Anda di halaman 1dari 46

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau

istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat
berbahanya)

merupakan

masalah

yang

sangat

kompleks,

yang

memerlukan

upaya

penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor,


dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen
dan konsisten (Sadock BJ et al.,2010).
Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya di kota-kota besar saja, tapi sudah
sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial
ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data yang ada,
penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 1524 tahun (Kemenkes RI, 2014).
Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan hampir 40%
penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka. Beberapa substansi
tersebut menyebabkan kelainan status mental secara internal, seperti menyebabkan perubahan
mood, secara eksternal menyebabkan perubahan perilaku. Substansi tersebut juga dapat
menimbulkan problem neuropsikiatrik yang masih belum ditemukan penyebabnya, seperti
skizofrenia dan gangguan mood, sehingga kelainan primer psikiatrik dan kelainan yang
disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat berhubungan (Elvira SD, 2013).
Peran penting sektor kesehatan sering tidak disadari oleh petugas kesehatan itu sendiri,
bahkan para pengambil keputusan, kecuali mereka yang berminat dibidang kesehatan jiwa,
khususnya penyalahgunaan NAPZA. Dan minimnya pengetahuan mengenai masalah NAPZA,
penggunaannya, masalah psikiatri yang ditimbulkan, serta penangannya, mendorong penulis
untuk menyusun referat mengenai penyalahgunaan NAPZA dan penanggulangannya.

BAB 2
ISI

2.1

DEFINISI
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila

masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat,
sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi
kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Istilah
NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada
upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering disebut juga
sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan
perilaku, perasaan, dan pikiran (Sadock BJ et al.,2010).
2.1.1

Narkotika
Menurut UU RI No 22 tahun 1997, Narkotika adalah zat/obat yang berasal dari

tanaman/bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai dengan menghilangkan rasa nyeri
dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika terbagi menjadi 3 golongan, yaitu
(Kemenkes RI, 2014):
-

Golongan I

: hanya digunakan untuk ilmu pengetahuan dan tidak untuk terapi,

berpotensi sangat tinggi untuk menimbulkan ketergantungan. Contoh: heroin/putaw, kokain,


ganja.
Golongan II

: berkhasiat pengobatan, sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan

untuk terapi ataupun ilmu pengetahuan dan berpotensi tinggi menimbulkan ketergantungan.
Contoh: morfin, petidin.
Golongan III : berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan untuk terapi maupun untuk
tujuan ilmu pengetahuan dan berpotensi ringan dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh:
kodein.
2.1.2

Psikotropika
Menurut UU RI No 5 tahun 1997, psikotropika adalah zat/obat, baik alamiah maupun

sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika
terbagi menjadi 4 golongan, yaitu (Kemenkes RI, 2014):
- Golongan I

: berpotensi amat kuat dalam menimbulkan ketergantungan. Contoh:

ekstasi, shabu, LSD

- Golongan II

berpotensi

kuat

dalam

menimbulkan

ketergantungan.

Contoh:

amfetamin, metilfenidat/ritalin
- Golongan III : berpotensi sedang dalam menimbulkan ketergantungan, banyak
digunakan untuk terapi. Contoh: pentobarbital, flunitrazepam.
- Golongan IV : berpotensi ringan dalam menimbulkan ketergantungan, sangat luas
digunakan untuk terapi. Contoh : diazepam, bromazepam, fenobarbital, klonazepam,
klordiazepoksid, nitrazepam, pil BK, pil koplo, Dum, MG.
2.1.3

Zat Adiktif Lainnya

1. Minuman beralkohol
Yaitu minuman yang mengandung etanol.
Terbagi menjadi 3 golongan:
Golongan A mengandung etanol 1%-5% (bir)
Golongan B mengandung etanol 5%-20% (berbagai jenis minuman anggur)
Golongan C mengandung etanol 20%-45% (whiskey, vodka, TKW, manson house, johny
walker, kamput)
2. Inhalansia
Gas yang mudah dihirup dan solven (pelarut) yang mudah menguap berupa senyawa organic
pada berbagai alat rumah tangga. Contoh: lem, thinner, penghapus cat kuku, bensin.
3. Tembakau
2.2

PENGGOLONGAN NAPZA
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan

menjadi tiga golongan (Elvira SD, 2013) :


1. Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini
menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan
tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein),
Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.
2. Golongan Stimulan(Upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan
kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang
termasuk golongan ini adalah : Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain
3. Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah
perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga
seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis.
Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin.
3

2.3

EPIDEMIOLOGI
Data dan informasi mengenai narkoba di banyak negara masih sangat sulit diperoleh,

sehingga jumlah penyalah guna adalah berupa perkiraan atau angka estimasi saja. Sama halnya
dengan Indonesia, jumlah penyalah guna sangat sulit diketahui antara lain karena (1) sebagian
besar penyalah guna tidak muncul ke permukaan, karena stigma yang ada di masyarakat, takut
dilaporkan, dan berbagai sebab lainnya, (2) belum ada sistem pelaporan yang baku (pelaporan
yang sifatnya baku hanya ada di Rumah Sakit) dan (3) penyalah guna yang datang ke pusat-pusat
pengobatan dan rehabilitasi hanya sebagian kecil. (4) penyebaran penyalah guna tidak merata,
diduga urban biased, sehingga sulit untuk membuat sampling, (5) Community based survey
sangat sulit dilakukan, tetapi beberapa LSM sudah melakukan survey sejenis (Kemenkes RI,
2014).
Data yang akurat mengenai besaran penyalah guna narkoba secara umum memang belum
ada. Namun diperkirakan jumlah penyalah guna narkoba dan zat yang digunakan semakin
berkembang. Setelah maraknya penggunaan amphetamin seperti ecstasy dan shabu pada awal
tahun 1990-an, maka belakangan ini berkembang ke arah penggunaan heroin dalam bentuk
putauw (putauw adalah salah satu jenis heroin dengan kadar lebih rendah yang berwarna
putih/heroin kelas lima atau enam), kemudian berkembang pada akhir tahun 2003 mulai
ditemukan penggunaan kokain dan jamur. Awalnya zat yang banyak digunakan masuk pada
kelompok alkohol, psikotropika dan ganja, kemudian berkembang ke arah jenis zat yang
digunakan melalui suntikan (Kemenkes RI, 2014).
Ditinjau dari jenisnya, ketergantungan narkoba merupakan penyakit mental dan perilaku
yang dapat berdampak pada kondisi kejiwaan yang bersangkutan dan masalah lingkungan sosial.
Ditinjau dari sejumlah kasus, walaupun tidak ada data yang pasti mengenai jumlah kasus
penyalah guna narkoba, namun diperkirakan beberapa tahun terakhir jumlah kasus penyalah
guna narkoba cenderung semakin meningkat, bahkan jumlah yang sebenarnya diperkirakan
sesuai dengan fenomena gunung es (iceberg phenomena), dimana jumlah kasus yang ada jauh
lebih besar daripada kasus yang dilaporkan atau dikumpulkan. Masyarakat secara umum
memandang masalah gangguan penggunaan narkoba lebih sebagai masalah moral daripada
masalah kesehatan (Kemenkes RI, 2014).
Jumlah kasus narkoba berdasarkan penggolongannya yang masuk dalam kategori
narkotika terus mengalami peningkatan dalam 5 tahun terakhir sedangkan yang masuk dalam
4

kategori psikotropika jumlah kasusnya kian menurun, hal ini terlihat jelas pada tahun 2009
jumlah kasus psikotropika 8.779 kasus dan tahun 2010 jumlah kasus psikotropika menurun
secara signifikan menjadi 1.181 kasus (Kemenkes RI, 2014).

Gambar 2.1 Jumlah Kasus Narkoba Menurut Penggolongan Tahun 2008-2012 (Kemenkes RI, 2014).

2.4

HEROIN

DEFINISI
Heroin (INN: diacetylmorphine, BAN: diamorphine) adalah semi sintetik opioid yang di
sintesa dari morphin yang merupakan derivat dari opium. Pada kadar yang lebih rendah dikenal
dengan sebutan putaw. Heroin didapatkan dari pengeringan ampas bunga opium (Papaverum
somniferum) yang mempunyai kandungan morfin dan kodein yang merupakan penghilang rasa
nyeri yang efektif. Heroin merupakan 3.6-diacetyl ester dari morphine (oleh karena itu disebut
juga diasetilmorphine). Nama lain dari heroin: smack, junk, china ehirte, chiva, black tar, speed
balling, dope, brown, dog,negra, nod, white hores, stuff (Elvira SD, 2013).
KARAKTERISTIK
Heroin merupakan narkoba yang sangat sering menimbulkan efek ketergantungan.
Heroin ini bentuknya berupa serbuk putih dengan rasa pahit. Dalam pasaran banyak beredar
warnanya putih, coklat atau dadu. Penggunaannya dengan injeksi atau dihirup atau per oral.
Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin (Katzung BG, 2014).
Jenis heroin yang sering diperdagangkan :
1.
Bubuk putih

Diperjualbelikan dalam kantung-kantung yang telah dikemas


secara khusus dengan ukuran 3x1,5 cm, berisi 100 mg bubuk dengan kadar heroin
berkisar antara 1-10%.
5

Pada saat ini kadar heroin dalam bubuk cenderung meningkat, rata-

rata berkisar 35%.


Biasanya bubuk tersebut dicampur dengan gula, susu bubuk atau

kanji. Banyak diperjualbelikan di daerah Asia.


Bubuk coklat
Bentuk, kemasan dan kadar heroin mirip dengan bubuk putih,

2.

3.

hanya warnanya yang coklat.


Banyak didapatkan di daerah Mexico.
Black Tar
Banyak diperjualbelikan di USA.
Warna hitam disebabkan oleh metode prosesing.
Bentuknya kecil-kecil seperti kacang dan lengket.
Kadar heroin didalamnya berkisar 20-80%.
Pemakaian biasanya dilarutkan dengan sedikit air kemudian dihangatkan diatas
api. Setelah dilarutkan dapat dimasukkan ke dalam alat suntik.

CARA PEMAKAIAN
a.

Injeksi
Injeksi secara intravena, subkutan atau intra muskular. Injeksi lebih praktis dan efisien

untuk heroin kadar rendah. Injeksi secara intravena dapat menimbulkan efek eforia dalam 7-8
detik. Injeksi intra muskuler efeknya lebih lambat yaitu 5-8 menit. Ketika akan menyuntikkan
heroin ke dalam tubuh, pertama-tama heroin di larutkan ke dalam air lalu dipanaskan, cara ini
dilakukan untuk menghasilkan larutan liquid. Lalu pengguna bisa menginjeksikan larutan tadi ke
dalam tubuhnya (Katzung BG, 2014).
Kerugian injeksi:
Dapat menyebabkan septikemi dan infeksi lain.
Dapat menyebabkan hepatitis atau HIV.
Injeksi berulang dapat merusak vena, menyebabkan trombosis dan abses.
b.
Dihirup
Bubuk heroin ditaruh di aluminium foil dan dipanaskan diatas api, kemudian asapnya
dihirup melalui hidung. Heroin terabsorbsi melalui membrane mucus hidung. Efek puncak
dengan penggunaan secara dihirup/dihisap biasanya dirasakan dalam 10-15 menit (Katzung BG,
2014).
c.
Dihisap melalui pipa atau sebagai lintingan rokok
Penggunaan heroin dengan kadar tinggi biasanya dengan cara dihirup atau dihisap.
Penggunaan heroin secara dihisap atau dihirup (chasing the dragon) saat ini meningkat untuk
menghindarkan efek yang terjadi akibat penyuntikan. Penggunaan secara dihisap lebih aman
6

dibandingkan dihirup, oleh karena masuk ke dalam tubuh secara bertahap sehingga lebih mudah
dikontrol (Katzung BG, 2014).
FARMAKOKINETIK
Absorpsi
Heroin diabsorpi dengan baik di subkutaneus, intramuskular dan permukaan mukosa
hidung atau mulut (Katzung BG, 2014)
Distribusi
Heroin dengan cepat masuk ke dalam darah dan menuju ke dalam jaringan. Konsentrasi
heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal dan limpa, sedangkan di dalam otot skelet
konsentrasinya rendah. Konsentrasi di dalam otak relatif rendah dibandingkan organ lainnya
akibat sawar darah otak. Heroin menembus sawar darah otak lebih mudah dan cepat
dibandingkan dengan morfin atau golongan opioid lainnya (Katzung BG, 2014).
Metabolisme
Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya
menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam glukuronik menjadi morfin 6glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat dibandingkan morfin sendiri. Akumulasi obat
terjadi pada pasien gagal ginjal (Katzung BG, 2014).
Ekskresi
Heroin/morfin terutama diekskresi melalui urine (ginjal). 90% diekskresikan dalam 24
jam pertama, meskipun masih dapat ditemukan dalam urine 48 jam (Katzung BG, 2014).
FARMAKODINAMIK
Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan reseptor spesifik yang
berlokasi di otak dan medula spinalis, sehingga mempengaruhi transmisi dan modulasi nyeri.
Terdapat 3 jenis reseptor yang spesifik, yaitu reseptor (mu), (delta) dan (kappa). Di dalam
otak terdapat tiga jenis endogeneus peptide yang aktivitasnya seperti opiat, yaitu enkephalin
yang berikatan dengan reseptor , endorfin dengan reseptor dandynorpin dengan resptor .
Reseptor merupakan reseptor untuk morfin (heroin). Ketiga jenis reseptor ini berhubungan
dengan protein G dan berpasangan dengan adenilsiklase menyebabkan penurunan formasi siklik
AMP sehingga aktivitas pelepasan neurotransmitter terhambat (Katzung BG, 2014).
EFEK
A. Sistem saraf pusat
7

1. Analgesia
Khasiat analgetik didasarkan atas 3 faktor (Katzung BG, 2014):
a. Meningkatkan ambang rangsang nyeri.
b. Mempengaruhi emosi, dalam arti bahwa morfin dapat mengubah reaksi yang timbul
menyertai rasa nyeri pada waktu penderita merasakan rasa nyeri. Setelah pemberian
obat penderita masih tetap merasakan (menyadari) adanya nyeri, tetapi reaksi khawatir
takut tidaklagi timbul. Efek obat ini relatif lebih besar mempengaruhi komponen
efektif (emosional) dibandingkan sensorik.
c. Memudahkan timbulnya tidur.
2. Eforia
Pemberian morfin pada penderita yang mengalami nyeri, akan menimbulkan perasaan
eforia dimana penderita akan mengalami perasaan nyaman terbebas dari rasa cemas.
Sebaliknya pada dosis yang sama besar bila diberikan kepada orang normal yang tidak
mengalami nyeri, sering menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir disertai mual,
muntah, apati, aktivitas fisik berkurang dan ekstrimitas terasa berat (Katzung BG, 2014).
1. Sedasi
Pemberian morfin dapat menimbulkan efek mengantuk dan lethargi. Kombinasi morfin
dengan obat yang berefek depresi sentral seperti hipnotik sedatif akan menyebabkan tidur
yang sangat dalam (Katzung BG, 2014)
2. Pernafasan
Pemberian morfin dapat menimbulkan depresi pernafasan, yang disebabkan oleh inhibisi
langsung pada pusat respirasi di batang otak. Depresi pernafasan biasanya terjadi dalam 7
menit setelah ijeksi intravena atau 30 menit setelah injeksi subkutan atau intramuskular.
Respirasi kembali ke normal dalam 2-3 jam (Katzung BG, 2014).
3. Pupil
Pemberian morfin secara sistemik dapat menimbulkan miosis. Miosis terjadi akibat
stimulasi pada nukleus Edinger Westphal N. III (Katzung BG, 2014).
4. Mual dan muntah
Disebabkan oleh stimulasi langsung pada emetic chemoreceptor trigger zone di batang
otak (Katzung BG, 2014).
B. Sistem Syaraf Perifer
8

a) Saluran cerna
Pada lambung akan menghambat sekresi asam lambung, mortilitas lambung berkurang,
tetapi tonus bagian antrum meninggi. Pada usus beasr akan mengurangi gerakan
peristaltik, sehingga dapat menimbulkan konstipasi (Katzung BG, 2014).
b) Sistem kardiovaskular
Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah, frekuensi maupun irama
jantung. Perubahan yang tampak hanya bersifat sekunder terhadap berkurangnya aktivitas
badan dan keadaan tidur, Hipotensi disebabkan dilatasi arteri perifer dan vena akibat
mekanisme depresi sentral oleh mekanisme stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamin
(Katzung BG, 2014).
c) Kulit
Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa
panas. Seringkali terjadi pembentukan keringat, kemungkinan disebabkan oleh
bertambahnya peredaran darah di kulit akibat efek sentral dan pelepasan histamin
(Katzung BG, 2014).
d) Traktus urinarius
Tonus ureter dan vesika urinaria meningkat, tonus otot sphinkter meningkat,sehingga
dapat menimbulkan retensi urine (Katzung BG, 2014).
Menurut National Institute Drug Abuse (NIDA), dibagi menjadi efek segera (shortterm)
dan efek jangka panjang (long term).
Tabel 2.1 Efek jangka pendek dan jangka panjang dari heroin
Short term

Long term

Gelisah

Adiksi

Depresi pernafasan

HIV, hepatitis

Fungsi mental berkabut

Kolaps vena

Mual dan muntah

Infeksi bakteri

Menekan nyeri

Penyakit paru (pneumonia, TBC)

Abortus spontan
Infeksi jantung dan katupnya
Pengaruh heroin terhadap wanita hamil:

Menimbulkan komplikasi serius, abortus spontan, lahir prematur

Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik memiliki resiko tinggi untuk terjadinya
SIDS (Sudden Infant Death Syndrome)
9

Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik dapat mengalami gejala with drawl
dalam 24-36 jam setelah lahir. Gejalanya bayi tambah gelisah, agitasi, sering menguap,
bersin dan menangis, gemetar, muntah, diare dan pada beberapa kasus terjadi kejang
umum.

MANIFESTASI KLINIS
Efek pemakaian heroin yaitu kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang selalu berair,
kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara tidak jelas, tidak dapat
berkonsentrasi. Sakaw atau sakit karena putaw terjadi apabila si pecandu putus menggunakan
putaw. Sebenarnya sakaw salah satu bentuk detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan si pecandu
melewati masa sakaw tanpa obat, selain didampingi dan dimotivasi untuk sembuh. Gejala sakaw
yaitu mata dan hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal di bawah kulit seluruh badan, sakit
perut/diare dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang yang sedang ketagihan adalah kesakitan
dan kejang-kejang, keram perut dan menggelepar, gemetar dan muntah-muntah, hidung
berlendir, mata berair, kehilangan nafsu makan, kekurangan cairan tubuh (Sadock BJ et
al.,2010).
Intoksikasi Akut (Over Dosis)
Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu narkotik. Gejala
over dosis biasanya timbul beberapa saat setelah pemberian obat (Sadock BJ et al.,2010).
Gejala intoksikasi akut (overdosis):

Kesadaran menurun, sopor - koma

Depresi pernafasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, dan pernafasan
mungkin bersifat Cheyene stokes

Pupil kecil (pin poiny pupil), simetris dan reaktif

Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata

Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila pernafasan
memburuk danterjadi syok

Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin

Bradikardi

Edema paru

Kejang
10

Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernafasan. Angka kematian meningkat bila
pecandu narkotik menggabungkannya dengan obat-obatan yang menimbulkan reaksi silang
seperti alkohol, tranquilizer (Sadock BJ et al.,2010).
Intoksikasi Kronis
Adiksi heroin menunjukkan berbagai segi (Sadock BJ et al.,2010):
1.

Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga penderita ketagihan


akan obat tersebut.

2.

Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh karena faal dan
biokimia badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut

3.

Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat tersebut untuk mendapat efek


yang sama. Walaupun toleransi timbul pada saat pertama penggunaan opioid, tetapi manifes
setelah 2-3 minggu penggunaan opioid dosis terapi. Toleransi akan terjadi lebih cepat bila
diberikan dalam dosis tinggi dan interval pemberian yang singkat. Toleransi silang
merupakan karakteristik opioid yang penting, dimana bila penderita telah toleran dengan
morfin, dia juga akan toleran terhadap opioid agonis lainnya, seperti metadon, meperidin
dan sebagainya.

Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan obat


Mekanisme secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh adaptasi seluler yang
menyebabkan perubahan aktivitas enzym, pelepasan biogenic amin tertentu atau beberapa respon
immun. Nukleus locus ceruleus diduga bertanggung jawab dalam menimbulkan gejala
withdrawl. Nukleus ini kaya akan tempat reseptor opioid, alpha-adrenergic dan reseptor lainnya.
Stimulasi pada reseptor opioid danalpha-adrenergic memberikan respon yang sama pada
intraseluler. Stimulasi reseptor oleh agonis opioid (morfin) akan menekan aktivitas adenilsiklase
pada siklik AMP. Bila stimulasi ini diberikan secara terus menerus, akan terjadi adaptasi
fisiologik di dalam neuron yang membuat level normal dari adeniliklase walaupun berikatan
dengan opiat. Bila ikatan opiat ini dighentikan dengan mendadak atau diganti dengan obat yang
bersifat antagonis opioid, maka akan terjadi peningkatan efek adenilsilase pada siklik AMP
secara mendadak dan berhubungan dengan gejala pasien berupa gejala hiperaktivitas (Sadock BJ
et al.,2010).
Gejala putus obat (gejala abstinensi atau withdrawl syndrome) terjadi bila pecandu obat
tersebut menghentikan penggunaanobat secara tiba-tiba. Gejala biasanya timbul dalam 6-10 jam
11

setelah pemberian obat yang terakhir dan puncaknya pada 36-48 jam. Withdrawl dapat terjadi
secara spontan akibat penghentian obat secara tibatiba atau dapat pula dipresipitasi dengan
pemberian antagonis opioid seperti naloxono, naltrexone. Dalam 3 menit setelah injeksi
antagonis opioid, timbul gejala withdrawl, mencapai puncaknya dalam 10-20 menit, kemudian
menghilang setelah 1 jam (Sadock BJ et al.,2010)
Gejala Putus Obat
Gejala putus obat :

6 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah

12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi), anoreksia

24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya kelemahan,
depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot dan tulang, kedinginan dan
kepanasan yang bergantian, peningkatan tekanan darah dan denyut jantung,gerakan
involunter dari lengan dan tungkai dehidrasi dan gangguan elektrolit

Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara berangsurangsur dalam


7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung kuat pada obat. Beberapa gejala ringan masih
dapat terdeteksi dalam 6 bulan. Pada bayi dengan ibu pecandu obat akan terjadi
keterlambatan dalam perkembangan dan pertumbuhan yang dapat terdeteksi setelah usia
1 tahun (Sadock BJ et al.,2010).

PEMERIKSAAN
Penampilan pasien, sikap wawancara, gejolak emosi dan lain-lain perlu diobservasi.
Petugas harus cepat tanggap apakah pasien perlu mendapatkan pertolongan kegawat darurat atau
tidak, dengan memperhatikan tanda-tanda dan gejala yang ada (Sadock BJ et al.,2010).
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut (Elvira SD, 2013) :
a. Fisik
Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan,tangan kaki bahkan pada tempat-tempat

tersembunyi misalnya dorsum penis.


Pemeriksaan
fisik
terutama

ditujukan

untuk

menemukan

gejala

intoksikasi/ioverdosis/putus zat dan komplikasi medik seperti Hepatitis, Eudokarditis,

Bronkoneumonia, HIV/AIDS dan lain-lain.


Perhatikan terutama : kesadaran, pernafasan, tensi, nadi pupil,cara jalan, sklera ikterik,

conjunctiva anemis, dll.


b. Psikiatrik
12

Derajat kesadaran
Daya nilai realitas
Gangguan pada alam perasaan (misal cemas, gelisah, marah, emosi labil, sedih, depresi,

euforia)
Gangguan pada proses pikir (misalnya waham, curiga, paranoid, halusinasi)
Gangguan pada psikomotor (hipperaktif/ hipoaktif, agresif gangguan pola tidur, sikap

manipulatif dan lain-lain).


c. Penunjang
Analisa Urin
Bertujuan untuk mendeteksi adanya heroin dalam tubuh. Pengambilan urine hendaknya
tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian zat terakhir dan pastikan urine tersebut urine pasien.
Urin merupakan sampel yang representatif untuk pendeteksian narkoba dan metabolitnya,
cara ini tidak menyakiti, urin memiliki kadar narkoba dan metabolitnya tinggi sebaliknya hanya
dalam waktu singkat dalam darah. Urin harus jernih (sentrifus jika keruh), tanpa pengawet.
Penyimpanan dalam cawan, tabung plastik/gelas yang kering dan bersih. Pada 2-80C stabil 48
jam, -20C stabil >48 jam (Elvira SD, 2013).
Cara Kerja & Interpretasi Hasil
1. Deteksi Tunggal Narkoba dan Metabolitnya
Biarkan sampel dan reagennya mencapai temperatur ruang. Jangan membuka kemasan
reagen dan sampel sebelum siap dikerjakan, tidak menggunakan reagen yang telah melebihi
tanggal kadaluwarsa. Teteskan 5 tetes (200ul) urin pada zone sampel (sample well). Pada cara
stick, celupkan stick kedalam urin sampel dan tidak melebihi tanda batas bantalan (pad)
spreading layer (Warninghoff JC et al.,2009). Biarkan dalam temperatur kamar, hasil dibaca
pada 3-5 menit pertama, kemudian 3-5 menit kedua:

Hasil dikatakan positif, jika muncul hanya 1 garis pink di zone C.


Hasil dikatakan negatif, jika muncul 2 garis pink, satu di zone C dan lainnya di zoneT.
Hasil dikatakan invalid (rusak), jika tidak muncul garis pink di "C" dengan atau tanpa di

"T".
Untuk ini test diulang dengan card yang baru, dengan card pabrik lain atau konsul ke

dokter spesialis patologi klinik.


Hasil ragu-ragu (warna lamat-lamat atau tidak cocok dengan klinis), dikonfirmasi dengan
test konfirmasi.

Tabel 2.2 Perkiraan Waktu Deteksi Dalam Urine Beberapa Jenis Obat
13

Jenis obat
Amfetamine
Barbiturat

Lamanya waktu dapat dideteksi


2 hari
1 hari (kerja pendek)

Benzodiazepin
Kokain
Kodein
Heroin
Methadone
Morfin

3 minggu (kerja panjang)


3 hari
2-4 hari
2 hari
1-2 hari
3 hari
2-5 hari

Penunjang lain
Untuk menunjang diagnosis dan komplikasi dapat pula dilakukan pemeriksaan:

Laboratorium rutin darah,urin


EKG
EEG: pada pemeriksaan EEG, tidak ada pola yang khas.
Foto toraks
Dan lain-lain sesuai kebutuhan (HbsAg, HIV, Tes fungsi hati, Evaluasi Psikologik,
Evaluasi Sosial)

TATALAKSANA
a. Intoksikasi akut (over dosis)

Perbaiki dan pertahankan jalan nafas sebaik mungkin


Oksigenasi yang adekuat
Naloxone injeksi, dosis awal 0,4 2,0 mg IV (anak-anak 0,01 mg/kgBB)

Efek naloxane terlihat dalam 1 3 menit dan mencapai puncaknya pada 5-10 menit. Bila tidak
ada respon naloxane 2 mg dapat diulang tiap 5 menit hingga maksimum 10 mg. Naloxone efektif
untuk memperbaiki derjat kesadaran, depresi pernafasan, ukuran pupil. Pasien masih harus
diobservasi terhadap efek naloxone dalam 2-3 jam. Oleh karena duration of action yang pendek.
Untuk mencegah rekulensi efek opiat dapat diberikan infus naloxone 0,4-0,8 mg/jam hingga
gejala minimal (menghilang) (Warninghoff JC et al.,2009).
b. Intoksikasi kronis
Hospitalisasi
Hospitalisasi dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama ditujukan untuk:
14

1.
2.
3.
4.
5.

Terapi kondisi withdrawl


Terapi detoksifikasi
Terapi rumatan (maintenance)
Terapi komplikasi
Terapi aftercare
Dengan masuknya pasien adiksi ke RS, evaluasi medis fisik perlu mendapat prioritas.

Disamping pemeriksaan urine drug screen (untuk mengetahui apakah pasien menggunakan zat
lain yang tidak diakuinya), pemeriksaan laboratorium rutin (termasuk fungsi faal hati, ginjal,
danjantung), juga dilakukan foto thorak. Terapi detoksifikasi bertujuan agar pasien memutuskan
penggunaan zatnya dan mengembalikan kemampuan kognitifnya. Tidak ada bentuk terapi lain
yang harus dilakukan sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai. Tujuan hospitalisasi
lainnya adalah membantu pasien agar dapat mengidentifikasi konsekwensi yang diperoleh
sebagai akibat penggunaan zat dan memahami resikonya bila terjadi relaps. Dari segi mental,
hospitalisasi membatu mengendalikan suasana perasaannya seperti depressi, paranoid, quilty
feeling karena penyesalan perbuatannya dimasa lalu, destruksi diri dan tindak kekerasan
(Warninghoff JC et al.,2009).
Hospitalisasi jangka pendek sangat disarankan bagi adiksi zat yang memang harus
mendapatkan perawatan karena kondisinya. Selama perawatan jangka pendek, pasien
dipersiapkan untuk mengikuti terapi rumatan. Untuk kondisi adiksinya, pasien tidak pernah
disarankan untuk perawatan jangka panjang (Warninghoff JC et al.,2009).
c. Terapi Withdrawal Opioid
Withdrawal opioid tidak mengancam jiwa, tetapi berhubungan dengan gangguan
fisikologis dan distress fisik yang cukup berat. Kebanyakan pasien dengan gejala putus obat yang
ringan hanya membutuhkan lingkungan yang mendukung mereka tanpa memerlukan obat.
Klonidin dapat digunakan untuk mengurangi gejala putus obat dengan menekan perasaan
gelisah, lakrimasi, rhinorrhea dan keringat berlebihan. Dosis awal diberikan 0,1-0,2 mg tiap 8
jam. Kemudian dapat dinaikkan bila diperlukan hingga 0,8 1,2 mg/hari, selanjutnya dapat
ditappering off setelah 10-14 hari (Allen KM, 2010). Terapi non spesifik (simptomatik) yakni
(Allen KM, 2010) :
1.
2.
3.
4.
5.

Gangguan tidur (insomnia) dapat diberikan hipnotik sedatif


Nyeri dapat diberikan analgetik
Mual dan muntah dapat diberikan golongan metoklopamide
Kolik dapat diberikan antispasmolitika
Gelisah dapat diberikan antiansietas
15

6. Rhinorrhea dapat diberikan golongan fenilpropanolamin


Terapi detoksifikasi adiksi opioid
Metadon merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi adiksi opioid. Namun bila
dosis metadon diturunkan, kemungkinan relaps sering terjadi. Kendala lain adalah membutuhkan
waktu lama dalam terapi detoksifikasi, dan bila menggunakan opioid antagonis maka harus
menunggu gejala abstinensia selama 5-7 hari. Dosis metadon yang dianjurkan untuk terapi
detoksifikasi heroin (morfin) adalah 2-3 x 5-10 mg perhari peroral. Setelah 2-3 hari stabil dosis
mulai ditappering off dalam 1-3 minggu. Buprenorphine dosis rendah (1,5-5 mg sublingual
setiap 2-3 x seminggu) dilaporkan lebihefektif dan efek withdrawl lebih ringan dibandingkan
metadone. Terapi alternatif lain yang disarankan adalah rapid detoxification yang mempersingkat
waktu terapi deteksifikasi dan memudahkan pasien untuk segera masuk dalam terapi opiat
antagonis. Jenis teknik rapid deteksifikasi antara lain klinidin naltrexon (Allen KM, 2010).
Terapi rumatan (maintenance) adiksi opioid
Metadon dan Levo alfa acetyl;methadol (LAAM) merupakan standar etrapi rumatan
adiksi opioid. Metadon diberikan setiap hari, sedangkan LAAM hanya 3 kali seminggu.
Pemberian metadon dan LAAM pada terapi rumatan sangat membantu menekan perilaku
kriminal. Untuk terapi maintenance, dosis metadon dapat ditingkatkan (biasanya 40-100
mg/hari). Untuk menjaga pasien tetap menyenangkan dan diturunkan secara perlahan-lahan.
Buprenorphine dapat pul adigunakan sebagai terapi rumatan dengan dosis antara 2 mg-20
mg/hari. Naltrexone digunakan untuk adiksi opioid yang mempunyai motivasi tinggi untuk
berhenti. Naltrexone diberikan setiap hari 50-100 mg peroral untuk 2 3 kali seminggu (Allen
KM, 2010).
Terapi after care
Meliputi upaya pemantapan dalam bidang fisik, mental, keagamaan, komunikasiinteraksi sosial,edukasional, bertujuan untuk mencapai kondisi perilaku yang lebih baik dan
fungsi yang lebih baik dari seorang mantan penyalahguna zat. Peranan keluarga pada saat ini
sangat diperlukan (Allen KM, 2010).
2.5

AMFETAMIN

DEFINISI
Amfetamin adalah suatu stimulan dan menekan nafsu makan. Amfetamin menstimulasi
sistem saraf pusat melalui peningkatan zat-zat kimia tertentu di dalam tubuh. Hal ini
16

menyebabkan terjadinya peningkatan heart rate dan tekanan darah, menekan nafsu makan serta
berbagai efek yang lain. Penggunaan amfetamin dengan suatu kelainan psikiatri berhubungan
dengan ketergantungan dan penyalahgunaannya (Sadock BJ et al.,2010).
Amfetamin adalah kelompok narkoba yang dibuat secara sintetis dan akhir-akhir ini
menjadi populer di Asia Tenggara. Amfetamin biasanya berbentuk bubuk putih, kuning atau
coklat dan kristal kecil berwarna putih. Cara memakai amfetamin yang paling umum adalah
dengan menghirup asapnya. Termasuk dalam kelainan yang disebabkan oleh amfetamin atau zat
yang mirip amfetamin antara lain intoksikasi amfetamin, gangguan akibat penghentian
penggunaan amfetamin, kelainan psikosis dengan delusi dan halusinasinyang disebabkan oleh
amfetamin, delirium karena intoksikasi amfetamin, kelainan mood yang disebabkan oleh
amfetamin, gangguan cemas karena penggunaan amfetamin, gangguan tidur, dan disfungsi
seksual (Sadock BJ et al.,2010).
EPIDEMIOLOGI
National Household Survey and Drug Abuse (NHSDA) melporkan pada tahun 1997
terdapat 4,5% dari orang yang berusia 12 tahun atau lebih menggunakan stimulan bukan atas
indikasi medis, hal ini menunjukkan peningkatan yang drastic dari pada tahun sebelumnya.
Persentasi yang paling tinggi setelah penggunaan dalam 1 tahun (1,5%) antara umur 18-25 tahun,
kemudian diikuti oleh umur 12-17 tahun. Sample ini tidak cukup luas untuk mendeteksi
peningkatan dalam penggunaan amfetamin ini disesuaikan dengan data dari ruang emergensi
untuk keracunan yang berkaitan dengan amfetamin atau program tes panghentian obat (Sadock
BJ et al.,2010).
Survei dua populasi digunakan sebagai kriteria dianostik yang dapat diterima untuk
mengukur besernya penyalahgunaan dan ketergantungan yaitu studi Epidemiologic Catchment
Area (ECA). ECA melaporkan kombinasi kategori antara ketergantungan dan penyalahgunaan
amfetamin dan obat yang mirip amfetamin, yaitu: prevalensi 1 bulan, 6 bulan, dan seumur hidup
berturut-turut 0,1; 0,2; dan 1,7 persen. Rata-rata ketergantungan seumur hidup untuk umur 15-54
tahun yaitu 1,7%; 15% responden memiliki kebiasaan penggunaan stimulant tanpa indikasi
medis. Diantara yang dilaporkan tanpa indikasi medis 11% ditemukan kriteria ketergantungan
(Sadock BJ et al.,2010).
ETIOLOGI

17

Ketergantungan obat, termasuk amfetamin dan zat yang mirip anfetamin dipandang
sebagai suatu hasil dari sebuah proses interaksi dari banyak faktor (social, psikologi, kultural,
dan biologi) yang mempengaruhi kebiasaan penggunaan obat. Proses ini pada beberapa kasus,
kehilangan

fleksibilitas

yang

berkaitan

dengan

penggunaan

obat

merupakan

tanda

ketergantungan obat. Tetapi, tidak semua orang sama tergantung bagaimana biasanya efek dari
obat yang diberikan apakah sama atau dari kesamaan faktor yang dipengaruhi. Faktor
farmakologi diyakini sangat penting dalam kelanjutan penggunaan dan menuju ke arah
ketergantungan dari obat tersebut. Amfetamin memiliki potensi untuk meningkatkan mood dan
efek

euforigenik

pada

manusia

dan

efek

menguatkan

pada

hewan

percobaan.

Faktor sosial, kultural, dan ekonomi merupakan faktor penentu yang sangat berpengaruh
terhadap alasan pemakaian, pemakaian yang berkelanjutan, dan relaps. Pemakaian yang
berlebihan lebih jauh berkaitan dengan ketersediaan amfetamin atau obat yang mirip amfetamin
(Katzung BG, 2014).
Metabolisme amfetamin dan metamfetamin terutama oleh hati, tapi banyak yang dihirup
diekskresikan tanpa diubah dahulu melalui urin. Waktu paruh amfetamin dan metamfetamin akan
sangat dipersingkat jika urin dalam keadaan asam. Waktu paruh amfetamin pada dosis terapi
berkisar antara 7-19 jam dan untuk metamfetamin sedikit lebih panjang. Setelah dosis toksik,
perbaikan dari gejala mungkin akan lebih lama (sampai beberapa hari) dengan amfetamin
dibandingkan

kokain,

tergantung

pada

pH

urine.

Toleransi dan sensitisasi dari kebanyakan pengguna amfetamin untuk terapi memerlukan dosis
yang semakin tinggi untuk memperoleh efek euforik yamg sama, pada mereka terjadi
peningkatan toleransi. Sebagian toleransi meningkatkan efek kardiovaskular amfetamin
(Katzung BG, 2014).
Penggunaan amfetamin yang kronik yang memiliki status paranoid dan psikosis toksik
biasanya meningkat yang diyakini sebagai fenomena akibat peningkatan sentisisasi. Bagi yang
memiliki riwayat psikosis mugkin akan sangat cepat untuk mendapatkan serangan berikutnya.
Mekanisme perubahan kronik SSP terhadap pengaruh amfetamin terlihat dalam beberapa
perubahan adaptif dari otak. Sebagai contoh, stimulasi reseptor dopamine mengaktifkan cAMP
pada neuron di dalam nucleus dan striatum. Aktivasi ini menginisiasi suatu rantai intraseluler
menghasilkan perubahan ekspresi dari gen, sebagian dimediasi oleh fosforilasi dari faktor
transkripsi cAMP Response Element Binding Protein (CREB). Salah satu kerja dari CREB
18

adalah meningkatkan tarnskripsi dari dynorphin dalam RNA. Fungsi ini sangat penting karena
dynorphin adalah suatu agonis selektif k-opioid, agonis k-resetor menghambat pelepasan
dopamine. Akson kolateral dari neuron pada nucleus melepaskan dynorphin pada k-reseptor yang
berada pada dopaminergik terminal, dengan begitu menghambat aktivitas dopaminergik. Tetapi
apabila penggunaan amfetamin dihentikan dan pelepasan dopamine belebihan terhenti,
kompensasinya level yang tinggi dari dynorphin menetap dan kemudian akan menghilangkan
efek dopaminergik, ini menyebabkan terjadinya anhedonia dan disforia akibat withdrawal
amfetamin (Katzung BG, 2014).
Apalagi neuron dari nukleus memperlihatkan penurunan konsentrasi dari protein Gi
(dengan menghambat adenil siklase) dan peningkatan dari cAMP-dependent protein kinase.
Kedua perubahan ini dapat bertahan beberapa minggu dan akan terjadi peningkatan regulasi jalur
cAMP. Perubahan yang menetap dari jalur cAMP tampak untuk menyajikan suatu mekanisme
untuk efek pertahanan dari stimulant. Pemberian berulang amfetamin menyebabkan induksi dan
akumulasi protein mirip Fos, antigen kronik yang terkat pada Fos (FRAs)(dimediasi oleh
fosforilasi dari CREB). Kronik FRAs ini dapa bertahan lama dan berbeda dari protein yang mirip
dengan Fos yang tampak setelah pemakaian obat sekali. Selain itu perubahan persisten dari
transkripsi gen merubah morfologi neuron. Transmisi glutamate, yang berfungsi penting
untuksiklus modulasi dan efek sensitisasi sikap terhadap kokain, tidak tampak untuk menolak
amfetamin pada keadaan ini. Perbedaan ini mungkin penting, pembeda perubahan adaptif
diinduksi oleh dua kelas stimulant. Obat yang mirip amfetamin melepaskan norepinefrin dan
serotonin. Beberapa diantara efeknyanya yang sama dengan toksisitas amfetamin, khususnya
toksisitas kardiovaskular (Katzung BG, 2014).
MEKANISME KERJA
Amfetamin bekerja merangsang susunan saraf pusat melepaskan katekolamin (epineprin,
norepineprin, dan dopamin) dalam sinaps pusat dan menghambat dengan meningkatkan rilis
neurotransmiter entecholamin, termasuk dopamin. Sehingga neurotransmiter tetap berada dalam
sinaps dengan konsentrasi lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama dari biasanya. Semua
sistem saraf akan berpengaruh terhadap perangsangan yang diberikan (Katzung BG, 2014).
Efek klinis amfetamin akan muncul dalam waktu 2-4 jam setelah penggunaan. Senyawa
ini memiliki waktu paruh 4-24 jam dan dieksresikan melalui urin sebanyak 30% dalam bentuk
19

metabolit. Metabolit amfetamin terdiri dari p-hidroksiamfetamin, p-hidroksinorepedrin, dan


penilaseton (Katzung BG, 2014).
Karena waktu paruhnya yang pendek menyebabkan efek dari obat ini relatif cepat dan
dapat segera terekskresikan, hal ini menjadi salah satu kesulitan tersendiri untuk pengujian
terhadap pengguna, bila pengujian dilakukan lebih dari 24 jam jumlah metabolit sekunder yang
di terdapat pada urin menjadi sangat sedikit dan tidak dapat lagi dideteksi dengan KIT (Katzung
BG, 2014).
GAMBARAN KLINIK
Pengaruh amfetamin terhadap pengguna bergantung pada jenis amfetamin, jumlah yang
digunakan, dan cara menggunakannya. Dosis kecil semua jenis amfetamin akan meningkatkan
tekanan darah, mempercepat denyut nadi, melebarkan bronkus, meningkatkan kewaspadaan,
menimbulkan euforia, menghilangkan kantuk, mudah terpacu, menghilangkan rasa lelah dan rasa
lapar, meningkatkan aktivitas motorik, banyak bicara, dan merasa kuat (Sadock BJ et al.,2010).
Dosis sedang amfetamin (20-50 mg) akan menstimulasi pernafasan, menimbulkan tromor
ringan, gelisah, meningkatkan aktivitas montorik, insomnia, agitasi, mencegah lelah, menekan
nafsu makan, menghilangkan kantuk, dan mengurangi tidur. Penggunaan amfetamin berjangka
waktu lama dengan dosis tinggi dapat menimbulkan perilaku stereotipikal, yaitu perbuatan yang
diulang terus-menerus tanpa mempunyai tujuan, tiba-tiba agresif, melakukan tindakan kekerasan,
waham curiga, dan anoneksia yang berat (Elvira SD, 2013).
Efek Simpang
Fisik. Penyalahgunaan amfetamin dapat menyebabkan efek simpang, yang paling serius
mencakup efek serebrovaskular, kardiak, dan gastrointestinal. Di antara kondisi spesifik yang
mengancam nyawa adalah infark miokardium, hipertensi berat, penyakit serebrovaskular, dan
kolitis iskemia. Gejala neurologis yang berkepanjangan, dari kedutan, tetani, kejang, sampai
koma dan kematian, dikaitkan dengan amfetamin dosis tinggi yang terus meningkat. Penggunaan
amfetamin intravena dapat menularkan human immunodeficiency virus dan hepatitis serta
menyebabkan perkembangan abses paru, endokarditis, dan angiitis nekrotikans lebih lanjut.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa penyalahguna amfetamin hanya mengetahui sedikit-atau
tidak peduli-tentang praktik seks yang aman serta penggunaan kondom. Efek simpang yang tidak
mengancam nyawa mencakup semburat merah, pucat, sianosis, demam, sakit kepala, takikardia,
20

palpitasi, mual, muntah, bruksisme (gigi gemeretuk), sesak nafas, tremor, dan ataksia. Wanita
hamil yang menggunakan amfetamin sering melahirkan bayi dengan berat lahir rendah, lingkar
kepala kecil, usia kehamilan dini, dan retardasi pertumbuhan (Sadock BJ et al.,2010).
Psikologis. Efek simpang psikologis yang disebabkan oleh penggunaan amfetamin
mencakup kegelisahan, disforia, insomnia, iritabilitas, sikap bermusuhan, dan kebingungan
Konsumsi amfetamin juga dapat menginduksi gejala gangguan ansietas seperti gangguan
ansietas menyeluruh dan gangguan panik serta ide rujukan, waham paranoid, dan halusinasi
(Sadock BJ et al.,2010).
DIAGNOSIS
Ketergantungan Amfetamin dan Penyalahgunaan Amfetamin
Kriteria DSM-V untuk ketergantungan dan penyalahgunaan dapat diterapkan pada
amfetamin dan zat terkait. Ketergantungan amfetamin dapat mengakibatkan penurunan
spiral yang cepat dari kemampuan seseorang untuk menghadapi kewajiban dan stres yang
berkaitan dengan keluarga dan pekerjaan. Seseorang yang menyalahgunakan amfetamin
membutuhkan dosis tinggi amfetamin yang semakin meningkat untuk memeroleh rasa tinggi
(high) yang biasa, dan tanda fisik penyalahgunaan amfetamin (contohnya penurunan berat
badan dan ide paranoid) hampir selalu timbul dengan diteruskannya penyalahgunaan
(American Psychiatric Association, 2013).
lntoksikasi Amfetamin
Sindrom intoksikasi kokain (menghalangi reuptake dopamin) dan amfetamin
(menyebabkan pelepasan dopamin) sifatnya serupa. Oleh karena penelitian tentang
penyalahgunaan dan intoksikasi kokain dilakukan lebih teliti dan mendalam dibanding pada
amfetamin, literatur klinis tentang amfetamin sangat dipengaruhi temuan klinis pada
penyalahgunaan kokain. Pada DSM-V, kriteria diagnosis intoksikasi amfetamin dan
intoksikasi kokain terpisah namun hampir sama. DSM-V merinci gangguan persepsi sebagai
gejala intoksikasi amfetamin. Bila tidak ada uji realitas yang intak, dipikirkan diagnosis
gangguan psikotik terinduksi amfetamin dengan awitan saat intoksikasi. Gejala intoksikasi
amfetamin sebagian besar pulih setelah 24 jam dan umumnya akan hilang sepenuhnya
setelah 48 jam (American Psychiatric Association, 2013).
Keadaan Putus Amfetamin
Setelah intoksikasi amfetamin, terjadi uash dengan gejala ansietas, gemetar, mood
disforik, letargi, kelelahan, mimpi buruk disertai tidur dengan rapid eye moventent yang
berulang), sakit kepala, berkeringat hebat, kram otot, kram perut, dan rasa lapar yang tak
21

terpuaskan. Gejala putus zat biasanya memuncak dalam 2 sampai 4 hari dan hilang dalam I
minggu. Gejala putus zat yang paling serius adalah depresii yang terutama dapat menjadi
berat setelah penggunaan amfetamin dosis tinggi terus-menerus dan dapat dikaitkan dengan
ide atau perilaku bunuh diri. Kriteria diagnosis DSM-V untuk keadaan putus amfetamin
merinci bahwa mood disforik dan perubahan fisiologis diperlukan untuk diagnosis tersebut
(American Psychiatric Association, 2013).
Delirium pada lntoksikasi Amfetamin
Delirium yang disebabkan oleh penggunaan amfetamin biasanya muncul akibat
amfetamin penggunaan dosis tinggi atau terus-menerus sehingga deprivasi tidur
memengaruhi tampilan klinis. Kombinasi amfetamin dengan zat lain serta penggunaan
amfetamin oleh orang dengan kerusakan otak yang,telah ada sebelumnya juga dapat
menyebabkan timbulnya de lirium. Tidak jarang mahasiswa universitas yang menggunakan
amfetamin untuk belajar kilat menghadapi ujian menunjukkan delirium jenis ini (Sadock BJ
et al.,2010).
Gangguan Psikotik Terinduksi Amfetamin
Kemiripan klinis psikosis terinduksi amfetamin dengan skizofrenia paranoid telah
memicu penelitian intensif tentang neurokimiawi psikosis terinduksi amfetamin untuk
menguraikan patofisiologi skizofrenia paranoid. Tanda gangguan psikotik terinduksi
amfetamin adalah adanya paranoia. Gangguan psikotik terinduksi amfetamin dapat
dibedakan dengan skizofrenia paranoid dengan sejumlah karakteristik pembeda yang
ditemukan pada gangguan psikotik terinduksi amfetamin, yaitu adanya predominasi
halusinasi visual, afek yang secara umum serasi, hiperaktivitas, hiperseksualitas,
kebingungan dan inkoherensi, serta sedikit bukti gangguan proses pikir (seperti asosiasi
longgar). Pada beberapa studi, peneliti juga mencatat bahwa meski gejala positilgangguan
psikotik terinduksi amfetamin dan skizofrenia mirip, gangguan psikotik terinduksi
amfetamin biasanya tidak memiliki af'ek mendatar dan alogia seperti pada skizofrenia.
Namun, secara klinis, gangguan psikotik terinduksi amf'etamin yang akut mungkin tidak
dapat dibedakan dengan skizofrenia, dan hanya resolusi gejala dalam beberapa hari atau
temuan positif pada uji tapis zat dalam urin yang akhirnya akan menunjukkan diagnosis
yang tepat. Terapi pilihan untuk gangguan psikotik terinduksi amfetamin adalah penggunaan
.jangka pendek obat antipsikotik seperti haloperidol (Haldol) (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan Mood Terinduksi Amfetamin
22

Awitan gangguan mood terinduksi amfetarnin dapat terjadi saat intoksikasi atau putus
zat. Umumnya, intoksikasi rnenimbulkan gambaran manik atau mood campuran, sementara
keadaan putus zat menimbulkan gambaran mood depresif (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan Ansietas Terinduksi Amfetamin
Amfetamin, seperti kokain, clapat menginduksi gejala yang serupa dengan yang
terlihat pada gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik, dan terutama, gangguan tbbia.
Awitan gangguan ansietas terinduksi amfetamin juga dapat terjadi saat inloksikasi atau putus
zat (Sadock BJ et al.,2010).
Disfungsi Seksual Terinduksi Amfetamin
Amfetamin sering digunakan untuk meningkatkan pengalaman seksual; namun, dosis
tinggi dan penggunaan jangka panjang dikaitkan dengan gangguan ereksi dan disfungsi
seksual lain. Disfungsi ini diklasifikasikan dalam DSM-V sebagai disfungsi seksual
terinduksi amletamin (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan Tidur Terinduksi Amfetamin
Intoksikasi amfetamin dapat mer.rimbulkan insomnia dan deprivasi tidur, sementara
orang yang sedang mengalami keadaan putus amfetamin dapat mengalami hipersomnolen
dan mimpi buruk (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan yang Tak-Tergolongkan
Jika suatu gangguan terkait amfetamin (atau lir-amfetamin) tidak memenuhi kriteria
satu atau lebih kategori yang didiskusikan di atas, gangguan tersebut dapat didiagnosis
sebagai gangguan terkait amfetamin yang tak-tergolongkan (Sadock BJ et al.,2010).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (Elvira SD, 2013) :

Elektrolit : akut bisa memberikan gambaran hipokalemi sedangkan pada intoksikasi


amfetamin yang berat memberikan gambaran hiperkalemi.

Glukosa darah : pada pemeriksaan gula darah memberikan gambaran hipoglikemi

Fungsi ginjal : gagal ginjal berhubungan dengan rhabdomyolisis dan trombosis arteri
ginjal pernah dilaporkan pada penyalahgunaan amfetamin.

Urinalisis untuk skrining amfetamin atau zat adiktif lain yang digunakan bersama-sama,

Tes kehamilan : semua wanita yang berada dalam usia subur sbaiknya dilkukan tes
kehamilan

23

Fungsi hati : kerusakan hati mungkin terjadi pada intoksikasi akut. Sebagai tambahan,
pasien yang menggunakan amfetamin beresiko untuk terinfeksi hepatitis, yang pada
akirnya bias menyebabkan perubahan mental.

Jumlah sel darah : anemia, lekositosis, dan leucopenia

Toksikologi : Urine drug screens : Benzoylecogonine (bentuk metabolic kokain) bisa


ditemukan pada urin 60 jam setelah menggunakan amfetamin. Pada pengguna amfetamin
yang berat bisa ditemukan sampai 22 hari.

Enzim jantung : pada pengguna amfetamin terdapat angka prevalensi yang tinggi untuk
terjadinya myocardial infection, pasien yang dating dengan nyeri dada dan riwayat
penggunaan amfetamin bisa dipikirkan untuk melakukan pemeriksaan enzim jantung.

2. Gambaran Radiologi :

Chest x-Ray

CT-Scan.

3. Tes lain : Analisa gas darah, ECG


TATALAKSANA
Penatalaksanaan intoksikasi amfetamin (Sadock BJ et al.,2010) :
a. Bila suhu badan naik, berikan kompres dingin, minum air dingin, atau selimut
hipotermik.
b. Bila kejang, berikan diazepam 10-30 mg per oral atau parenteral; atau klordiazepoksid
10-25 mg per oral secara perlahan-lahan dan dapat diulang setiap 15-20 menit.
c. Bila tekanan darah naik, berikan obat anti hipertensi.
d. Bila terjadi takikardma, berikan beta-blocker, seperti propanolol, yang sekaligus juga
untuk menurunkan tekanan darah.
e. Untuk mempercepat ekskresi amfetamin, lakukan asidifikasi air seni dengan memberi
amonium klorida 500 mg per oral setiap 3-4 jam.
f. Bila timbul gejala psikosis atau agitasi, beri halopendol 3 kali 2-5 mg.
Penatalaksanaan putus amfetamin (Sadock BJ et al.,2010) :
a. Rawat di tempat yang tenang dan biarkan pasien tidur dan makan sepuasnya.
b. Waspada terhadap kemungkinan timbulnya depresi dengan ide bunuh diri.
c. Dapat diberikan anti depresi.

24

Terapi pada PsikosisAkibat Penggunaan Amfetamin (Sadock BJ et al.,2010).


Psikosis akibat penggunaan amfetamin sangat mirip dengan skizofrenia paranoid. Pada
psikosis akibat penggunaan amfetamin dapat diberikan klorpromazin tiga kali 50-I 50 mg
per oral atau 25-50 mg intra muskular yang dapat diulang setiap empat jam. Dapat juga
dipakai halopenidol tiga kali 1-5 mg.
KOMPLIKASI
Penyalahgunaan amfetamin dalam kurun waktu yang cukup lama atau dengan dosis yang
tinggi dapat mengakibatkan timbul banyak masalah diantaranya (Sadock BJ et al.,2010) :

Psychosis (pikiran menjadi tidak nyata, jauh dari realitas)

Kelainan psikologis dan tingkah laku

Pusing-pusing

Perubahan mood atau mental

Kesulitan bernapas

Kekurangan nutrisi

Gangguan jiwa
Dalam keadaan keracunan akut, pengguna amfetamin pada umumnya merasakan

euforia, keresahan, agitasi, dan cemas berlebihan. Kira-kira 5 12% pengguna mengalami
halusinasi, keinginan untuk bunuh diri, dan kebingungan. Sebanyak 3% pengguna
amfetamin mengalami kejang-kejang (Sadock BJ et al.,2010).
2.6

ALKOHOL

DEFINISI
Alkohol adalah salah satu dari sekelompok senyawa organik yang dibentuk dari
hidrokarbon-hidrokarbon oleh pertukaran satu atau lebih gugus hidroksil dengan atom-atom
hidrogen dalam jumlah yang sama; istilah ini meluas untuk berbagai hasil pertukaran yang
bereaksi netral dan mengandung satu atau lebih gugus alkohol (Klagenberg KF et al., 2007).
EPIDEMIOLOGI
Kira-kira 85% dari semua penduduk Amerika Serikat pernah menggunakan minuman
yang mengandung alkohol sekurang-kurangnya satu kali dalam hidupnya. Dan kira-kira 51%

25

dari semua orang dewasa di Amerika Serikat merupakan pengguna alkohol saat ini (American
Psychiatric Association, 2013).
ETIOLOGI
Riwayat Masa Kanak-kanak
Beberapa faktor telah teridentifikasi dalam riwayat masa kanak-kanak dari seseorang
yang memiliki gangguan berhubungan dengan alkohol. Anak-anak beresiko yang memiliki
gangguan berhubungan dengan alkohol yaitu jika satu atau lebih orang tuanya adalah pengguna
alkohol (Allen KM, 2010).
Pada riwayat masa kanak-kanak terdapat gangguan defisit-atensi / hiperaktivitas atau
gangguan konduksi atau keduanya yang meningkatkan resiko anak untuk memiliki gangguan
berhubungan dengan alkohol pada masa dewasanya. Gangguan kepribadian khususnya gangguan
kepribadian antisosial juga merupakan predisposisi seseorang kepada suatu gangguan
berhubungan dengan alkohol (Allen KM, 2010).
Faktor Psikoanalisis
Teori psikoanalisis tentang gangguan berhubungan dengan alkohol telah dipusatkan pada
hipotesis superego yang sangat bersifat menghukum dan fiksasi pada stadium oral dari
perkembangan psikoseksual (Sadock BJ et al.,2010).
Menurut teori psikoanalisis, orang dengan superego yang keras yang bersifat menghukum
diri sendiri berpaling ke alkohol sebagai cara menghilangkan stres bawah sadar mereka.
Kecemasan pada orang yang terfiksasi pada stadium oral mungkin diturunkan dengan
menggunakan zat seperti alkohol melalui mulutnya. Beberapa dokter psikiatrik psikodinamika
menggambarkan kepribadian umum dari seseorang dengan gangguan berhubungan dengan
alkohol adalah pemalu, terisolasi, tidak sabar, iritabel, penuh kecemasan, hipersensitif, dan
terrepresi secara seksual (Sadock BJ et al.,2010).
Aforisme psikoanalisis yang umum adalah bahwa superego dapat larut dalam alkohol.
Pada tingkat yang kurang teoritis, alkohol dapat disalahgunakan oleh beberapa orang sebagai
cara untuk menurunkan ketegangan, kecemasan, dan berbagai jenis penyakit psikis. Konsumsi
alkohol pada beberapa orang juga menyebabkan rasa kekuatan dan meningkatnya harga diri
(Sadock BJ et al.,2010).
Faktor Sosial dan Kultural

26

Beberapa lingkungan sosial menyebabkan minum yang berlebihan. Asrama perguruan


tinggi dan basis militer adalah dua contoh lingkungan dimana minum berlebihan dipandang
normal dan perilaku yang diharapkan secara sosial. Sekarang ini, perguruan tinggi dan
universitas mencoba mendidik mahasiswanya tentang resiko kesehatan dari minum alkohol yang
berlebihan (Sadock BJ et al.,2010).
Faktor Perilaku dan Pelajaran
Sama seperti faktor kultural, faktor perilaku dan pelajaran juga dapat mempengaruhi
kebiasaan minum, demikian juga kebiasaan didalam keluarga, khususnya kebiasaan minum pada
orang tua dapat mempengaruhi kebiasaan minum. Tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa,
walaupun kebiasaan minum pada keluarga memang mempengaruhi kebiasaan minum pada anakanaknya, kebiasaan minum pada keluarga kurang langsung berhubungan dengan perkembangan
gangguan berhubungan dengan alkohol seperti yang dianggap sebelumnya, walaupun hal
tersebut memang memiliki peranan penting.
Dari sudut pandang perilaku, ditekankan pada aspek pendorong positif dari alkohol,
alkohol yang dapat menimbulkan perasaan sehat dan euforia pada seseorang. Selain itu,
konsumsi alkohol dapat menurunkan rasa takut dan kecemasan yang dapat mendorong seseorang
untuk minum lebih lanjut (Sadock BJ et al.,2010).
Faktor Genetika dan Biologi Lainnya
Data yang kuat menyatakan adanya suatu komponen genetika pada sekurangnya suatu
bentuk gangguan berhubungan dengan alkohol. Laki-laki lebih banyak menggunakan alkohol
daripada wanita. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan sanak saudara
tingkat pertama yang terpengaruh oleh gangguan berhubungan dengan alkohol adalah 3-4 kali
lebih mungkin memiliki gangguan berhubungan dengan alkohol daripada orang yang tidak
memiliki sanak saudara tingkat pertama yang terpengaruh dengan alkohol. Pada suatu penelitian
ditemukan bahwa gangguan terkait alkohol lebih tinggi resikonya pada kembar monizygot
daripada dizygot (Elvira SD, 2013).
EFEK ALKOHOL
Istilah "alkohol" ditunjukkan pada sebagian besar molekul organik yang memiliki gugus
hidroksil (-OH) yang melekat pada atom karbon jenuh. Etil alkohol juga disebut sebagai etanol
merupakan bentuk alkohol yang umum, sering kali disebut alkohol minuman, etil alkohol

27

digunakan dalam minuman. Rumus kimia untuk etanol adalah CH 3-CH2-OH (Klagenberg KF et
al., 2007).
Karakteristik rasa dan bau berbagai muniman yang mengandung alkohol tergantung
kepada metode pembuatannya, yang menghasilkan berbagai senyawa dalam hasil akhirnya.
Senyawa tersebut termasuk metanol, butanol, aldehida, fenol, tannins, dan sejumlah kecil
berbagai logam. Walaupun senyawa ini dapat menyebabkan suatu efek psikoaktif yang berbeda
pada berbagai minuman yang mengandung alkohol, perbedaan tersebut dalam efeknya adalah
minimal dibandingkan dengan efek etanol itu sendiri (Klagenberg KF et al., 2007).
Absorpsi
Kira-kira 10% alkohol yang dikonsumsi diabsorpsi di lambung, dan sisanya di usus kecil.
Konsentrasi puncak alkohol didalam darah dicapai dalam waktu 30-90 menit, biasanya dalam
45-60 menit, tergantung apakah alkohol diminum saat lambung kosong, yang meningkatkan
absorbsi atau diminum bersama makanan yang memperlambat absorbs (Klagenberg KF et al.,
2007).
Waktu untuk mencapai konsentrasi puncak dalam darah juga merupakan suatu faktor
selama mana alkohol dikonsumsi, waktu yang singkat menurunkan waktu untuk mencapai
konsentrasi puncak. Absorbsi paling cepat 15-30% (kemurnian -30 sampai -60). Tubuh memiliki
alat pelindung terhadap masuknya alkohol. Sebagai contoh, jika konsentrasi alkohol menjadi
terlalu tinggi didalam lambung, mukus akan disekresikan dan katup pilorik ditutup, hal tersebut
akan memperlambat absorbsi dan menghalangi alkohol masuk ke usus kecil. Jadi, sejumlah besar
alkohol dapat tetap tidak terabsorbsi didalam lambung selama berjam-jam. Selain itu,
pilorospasme sering kali menyebabkan mual dan muntah (Klagenberg KF et al., 2007).
Jika alkohol telah diabsorbsi ke dalam aliran darah, alkohol didistribusikan ke seluruh
jaringan tubuh. Jaringan yang mengandung proporsi air yang tinggi memiliki konsentrasi alkohol
yang tinggi. Efek intoksikasi menjadi lebih besar jika konsentrasi alkohol didalam darah tinggi
(Klagenberg KF et al., 2007).

Metabolisme
Kira-kira 90% alkohol yang diabsorbsi dimetabolisme di hati, sisanya dieksresikan tanpa
diubah oleh ginjal dan paru-paru. Kecepatan oksidasi di hati konstan dan tidak tergantung pada
kebutuhan energi tubuh. Tubuh mampu memetabolisme kira-kira 15 mg/dl setiap jam dengan
rentan berkisar antara 10-34 mg/dl per jamnya (Klagenberg KF et al., 2007).
28

Alkohol dimetabolisme dengan bantuan 2 enzim yaitu alkohol dehidrogenase (ADH) dan
aldehida dehidrogenase. ADH mengkatalisasi konversi alkohol menjadi asetilaldehida yang
merupakan senyawa toksik. Aldehida dehidrogenase mengkatalisasi konversi asetaldehida
menjadi asam asetat. Aldehida dehidrogenase diinhibisi oleh disulfiram ( An-tabuse), yang sering
digunakan dalam pengobatan gangguan terkait alkohol (Klagenberg KF et al., 2007).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada wanita memiliki ADH yang lebih rendah
dari pada laki-laki, yang mungkin menyebabkan wanita cenderung menjadi lebih terintoksikasi
dibanding laki-laki setelah minum alkohol dalam jumlah yang sama. Penurunan fungsi enzim
yang memetabolisme alkohol akan menyebabkan mudahnya seseorang terjadi intoksikasi alkohol
dan gejala toksik (Klagenberg KF et al., 2007).
Efek pada otak
Biokimiawi
Teori yang telah lama menunjukkan bahwa efek biokimiawi alkohol terjadi pada
membran neuron. Sejumlah hipotesis mendukung bahwa alkohol akan menimbulkan efek karena
ikatannya dengan membran yang menyebabkan meningkatnya fluiditas membran pada
penggunaan jangka pendek. Tetapi, pada penggunaan jangka panjang teori menyatakan bahwa
membran akan menjadi kaku. Fluiditas membran penting untuk dapat berfungsi sebagai reseptor,
saluran ion, dan protein fungsional pada membran lainnya secara normal. Secara spesifik, suatu
penelitian menunjukkan bahwa efektivitas saluran alkohol yang berhubungan dengan reseptor
asetilkolin nikotinik, serotonin (5-hydroxytryptamine) tipe 3 (5-HT3) dan GABA tipe A (GABA
A) diperkuat oleh alkohol, sedangkan aktivitas saluran ion yang berhubungan dengan reseptor
glutamat dan saluran kalsium gerbang voltasi (voltage-gated calcium channel) yang yang akan di
inhibisi (Klagenberg KF et al., 2007).
Efek perilaku
Hasil akhir aktivitas molekular adalah bahwa alkohol memiliki fungsi depresan yang
sangat mirip dengan barbiturat dan benzodiazepin. Pada konsentrasi 0,05% alkohol didalam
darah, maka pikiran, pertimbangan, dan pengendalian akan mengalami kemunduran dan sering
kali terputus. Pada konsentrasi 0,1 aksi motorik akan canggung. Pada konsentrasi 0,2% fungsi
seluruh daerah motorik menjadi terdepresi, bagian otak yang mengontrol perilaku emosional juga
terpengaruhi. Pada konsentrasi 0,3% seseorang biasanya mengalami konfusi dan dapat menjadi
stupor. Pada konsentrasi 0,4-0,5% dapat terjadi koma. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, pusat
29

primitif diotak yang mengontrol pernapasan dan kecepatan denyut jantung akan terpengaruhi dan
dapat terjadi kematian (Allen KM, 2010).
Efek fisiologis lain
Hati
Efek dari penggunaan alkohol yang utama adalah terjadinya kerusakan hati. Penggunaan
alkohol walaupun dalam jangka waktu yang pendek dapat menyebabkan akumulasi lemak dan
protein yang dapat menimbulkan perlemakan hati (fatty liver) yang pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya pembesaran hati (Klagenberg KF et al., 2007).
Sistem gastrointestinal
Meminum alkohol dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya
esofagitis, gastritis, aklorhidria, dan ulkus lambung. Perkembangan menjadi varises esofagus
dapat menyertai pada seseorang dengan penyalahgunaan alkohol yang berat, pecahnya varises
esofagus merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang sering menyebabkan perdarahan
bahkan kematian. Kadang-kadang juga dapat terjadi gangguan pada usus, pankreatitis,
insufisiensi pankreas, dan kanker pankreas. Asupan alkohol yang banyak dapat mengganggu
proses pencernaan dan absorbsi makanan yang normal. Sebagai akibatnya makanan yang
dikonsumsi dalam penyerapannya menjadi tidak adekuat (Klagenberg KF et al., 2007).
Sistem tubuh lain
Asupan alkohol yang signifikan dihubungkan dengan meningkatnya tekanan darah,
disregulasi lipoprotein dan trigliserida serta meningkatkan terjadinya infark miokardium dan
penyakit serebrovaskular. Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa alkohol dapat merugikan sistem
hemopoetik dan dapat meningkatkan insidensi kanker, khususnya kanker otak, leher, esofagus,
lambung, hati, kolon, dan paru-paru. Intoksikasi akut juga dapat menyebabkan hipoglikemia,
yang jika tidak cepat terdeteksi akan menyebabkan kematian mendadak pada orang yang
terintoksikasi (Klagenberg KF et al., 2007).
MANIFESTASI KETERGANTUNGAN DAN MASALAH ALKOHOLISME
a. Manifestasi sosial
Mungkin merupakan manifestasi yang paling sering, meliputi (Kemenkes RI, 2014);
- Permintaan surat keterangan medis
- Masalah perkawinan, perceraian, dan kekerasan domestik
- Masalah keuangan, terkucilkan, kecelakaan kerja
- Penyerangan publik atau mabuk dimuka publik
30

Penuntutan untuk perilaku kekerasan atau pelanggaran mengemudi, pelecehan dan

penganiayaan seksual atau pengangguran


b. Manifestasi klinis
Sekitar 80% pasien yang dirujuk akibat ketergantungan alkohol memiliki masalah medis
yang serius. Gejala putus obat umumnya timbul saat pasien sadar. Gambaran komplikasi
spesifik sangat bervariasi (Warninghoff JC et al.,2009);
- Gastrointestinal : hepatitis, sirosis, gastritis, perdarahan gastrointestinal, pankreatitis
- Kardiovaskuler : hipertensi ( menyebabkan meningkatkan kejadian penyakit kanker
-

mulut, esophagus, hati bahkan payudara)


Obstetri :sindrom alkohol fetus
Neurologis : sinkope, kejang, neuropati, status konfusional akut,

perdarahan

subdural, ensefalopati
- Muskuloskeletal : gout
c. Manifestasi psikiatrik (Sadock BJ et al.,2010).
- Depresi : semua bentuk depresi dapat dicetuskan oleh alkohol. Depresi sendiri dapat
menyebabkan alkoholisme dengan memacu orang untuk minum sebagai usaha untuk
-

mengurangi gejala-gejala depresi.


Ansietas : gejala sering muncul pada saat putus obat parsial. Seperti halnya depresi,
ansietas atau gangguan panik merupakan predisposisi konsumsi alkohol secara

berlebihan sebagai usaha mengurangi gejala


Perubahan kepribadian : penurunan standar kepekaan sosial dan perawatan diri

sendiri
Disfungsi seksual : impotensi, ejakulasi lama
Halusinasi : baik auditorik maupun visual biasanya selama putus obat tetapi dapat

pula terjadi tanpa gambaran delirium lainnya


Halusinasi alkoholik : halusinasi auditorik yang mengganggu tapi jarang dan terjadi
saat sadar.

Menurut Jellinek membagi progresifitas alkoholisme dalam 3 fase (Allen KM, 2010);
1. Fase pertama atau fase dini ditandai dengan bertambahnya toleransi terhadap alkohol,
amnesia, secara diam-diam menggak sekaligus meminum alkohol, merasa bersalah
karena meminum minuman beralkohol dan terhadap perilaku yang diakibatkannya.
2. Fase kedua atau fase krusial ditandai dengan hilangnya kendali terhadap kebiasaan
minum-minuman keras, perubahan kepribadian, kehilangan teman dan pekerjaan, dan
preokupasi untuk menjamin tersedianya minuman beralkohol.
3. Fase ketiga atau fase kronis ditandai dengan minum minuman beralkohol pada pagi hari,
pelanggaran terhadap standar etika, tremor atau gemetar dan halusinasi.

31

Progresifitas penyakit ini bergantung kepada banyak faktor diantaranya usia, zat
psikoaktif pilihannya, gender, dan predisposisi faali. Progresifitas adiksi lebih cepat pada remaja
daripada orang dewasa. Progresifitas pada perempuan lebih cepat daripada pada laki-laki.
Kemungkinan anak seorang alkoholik untuk menjadi alkoholik adalah sekitar 3-5 kali dari pada
anak seorang nonalkoholik (Allen KM, 2010).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes laboratorium
Kadar gamma-glutamiyl transpeptidase meningkat pada kira-kira 80% dari semua pasien
dengan gangguan berhubungan dengan alkohol, dan volume korpuskular rata-rata (MCV; mean
corpuscular volume) meningkat kira-kira 60%. Hasil tes laboratorium lain yang mungkin
berhubungan dengan gangguan berhubungan dengan alkohol adalah asam urat, trigliserida,
glutamat oksaloasetat transaminase serum (SGOT) atau aspartat aminotransferase (AST), dan
glutamatpiruvat transaminase (SGPT) atau alanin aminotransferase (ALT) (Klagenberg KF et
al., 2007).
DIAGNOSIS
DSM-V menuliskan gangguan berhubungan dengan alkohol dan menyebutkan kriteria
diagnostik untuk intoksikasi alkohol dan putus alkohol.
Gangguan berhubungan alkohol
Gangguan penggunaan alkohol
Ketergantungan alkohol
Penyalahgunaan alkohol
Gangguan akibat alkohol
Intoksikasi alkohol
Putus alkohol
Sebutkan jika
dengan gangguan persepsi
Delirium intoksikasi alkohol
Delirium putus alkohol
Demensia menetap akibat alkohol
Gangguan psikotik akibat alkohol, dengan waham
Sebutkan jika:
32

Dengan onset selama intoksikasi


Dengan onset selama putus
Gangguan psikotik akibat alkohol, dengan halusinasi
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Gangguan mood akibat alkohol
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Gangguan kecemasan akibat alkohol
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Dengan onset selama putus
Disfungsi seksual akibat alkohol
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
Gangguan tidur akibat alkohol
Sebutkan jika:
Dengan onset selama intoksikasi
??
Gangguan berhubungan alkohol yang tidak ditentukan
Tabel didasarkan dari DSM-V, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 5. Hak
cipta American Psyciatric Association, Washington 2013.

Ketergantungan Alkohol dan Penyalahgunaan Alkohol


Diagnosis dan gambaran klinis:
Pola penggunaan alkohol sering kali disertai dengan perilaku berikut ini (Rusadi M, 2013):
a. Ketidakmampuan memutuskan atau berhenti minum

33

b. Usaha berulang untuk mengontrol atau menurunkan minum yang berlebihan dengan tidak
minum minuman keras (periode abstinensia temporer) atau membatasi minum pada
waktu tertentu
c. Pesta minuman keras (tetap terintoksikasi sepanjang hari untuk sekurangnya dua hari)
d. Mengkonsumsi kadang-kadang 5 takaran minuman keras (atau ekuivalennya pada bir
atau anggur)
e. Periode amnestik untuk peristiwa yang terjadi selama terintoksikasi (blackout)
f. Terus minum walaupun adanya suatu gangguan fisik serius yang telah diketahuinya
dieksaserbasi oleh penggunaan alkohol
g. Minum alkohol yang bukan minuman, seperti bahan bakar atau produk komersial yang
mengandung alkohol
Disamping itu orang dengan ketergantungan alkohol dan penyalahgunaan alkohol
menunjukkan gangguan fungsi sosial dan pekerjaan karena penggunaan alkohol, seperti
kekerasan saat terintoksikasi, tidak hadir kerja, kehilangan pekerjaan, masalah hukum (contoh:
ditahan karena perilaku terintoksikasi atau kecelakaan lalu lintas saat terintoksikasi), dan
perdebatan atau kesulitan dengan keluarga atau teman karena penggunaan alkohol yang
berlebihan (Rusadi M, 2013).
Intoksikasi Alkohol
Diagnosis dan gambaran klinis:
DSM-V mempunyai kriteria resmi tentang diagnosis intoksikasi alkohol. Kriteria
menekakan sejumlah cukup konsumsi alkohol, perubahan perilaku maladaptif spesifik, tanda
gangguan neurologis, dan tidak adanya diagnosis atau kondisi lain yang membaur (American
Psychiatric Association, 2013).
Intoksikasi alkohol bukan merupakan kondisi yang ringan. Intoksikasi alkohol yang
parah dapat menyebabkan koma, depresi pernapasan dan kematian, baik karena henti pernapasan
atau karena aspirasi muntah.pengobatan untuk intoksikasi berat berupa bantuan pernapasan
mekanik diunit perawatan intensif, dengan perhatian pada keseimbangan asam basa pasien,
elektrolit, dan temperatur. Beberapa penelitian aliran darah serebral selama intoksikasi alkohol
mengalami peningkatan tetapi akan menurun pada minum alkohol selanjutnya (American
Psychiatric Association, 2013).
Beratnya gejala intoksikasi alkohol berhubungan secara kasar dengan konsentrasi alkohol
dalam darah, yang mencerminkan intoksikasi alkohol didalam otak. Pada onset intoksikasi,
beberapa orang menjadi suka bicara dan suka berkelompok, beberapa menjadi menarik diri dan
34

cemberut, yang lainnya menjadi suka berkelahi. Beberapa pasien menunjukkan labilitas mood,
dengan episode tertawa dan menangis yang saling bergantian (intermiten) (American Psychiatric
Association, 2013). Komplikasi medis intoksikasi alkohol sering disebabkan karena terjatuh
yang dapat menimbulkan hematoma subdural dan fraktur. Tanda yang menggambarkan
intoksikasi akibat sering bertanding minum adalah hematoma wajah, khususnya disekitar mata,
yang disebabkan terjatuh atau berkelahi saat mabuk (American Psychiatric Association, 2013).
Kriteria Diagnostik untuk Intoksikasi Alkohol
A. Baru saja menggunakan alkohol
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis (misalnya,
perilaku seksual atau agresif yang tidak tepat, labilitas mood, gangguan pertimbangan,
gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama atau segera setelah
ingesti alkohol
C. Satu (atau lebih) tanda berikut ini, yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian alkohol
1) Bicara cadel
2) Inkoordinasi
3) Gaya berjalan tidak mantap
4) Nistagmus
5) Gangguan atensi atau daya ingat
6) Stupor atau koma
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain
Tabel didasarkan dari DSM-V, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 5. Hak
cipta American Psyciatric Association, Washington 2013.
Putus Alkohol
Diagnosis dan gambaran klinis:
Diagnosis putus alkohol disebut putus alkohol tanpa komplikasi di dalam DSM-III-R
untuk membedakannya dengan delirium putus alkohol. Kata tanpa komplikasi (uncomplicated)
dikeluarkan dari DSM-V karena putus alkohol, walaupun tanpa delirium, dapat bersifat serius
dan

dapat

termasuk

kejang

dan

hiperaktifitas

otonomik.

Keadaan

yang

dapat

mempredisposisikan atau memperberat gejala putus alkohol adalah kelelahan, malnutrisi,


penyakit fisik, dan depresi (American Psychiatric Association, 2013).

35

Kriteria DSM-V untuk putus alkohol memerlukan dihentikannya atau penurunan


penggunaan alkohol yang sebelumnya berat dan lama, dan juga adanya gejala fisik atau
neuropsikiatrik spesifik (American Psychiatric Association, 2013).
Diagnosis DSM-V juga memungkinkan menentukan dengan gangguan persepsi. Suatu
penelitian dengan Tomografi Emisi Positron (PET; positron emission tomographic) terhadap
aliran darah selama putus alkohol pada seseorang dengan ketergantungan alkohol dengan
keadaan lain yang sehat, menemukan kecepatan aktivitas metabolik yang rendah secara
menyeluruh. Dengan penelitian dan pengamatan selanjutnya aktivitas tersebut menurun pada
daerah parietal kiri dan frontalis kanan (American Psychiatric Association, 2013).
Tanda klasik dari putus alkohol adalah gemetar,kejang, dan gejala delirium tremens
(DTs), sekarang disebut delirium putus alkohol dalam DSM-V. Gemetar muncul 6-8 jam setelah
dihentikannya minum, gejala psikotik dan persepsi muncul dalam 8-12 jam, kejang dalam 12-24
jam, DTs dalam 72 jam. Tremor pada putus alkohol dapat mirip dengan tremor fisiologis, dengan
suatu tremor kontinyu dan amplitudo yang besar dan lebih dari 8 Hz, atau dengan tremor
familisl, dengan ledakan aktivitas tremor yang lebih lambat dari 8 Hz (American Psychiatric
Association, 2013).
Gejala lain putus alkohol adalah iritabilitas umum, gejala gastrointestinal (mual dan
muntah) dan hiperaktivitas otonomik simpatik, termasuk kecemasan, kesiagaan, berkeringat,
kemerahan pada wajah, midriasis, takikardia, dan hipertensi ringan. Pasien dengan putus alkohol
biasanya sadar tetapi mudah dikagetkan (American Psychiatric Association, 2013).
Kejang putus alkohol
Kejang yang berhubungan dengan putus alkohol adalah kejang strereotipik, menyeluruh,
dan tonik klonik. Pasien sering kali mengalami lebih dari satu kejang dalam 3-6 jam setelah
kejang pertama. Status epileptikus relatif jarang pada pasien putus alkohol, terjadi pada kurang
dari 3% dari seluruh pasien. Walaupun medikasi antikonvulsan tidak diperlukan dalam
penatalaksanaan kejang putus alkohol, penyebab kejang masih sulit untuk ditentukan jika pasien
pertama kali diperiksa diruang gawat darurat; jadi banyak pasien dengan kejang putus alkohol
mendapatkan terapi antikonvulsan, yang selanjutnya dihentikan jika penyebab kejang telah
diketahui. Penyalahgunaan alkohol jangka panjang dapat menyebabkan hipoglikemia,
hiponatremia, dan hipomagnesemia yang semuanya dapat juga menyebabkan terjadinya kejang
(American Psychiatric Association, 2013).
36

Kriteria Diagnostik untuk Putus Alkohol


A. Penghentian (atau penurunan) pemakaian alkohol yang telah lama dan berat
B. Dua (atau lebih) tanda berikut ini yang berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa
hari setelah kriteria A
1) Hiperaktivitas otonomik (misalnya, berkeringat atau kecepatan denyut nadi lebih
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
C. Gejala

dari 100)
Peningkatan tremor tangan
Insomnia
Mual dan muntah
Halusinasi atau ilusi penglihatan, raba atau dengar yang transien
Agitasi psikomotor
Kecemasan
Kejang grand mal
dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang serius secara klinis atau

gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya.


D. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oelh
gangguan mental lain.
Sebutkan jika:
dengan gangguan persepsi
Tabel didasarkan dari DSM-V, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ed 5. Hak
cipta American Psyciatric Association, Washington 2013.

TATALAKSANA
Medikasi utama untuk mengendalikan gejala putus alkohol adalah benzodiazepin.
Penelitian menunjukkan bahwa benzodiazepin membantu mengontrol aktivitas kejang, delirium,
kecemasan, dan tremor yang berhubungan dengan putus alkohol. Benzodiazepin dapat diberikan
peroral maupun parenteral. Diazepam (Valium) ataupun chlordiazepoxide (Librium) tidak boleh
diberikan IM karena adanya absorbsi yang menentu dari obat jika diberikan dengan cara tersebut.
Benzodiazepin dititrasi mulai dosis tinggi dan menurunkan dosis saat pasien pulih.
Benzodiazepin dalam jumlah yang cukup harus digunakan untuk menjaga pasien tetap tenang
dan tersedasi (Warninghoff JC et al.,2009).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa carbamazepine (Tegretol) dalam dosis 800 mg
sehari sama efektifnya dengan benzodiazepin dan mempunyai manfaat tambahan kemungkinan
penyalahgunaan yang minimal (Warninghoff JC et al.,2009).
Terapi obat untuk intoksikasi dan putus alkohol
37

Masalah klinis
Gemetaran dan

Obat
chlordiazepoxid

agitasi ringan

Jalur
Oral

Dosis
25-100 mg tiap 4-6 jam

Keterangan
Dosis awal dapat
diulangi tiap 2 jam

sampai sedang

sampai pasien tenang;


dosis selanjutnya harus
ditentukan secara

Halusinosis

Diazepam

Oral

5-20 mg tiap 4-6 jam

individual dan dititrasi


Berikan sampai pasien

Agitasi parah

Lorazepam

Oral

2-10 mg tiap 4-6 jam

tenang; dosis selanjutnya

chlordiazepoxid

Intravena

0,5 mg/kg pada 12,5

harus ditentukan secara

mg/mnt

indivisual dan dititrasi

e
Kejang putus

Diazepam

Intravena

0,15 mg/kg pada 2,5

Delirium

Lorazepam

Intravena

mg/mnt
0,1 mg/kg pada 2,0

tremens

mg/mnt

Delirium
DSM-V memiliki kriteria diagnostik untuk delirium intoksikasi alkohol dalam kategori
delirium intoksikasi zat dan kriteria diagnostik untuk delirium putus alkohol dalam kategori
delirium putus zat. Pasien dengan gejala putus alkohol harus dikenali dengan cermat untuk
mencegah perkembangan ke delirium putus alkohol yang merupakan sindrom putus alkohol yang
paling berat, disebut juga delirium tremens (DTs) (Warninghoff JC et al.,2009).
Delirium putus alkohol merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang dapat
meningkatkan mortalitas dan morbiditas yang bermakna. Pasien delirium sangat berbahaya bagi
dirinya sendiri dan orang lain karena perilaku yang tidak dapat diperkirakan. Pasien mungkin
akan menyerang atau bunuh diri. Delirium tremens yang tidak diobati, dapat meningkatkan
mortalitas sekitar 20%, biasanya bersamaan dengan penyakit medis lainnya seperti pneumonia,
penyakit ginjal, insufisiensi hati atau gagal jantung (Warninghoff JC et al.,2009).
Ciri penting dari sindroma delirium adalah terjadi dalam 1 minggu setelah seseorang
menghentikan minum alkohol. Disamping itu terdapat ciri-ciri berupa (Warninghoff JC et
al.,2009) :
38

1. Hiperaktifitas otonomik, seperti takikardia, diaforesis, demam, kecemasan, insomnia,


dan hipertensi
2. Distorsi perseptual, yang paling sering adalah halusinasi visual atau taktil
3. Fluktuasi tingkat aktivitas psikomotor, rentangnya dari hipereksitabilitas sampai
letargi.
Kira-kira 5% dari semua pasien yang dirawat di rumah sakit karena alkoholik mengalami
DTs. Episode DTs biasanya mulai pada usia 30-40an setelah minum berat selama 5-15 tahun.
Pengobatan
Pengobatan terbaik untuk DTs adalah pencegahan. Pasien yang putus dari alkohol yang
menunjukkan salah satu fenomena putus alkohol harus mendapatkan terapi benzodiazepin,
seperti chlordiazepoxide 25-50 mg tiap 2-4 jam hingga pasien lepas dari bahaya. Tetapi jika
tanda delirium terlihat, berikan chlordiazepoxide 50-100 mg tiap 4 jam peroral atau lorazepam
intravena jika medikasi oral tidak memungkinkan (Warninghoff JC et al.,2009).
Pada pengobatan berikan diet tinggi kalori, tinggi karbohidrat, dan multivitamin. Pasien
dengan DTs jika diikat fisiknya akan berbahaya karena pasien dapat berontak terhadap
pengikatan sampai mengalami kelelahan yang berbahaya. Jika pasien tidak dapat dikendalikan
maka pasien harus ditempatkan diruangan isolasi. Pasien dapat mengalami dehidrasi yang
disebabkan diaforesis dan demam, hal ini dapat dikoreksi dengan pemberian cairan oral maupun
intravena. Diare, muntah dan anoreksia sering terjadi selama putus alkohol (Warninghoff JC et
al.,2009).
Demensia Menetap akibat Alkohol
Keabsahan demensia akibat alkohol (alkohol-induced persisting dementia) masih
kontroversial, karena beberapa klinisi dan peneliti masih sulit untuk membedakan antara efek
toksik dari penyalahgunaan alkohol dengan kerusakan sistem saraf pusat akibat nutrisi yang
buruk, trauma multipel, dan kerusakan sistem saraf pusat yang terjadi setelah malfungsi organ
tubuh lainnya (hati, pankreas dan ginjal). Walaupun beberapa penelitian telah menemukan
adanya pembesaran ventrikel dan atrofi kortikal pada seseorang dengan demensia dan riwayat
ketergantungan alkohol, namun penelitian tersebut belum bisa menjelaskan apa sebenarnya
penyebab demensia (Allen KM, 2010).
Gangguan Amnestik Menetap Akibat Alkohol
Diagnosis dan gambaran klinis
39

Kriteria diagnostik untuk gangguan amnestik menetap akibat alkohol (alkohol-induced


persisting amnestic disorder) berada dalam kategori DSM-V untuk gangguan amnestik menetap
akibat zat.ciri penting gangguan amnestik menetap akibat alkohol adalah gangguan daya ingat
jangka pendek yang diakibatkan penggunaan alkohol berat dalam jangka waktu yang lama.
Gangguan ini jarang terjadi pada usia dibawah 35 tahun (American Psychiatric Association,
2013).
Sindrom wernicke dan korsakoff
Merupakan nama lain dari gangguan amnestik menetap akibat alkohol. Wernicke (suatu
kumpulan gejala akut) dan korsakoff (suatu keadaan kronis). Apabila sindrom wernicke adalah
reversibel dengan pengobatan, hanya 20 persen pasien dengan sindrom korsakoff yang pulih.
Patofisiologi antara kedua sindrom tersebut adalah defisiensi tiamin, yang disebabkan oleh
kebiasaan nutrisional yang buruk atau masalah malabsorbsi. Tiamin adalah kofaktor bagi
beberapa enzim yang penting, dan juga terlibat dalam konduksi potensial akson disepanjang
akson dan didalam transmisi sinaptik. Lesi neuropatologis adalah simetris dan para ventrikuler,
menganai korpus mamilaris, talamus, hipotalamus, otak tengah, pons, medula, forniks, dan
serebelum (American Psychiatric Association, 2013).
Sindrom wernicke, juga disebut ensefalopati alkoholik, adalah suatu gangguan neurologis
akut yang ditandai oleh ataksia (yang mengenai terutama gaya berjalan), disfungsi vestibuler,
konfusi, dan berbagai kelainan pergerakan bola mata, termasuk nistagmus horizontal, palsi rektus
lateralis, dan palsi pamdandangan mata. Biasaya pandangan okuler tersebut adalah bilateral,
walaupun tidak selalu simetris. Tanda okuler okuler lainnya adalah reaksi terhadapa cahaya yang
lambat dan anisokoria. Sindrom wernicke juga dapat menghilang secara sepontan dalam
beberapa hari atau beberapa minggu, atau dapat berkembang menjadisindrom korsakoff (Sadock
BJ et al.,2010).
Sindrom korsakoff adalah hilangnya kemampuan untuk mengingat ingatan yang baru
yaitu hilangnya ingatan jangka pendek. Pasien berdiskusi untuk mengisi kekosongan tersebut.
Ensefalopati wernick merupakan awitan akut (berjam-jam hingga berhari-hari) yang
menyebabkan kebingungan global (apati, disorientasi dan ingatan terganggu), gangguan mata
(nistagmus dan oftalmoplegia) dan ataksia (Sadock BJ et al.,2010).
Pengobatan

40

Stadium dini sindrom wernicke berespons dengan cepat terhadap dosis tinggi tiamin
parentral, yang dianggap efektif dalam mencegah perkembangan menjadi sindrom korsakoff.
Dosis tiamin biasanya dimulai dengan 100 mg peroral dua sampai tiga kali sehari dan dilanjutkan
selama satu sampai dau minggu. Pada pasien dengan gangguan berhubungan dengan alkohol
yang sedang diberikan larutan glukosa intravena, adalah baik untuk memasukkan 100 mg tiamin
dalam setiap liter larutan glukosa (Sadock BJ et al.,2010).
Sindrom korasakoff adalah sindrom amnestik kronis yang dapat mengikuti sindrom
wernicke, dan kedua sindrom tersebut dianggap berhubungan secara patofisiologi. Ciri utama
dari sindrom korsakoff adalah sindrom gangguan mental (khususnya daya ingat belum lama) dan
amnesia anterograd pada seorang pasien yang sadar dan responsif. Pasien mungkin memiliki atau
tidak memiliki gejala konfabulasi. Pengobatan sindrom korsakoff juga tiamin yang diberikan 100
mg peroral dua sampai tiga kali sehari; pengobatan harus dilanjutkan selama 3 sampai 12 bulan.
sedikit pasien yang berkembang menjadi sindrom korsakoff dapat pulih secara lengkap,
walaupun cukup banyak yang mengalami suatu perbaikan dalam kemampuan kognitifnya dengan
pemberian tiamin dan dukungan nutrisi (Sadock BJ et al.,2010).
Gangguan Psikotik Akibat Alkohol
Diagnostik dan gambaran klinis
Kreteria diagnostik untuk gangguan psikotik akibat alkohol (alkohol-induced psycotik
disorder) (sebagai contoh halusinasi dan waham) ditemukan di dalam kategori DSM-V tentang
gangguan psikotik akibat zat (subtance-induced psycotic disorder). DSM-V memungkinkan lebih
jauh untuk menentukan onset (selama intoksikasi atau putus alkohol) dan apakah halusinasi atau
waham ditemukan. Istilah untuk halusinasi yang terjadi selama putus alkohol yang digunakan
didalam DSM-III R tetapi tidak lagi digunakan dalam DSM-V adalah halusinasi alkohol.
Halusinasi yang paling sering adalah auditorik, biasanya berupa suara-suara, tetapi suara tersebut
sering kali tedak terstruktur. Suara-suara karakteristiknya adalah memfitnah, mencela, atau
mengancam. Walaupun beberapa pasien dilaporkan bahwa suara-suara itu adalah menyenangkan
dan tidak menganggu. Halusinasi biasanya berlangsung selama kurang dari 1 minggu walaupun
selama minggu tersebut gangguan test realitas adalah sering. Setelah episode, sebagian besar
pasien menyadari sifat halusinasi dari gejalanya (American Psychiatric Association, 2013).

41

Halusinasi setelah putus alkohol dianggap merupakan gejala yang jarang, dan sindrom
adalah beberapa dari delirium putus alkohol. Halusinasi dapat terjadi pada semua usia, tetapi
biasanya berhubungan dengan orang yang telah melakukan penyalahgunaan alkohol dalam
jangka waktu yang lama. Walaupun biasanya halusinasi menghilang dalam 1 minggu, tapi pada
beberapa kasus dapat menetap. Halusinasi berhubungan dengan putus alkohol harus dibedakan
dengan skizofren yang berhubungan dengan temporal dengan putus alkohol, tidak adanya
riwayat klasik skizofrenia dan halusinasinya biasanya singkat. Halusinasi berhubungan dengan
putus alkohol dibedakan dari DTs oleh karena adanya sensorium yang jernih pada pasien
(American Psychiatric Association, 2013).
Pengobatan
Pengobatan halusinasi berhubungan dengan putus alkohol sama dengan DTs yaitu dengan
benzodiazepin, nutrisi yang adekuat, dan cairan jika diperlukan. Jika regimen gagal dan pada
kasus jangka panjang, antipsikotik dapat digunakan (American Psychiatric Association, 2013).

Gangguan Berhubungan dengan Alkohol Lainnya


Gangguan

mood

akibat

alkohol

(alkohol-induced

mood

disorder).

DSM-V

memungkinkan diagnosis gangguan mood akibat alkohol dengan ciri manik, depresif atau
campuran. Gangguan kecemasan akibat alkohol (alkohol-induced anxiety disorder). DSM-V
memungkinkan

diagnosis

gangguan

kecemasan

akibat

alkohol.

DSM-V

selanjutnya

menganjurkan agar diagnosis menyebutkan apakah gejala merupakan apakah gejala merupakan
kecemasan menyeluruh, serangan panik, gejala obsesif-kompulsif, atau gejala fobik dan apakah
onset selama intoksikasi atau selama putus alkohol (American Psychiatric Association, 2013).
Kategori gangguan berhubungan alkohol yang tidak ditentukan adalah gangguan yang
berhubungan

dengan

pemakaian

alkohol

yang

tidak

dapat

diklasifikasikan

sebagai

ketergantungan alkohol, penyalahgunaan alkohol, intoksikasi alkohol, putus alkohol, delirium


putus alkohol, demensia menetap akibat alkohol, gangguan psikotik akibat alkohol, gangguan
mood akibat alkohol, gangguan kecemasan akibat alkohol, disfungsi seksual akibat alkohol, atau
gangguan tidur akibat alkohol (American Psychiatric Association, 2013).
Sindrom Alkohol Fetal

42

Data yang jelas menyatakan bahwa wanita hamil atau yang menyusui tidak boleh minum
alkohol. Sindrom alkohol fetal (fetal alkohol syndrome) adalah akibat terpaparnya janin dengan
intoksikasi alkohol in utero saat ibunya minum alkohol. Sindrom alkohol fetal merupakan
penyebab utama retardasi mental di Amerika Serikat. Adanya alkohol menghambat pertumbuhan
intrauterin dan perkembangan setelah kelahiran. Mikrosefali, malformasi kraniofasial dan defek
tungkai dan jantung sering pada bayi yang terkena intoksikasi alkohol dari ibunya. Perawakan
yang pendek saat dewasa dan perkembangan suatu rentan perilaku maladaptif dewasa juga
dihubungkan dengan sindrom alkohol fetal (American Psychiatric Association, 2013).
Resiko wanita alkoholik mempunyai anak yang cacat sekitar 35%. Walaupun kerusakan
yang pasti pada janin tidak diketahui, kerusakan

tampaknya sebagai akibat pemaparan

intoksikasi utero dengan alkohol atau metabolitnya. Alkohol mungkin menyebabkan


ketidakseimbangan hormonal yang meningkatkan resiko abnormalitas (American Psychiatric
Association, 2013).

TATALAKSANA
Psikoterapi
Psikoterapi memusatkan pada alasan seseorang mengapa minum. Fokus spesifik adalah
dimana pasien minum, dorongan premotivasi dibelakang minum, hasil yang diharapkan dari
minum, dan cara alternatif untuk mengatasi situasi tersebut. Melibatkan pasangan yang tertarik
dan bekerja sama dalam terapi bersama untuk sekurangnya satu sesion adalah sangat efektif
(Warninghoff JC et al.,2009).
Medikasi
Disulfiram
Disulfiram (antabuse) menghambat secara kompetitif enzim aldehida dehidrogenase,
sehingga biasanya minuman segelaspun biasanya menyebabkan reaksi toksik karena akumulasi
asetaldehida didalam darah. Pemberian obat tidak boleh dimulai sampai 24 jam setelah minuman
terakhir pasien. Pasien harus dalam kesehatan yang baik, sangat termotivasi, dan bekerja sama.
Dokter harus memberitahukan pasien akibat meminum alkohol saat menggunakan obat dan
selama 2 minggu setelahnya (Warninghoff JC et al.,2009).
43

Merekan yang menggunakan alkohol sambil meminum disulfiram 250 mg setiap harinya
akan mengalami kemerahan dan perasaan panas pada wajah, sklera, anggota gerak atas dan dada.
Mereka akan menjadi pucat, hipotensif dan mual juga mengalami malaise yang serius. Pasien
juga akan mengalami rasa pusing, pandangan kabur, palpitasi, sesak dan mati rasa pada anggota
gerak. Dengan dosis lebih dari 250 mg maka dapat terjadi gangguan daya ingat dan konfusi
(Warninghoff JC et al.,2009).
Psikotropika
Obat antiansietas dan antidepresan dapat mengobati gejala kecemasan pada pasien
dengan gangguan terkait alkohol (Warninghoff JC et al.,2009).
Terapi Perilaku
Terapi perilaku mengajarkan seseorang dengan gangguan berhubungan alkohol untuk
menurunkan kecemasan. Latihan ditekankan pada latihan relaksasi, latihan ketegasan,
keterampilan mengendalikan diri, dan strategi baru untuk menguasai lingkungan. Sejumlah
program pembiasaan perilaku (operant conditioning) membiasakan orang dengan gangguan
berhubungan alkohol untuk memodifikasi perilaku minum mereka atau untuk berhenti minum.
Dorongan berupa hadiah keuangan, kesempatan untuk tinggal dalam lingkungan rawat inap yang
baik, dan jalur untuk memasuki interaksi sosial yang menyenangkan (Sadock BJ et al.,2010).
Halfway House
Pemulangan seorang pasien dari rumah sakit sering kali memiliki masalah penempatan
yang serius. Rumah dan lingkungan keluarga lainnya mungkin menghalangi, tidak mendukung,
atau terlalu tidak berstruktur. Halfway house adalah suatu sarana pengobatan yang penting yang
memberikan bantuan emosional, konseling, dan pengembalian progresif ke dalam masyarakat
(Sadock BJ et al.,2010).

44

BAB 3
PENUTUP
3.1

KESIMPULAN
Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan hampir 40%

penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup mereka. Beberapa substansi
tersebut menyebabkan kelainan status mental secara internal, seperti menyebabkan perubahan
mood, secara eksternal menyebabkan perubahan perilaku. Substansi tersebut juga dapat
menimbulkan problem neuropsikiatrik yang masih belum ditemukan penyebabnya, seperti
skizofrenia dan gangguan mood, sehingga kelainan primer psikiatrik dan kelainan yang
disebabkan oleh NAPZA menjadi sangat berhubungan.
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila
masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat,
sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi
kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA
Penyebab penyalahgunaan napza karena factor genetic dan juga psikodinamik. Gejalagejala klinis gangguan penyalahgunaan NAPZA antara lain: adanya keinginan yang kuat atau
dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk menggunakan NAPZA, kesulitan dalam
mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak awal, keadaan putus NAPZA secara
fisiologis ketika penghentian penggunaan NAPZA atau pengurangan, adanya bukti toleransi,
secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena penggunaan NAPZA,
meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami adanya akibat yang
merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA. Terapi pada gangguan akibat penyalahgunaan
NAPZA itu sendiri dibagi menjadi 3 fase yakni fase penilaian, fase terapi detoksifikasi, dan fase
terapi lanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
45

Allen KM. Clinical Care of the Addicted Client. American Psychiatriy Journal, 2010.
American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 5th
ed. Washington DC: American Psychiatric Publishing 2013
Elvira SD. 2013. Buku Ajar Psikiatri UI edisi ke dua. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Katzung BG. 2014. Farmakologi Dasar dan Klinis. Jakarta : EGC
Kemenkes RI. Gambaran Umum Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia. Buletin JJendela Data
dan Informasi Kesehatan, 2014.
Klagenberg KF, Zeigelboim BS, Jurkiewicz AL, Martins-Bassetto J. Substance Related
Disorders in Teenagers. PMC Journal, 2007 May-Jun;73(3):353-8.
Rusadi M. 2013. Buku saku diagnosis jiwa Rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
Sadock BJ, Sadock VA. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed Ke- 2. Jakarta:
EGC
Warninghoff JC, Bayer O,Straube A, Ferarri U. Treatment and Rehabilitation in Substance
Related disorders, Review Article on: British Psychiatry Journal, 2009.

46

Anda mungkin juga menyukai