan. Sumber karbohidrat yang dianjurkan adalah karbohidrat kompleks
seperti nasi, roti, mie, dan kentang. Batasi karbohidrat sederhana seperti gula,
kue, tarcis, dodol, sirup, dan madu. Serat merupakan bagian dari karbohidrat
yang tidak dapat diserap tubuh, rendah lemak serta ber pengaruh baik untuk
kadar gula darah. Pada umumnya gula darah setelah makan akan naik lebih
lambat bila makan makanan yang mengandung banyak serat. Makanan berikut
yang mengandung banyak serat makanan adalah havermout, kacangkacangan,
sayur-sayuran, dan buah-buahan seperti apel, jeruk, pir, sirsak, jambu biji dan
lain-lain. Protein digunakan untuk pertumbuhan & mengganti jaringan tubuh
yang rusak. Sumber protein terdiri dari protein hewani & protein nabati.
Sumber protein hewani utama adalah ikan atau ayam tanpa kulit oleh karena
rendah kandungan lemak nya. Sumber protein lemak sedang seperti daging
atau telur sebagai pengganti protein rendah lemak dapat dikonsumsi kira-kira
3x seminggu. Sedang kan sumber protein tinggi lemak seperti otak, merah
telur, dan jerohan perlu dibatasi. Sumber protein nabati adalah kacangkacangan seperti kacang hijau, kacang merah, kacang tanah, kacang kedele,
tahu, & tempe. Kebanyakan makanan nabati rendah kandungan lemaknya dan
mengandung lemak tidak jenuh tinggi sehingga dapat membantu menurunkan
kolesterol darah. Sayuran merupakan bahan makanan yang sehat, tinggi
kandungan vitamin, mineral, dan serat. Sayuran boleh dimakan bebas tanpa
dibatasi dan dianjurkan mengkonsumsi aneka ragam sayuran. Buah-buahan
juga merupakan makanan yang sehat, selain berkalori juga merupakan sumber
vitamin, mineral, dan serat. Dianjurkan makan buah 2 sampai 3 buah sehari.
Susu merupakan sumber protein, dan mengandung lemak, karbohidrat, dan
vitamin serta kalsium Penyandang diabetes dianjurkan minum susu yang
tanpa atau rendah lemak. Bagi yang menyukai susu dapat menggantikan 1
lauk hewani dengan 1 penuh takar susu.

3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan secara teratur 3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit. Tujuan latihan jasmani untuk menjaga
kebugaran, menurunkan berat badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin
sehingga akan memperbaiki kendali gula darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak.
4. Intervensi obat oral farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral & bentuk suntikan insulin.
Saat ini terdapat 5 macam obat tablet yang beredar di pasaran untuk
menurunkan kadar gula
darah. Beberapa obat yg sering digunakan adalah:
a. Golongan insulin sekretagok
Obat ini bekerja dengan cara merangsang pankreas untuk menghasilkan
insulin. Obat ini merupakan pilihan utama pada penyandang diabetes
dengan berat badan kurang atau normal. Obat golongan ini terdapat 2
b.

jenis yaitu: golongan sulfonilurea dan glinid.


Golongan Biguanid
Obat yang termasuk golongan biguanid hanyalah metformin. Obat ini
terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Penggunaan obat ini
dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal & hati. Metformin
sebaiknya diberikan pada saat atau sesudah makan karena dapat

c.

menyebabkan mual & iritasi pada lambung.


Golongan Glitazone
Cara kerja obat ini adalah dengan membantu tubuh menggunakan insulin
yang tersedia sehingga lebih efektif. Penggunaan obat ini
dikontraindikasikan pada mereka dengan gagal jantung, penyakit hati

d.

akut, diabetes tipe 1, dan kehamilan.


Golongan Penghambat Alpha
Glukosidase (Acarbose) Obat ini bekerja dengan cara menghambat
penyerapan glukosa di usus sehingga mempunyai efek menurunkan gula
darah sesudah makan. Obat ini hanya mempengaruhi konsentrasi gula

darah setelah makan. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan
e.

obat ini adalah perut kembung, sering buang angin, dan mencret.
Dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) inhibitor
Pengobatan dengan golongan ini merupakan pendekatan baru pengelolaan
DM. Obat ini menghambat pelepasan glukagon, yang pada gilirannya
meningkatkan sekresi insulin, menurunkan pengosongan lambung, dan
menurunkan kadar glukosa darah. Beberapa obat golongan ini sudah
masuk di Indonesia sejak tahun 2007 antara lain vildagliptin dan
sitagliptin.

5. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan seperti penurunan berat badan yang cepat,
komplikasi akut DM (hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik,
hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat), gagal
dengan pengobatan obat diabetes oral dosis optimal, kehamilan dengan DM, stress
berat (infeksi sistemik, operasi besar, stroke, dll), gangguan fungsi ginjal dan hati
yang berat, dan adanya kontra indikasi/alergi terhadap obat diabetes oral.
7. Patologi dan Patofisiologi Kelainan Struktur dan Fungsi Tubuh
Muskuloskeletal
1. Fraktur
a. Pengertian
Fraktur merupakan hilangnya kontinuitas, tulang rawan baik
yang bersifat total maupun sebagian, biasaya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik. Kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan
tulang itu sendiri, serta jaringan lunak di sekitar tulang yang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
lengkap.
Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan
fraktur tidak lengkap terjadi apabila tidak melibatkan ketebalan
tulang. Pada beberapa keadaan, trauma muskuloskeletal seperti
fraktur dan dislokasi dapat terjadi bersamaan karena di samping

kehilangan hubungan yang normal antara kedua permukaan tadi


disertai pula dengan fraktur dari tulang persendian tersebut.
Secara umum, keadaan patah tulang secara klinis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Fraktur Tertutup (Close Frakture).
Fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang,
sehingga tempat fraktur tiidak tercemar oleh
lingkungan/tidak berhubungan dengan dunia luar.
Fraktur Terbuka (Open Frakture).
Fraktur terbuka adalah fragmen tulang meluas melewati
otot dan kulit, dimana potensial untuk terjadi infeksi
(Sjamsuhidajat, 1999 : 1138).
Fraktur dengan Komplikasi (Complicated Frakture)
Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan patah
tulang dengan
dunia luar.
b. Etiologi
Menurut Sachdeva (1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu:
1) Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehinggatulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya
menyebabkan frakturmelintang dan kerusakan pada kulit di
atasnya.
b) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh
dari lokasibenturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur
dan menyebabkanfraktur klavikula.
c) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari
otot yangkuat.
2) Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengantrauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga
terjadi padaberbagai keadaan berikut:

a) Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan jaringan


baru yangtidak terkendali dan progresif.
b) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat
infeksi akutatau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progresif, lambat dansakit nyeri.
c) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh
defisiensiVitamin D yang mempengaruhi semua jaringan
skelet lain, biasanyadisebabkan kegagalan absorbsi Vitamin
D atau oleh karena asupankalsium atau fosfat yang rendah.
3) Secara Spontan
Disesbabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya
pada penyakitpolio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
c. Tanda gejala
1) Deformitas ( perubahan struktur atau bentuk)
2) Bengkak atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan
pembuluh darah
3) Ekimosis ( perdarahan subkutan)
4) Spasme otot karena kontraksi involunter disekitar fraktur
5) Nyeri, karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang
meningkat karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan
bagian fraktur
6) Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan
syaraf, dimana syaraf ini terjepit atau terputus oleh fragmen
tulang
7) Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena
ketidakstabilan tulang, nyeri atau spasme otot
8) Pergerakan abnormal
9) Krepitasi, yang dapat dirasakan atau didengar bila fraktur
digerakan
10) Hasil foto rontgen yang abnormal
Akibat terjadi kepatahan/patah tulang, tulang tersebut
mengadakan adaptasi terhadap kondisi tersebut, diantaranya
adalah mengalamiproses penyembuhan atau perbaikan tulang.
d. Patofisiologi

Fraktur

Periosteum, pembuluh darah di kortekdan jaringan sekitarnya


rusak

Perdarahan
Kerusakan jaringan di ujung tulang

Terbentuk hematom di canal medula

Jaringan mengalami nekrosis

Nekrosis merangsang terjadinya peradangan, ditandai :


Vasodilatasi
Pengeluaran plasma
Infiltrasi sel darah putih
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh
trauma gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan
fisik, gangguan metabolic, patologik. Kemampuan otot mendukung
tulang turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan
pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume
darah menurun. COP menurun maka terjadiperubahan perfusi
jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi
menjadi edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur
terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat
menimbulkan ganggguan rasa nyaman nyeri.
Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi revral
vaskuler yangmenimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggau. Disamping itufraktur terbuka dapat mengenai jaringan
lunak yang kemungkinan dapatterjadi infeksi dan kerusakan jaringan
lunak akan mengakibatkan kerusakanintegritas kulit. Fraktur adalah
patah tulang, biasanya disebabkan oleh traumagangguan metabolik,

patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baikfraktur terbuka


atau tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapatmenimbulkan
gangguan rasa nyaman nyeri. Selaian itu dapat mengenai
tulangsehingga akan terjadi neurovaskuler yang akan menimbulkan
nyeri geraksehingga mobilitas fisik terganggu, disamping itu fraktur
terbuka dapatmengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat
terjadi infeksiterkontaminasi dengan udara luar.
Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup
akandilakukan immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan
fragmen yangtelah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai
sembuh.
e. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik fraktur dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan
umum untuk memperoleh keadaan umum dan pemeriksaan lokal
1) Gambaran Umum
Pemeriksaan umum meliputi hal-hal seperti berikut:
a) Keadaan Umum
Baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, meliputi
hal-hal sebagai berikut:
Kesadaran penderita apatis, sopor, koma, gelisah,

komposmentis tergantung pada KU pasien


Kesakitan, keadaan penyakit akut, kronik, ringan,
sedang, berat tergantung pada kasus. Biasanya pada

fraktur adalah akut.


b) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan fisik
atau bentuk
c) Pemeriksaan dari kepala sampai ujung jari kaki/tangan.
Harus diperhitungkan bagian distal maupun proksimal
terutama pada status neurovaskular.
2) Keadaan Lokal
a) Look
Perhatikan apa yang dapat dilihat, antara lain adanya suati
deformitas (seperti angulasi/membentuk sudut,

rotasi/pemutaran, dan pemendekan), jejas (tanda yang


menuju bekas trauma), terlihat adanya tulang yang keluar
dari jaringan lunak, sikatrik (jaringan perut baik yang alami
maupun post op), warna kulit, benjolan, pembengkakan, atau
cekungan dengan keadaan abnormal, serta posisi dan bentuk
dari ekstremitas (deformitas). Adanya luka kulit, laserasi atau
abrasi, dan perubahan warna di bagian distal luka
meningkatkan kecurigaan adanya fraktur terbuka. Pasien
diinstruksikan untuk menggerakkan bagian distal lesi
bandingkan dengan sisi yang sehat.
b) Feel
Pemeriksa sangat penting memperhatikan respons
pasien pada saat melakukan palapasi. Adanya respons nyeri
atau suatu ketidaknyamanan dari pasien sangat menentukan
keadaan dalam melakukan palpasi. Beberapa hal yang
-

penting diperiksa meliputi:


Suhu di sekitar trauma
Fluktuasi pada pembengkakan
Nyeri tekan (tenderness)
Krepitasi
Catat letak kelainan (1/3 proximal, tengah atau distal)
Apabila ada benjolan maka perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar

atau permukaan, nyeri atau tidak, dan ukurannya.


c) Move
Pemeriksaan ini secara umum adalah untuk menilai adanya
gerakan abnormal ketika menggerakkan bagian yang cedera,
serta kemampuan rentang gerak sendi. Pencatatan lingkup
gerak ini perlu agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum
dan sesudah. Gerakan sendi diukur dalam ukuran derajat dari
tiap arah pergerakkan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini bertujuan untuk

memeriksa apakah ada gangguang gerak atau tidak. Gerakan


yang dilihat adalah gerakkan aktif dan pasif.
f. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang pada diagnosis fraktur, pemeriksaan
yang penting adalah menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA
dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan dan adanya indikasi untuk memperlihatkan patologi
yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa
permintaan rontgen harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai permintaan.
Beberapa hal yang penting diperhatikan dalam
membaca gambar radiologis adalah 6A yaitu:
i.
Anatomi (misalnya: proximal tibia)
ii. Artrikular (misalnya: intra- vs ekstra-artrikular)
iii.
Alignment (misalnya: first plane)
iv. Angulation
v. Apeks (fragmen distal fraktur)
vi.
Apposition
CT-scan biasanya hanya dilakukan pada beberapa
kondisi fraktur yang mana radiografi tidak mencapai
kebutuhan diagnosis.
2) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk mengetahui
lebih jauh kelainan yang terjadi pada tulang, adalah sebagai
berikut:
a) Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk
tulang.
b) Kalsium serum dan posfor serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang

c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase


(LDH-5), Asparat Amino Transferase (AST), Aldolase
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
3) Pemeriksaan Lainnya
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan tes sensitivitas
Dilakukan pada kondisi fraktur dengan komplikasi, pada
kondisi infeksi, maka akan didapatkan mikroorganisme
penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot
Pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan di
atas tetapi lebih diindikasikanbila terjadi infeksi.
c) Elektromiografi
Terdapatkan kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d) Artroskopi
Didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek akibat
trauma yang berlebihan.
e) Indium Imaging
Pemeriksaan ini menemukan adanya infeksi pada tulang
f) MRI
Menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur
g. Penatalaksanaan
1) Gambaran Umum Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis menurut Chaeruddin Rosjad, 1998.
Sebelummenggambil keputusan untuk melakukan
penatalaksanaan definitive. Prinsippenatalaksanaan fraktur ada 4
R yaitu :
a) Recognition : diagnosa dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan
fraktur dengan anannesis, pemeriksaan klinis dan radiologi.
Pada awalpengobatan perlu diperhatikan : lokasi fraktur,
bentuk fraktur, menentukan tehnik yan sesuai untuk
pengobatan, komplikasi yangmungkin terjadi selama
pengobatan.

b) Reduction : tujuannya untuk mengembalikan panjang dan


kesegarisan tulang. Dapat dicapai yang manipulasi
tertutup/reduksiterbuka progresi. Reduksi tertutup terdiri dari
penggunaantraksimoval untuk menarik fraktur kemudian
memanupulasi untukmengembalikan kesegarisan
normal/dengan traksi mekanis.Reduksi terbuka diindikasikan
jika reduksi tertutup gagal/tidak
memuaskan. Reduksi terbuka merupakan alat frusasi internal
yang digunakan itu mempertahankan dalam posisinya
sampaipenyembuhan tulang yang solid seperti pen, kawat,
skrup dan plat.Reduction interna fixation (orif) yaitu dengan
pembedahan terbukakan mengimobilisasi fraktur yang
berfungsi pembedahan untukmemasukkan skrup/pen
kedalam fraktur yang berfungsi untukmenfiksasi bagianbagian tulang yang fraktur secara bersamaan.
c) Retention: imobilisasi fraktur tujuannya mencegah
pengeseranfregmen dan mencegah pergerakan yang dapat
mengancam union.Untuk mempertahankan reduksi
(ektrimitas yang mengalamifraktur) adalah dengan traksi.
Traksi merupakan salah satupengobatan dengan cara
menarik/tarikan pada bagian tulang-tulangsebagai kekuatan
dngan kontrol dan tahanan beban keduanya untukmenyokong
tulang dengan tujuan mencegah reposisi
deformitas,mengurangi fraktur dan dislokasi,
mempertahankan ligamentubuh/mengurangi spasme otot,
mengurangi nyeri,mempertahankan anatomi tubuh dan
mengimobilisasi area spesifik tubuh. Ada 2 pemasangan
traksi yaitu : skin traksi dan skeletaltraksi.

d) Rehabilitation, mengembalikan aktiftas fungsional


seoptimalmungkinPenatalaksanaan fraktur mengacu kepada
empat tujuan utama yaitu:
1) Mengurangi rasa nyeri, Trauma pada jaringan disekitar
fraktur menimbulkan rasa nyeri yang hebat bahkan
sampai menimbulkan syok. Untuk mengurangi nyeri
dapat diberi obat penghilang rasanyeri, serta dengan
teknik imobilisasi, yaitu pemasangan bidai /spalk,
maupun memasang gips.
2) Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Sepertipemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal,
fiksasi internal,sedangkan bidai maupun gips hanya dapat
digunakan untuk fiksasiyang bersifat sementara saja.
3) Membuat tulang kembali menyatu Tulang yang fraktur
akan mulaimenyatu dalam waktu 4 minggu dan akan
menyatu dengansempurna dalam waktu 6 bulan.
4) Mengembalikan fungsi seperti semula Imobilisasi dalam
jangkawaktu yang lama dapat menyebabkan atrofi otot
dan kekakuanpada sendi. Maka untuk mencegah hal
tersebut diperlukan upayamobilisasi
8. Patologi dan Patofisiologi Kelainan Struktur dan Fungsi Tubuh Integument
A. Kelainan Traumatik pada Kulit Luka bakar
Cedera luka bakar diakibatkan dari serangan langsung, memasak,
merokok ledakan, kebakaran rumah, kontak dengan objek panas, kecelakaan
mandi air panas, dan factor lain. Bila ini terjadi , tidak hamya melibatkan
jaringan kulit tetapi juga semua sistem tubuh. Kedalaman cedera termal
bergantung pada agens pembakar,suhu, dan lamanya pemajanan pada panas. Titik
ekuilibrium kulit kira-kira 440C. Suhu ini dapat ditoleransi sampai 6 jam tanpa
terbakar. Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan

oleh kontak dengan sumber panas seperti api,air panas,bahan kimia, listrik dan
radiasi (Moenandjat,2001)
Kerusakan pada kulit akibat luka bakar sering kali digambarkan pada
kedalaman cedera dan didefinisikan dalam istilah cedera ketebalan parsial (yang
mengenai lapisan epidermis atau lapisan dedermis ) dan cedera ketebalan penuh
(mengenai lapisan epidermia,dedermis dan lapisan lemak) (Hudak&Gallo,1994)
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak dengan sumber
panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi yang mengakibatkan
kerusakan atau kehilangan jaringan yang mengenai lapisan epidermis dan
dedermis dan lemak. Luka bakar diklasifikasikan sebagai derajat
pertama,kedua,dan ketiga. Kedalaman cedera sulit untuk dikaji pada periode
pasca-terbakar awal, dan secara garis besar dibagi menjadi cedera ketebalan
parsial dan cedera ketebalan penuh.
1. Luka bakar ketebalan parsial
Setiap derajat kedalaman luka bakar mempunyai berbagai karakteristik.Luka
bakar ketebalan parsial mencakup derajat pertama dan kedua serta cedera dermal
dalam.

2. Luka bakar ketebalan penuh


Cedera ini meliputi destruksi lapisan kulit atau mencakup bagian jaringan
subkutan, otot atau bahkan tulang . Penampilan luka bervariasi, putih, hitam, coklat,
atau merah tua. Kerusakan jaringan pada luka bakar ini bergantung pada suhu dan

durasi pemajanan pada sumber panas . Beratnya cedera bergantung pada ukuran area
yang terbakar, kedalaman dan lokasinya, usia korban, adanya penyakit atau cedera
penyerta, dan status psikologis korban.
3. Ulkus decubitus
Kata decubitus diturunkan dari bahasa latin decumbo yang berarti berbaring.
Ulkus decubitus adalah masalah kesehatan bermakna karena kasus ini meningkatkan
lama hospitalisasi, meningkatkan biaya perawatan kesehatan, dan meningkatkan
kejadian kematian. Empat factor krusial yang memainkan peran dalam pembentukan
decubitus: 1) tekan; 2)kekuatan gesekan; 3)friksi; dan 4) kelembaban. Tekanan
adalah factor paling krusial, dan ulkus ini secara tepat disebut luka tekanan.

B. Etiologi
Penyebab dari luka bakar tersebut :
1. Thermal
Merupakan penyebab yang paling sering memindahkan kekuatan dari
sumber panas kepada tubuh (lidah api, permikaan yang panas, logam
yang panas dan lelehan-lelehan yang panas)
2. Bahan Kimia
Di industri
: Asam kuat atau basa kuat diantaranya asam
hidrokloride atay alkali
Di rumah tangga :Drainase alat pembersih (terkena secara tidak sengaja)
pembersih cat, desinfektan
3. Listrik

Disebabkan oleh percikan atau busur atay oleh arus listrik yang menyalur
ketubuh (Long, 1996)
4. Luka bakar karena radiasi
5. Cedera akibat suhu sangat rendah (frost bife) (Moenandjat, 2001)
C. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala yang terdapat pada luka bakar dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Menurut kedalamannya dibagi dengan 4 derajat.
1. Luka Bakar derajat I
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis superfisial, kulit kering
hiperemik, berupa eritema, tidak dijumpai bula nyeri karena ujung-ujung
syaraf sensorik teriritasi, penyembuhannya terjadi secara spontan dalam
waktu 5-10 hari.
2. Luka bakar derajat II dangkal
Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis organ-organ kulit
seperti polikel rambut, kelenjar, keringat, kelenjar sebasea masih utuh,
dijumpai bula nyeri karena ujung-ujung syaraf sensorik teriritasi, dasar
luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi diatas kulit
normal. Penyembuhannya terjadi secara spontan dan dalam waktu 10-14
hari.
3. Luka bakar derajat II dalam
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis organ-organ kulit
seperti Folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea sebagian
masih utuh, dijumpai bila. Nyeri karena ujung-ujung syaraf sensorik
teriritasi, dasar luka berwarna merah atau pucat. Penyembuhannya lebih
lama, tergantung sel epitel yang tersisa. Penyembuhannya lebih dari satu
bulan.
4. Luka bakar derajat IV
Kerusakan meliputi seluruh dermis dan lapisan yang telah dalam, organorgan kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea
menglami kerusakan, tidak dijumpai bula, kulit yang terbakar berwarna
abu-abu dan pucat, terletak lebih rendah dibanding kulit sekitar, terjadi
koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal eskar, tidak
dijumpai rasa nyeri dan hilang sensori karena ujung-ujung syaraf sensorik

mengalami kerusakan dan kematian. Penyembuhannya terjadi lebih lama


karena ada proses epitilisasi spontan dari dasar luka (moenandjat, 2001)
Menurut keparahan, luka bakar dapat dibedakan menjadi 3:
1. Cedera luka bakar minor
Luka bakar dengan LPTT (Luas Permukaan Total Tubuh) < 15% pada
orang dewasa usia < 40 tahun. Luka bakar dengan LPTT < 10% pada
orang dewasa > 40 tahun. Luka bakar dengan LPTT 10 % pada anak-anak
usia < 10 tahun dengan luka bakar ketebalan, dengan LPTT < 2 % dan
tidak ada resiko kosmetik atau fungsi pada wajah, mata, telinga, tangan
atau kaki atau perineum.
2. Luka bakar cedera sedang
Luka bakar dengan LPTT < 15%-25% pada orang dewasa usia < 40 tahun,
luka bakar dengan LPTT <10%-20% pada anak-anak usia < 10 tahun,
dengan luka bakar LPTT 10%-20% pada anak-anak usia <10 tahun
dengan luka bakar ketebalan penuh dengan LPTT 20% dan tidak ada
resiko kosmetik atau fungsi pada wajah, mata, telinga, tangan atau kaki
atau perineum.
3. Cedera luka bakar mayor
Luka bakar dengan LPTT <25% pada orang deasa usia < 40 tahun , luka
bakar denga LPTT < 20% pada orang dewasa usia > 40 tahun , luka bakar
dengan LPTT< 20% pada anak-anak usia < 10 tahun dengan luka bakar
ketebalan penuh dengan LPTT 20% dan tidak ada resiko kosmetik atau
fungsi pada wajah, mata, tangan, telinga, atau kaki atau perineum
( Chistantie, 1990)
D. Patofisiologi
Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh.
Panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi kulit dengan luka
bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subcutan.
Tergantung faktor penyebab dan lamanya kuliat kontak dengan sumber panas
(Effendi, 1999).

Cedera luka bakar mempengaruhi semua sistem organ. Besarnya respon


patofisiologis ini aalah berkaitan erat dengan luasnya luka bakar dan mencapai massa
stabil ketika terjadi luka bakar kira-kira 60% seluruh luas permukaan tubuh (Hudak &
Gallo, 1996)
Tingkat keperawatan perubahan tergantung kepada luas dan kedalaman luka
bakar yang menimbulkan kerusakan dimulai dari terjadinya luka bakar dan
berlangsung sampai 48-72 jam pertama. Kondisi ditandai dengan pergeseran cairan
dari komponen vaskuler ke ruang interstitinum. Bila jaringan terbakar, vasodilatasi
meningkatkan permeabilitas sel pada yang luka bakar dan di sekitarnya. Dampaknya
jumlah cairan yang banak berada pada ekstra sel, sodium chloride dan protein lewat
melalui daerah yang terbakar dan membentuk gelembung-gelembung dan oedema
atau keluar melalui luka terbuka. Akibat adanya oedema luka bakar lingkungan kulit
mengalami kerusakan. Kulit sebagai barier mekanik berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan diri yang penting, dari organisme yang mungkin masuk. Terjadinya
kerusakan lingkunagn kulit akan memungkinkan mikroorganisme masuk dalam tubuh
dan menyebabkan infeks luka yang dapat memperlambat proses penyembuahn luka.
Dengan adanya oedema juga berpengaruh terhadap peningkatan peregangan
pembuluh darah dan syarat yang dapat menimbulkan rasa nyeri juga dapat
mengganggu monilitas pasien.
Dengan kehilangan cairan dari sistem vaskuler, terjadi homo konsentrasi dan
hematokrit naik, cairan darah menjadi kurang lancar pada daerah luka bakar dan
nutrisi kurang. Adanya cedera luka bakar menyebabkan tahanan vaskuler perifer
meningkat sebagai akibat respon stres neurohormonal. Hal ini menigkatkan afterlut
jantung dan mengakibatkan penurunan curah jantung lebih lanjut. Akibat penurunan
curah jantung, menyebabkan metabolosme anaerob dan hasil produk asam ditahan
karena rusaknya fungsi ginjal. Selanjutnya timbul asidosis metabolik yang
menyebabkan perfusi jaringan terjadi tidak sempurna.
Mengikuti periode pergeseran cairan, pasien tetap dalam kondisi sakit akut.
Periode ini ditandai dengan anemi dan malnutrisi. Anemi berkembang akibat banyak
kehilangan eritosit. Keseimbangan nitrogen negatif mulai terjadi pada waktu terjadi

luka bakar dan disebabkan kerusakan jaringan kehilangan protein dan akibat respon
stres. Ini terus berlangsung selama periode akut karena terus menerus kehilangan
protein melalui luka.
Gangguan respiratori timbul karena obstruksi saluran pernafasan baian atas
atau karena efek shock hipovolemik. Obstruksi saluran nafas bagian atas disebabkan
karena inhalasi bahan yang merugikam atau udara yan terlalu panas, menimbulkan
iritasi kepada saluran nafas, oedema laring dan obstruksi potensial.
E. Penatalaksanaan
Pengobatan luka bakar diberikan berdasarkan luas dan keparahanluka bakar
serta perimbangan penyebabnya. Resusitasi cairan penting dalam menagani
kehilangan cairan intravaskuler. Oksigen diberikan melalui masker ventilasi arti
visial. Luka bakar dapat obat tropikal dan dibiarkan terbuka terpajan udara atau
ditutupi dengan kasa , luka bakar berat memerlukan debridemen luka atau
transplantasi.
Anak yang menderita luka bakar mendapatkan analgetik atau narkotik untuk
mengurangi nyerinya, pada luka bakar berat kebutuhan nutrisi dipenuhi dengan
memberikan diet tinggi kalori dan protein atau dukungan nutrisi melalui intra vena
F. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Umumnya penderita datang dengan keadaan kotor mengeluh panas sakit dan
gelisah sampai menimbulkan penurunan tingkat kesadaran bila luka bakar
mencapai derajat cukup berat.
b. TTV
Tekanan darah menurun nadi cepat, suhu dingin, pernafasan lemah sehingga
tanda tidak adekuatnya pengembalian darah pada 48 jam pertama.
c. Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala dan rambut
Catat bentuk kepala, penyebaran rambut, perubahan warna rambut setalah
terkena luka bakar, adanya lesi akibat luka bakar, grade dan luas luka bakar

Mata
Catat kesimetrisan dan kelengkapan, edema, kelopak mata, lesi adanya benda
asing yang menyebabkan gangguan penglihatan serta bulu mata yang rontok
kena air panas, bahan kimia akibat luka bakar
Hidung
Catat adanya perdarahan, mukosa kering, sekret, sumbatan dan bulu hidung
yang rontok.
Mulut
Sianosis karena kurangnya supplay darah ke otak, bibir kering karena intake
cairan kurang
Telinga
Catat bentuk, gangguan pendengaran karena benda asing, perdarahan dan
serumen
Leher
Catat posisi trakea, denyut nadi karotis mengalami peningkatan sebagai
kompensasi untuk mengataasi kekurangan cairan
d. Pemeriksaan thorak / dada
Inspeksi bentuk thorak, irama parnafasan, ireguler, ekspansi dada tidak
maksimal, vokal fremitus kurang bergetar karena cairan yang masuk ke paru,
auskultasi suara ucapan egoponi, suara nafas tambahan ronchi.
e. Abdomen
Inspeksi bentuk perut membuncit karena kembung, palpasi adanya nyeri pada
area epigastrium yang mengidentifikasi adanya gastritis.
f. Urogenital
Kaji kebersihan karena jika ada darah kotor / terdapat lesi merupakan tempat
pertumbuhan kuman yang paling nyaman, sehingga potensi sebagai sumber
infeksi dan indikasi untuk pemasangan kateter.
g. Muskuloskletal
Catat adanya atropi, amati kesimetrisan otot, bila terdapat luka baru pada
muskuloskleletal, kekuatan otot menurun karena nyeri.

h.

Pemeriksaan neurologi
Tingkat kesadaran secara kuantifikasi dinilai dengan GCS. Nilai bisa menurun
bila supplay darah ke otak kurang (syok hipovolemik) dan nyeri yang hebat
(syok neurogenik).

i. Pemeriksaan kulit
Merupakan pemeriksaan pada darah yang mengalami luka bakar (luas dan
kedalaman luka). Prinsip pengukuran prosentase luas uka bakar menurut
kaidah 9 (rule of nine lund and Browder) sebagai berikut :
Bag tubuh 1 th 2 th Dewasa
Kepala leher 18% 14% 9%
Ekstrimitas atas (kanan dan kiri) 18% 18% 18 %
Badan depan 18% 18% 18%
Badan belakang 18% 18% 18%
Ektrimitas bawah (kanan dan kiri) 27% 31% 30%
Genetalia 1% 1% 1%
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Terutama untuk luka bakar yang berat
2. Lab darah
1) Hitung jenis
2) Kimia darah
3) Analisa gas darah dengan carboxyhemoglobin
4) Analisis urin
5) Creatinin Phosphokinase dan myoglobin urin ( Luka bakar akibat listrik)
6) Pemeriksaan factor pembekuan darah ( BT, CT)
3. Radiologi Foto thoraks : untuk mengetahui apakah ada kerusakan akibat luka
bakar inhalasi atau adanya trauma dan indikasi pemasangan intubasi
4. CT scan : mengetahui adanya trauma
5. Tes lain : dengan fiberoptic bronchoscopy untuk pasien dengan luka bakar
inhalasi.
9. Patologi dan Patofisiologi Kelainan Struktur dan Fungsi Tubuh Persyarafan
1. EPILEPSI
a. Pengertian Epilepsi

Epilepsi adalah gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak


berat yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang.Keadaan ini dapat
dihubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan atau
hilangnya tonus otot atau gerakan dan gangguan perilaku, alam perasaan,
sensasi, dan persepsi.Sehingga epilepsy bukan penyakit tetapi suatu
gejala.Penyebab pasti dari epilepsy masih belum diketahui (idiopatik) dan
masih menjadi banyak spekulasi.
Status epileptikus (aktivitas kejang lama yang akut) merupakan suatu
rentetan kejang umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara
serangan.Istilah ini telah diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik
kontimu yang berakhir sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa kerusakan
kesadaran.Keadaan ini dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis mayor.
b. Patofisiologi Dari Epilepsi
Adanya predisposisis yang memungkinkan gangguan pada system
listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak akan menjadikan sel-sel
tersebut memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara
berulang, dan tidak terkontrol (disritmia). Aktivitas serangan epilepsy dapat
terjadi sesudah suatau gangguan pada otak dan sebagian ditentukan oleh
derajat dan lokasi dari lesi.Lesi pada mesensenpalon, thalamus, dan korteks

serebri kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi pada


serebelum dan batang otak biasanya tidak menimbulkan serangan epilepsy.
Pada Tingkat membrane sel, neuron epileptic ditandai oleh fenomena
biokimia tertentu. Beberapa diantaranya adalah ketidakstabialn membran sel
saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan.Neuron hipersensitif dengan
ambang yang menurun, sehingga mudah terangsang, dan terangsang secara
berlebihan.
Situasi ini akan menyebabkan kondisi yang tidak terkontrol, pelepasan
abnormal terjadi dengan cepat, dan seorang dikatakan menuju kearah epilepsy.
Gerakan-gerakan fisik yang tak teratur disebut kejang.
Akibat adanya disritmia muatan listrik pada bagian otak tertentu ini
memberikan manifestasi pada serangan awal kejang sederhana sampai
gerakan konvulsif memanjang dengan penurunan kesadaran.
Status epileptikus menimbulkan kebutuhan metabolic besar dan dapat
memengaruhipernafasan.Terdapat beberapa kejadian henti nafas pada puncak
setiap kejang yang menimbulkan kongesti vena dan hipoksia otak.Episode
berulang anoksia dan pembengkakan serebral dapat menimbulkan kerusakan
otak janin yang tak reversible dan fatal. Faktor-faktor yang mencetuskan
status epileptikus meliputi gejala putus obat antikonvulsan, deman, dan
infeksi penyerta.
c. Etiologi Dari Epilepsi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari
kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih
sering kita sebut sebagai kelainan idiopatik.Terdapat dua kategori kejang
epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi
epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu :
Kejang Fokal
a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Infeksi
d. Malformasi vaskuler
e. Tumor (Neoplasma)
f. Displasia
g. Mesial Temporal Sclerosis

Kejang Umum
a. Penyakit metabolic
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
d. Faktor genetic
e. Kejang fotosensitif
Etiologi epilepsi dapat dibagi atas 2 kelompok:
1. Epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui meliputi kurang
lebih 50% dari penderita epilepsi anak , awitan biasanya pada usia
lebih dari 3tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
ditemukannya alat-alat diagnostik yang canggih kelompok ini makin
kecil.
2. Epilepsi Simtomatik yang penyebabnya sangat bervariasi, bergantung
pada usia awitan.
Penyebab epilepsy pada berbagai kelompok usia:
1. Kelompok Usia 0-6 bulan
a. Kelainan intra-uterin, dapat disebabkan oleh gangguan migrasi dan
diferensiasi sel neuron: hal demikian ini dapat pula dipengaruhi
oleh adanya infeksi intra-uterin.
b. Kleainan selama persalinan berhubungan dengan asfiksia dan
peredaran intracranial, biasanya disebabkan oleh kelainan material
misalnya hipotensi, eklamsia, disproporsi sefalopelvik, kelainan
plasenta , tali pusat menumbung atau belitan leher.
c. Kelaianan kongenital, dapat disebabkan oleh kromosom abnormal, radiasi, obat-obatan teratogenik, infeksi intrapartum oleh
toksoplasma, sitomegalovirus, rubella dan treponema
d. Gangguan metabolic: misalnya hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia, dan defisiensi piridoksin. Hipokalsemia dapat di
sebabkan oleh afiksia diabetes, prematuritas dan biasanya
bersamaan dengan hipomagnesemia. Hiponatremia dapat di
temukan pada afiksia; hipernatremia pada terapu asidosis.
Defisiensi piridoksin pada kelaian genetic atau penyakit
metabolisme yang disertai peningkatan piridoksin

e. Infeksi susunan saraf pusat misalnya meningitis, esensefalitis, atau


timbul kemudian sebagai akibat dari pembentukan jaringan parut
dan hidrosefalus pasca infeksi
2. Kelompok Usia 6 Bulan - 3 tahun
Selain penyebab yang sama dengan kelompok di atas, pada
usia ini dapat juga disebabkan oleh kejang demam yang biasanya
dimulai pada usia 6 bualan,terutama pada golongan kejang demam
komplikasi. Cedera kepala merupakan faktor penyebab lainnya, dan
walaupun kejadiannya lebih ringan kemungkinan terjadi epilepsy lebih
tinggi daripada dewasa. Gangguan metabolisme sama dengan
kelompok usia sebelumnya. Keracunan timah hitam dan logam berat
lainnya misalnya thalium, arsen dan air raksa, dapat menimbulkan
epilepsy.
Degenerasi serebral primer dapat terjadi oleh gangguan enzim
yang diturunkan secara genetic misalnya gangguan enzim yang
diturunkan secara genetik misalnya panensefilitis sklerosa
subakut.Pada keadaan ini biasanya beruap mioklonik.
3. Kelompok Anak-anak sampai remaja
Dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit dan abses
otak yang frekuensinya sampai 32%, yang meningkat setelah tindakan
operasi
4. Kelompok Usia Muda
Cedera kepala merupakan penyebab yangtersering, disusul oleh
tumor otak dan infeksi
5. Kelompok Usia Lanjut
Gangguan pembuluh darah otak merupakan penyebab
tersering, pada usia di atas 50 tahun mencapai 50%, diikuti oleh
trauma, tumor dan degenerasi serebral.
d. Tanda dan Gejala
Sebelum membicarakan gejala-gejala yang berhubungan dengan
epilepsi, perlu dibedakan antara sawan epileptik dan sindrom epileptic
atau penyakitepilepsy. Sawan Epileptik menurut klasifikasi yang

dirancang oleh International League Against Epilepsy (ILAE) 1981,


dibagi atas tiga tipe:
1. Sawan parsial, yang berasal dari daerah tertentu dalam otak. Sawan ini
dibagi menjadi:
- Sawan parsial sederhana
- Sawan parsial kompleks
- Sawan umum sekunder
2. Sawan umum primer, yang sejak awal seluruh otak terlibat secara
bersamaan. Sawan ini dibagi menjadi
- Sawan tonik-klonik
- Sawan lena
- Sawan mioklonik
- Sawan tonik saja
- Sawan klonik saja
- Sawan atonik
3. Sawan yang tidak terklasifikasikan
Sawan parsial sederhana ditandai dengan kesadaran yang tetap
baik dan dapat beruapa: a. motorik fokal yang mengajar atau tanpa
menjalar (gerakan klonik dari jari tangan, lalu menjalarke lengan bawah
dan atas atau menjalar keseluruh tubuh, dulu dikenal sebagai epilepsi
tipe Jackson), b.gerakan versify, dengan kepala dan leher menengok ke
suatau sisi, atauc.Dapat pula sebagai gejala sensorik fokal menjalar atau
sensorik khusus berupa halusinasi sederhana (visual, auditorik,
gustatorik). Kadang-kadang ada neurologic fokal pasca sawan berupa
kelumpuahn ekstremitas; keadaan ini disebut sebagai paralisis todd yang
biasanya hilang dalam beberapa jam.
Pada Sawan parsial kompleks didapat adanya gangguan kesadaran
dan gejala psikis atau gangguan fungsi luhur, umpamanya disfasia, djvu , jamais-vu, keadaan seperti mimpi, ilusi, halusinasi sederhana atau
kompleks, tapi dapat terjadi pada sawan lena, dan pasca sawan tonik
klonik. Penderita sering menjadi bingung, disorientasi, selama beberapa
menit pasca sawan parsial kompleks ini.
Sawan parsial dapat berubah menjadi sawan jenis lain melalui
beberapa tingkatan, hal ini menunjukkan adanya penyebaran lepasan
listrik ke berbagai bagian otak. Suatu sawan parsial dapat dimulai

sebagai sawan parsial sederhana, ini dapat disusul dengan sawan umum
sekunder, atau sawan parsial sederhana berubah menjadi sawan parsial
kompleks dulu disususl oleh sawan umum tonik-klonik sekunder.
Sawan parsial merupakan yang sering dijumpai , dan lebih dari 60%
sawan kategori ini. Sawan ini dulu dikenal sebagai epilepsy psikomotor.
Sawan umum tonik-klonik primer yang dulu dikenal sebagai
epilepsi grand-mal, awalnya dimulai dengan kehilangan kesadaran dan
disusul oleh gerakan klonik yang singkron dari otot-otot
tersebut.Beberapa penderita dapat menunjukkan komponen tonik saja
atau klonik saja atau klonik tonik klonik.Segera sesudah sawan berhenti
kesadaran belum pulih dan penderita tertidur.Kadang-kadang sebelum
sawan ada gejala prodromal berupa kecemasan yang tidak menentu atau
rasa tidak nyaman.
Pada sawan mioklonik ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh
secara cepat, singkron dan bilateral atau kadang-kadang hanya mengenal
kelompok otot tertentu
Sawan lena ditandai oleh kehilangan kesadaran yang berlangsung
sangat singkat, sehingga aktivitas yang sedang berjalan terhenti.
Beberapa episode dapat disertai dengan mata yang menatap kosong atau
gerakan mioklonik dari klompok otot mata atau wajah, otomatisme,
kehilangan tonus otot (sehingga barang yang sedang di pegang terjatuh
atau bila sedang berdiri dapat terjatuh).Serangan sawan ini dapat
berakhir dengan segera diikuti oleh pulihnya kesadaran. Sawan ini
berlangsung beberapa detik sampai setengah menit, dapat hilang sesaaat
atau tidak sama sekali.
Bila sawan yang terjadi tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori
sawan umum atau parsial, maka dimasukkan ke dalam sawan epileptic
yang tidak terklasifikasikan, di sini termasuk yang datanya tidak
lengkap, sawan pada neonatus.
Untuk diagnosis yang ptimal, prognosis, pengobatan dan penelitian
dipakai klasifikasi sindrom epileptic atau penyakit epilepsi menurut
ILAE 1985.Sindrom Epileptik didefinisikan sebagai suatu gangguan

yang ditandai oleh sekelompok keluhan gejala. Dalam sindrom ini


terdapat satu tipe atau beberapa tipe sawan epileptic, kelainan
elektroensefalogram iktal dan intreiktal, perjalanan penyakit, faktor
presipitasi, gejala neurologic, gangguan inteligensia, respoins terhadap
obat antiepileptic, herediter, dan etiologi.
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi
dari epilepsi, yaitu:
1) Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari
sebagian
kecil dari otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada
satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita
umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal,
femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau emosional
kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran
penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial
sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan
kesadaran dan otomatisme.
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian
besar dari otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi
pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya
menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak
disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan
seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota
badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat
atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik

Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat


dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang
dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di
seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik
berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas
fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,
pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik,
tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya
sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering
mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan,
Sindrom epileptik atau penyakit epilepsy meliputi:
1. Epilepsi yang berhubungan dengan lokalisasi (epilepsy fokal, epilepsy
parsial, epilepsi local)
a. Idiopatik, tipe sawan parsial, EEG menunjukkan adanya focus dan
etiologi tidak diketahui
b. Simtomatik, tipe sawan biasanya parsial, EEG menunjukkan
adanya focus di suatu tempat di otak, etiologi dapat diketahui.
Epilepsi fokal atau parsial yang banyak dijumpai adalah epilepsy
motor, di mana tipe sawan berbentuk parsial sederhana berupa
fokal motor dapat atau tanpa menjalar, atau gangguan bicara
(speech arrest, vokalisasi, atau distasia), EEG menunjukkan
kelainan fokal di daerah frontal. Etiologi dapat berupa atrofi fokal,
anomaly arteri-venosa, atau tumor, epilepsy lobus temporalis
banyak dijumpai, dengan tipe berupa parsial kompleks, EEG
menunjukkan adanya kelainan fokal di daerah temporal, ada

gangguan belajar dan daya ingat, etiologi dapat karena gliosis


anomaly arterio-venosa, tumor
2. Epilepsi Umum
a. Idiopatik, sawan sejak awal berupasawan umum, sawan umum
klonik, sawan lena, sawan tonik-tonik. EEG tidak menunjukkan
adanya kelainan fokal, etiologi tidak atau belum diketahui, awitan
berhubungan dengan usia, banyak dijumpai pada neonati, bayi dan
anak. Epilepsi ini jarang dijumpai sesudah usia 20 tahun.
Walaupun demikian epilepsy ini dapat berlanjut sampai usia
dewasa.
b. Simtomatik , tipe sawan juga umum. EEG tidak menunjukkan
adanya kelainan fokal, etiologi dapat spesifik atau non spesifik.
Yang terkenal dalam kelompok ini adalah sindrom Lennox
Gastaut, dengan awitan sering pada usia 1-5 tahun, bentuk sawan
pada awalnya dapat sawan motorik dan dapat bercampur dengan
sawan tonik-klonik sekunder. EEG tidak menunjukkan kelainan
fokal, mental di bawah normal. Etiologi umumnya gangguan
struktur otak oleh sebab apa saja pada masa prenatal dan perinatal
3. Epilepsi yang tidak dapat ditentukan apakah fokal atau umum,
umpamanya sawan pada neonates
4. Sindrom khusus, umpamanya kejang demam.
e. Pengkajian Fisik Fokus
Pada pengkajian fifik secara umum , sering didapatkan pada awal
pascakejang klien mengalami konfusi dan sulit untuk bangun. Pada
kondisi yang lebih berat, sering dijumpai adanya oenurunan dari
kesadaran klien.
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya, Pada keadaan
tertenttu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak
dengan epilepsi disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi.Kejang dan
Peningkatan TIK juga berhubungan dengan epilepsy.Kejang terjadi
sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.

Serangan Kejang yang merupakan gejala atau manifestasi utama


epilepsi dapat diakibatkan kelainan fungsional (motorik, sensorik, atau
psikis).Serangan tersebut tidak lama, tidak terkontrol serta timbul secara
episodic.Serangan ini menggangu kelangsungan kegiatan yang sedang
dikerjakan klien pada saat itu.Serangan ini berkaitan dengan pengeluaran
impuls oleh syaraf serebral yang berlebihan dan berlangsung local.
Masalah utama diperkirakan akibat gangguan listrik(disritmia) pada
sel saraf di salah satu bagian otak, yang menyebabkan sel ini
mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang dan tidak terkontrol.
Karakteristik kejang epilepitik adalah suatu manifestasi muatan neuron
berlebihan ini.
Pada system pencernaan sering didapatkan gangguan seperti mual
sampai muntah karena peningkatan produksi asam lambung.Pemenuhan
nutrisi pada klien epilepsy menurun karena anoreksia dan adanya
kejnag.Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan
kekeuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga menggangu
aktivitas perawatan diri. Adabya kejang meningkatkan risiko utama
f. Pemeriksaan Penunjang
Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang
paling sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien
epilepsi untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua
bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.
Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Elektroensefalogram (EEG) melengkapi bukti diagnostic dalam
proporsi substansial dari klien epilepsi dan membantu dalam
mengklasifikasikan tipe kejang, keadaan abnoremal pada EEG
selalu terus menurus terlihat di antara kejang, atau jika letupan
muncul mungkin akibat dari hiperventilasi atau selama tidur.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang


sama di kedua hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih
lambat dibanding seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak,
paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan
prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan
obat anti epilepsi (OAE).
Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai
pemeriksaan radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak
dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering
digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI). CT scan digunakan untuk mendeteksi
lesi pada otak , fokal abnormal, serebrovaskular abnormal, dan
perubahan degenerative serebral. Bila dibandingkan dengan CT
Scan maka MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan
tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan
hippocampus kiri dan kanan.
g. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan
oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin,
mencegah kejang berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan
kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri.
Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan
diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg
atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih belum
berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan

dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam
per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk
dibawa ke rumah sakit.
b. Pengobatan epilepsy
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita
epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang
berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah
sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka kerusakan
sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya
kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk
mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif
mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita
dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau
dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun
bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :
1. Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam
menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat
anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia
adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan
asam valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur
agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun
serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap
diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat
maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai
dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat
mengatasi kejang.
2. Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan
memotong bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang
menjadi sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk penderita

epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan


jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
3. Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan
kejang berat yang kurang dapat dikendalikan dengan obat
antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat.
Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak
penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik
dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,
tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan
mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak
prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih
ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan
derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah
makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap
kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori
harian diperkirakan sebesar 75 80 kkal/kg. Untuk pengendalian
kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat
antiepilepsi.
10. Patologi dan Patofisiologi Kelainan Struktur dan Fungsi Tubuh Pancaindra
1. Katarak

a. Definisi katarak
Menurut WHO adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata, yang
menghalangi sinar masuk ke dalam mata. Katarak terjadi karena faktor usia,
namun juga dapat terjadi pada anak-anak yang lahir dengan kondisi tersebut.
Katarak juga dapat terjadi setelah trauma, inflamasi atau penyakit lainnya.
Katarak adalah kekeruhan lensa kristalin yang menyebabkan turunnya
tajam penglihatan dan menyebabkan keluhan gangguan penglihatan
lainnya seperti penurunan kontras sensitivitas, silau dan

tidak nyaman.

b. Etiologi
Penyebab katarak antara lain :

Usia
Usia adalah salah satu penyebab utama munculnya katarak. Protein

lensa Anda akan semakin menurun ketika usia Anda bertambah. Selain

faktor tersebut, faktor lingkungan juga dapat menyebabkan katarak.


Trauma
Trauma akan mengakibatkan pembengkakan, penebalan, dan
munculnya warna putih di serat lensa. Warna putih yang terbentuk

pada akhirnya dapat menyebabkan katarak.


Genetika
Genetika juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya kataraka. Sebab kelainan kromosom mampu mempengaruhi

kualitas lensa mata Anda.


Penyakit kulit
Beberapa penyakit kulit tertentu mampu mempengaruhi kesehatan
lensa mata Anda sepertii dermatitis atopik, ichthyosis, pemfigus, dan

eksim.
Infeksi
Jenis infeksi tertentu seperti kusta, toksoplasmosis, dan cysticercosis
dapat memicu timbulnya katarak. Oleh karena itu apabila Anda
mengalaminya, sebaiknya segera obati penyakit tersebut sebelum

infeksi penyakit ini menyebar.


Diabetes
Diabetes kerap kali dituding menjadi penyakit yang dapat
menyebabkan katarak. Sebab enzim aldosa reduktase yang ada di
dalam tubuh penderita diabetes mampu memicu timbulnya penyakit

katarak.
Penggunaan obat tertentu
Ada beberapa jenis obat tertentu yang mampu mempengaruhi
penglihatan mata Anda. Obat-obatan seperti kortikosteroid terbukti
mampu menyebabkan timbulnya katarak.

c. Tanda dan Gejala Katarak

Pandangan mata yang kabur , suram atau seperti ada bayangan awan atau
asap . Noda putih yang semakin berkembang akan mengalami pandangan
mata menjadi kabur , objek terhadap suatu benda mejadi sulit untuk di
kenali bahkan tak dapat mebedakan warna cahaya.

Sulit melihat pada malam hari , Penderita penyait mata apapun akan
merasa kesulitan ketika melihat suatu objek atau cahaya pada malam hari,
hal ini di karena kan lensa mata akan membaca kefokusan objek yang di
terima leh lensa mata .

Sensitif pada cahaya . Penderita mata katarak akan merasa sensitif


terhadap cahaya yang di terima oleh lensa mata , mata menjadi sensitif
karena ketidak mampuan retina menerima cahaya dan lensa mata tidak
dapat memfokuskan cahaya untuk di kirim ke retina .

Terdapat lingkaran cahaya saat memandang sinar. Pada saat lensa mata
memandang atau menangkap cahaya atau sinar , lensa mata hanya
mampu menangkap sinar seperti sebuah lingkaran .

Membutuhkan cahaya terang untuk membaca atau ketika beraktifitas


penderita mata katarak sangat membutuhkan pencahayaan yang cukup
terang ketika melakukan beraktifitas.

Gejala dan tanda-tanda mata katarak warna memudar atau cenderung


menguning saat meilhat . Penderita mata katarak hanya mampu melihat
dan menangkap cahaya seperti sebuah lingkaran , namun lama kelamaan
akan memudar karena urat saraf retina akan menguning jika melihat
suatu obek benda terlalu lama.

d. Patofisiologi

e. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik diperoleh sebagai berikut:
1.

Visus, lapangan pandang, dan pupil

2. Kerusakan ekstraokular fraktur tulang orbita, gangguan saraf traumatik.


3. Tekanan intraokular glaukoma sekunder, perdarahan retrobulbar.

4.

Bilik anterior hifema, iritis, iridodonesis, robekan sudut.

5.

Lensa subluksasi, dislokasi, integritas kapsular (anterior dan posterior),


katarak (luas dan tipe).

6. Vitreus ada atau tidaknya perdarahan dan perlepasan vitreus posterior.


7. Fundus Retinal detachment, ruptur khoroid, perdarahan pre intra dan sub
retina, kondisi saraf optik.
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:
1. B-scan jika pole posterior tidak dapat terlihat.
2. A-scan sebelum ekstraksi katarak
3. CT scan orbita adanya fraktur, benda asing, atau kelainan lain.
g. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan non bedah untuk visus lebih baik atau sama
dengan 6/12, yaitu pemberian kacamata dengan koreksi terbaik.
2. Jika visus masih lebih baik dari 6/12 tetapi sudah mengganggu
untk melakukan aktivitas yang berka tan dengan pekerjaan pasien
atau ada indikasi medis lain untuk operasi, pasien dapat dilakukan
operasi katarak
3. Tatalaksana pasien katarak dengan visus terbaik kurang dari 6/12
adalah operasi katarak berupa EKEK + IOL atau fakoemulsifikasi
+ IOL dengan mempertimbangkan ketersediaan alat, derajat
kekeruhan katarak dan tingkat kemampuan ahli bedah
4. Operasi katarak dilakukan menggunakan mikroskop operasi dan
peralatan bedah mikro, di mana pasien dipersiapkan untuk
implantasi IOL

5. Ukuran IOL dihitung berdasarkan data keratometri serta pengukuran


biometri Ascan
6. Apabila tidak tersedia peralatan keratometri dan biometri ukuran
IOL dapat ditentukan berdasar anamnesis ukuran kacamata yang
selama ini dipakai pasien. IOL standar power +20.00 dioptri, jika
pasien menggunakan kacamata, power IOL standar dikurangi
dengan ukuran kacamata. Misalnya pasien menggunakan kacamata
S-6.00 maka dapat diberikan IOL power +14.00 dioptri
7. Operasi katarak bilateral (operasi dilakukan pada kedua mata
sekaligus secara berturutan) sangat tidak dianjurkan berkaitan
dengan risiko pasca ope rasi (endoftalmitis) yang bisa berdampak
kebutaan. Tetapi ada beberapa keadaan khusus yang bisa dijadikan
alas an pembenaran dan keputusan tindakan operasi katarak
bilateral ini harus dipikirkan sebaikbaiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Syaifuddin.2014. Anatomi Fisiologi Edisi 4.Jakarta: EGC.


Robbins. 1995. Buku Ajar Patologi II. Jakarta: EGC
William dan Wilkins. 2013.Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC
Inayah,Iin, 2004, Asuhan Keperawatan pada klien dengan gangguan system

Pencernaan, Jakarta: Salemba Medika.


Anonym.GejalaLukaBakar.
(Online).Available.http://caramengatasipenyakit.com/tag/gejala luka-bakar/

(diakses pada tanggal 26 Maret 2015 pukul 16.15 WITA)


Tambayong, Dr. Jan. 2002. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC
Chapter. 2013. Sistem Reproduksi. (Online). Available :
http://inovasipembelajaranipa.net/pmkbnew/imgnews/Sistem%20Reproduksi

%201.pdf. (25 Maret 2015)


Sylvia, 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta:

EGC
Kusumaningrum, Febrianti Diah.2014.7 Penyebab TeratasMunculnya
Penyakit Katarak.Tersedia:http://www.merdeka.com/sehat/7-penyebabteratas-munculnya-penyakit katarak.html. Diakses pada tanggal 26 Maret

2015 pukul 18.57 WITA


Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan

Gangguan Sistem Persyarafan.Jakarta : Salemba Medika


Anonim. Gagal Ginjal Kronis. Diambil dari :
http://id.wikipedia.org/wiki/Gagal_ginjal_kronis (diakses tanggal 26 Maret
2015 pukul 19.25 WITA)

Anda mungkin juga menyukai