Anda di halaman 1dari 4

Hubungan Wujud dan Unsur Universal Kebudayaan

Disusun Untuk Memenuhi Nilai Tugas Mata Kuliah


MPKT A
Semester Gasal Tahun 2015/2016
Dosen Pengasuh : Dra. Wisni Bantarti M.Kes

DISUSUN OLEH

MUHAMMAD ALDI GUNAWAN


NPM : 1506686993

FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK


UNIVERSITAS INDONESIA

Wujud dan unsur kebudayaan merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan. Setiap
unsur kebudayaan memiliki tiga wujudnya, yaitu sistem budaya (cultural system), sistem
sosial, kebudayaan fisik. Unsur universal kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah
Sistem organisasi sosial, sistem matapencaharian, sistem teknologi, sistem pengetahuan,
kesenian, bahasa, religi1. Selain itu terdapat dari beberapa ahli juga mengemukakan tentang
unsur-unsur kebudayaan seperti Mellvile J. Herskovits, Bronislow Malinowski, Clyde
Kluckhohn, dan Ralph Linton.
Hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dan wujud kebudayaan tersebut dapat
divisualisasikan dalam diagram berikut.

Wujud kebudayaan digambarkan dengan lingkaran konsentris. Lingkaran paling


dalam adalah sistem budaya. Lingaran tengah adalah sistem sosial dan lingkaran luar adalah
kebudayaan fisik. Adapun isi kebudayaan yang terdiri atas tujuh unsur itu membagi ketiga
wujud kebudayaan dalam tujuh sektor.
Misalnya, sistem religi atau agama sebagai suatu unsur kebudayaan. Religi agama
dalam wujud kebudayaan yang pertama berupa ajaran, filsafat, aturan, dan keyakinan
mengenai Tuhan, Dewa, atau keyakinan mengenai alam lain sesudah manusia mati. Agama
dalam wujud sistem sosial dapat berupa pelaksanaan upacara dan ritual, kegiatan-kegiatan
sosial yang dilandasi nilai-nilai atau aturan-aturan keagamaan dan organisasi keagamaan.
Adapun religi atau agama dalam wujud kebudayaan fisik berupa bangunan candi, patungan
dewa-dewa, masjid, peralatan upacara, dan peralatan ibadah lainnya.
1 Koentjaraningrat. Pengantar antropologi. (2009), 299

Dengan demikian, proses setiap unsur dari ketujuh unsur kebudayaan itu dimulai dari
ide, gagasan, nilai, dan norma. Kemudian, sistem budaya akan mendorong manusia
pendukungnya ke arah perilaku dalam bentuk aktivitas dan interaksi dengan sesama manusia
(sistem sosial). Dari interaksi dan perilaku manusia tersebut kemudian akan menghasilkan
peralatan dan benda-benda (kebudayaan fisik).
Dalam suatu masyarakat, unsur-unsur kebudayaan seringkali tidak
mengalami perkembangan yang serentak. Menurut Poerwanto, perubahan
suatu unsur kebudayaan sebaiknya terjadi pada ketiga wujudnya, karena
apabila terdapat ketimpangan perubahan dalam ketiga wujud kebudayaan
maka akan terjadi culture lag atau keterlambatan kebudayaan2.
Culture lag terjadi karena masyarakat pengguna kebudayaan itu
bukanlah pencipta kebudayaan, melainkan penerima kebudayaan yang
telah dibuat oleh bangsa lain, dimana proses penerimaan kebudayaan
sebatas pada penerimaan wujud ketiga dari kebudayaan tertentu, tanpa
diimbangi dengan pemahaman yang baik tentang sistem budaya dan
sistem sosial yang melatarbelakangi penciptaan kebudayaan itu. Menurut
Poerwanto, agar fenomena culture lag ini tidak terjadi, seseorang selalu
dituntut untuk belajar tentang kebudayaan melalui proses internalisasi,
sosialisasi, dan enkulturasi.
Kebudayaan senantiasa berubah dan berkembang. Faktor-faktor yang
mendorong proses perubahan yang terjadi di masyarakat antara lain
adalah kontak dengan kebudayaan lain, sikap menghargai hasil karya
seseorang dan keinginan untuk maju, sistem terbuka, penduduk yang
heterogen, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan
tertentu, orientasi masa depan, dan nilai bahwa manusia harus senantiasa
berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.
Kebudayaan tidak diperoleh dari transisi biologis atau pewarisan
melalui unsur genetis. Menurut Rahyono, kebudayaan merupakan
bentuk usaha manusia dalam mengatasi segala keterbatasan yang
dialami dalam kehidupannya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai
learning behavior atau kelakuan yang diperoleh melalui proses belajar.
Proses belajar kebudayaan terjadi sejak manusia lahir hingga menjelang
ajal tiba, melalui proses internalisasi, sosialisasi, dan eksternalisasi.
Menurut Koentjaraningrat, internalisasi adalah proses panjang
seorang individu menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan,
hasrat, nafsu, dan emosi yang diperlukannya, sepanjang hidupnya, sejak
ia dilahirkan sampai menjelang ajalnya.
Menurut Koentjaraningrat, sosialisasi merupakan proses belajar
manusia mengenai pola-pola tindakan dalam interaksi dengan berbagai
manusia lain di sekelilingnya, seiring pertambahan usia dan
perkembangannya. Melalui proses ini, seorang individu berusaha
melakukan dan menerima sosialisasi agar diterima dan menjadi bagian
dari masyarakat. Keluarga merupakan lingkungan pertama terjadinya
sosialisasi, sehingga kepribadian seorang individu sangat dipengaruhi oleh
kondisi keluarganya.
2 Hari Poerwanto. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 177-179

Menurut Koentjaraningrat, enkulturasi atau pembudayaan adalah


suatu proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam
pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem, norma, dan peraturan
yang hidup di dalam kebudayaannya. Proses enkulturasi berupa
penanaman nilai dan sistem norma yang berlaku, yang berawal dari
keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Ihromi, TO., (2006). ed. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Koentjaraningrat. (2000). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Sare, Yuni. (2006). Antropolgi SMA/MA Kelas XI. Jakarta: Petrus Citra
Sinngih, Evita E.dkk. (2015). Matakuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi (MPKT)
A Buku Ajar 2, Manusia: sebagai Individu, Kelompok, dan Masyarakat. Jakarta:
Lembaga Penerbit FE-UI
Sutardi, Tedi. (2007). Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung: PT Setia
Purna Inves

Anda mungkin juga menyukai