Pada
tahun 2008 kakao tercatat memberikan sumbangan devisa sebesar US$ 1150 juta, yang
merupakan penghasil devisa terbesar ketiga di sub sektor perkebunan setelah kelapa sawit dan
karet.
Indonesia adalah salah satu negara pemasok utama kakao dunia setelah Pantai Gading (38,3%)
dan Ghana (20,2%) dengan persentasi 13,6%. Permintaan dunia terhadap komoditas kakao
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2011, ICCO (International Cocoa
Organization) memperkirakan produksi kakao dunia akan mencapai 4,05 juta ton, sementara
konsumsi akan mencapai 4,1 juta ton, sehingga akan terjadi deficit sekitar 50 ribu ton per tahun
(Suryani, 2007). Kondisi ini merupakan suatu peluang yang baik karena Indonesia berpotensi
untuk menjadi produsen utama kakao dunia.
Namun kualitas biji kakao yang diekspor oleh Indonesia dikenal rendah. Selama ini, biji kakao
Indonesia merupakan batas standar mutu ekspor-impor biji kakao. Bahkan di Amerika Serikat,
biji kakao Indonesia selalu mendapatkan penahanan (automatic detention) karena sering
ditemukan jamur, kotoran, serangga dan benda-benda asing lainnya. Hal ini telah menyebabkan
kerugian yang cukup besar. Potensi kerugian biji kakao Indonesia ke Amerika Serikat akibat
mutu rendah sebesar US$ 301,5/ton, dan produk kakao Indonesia di pasar internasional dikenai
diskon US$ 200/ton atau 10-15% dari harga pasar (Anonimc, 2009).
Tabel 1. Potensi Kerugian Harga Biji Kakao Indonesia ke Amerika Serikat Akibat Mutu Rendah
No
Uraian
1. Kerugian Langsung :
Jumlah
(US$/ton)
87,5
Diskon harga
Sewa gudang & bunga
70,0
5,0
6,0
Biaya fumigasi
6,5
Biaya
pembersihan/cleaning
2. Kehilangan
peluang 200,0
premium
3. Biaya handling lainnya
Total Kehilangan
14,0
301,5
(Anonimc, 2009)
Rendahnya mutu kakao Indonesia ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1.Kualimortas tanaman kakao Indonesia yang menurun, karena kebanyakan kakao di Indonesia
telah menua
2.Penyakit VSD (Vascular Streak Dieback) dan hama PBK (Penggerek Buah Kakao) yang
menyerang kebanyakan perkebunan kakao di Indonesia
3.Biji kakao Indonesia jarang yang difermentasi terlebih dahulu, padahal mutu biji yang telah
difermentasi lebih baik daripada yang belum difermentasi
4.Teknologi pasca panen yang masih sederhana dan mesin pengolahan yang telah tua
5.Sarana dan prasarana pendukung yang kurang, seperti gudang; pasokan listrik yang kurang;
transportasi dari, ke dan di dalam kebun, tempat pengolahan dan menuju negara pengekspor
yang masih buruk. (Anonimb, 2009)
Pada tanggal 23 November 2009, bertempat di Lapangan Andi Djemma, Belopa, Kabupaten
Luwu, Propinsi Sulawesi Selatan, Menteri Pertanian Ir. Suswono, MMA telah merencanakan
Gerakan Nasional Kakao Fermentasi untuk mendukung Industri Dalam Negeri ini memiliki
arti yang sangat strategis dalam upaya mendorong peningkatan pembangunan agroindustri kakao
nasional, khususnya dalam upaya meningkatkan produksi kakao fermentasi, bermutu dan
memiliki nilai tambah, sekaligus dapat menyediakan bahan baku industri dalam negeri secara
berkelanjutan (Anonimf. 2009).
Proses fermentasi akan menghasilkan kakao dengan cita rasa setara dengan kakao yang berasal
dari Ghana. Selain itu, kakao Indonesia memiliki kelebihan tidak mudah meleleh sehingga cocok
untuk blending (proses dimana beberapa jenis kakao yang berbeda bisa dicampur dan
mendapatkan paduan rasa yang tepat).
Fermentasi merupakan proses produksi suatu produk dengan mikroba sebagai organisme
pemroses. Fermentasi biji kakao merupakan fermentasi tradisional yang melibatkan
mikroorganisme indigen dan aktivitas enzim endogen. Fermentasi biji kakao tidak memerlukan
penambahan kultur starter (biang), karena pulp/daging kakao yang mengandung banyak glukosa,
fruktosa, sukrosa dan asam sitrat sudah dapat mengundang terbentuknya pertumbuhan
mikroorganisme sehingga terjadi fermentasi.
Fermentasi
Tahapan pengolahan pasca panen kakao sebagai berikut :
1.Buah hasil panen dibelah dan biji berselimut pulp dikeluarkan.
2.Biji dikumpulkan pada suatu wadah. Jenis wadah yang digunakan berupa keranjang yang
dilapisi oleh daun, dan kontainer kayu. Pada umumnya, dasar kontainer memiliki lubang kecil
untuk drainase dan aerasi.
3.Biji yang dimasukkan dalam kontainer tidak diisi secara penuh, sisakan 10 cm dari atas dan
permukaan atas ditutupi dengan daun pisang yang bertujuan untuk menahan panas dan mencegah
permukaan biji dari kekeringan.
4.Simpan kontainer di atas tanah atau di atas saluran untuk menampung pulp juices yang
dihasilkan selama fermentasi (hasil degradasi pulp).
5.Fermentasi dalam kotak dapat dilakukan selama 2-6 hari, isi kotak dibalik tiap hari dengan
memindahkannya ke kotak lain.
Fermentasi biji kakao akan menghasilkan prekursor cita rasa, mencokelat-hitamkan warna biji,
mengurangi rasa pahit, asam, manis dan aroma bunga, meningkatkan aroma kakao dan kacang
(nutty), dan mengeraskan kulit biji menjadi seperti tempurung. Biji yang tidak difermentasi tidak
akan memiliki senyawa prekursor tersebut sehingga cita rasa dan mutu biji sangat rendah.
Fermentasi biji kakao terjadi dalam dua tahap yaitu anaerob dan aerob. Keberadaan asam sitrat
membuat lingkungan di sekitar pulp menjadi asam sehingga akan menginisiasi pertumbuhan ragi
dan terjadi fermentasi secara anaerob. Fermentasi aerob diinisiasi oleh bakteri asam laktat dan
bakteri asam asetat. Produk fermentasi yang dihasilkan yaitu etanol, asam laktat, dan asam asetat
yang akan berdifusi ke dalam biji dan membuat biji tidak berkecambah.
Selama proses fermentasi terjadi pula aktivitas enzimatik, enzim yang terlibat adalah
endoprotease, aminopeptidase, karboksipeptidase, invertase (kotiledon dan pulp), polifenol
oksidase dan glikosidase. Enzim-enzim ini berperan dalam pembentukan prekursor cita rasa dan
degradasi pigmen selama fermentasi. Prekursor cita rasa yang berupa asam amino, peptida dan
gula pereduksi akan membentuk komponen cita rasa di bawah reaksi Maillard (reaksi
pencoklatan non-enzimatis) selama penyangraian (Anonimd, 2009).
Pasca Fermentasi
Sedangkan di Indonesia, harga kakao di Makasar telah menembus sekitar Rp.29.000 per kg,
padahal minggu sebelumnya masih berkisar di Rp.25.000 per kg.
Adapun Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Prof.Dr.Ir. Zaenal Bachrudin, MSc
menyebutkan proses fermentasi akan memberi nilai tambah dan menaikkan daya saing biji kakao
Indonesia. Biji kakao yang bermutu rendah dikarenakan sebagian besar tercampur jamur dan
kotoran. Sehingga memiliki citra kurang baik di pasar internasional maupun domestik. Hal ini
karena proses pengeringan tak melalui fermentasi terlebih dahulu.
Pengolahan biji kakao dengan fermentasi sesungguhnya tidak mahal atau cost production yang
relatif
rendah,
karena
fermentasi
dapat
dilakukan
secara
tradisional
dan
tidak
memerlukan treatment khusus, hanya memerlukan wadah fermentasi dari kayu, ruang
penyimpanan, lahan untuk menjemur, dan mesin penyangrai.
Keuntungan Kakao Fermentasi
Proses fermentasi kakao sebelum diekspor ini dinilai penting untuk meningkatkan daya saing
kakao nasional. Juga untuk menjawab peluang tren kenaikan harga komoditas perkebunan
andalan itu di pasar dunia. Kualitas kakao akan terpengaruh langsung, aroma dan warna biji
kakao akan optimal. Selain itu, biji kakao fermentasi menjadi dapat dimanfaatkan mulai dari
lemaknya, bungkil, dan pastanya. Sedangkan kakao non fermentasi hanya dapat diambil
lemaknya saja.
Keadaan alam Indonesia merupakan potensi awal produksi kakao Indonesia, namun produksi
yang optimal tidak bisa mengandalkan sumber daya saja, tapi dibutuhkan sumber daya manusia
yang baik, kepedulian Pemerintah serta modal yang cukup. Produksi yang optimal bukan hanya
dalam bentuk kuantitas namun juga kualitasnya. Mutu kakao harus ditingkatkan untuk
mendapatkan kembali kepercayaan pasar dunia.
Kebijakan pengembangan kakao pada saat ini dan di masa depan harus diarahkan kepada upaya
mewujudkan agroindustri kakao yang berdaya saing dan berkeadilan, sehingga dapat
memberikan kesejahteraan bagi pelaku usahanya, khususnya petani secara berkelanjutan.
Menteri Pertanian pun mengharapkan agar penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib
bagi biji kakao dan dapat diterapkan mulai tahun 2010 yang akan datang (Anonimd, 2009).
Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang dapat memberikan kontribusi untuk
peningkatan devisa Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara pemasok utama kakao
dunia setelah Pantai Gading (38,3%) dan Ghana (20,2%) dengan persentasi 13,6%. Permintaan
dunia terhadap komoditas kakao semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2011,
ICCO (International Cocoa Organization) memperkirakan produksi kakao dunia akan mencapai
4,05 juta ton, sementara konsumsi akan mencapai 4,1 juta ton, sehingga akan terjadi defisit
sekitar 50 ribu ton per tahun (Suryani, 2007). Kondisi ini merupakan suatu peluang yang baik
bagi Indonesia karena sebenarnya Indonesia berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao
dunia.
Namun, kualitas biji kakao yang diekspor oleh Indonesia dikenal sangat rendah (berada di kelas
3 dan 4). Hal ini disebabkan oleh, pengelolaan produk kakao yang masih tradisional (85% biji
kakao produksi nasional tidak difermentasi) sehingga kualitas kakao Indonesia menjadi rendah.
Kualitas rendah menyebabkan harga biji dan produk kakao Indonesia di pasar internasional
dikenai diskon USD200/ton atau 10%-15% dari harga pasar. Selain itu, beban pajak ekspor
kakao olahan (sebesar 30%) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan beban pajak impor produk
kakao (5%), kondisi tersebut telah menyebabkan jumlah pabrik olahan kakao Indonesia terus
menyusut (Suryani, 2007). Selain itu para pedagang (terutama trader asing) lebih senang
mengekspor dalam bentuk biji kakao (non olahan).
Peningkatan produksi kakao mempunyai arti yang strategis karena pasar ekspor biji kakao
Indonesia masih sangat terbuka dan pasar domestik masih belum tergarap. Permasalahan utama
yang dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dengan penerapan fermentasi pada pengolahan
biji pasca panen dan pengembangan produk hilir kakao berupa serbuk kakao.
Coklat
Proses fermentasi akan menghasilkan kakao dengan cita rasa setara dengan kakao yang berasal
dari Ghana. Selain itu, kakao Indonesia memiliki kelebihan tidak mudah meleleh sehingga cocok
untuk blending.
Fermentasi merupakan suatu proses produksi suatu produk dengan mikroba sebagai organisme
pemroses. Fermentasi biji kakao merupakan fermentasi tradisional yang melibatkan
mikroorganisme indigen dan aktivitas enzim endogen. Fermentasi biji kakao tidak memerlukan
penambahan kultur starter (biang), karena pulp kakao yang mengandung banyak glukosa,
fruktosa, sukrosa dan asam sitrat dapat mengundang pertumbuhan mikroorganisme sehingga
terjadi fermentasi.
Tahapan pengolahan pasca panen kakao yaitu buah hasil panen dibelah dan biji berselimut pulp
dikeluarkan, kemudian dikumpulkan pada suatu wadah. Jenis wadah yang digunakan dapat
bervariasi, diantaranya drying platforms (Amerika), keranjang yang dilapisi oleh daun, dan
kontainer kayu. Kontainer disimpan di atas tanah atau di atas saluran untuk menampung pulp
juices yang dihasilkan selama fermentasi (hasil degradasi pulp). Pada umumnya, dasar kontainer
memiliki lubang kecil untuk drainase dan aerasi. Kontainer tidak diisi secara penuh, disisakan 10
cm dari atas dan permukaan atas ditutupi dengan daun pisang yang bertujuan untuk menahan
panas dan mencegah permukaan biji dari pengeringan. Fermentasi dalam kotak dapat dilakukan
selama 2 6 hari, isi kotak dibalik tiap hari dengan memindahkannya ke kotak lain.
Fermentasi biji kakao akan menghasilkan prekursor cita rasa, mencokelat-hitamkan warna biji,
mengurangi rasa-rasa pahit, asam, manis dan aroma bunga, meningkatkan aroma kakao (cokelat)
dan kacang (nutty), dan mengeraskan kulit biji menjadi seperti tempurung. Biji yang tidak
difermentasi tidak akan memiliki senyawa prekursor tersebut sehingga cita rasa dan mutu biji
sangat rendah. Fermentasi pada biji kakao terjadi dalam dua tahap yaitu fermentasi anaerob dan
fermentasi aerob. Keberadaan asam sitrat membuat lingkungan pulp menjadi asam sehingga akan
menginisiasi pertumbuhan ragi dan terjadi fermentasi secara anaerob. Fermentasi aerob diinisiasi
oleh bakteri asam laktat dan bakteri asam asetat. Produk fermentasi yang dihasilkan berupa
etanol, asam laktat, dan asam asetat yang akan berdifusi ke dalam biji dan membuat biji tidak
berkecambah.
Selama fermentasi terjadi pula aktivitas enzimatik, enzim yang terlibat adalah endoprotease,
aminopeptidase, karboksipeptidase, invertase (kotiledon dan pulp), polifenol oksidase dan
glikosidase. Enzim-enzim ini berperan dalam pembentukan prekursor cita rasa dan degradasi
pigmen selama fermentasi. Prekursor cita rasa (asam amino, peptida dan gula pereduksi)
membentuk komponen cita rasa di bawah reaksi Maillard (reaksi pencoklatan non-enzimatis)
selama penyangraian.
Untuk menghentikan proses fermentasi, biji kakao kemudian dikeringkan. Pengeringan
dilakukan sampai kadar air menjadi 7 8 % (setimbang dengan udara berkelembaban 75 %).
Kadar air kurang dari 6 %, biji akan rapuh sehingga penanganan serta pengolahan lanjutnya
menjadi lebih sulit. Kadar air lebih dari 9 % memungkinkan pelapukan biji oleh jamur.
Pengeringan dengan pemanas simar surya dapat memakan waktu 14 hari, sedangkan dengan
pengeringan non surya memakan waktu 2 3 hari.
Setelah pengeringan, biji disortir untuk membersihkan biji dan dilanjutkan dengan penyangraian
pada suhu 210 C selama 10 15 menit. Tujuan dari penyangraian adalah untuk mensterilisasi biji
serta pembentukan cita rasa dari prekursor cita rasa (hasil fermentasi) melalui reaksi Maillard.
Pada saat panen, petani coklat Indonesia memiliki kecenderungan untuk mengolah biji coklat
tanpa fermentasi dengan cara merendam biji dalam air untuk membuang pulp dan dilanjutkan
dengan penjemuran, dengan demikian biji siap dijual tanpa memerhatikan kualitas. Langkah
tersebut diambil petani untuk mendapatkan hasil penjualan yang cepat karena jika melalui
fermentasi diperlukan waktu inkubasi sehingga petani harus menunggu untuk mendapatkan
keuntungan dari penjualan, sedangkan fermentasi merupkan kunci penting untuk memberikan
cita rasa coklat. Dengan demikian, pengetahuan mengenai pentingnya fermentasi pada biji kakao
perlu disebarluaskan pada petani coklat.
Produk yang melalui proses fermentasi sehingga diperoleh cita rasa coklat yang sesungguhnya
dengan cost production yang relatif rendah. Fermentasi dapat dilakukan secara tradisional dan
tidak memerlukan treatment khusus, hanya diperlukan wadah fermentasi dari kayu, ruang
penyimpanan, lahan untuk menjemur, dan mesin penyangrai.
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan penting yang banyak mempunyai kegunaan
antara lain bubuk kakao sebagai bahan baku pembuatan kue, permen, wheat, pengoles roti,
makanan kecil lainnya: nata de cacao sebagai minuman/makanan penyegar serta lemak kakao
yang dipakai sebagai bahan pembuatan kosmetik. Peningkatan mutu kakao dilakukan dengan
teknologi pengolahan kakao seperi proses fermentasi dan pe-ngeringan. Tetapi teknologi
pengolahan kakao belum dilakukan sesuai anjuran, akibatnya mutu kakao yang dihasilkan masih
rendah.
Rendahnya mutu tersebut mengakibatkan kakao Indonesia hanya dipakai sebagai bahan
campuran makanan cokelat maksimal 10 % ( Ducan and Veldsman, 1993 ). Fermentasi adalah
proses yang mutlak dilakukan agar terbentuk perisa ( flavour ) dan aroma biji kakao yang baik.
Sedangkan pengeringan adalah merupakan proses penunjang agar hasil fermentasi yang baik
tetap baik hingga sudah pengeringan berakhir.
proses fermentasi adalah berat biji yang akan difermentasi, pengadukan ( pembalikan ), lama
fermentasi dan rancangan kotak fermentasi. Untuk skala kecil ( 40 Kg ) diperlukan ukuran peti
masing-masing panjang dan lebar 40cm serta tinggi 50cm. Fermentasi dapat dilakukan dalam
skala besar, kelompok tani, atau pertanian, tergantung dari jumlah biji yang akan
difermentasikan. Prinsip atau cara kerjanya sama saja yaitu :
sekitar 5 hari, tiap hari dilakukan pembalikan agar suhunya tidak terlalu tinggi.
Pada hari ke tiga biji kakao dipindahkan ke peti II dan berlangsung sampai hari kelima.
Pemindahan dari peti I ke peti II sekaligus berfungsi sebagai proses pembalikan biji.
Pada hari kelima fermentasi berakhir, biji kakao kemudian dijemur diatas para-para
bambu.
Teknologi Pengeringan Kakao Skala kelompok dengan sistem Para-para
Para-para dapat dibuat dari bambu dengan ketinggian kurang lebih 0,5 meter dsri
permukaan tanah. Ukurannya disesuaikan dengan jumlah biji yang akan dijemur. Untuk skala
kecil, lebarnya 1 meter dan panjang 4 meter. Para-para tersebut diberi atas plastik transparan,
yang berfungsi sebagai pelindung biji dari hujan dan cuaca lembab pada malam hari.
Pengeringan dengan sistem para-para dapat mencegah terjadinya kontaminasi dan proses
pengeringan berlangsung lebih cepat.