Anda di halaman 1dari 3

ARTIKEL KESEHATAN

MENGENAL LEBIH DEKAT PENDERITA RETARDASI MENTAL DI


INDONESIA
Disusun oleh: Khadzamurad S.Ked, Istifa S.Ked, Meilinda S.Ked, Prasetya S.Ked,
Desy Ayu S.Ked, dan Desy Indira S.Ked (Mahasiswa Pendidikan Profesi Kedokteran
UNDIP).
Seorang dewasa muda, sebut saja Rio, dengan usia 21 tahun yang berperawakan
tinggi, berbadan gemuk, kulit sawo matang dan bersih, rambut cepak, berpakaian
seperti Jojon pelawak Srimulat tampak gelisah ketika dibawa oleh keluarganya untuk
kedua kalinya ke UGD Rumah Sakit Jiwa, seakan dia tahu bahwa dirinya akan
dipisahkan dengan orang tuanya kembali seperti saat 1 bulan yang lalu. Sebelumnya
dia juga pernah dirawat di bangsal Rumah Sakit Jiwa. Namun, pada saat dia bertemu
dokter, seakan-akan ketakutannya hilang begitu saja.
Pada awalnya secara fisik Rio seperti anak kebanyakan. 19 tahun yang lalu,
saat berusia 2 tahun, Rio pernah mengalami trauma di kepala, dan setelah itu keluarga
Rio yang sangat menyayanginya secara rutin membawa Rio kontrol ke ahli saraf.
Karena trauma tersebut, Rio menjadi sering mengalami kejang, kemudian didiagnosis
oleh dokter sebagai epilepsi. Pada masa kecil, Rio merupakan anak yang pendiam dan
jarang bermain dengan teman-temannya. Pertumbuhan Rio secara fisik bagus, tetapi
perkembangannya seperti kemampuan bicara dan kemampuan beradaptasi sosialnya
sangat kurang. Kemudian, dilakukan pemeriksaan lanjutan dan diketahui bahwa Rio
memiliki keterbelakangan mental. Sejak saat itu, Rio dimasukkan ke Sekolah Luar
Biasa. Rio juga pernah tidak naik kelas di SLB tersebut. Namun, hubungan Rio
dengan orang tuanya masih sangat dekat, ayah dan ibu nya sering mengantar Rio ke
sekolah. Namun, entah mengapa suatu saat Rio melihat temannya yang dijemput
orang tuanya saat pulang sekolah, Rio merasa ingin sekali diperlakukan seperti itu.
Sejak saat itu perilaku Rio sangat tidak terkontrol. Pernah ketika dia bermain dengan
temannya, dia memukuli temannya tanpa sebab yang jelas. Karena khawatir dengan
perilaku Rio, maka orang tua nya pun membawa Rio ke Rumah Sakit Jiwa.
Pada umumnya, secara fisik anak dengan retardasi mental tidak didapatkan
gejala-gejala klinis yang menonjol. Gejala-gejala klinis yang sering didapatkan yaitu

wajah bulat lebar, raut muka kecil, bibir tebal, lidah suka menjulur, jari kaki melebar,
ukuran kaki dan tangan pendek, hingga susunan gigi kurang baik. Gejala klinis pada
retardasi mental juga meliputi perkembangan biologik yang terhambat, kemampuan
adaptasi sosial yang terhambat, dan perkembangan proses berpikir yang mengalami
kegagalan. Penyebabnya beragam, bawaan lahir atau keturunan orang tua, penyakit
dalam kandungan, proses persalinan yang memakan waktu lama, penyakit pada waktu
anak-anak, atau karena kecelakaan.
Menurut

American

Association

on

Intellectual

and

Developmental

Disabilities, retardasi mental didefinisikan sebagai adanya keterbatasan fungsi


intelektual dan kemampuan adaptasi sosial, dan gejalanya timbul dalam masa
perkembangan yaitu di bawah usia 18 tahun. Keterbatasan tersebut tentu saja akan
berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan
kognitif, bahasa, motorik, dan sosial.
Prevalensi retardasi mental diperkirakan 1-3% dari populasi. Prevalensi untuk
retardasi mental ringan 0,37 - 0,59% sedangkan untuk RM sedang, berat dan sangat
berat adalah 0,3 - 0,4%. Insidensi tertinggi adalah pada anak usia sekolah, dengan
puncak usia 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental 1,5 kali lebih sering pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita. Pada usia lanjut, angka prevalensi lebih sedikit karena
mereka dengan retardasi mental yang berat atau sangat berat memiliki angka kematian
yang tinggi, yang disebabkan dari gangguan fisik atau penyakit yang menyertai.
Saat ini sudah banyak dilakukan tes IQ (Intelligence Quotient) pada anakanak, yang biasanya dilakukan saat anak memasuki Sekolah Dasar. Tes IQ sering
dilihat sebagai ukuran kecerdasan anak. Namun, tes IQ bukan merupakan satusatunya patokan yang dipakai untuk menegakkan adanya diagnosis retardasi mental.
Dapat dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti kemampuan di bidang
akademik, komunikasi, sosial dan kondisi tingkah laku saat itu. Dari evaluasi tersebut
maka akan didapatkan gambaran yang lebih menyeluruh tentang kondisi mental anak.
Pengklasifikasian retardasi mental yaitu selain berdasarkan nilai IQ, juga dapat
dilihat dari kemampuan bicara, keterampilan, dan kemampuan sosial serta
kemampuan pekerjaan yang dimilikinya.
Pada berbagai wilayah di Indonesia, masih banyak penduduk yang mungkin
belum mengetahui banyak mengenai retardasi mental, sehingga penderita retardasi
mental sering sekali mendapat perlakuan yang tidak layak oleh masyarakat, mendapat

labelisasi oleh masyarakat, penolakan dan ejekan sehingga tidak mendapat perawatan
yang tepat.
Retardasi mental sebenarnya bukan merupakan penyakit, walaupun retardasi
mental merupakan hasil dari proses patologis di otak, yang mungkin dapat disebabkan
oleh adanya infeksi maupun adanya trauma di kepala, yang kemudian memberikan
gambaran keterbatasan fungsi intelektual dan kemampuan adaptasi sosial.
Dalam hal ini, penderita retardasi mental seperti Rio seharusnya mendapatkan
perlakuan dan perawatan yang tepat sehingga dapat menggali dan mengembangkan
potensi-potensi yang ada pada penderita retardasi mental tersebut. Terdapat beberapa
teknik terapi, diantaranya yaitu terapi terhadap aspek fisik, psikologis, pendidikan,
dan sosial. Terapi terhadap aspek fisik tentunya ditujukan untuk penyakit fisik yang
dialami oleh penderita. Terapi terhadap aspek psikologis dapat diberikan untuk
mengontrol emosi dan tingkah laku penderita serta juga diberikan untuk kondisi
psikologis keluarga. Berdasarkan kemampuan yang ada pada anak, kita dapat
melakukan terapi terhadap aspek pendidikan, karena pendidikan merupakan
kebutuhan utama dalam perkembangan anak. Dan yang terakhir yaitu terapi terhadap
aspek sosial yang mengoptimalkan kemampuan penderita untuk bersosialisasi dalam
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai