Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pada saat itu, setiap negara memiliki peratuuran sendiri mengenai standar
rancangan kapal, konstruksi dan peralatan keselamatannya. Inter-Governmental
Maritime Consultative Organization (IMCO) dibentuk sebagai jawaban atas tragedi
Titanic, tapi tertunda perwujudannya ketika Perang Dunia I meletus. Ketika perang
berakhir, IMCO dihidupkan kembali dan menghasilkan sekumpulan peraturan
mengenai pembangunan kapal dan keselamatannya yang disebut Safety Of Life At
Sea (SOLAS) atau Keselamatan Jiwa di Laut. Setiap tahun, SOLAS terus dimodifikasi
dan dimodernisasi untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi dan peristiwaperistiwa baru di laut.
IMCO pada akhirnya berubah menjadi IMO. IMO secara berkala membuat peraturan
(seperti International Regulations for Preventing Collisions at Sea atau Peraturan
Internasional untuk Menghindari Tabrakan di Laut) yang didukung oleh badan-badan
klasifikasi dan surveyor maritim untuk memastikan ketaatan setiap kapal terhadap
peraturan yang berlaku. Port State Control authority (atau Otorita Pengawas
Pelabuhan Negara) didirikan untuk memberikan kekuasaan kepada penjaga pantai
(Amerika Serikat: US Coast Guard, Indonesia: KPLP [Kesatuan Penjaga Laut dan
Pantai]) untuk menginspeksi kapal-kapal berbendera asing yang masuk ke
pelabuhan-pelabuhan negara tersebut. Sebuah Memorandum of Understanding
(Protokol) telah ditanda-tangani oleh beberapa negara untuk menyatukan prosedur
Port State Control di antara negara-negara tersebut.
suasa sekitar 3000-2500 BC. Pada tahun 3400 BC masyarakat sudah mengenal
konstruksi dengan menggunakan batubata yang dibuat proses pengeringan oleh
sinar matahari. Pada era ini masyarakat sudah membangunan saluran air dari batu
sebagai fasilitas sanitasi. Pada tahun 2000 BC muncul suatu peraturan
Hammurabi yang menjadi dasar adanya kompensasi asuransi bagi pekerja.
c. Zaman Mesir Kuno
Pada masa ini terutama pada masa berkuasanya Firaun banyak sekali dilakukan
pekerjaan-pekerjaan raksasa yang melibatkan banyak orang sebagai tenaga kerja.
Pada tahun 1500 BC khususnya pada masa Raja Ramses II dilakukan pekerjaan
pembangunan terusan dari Mediterania ke Laut Merah. Disamping itu Raja Ramses
II juga meminta para pekerja untuk membangun temple Rameuseum. Untuk
menjaga agar pekerjaannya lancar Raja Ramses II menyediakan tabib serta pelayan
untuk menjaga kesehatan para pekerjanya.
d. Zaman Yunani Kuno
Pada zaman romawi kuno tokoh yang paling terkenal adalah Hippocrates.
Hippocrates berhasil menemukan adanya penyakit tetanus pada awak kapal yang
ditumpanginya.
e. Zaman Romawi
Para ahli seperti Lecretius, Martial, dan Vritivius mulai memperkenalkan adanya
gangguan kesehatan yang diakibatkan karena adanya paparan bahan-bahan toksik
dari lingkungan kerja seperti timbal dan sulfur. Pada masa pemerintahan Jendral
Aleksander
Yang Agung sudah dilakukan pelayanan kesehatan bagi angkatan perang.
f. Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan sudah diberlakukan pembayaran terhadap pekerja yang
mengalami kecelakaan sehingga menyebabkan cacat atau meninggal. Masyarakat
pekerja sudah mengenal akan bahaya vapour di lingkungan kerja sehingga
disyaratkan
bagi pekerja yang bekerja pada lingkungan yang mengandung vapour harus
menggunakan masker.
g. Abad ke-16
Salah satu tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Phillipus Aureolus
Theophrastus Bombastus von Hoheinheim atau yang kemudian lebih dikenal
Penggantian tenaga hewan dengan mesin-mesin seperti mesin uap yang baru
ditemukan sebagai sumber energi.
Penggunaan mesin-mesin yang menggantikan tenaga manusia
Pengenalan metode-metode baru dalam pengolahan bahan baku (khususnya
bidang industri kimia dan logam).
Pengorganisasian pekerjaan dalam cakupan yang lebih besar berkembangnya
industri yang ditopang oleh penggunaan mesin-mesin baru.
Perkembangan teknologi ini menyebabkan mulai muncul penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan pemajanan karbon dari bahan-bahan sisa pembakaran.
Sejak era revolusi industri di ata samapai dengan pertengahan abad 20 maka
penggnaan teknologi semakin berkembang sehingga K3 juga mengikuti
perkembangan ini. Perkembangan pembuatan alat pelindung diri, safety devices.
dan interlock dan alat-alat
pengaman lainnya juga turut berkembang.
k. Era Manajemen dan Manjemen K3
asazi manusia demi terwujudnya kualitas hidup yang tinggi. Upaya ini tentu saja
lebih bayak
berorientasi kepada aspek perilaku manusia yang merupakan perwujudan aspekaspek K3.
Kata SOLAS adalah singkatan dari "Safety of Life at Sea" lebih lengkapnya adalah
International Convention for Safety of Life at Sea. Kalau di artikan ke dalam bahasa
indonesia kurang lebih kata "SOLAS" ini artinya adalah "Keselamatan Jiwa di Laut ".
Pekerjaan sebagai pelaut memiliki resiko yang cukup tinggi dan yang paling berat
dan tidak bisa diduga adalah karena faktor alam. Seperti misalnya CUACA DI LAUT
yang buruk, angin yang sangat kencang serta gelombang yang tinggi. Walaupun
demikian faktor lain seperti peralatan mesin serta SDM juga tak kalah pentingnya
berkaitan dengan keselamatan Kapal.
SOLAS merupakan ketentuan yang sangat penting bahkan mungkin paling penting
karena berkenaan dengan keselamatan kapal-kapal dagang dan juga yang paling
tua. Pada Versi yang pertama telah disetujui oleh 13 negara dalam tahun 1914,
yaitu setelah terjadinya peristiwa Tenggelamnya Kapal Titanic yang terjadi pada
tahun 1912.
Kalau mengingat perjalanan sejarah dari SOLAS ini sempat mengalami perubahanperubahan. Dalam dunia pelayaran dan perkapalan ada Badan Internasional yang
sangat berperan mengenai SOLAS yaitu IMCO. Kepanjangan dari IMCO (InterGovernmental Maritime Consultative Organization), adalah suatu badan
internasional (organisasi internasional), yang pada tahun 1959 sudah mengambil
alih beberapa konvensi yang telah di tetapkan, termasuk di dalamnya adalah
mengenai Safety of Life at Sea (Keselamatan Jiwa di Laut) tahun 1948 dan
Prevention of the Pollution of the Sea by Oil (Pencegahan Polusi di Laut oleh Minyak)
tahun 1954.
Pada saat dilangsungkannya konperensi IMCO untuk yang pertama kali yaitu pada
tahun 1960, Pada konferensi tersebut telah menghasilkan "International Convention
on the Safety of Life at Sea" tahun 1960, dan mulai diberlakukan pada tahun 1965.
Pada waktu konperensi yang diselenggarakan oleh IMCO tersebut (InterGovernmental Consultative Organization), sekarang dikenal dengan IMO
(International Maritime Organization), telah dihasilkan dengan apa yang disebut
sebagai Protokol (merupakan dokumen mengenai hal-hal yang sudah disetujui
secara resmi).
Kemudian atas undangan dari IMCO, di kota London negara Inggris, mulai dari
tanggal 21 Oktober tahun 1974 sampai tanggal 1 November tahun 1974 telah
diselenggarakan Konperensi yang dihadiri oleh 65 utusan negara penan-datangan,
itu belum termasuk peninjau yang berasal dari negara-negara yang bukan
penandatangan dan peninjau dari organisasi-organisasi dari non-pemerintah.
Dan hasil dari konperensi IMCO tersebut adalah SOLAS 1974 atau International
Convention for the Safety of Life at Sea of 1974. Walaupun sering terjadi perubahan
dan juga adanya penambahan peraturan-peraturan (regulations) hendaknya kita
tidak perlu khawatir, karena inti/dasar dari isi (pokok) dari SOLAS adalah sama,
artinya SOLAS tahun 1960, SOLAS untuk tahun 1974 dan SOLAS di tahun 1997 isi
pokoknya sama, hanya terdapat beberapa perubahan atau penambahan saja.
Kemudian pada tahun 1948, the United Nations Maritime Conference telah
menyetujui untuk membentuk sebuah badan internasional. Hal ini dimaksudkan
hanya semata-mata untuk hal-hal (persoalan) kelautan dan untuk mengkoordinasi
tindakan-tindakan yang diambil oleh negara-negara.
Pada tahun 1982 IMCO berubah menjadi IMO (International Maritime Organization).
Tujuan utama dari IMO diantaranya adalah untuk menentukan standar yang dapat
diterima, serta membangun ketentuan internasional yang sangat berhubungan dan
berkaitan dengan perkapalan, memonitor implementasinya oleh pemerintahpemerintah, membuatnya selalu terkini (up to date) sejalan dengan kemajuan
teknologi.
Saat dilangsungkannya konperensi yang pertama kali pada tahun 1960, di kota
London negara Inggris, yang menghasilkan International Convention on the Safety
of Life at Sea 1960 dan mulai diberlakukan pada tahun 1965. Sesuatu yang penting
lainnya pada waktu itu adalah International Convention for the Prevention of
Pollution from Ships yang dihasilkan tahun 1973, yang kemudian digabungkan
(corporated) dalam Convention of 1978, yang akhirnya terkenal sebagai MARPOL
73/78.
Peraturan Safety Of Life At Sea (SOLAS) adalah peraturan yang mengatur keselamatan
maritim paling utama. Demikian untuk meningkatkan jaminan keselamatan hidup dilaut
dimulai sejak tahun 1914, karena saat itu mulai dirasakan bertambah banyak kecelakaan
kapal yang menelan banyak korban jiwa dimana-mana. Pada tahap permulaan mulai
dengan memfokuskan pada peraturan kelengkapan navigasi, kekedapan dinding penyekat
kapal serta peralatan berkomunikasi, kemudian berkembang pada konstruksi dan peralatan
lainnya.
Modernisasi peraturan SOLAS sejak tahun 1960, mengganti Konvensi 1918 dengan
SOLAS 1960 dimana sejak saat itu peraturan mengenai desain untuk meningkatkan faktor
keselamatan
kapal
mulai
dimasukan
seperti
:
desain
konstruksi
kapal
permesinan
dan
instalasi
listrik
pencegah
kebakaran
alat-alat
keselamatan
- alat komunikasi dan keselamatan navigasi
Usaha penyempurnaan peraturan tersebut dengan cara mengeluarkan peraturan tambahan
(amandement) hasil konvensi IMO, dilakukan berturut-turut tahun 1966, 1967, 1971 dan
1973. Namun demikian usaha untuk memberlakukan peraturan-peraturan tersebut secara
Internasional kurang berjalan sesuai yang diharapkan, karena hambatan procedural yaitu
diperlukannya persetujuan 2/3 dari jumlah Negara anggota untuk meratifikasi peratruran
dimaksud, sulit dicapai dalam waktu yang diharapkan.
Karena itu pada tahun 1974 dibuat konvensi baru SOLAS 1974 dengan prosedur baru,
bahwa setiap amandement diberlakukan sesuai target waktu yang sudah ditentukan,
kecuali ada penolakan 1/3 dari jumlah Negara anggota atau 50 % dari pemilik tonnage yang
ada di dunia. Kecelakaan tanker terjadi secara beruntun pada tahun 1976 dan 1977, karena
itu atas prakarsa Presiden Amerika Serikat JIMMY CARTER, telah diadakan konfrensi
khusus yang menganjurkan aturan tambahan terhadap SOLAS 1974 supaya perlindungan
terhadap Keselamatan Maritim kebih efektif.
Pada tahun 1978 dikeluarkan komvensi baru khusus untuk tanker yang dikenal dengan
nama Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP 1978) yang merupakan
penyempurnaan dari SOLAS 1974 yang menekankan pada perencanaan atau desain dan
penambahan peralatan untuk tujuan keselamatan operasi dan pencegahan pencemaran
perairan.
Kemudian diikuti dengan tambahan peraturan pada tahun 1981 dan 1983 yang
diberlakukan bulan September 1984 dan Juli 1986. Peraturan baru Global Matime
Distress and Safety System (GMDSS) pada tahun 1990 merupakan perubahan mendasar
yang dilakukan IMO pada sistim komunikasi maritim, dengan menfaatkan kemajuan
teknologi di bidang komunikasi sewperti satelit dan akan diberlakukan secara bertahap dari
tahun 1995 s/ 1999.
Konsep dasar adalah, Badan SAR di darat dan kapal-kapal yang mendapatkan berita
kecelakaan kapal (vessel in distress) akan segera disiagakan agar dapat membantu
melakukan koordinasi pelaksanaan operasi SAR.
Sumber : Buku Sekolah Elektronik SMK Nautika Kapal Penangkap Ikan Jilid 3
Diposkan oleh Dirhamsyah, SE di 22.09
Senin, 09 Januari 2012 Hukum Maritim 0 komentar
Dalam rangka meningkatkan keselamatan kerja dan keselamatan pelayaran, PBB dalam
koperensinya pada tahun 1948 telah menyetujui untuk membentuk suatu badan
Internasional yang khusus menangani masalah-masalah kemaritiman. Badan tersebut
Sekretariat IMO
Sekretariat IMO dipimpin oleh Secretary General yang dibantu oleh 300 tenaga dari
berbagai negara termasuk para penterjemah ke dalam 6 bahasa yang diakui dapat
digunakan berkomunikasi dalam sidang komite, yakni bahasa inggris, Perancis, Rusia,
Spanyol, Arab, China dan 3 bahasa teknis
Tugas dan Pekerjaan IMO
Tugas Utama IMO adalah membuat peraturan-peraturan keselamatan kerja dilaut termasuk
keselamatan pelayaran dan pencegahan serta penanggulangan pencemaran lingkungan
perairan.
Seperti halnya SOLAS 74/78 diberlakukan oleh pemerintah Indonesia dengan Keputusan
Presiden No. 65 tahun 1980 dan MARPOL 73/78 dengan Keputusan Presiden No. 46 tahun
1986. Kedua Keputusan Presiden tersebut sudah tercakup dalam UU No. 21 tahun 1992
tentang Pelayaran.
Konvensi-konvensi IMO paling penting yang sudah dikeluarkan adalah sebagai berikut :
- Safety Of Life At Sea ( SOLAS ) Convention 1974/1978
- Marine Pollution Prevention ( MARPOL ) Convention 1973/1978
- Standard of Training Certification and Watchkeeping for Seafarers
(SCTW) Convention 1978 termasuk beberapa amandements dari setiap konvensi.
Dalam ketiga konvensi tersebut digariskan peraturan keselamatan kerja di laut,
pencegahan pencemaran perairan dan persyaratan pengetahuan dan ketrampilan minimum
yang harus dipenuhi oleh awak kapal.
SOLAS Convention, menangani aspek keselamatan kapal termasuk konstruksi, navigasi
dan komunikasi.
MARPOL Convention, menangani aspek lingkungan perairan khusus untuk pencegahan
pencemaran yang asalnya dari kapal, alat apung lainnya dan usaha penanggulangannya.
STCW Convention, berisi persyaratan minimum pendidikan atau training yang harus
dipenuhi oleh ABK (Anak Buah Kapal) untuk bekerja di atas kapal sebagai pelaut.
Sumber : Buku Sekolah Elektronik SMK Nautika Kapal Penangkap Ikan Jilid 3
Diposkan oleh Dirhamsyah, SE di 22.19
Senin, 09 Januari 2012 Hukum Maritim 0 komentar
Pendahuluan:
Indonesia secara resmi menjadi anggota IMO sejak tanggal 18 Januari 1961, dan selama ini
senantiasa aktif dalam mengikuti semua kegiatan IMO. Sebagai anggota IMO yang sudah lama,
pengukuhan kedudukan Indonesia di IMO adalah menjadi anggota Dewan IMO (Member of
IMO Council) karena dalam forum sidang Dewan inilah kepentingan nasional dapat banyak
terakomodir dan ikut menentukan kebijakan-kebijakan organisasi.
Indonesia pertama kali mencalonkan dan terpilih menjadi anggota Dewan IMO pada tahun 1973,
untuk periode keanggotaan 1974 1975. Dua periode keanggotaan berikutnya, yaitu 1976-1977
dan 1978-1979 Indonesia masih terpilih sebagai anggota Dewan IMO. Indonesia mengalami
kegagalan mencalonkan diri pada 2 periode berikutnya yaitu periode keanggotaan 1980-1981
dan 1982-1983. Pada sidang Assembly ke 13 yaitu pada tahun 1983, Indonesia terpilih kembali
menjadi anggota Dewan IMO, dan selalu terpilih sampai saat ini (15 periode berturut-turut).
Pada pemilihan angota Dewan pada sidang Assembly ke 25 tahun 2007, ranking Indonesia naik
secara significant dibandingkan dengan tahun-than sebelumnya. Pada tahun 2005, Indonesia
hanya menempati ranking ke 8 dari 20 anggota Dewan kategori c, namun pada tahun 2007
menduduki ranking 4 (mendapat 113 suara), dan hanya terpaut 1 suara dibanding dengan ranking
ke 2 dan 3 (Bahama dan Cyprus memperoleh 114 suara). Pada sidang Assembly ke 26 tahun
2009 dukungan terhadap Indonesia lebih meningkat yaitu menjadi 132 dan menduduki peringkat
ke 3 setelah Singapura dan Cyprus. Hal ini menunjukkan kepercayaan negara lain terhadap
Indonesia makin meningkat. Dengan meningkatnya jumlah negara yang mendukung Indonesia
ini, maka tugas Indonesia di kancah internasional semakin berat karena harus menunjukkan
kemampuan dan dedikasinya terhadap organisasi secara consistent. Upaya-upaya diplomasi dan
peningkatan kinerja dibidang teknis untuk ikut serta meningkatkan keselamatan dan keamanan
maritim serta perlindungan lingkungan laut adalah merupakan tugas dan tangung jawab yang
tidak ringan bagi Indonesia. Untuk itu diperlukan kerja-sama semua pihak yang terkait, antar
kementerian, baik dalam pengaturan maupun pelaksanaan teknis.
Tidak kalah pentingnya peran para stake-holder seperti operator kapal, badan-badan usaha di
sub-sektor transportasi laut serta masyarakat luas pengguna jasa transportasi laut.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang eksistensinya telah diakui berdasarkan
ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea,
1982), pengakuan eksistensi sebagai negara maritim terbesar dalam berbagai forum internasional
masih tetap diperlukan, termasuk dalam forum Sidang Council dan Sidang Assembly di IMO.
Hingga saat ini Indonesia telah meratifikasi 15 (lima belas) Konvensi IMO, yang merupakan
aturan di bidang keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan laut, dan merupakan satusatunya negara di Asia Tenggara yang paling banyak meratifikasi Konvensi IMO, serta telah
memperoleh banyak manfaat dalam rangka menjaga keselamatan pelayaran dan perlindungan
lingkungan laut di wilayah perairan Indonesia.
Adanya perobahan terhadap peraturan2 internasional melalui instrumen2 IMO tentu saja akan
menimbulkan dampak dan konsekuensi bagi setiap negara yang meratifikasi, sehingga perlu
adanya upaya2 untuk mengantisipasi dampak perobahan tersebut, agar dapat melaksanakan
setiap konvensi yang telah diratifikasi secara penuh dan bertanggung jawab.
Sekilas tentang International Maritime Organization (IMO)
International Maritime Organization (IMO) adalah merupakan salah satu badan khusus
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menangani masalah-masalah kemaritiman. Didirikan
berdasarkan Konvensi pembentukannya pada tanggal 6 Maret 1948 di Jenewa dan mulai berlaku
pada tanggal 17 Maret 1958. IMO melaksanakan sidang pertama kalinya pada tahun 1959. Pada
awal pembentukannya bernama Inter-Governomental Maritime Consultative Organization
(IMCO). Sejak tanggal 1 Mei 1982 namanya berobah menjadi International Maritime
Organization, di singkat IMO. Pada saat ini IMO bermarkas di: 4 Albert Embankment, London
SE1 7SR, United Kingdom.
Sekretariat IMO di pimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal yang di pilih setiap 4 tahun sekali,
dibantu oleh para Direktur yang memimpin setiap Devisi. Divisi pada sekretariat IMO yaitu:
1.
Maritime
Safety
Division,
2.
Marine
Environment
Protection
Division,
3.
Legal
Affairs
and
International
Relation
Division,
4.
Conference
Division,
5.
Technical
Co-operation
Division,
dan
6. Administrative Division
Pada saat ini (2010) anggota IMO terdiri dari 169 negara termasuk Indonesia, ditambah 3 negara
anggota assiciate (Associate Member).
Struktur Organisasi IMO dalam pengambilan keputusan, dilaksanakan melalui forum sidang
Assembly, sidang Council dan 5 sidang Committee, yaitu: Maritime Safety Committee (MSC),
Marine Environment Protection Committee (MEPC), Legal Committee (LEG), Technical
Cooperation Committee (TCC) dan Facilitation Committee (FAL).
1.
Assembly atau Majelis IMO, merupakan lembaga tertinggi IMO (IMO highest GoverningBody) yang terdiri dari seluruh negara anggota IMO, yang saat ini berjumlah 169 negara,
bersidang sekali dalam dua tahun pada jadwal reguler, atau Setiap saat bila dianggap perlu.
Assembly bertanggung jawab untuk menentukan program kerja, voting anggaran dan
menentukan pengaturan keuangan dalam organisasi. Assembly juga bertugas melaksanakan
pemilihan anggota Dewan (Council).
2.
Council, atau Dewan IMO adalah semacam Governing Body dalam IMO yang
melaksanakan tugas-tugas organisasi IMO di antara dua masa Sidang Majelis. Dewan IMO
merupakan badan executive di bawah Assembly, bertanggung jawab melaksanakan pengawasan
terhadap
kerja
organisasi.
Tugas-tugas
lain
dari
Dewan
yaitu:
a.
Meng-koordinasi-kan
kegiatan
badan-badan
IMO
yang
lain,
b. Memperhatikan rancangan anggaran dan program kerja yang harus disampaikan kepada
sidang
Assembly,
c. Menerima laporan dan usulan dari Committee dan organ IMO yang lain serta dari Negaranegara anggota untuk diteruskan ke Assembly dengan beberapa masukan dan rekomendasi yang
tepat.
d. Mengusulkan dan memilih calon Sekretaris Jenderal, yang kemudian di syahkan dalam sidang
Assembly.
e. Melakukan upaya pengaturan dan kerja sama dengan berbagai organisasi di luar IMO, yang
kemudian disyahkan melalui sidang Assembly.
Dewan IMO beranggotakan 40 negara anggota IMO (sejak 7 Nopember 2002). Dari ke 40
negara anggota Dewan IMO tersebut terbagi dalam 3 kategori yaitu:
a. Kategori a, terdiri dari 10 negara yang mewakili armada pelayaran niaga internasional
terbesar
dan
sebagai
penyedia
angkutan
laut
internasional
terbesar,
b. Kategori b, terdiri dari 10 negara yang mewakili kepentingan maritime terbesar dalam
menyediakan
International
Ship-borne
Trade,
c. Kategori c, terdiri dari 20 negara yang mempunyai kepentingan khusus dalam angkutan laut
atau navigasi, dan mencerminkan perwakilan yang adil secara geografis.
Pemilihan anggota Dewan IMO dilaksanakan 2 tahun sekali, yaitu pada saat dilaksanakan sidang
Assembly. Negara-negara anggota yang ingin menjadi anggota Dewan wajib menyampaikan
surat kepercayaan (credentialletter) ke Sekretaris Jendral IMO untuk mencalonkan diri pada
kategori yang mereka inginkan. Pada saat sidang Assembly, Negara-negara yang mencalonkan
sebagai anggota Dewan IMO akan diminta untuk menyampaikan pandangan umum dan tujuan
pencalonannya, sebelum pemilihan dilaksanakan.
3.
Committee, adalah bagian tubuh IMO yang mengolah aturan2 produk IMO untuk
disampaikan
ke
sidang
Dewan.
Terdapat
5
Committee
yaitu:
a. Maritime Safety Committee (MSC), yaitu komite yang menangani pengaturan2 masalah
keselamatan dan keamanan pelayaran (maritime safety and security) seperti: keselamatan
navigasi, stabilitas kapal, konstruksi pembangunan kapal, komunikasi maritime, keamanan
maritime
dari
anccaman
perompakan
di
laut
dan
sejenisnya.
b. Marine Environmet Protection Committee (MEPC), komite yang menangani pengaturan2
tentang perlindungan terhadap pencemaran laut, termasuk pencemaran udara dari kapal2 laut.
c. Legal Committee (LEG), yaitu komite yang menangani tentang pengesahan aturan2 yang
akan
diberlakukan
oleh
IMO.
d. Technical Cooperation Committee (TCC), yaitu komite yang mempunyai tugas untuk
membahas negara2 yang memerlukan bantuan teknis dalam kaitannya dengan implementasi
instrumen2
IMO.
e. Facilitation Committee (FAL), yaitu komite yang menangani masalah pengaturan
permasalahan dokumen2 yang harus dibawa oleh kapal-kapal, membantu menjembatani antar
negara dalam implementasi instrumen2 IMO sehingga tidak terjadi kerancuan serta upaya
menghindari adanya keterlambatan operasi kapal-kapal berkaitan dengan dokumentasi kapal
yang masuk wilayah negara lain.
Dalam bekerja, Komite (Committee) membentuk sub-sub komite (Sub-Committee) yaitu:
a.
Bulk Liquids and Gases (BLG), yang bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan
mengenai pemadatan dan transportasi muatan cair dan gas secara curah dengan menggunakan
kapal-kapal laut, termasuk bahan2 kimia dan cairan untuk penanganan polusi laut (dispersant).
b.
Carriage of Dangerous Goods, Solid Cargoes and Containers (DSC), bertugas membahas
rancangan-rancangan ketentuan mengenai pemadatan dan transportasi muatan berbahaya,
muatan
kering
dan
peti
kemas,
c.
Fire Protection (FP), bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan mengenai
pencegahan
kebakaran
di
kapal-kapal,
d.
Radio-communications and Search and Rescue (COMSAR) bertugas membahas
rancangan-rancangan ketentuan mengenai komunikasi radio di kapal dan pengaturan tentang
SAR
(Search
and
Rescue
=
pencarian
dan
pertolongan),
e.
Safety of Navigation (NAV) bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan
mengenai alat bantu navigasi dan alur-alur pelayaran untuk keselamatan pelayaran serta aturan
pencegahan
tubrukan
di
laut,
f.
Ship Design and Equipment (DE) bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan
mengenai bangunan kapal dan semua peralatan di kapal berkaitan dengan keselamatan operasi
kapal,
g.
Stability and Load Lines and Fishing Vessels Safety (SLF) bertugas membahas
rancangan-rancangan ketentuan mengenai perhitungan stabilitas kapal, lambung timbul, dan
ketentuan
keselamatan
kapal-kapal
penangkap
ikan,
h.
Standards of Training and Watchkeeping (STW) bertugas membuat rancangan-rancangan
ketentuan mengenai pendidikan, pelatihan dan sertifikasi untuk para pelaut dan pihak-pihak yang
bekerja
pada
sector
maritim.
i.
Flag State Implementation (FSI) bertugas membuat rancangan-rancangan ketentuan
mengenai pelaksanaan instrument-instrumen IMO di negara-ngara anggota IMO dan neggaranegara bukan anggota IMO.
Oleh karena keterbatasan waktu sidang yang telah di jadwalkan, dalam sidang-sidang committee
dan sub-committee selalu dibentuk kelompok kerja (Working-Group), kelompok korespondensi
(Correspondence-Group) atau kelompok drafting (Drafting-Group). Sering kali, dilaksanakan
pula sidang-sidang antar waktu (Intersessional meeting) bilamana diperlukan (jadwal sidang
IMO tahun 2010 terlampir).
Standard of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) 1978 dan Seafarers
Training, Certification and Watchkeeping (STCW) 1995
Sebelum pemberlakuan STCW, rambu2 internasional kompetensi bagi pelaut setingkat perwira,
dituangkan ke dalam konvensi SOLAS (Safety of Life at Sea) pada Bab V (Safety of
Navigation), dan beberapa ketentuan untuk awak kapal bukan setingkat perwira, diatur oleh
masing2 negara anggota IMO.
Mengingat makin kompleksnya permasalahan yang timbul terhadap faktor keselamatan
pelayaran yang disebabkan oleh ketidak-pastian kompetensi pelaut dan tidak adanya
keseragaman diantara negara anggota IMO dalam melaksanakan pendidikan kepelautan, maka
negara-negara anggota IMO sepakat untuk membuat konvensi internasional, khusus untuk
mengatur
kompetensi
bagi
mereka
yang
akan
bekerja
di
kapal.
Maka dibentuklah sub-komite yang membahas tentang rancangan STCW tersebut. Dinamakan
sub-komite STW (Standards of Training and Watchkeeping). Setelah melalui beberapa sesi
sidang sub-komite STW, setelah mendapat pengesahan pada sidang MSC (Maritime Safety
Committee) dan pengukuhan pada sidang Council, maka pada tanggal 7 Juli 1978 rancangan
STCW dapat diterima oleh semua anggota IMO melalui sebuah Diplomatic Conference, dan
pada tanggal 28 April 1984, STCW 1978 diberlakukan secara penuh. Indonesia meratifikasi
STCW 1978 melalui Kepres 60 tahun 1986.
Dalam perjalanannya, STCW mengalami perobahan dari tahun ke tahun. Perobahan
(amendment) yang terbesar terjadi pada tahun 1995, dengan diadopsinya konvensi yang di
dalamnya terdapat Seafarers Training, Certification and Watchkeeping (STCW 1995), yang
tidak terpisahkan dengan konvensi STCW 1978.
Dengan diberlakukannya STCW 1995, diharapkan terdapat keseragaman dalam pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan kepelautan secara internasional, karena STCW 1995 tidak hanya
mengatur secara umum ketentuan batas kompetensi pelaut, namun berisi tentang kurikulum dan
sylabus yang wajib (mandatory) serta yang disarankan (recommended) dalam melaksanakan
pendidikan dan pelatihan kepelautan, yang meliputi: competence, subject area, understanding,
dan profeciency. Termasuk metode bagaimana mengukur kompetensi yang diharapkan.
Dengan keseragaman pelaksanaan diklat kepelautan tentunya diharapkan kompetensi pelaut
secara internasional dapat setara, paling tidak pada tingkat batas minimal untuk menjamin
keselamatan pengoperasian kapal dapat di ukur secara lebih baik.
Selanjutnya sidang-sidang STW masih berlangsung tiap tahun untuk mengakomodir adanya
kesulitan dan kerancuan yang mungkin timbul dalam melaksanakan STCW. Maka pada sidang
STW ke 38 tahun 2007 muncullah agenda sidang dengan judul Comprehensive review to the
STCW yang merupakan agenda sidang untuk merevisi STCW secara menyeluruh, mengingat
terlalu banyaknya kerancuan yang terdapat pada STCW yang ada pada saat itu. Puncak dari
revisi menyeluruh tersebut adalah pada sidang STW 41 tahun 2010 dengan diterimanya
rancangan perobahan STCW dan setuju untuk dibawa ke sidang Diplomatic Conference di
Manila pada bulan Juni 2010.
Dampak dan antisipasi indonesia terhadap amendments STCW
Sejak diberlakukannya STCW 1978 pada 28 April 1984, pemerintah Indonesia telah melakukan
berbagai hal untuk dapat mensejajarkan pelaut Indonesia dengan pelaut negara lain dan dapat
diterima secara internasional. Maka pada tahun 1986 pemerintah Indonesia memutuskan untuk
meratifikasi STCW 1978 dengan segala konsekuensinya.
Sampai saat ini pemerintah Indonesia sangat memperhatikan perobahan2 yang terjadi pada
STCW, termasuk upaya keras sehingga Indonesia masuk kedalam IMO White-list pada sidang
Assembly ke 21 bulan November 1998, dimana Indonesia termasuk salah satu negara anggota
IMO yang pertama kali masuk ke dalam IMO White-list.
Menempatkan Atase Perhubungan di KBRI London adalah juga merupakan keinginan kuat
pemerintah Indonesia untuk tetap mengawal perobahan terhadap instrumen2 IMO, termasuk
perobahan terhadap STCW (Tugas Pokok dan Fungsi Atase Perhubungan London selengkapnya
dapat dilihat pada Surat Keputusan Menteri Perhubungan nomor 37 tahun 2007).
Di dalam STCW, terdapat 3 (tiga) pihak (party) yang sangat berkompeten agar STCW dapat
dilaksanakan dengan baik yaitu: Pemerintah (Administration), Perusahaan Pelayaran (Shipping
company), dan Diklat Maritim (Education and Training Institution). Dengan perobahan2 STCW,
tentunya pihak2 tersebut di atas telah menerima dampaknya.
Pemerintah mempunyai tugas untuk merobah peraturan2 yang terkait dengan perobahan pada
STCW, agar dapat menjamin keselamatan pelayaran di dunia internasional, dan pelautnya dapat
diterima secara internasional.
Perusahaan Pelayaran memiliki tugas untuk mengawaki kapalnya sesuai dengan STCW,
sehingga memiliki kewajiban memberikan pelatihan2 tambahan kepada awak kapalnya agar
kompetensinya sesuai dengan ketentuan STCW.
Diklat Maritim memiliki tugas untuk melakukan perobahan2 terhadap kurikulum dan sylabus
diklat, serta meningkatkan kualitas instruktur/pengajar dan fasilitas diklatnya sesuai dengan
ketentuan
STCW.
Antisipasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap kemungkinan adanya
perobahan2 STCW (dan instrumen hukum IMO lainnya), adalah dengan berpartisipasi aktif pada
sidang2 yang dilaksanakan, mulai dari sidang Sub-komite, sidang-sidang komite, dan sidang2
kelompok korespondensi. Partisipasi aktif disini adalah bahwa delegasi Indonesia yang hadir
pada sidang2 IMO telah dibekali dengan materi2 sidang untuk siap berdikusi dengan delegasi
dari negara lain. Jadi tidak hanya mendengar dan mencatat hasil sidang.
Konsep dan usulan perobahan ketentuan, pada umumnya diawali pada sidang2 sub-komite. Pada
tahapan ini, apabila pemerintah Indonesia mencermati setiap agenda sidang secara sungguh2,
maka pemerintah Indonesia akan dapat berpartisipasi banyak terhadap upaya perobahan
ketentuan yang sedang dan akan di bahas, dan dapat menyampaikan usulan2 yang
menguntungkan Indonesia, serta mampu menolak usulan2 yang merugikan Indonesia, sehingga
mampu mengurangi kesulitan dalam implementasinya pada waktu perobahan tersebut
diberlakukan.
Masalah lain yang perlu menjadi perhatian Indonesia
Pada paragraph ini pemapar ingin menyampaikan beberapa hal terkait dengan perkembangan
diskusi pada sidang2 di IMO dan perkembangan di lapangan:
1.
Pada sidang2 IMO sub komite STW beberapa sesi belakangan ini terdapat upaya
diadakannya Seafarers Ships Representative (SSR), yaitu salah satu awak kapal, yang ditunjuk
untuk mengawasi/memonitor tindakan yang dilakukan baik oleh perusahaan pelayaran maupun
pimpinan di kapal terhadap keselamatan kerja awak kapal. Diskusi ini sampai dengan sidang
STW 41 awal tahun 2010 yang lalu sudah sampai kepada drafting rancangan ketentuannya. Hal
ini akan berdampak pada diklat maritim agar menyiapkan kurikulum dan sylabus untuk calon
SSR nantinya, karena seseorang yang ditunjuk sebagai SSR wajib memiliki sertifikat yang
menunjukkan kemampuannya sebagai SSR.
2.
Munculnya berbagai kapal-kapal yang memerlukan pengoperasian khusus yang menuntut
operator2 yang memiliki kompetensi yang memadai, adalah merupakan tugas dan tanggung
jawab pemerintah Indonesia untuk menyediakan fasilitas diklat dan perangkat peraturannya, agar
para pelaut Indonesia mampu bersaing dengan pelaut asing lainnya. Sebagai contoh adalah
maraknya pengoperasian kapal2 Anchor Handling Tug Supply (AHTS) dan Dynamic Positioning
System (DPS) serta Special Purpose Ships (SPS). Kecakapan khusus perlu dimiliki oleh para
pelaut Indonesia tersebut agar mampu mengisi kesempatan2 yang ada. Hal ini dapat dilakukan
apabila dari pihak pemerintah (Administrtion) maupun diklat maritim (Education and Training
Institite) mampu mengantisipasi dan melakukan persiapan2 secara awal, mulai dari penyusunan
peraturan, penyediaan sarana dan prasarana, serta tenaga pengajar/instrukturnya.
3.
Bahwa pada tahun 2008, IMO mencanangkan kampanye Go to sea dengan harapan
kekurangan pelaut pada saat ini dapat segera dapat diatasi. Dilain pihak, perusahaan pelayaran
enggan untuk menerima calon pelaut sebagai cadet dengan beberapa pertimbangan finansial,
sehingga banyak cadet di atas kapal dipekerjakan sebagai awak-kapal. Dari kesulitan mencari
kapal untuk praktek berlayar, juga ditemukan beberapa bukti bahwa terdapat beberapa taruna
diklat maritim yang terpaksa harus melakukan praktek berlayar di kapal-kapal yang tidak
memenuhi ketentuan minimal sesuai dengan sertifikat yang akan diperoleh, yaitu tidak
memenuhi fungsi-fungsi sesuai ketentuan STCW dan standard mutu (Quality Standards System)
yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Sudah cukup lama, beberapa negara yang
menyediakan tenaga pelaut juga mengeluh dengan tidak tersedianya akomodasi yang layak untuk
cadet yang sedang melakukan praktek berlayar. Untuk mengatasi kendala yang ada, kiranya
keberadaan kapal latih untuk mendukung pencapaian pendidikan dan pelatihan kepelautan adalah
merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat ditunda.
Kesimpulan dan saran
1.
Setiap negara yang meratifikasi suatu konvensi internasional, memiliki kewajiban untuk
melaksanakannya secara penuh (full and complete), termasuk perobahan yang terjadi atas
konvensi yang di ratifikasi (melalui proses penerimaan perobahan atau Acceptance).
2.
Sebagai anggota IMO dan terlebih menjadi anggota dewan IMO, Indonesia telah
melakukan langkah2 partisdipatif dalam menyikapi perobahan peraturan internasional, namun
kiranya masih perlu lebih meningkatkan partisipasi aktif dalam penyusunan instrumen2 IMO
melalui sidang2 dan kegiatan lain terkait dengan kepentingan nasional RI (Republik Indonesia).
3.
Mengingat kepentingannya, maka partisipasi aktif tidak hanya oleh pemerintah saja, tetapi
juga merupakan tanggung jawab semua pihak (negeri dan swasta) yang terkait dengan industri
maritim, serta masyarakat luas pengguna jasa anggutan laut.
4.
Menyadari adanya perobahan peraturan berawal dari suatu konsep yang diajukan dan
dibahas pada tingkat sidang sub-komite, maka Indonesia perlu memperhatikan rencana
perobahan mulai dari tingkat awal, yaitu pada sidang-sidang sub-komite, dan mengawalnya
secara konsisten agar konvensi yang kemudian diimplementasikan, dapat sejalan dengan
kepentingan nasional Indonesia.
Sumber : Tulisan dari Capt. Hadi Supriyono, MM, M.Mar
Diposkan oleh Dirhamsyah, SE di 19.09
Senin, 09 Januari 2012 Hukum Maritim 1 komentar
Telah secara luas diketahui bahwa IMO mengadakan Konferensi Diplomatik di Manila, Filipina,
pertengahan tahun 2010 untuk membahas amandemen STCW. Banyak orang yang tidak
mengetahui pada tingkat apa revisinya dan realitas implementasinya di balik hal tersebut. Untuk
meluruskan hal-hal tersebut mari kita lihat apa yang telah terjadi langkah demi langkah.
Amandemen
STCW
Manila.
Pada 25 Juni 2010, Organisasi Maritim Internasional (IMO) serta stakeholder utama lainnya
dalam dunia industry pelayaran dan pengawakan global secara resmi meratifikasi apa yang
disebut sebagai "Amandemen Manila" terhadap Konvensi Standar Pelatihan untuk Sertifikasi
dan Tugas Jaga bagi Pelaut (STCW) dan Aturan terkait. Amandemen tersebut bertujuan untuk
membuat STCW selalu mengikuti perkembangan jaman sejak pembuatan dan penerapan
awalnya pada tahun 1978, dan amandemen selanjutnya pada tahun 1995.
Mulai
Berlakunya.
Amandemen Konvensi STCW akan diterapkan melalui prosedur penerimaan dengan pemahaman
yang telah disepakati yang mengisyaratkan bahwa perubahan tersebut sudah harus diterima
paling lambat 1 Juli 2011 KECUALI bila lebih dari 50% dari para pihak terkait STCW menolak
perubahan yang demikian. Sebagai hasilnya, Amandemen STCW ditetapkan mulai berlaku pada
tanggal
1
Januari
2012.
Tujuan
Amandemen
STCW.
Hal-hal berikut menguraikan perbaikan-perbaikan kunci yang diwujudkan melalui
Amandemen
baru,
yaitu:
1. Sertifikat Kompetensi & Endorsement-nya hanya boleh dikeluarkan oleh Pemerintah sehingga
mengurangi
kemungkinan
pemalsuan
sertifikat
kompetensi.
2. Pelaut yang telah menjalani pemeriksaan kesehatan sesuai Standar medis umum untuk pelaut
dari satu negara dapat berlaku di kapal yang berasal dari negara lain tanpa menjalani
pemeriksaan
medis
ulang.
3.
Persyaratan
revalidasi
sertifikat
dirasionalisasi
untuk
kepentingan
pelaut.
4. Pengenalan metodologi pelatihan modern seperti pembelajaran jarak jauh dan pembelajaran
berbasis
web.
5. Jam istirahat bagi pelaut dikapal diselaraskan dengan persyaratan Maritime Labor Convention
ILO/MLC (Konvensi Buruh Maritim ILO) 2006, dengan maksud untuk mengurangi kelelahan.
6. Memperkenalkan persyaratan-persyaratan tambahan untuk menghindari alkohol dan
penyalahgunaan
zat
terlarang.
7. Kompetensi dan kurikulum baru harus terus diperbarui mengikuti perkembangan teknologi
modern
dan
kebutuhan
riil
dilapangan.
8.
Pelatihan
penyegaran
dibahas
dengan
layak
dalam
konvensi.
Beberapa hal pokok terkait amandemen STCW 2010, adalah sebagai berikut :
Bab
I
Ketentuan
Umum.
Peraturan I / 2: Hanya Pemerintah yang dapat mengeluarkan Certificate of Competency (COC)
dan
menyediakan
database
elektronik
untuk
verifikasi
keaslian
sertifikat.
Peraturan I / 3: Persyaratan Near Coastal Voyage dibuat lebih jelas, termasuk principal yang
mengatur pelayaran dan melakukan "kegiatan usaha" dengan Pihak yang terkait (negara bendera
dan
negara
pantai).
Peraturan I / 4: Penilaian/pemeriksaan Port State Control (PSC) terhadap pelaut yang
melaksanakan tugas jaga dan standar keamanan - "Harus memenuhi Standar keamanan" dalam
daftar.
Peraturan
I
/
6:
Pedoman
e-learning
(pembelajaran
elektronik)
Peraturan I / 9: standar Medis diperbaharui sejalan dengan Persyaratan ILO MLC.
Peraturan I/11: Persyaratan revalidasi dibuat lebih rasional dan termasuk persyaratan revalidasi
atas
endorsement
sertifikat
kapal
tanker.
Peraturan I/14 : Perusahaan bertanggung jawab terhadap pelatihan penyegaran pelaut di kapal
mereka
STCW
Bab
II,
Level
Dukungan
Bab Dua adalah bagian Departemen Dek. Perubahan utama dalam Bab II adalah penambahan
Pelaut Trampil (Able Seafarers/AB) Deck Rating. Ini terpisah dari Rating yang melaksanakan
tugas jaga Navigasi (Rating Forming Part of a Navigational Watch / RFPNW).
Berdasarkan persyaratan untuk bekerja dikapal, penting bagi pelaut untuk mendapatkan
kualifikasi RFPNW sebisa mungkin pada awal sekali dari karir mereka. Pelaut tidak secara
otomatis mendapat kualifikasi AB sampai kualifikasi RFPNW telah dipenuhi dan lisensi tersebut
harus mendapatkan sertifikat pengukuhan (endorsement) AB. Ini akan membutuhkan pelatihan
dan pengujian serta akan menjadi pasal baru yang disebut A-II / 5.
STCW
Bab
II,
Level
Operasional
dan
Manajemen.
Untuk Electronic Chart Display and Information System / ECDIS (Peta dan Sistim Informasi
Elektronik), perlu pelatihan bagi semua Perwira Dek untuk semua kapal yang dilengkapi dengan
ECDIS. Pelatihan ECDIS dilaksanakan sama seperti pelatihan ARPA ataupun GMDSS, dimana
ada pembatasan dalam STCW yaitu seseorang tidak boleh bekerja di kapal dengan perlengkapan
tersebut jika ia tidak memiliki sertifikat ECDIS.
Pada 2012 hampir semua kapal dengan bobot mati lebih dari 200 ton akan diatur di bawah
hukum yang terpisah untuk memiliki peralatan ECDIS. Secara otomatis, setiap Perwira Dek
dikapal berbobot lebih dari 200 ton akan membutuhkan pelatihan ECDIS. Akan ada dua tingkat
ECDIS, yakni operasional dan manajemen dengan tanggung jawab yang berbeda dari masingmasingnya. Manajemen SDM yang bertugas di anjungan kapal, Pelatihan Tim Kerja dan
Kepemimpinan akan diwajibkan baik di tingkat operasional maupun manajemen.
STCW
Bab
III,
Mesin
Perubahan utama dalam Bab III adalah penambahan Pelaut Trampil bagian Mesin (Engine
Rating). Ini terpisah dari rating yang melaksanakan tugas jaga mesin. Banyak negara hanya
memiliki level rating yang melaksanakan tugas jaga (Rating Forming Part of a Enginee Watch /
RFPEW), dan untuk pelaut trampil pemula dibagian mesin disyaratkan memiliki sertifikat
RFPEW sesuai ketentuan STCW. Ini akan membutuhkan pelatihan dan pengujian dan akan
menjadi pasal baru yang disebut A-III/5.
Pasal A-III/1 akan diformat ulang dan diatur kembali. Anda tidak lagi perlu melakukan pelatihan
selama 30 bulan di kamar mesin yang disetujui. Kata-katanya sekarang akan lebih disinkronkan
dengan departemen dek dan berbunyi tiga tahun masa kerja di laut dengan satu tahun gabungan
keterampilan
bengkel
dan
enam
bulan
jaga
mesin
(engine
room
watchstanding).
Perwira Teknik Elektro (Electro Technical Officer/ETO) dan Bawahan Teknik Elektro (Electro
Technical Rating/ETR) akan ditambahkan. Manajemen SDM di Kamar Mesin, Pelatihan Tim
Kerja dan pelatihan Kepemimpinan akan diwajibkan baik di tingkat operasional maupun
manajemen.
STCW
Bab
V,
Tanker
dan
Kapal
Tanker:
Sekarang akan ada tiga kategori Awak kapal Tanker pada kapal tanker, yaitu:
Awak
kapal
tanker
Minyak.
Awak
kapal
tanker
Kimia.
Awak
kapal
tanker
Gas
Cair.
Selain itu, setiap kategori Awak kapal tanker akan dipisahkan atas dua tingkat, yaitu :
Dasar
(saat
ini
disebut
asisten).
Lanjutan
(saat
ini
disebut
Penanggung
Jawab
(PIC).
Yang akan menjadi perubahan besar adalah pemisahan bahan kimia dari minyak dan masingmasing memerlukan prasyarat tersendiri untuk diawaki pada setiap jenis kapal dan pelatihan
khusus untuk masing-masingnya. Selain itu, akan ada Kursus Pemadaman Api di Kapal Tanker,
meskipun beberapa pihak memperbolehkan Program Pemadaman Api Dasar untuk menutupi
persyaratan ini. Kapal Penumpang - Akan ada konsolidasi aturan untuk kapal penumpang.
Offshore Supply Vessels (OSV)/Kapal Supply Offshore, Dynamis Positioning (DP)
Vessels/Kapal dengan Kendali Posisi Dinamis dan kapal yang beroperasi di Perairan yang
Tertutupi Es: Akan ada pasal baru yang memuat panduan terkait lisensi khusus atau persyaratan
pelatihan untuk OSV, DPV dan kapal yang beroperasi di Perairan yang Tertutupi Es.
STCW
Bab
VI,
Isu
Lingkungan
Laut:
Amandemen akan mencakup penambahan isu kesadaran lingkungan laut dalam Kursus
Keselamatan Pribadi & Tanggung Jawab Sosial (Personal Safety & Social
Responsibilities/PSSR) yang dilaksanakan sebagai bagian dari Pelatihan Keselamatan Dasar
(Basic Safety Training/BST) serta tingkat operational yang memperhatikan kelestarian
lingkungan laut pada setiap tingkatan sertifikasi sesuai STCW Code A-II / 1 dan A-III / 1.
Pelatihan
Keselamatan
Dasar
(BST)
:
Cakupan
PSSR
akan
ditambahkan
beberapa
subyek
sebagai
berikut
:
Komunikasi.
Pengendalian
Kelelahan.
Tim
Kerja.
Subyek tambahan ini akan membuat modul PSSR lebih panjang tapi harus kurang dari satu hari
panjangnya. Tetap saja, ini akan memperpanjang program Pelatihan Keselamatan Dasar dari
yang
biasanya
lima
hari
menjadi
setidaknya
5,5
hari.
Pelatihan
Penyegaran
untuk
Keselamatan
:
Salah satu elemen kunci dari amandemen STCW 2010 tampaknya adalah penghapusan celah
yang berkaitan dengan pelatihan penyegaran. Kode (Aturan) STCW, yang kabur di area ini
menyebabkan banyak negara memilih untuk menafsirkan persyaratan "dalam waktu lima tahun"
secara longgar. Telah diputuskan bahwa program tertentu yang dapat mempengaruhi keselamatan
dan kelangsungan hidup awak kapal dan penumpang mewajibkan latihan penyegaran
pengendalian keadaan darurat / keselamatan dilaksanakan secara berkala.
Latihan penyegaran keselamatan dapat dilaksanakan dalam bentuk e-learning (pembelajaran
secara elektronis), latihan di atas kapal atau pelatihan di darat.Kursus keselamatan akan
memerlukan pelatihan penyegaran setiap lima tahun dan program pelatihannya dapat
diperpendek
dari
panjang
durasi
pelatihan
aslinya.
Latihan penyegaran dengan metode yang disetujui (di kelas atau kapal - belum ditentukan)
adalah:
Proficiency
in
Survival
Craft
and
Rescue
Boats
(SCRB).
Advanced
Firefighting
(AFF).
Basic
Safety
Training
(BST).
Fast
Rescue
Boat.
Medical
Training.
Pelatihan
Keamanan.
Amandemen
akan
mencakup
tiga
tingkat
pelatihan
keamanan
Tingkat
Satu
Kesadaran
Keamanan
(Semua
anggota
kru)
Tingkat
Dua
Petugas
Keamanan
Tingkat Tiga Ship Security Officer (Perwira Keamanan Kapal) - ISPS Code
Pelatihan Anti Pembajakan juga akan ditambahkan pada setiap level/tingkat.
STCW
Bab
VIII:
Tugas
Jaga.
Bagian Aturan STCW ini akan diselaraskan dengan ILO MLC. ILO MLC telah ditandatangani
pada tahun 2006 dan dibuat sebagai aturan baru yang mengatur hak para pelaut sehingga akan
ada
standar
minimum
global
tentang
bagaimana
pelaut
diperlakukan.
Harmonisasi
dengan
IMO
MLC
Ketika IMO (International Maritime Organization) melakukan pengawasan atas sertifikasi
berdasarkan Konvensi STCW, ILO melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Konvensi
MLC. Ketika ILO mengadopsi "Seafarers Bill of Rights"(Hak-Hak Dasar Pelaut) bagi para
pelaut di dunia, semua pihak - pemerintah,pelaut dan pemilik kapal - memuji standar kerja baru
ini sebagai perkembangan penting bagi sektor industri dunia yang paling terglobalisasi.IMO
telah mengambil langkah penting untuk membangun perlindungan di bidang keselamatan,
sertifikasi dan polusi, tetapi sektor ini dibanjiri dengan berbagai standar ketenagakerjaan
internasional dari sejak lebih dari delapan dekade terakhir. ILO MLC 2006 memodernisasi
standar-standar
ini
untuk:
1. Konsolidasi dan memperbarui lebih dari 60 Konvensi ILO dan Rekomendasi-rekomendasinya
yang
telah
pernah
dibuat
sebelumnya.
2. Menetapkan persyaratan minimum bagi pelaut untuk bekerja pada sebuah kapal.
3. Menangani kondisi kerja, akomodasi, fasilitas rekreasi, makanan dan katering, perlindungan
kesehatan, perawatan medis, perlindungan kesejahteraan dan jaminan sosial.
4. Mempromosikan kepatuhan bagi operator dan pemilik kapal dengan memberikan fleksibilitas
yang cukup pada pemerintah untuk menerapkan persyaratan dalam cara yang terbaik disesuaikan
dengan
undang-undang
nasional
masing-masing
negara.
5. Memperkuat mekanisme penegakan/pelaksanaan pada semua tingkatan, termasuk ketentuan
untuk prosedur keluhan yang tersedia bagi pelaut, pengawasan yang dilakukan oleh para pemilik
kapal dan nakhoda terhadap kondisi kapal-kapal mereka, yurisdiksi negara bendera dan kontrol
atas
kapal
mereka,
dan
inspeksi
negara
pelabuhan
pada
kapal
asing.
Kesimpulan
STCW ada untuk diberlakukan. Isu yang paling menarik tentang amandemen baru adalah bahwa
SCTW amandemen 2010 akan diimplementasikan lebih jauh dari MLC ILO.
Amandemen baru menggabungkan periode fase 5 tahun untuk pelaut yang sudah ada sekarang
dan pada saat yang sama mewajibkan adanya semua perubahan nyata seperti Jam Kerja &
Istirahat untuk diterapkan pada 1 Januari 2012. Jadi marilah kita persiapkan diri untuk perubahan
ini dan terus mengikuti perkembangannya.
Sumber : fm buletin kp
Diposkan oleh Dirhamsyah, SE di 18.57
Minggu, 08 Januari 2012 Sekolah Pelayaran 0 komentar
Sertifikat Pelayaran
Saat ini untuk menjadi pelaut, seseorang harus memiliki ijazah-ijazah yang diperlukan, hal ini
menyebabkan tumbuhnya sekolah-sekolah pelayaran mulai dari tingkat SLTA sampai ke
perguruan tinggi. Yang mana dengan Tingkatan sebagai berikut :
lulusan SLTP dapat melanjutkan ke Sekolah Kejuruan Pelayaran (Setarap SLTA) dengan Sistim
Pendidikan 3 Tahun Belajar teori 1 tahun Praktek Berlayar (PROLA) yang mana lulusan dari
SKP ini mendapatkan IJasah setara SLTA dan ANT IV.
Ijazah Pelaut
Ijazah bagi pelaut (perwira) di Indonesia terbagi atas ijazah dek dan ijazah mesin.
Ijazah Dek
Ijazah Dek dari yang tertinggi adalah:
1. Ahli Nautika Tingkat I (ANT I) ; dulu Pelayaran Besar I (PB I), dapat menjabat Nakhoda
kapal dengan tak terbatas berat kapal dan alur pelayaran
2. Ahli Nautika Tingkat II (ANT II) ; dulu Pelayaran Besar II (PB II), dapat menjabat:
o Mualim I/Chief Officer tak terbatas berat kapal dan pelayaran;
o Nakhoda/Master pada kapal kurang dari 5000 ton dengan pelayaran tak terbatas
o Nakhoda/Master kapal kurang dari 7500 ton daerah pantai dan harus pengalaman
sebagai Mualim I selama 2 tahun
3. Ahli Nautika Tingkat III (ANT III) ; dulu Pelayaran Besar III (PB III), dapat menjabat:
Mualim I/Chief Officer max 3000 DWT
4. Ahli Nautika Tingkat IV (ANT IV) ; dulu Mualim Pelayaran Intersuler (MPI): Perwira
kapal-kapal antar pulau
5. Ahli Nautika Tingkat V (ANT V) ; dulu Mualim Pelayaran Terbatas (MPT): Perwira
kapal-kapal kecil antar pulau
6. Ahli Nautika Tingkat Dasar (ANT D)
Ijazah Mesin
Ijazah Mesin dari yang tertinggi adalah:
1. Ahli Teknik Tingkat I (ATT I) ; dulu Ahli Mesin Kapal C (AMK C): Kepala Kamar
Mesin/Chief Engineer kapal tak terbatas
2. Ahli Teknik Tingkat II (ATT II) ; dulu Ahli Mesin Kapal B (AMK B), dapat menjabat:
o Masinis I/Second Engineer kapal tak terbatas
o Kepala Kamar Mesin/Chief Engineer dengan tenaga mesin kurang dari 3000 KW,
pelayaran tak terbatas
o Kepala Kamar Mesin/Chief Engineer dengan tenaga mesin tak terbatas, pelayaran
daerah pantai
3. Ahli Teknik Tingkat III (ATT III) ; dulu Ahli mesin Kapal A (AMK A), dapat menjabat:
o Perwira Jaga (tak terbatas)
o Masinis I/Second Engineer dengan tenaga mesin kurang dari 3000 KW, pelayaran
tak terbatas
o Kepala Kamar Mesin/Chief Engineer dengan tenaga mesin kurang dari 3000 KW
daerah pantai harus pengalaman 2 tahun sebagai Masinis I
4. Ahli Teknik Tingkat IV (ATT IV) ; dulu Ahli Mesin Kapal Pelayaran Intersuler
(AMKPI): Masinis kapal-kapal antar pulau
5. Ahli Teknik Tingkat V (ATT V) ; dulu Ahli Mesin Kapal Pelayaran Terbatas (AMKPT):
Masinis Kapal-kapal kecil antar pulau
6. Ahli Teknik Tingkat Dasar (ATT D) awak kapal..!!
Sertifikat ketrampilan
Sertifikat ketrampilan ini merupakan sertifikat yang wajib dimiliki oleh para pelaut di samping
sertifikat formal di atas. Diantaranya adalah:
1. Basic Safety Training (BST)/Pelatihan Keselamatan Dasar
2. Advanced Fire Fighting (AFF)
3. Survival Craft & Rescue Boats (SCRB)
4. Medical First Aid (MFA)
5. Medical Care (MC)
6. Tanker Familiarization (TF)
7. Oil Tanker Training (OT)
8. Chemical Tanker Training (CTT)
9. Liquified Gas Tanker Training (LGT)
10. Radar Simulator (RS)
11. ARPA Simulator (AS)
12. Operator Radio Umum (ORU) / GMDSS[4]
AIP
Pendidikan di AIP menggunakan gaya semi militer, karena memang taruna-taruna AIP adalah
merupakan perwira cadangan angkatan laut. Sejak didirikan sampai kira-kira tahun 1985, hampir
semua lulusan AIP terkena wajib militer dan bertugas di kapal-kapal perang RI dengan pangkat
perwira muda Letda Angkatan Laut. Begitu juga pada awalnya semua taruna AIP mendapat
ikatan dinas untuk menutupi kurangnya perwira laut pelayaran niaga Indonesia, yang dahulu
sebagian besar masih di nakhodai oleh perwira laut Belanda. Pendidikan pelayaran di AIP
banyak dipengaruhi oleh sistim pendidikan Akademi Pelayaran Belanda maupun Kingspoint
Academy Amerika Serikat, karena memang hampir tiap tahunnya sebagian Taruna pilihan serta
para pendidik di kirim ke luar negeri untuk tugas belajar dan jalan jalan menghabiskan uang
negara indonesia.
STIP
Pada akhirnya dunia pelayaran di Indonesia mengakhiri masa krisisnya pada awal-awal tahun 90an hingga sekarang. Sejak tahun 1998-2009, Indonesia sudah mempunyai Sekolah Tinggi Ilmu
Pelayaran setara sarjana dengan beban studi 160 sks dengan gelar S.ST (Sarjana Sain Terapan).
Jadi lulusan STIP boleh melanjutkan program S2 dan seterusnya disamping ijazah keahlian
lainnya yang kalau dijumlahkan kurang lebih ada 10 sertifikat berstandard internasional dan
menjadi sekolah pelayaran lisensi International Maritime Organization untuk Indonesia karena
memang sekarang seluruh Taruna di STIP wajib menggunakan bahasa inggris.
Sumber : www.wikipedia.com
Diposkan oleh Dirhamsyah, SE di 18.46
Sabtu, 07 Januari 2012 Hukum Maritim 0 komentar
Sejak peluncuran kapal pengangkut minyak yang pertama GLUCKAUF pada tahun 1885
dan penggunaan pertama mesin diesel sebagai tenaga penggerak utama kapal tiga tahun
kemudian, maka penomena pencemaran laut oleh minyak mulai muncul. Sebelum perang
Dunia Kedua Sudah ada usaha-usaha untuk membuat peraturan mengenai pencegahan
dan penanggulangan pencemaran laut oleh minyak, akan tetapi baru dimulai terpikirkan
setelah terbentuk International Maritime Organization (IMO) dalam Badan Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 1948. Namun demikian pada saat itu usaha untuk
membuat peraturan yang dapat dipatuhi oleh semua pihak dalam organisasi tersebut masih
ditentang oleh banyak pihak. Baru pada tahun 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian
yang dilakukan oleh pemerintah Inggris (UK), lahirlah Oil Pollution Convention yang
mencari cara untuk mencegah pembuangan campuran minyak dari pengoperasian kapal
tanker dan dari kamar mesin. Cara tersebut dilakukan dengan :
- Lokasi tempat pembuangan minyak atau campuran air dan minyak yang melebihi 100
ppm
diperluas
sejauh
50
nautical
mile
dari
pantai
terdekat.
- Negara anggota diharuskan untuk menyediakan fasilitas penampungan didarat guna
menampung campuran air dan minyak.
Selanjutnya disusul dengan amandemen tahun 1962 dan 1969 untuk menyempurnakan
kedua peraturan tersebut. Jadi sebelum tahun 1970 masalah Maritime Pollution baru pada
tingkat prosedur operasi. Pada tahun 1967 terjadi pencemaran terbesar, ketika tanker
TORREY CANYON yang kandas dipantai selatan Inggris menumpahkan 35 juta gallons
crudel oil dan telah merubah pandangan masyarakat International dimana sejak saat itu
mulai dipikirkan bersama pencegahan pencemaran secara serius.
Sebagai hasilnya adalah International Convention for the Prevention of Pollution from
Ships tahun 1973 yang kemudian disempurnakan dengan TSPP ( Tanker Safety and
Pollution Prevention ) Protocol tehun 1978 dan konvensi ini dikenal dengan nama
MARPOL 1973/1978 yang masih berlaku sampai sekarang.
MARPOL 1973/1978 memuat 5 (lima) Annexes yakni :
Annex I - Peraturan-peraturan untuk pencegahan pencemaran oleh Minyak
Annex II - Peraturan-peraturan untuk pengawasan pencemaran oleh zat-zat cair beracun
dalam jumlah besar
Annex III - Peraturan-peraturan untuk pencegahan pencemarean oleh zat-zat berbahaya
yang diangkut melalui laut dalam kemasan, atau peti atau tangki jinjing atau mobil tangki
dan gerbong tangki
Annex IV - Peraturan-peraturan untuk pencegahan pencemaran oleh kotoran dari kapal
Annex V - Peraturan-peraturan untuk pencegahan pencemaran oleh sampah dari kapal
Annex VI - Peraturan-peraturan untuk pencegahan pencemaran udara dari kapal-kapal
Konvensi ini berlaku secara International sejak 2 Oktober 1983. Isi dan teks dari MARPOL
73/78 sangat komplek dan sulit dipahami bila tanpa ada usaha mempelajari secara intensif.
Implikasi lamgsung terhadap kepentingan lingkungan Maritim dari hasil pelaksanaannya
memerlukan evaluasi berkelanjutan baik oleh pemerintah maupun pihak industri suatu
negara. Selanjutnya yang akan dibicarakan dalam buku ini adalah Annex 1 saja karena
merupakan sumber pencemaran utama dewasa ini.
Annex 1 MARPOL 73/78 yang berisi mengenai peraturan untuk mencegah pencemaran
oleh tumpahan minyak dari kapal sampai 6 juli 1993 sudah terdiri dari 26 regulation
Dokumen penting yang menjadi bagian integral dari Annex 1 adalah :
Appendix I Mengenai Daftar dan jenis minyak
Appendix II Bentuk format dari IOPP Certificate
Appendix III Bentuk format dari Oil Record Book
Berikut adalah isi dan bentuk dari dokumen dimaksud berdasarkan MARPOL 73/78 :
a. List of Oil sesuai Appendix I MARPOL 73/78 adalah daftar dari minyak yang akan
menyebabkan pencemaran apabila tumpah ke laut dimana daftar tersebut tidak akan sama
dengan daftar minyak sesuai kriteria industri perminyakan,
b. International Oil Pollution Prevention Certificate ( IOPC Certificate ) untuk semua
kapal dagang, dimana supplement atau lampiran mengenai Record of Construction and
Equipment for Ship other than oil Tankers and Oil Tankers dijelaskan secara terpisah di
dalam Appendix II MARPOL 73/78
c. Oil Record Book Buku catatan yang ditempatkan di atas kapal, untuk mencatat semua
kegiatan menangani pembuangan sisa-sisa minyak serta campuran minyak dan air di
Kamar Mesin, semua jenis kapal, dan untuk kegiatan bongkar muat muatan dan air balast
kapal tanker.
Pada permulaan tahun 1970 an cara pendekatan yang dilakukan oleh IMO dalam membuat
peraturan yang berhubungan dengan Marina Pollution pada dasarnya sama dengan
sekarang, yakni melakukan kontrol yang ketat pada struktur kapal untuk mencegah jangan
sampai terjadi tumpahan minyak atau pembuangan campuran minyak ke laut. Dengan
pendekatan demikian MARPOL 73/78 memuat peraturan untuk mencegah seminimum
mungkin minyak yang mencemari laut, tetapi kemudian pada tahun 1984 dilakukan
beberapa modifikasi oleh IMO yang menitik beratkan pencegahan hanya pada kegiatan
operasi tanker pada Annex I dan yang terutama adalah keharusan kapal untuk dilengkapi
dengan Oil Water Separating Equipment dan Oil Discharge Monitoring Systems.
Karena itu pada peraturan MARPOL 1973/1978 dapat dibagi dalam 3 (tiga) katagori :
a. Peraturan untuk mencegah terjadinya pencemaran
b. Peraturan untuk menanggulangi pencemaran
c. Peraturan untuk melaksanakan ketentuan tersebut
Sumber : Buku Sekolah Elektronik SMK Nautika Kapal Penangkap Ikan Jilid 3
han di Indonesia
Jumat, 15 Oktober 2010
International Safety Management Code (ISM Code)
Posted on 08.14 by Sailor
Biro Klasifikasi Indonesia pada International Safety Management Code (ISM Code),
( bahwa kecelakaan kapal sering terjadi karena beberapa faktor antara lain :
Disisi lain Tato menyatakan bahwa ISM Code membentuk suatu standar
internasional untuk manajemen dan operasi kapal yang aman dengan menetapkan
aturan bagi perusahaan pelayaran sehubungan dengan keselamatan dan
pencegahan polusi serta untuk penerapan Safety Management System (SMS). SMS
menjadi tulang punggung bagi perusahaan pada saat ditentukan dan
didokumentasikan, tugas dan aktifitas yang berkaitan dengan keselamatan dan
perlindungan lingkungan, baik di darat maupun di kapal. Adanya peraturan
pengoperasian kapal yang aman ISM Code tersebut diharapkan dapat mencegah
terjadinya kecelakaan-kecelakaan kapal sehingga tidak merugikan perusahaan yang
bersangkutan dan instansi yang terkait lainnya. Untuk itu diperlukan adanya
dukungan dari perusahaan atas kebutuhan operasional kapal yang aman,
perlindungan terhadap lingkungan, dan manajemen perusahaan yang baik dengan
mengoptimalkan implementasi ISM Code.
Pengawakan
Teknik
Manajemen Keselamatan dan Nautis
Manajemen Operasional
Manajemen Pengawasan/Kontrol
Manajemen Kesiapan Tanggap Darurat
Standar-standar berikut ini adalah yang relevan untuk dimengerti dan diterapkan di
dalam kebijakan dan prosedur yang tercantum dalam Sistem Manajemen .
Latar Belakang
Kategori Investigasi
1)
KNKT berwenang melakukan investigasi dan penelitian kecelakaan kapal
niaga yang terjadi di dalam wilayah perairan Indonesia (termasuk kapal berbendera
asing) dan kapal berbendera Indonesia yang mengalami kecelakaan di luar wilayah
perairan Indonesia.
2)
KNKT melaksanakan investigasi dan penelitian terhadap kejadian yang
dapat mengancam dan/atau membahayakan keselamatan kapal termasuk kapal
berbendera asing yang terjadi di dalama wilayah perairan Indonesia.
3)
KNKT dapat melaksanakan investigasi dan penelitian terhadap
kecelakaan kapal berbendera asing yang berada di luar wilayah perairan Indonesia
atas permintaan Negara Bendera (Flag State) yang bersangkutan.
Tim Investigasi
1.
Dalam pelaksanaan investigasi dan penelitian kecelakaan kapal Ketua KNKT
membentuk tim investigasi dan penelitian yang terdiri dari Ketua Tim Investigasi
(IIC) dan anggota.
2.
Tim investigasi terdiri dari tenaga-tenaga profesional dengan pengalaman
yang cukup, berlatar belakang nautika (nautical), permesinan kapal (marine
engineer), teknik perkapalan (naval architect) dan bidang lainnya sesuai kebutuhan,
antara lain: human factors specialist, dan sebagainya dengan memiliki bekal
pengetahuan yang cukup tentang peraturan peraturan Nasional dan Internasional
tentang keselamatan kapal dan pencemaran laut serta memperoleh pelatihan
formal dalam marine casualty investigation.
3. Ketua KNKT dapat meminta tenaga ahli dari berbagai institusi lain yang relevan
sesuai kebutuhan dan tergantung dari keadaan, jenis dan tingkat kecelakaan kapal.
Landasan Hukum
a.
UNCLOS Article 94. Duties of the Flag State; Disahkan dengan Undang-undang
No.17/1985
b.
IMO Resolution A.849 (20). Code for the Investigation of Marine Casualties;
c.
a.
Undang-Undang Pelayaran No. 17 Tahun 2008, Bagian Keempat Investigasi
Kecelakaan Kapal
i.
ii.
Pasal 257
b.
Keputusan Presiden No. 105 Tahun 1999, Pasal 2 UU No. 17 Tahun 1985
tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)
1982;
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Keppres Nomor 105 Tahun 1999 tentang Komite Nasional Keselamatan
Transportasi (KNKT)
k.
Hukum Maritim
PENGERTIAN HUKUM
B.
SUMBER HUKUM
Adapun yang di maksud dengan sumber hukum adalah : Segalah sesuatu dimana
orang dapat mengenal bermacam macam perturan yang berlaku di dalam
masyarakat dan oleh umum di anggap sbagai hokum, yang pada hakekat nya
merupakan peraturan peraturan yang mempuny ai kekuatan hokum.
Sumber hukum dapat terdiri dari segalah tulisan tulisan, dokumen
dokumen,naskah naskah dimana dapat di ketahui hukum yang berlaku dikalangan
suatu bangsa dalam masa yang tertentu, sumber hukum yang paling utama adalah
undang undang. Pengertian Undang undang disini adalah dalam arti yang
luas meliputi setiap keputusan pemerintah yang menentukan peraturan
peraturan yang mengikat .
C.
PEMBIDANGAN HUKUM
Hukum itu luas sehingga sulit untuk membuat definisi singkat yang meliputi segalah
galahnya, namun dapat di bagi dalam beberapa golongan hukum menurut
beberapa azaz pembagian.
1.
2.
Hukum yang mengatur hubungan hubungan antara orang yang satu dengan orang
yang lain, dengan menitik neratkan kepentingan perseorangan. Hukum sipil terdiri
dari :
Hukum sipil dalam arti luas yang meliputi Hukum Perdata dan Hukum
Dagang.
-
Pada hakekatnya antara hukum dagang dan hukum perdata tidak terdapat suatu
perbedaan yang pokok, keduanya mengandung prinsip prinsip dan pengertian
yang sama.
Terkaitnya kedua hukum tersebut terbukti dari isi Pasal 1 KUHD yang menyatakan
bahwa untuk segala peristiwa dan perbuatan dalam lapangan perniagaan itu diliputi
oleh peraturan-peraturan yang termuat baik KUHD.Dengan demikian kekurangan
pada KUHD (peraturan khusus) akan dilengkapi oleh peraturan umum dari KUHPER.
4.
Menurut sifatnya
Hukum yang memaksa, hukum yang dalam bagaimana juga keadaannya harus
ditaati dan mempunyai paksaan mutlak.
Hukum yang mengatur ( perlengkapan ) , hukum yang dapat dikesampingkan
apabila pihak - pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam
suatu perjanjian.
5.
Kodifikasi
Adapun buku kedua mengatur Hak - hak dan kewajiban - kewajiban yang
berasal dari dunia pelayaran yang dikenal sebagai Hukum laut keperdataan.
Pengusaha kapal
Pencateran
Penubrukan kapal
Karamnya kapal
Dihapus
& 10 Pertanggungan
Kerugian laut
Pengakhiran periktan
Kapal pedalaman
Undang undang nomor 4 tahun 1960 tentang wilayah laut Teritorial dan
lingkungan maritime 1939, diamendir dengan undang - undang No.17 tahun 1985
tentang konvensi Hukum Laut International.
DEFINISI HUKUM
Prof.VAN APEL DOORON, dalam bukunya yang berjudul INLEIDING TAT de
STUDIE VAN HET NEDERLANS REGHT Mengatakan bahwa adalah tidak mungkin
memberi satu defenisi tentang hukum, karna sangat sulit untuk di defenisikan karna
tidak mungkin sesuai dengan kenyataan.
Prof.E.UTRECHT,SH Hukum itu adalah peraturan-peraturan (perintahperintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan
karena itu harus ditaati.
Prof. Mr. E. MEYERS Hukum itu adalah semua aturan yang mengandung
pertimbangan-pertimbangan kesusilaan dan ditunjukan kepada tingkah laku
*SUMBER-SUMBER HUKUM*
Yang dimaksud dengan sumber-sumber hukum ialah segala apa saja yang
menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa
dan apa bila ada pihak yang melanggar, mengakibatkan sanksi yang nyata.
HUKUM LAUT
1. Laut beserta kandungan / potensi yang ada di dalamnya sebagai milik bersama
(Commom heritage of Man kind)
2. Hukum laut yang tercantum dalam The United National Convention on The Law
of The Sea 1982 adalah hukum yang mengatur laut sebagai obyek degan
mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan dan kepentingan seluruh negara
termasuk yang tidak berbatasan dengan laut (Land Lock Countris)guna
pemanfaatan laut dengan seluruh potensi yang terkandung didalamnya bagi umat
manusia sebagaimana yang tercantum dalam UNCLOS 1982 beserta Konvensi
International yang tidak terkait dengannya.
HUKUM MARITIM
Adalah hukum yang mengatur Pelayaran dalam arti pengangkutan barang dan atau
orang melalui laut, kegiatan kenavigsian dan perkapalan sebagai sarana / modal
transportasi laut termasuk aspek keselamatan maupun kegiatan-kegiatan yang
terkait langsung dengan perdagangan melalui laut yang di atur dalam hukum
Perdata / Dagang maupun Publik.
I.
1.
LANDAS KONTINEN
2.
Zona Ekonomi Eksklusif adalah jalur diluar dan berbatasan dengan laut wilayah
Indonesia yang meliputi dasar laut tanah dibawahnya dan air diatasnya dengan
batas terluar 200 mil laut diluar dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
PENGERTIAN DAMAI
Suatu lintas dianggap damai bila tidak membahayakan ketertiban dan
keamanan Negara pantai dan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan konvensi
dan aturan internasional lainnya. Adapun tindakan yang dianggap membahayakan
kedamaian, ketertiban dan keamanan kesemuanya berjumlah 12 hal yaitu :
1. Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan
wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai.
2.
Latihan perang-perangan
6.
7.
8.
Perbuatan Pencemaran
9.
Penangkapan Ikan
3. Bahwa untuk menentukan atau mengganti alur kepulauan Negara pantai harus
mendapat persetujuan dari Organisasi Internasional yang berwenang untuk itu.
Materi baru dalam UNCLOS 1982 yaitu tentang hak perikanan Tradisional tetapi
Undang undang No. 9 / 1985 masih relevan yaitu :
II.
BEBERAPA KETENTUAN YANG HARUS DIPATUHI OLEH KAPAL KAPAL ASING
SESUAI KONVENSI 1982 SEBAGAI BERIKUT :
f.Menurunkan atau menaikan segalah jenis barang alat pembayaran, ( uang ) atau
orang bertentangan dengan peraturan Pabean, Keuangan, Imugrasi dan Kesehatan
Negara
g.
h.
Setiap kegiatan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan kegitan lalulintas.
1. Wilayah laut lepas yang berbatasan dengan laut Territorial suatu Negara
pengontrolannya Di serahkan kepada Negara yang berbatasan tersebut
2. Wilayah laut lepas yang tidak berbatasan dengan laut Territorial
pengontrolannya di serahkan pada kelompok Negara negara tertentu
Permukaan Laut
2.
Dalam Laut
3.
Dasar Laut
PERUSAHAAN PELAYARAN
1. Perusahaan Pelayan atau Perkapalan adalah suatu badan usaha yang didirikan
oleh satu atau beberapa orang dengam memiliki satu satu atau benerapa kapal
decara bersama - sama dan mengelolah kapal kapal tersebut untuk pelayaran di
laut dalam bidang jasa angkutan ( KUHD 323 )
2. Penguasa kapal adalah seseorang yang memakai sebuah kapal untuk
pelayaran dilaut baik di kemudikan sendiri atau oleh seorang Nakhoda yang bekerja
padanya. ( KUHD ps. 320 )
3. Perusahaan Angkutan laut Nasional adalah perusahaan angkutanlaut berbadan
hukum Indonesia yang melakukan kegiatan angkutan di dalam wilayah perairan
Indonesia dan ke pelabuhan lluar negeri ( PP. 82 1999 ttg angkutan di perairan )
4. Perusahaan angkutan Laut Asing adalah perusahaan angkutan laut berbadan
hukum asing ( foreign shipping company ) yang kapal kapal melakukan kegiatan
angkutan laut ke dan dari pelabuhan Indonesia.
b.
c. Untuk menghubungkan pelabuhan laut antara pulau atau angkutan laut lepas
pantai di wilayah perairan Indonesia.
Persyaratan mendirikan Perusahaan Pelayaran
a.
b. Memiliki kapal berbendera Indonesia dengan ukuran GT 175 atau lebih atau
kapal tunda 150 PK dan Tongkana ukuran GT 175 atau lebih
c. Kapal berbendera Indonesia yang bersytatus leasing, di sewa oleh perusaan
Leasing,dan adanya pernyataan dari pemilik kapal bahwa tidak berkeberatan
kapalnya sebagai persyaratan izin usaha
d. Memiliki tenaga ahli setingkat Diploma III di bidang ketatalaksanaan Pelayaran
Niaga.
e.
f.
Memiliki NPWP.
g.
1.INSA ( INDONESIAN NATIONAL SHIPOWNERS ASSOSIATION )
Adalah organisasi pengusaha-pengusaha pelayaran (INSA), dalam organisasi
ini menangani tentang trayek-trayek distribusi muatan dan lain-lain untuk menjadi
bahan pertimbangan pemerintah sebelum mengeluarkan surat-surat keputusan
atau peraturan-peraturan mengenai hal tersebut.
2.ORGANISASI PERUSAHAN PELAYARAN
Bentuk organisasi perusahaan pelayaran disesuaikan dengan misi
organisasi.perusahaan pelayaran terbagi atas dua komponen yaitu dewan
pemegang saham dan eksekutif.
Dewan pemegang saham lazim disebut Dewan Komisaris yang
beranggotakan orang-orang punya andil, modal didalam perusahaan di ketahui oleh
seorang yang di sebut Presiden Komisaris.
3.JENIS PERUSAHAAN PELAYARAN
Perusahaan pelayaran di bagi menurut ruang garaknya dan jenis muatannya
(Peraturan Pem.No.2 thn 1969) sbb:
1. Pelayaran Nusantara
Yaitu untuk melakukan usaha pengangkutan antara pelabuhan atau antara pulau
nusantara yang dibagi daerah pelayaran dalam RLS RLS (Reguler Liner Service)
Untuk membawa trayek-trayek yang dianggap minus mengoperasikan kapal-kapal
niaga dengan nama PERITIS
2. Pelayaran Lokal
4.
PER VEEM AN
7. Penyerahan
8. Pengukuran
9. Pemerkahan
10. Expedisi dll
5.
Ialah usaha jasa untuk mengurus dokumen-dokumen muatan, baik untuk pemuatan
maupun pembongkaran, dan semua pekerjaan yang berhubungan dengan
pemuatan dan pembongkaran, penerimaan atau penyerahan muatan.
EMKL bisa usaha terpisah / tergabung dalam perusahaan pelayaran / Veem. Tujuan
EMKL :
-
6.
Stuwadoring ( Stewedoring )
Ialah usaha dibidang jasa dalam bongkar muat kapal, Usaha ini dibina oleh Badan
Pengusaha Pelabuhan dan Perusahaan Pelayaran, dan diselenggarakan oleh
Yayasan yaitu Yayasan Usaha Karya ( YUKA )
7.
Tally Association
Adalah perhitungan, bentuk usaha ini di Indonesia merupakan unit / bagian dari
perusahaan pelayaran atau Veem atau EMKL / Stuwadoring tapi di luar negeri
kadang-kadang di lakukan juga antara pengirim dan pengangkut.
AWAK KAPAL
1. Awak kapal adalah orang yang bekerja atau di pekerjakan di atas kapal oleh
pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan
jabatan yang tercantum dalam buku sijil ( UU No. 2/1992 )
2. Nakhoda adalah seorang dari awak kapal yang menjadi pimpinan umum di atas
kapal serta menjadi wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai peraturan
perundang undangan yang berlaku ( UU No. 21 / 1992 )
3.
4. Pemimpin kapal adalah seorang dari awak kapal yang menjadi pimpinan umum
di atas kapal untuk jenis dan ukuran tertentu serta mempunyai wewenang dan
tanggung jawab tertentu bereda dengan yang di miliki Nakhoda ( UU No. 21 )
5.
Anak kapal adalah merekla yang tercantum dalam daftar anak kapal ( KUHD )
6.
Anak buah kapal adalah anak kapal selain Nakhoda ataupun pemimpin
a.
b. Perwira adalah mereka yang dalam daftar anak kapal di berikan pangkat
sebagai perwira ( KUHD )
c. Pelaut adalah setiap orang yang mempunyai kualifikasi keahlian atau
ketrampilan sebagai awak kapal ( PP 7/ 2000 )
Persyaratan untuk bekerja di kapal
a.
b. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan rumah sakit yang di
tunjuk pemerintah
c.
d.
Di sijil
b.
c.
d.
e.
f.
b.
c.
d.
f.
Tidak boleh membawa atau menmiliki minuman keras, tidak membawa
barang barang terlarang, senjata dan sebagainya di kapal tanpa seizin Nakhoda
g.
Keluar dri kapal denga izin Nakhoda dan pulang kembali tidak terlambat
h.
Wajib membantu memberikan pertolongan dalam penyelamatan kapal dengan
muatan ddengan menerima upah tambahan
i.
Menyediakan diri untuk Nakhoda selama 3 hari setelah habis kontrak nya
untuk kepentingan membuat kisah kapal
b.
c. Pelaut tidak harus bernegosiasi setiap pembutan PKL karena PKL tidak boleh
bertentangan dengan KKB
b.
c.
2.
Tanggal Pembuatan
3.
Jenis PKL
4.
5.
Kewajiban Pelaut
6.
Hak Pengusaha
7.
Kewajiban Pengusaha
8.
Jabatan di kapal
Menakhiri hubungan kerja dapat di lakukan dengan secara sah dan tidak sah
2.
a.
b.
c.
d.
e.
Alasan mendesak
f.
Alasan penting
Alasan mendesak bagi majikan ialah tindakn, sifat atau perilaku buruh yang
mengakibatkan bahewa ari pihak majikan secara wajar tidak dapat dibenarkan
( tolelir ) untuk selanjutnya hubungan kerja misalnya :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
d.
e.
f.
g.
Bila PKL ingin di putuskan dengan alasan mendesak maka harus di sampaikan
secepat mungkin kepada pihak lain. Apabila tidak di smpaikan secepat mungkin
maka alasan mendesak berubah jadi alasan penting. Untuk pemutusan dengan
alasan penting harus di ajukan melalui Pengadilan Negeri atau kalau di luar negeri
melalui perwakilan RI
1. Pemimpin kapal
2. Pemegang kewibawan umum di atas kapal
3. Pegawaiu kepolisian
4. Pegawai pencatatan sipil
5. Notari
b.
c.
d.
b.
b.
c.
Mendengar dari tertudu dan saksi serta mencatat dalam berita acara
d.
Mengamankan tertudu
e. Menyerahkan berkas, barang bukti dan tertudu kepada polisi setibanya kapal di
pelabuhan
d. Membuat akte perjanjian antara pelajar yang berada di kapal juga dengan 2
orang saksi.
A. Sijil awak kapal adalah daftar dari semua orang yang akan melakukan dinas
anak buah kapal (bekerja disuatu kapal)dan dibuat dihadapan syahbandar dan
dibuat dalam rangkap 2 (dua)
1(satu)lembar untuk nahkoda dan lembar lainnya untuk syahbandar
Sijil; Awak kapal ditanda tangani oleh nahkoda dan syahbandar/pegawai
pendaftataran anak kapal
B. Isi sijil dari awak kapal :
a.
b.
c.
d.
e.
Nama-nama dari dua perwira yang harus hadir pada waktu menjatuhkan hukum
f.
Nama-nama dua perwira kapal dengan siapa nahkoda berunding sebelum
mengasingkan (masuk tujuan) seorang penumpang yang menjadi gila atau yang
yang telah melakukan kejahatan
C. Yang tercantum dalam sijil awak kapal
a. Semua orang yang membuat perjanjian kerja laut dengan pengusaha
kapal,serta yang diwajibkan melakukandinas awak kapal(Mualim,Masinis,Serang
dts)
b. Semua yang diizinkan pengusaha kapal, untuk berniaga atas tanggungan
sendiri(tukang cuci,tukang potret,tukang cukur)
c.
b.
c.
Buku Pelaut
b. Tidak boleh melakukan tugas bila nama nya tidak tercantum dalam sijil awak
kapal
b.
Berganti pengusaha
c.
Pergantian Nakhoda
d.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m. Cargo Manifest
n.
Buku kesehatan
Biro Klasifikasi
Tujuan dari biro klasifikasi adalah untuk mensurvey dan mengklaskan kapal
berdasarkan suatu pembukuan persyaratan pembangunan maupun permesinan
kapal tugas mana dijadikan jaminan bagi pihak pihak tertentu yang mempunyai
kepentingan (pemilik muatan, asuransi). Pemerintah dapat memanfaatkan Biro
Klasifikasi untuk memeriksa dan menertibkan sertifikat serta nama pemerintah
yang memberikan kewenangan sertifikat sertikat yang dikeluarkan Biro Klasifikasi
(Class Certificate) tidak mengikat pemerintah.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pengukuran kapal
Setiap kapal yang digunakan untuk berlayar wajib diukur. Pengukuran dapat
dilakukan menurut tiga metode :
a.
Pengukuran dalam negeri yang digunakan untuk pengukuran dan penentuan
tonase kapal yang panjangnya kurang dari 24 meter.
b.
Pengukuran international yang digunakan untuk pengukuran dan penentuan
tonase kapal yang panjangnya kurang dari 24 meter atau lebih.
c.
Pengukuran khusus digunakan untuk pengukuran dan panentuan tonase kapal
yang akan melewati terusan tertentu.
Atas permintaan pemilik kapal yang panjangnya kurang dari 24 meter dapat
dilakukan pengukuran menggunakan metode International. Kapal yang telah diukur
dengan menggunakan metode pengukuran dalam negeri.
Hal pengukuran kapal disusun dalam daftar ukur untuk menetapkan ukuran dan
tonase kapal. Terhadap kapal yang berdasarkan pehitungan diperoleh isi kotor 20
meter kubik yang setara dengan GT 7 atau lebih diterbitkan surat ukur.
1.
2.
Surat ukur tidak berlaku apabila kapal tidak digunakan lagi antara lain karena :
a.
Kapal discrap.
b.
Kapal tenggelam.
c.
Kapal musnah.
d.
Kapal terbakar.
e.
peruntukannya.
Surat ukur baru sebagai pengganti surat ukur lama dapat diterbitkan apabila :
a.
b.
c.
a.
Panjang kapal.
b.
Lebar kapal
c.
Dalam ( depth )
d.
Isi kotor.
e.
Isi bersih.
Buku harian kapal menurut peraturan dengan maksud menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau menutupi perbuatan tersebut dianggap melakukan perbuatan
kejahatan dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara ( KUHD ps 466 ).
2.
A. Bahan pembuktian
B. Sumber data bagi hakim jika terjadi sengketa
C. Sebagai bahan pengawasan oleh pemerintah
D. Kapal-kapal yang diwajibkan menyelenggarakan Buku Harian Kapal adalah
kapal yang berukuran 500 meter kubik atau lebih (KUHD) sedangkan menurut
Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2002 kapal dengan isi kotor GT 100 atau lebih
harus menyelenggarakan Buku Harian Kapal sewdangkan kapal dengan tenaga
penggerak utama 200 TK atau lebih harus menyelenggarakan Buku Harian Mesin
kapal-kapal yang mempunyai perangkat radio harus menyelenggarakan Buku
Harian Radio.
E. Buku Harian harus terbuat dari bahan yang baik dijilid dan dengan baik, kolomkolom yang tersedia untuk mencatat kejadian-kejadian di kapal. Tiap halaman harus
di beri nomor halaman.Dibagian muka Buku Harian Kapal harus terdapat pentunjuk
halaman yang menyebutkan keterangan mengenai :
1.
2.
3.
4.
Pengedokan, Perbaikan
5.
6.
Latihan-latihan Berkala
7.
8.
9.
Hal-hal yang dilarang dalam penyelenggaraan Buku Harian karena akan
mengurangi kekuatan pembuktiannya adalah :
1.
Menghilangkan halaman
2.
Penambahan halaman
3.
Pengosongan halaman
4.
Perobahan, penambahan
5. Penghapusan (kalau ada kesalahan tidak boleh di / tip ex tapi di coret dan di
paraf)
Sebelum digunakan Buku harian harus di legalisir oleh pejabat pemerintah yang di
tunjuk dimana setiap haraman di paraf dan sebulan sekali Buku Harian di eshibitum
( di perlihatkan kepada pejabat yang di tunjuk )
Kisah Kapal
Kisah kapal sdalah suatu akte otentik yang di buat di hadapan Syabandar atau
Notaris mengenai kejadian kejadian selama pelayaran yang di gunakan sebagai
bahan pembuktian pada kejadian kejadian penting yang mungkin menimbulkan
kerusakan kapal kadang kadang kisah kapal di sebut juga Merine Note Of Protest
kekuatan pembuktian sama dengan Buku Harian Kapal. Kisah Kapal memuat
keterangan lebih rinci yang tidak dapat di tulis dalam buku harian karena
keterbatasan tempat.
1. Kisah kapal harus dibuat dalm waktu 3 kali 24 jam setibanya kapal di
pelabuhan, setidaknya kisah kapal yang harus di susul dengan yang lengkap dalam
waktu 30 hari. Pembuatan kisah Kapal sementara biasanya kalau ada kerusakan di
bawah air yang belum kelihatan sebelum kapal naik dok. Selain Nakhoda awak
kapal yang mengetahui kejadian itu ikut menandatangani Kisah kapal . Isi dari kisah
kapal antara lain Kapal mengalami cuaca buruk sehingga di kuatirkan akan
mengalami kerusakan kapal dan muatan, kecelakaan kecelakaan yang terjadi,
serta tindakan yang di ambil oleh Nakhoda untuk mencgah atau mengurangi
kerusakan. Kisah kapal merupakan suatu perikatan sepihak dan karena siapa yang
membuat kisah kapal hanya mengikat dirinya sendiri.
2. Kejahatan dan pelanggaran pelayaran
3. Di dalam undang undang hukum pidana ( KUHP ). Kitap Undang undang
Hukum Dagang ( KUHD ) serta Undang undang No 21 tahu 1992 tentang
pelayaran di atur tindakan tindakn yang di kategorikan sebagai kejahatan atau
pelanggaran pelayaran untuk perbuatan yang di anggap kejahatan ancaman
hukumannya adalah. Hukuman kurungan (penjara) sedangkan untuk pelanggaran
ancaman hukuman penjara atau boleh di ganti dengan denda.
4. Contoh kejahatan pelayaran menurut KUHP :
a.
Pembajakan di laut
Nakhoda yang melarikan diri dari tugasnya di ancam hukuman 2 tahun 8 bulan
e. Awak kapal yang melarikan diri dan dapat membahayakan kapal di ancam
hiukuman 1 tahun 4 bulan
f.
Awak kapal yang menyerang orang lain yang lebuh tinggi jabatannya di hukum
2 tahun 8 bulan. Kalau berakibat luka di hukum 4 tahun jika meninggal di ancam
hukuman 12 tahun
g. Insubordinansi yang di lakukan bersama sama di ancam 7 tahun, bila ada
yang terluka 8 tahun 5 bulan dsan bila mati 15 tahun
h. Barang siapa yang meghasut di kapal supaya memberontak di ancam hukuman
6 tahun
i.
Barang siapa dengan sengaja menenggelamkan dan mendatangkan bahaya
kepada orang lain di hukum maximum 6 tahun
Sedangkan dalam Undang undang No. 21 tahun 1992 tentnag Pelayaran :
Barang siapa dengan sengaja merusak sarana bantu navigasi sehingga tidak
berfungsi lagi di ancam hukuman 12 tahun penjara Kalau menimbu;kan bahaya
terhadap kapal lain 15 tahun dan kalau ada orang yang meninggal karena itu di
ancam huuman penjara 20 tahun
Sanksi sanksi lain yang di atur dalm Undang undang NO, 21 tahun 1992
1. Nakhoda yang tidak berada di atas kapal atau meninggalkan kapal tanpa
alasan yang sangat memaksa , selama kapal berlayar dengan pidana penjara 5
tahun 6 bulan
2. Nakhoda atau pimpinan kapal yang melayarkan kapalnya sedangkan ia
mengetahui kapalnya tidak laik laut di pidana dengan pidana paling lama 3 bulan
atau denda 6 juta rupiah
Nationality ( Kebangsaan )
1. Secara dasar tata kebangsaaan adalah hubungan legal antara negara dan
warganya mencakup hak dan kewajiban antara keduanya.
2. Istilah Nationality kemudian di terapkan terhadap kapal, dalam hukum maritim
di gunakan sebagai istilah yang menentukan hubungan hukum antara sebuah kapal
dan Negara benderanya
3. Konsep kebangsaan di perluas terhadap kapal kapal karena adanya hak
kebebasan dari laut dan pelayaran, di bawa hukum internasional . Hal ini di
karenakan setiap negara apakah berpantai atau tidak ( land Lock ) mempunyai hak
untuk melayarkan kapal dengan menggunakan benderanya dan yang kedua adalah
kenyataan bahwa tidak suatu negara yang mempunyai kedaulatan di luar Laut
wilayahnya. Sehingga jelas bahwa kapal akan di pisahkan tidak hanya dari
pengawasan suatu negara tetapi juga di laut terlepas dari pelaksanaan peraturan .
Itulah sebabnya kapal harus punya kebangsaan.
KAPAL
92
setiap kapal harus berlayar di bawah hanya satu kebangsaan. Hal
ini di
sebabkan : Karena semua negara apakah berpantai atau
tidak ( land Locked )
mempunyai hak untuk melyarkan kapalnya di bawah bender kebangsaan di laut
bebas ( high seas )
PENDAFTARAN KAPAL
Bukti pemilikan
b.
Idntits pemilik
c.
Surat Ukuyr
d. Bagi kapal yang di beli dari Luar Negeri harus di lampirkan surat [pernyatan
bahwa telah di coret dari pendftaran negara as
e. Bukti kepemilikan dapat merupakan surat kontrak dan bukti penyerahan dari
galangan pembuatan atau untuk kapal yang di buat secara traditional surat tukang
yang di kethui camat, bagi kapal yang di beli di luar Negeri berupa Bill of Sale
Protocol of Deliferi dari pemilik lama
f.
Kapal yang sudah di daftar harus memasang tanda pendaftaran beruoa
rabgkain dari angka dan huruf yang menunjukan tahun pendaftaran,, kode
pengukuran dari tempat kapal di daftar dan no akte pandaftaran ini biasa di pasang
di dinding depan anjungan
Kapal yang sudah di daftar di bri surat tanda kebangsaan yang di Indonesia
dapat berupa Surat Laut untuk Kapal GT 175 atau lebih.b) Pas tahunan untuk kapal
antara GT 7 dan GT 175, dan c)Pas kecil untuk kapal kurang dari 1 GT 7
Sebagai bukti hak milik bagi kapal sudah di daftar di berikan Groose akte sedangkan
akte disimpan oleh Pegawai Pensdaftaran kapal.
Isi dari akte Pendaftaran memuat hal hal sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
Data Kapal
e.
3.
4.
Menurut Konvensi International tentang pendaftaran 1986 data data yang harus
ada antara lain :
1.
2.
3.
Call Sing
4.
5.
6.
7.
8. Nam, Alamat dari bareboat charter bila undang undang suatu negara
mengizinkan pendaftarn kapal di bawah bareboart charter
9. Data da penhypotikan atau penanganan beban sejenis terhadap kapal sesuai
undang undang Negara nya
10. Bila lebih dari satu oarang pemilik besarnya share masing masing pemilik
11. Nama serta alamat dari opertor bila operator bukan pemilik atau bareboart
charter
12. Dalam pendaftaran kapal di anut steksel negatif, artinya pejabat pendaftar dan
pejabat balik nama kapal tiadak bertanggung jawab atas kebenaran materi
dokumen yang di sampaikan oleh poemilik kapal
13. Kapal yang sedang di bangun di dalam atau di luar negeri dapat di daftar untuk
sementara dengan di buatkan akte pendaftaran untuk mendapatkan akte
sementara
Pemilik harus mengadakan permohonan dengan melampirkan :
a.
b.
Identitas pemilik
c.
d.
e.
f.
Akte sementara tidak berlaku lagi saat kapal di serah terimakan atau pada saat
di nyatakan tidak di lanjutkan
Bukti pemilikan
b.
Identitas pemilik
c.
d.
Surat ukur baru, dalam hal terjadi perubahan dari surat ukur yang lama
Pendaftaran Kapal di catat dalam Buku Daftar Kapal Indonesia yang terdiri
dari :
1.
Daftar harian
2.
3.
1.
Kapal tenggelam
2.
Kapal di rampas oleh bajak laut, hak milik nya kepada asuransi
3. Dalam hal pemilik melepaskan hak miliknya kepada asuransi jika kapal di
anggap hilang
4.
Kapal discrap
5.
Maritime Lines
Klaim klaim berikut dapat diamankan dengan maritime lines.
1. Gaji dan pendapatan lain dari Nahkoda, Perwira dan Abk sehubungan dengan
penugasan mereka dikapal
2.
6.
1. Kapal yang didaftarkan dianggap benda tak bergerak dan dapat diletakkan
hipotik
2.
3.
Kalau kapal dilelang maka urutan yang di istimewakan untuk dibayar adalah :
a.
b. Piutang yang terbit dari persetujuan perburuhan dari Nahkoda dan anak buah
kapal selama waktu mana mereka berada di kapal
c.
Upah penolongan, upah pandu laut uang petunjuk dan uang biaya pelabuhan
d.
e.
Beban hipotik
Aspek keselamatan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
2.
a.
b.
c.
Ships 1976
d.
e.
3.
United Nations Convention on the Law of the sea 1982 (Bab XII)
8. International Convention on Civil Liablity for oil Pollution Damage 1969 and
1976 Protocol
9. International Convention on Liablity and Convensation for Damage in
connection with carriage of hazardous and Noxious Subtances by Sea 1990
10. International Convention on the Estabilishment of and International fand for
Conpensation for oil Pollution damage 1971
c. Pada setiap perjalanaan, sesuai jumlah barang yang telah diserahkan, jika
dikehendaki oleh penyewa, pengangkut harus mengeluarkan konosemen (B/L)
2.
9.
10. Ganti rugi pada pemilk kapal karena ketidak hati hatian waktu bongkar muat.
11. Ketentuan Antwerp Rules 1974/1990 mengenai kerugian laut ( general avarege )
3. Pemilik kapal memastikan bahwa kapal nya dalam keadan lengkap dan layak
laut
4. Penyewa menyetujui tersedianya barang secara penuh dan membayar uang
tambang
5.
6.
7. Memberi hak kepada penyewa untuk membatalkan perjanjian bila kapal tidak
sampai pada waktu dan pelabuhan tertentu yang telah di sepakati
8.
9.
Kerugian Laut
Semua kerugian yang timbul akibat pengorbanan luar biasa yang di lakukan dan
biaya yang di keluarkan oleh kapal maupun pemilik barang, demi untuk
penyelamatan kapal beserta barang muatan dalam menghindari bahaya dilaut,
dinyatakan sebagai kerugian laut dan harus ditanggung bersama secara
propesional oleh semua pihak yang berkepentingan
Defenisi :
Carrier adalah termasuk owner atau Charterer yang melakukan kontrak
pengangkutan dengan Shipper (Hague Rules)
Pengangkut adalah barang siapa yang baik dengan persetujuan charter menurut
waktu charter menurut perjalanan, baik dengan suatu persetujuan lain,
mengikutkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang, yang seluruhnya
atau sebagian melalui laut ( KUHD ps.466 ).
Goods ( barang ) termasuk barang barang, barang dagangan dan barang barang
apapun kecuali binatang hidup dan muatan menurut kontrak pengangkutan
dinyatakan sebagai muatan geladak dan diangkut demikian.
Kontrak pengangkutan berlaku hanya untuk kontrak kontrak pengangkutan
yang dilindingi olen konosemen atau dokumen yang sama untuk pengangkutan
dilaut termasuk tiap konosemen yang dikeluarkan dibawah charter party
Kewajiban Pengangkut
Sebelum Pelayaran pengangkut harus melaksanakan due diligence
1.
2.
Melengkapi kapal dengan awak kapal, perlengkapandan perbekalan yang
cukup.
3.
Mempersiapkan ruang muatan, kamar pendingin dan ruang buku dan semua
ruangan yang digunakan untuk muatan dan keadaan siap untuk menerima dan
mengakut muatan.
4.
Pengangkut akan melaksanakan pemuatan pemuatan, penanganan,
penyusunan, menyimpan dan memelihara dan membongkar muatan dengan baik
dan hati hati.
5.
Pengankut diwajibkan menjaga keselamatan barang yang diangkutnya mulai
dari saat diterimanya sampai saat diserahkan
( tapi dalam Hague Rule tanggung jawab pengangkut ditentukan
From Shackle to Shackle ).
6.
Pengkut diwajibkan membayar segala kerugian yang disebabkan karena
barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkannya atau karena
terjadi kerusakan terhadap barang itu kecuali apabila dibuktikannya bahwa tidak
diserahkannya barang atau kerusakan tadi disebakan oleh :
a. Tindakan atau kelainan atau kesalahan dari nakhoda, pelaut atau pandu dalam
bernavigasi atau dalam mengurus kapal.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Tindakan atau penghilangan oleh shipper atau pemilik barang, agent atau
perwakilannya.
j.
k.
l.
Pemogokan buruh.
Huru hara.
Penyelamatan jiwa atau harta benda dilaut.
m. Kebocoran pada muatan curah atau berkurangnya berat akibat muatan itu
sendiri.
n.
2.
Jumlah koli atau berat sesuai yang disampaikan shipper secara tertulis.
3.
a. Tidak boleh pengangkut atau Nakhoda atau agent memasukan merk, berat
walaupun mereka punya alasan yang masuk akal untuk mencurigai bahwa, merk,
berat dan jumlahnya tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
b. Bill of Lading itu merupakan Prima facie evidence ( bukti ) penerimaan muatan
kapal, bagaimanapun bukti untuk hal yang berlawanan tidak diijinkan bila Bill of
Lading telah ditransfer ke pihak ketiga.
c. Shipper memberi jaminan kepada pengangkut bahwa informasi yang mereka
berikan sehubungan dengan merk jumlah, berat dan kondisi muatan adalah benar
dan shipper akan mengganti kerugian terhadap pengangkut akibat dari ketidak
cocokan informasi yang diberikan.
d. Aturan aturan dari Hague Rules tidak berlaku terhadap pengangkutan
berdasarkan kontrak, tapi apabila Bill of Lading diterbitkan maka harus sesuai
dengan aturan ini.
e.
f.
Perjanjian pengangkutan dapat juga dibuat antara shipper dan pengangkut
dalam suatu kondisi yang tidak bertentangan dengan kebijakan yang umum tapi
dengan persyaratan tidak ada Bill of Lading yang diterbitkan.
g. Aturan dari Konvensi hanya berlaku untuk Bill of Lading mengenai
pengangkutan.
h.
i.
j.
Kontrak berisi atau aturan penerbitan Bill of Lading sesuai dengan konvensi ini.
Nama dari pihak pihak yang mengikatkan diri (pencharter dan pemilik
2.
Nama kapal Warranti Seaworthiness (janji kelaik lautan) dapat
berbentuk Good ship Classed 100 A1 at BKI yang penting adalah kapal tak laik
laut selama charter.
3.
4.
Pelabuhan bongkar muat untuk voyage charter untuk time charter
mencantumkan tanggal penyerahan kembali (delevery and redelevery date).
5.
Muatan yang diangkut untuk voyage charter sedangkan untuk time
charter dimasukan jarak pelayaran (radius of Trading) misalnya word radius, ice
bond ports excepted.
6.
Posisi kapal untuk voyage charter, sedangkan untuk time charter diganti
dengan tanggal dan tempat penyerahan.
7.
Pembayaran untuk voyage charter dengan uang tambang berdasarkan
jumlah yang diangkut dan untuk time charter dengan sewa untuk janka waktu
perjanjian.
8.
9.
10.
Lien clause, memberikan kepada pemilik kapal hak menahan muatan jika
freight atau hire belum dibayar.
11.
Act of God identik dengan clause yang tercantum dalam the hague rules.
12.
13.
Exemton from libality clause, mencakup sejumlah peristiwa dimana pemilik
kapal dapat meminta pembebasan seperti :
a.
b.
3.
Bert charter,kapal dicharter untuk pmuatan on the bearth (tempat
sandar kapal).
4.
Certificate of delivery / redelivery,dokumen ditanda tangani oleh nakhoda /
pemilik kapal yang mencantumkan tanggal penyerahan dan sisa bahan bakar.
5.
Clean charter, dimaksudkan untuk C/P yang tidak mencantumakn hal hal
yang luar biasa (unusual tems).
6.
Consigment clause, penujukan agen pemilik atau agen pencharter yang
mengurus Inward and Outward business.
7.
Convenient speed, dalam voyage charter untuk menghilangkan
kontroversi mengenai kecepatan kapal selama pelayaran.
8.
9.
Dead freight, uang tambang yang dibayar untuk muatan yang tidak
dikapalkan.
10.
Notice of Readiness, pemberitahuan yang disampaikan Nakhoda kepada
pencharter bahaw kapal siap untuk mulai pembuatan / pembongkaran.
11.
On the Survey off hire safety, dalam time charter sebagai syarat untuk
penyerahan kapal dalam keadaan yang baik (good order and codition).
12.
Open charter, suatu C/P yang tidak mencantumkan jenis muatan maupun
pelabuhan tujuan.
13.
Pront ship kapal yang siap untuk memuat dalam jangka waktu yang relatif
singkat.
14.
Safe berth safe port, tempat yang dapat didatangi dengan aman dalam
segi nautis.
15.
Subletting, pihak pencharter diberikan hak untuk melakukan recharter,namun tetap bertanggung jawab kepada pemilik.
2.
Fungsi Konosumen
a.
b.
Persyaratan pengangkutan
c.
d.
Sarana Negosiasi
Menurut cara
2.
Konosumen lanjutan ( Through B/L ) di gunakan untuk barang yang di angkut
beberapa kapal ( 1st carrier 2nd carrier )
3.
Konosumen optie ( Optional B/L ) konosuman yang di gunakan untuk
pengangkutan muatan yang pada waktu bertolak belum di ketahui pelabuhan
tujuannya
4.
House Bill Of Loading ( konosumen Intern ) di pelabuhan tujuan pihak agen
akan membongkar muatan dan menyampaikan kepada masing masung
penerima . Biasanya di gunakan untuk angkutan CLC Conteiner
Penyerahan Barang
1. Pemegang Konosumen ( Consigne ) erhak atas barang sebagaimana tercatat
dalam konosumen untuk dapat menerima barang tersebut Consignee harus dapat
menyerahkan konosumen asli dalam barang yang di angkut telah tiba di pelabuhan
tapi konosumen asli belum di terima oleh Consignee maka pengangkut bersedia
menyerahkan barang jika dari pihak consaignee memberikan jaminan berupa :
a.
3. Walaupun ada tiga pihak yang terkait, Konosumen tergolong dalam perjanjian
Unilateral karena hanya pengangkutan yang menentukan syarat pengangkutan
tetapi mengikat pihak lain. Di dalam Konosumen tercantum : Clause Cassatoria
yang berbunyi sebagai berikut : dengan menerima barang di yatakan tunduk
kepada syarat pengecualian, dan ketentuan yang di tulis dicetak atau di cap di
halaman belakang konosumen
4.
Menurut kepentingan :
3.
4.
Polis asuransi
Pro rata freight, muncul kalau kapal dalam perjalanan mengalami keadaan
yang tidak memungkinkan melanjutklan perjalanan ke pelabuhan tujuan
g.
h.
i.
UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia sebagai pengganti UU No.4/
Prp tahun 1960
Safety contruction
Safety Navigation
Safety Equitment
Safety Radio
CLAUSE 1-16
PART A Inplementasi
1. Umum
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Jumlah minyak yang boleh di buang 1/5000 kapasitas angkut dari kapal tanker
Ship ) tahun 1973 dan kemudian di sempurnakan oleh TSPP ( Tanker Safety and
Pollution Prevention ) protokol pada tahun 1978 biasa disebut dengan dengan
MARPOL 1973 protokol 1978 memuat 5 annex yang berlaku sampai skarang
ANNEX
: PERATURAN PENCEGAHAN
PENCEMARAN OLEH MINYAK MULAI
OKTOBER 1983
BERLAKU TANGGAL, 2
Bab 1
UMUM
Aturan 1
: Definisi
Aturan 2
: Penerapan
Aturan 3
: Equipalents
Aturan 4
Aturan 5
: Pemberian Sertifikat
Aturan 6
Aturan 7
: Format Sertifikat
Aturan 8
: Pengontrolan Pelabuhan Negara terhadap
persyaratan opersional
Bab II
Aturan 9
OPERASINAL POLUSI
Aturan 10
: Metode pencegahan polusi oleh minyak dari kapal
yang sedang beroperasi diwilayah tertentu.
Aturan 11
: Pengecualian.
Aturan 12
: Penerimaan fasilitas
Aturan 13
: Tanki ballas yang dipisahkan, tanki ballas bersih yang
dipisahkan, dan pencucian minyak mentah.
Aturan 13A
ballast.
Aturan 13B
Aturan 13C
tertentu.
Aturan 13D
Aturan 13E
Aturan 13F
atau kandas.
Aturan 13G
: Pencegahan polusi minyak pada peristiwa tubrukan
atau kandas, tindakan untuk kapal yang ada.
Aturan 14
: Air ballast minyak yang terpisah dan membawa
minyak dalam tanki ceruk depan.
Aturan 15
Aturan 16
: Sistim pengontrolan dan monitoring pembongkaran
minyak dan peralatan penyaringan minyak.
Aturan 17
Aturan 18
: Susunan pemasangan pompa, pipa dan
pembongkaran tangker minyak.
Aturan 19
Aturan 20
Aturan 21
platform.
Bab III
PERSYARATAN UNTUK MEMINIMALKAN POLUSI MINYAK DARI
KAPAL TANKER YANG MENGALAMI
KERUSAKAN LAMBUNG DAN LUNAS
Aturan 22
: Perkiraan kerusakan.
Aturan 23
Aturan 24
cargo.
Aturan 25
Bab IV
PENCEGAHAN POLUSI YANG DITIMBULKAN OLEH
KECELAKAAN POLUSI MINYAK
Apendicts
Annex 1
Aturan 26
Appendix I
: List of oil.
Appendix II
Appendix III
150 M
Appendix II
regulation 13 E.
Appendix III
chemical tanker.
Appendix IV
Appendix V
: Specification for design instalation and operation of a
part flow system for control of overboard discharges.
Appendix VI
Appendix VII
: Guidelines for approval of alternative strctural or
operational arragement as called for in MARPOL
73/78 ANNEX I
Regulation 13G (7).
Appendix VIII
: Intermguidelines for the approval of alternative
methods of designs and contruction of oil tankers
under
regulations 13F (5) or annex 1of MARPOL
73/78.
ANNEX II
: PERATURAN BAGI PENGAWASAN PENCEMARAN
OLEH BAHAN KIMIA CAIR YANG BERBAHAYA
DALAM JUMLAH
YANG BESAR ANNEX INI
BERLAKU MULAI TANGGAL 06
APRIL 1987.
Aturan 1
: Definisi.
Aturan 2
: Penerapan.
Aturan 3
berbahaya.
Aturan 4
Aturan 5
Aturan 6
: Pengecualian.
Aturan 7
Aturan 8
: Ukuran pengawasan.
Aturan 9
Aturan 10
: Pemeriksaan.
Aturan 11
: Penerbitan sertifikat.
Aturan 12
Aturan 12A
Aturan 13
disengaja
Aturan 14
kimia.
Aturan 15
: Pengawasan bagian pelabuhan atas persyaratan
persyaratan operasional.
Appendix II
Appendix III
Appendix IV
subtance in bulk
Appendix V
Appendix for Unified Interpretation of Annex II of Marpol 73/78 and in the IBC code
with respect to pollution hazard
Standar for prosudures and argements for the discharge of noxious liquit subtance
( Required by regulation 5,5a & 8 )
Appendix A
and piping
Appendix B
: Prewas Presuderes
Appendix C
: Ventilation prosedures
Appendix D
manual
ANNEX III
: PERATURAN UNTUK PENCEGAHAN POLUSI DARI
BAHAN BAHAN BERBAHAYA YANG DI BAWAH
DALAM BENTUK KEMASAN
Mulai berlaku secara Internasional tanggal 1 juli 1992
Aturan I
: Penerapan
Aturan 2
: Kemasan
Aturan 3
Aturan 4
: Dokumentasi
Aturan 5
: Penyimpanan
MELALUI LAUT
Aturan 6
: Batas quantitas
Aturan 7
: Pengecualian
Aturan 8
opersional
ANNEX IV
: PERATURAN UNTUK PENCEGAHAN PENCEMARAN
OLEH KOTORAN BUANGAN DARI KAPAL (Berlaku tanggal 27 September 2003)
Aturan 1
: Definisi
Aturan 2
: Penerapan
Aturan 3
: Survey
Aturan 4
: Pengeluaran Sertifikat
Aturan 5
pemerintah lain
Aturan 6
: Bentuk Sertifikat
Aturan 7
: Duration of Certificate
Aturan 8
: Pembuangan Kotoran
Aturan 9
: Pengecualian
Aturan 10
: Fasilitas Penerimaan
Aturan 11
Aturan 1
: Definisi
Aturan 2
: Penerapan
Aturan 3
Aturan 4
Aturan 5
1988 )
Aturan 6
: Exception
Aturan 7
: Fasilitas Penerimaan
Aturan 8
Aturan 9
: Placards, perencanaan management sampah dan
penyimpanan garbage record book
Appendix Form if garbage record book
ANNEX VI
: POLUSI UDARA
( Mulai Berlaku Tanggal 19 Mei 2005 )
Annex ini menentukan batas atau Limit dari Sulphur Dioxide (Sox) dan Nitroge
Oxide (Nox) yang di keluarkan dari pembakaran kapal ( dikeluarkan dari cerobong
atau Fanel ) Annex ini memuat ketentuan tentang Sox emission control area
dimana daerah tersebut fuel oil mengandung sulfur yang di pakai diatas kapal tidak
boleh dari 1,5 % m/m. Alternatif atu cara lain kapal harus memasang system
exhaust gas
Laut Baltic di rancang sebagai Sox Emission Contro Area Di protokol ini annex ini
jega melarang untuk di buang secara bebas zat zat yang busa meruasak ozon
termasuk halon dan chlorofluorocarbons (CFCs) serta melarang system incineration
di atas kapal yang berasal dari produc seperti packing material yang terkontaminasi
dan polychlrinated biphenyls (PCBs)
ANNEX VII
Appendix 1
Appendix 2
Appendix 3
Menurut hasil evaluasi IMO cara terbaik untuk mengurangi sedikit pembuangan
minyak karena kegiatan operasi tanker paling tidak salah satu dari ketiga sistem
pencegahan, yakni dengan adanya :
-
Sesuai dengan aturam mengatakan bahwa semua Crude Oil Tanker bangunan
baru ukuran 20.000 DWT atau lebih dari produk Tanker bangunan baru ukuran
30.000 DWT atau lebih harus di lengkapi dengan SBT dan Crude Oil Tanker ukuran
20.000 DWT atau lebih harus di lengkapi dengan COW.
Yang di maksud dengan tanker bangunan baru di sini adalah :
-
Tanker yang memiliki kelengkapan CBT dan COW sebagai pengganti SBT di
haruskan memenuhi persyaratan tambahan yakni membuat prosedure operasai
menggunakan CBT atau COW dan harus memenuhi persyaratan sesuai yang di
tentukan
COT
SBT
SBT
SBT
COT
ST
COT
COT
COT
F.P.T
COT
COT
SBT
SBT
SBT
COT
Konsep SBT : Tangki untuk Aor Ballast di tempatkan di sisi kanan dari tanki
muatan COT (Cargo Oil Tanker) sebagai pelindung.
Pembatasan pembuangan minyak
Pembuangan minyak atau campuran hanya boleh apabila :
Berlayar
Kriteria Pembuangan
b.
Apabila
Taker berlayar
Minyak yang terbuang tidak lebih dari 30 liter permil dan
Total minyak yang terbuang tidak lebih dari 1/30.000 dan jumlah muatan yang
di angkut sebelumnya
-
kemudian di buang ke tanki darat. Peraturan ini berlaku kapal ukuran 400 GRT atau
lebih.
1. Peraturan untuk menanggulangi pencemaran
2. Peraturan untuk melaksanakan ketentuan tersebut
Tipe Kapal
Kriteria Pembuangan
Lebih dari 12 mil dari pantai
Kapal 400 GRT atau lebih Delivery sebelum 6 Juli 1993 di lengkapi dengan filter
Eqitment hanya sampai 6 Juli 1998
Kapal berlayar
2.
3.
Gunakan OWS
1.
2.
3.
4.
Untuk tanker bukan air bilge kamar pompa atau campuran residu muatan
Tanker semua ukuran dari kapal lain 400 GRT atau lebih
Kapal berlayar
2.
3.
4.
Tidak ada buangan kecuali kandungan minyak tidak lebih dari 15 PPM
Antartic
Semua Kapal
Area Khusus : Laut Mediterania, Laut Hitam, Laut Merah, Teluk Adem, Daerah Teluk
dan Antartic
Oil Record Book : Buku catatan di temukan di atas kapal, Tanker ukuran
150
Gross Tonnage atau lebih dari selain kapal tanker
ukuran 400 gross ton atau
lebih atau mencatat semua
kegiatan dalam menangani
pembuangan sisa minyak serta campuran minyak dan air di kamar mesin semua
jenis kapal dan untuk kegiatan bongkar muat dan
penanganan air ballast kapl
tanker yang terdiri dari :
Part I
: Adalah untuk kegiatan di kamar mesin untuk semua kapal
ukuran 400 GRT atau lebih dengan defter jenis kegiatan yang
harus di catat dalam Oil Record Book seperti di muat dalam
Apendix III to Annex I MARPOL 73/78
Part II
: Adalah kegiatan bongkar muat minyak dan Air Ballast kapal
tanker ukuran 150 GRT atau lebih (cargo dan ballast
perations) dengan daftar jenis kegiatan yang harus di catat Oil
Record
Book, seperti di muat dalam Appendix III Annex I
MARPOL
73/78
Slop Tank : Adalah tanki Khusus untuk ,menampung sisa sisa minyak
atau emulsi minyak hasil kegiatan bongkar muat atau
pembersihan tangki pemuatan pipa muatan ataupun air yang
bercampur minyak dari pompa
Sistem pipa slop tank di hubungkan dengan tangki muatan sehingga
memungkinkan sisa minyak dari tanki muatan tersebut, dimasukan dalm slop tank
isi slop tank di endapkan, kemudian air yang sudah mengendap di buang kelaut
melalui ODM dengan Kandungan miyak tidak lebih dari 15 PPmM
Sisa minyak dalm slop tank di bongkar ke slop tank darat dan di masukan
kedalam tanki kembali di campur dengan muatan yang disebut Loadon Top
Prosudure.
Pertama kali di terbitkan 7 Juli 1978 dan mulai berlaku 28 April 1984
Ammandemen 1991
: Berhubungan dengan GMDSS dan beberapa
hal yang telah di tetapkan dalam resolusi
MSC 21 (59)
Ammandemen 1991
: Tentang persyaratan Training khusus orang
yang bekerja di atas kapal tentang yang di
etapkan dengan
resolusi MSC. 33 (63) dan
mulai berlaku 01
Januari 1996
Ammandemen 1991
: Menetapkan Resolusi THE SEAFARES
TRAINING CERTIFICATION WATCH
KEEPING (STCW)
IMDG CODE merupakan salah satu Instrumen yang sangat penting di bidang
keselamatan maritime yang di buat oleh IMO pada tahun 1965 dan telah mengalami
perubahan perubahan serta perubahan perubahn sesuai perkembangan
angkutan barang berbahaya serta jenis jenis nya IMDG CODE pertama terdiri dari
5 volume di tamba suplement.
Di dalam konvensi Internasional SOLAS 1974 BAB VII dan amandemennya :
Di atur tentang Carriage of Dangeraus goods yang di bagi menjadi 4 bagian yaitu
:
Bagian A
: Carriage of Dangerous goods in Packed from or in Solid
from in Bulk
Bagian B
: Construction and Equitment of Ship Carrier Dangerouse
Liquid Chemical in Bulk
Bagian C
and Bulk
Bagian C
and Bulk
Bagian D
: Special Requitment for the carriage Imadiated Nuclear Fuer,
Plutonium and Haid Level Radio active Waster an Board ship
: EXPIONSIVES
Zat zat yang memiliki sifat mudah meledak
Devisi I
eksplosi
Devisi III
Devisi IV
: Zat zat dan barang barang yang tidak menimbulkan
bahaya besar
Devisi V
Devisi VI
eksplosi
Class 2
: GASES COMPRESED LIQUIFIED OR DISSOLVED
UNDER PRESSURE GAS gas yang bertekanan di
bawah tekanan
Class 3 -
cairkan di
Class 4-1
Class 4- 2
: Zat zat yang mempunyai kemungkinan besar dapat
terbakar secara spontan
Class 4-3
: Zat zat yang jika kontak dengan air dapat memancarkan
gas gas yang mudah menyala
Calss 5-1
Class 5-2
Class 6-1
Class 6- 2
Class 7
Class 8
Class 9
: Bermacam macam zat berbahaya yaitu zat zat lain yang menurut
pengalaman telah memperlihatkan sifat sedemikian rupa sehingga ketentuan
ketentuan tentang barang berbahaya harus di terapkan ORM (Other regulated
Materials)
Sea Area A3
: yaitu darah pelayaran yang tidak termasuk sea are
A1,A2 yang masuk dalm jangkauan komunikasi
inmarsat dan
mampu menyediakan Alerting secara
terus menerus
Sea Area A4
: Yaitu semua wilayah pelayaran selain sea area A1,
A2 dan A3 ( termasuk daerah daera pelayaran
dekat kutub )
Definisi definisi
Alerting
: Pengiriman berita bahaya dari satu kapal yang menerima musibah di
laut (keadaan darurat) kepada kapal kapal lain atau RCC kemudian meng
koordinasikan dan memimpin operasi pertolongan (SAR)
Alerting dapat dilakukan dengan :
-
Distress Communication :
Komunikasi marabahaya dengan radio antara kapal dengan keadaan darurat
dengan station-station radio lain yang terlibat dalam operasi SAR
Frequency- frequency yang digunakan untuk DISTRESS COMMUNICATION antara
lain :
Kapal dengan kapal
MF = 2182 KHz
VHF = Channel 16 (freq. 156,8 MHz)
Kapal dengan pesawat
MF = 3023 KHz
HF = 4125 KHz dan 5680 KHz
Di Negara-negara tertentu dibolehkan mensyaratkan helicopter dan pesawat
terbang menggunakan VHF Ch, 16 dan MF 2182 KHz untuk komunikasi darurat ini
(misalnya Norwegia)
Ship in Distress :
Communication in General :
Atau komunikasi umum yaitu komunikasi antara kapal dengan station pantai
baik dengan menggunakan VHF, MF, HF maupun inmarsat yang dilakukan melalui
Telepon, Telax atau Transmisi data
Persyaratan minimum alat-alat di sea area A1 harus memiliki :
-
1.
VHF transceiver
2.
3. Watch keeping reciver Ch. (Freq. 156,825 MHz) dan Freq. 2182 KHz (hanya
sampai 01 Januari 1999)
4.
5.
6. Portable VHF untuk kapal dengan GRT 500m3 atau lebih = 3 buah untuk kapal
dengan GRT antara 300m3 = 2 buah
7. Sart untuk kapal dengan GRT 500m3 atau lebih = 2 buah untuk kapal dengan
GRT antara 300-500m3 = 1 bulan
-Kapal-kapal yang berlayar di sea area A1 dan A2 harus memilki :
Semua peralatan yang dimiliki pada sea area A1 ditambah dengan:
1.
MF Transceiver
2.
3.
-kapal-kapal yang berlayar di sea area A1, A2 dan A3 ditambah semua peralatan
yang dimiliki pada sea area A1 dan A2 ditambah:
1. station bumi kapal inmarsat-A atau inmarsat-C
2. pesawat penerima EGC (Enhance Group Call)
-Kapal-kapal yang berlayar di sea area A1, A2, A3 dan A4 harus memilki semua
peralatan yang ada pada sea area A1, A2 dan A3 ditambah :
1. MF / HF Transceiver
2. HF-DSC controller receiver pada frequency- frequency yang telah ditetapkan
sesuai radio regulation.
2.
3.
VHF EPIRB 121,5 MHz dimonitor oleh satelit orbit kutub dan pesawat terbang
4.
Dari keempat EPIRB yang disetujui IMO dalam GMDSS adalah yang paling
disarankan karena memilki banyak kelebihan dan kepastian
SART (Search and Rescue) (Radar) Transporder radar yang digunakan untuk
melokalisasi tempat kejadian kecelakaan yang dapat dideteksi oleh radar yang
bekerja pada frekuensi tertentu (radar 3 cm)
Sesuai dengan peraturan apabila sart dalam kondisi STAND BY maka battrey
harus tahan sedikitnya 96 jam sedangkan pada keadaan aktif battery harus dapat
bertahan paling sedikit 8 jam secara terus-menerus untuk memenuhi apakah sart
telah ditangkap oleh sebuah radar dapat didengar adanya signal dan dapat dilihat
lampu hijau yang berkedip-kedip ini boleh jadi ada kapal yang mendekat dan akan
memberikan pertolongan
Ada 3 macam jenis Sart yaitu :
1.
Sart yang dipasang tetap pada rakit penolong atau sekoci penolong
2.
Protable sart yaitu yang disimpan di Kapal dan dapat dibawah ke rakit/sekoci
3.
News
Anda berada di
Beranda
Pelayaran niaga adalah salah satu industri yang paling banyak diatur dan industri yang pertama
di dunia yang mengadopsi standar keselamatan internasional secara luas untuk diterapkan
disampaikan oleh Sjaifuddin Thahir - BKI. Peraturan mengenai pelayaran kapal secara
internasional dikembangkan dan disusun di tingkat global. Karena pelayaran secara inheren
internasional, sangat penting dimana pelayaran kapal tunduk pada peraturan yang seragam dalam
hal-hal seperti standar konstruksi lambung kapal, aturan navigasi dan standar kompetensi ABK.
Perubahan-perubahan atas peraturan nasional yang bertentangan dapat mengakibatkan distorsi
secara komersial dan terjadi kebingungan administrasi dalam kompromi efisiensi perdagangan
dunia. Industri pelayaran Internasional diatur terutama oleh Organisasi Maritim Internasional
(IMO), yang merupakan badan PBB yang berlokasi di London yang bertanggung jawab atas
keselamatan kapal dan manusia di laut dan perlindungan lingkungan laut. Demikian juga
Organisasi Buruh Internasional (ILO) juga bertanggung jawab untuk pengembangan standarstandar perburuhan yang berlaku untuk pelaut di seluruh dunia.
IMO telah mengadopsi kerangka kerja yang komprehensif tentang peraturan teknis secara
terperinci, dalam bentuk konvensi-konvensi diplomatik internasional yang mengatur keselamatan
kapal dan perlindungan lingkungan laut. Pemerintah, yang merupakan anggota IMO, perlu
menerapkan dan menegakkan aturan-aturan internasional, dan memastikan bahwa kapal-kapal
yang terdaftar di bawah bendera nasionalnya harus memenuhi. Tingkat ratifikasi dan penegakan
Konvensi IMO umumnya di dunia sangat tinggi dibandingkan dengan aturan internasional yang
diadopsi dalam industri berbasis di darat.
Tanggung jawab utama untuk menegakkan peraturan IMO mengenai keselamatan kapal dan
perlindungan lingkungan ada di tangan negara-negara bendera (yaitu negara-negara di mana
kapalnya terdaftar dan mungkin berbeda dengan negara di mana kapal-kapal tersebut dimiliki).
Negara bendera harus menegakkan persyaratan IMO dengan cara inspeksi kapal yang dilakukan
oleh jaringan surveyor internasional. Banyak dari pekerjaan-pekerjaan tersebut biasanya
diserahkan kepada badan-badan yang disebut dengan badan klasifikasi (di Indonesia misalnya
Biro Klasifikassi Indonesia). Namun, penegakan negara bendera yang dikenal sebagai Port State
Control, dimana para pejabat di negara mana pun yang kapalnya mengunjungi Negara lain dapat
diperiksa sebagai kapal asing untuk memastikan bahwa kapal tersebut memenuhi persyaratan
internasional. Petugas Port State Kontrol memiliki hak untuk menahan kapal asing di pelabuhan
jika kapal tidak memenuhi standar internasional. Akibatnya, sebagian besar peraturan IMO
ditegakkan ada yang kurang ada yang lebih dari aturan internasional.
teratur (linier) dan pengoperasian kapal secara induk tetap dan teratur bagi
perusahaan pelayaran dan rakyat yang berdomisili dan beroperasi pada lintas
pelabuhan dalam wilayah Kabupaten/ Kota;
e. Pemberian rekomendasi dalam penerbitan ijin usaha dan kegiatan salvage serta
persetujuan Pekerjaan Bawah Air (PBA) dan pengawasan kegiatan dalam
Kabupaten/Kota;
f. Melaksanakan pengamanan dan ketertiban penanggulangan pencemaran, patroli, dan
bantuan SAR di pelabuhan serta melaksanakan pembangunan sarana batas navigasi
pelayaran;
g. Melaksanakan tugas tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bidang sesuai dengan
bidang tugasnya.
1972), hal. 1.
4. Mengawasi pemanduan
mengawasi kegiatan penundaan
kapal.
5. Mengawasi kegiatan pekerjaan
bawah air dan salvage.
6. Mengawasi bongkar muat barang
berbahaya.
7. Mengawasi pengisian bahan
bakar.
8. Mengawasi pengerukan dan
rekalmasi
9. Mengawasi kegiatan
pembangunan fasilitas pelabuhan.
Dalam melakukan tugas yang
dipercayakan sebagai pemimpin
tertinggi di pelabuhan maka
syahbandar memiliki fungsi, yaitu:
1. Melaksanakan fungsi keselamatan
dan keamanan dalam pelayaran
yang mencakup, pelaksanaan,
pengawasan, dan penegakan
hukum di bidang angkutan
perairan
2. Syahbandar membantu tugas
pencarian dan penyelamatan
dipelabuhan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan
3. Syahbandar diangkat oleh menteri
setelah memenuhi persyaratan
kompetensi dibidang keselamatan
dan keamanan serta
kesyahbandaran.
Dalam melaksanakan fungsi dan
tugas diatas maka syahbandar
memiliki kewenangan sebagai
berikut:
1. Mengkoordinasi seluruh kegiatan
pemerintahan dipelabuhan
2. Memeriksa dan menyimpan surat,
dokumen, dan warta kapal
3. Menerbitkan persetujuan
kegiatan kapal dipelabuhan
melakukan pemeriksaan kapal
4. Menerbitkan surat persetujuan
berlayar.
5. Melakukan pemeriksaan
kecelakaan kapal.Lex Administratum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013
48
6. Melaksanakan sijil awak kapal.
PEMBAHASAN
A. TANGGUNG JAWAB SYAHBANDAR
TERADAP JASA ANGKUTAN LAUT
UNTUK KESELAMATAN PENUMPANG
DAN BARANG
Kelaiklautan kapal sangat erat
kaitannya dengan keselamatan
pelayaran, kelaiklautan kapal kalau
tidak dibantu dengan sarana
keselamatan pelayaran, maka resiko
kecelakaan kapal sangat tinggi.
Dalam pembahasan ini perlu
dikemukakan unsur-unsur yang
berhubungan dengan keselamatan
pelayaran sesuai dengan Undang undang Nomor 17 Tahun 2008
tentang pelayaran adalah sebagai
berikut:
a. Pelayaran adalah segala sesuatu
yang berkaitan dengan angkutan
di perairan, kepelabuhan serta
keamanan dan keselamatannya.
b. Kapal adalah kendaraan air
dengan bentuk dan jenis apapun,
yang digerakkan dengan tenaga
mekanik tenaga angin atau
ditunda, termasuk dengan
kendaraan yang berdaya dukung
dinamis, kendaraan di bawah
permukaan air, serta alat apung
dan bangunan terapung yang
tidak berpindah-pindah.
dapat menyebabkan
pendangkalan terhadap alur
pelayaran.
e. Tidak boleh melakukan
perbuatan-perbuatan yang
dapat mengganggu keamanan
dan ketertiban umum serta
terganggunya tertib hukum di
Perairan Bandar.
f. Kesempatan kepada
Syahbandar untuk melakukan
pemeriksaan di kapal dalam
rangka pemeriksaan terusmenerus
mengenai segi
keselamatan pelayaran.
3. Sewaktu Kapal akan Berlayar
Kapal yang akan berlayar
meninggalkan pelabuhan harus
mendapatkan surat ij in berlayar
(port clearance) dari Syahbandar
sesuai Pasal 8 Peraturan Bandar
1925. Sebelum diberikan surat
ijin berlayar oleh Syahbandar
perlu diselesaikan lebih dahulu
hal-hal sebagai berikut:
a. Perusahaan Pelayaran
Semua kewajiban-kewajiban
perusahaan/Nahkoda
terhadap Bea Cukai,
Kesehatan, Imigrasi, Perum
Pelabuhan sudah diselesaikan.
b. PanduLex Administratum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013
50
Harus sudah diminta oleh
perusahaan yang
bersangkutan dan sudah siap
untuk melakukan pemanduan.
c. Nahkoda
Memberikan clearing
declaration kepada
Syahbandar.
- Imigrasi
Setiap kapal yang hendak
melakukan pelayaran harus memiliki Lex Administratum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013
51
Surat Ijin Berlayar (SIB). Dan
Syahbandar sebelum memberikan
surat ijin berlayar (port clearance)
perlu meneliti kelengkapan
dokumen kapal dan lain-lain, dan
jika tidak terdapat hal-hal yang
bertentangan dengan peraturan,
maka surat ijin berlayar dapat
diberikan dan jika terdapat hal-hal
yang bersifat pelanggaran atau
adanya kekurangan pada kapal,
surat ijin berlayar tidak dapat
diberikan, dan kepada Nahkoda atau
perusahaan pelayaran diperintahkan
untuk :
- Melengkapi kekurangan
- Menurunkan muatan atau
penumpang apabila lebih
- Menyelesaikan dokumen apabila
sudah tidak berlaku lagi
Pengawasan yang dilakukan oleh
Port State Control Officer meliputi
aturan-aturan International
Maritime Organization (IMO),
sebagai berikut:
a. SOLAS (Safety of Life At Sea) 74
b. Load Line Convention 1966
c. MARPOL 73/78
d. STCW Convention 1978
Amandemen 1995
e. Tonnage Measurement 1969
Port State Control (PSC) di
Pelabuhan untuk meningkatkan
keselamatan pelayaran,
perlindungan lingkungan laut dan
kondisi kerja serta kehidupan di
atas kapal, dengan kata lain bahwa
f. Mengatur persyaratan
navigasi kapal
g. Mengatur tatacara pemuatan
di kapal
h. Mengatur persyaratan
stabilitas kapal
i. Mengatur persyaratan
permesinan dan kelistrikan
j. Mengatur tentang muatan
berbahaya
k. Mengatur persyaratan kapal
nuklir
l. Mengatur persyaratan untuk
Nahkoda, perwira deck, dan
mesin kapal serta awak kapal
m. Mengatur bentuk sertifikat
keselamatan pelayaran
Berdasarkan ketentuan dalam
ordonansi kapal Pasal 3 (1) maka
pengawasan terhadap pelayaran
diselenggarakan oleh pejabat
pengawas kapal-kapal, hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk
mencapai peningkatan dan
kepentingan keseragaman dari pada
pelaksanaan peraturan serta
berbagai kepentingan kerjasama
pejabat pengawas kapal-kapal
sebagai suatu usaha lanjutan dari
pengawasan terus-menerus. 6
Sesuai dengan ketentuan
peraturan peundangundangantentang
pelayaran
Indonesia maka dalam
melaksanakan fungsi keselamatan
dan keamanan maka syahbandar
mempunyai tugasyaitu:
1. Mengawasi kelaiklautan kapal,
keselamatan, keamanan, dan
ketertiban di pelabuhan;
2. Mengawasi tertib lalu lintas
d. Sertifikat MARPOL
Keempat sertifikat itu hanya
untuk kapal-kapal yang berlayar di
wilayah perairan Indonesia dan
sertifikat-sertifikat kapal yang
berlayar kesemua lautan yaitu:
a. Sertifikat Keselamatan Konstruksi
b. Sertifikat Keselamatan
Perlengkapan
c. Sertifikat Keselamatan Radio
d. Sertifikat Keselamatan Garis
Muat Internasional
e. . Sertifikat Fitness
Disamping itu ada
sertifikat/dokumen lain yang
diperlakukan yaitu:
a. Surat Tanda Kebangsaan Kapal:
- Surat Laut (G. 175 atau lebih)
- Pas Tahunan (GT. 7 sampai
dengan GT. 175)
- Pas Kecil (< GT. 7)
b. Surat Ukur Kapal
Sertifikat-sertifikat tersebut di
atas mempunyai masa lakunya
masing-masing paling lama berlaku
12 bulan, kecuali surat ukur kapal
dan surat laut berlaku untuk
selamanya selama kapal itu tidak
mengalami perubahan bangunan
kapal. 7
Melihat kenyataan ini bahwa pada
abad-abad yang lalu, banyak kapal
dan muatan yang hilang di lautan
7
Dephub DJPL Materi Penyuluhan
Kesyahbandaran, 1993, hal. 117.
kapal-kapal kayu yang digerakkan
oleh angin karena memakai layar,
hanya tergantung pada kekuatan
alam (natural forces) mulai pada
atau kesalahan
organisasi/manajemen.Lex Administratum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013
54
Dari hasil analisa ternyata 80%
dari semua kecelakaan yang telah
disebabkan oleh organizational and
management problems dan hal
tersebut merupakan human error.
Di kalangan industri juga sudah
diambil suatu kesimpulan bahwa
faktor penentu dalam keberhasilan
atau kegagalan mencapai suatu
target produksi adalah kondisi
sumber daya manusia yang terkait.
Pernyataan tersebut sangatlah
nyata dalam lingkup keselamatan
maritim.Kapal dinyatakan tidak
laiklaut adalah kapal yang tidak
memenuhi syarat untuk melakukan
pelayaran. Contohnya adalah
terdapatnya kebocoran pada badan
kapal, terjadi kerusakan pada alat
bantu navigasi, tidak diawaki
dengan baik dan cakap. Serta
dibuktikan dengan hasil
pemeriksaan dari Marine Inspector
(MI).
Pengguna jasa angkutan laut
yang menggunakan kapal yang tidak
laiklaut, resikonya pada kerugian
barang dan jiwa manusia
(penumpang dan awak kapal).
Sehingga disinilah proses hukum
terhadap pelanggaran di laut di
mulai. Dan melihat kenyataan ini
diadakanlah pemeriksaanpemeriksaan
yang dilakukan
Syahbandar/pemerintah yang
ditunjuk untuk melakukan
pengawasan berupa:
a. Pemeriksaan Tahunan, setiap 12
Departemen Perhubungan,
Peraturan Bandar 1925,
Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut, Jakarta.
Departemen Perhubungan, Instruksi
Umum Pengawasan Kapal,
Direktorat Jenderal Perhubungan
Laut, 1972, Jaka rta.
Marpaung, Leden. SH. Tindak pidana
wilayah perairan Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta 1993.
Purba, Radiks. Angkutan muatan
laut, Rineka Cipta, Jakarta 1994.
Yulius, B, Drs. Kamus Baru Bahasa
Indonesia, Cetakan II, 1989.
Sammy Rosahdi, Drs. Panduan Port
State Control Inspection
Dephub,DJPL. 1996. Jakarta.
Sumber Lain:
Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008 Tentang Pelayaran
Himpunan Peraturan Perundang
Undangan Republik Indonesia