Anda di halaman 1dari 49

KEADILAN DALAM EKONOMI

Tulus Tambunan
Kadin Indonesia-JETRO, 2006
I. Pendahuluan
Salah satu dari tiga pilar kekuatan yang mempengaruhi keadaban publik adalah sektor ekonomi atau kominitas
bisnis, dan fairness atau keadilan menjadi kunci dalam kegiatan poros kedua ini karena menyangkut masalah
pembagian barang dan jasa yang terbatas kepada semua orang. Dasar teori ekonomi adalah bagaimana setiap orang
memaksimalkan keuntungan atau kegunaan atau memenuhi kebutuhannya dari barang dan jasa yang terbatas.
Penekanan dalam paradigma ini adalah maksimalisasi dan terbatas. Bagi seorang konsumen atau pengguna
barang dan jasa, tingkat kegunaan diukur dengan tingkat kepuasan, kesehatan, kenyamanan, keamanan, atau
kesejahteraan. Misalnya, dengan anggaran yang terbatas, seseorang berusaha mendapatkan rumah baru yang
memberinya kenyamanan yang paling maksimum. Sedangkan bagi seorang penghasil barang dan jasa atau
produsen, tingkat kegunaan diukur dengan tingkat profit atau pendapatan. Dengan pendidikan yang dimilikinya,
setiap orang akan mencari pekerjaan yang memberikannya pendapatan paling tinggi, atau dengan modal dan
tenaga kerja yang ada, seorang produsen berusaha membuat barang atau jasa sebaik mungkin agar menghasilkan
keuntungan paling tinggi baginya.
Karena kelangkahan selalu muncul dalam ekonomi (atau dalam kehidupan manusia secara umum), kekayaan
atau kepemilikan barang dan jasa tidak pernah bisa dilepaskan dari keadilan. Keadilan atau ketidakadilan tidak
akan menjadi suatu masalah apabila barang dan jasa atau sumber daya yang ada berlimpah hingga tidak ada
harganya, seperti air laut, angin dan mata hari, atau apabila di suatu wilayah yang sangat luas dan sangat kaya akan
sumber daya alam hanya ada segelintir manusia. Semakin langka barang dan jasa atau sumber daya (sementara,
jumlah penduduk bertambah terus), semakin besar masalah distribusi, yang berarti semakin besar masalah
keadilan di dalam ekonomi.
Keadilan juga merupakan suatu topik penting dalam etika. Seperti yang dapat dikutip dari Bertens (2000)
sebagai berikut: sulit sekali untuk dibayangkan orang atau instansi yang berlaku etis tetapi tidak mempraktekkan
keadilan atau bersikap tak acuh terhadap ketidakadilan (hal.85). Dari sudut pandang ekonomi adalah menyangkut
etika bisnis, karena bisnis adalah kegiatan ekonomi. Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah tukar-menukar, jualbeli, memproduksi-memasarkan, bekerja-mempekerjakan, dan interaksi lainnya dengan tujuan memperoleh
keuntungan. Dari sudut pandang ekonomi, bisnis yang bagus adalah bisnis yang menghasilkan keuntungan paling
besar. Namun, etika bisnis menjadi relevan pada saat bisnis dinilai dari sudut pandang moral. Misalnya, demi
mengejar keuntungan sebesar mungkin, sebuah perusahaan membayar upah sangat murah kepada pekerjapekerjanya, atau agar produktivitas dapat ditingkatkan perusahaan tersebut mengganti tenaga manusia dengan
mesin atau robot sehingga mem-phk-kan semua buruhnya.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006

www.kadin-indonesia.or.id

Dari uraian singkat diatas didapat suatu gambaran yang jelas bahwa keadaban publik dilihat dari aspek
ekonominya adalah menyangkut pendistribusian secara adil barang dan jasa ke semua orang sesuai proporsinya
masing-masing. Ketidakadilan dalam ekonomi terjadi dalam berbagai aspek, mulai dari ketimpangan dalam
pembagian tanah pertanian, kesempatan kerja, sistem penggajian hingga kesempatan mendapatkan pendidikan.
Semua ini akhirnya bermuara pada kemiskinan. Dalam kata lain, ketidakadilan dalam ekonomi erat kaitannya
dengan masalah kemiskinan dan kesenjangan. Adalah mustahil untuk mengatakan bahwa suatu bangsa sangat
beradab apabila di negara tersebut sebagian besar penduduknya sangat miskin, buruh sangat tertindas, sebagian
besar petaninya adalah petani gurem, dan banyak industri mengerjakan buruh anak-anak yang dibayar sangat
murah (eksploitasi anak-anak).

II. Etika Bisnis dan Keadilan.


Bisnis adalah kegiatan ekonomi, atau ekonomi adalah kegiatan bisnis. Dari sudut pandang ekonomi, bisnis
yang baik adalah yang selalu menghasilkan keuntungan besar. Di dalam teori produsen (teori ekonomi mikro),
dikatakan bahwa setiap pengusaha mencari keuntungan sebesar mungkin dengan biaya seminimum mungkin.
Maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi, dan ini merupakan cita-cita,
atau dasar dari perkembangan kapitalisme liberal yang tumbuh pesat sejak era merkantilisme pada abad ke 18 lalu.
Ini juga yang mendorong negara-negara di Eropa Barat melakukan ekspansi ke Afrika, Timur Tengah dan Asia,
seperti halnya Belanda ke Indonesia yang diawali dengan misi dagang dari V.O.C. yang akhirnya menjajah
Indonesia.
Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, maka dengan sendirinya akan
timbul keadaan yang tidak etis. Karena, setiap perusahaan/pengusaha akan berproduksi dengan cara
mengeksploitasi pekerja-pekerjannya; kalau bisa tidak mengeluarkan satu senpun biaya yang berarti buruhburuhnya tidak digaji. Hingga saat ini banyak sekali kasus yang dapat dilihat yang merefleksikan dasar pemikiran
bisnis kapitalis. Beberapa contoh dapat disebut di sini. Pertama, salah satu atau bahkan dapat dikatakan sebagai
motivasi utama dari perusahaan-perusahaan di negara-negara industri maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke
negara-negara sedang berkembang adalah mencari tenaga kerja murah. Kedua, banyak perusahaan di Indonesia
lebih suka memakai buruh lepas atau kontrakan daripada pegawai tetap demi keuntungan perusahaan. Ketiga,
banyak perusahaan-perusahaan di sektor industri manufaktur di Indonesia dan dibanyak negara lainnya melakukan
subcontracting dengan pemasok-pemasok skala kecil, bukan karena ingin berbagi keuntungan dengan mereka
melainkan untuk mengurangi biaya produksi dan sekaligus menggeser resiko bisnis akibat perubahan pasar secara
tiba-tiba ke para pemasok-pemasok tersebut.
Sedangkan dari sudut pandang moral, bisnis yang selalu membuat keuntungan besar tidak selalu dianggap
sebaga bisnis yang bagus, apabila keuntungan tersebut didapat dengan cara ketidakmanusiaan seperti misalnya
Kadin Indonesia-Jetro, 2006

www.kadin-indonesia.or.id

membayar upah yang sangat murah atau dengan cara penipuan, misalnya memakai bahan baku yang rendah
kualitasnya tanpa pengetahuan konsumen, seperti dalam kasus tahu dengan memakai bahan pengawet formalin.
Kasus formalin ini merupakan satu contoh konkrit dari suatu sikap pengusaha/pelaku bisnis yang telah melanggar
etika dalam bisnis atau yang umum disebut etika bisnis. Tetapi apakah etika bisnis itu sendiri?
Menurut Keraf (1998) etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun
pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup
yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain
atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yang luas, Keraf mengatakan bahwa etika
..........dapat dirumuskan sebagai refleksi krisis dan rasional mengenai: (a) nilai dan norma yang menyangkut
bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia; dan mengenai (b) masalah-masalah kehidupan manusia
dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima. (hal.15). Jadi, secara
sederhana etika bisnis dapat dirumuskan sebagai cara-cara yang baik, yang manusiawi dalam melakukan bisnis,
atau melakukan bisnis sesuai norma-norma moral yang umum diterima. 1
Masalah etika bisnis tidak hanya pada tingkat pengusaha/perusahaan secara individu, tetapi juga pada tingkat
nasional, baik yang dilakukan oleh masyarakat secara umum atau pemerintah. Yang dilakukan oleh masyarakat,
misalnya penjualan dan pembelian kaset bajakan seperti yang terjadi dalam kasus kaset musik hasil Live Aid yang
dipimpin oleh Bob Geldof dan diselenggarkan serentak di stadion F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat,
dan di stadion Wembley di London, Inggris, pada 13 Juli 1985. Konser amal ini bertujuan untuk mengumpulkan
dana untuk membantu korban kelaparan di Ethiopia, Afrika. Beberapa waktu kemudian muncul kaset-kaset
rekaman konser tersebut di sejumlah negara di Timur Tengah dan juga di Indonesia. Di Indonesia, kaset-kaset
tersebut mencantumkan made in Indonesia, dan bahkan ada yang memakai pita cukai Indonesia. Menurut berita
dari Tempo (14 dan 12 Desember 1985), diperkirakan ada 10 perusahaan rekaman di Indonesia yang terlibat di
dalam pembajakan kaset tersebut.
Sedangkan pelanggaran etika bisnis yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini bisa dilihat misalnya
adalah dalam kasus pembagian lahan pertanian. Walaupun Indonesia memiliki Undang-Undang Agraria dan UUD
1945 Pasal 33 menekankan keadilan dalam ekonomi, sejak pemerintahan Orde Baru hingga saat ini tidak ada
usaha mencegahan terhadap perampasan tanah milik petani oleh masyarakat kaya. Akibatnya, seperti yang akan
dibahas nanti, berdasarkan Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 (paling akhir), jumlah keluarga tani tanpa lahan
atau dengan lahan kurang dari 0,5 hektar (disebut petani gurem) meningkat terus.
1
Menurut Keraf (1998), ada tiga norma umum. Pertama, norma sopan santun, atau yang juga disebut norma etiket, adalah norma yang
mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah manusia, misalnya menyangkut sikap dan perilaku seperti bertamu, makan dan minum, bicara,
berpakaian, dll. Kedua, norma hukum, yakni norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu
dan niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, norma moral, yaitu aturan mengenai
sikap dan perilaku manusia yang baik dan adil. Norma moral ini digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai baik buruknya atau adil
tidaknya suatu sikap atau tindakan manusia di dalam suatu masyarakat.

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

www.kadin-indonesia.or.id

Jadi, dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa bicara etika bisnis adalah bicara soal kegiatan bisnis yang tidak
merugikan salah satu pihak atau menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Keraf (1998), ada tiga sasaran dan
lingkup pokok etika bisnis. Pertama, etika bisnis sebagai etika profesi 2membahas berbagai prinsip, kondisi, dan
masalah yang terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Sasaran kedua dari etika bisnis adalah untuk
menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas sebagai pemilik aset
umum seperti lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis
siapa pun juga. Ketiga, etika bisnis pada tingkat makro, yakni berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat
menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Secara konktrit, etika bisnis ini atau disebut juga etika ekonomi
berbicara soal praktek-praktek monopoli, oligopoli, kolusi, dan semacamnya yang snagat mempengaruhi tidak saja
sehat-tidaknya suatu ekonomi tetapi juga baik tidaknya praktek-praktek bisnis di suatu negara.
Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa etika bisnis sebenarnya adalah bicara mengenai keadilan, dan dalam hal
ini adalah keadilan distributif. Menurut Bertens (2003), berdasarkan keadilan ini negara atau pemerintah harus
membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat. Konkritnya dalam aspek sosialekonomi adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik,
pekerjaan dengan pendapatan yang baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya keadilan membagi.
Ketidakadilan muncul apabila misalnya pemerintah mengistimewakan orang-orang tertentu yang tidak mempunyai
hak khusus, seperti misalnya dalam mendapatkan proyek-proyek pembangunan atau izin impor seperti banyak
terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Nepotisme adalah salah satu cara untuk melanggar keadilan distributif.
Sedangkan menurut Keraf (1998), prinsip dasar keadilan distributif adalah distribusi ekonomi yang merata
atau yang dianggap adil bagi semua warga negara. Dengan kata lain, keadilan distributive menyangkut
pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-hasil pembangunan. (hal. 142). Tetapi sekarang pertanyaannya adalah:
apa yang menjadi dasar pembagian yang adil itu, apakah sama rata atau sesuai peran dan sumbangan masingmasing orang? Dalam menjawab pertanyaan ini, Bertens (2000) melihat pada beberapa teori keadilan distributif.
Pertama, teori egalitarianisme yang mengatakan bahwa pembagian bisa dikatakan adil jika semua orang mendapat
bagian yang sama. Jadi, dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa membagi dengan adil berarti membagi rata.
Jika ada satu orang kebagian lebih kecil, maka pembagian belum sepenuhnya adil. Pemikiran ini juga merupakan
keyakinan umum masyarakat Perancis dalam revolusinya menumbangkan monarki absolut dan feodalisme pada
abad ke 18 dan revolusi Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence pada tahun 1776 yang
menegaskan All men are created equal. Pemikiran ini juga yang melandasi sistem pemilihan umum dibanyak
2
Keraf (1998) menjelaskan ada empat prinsip etika profesi. Pertama, prinsip tanggung jawab, baik terhadap pelaksanaan pekerjaannya
dan terhadap hasilnya, maupun atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, khususnya kepentingan
orang-orang yang dilayaninya. Kedua, prinsip keadilan, yakni dalam melakukan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan
pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya. Ketiga, prinsip otonom, yaitu kalangan profesional
diberikan kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Keempat, prinsip integritas moral, yakni kalangan profesional dituntut
untuk melakukan tugas profesinya sesuai norma-norma yang ada (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

www.kadin-indonesia.or.id

negara-negara maju dengan sistem one person one vote.


Kedua, teori sosialistis yang memilih prinsip kebutuhan setiap orang sebagai dasar pemikirannya. Menurut
teori ini, kehidupan masyarakat adil, jika kebutuhan semua warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan sandang,
pangan, dan papan. Secara konkret, sosialisme terutama memikirkan masalah-masalah pekerjaan bagi kaum buruh
dalam konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme mengenai keadilan, dikenal dua prinsip, yakni bagaimana
beban atau hal-hal yang berat harus dibagi, yakni hal-hal yang menuntut pengorbanan dari semua warga
masyarakat, dan bagaimana hal-hal yang enak untuk diperoleh harus diberikan sesuai kebutuhan. Contoh dari
prinsip pertama tersebut misalnya adalah setiap warga punya hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang
layak, termasuk orang-orang cacat, namun orang-orang yang menyandang cacat badan harus diberi pekerjaan yang
cocok dengan kemampuan mereka, tidak seberat beban yang diberikan kepada pekerja-pekerja dengan kondisi
tubuh yang prima. Sedangkan contoh dari prinsip kedua itu adalah misalnya gaji atau upah dikatakan adil jika
sesuai dengan kebutuhan pekerja.
Ketiga, teori liberalistis yang menganggap pembagian atas dasar kebutuhan sebagai cara yang tidak adil.
Menurut teori ini, pembagian harus didasarkan pada usaha-usaha bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang
tidak berusaha tidak mempunyai hak pula untuk memperoleh sesuatu. Jadi yang bekerja keras mendapat lebih
banyak dibandingkan yang malas bekerja. Jadi, penekanan dari teori ini adalah prestasi yang dilihat sebagai
perwujudan pilihan bebas seseorang. Tentu ada masalah serius dengan teori ini, pada saat seseorang tidak bisa
berprestasi karena cacat atau orang yang menganggur diluar kemauannya sendiri, dan sebagainya.
Dua teori pertama tersebut dalam prakteknya mempunyai masalah, terutama dalam ekonomi. Dalam teori
pertama, ini artinya upah yang diterima seorang buruh pabrik sama dengan pendapatan dari pimpinan perusahaan.
Walaupun seseorang berprestasi jauh lebih bagus dibandingkan orang lain, gaji mereka tetap sama, dan ini tentu
sesuatu yang tidak adil. Demikian juga masalah dengan teori kedua. Keadilan distributif yang dianut oleh ekonomi
sosialis adalah di mana semua orang dijamin kebutuhan ekonominya secara relatif sama terlepas dari sumbangan
dan peran atau prestasinya bagi kehidupan bersama atau perusahaan. Ini pun sistem distribusi yang tidak adil,
karena setiap warga akan diberi jatah sesuai dengan kebutuhan hidupnya, sekalipun prestasinya sangat rendah.
Jadi, sistem pembagian sama rata malahan menimbulkan ketidakadilan.3
Keadilan distributif sering juga dianggap sebagai kata lain dari keadilan sosial, walaupun banyak yang tidak
sependapat dengan ini. Misalnya, von Hayek (1995) menolak pemakaian istilah keadilan sosial. Menurutnya,
keadilan sosial harus dibedakan dengan keadilan distributive. Menurut Magnis-Suseno (1986, 87) dan Brrtens
(1997, 2000), cara yang paling baik untuk menguraikan keadilan sosial adalah membedakannya dengan keadilan
individual. Dua macam keadilan ini berbeda, karena pelaksanaannya berbeda. Bertens (2000) menjelaskan sebagai
berikut: Pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa juga
3

Lihat lebih lanjut pembahasan mengenai adil tidaknya keadilan distributif berdasarkan pembagian sama rata di Keraf (1993, 1998).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

www.kadin-indonesia.or.id

beberapa orang) saja. Dalam pelaksanaan keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja tidak berdaya.
Pelaksanaan keadilan sosial tergantung dari struktur-struktur masyarakat di bidang sosial-ekonomi, politik,
budaya, dan sebagainya. Keadilan sosial tidak terlaksana, kalau struktur-struktur masyarakat tidak
memungkinkan. Karena itu di sini orang berbicara juga tentang ketidakadilan struktural dan kemiskinan
struktural. (hal.92).
Menurut Bertens (1997, 2000), jika keadilan artinya adalah memberikan kepada setiap orang yang menjadi
haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan dan hak-hak sosial
lainnya, maka keadilan sosial terwujud, bila hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terlaksana,
bila hak-hak individual terpenuhi. Lebih lanjut, Bertens (2000) menjelaskan Keadilan individual sering kali dapat
dilaksanakan dengan sempurna. Karena kompleksitas masyarakat modern, keadilan sosial tidak pernah dapat
dilaksanakan dengan sempurna. Setiap perubahan dalam masyarakat, seperti misalnya dinaikkannya pajak, bisa
mengakibatkan ketidakadilan struktural untuk golongan tertentu. ............Keadilan sosial merupakan cita-cita
yang bisa dihampiri semakin dekat, tapi tidak pernah bisa direalisasikan dengan sempurna. (hal.93-94). Jadi yang
dimaksud di sini adalah bahwa di satu masyarakat atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik dari
pada di masyarakat lain, seperti misalnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara
Skandinavia yang pelayanan sosialnya sangat baik. Tetapi praktis tidak ada satu masyarakat atau negara pun di
mana tidak ada masalah keadilan sosial.

III. Ekonomi Berazas Pancasila


Keadilan dalam ekonomi juga pada dasarnya merupakan peradaban ekonomi Indonesia yang dibangun atas
asas Pancasila. Diantara lima sila, sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sila kemanusian yang adil dan
beradab, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tiga sila yang sifatnya paling asasi. Dari sini muncul
ungkapan yang sudah menjadi baku masyarakat yang adil dan makmur. Dua pengertian ini tidak bisa
dilepaskan, melainkan saling melengkapi satu sama lain dan bersama-sama mensyaraktan kehidupan masyarakat
Indonesia yang baik

Keadilan tidak akan tercapai jika tidak tersedia barang yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan hidup semua warga, sedangkan di sisi lain, kemakmuran tidak akan menjamin tercapainya keadilan jiga
barang yang tersedia tidak dibagikan secara merata keseluruh warga masyarakat (Bertens, 2000).
Keadilan dalam ekonomi sering dikaitkan dengan pengertian demokrasi ekonomi. Menurut Hatta, untuk
mencapai rakyat adil sejahtera diperlukan selain demokrasi politik juga demokrasi ekonomi yang berdasarkan
perikemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi ekonomi seperti ini yang cocok dengan kehidupan asli
masyarakat Indonesia yang biasa bermusyawarah untuk mufakat (Karman, 2006).
Keadilan dalam perekonomian Indonesia juga ditegaskan di dalam pidato Supomo dalam penyusunan naskah
persiapan UUD 1945, seperti yang dikutip dari Suwarno (1993), Dalam negara yang berdasarkan integralistik,
Kadin Indonesia-Jetro, 2006

www.kadin-indonesia.or.id

yang berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem sosialisme negara
(staatssocialisme). Perusaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh negara sendiri, akan tetapi pada
hakekatnya negara yang akan menentukan dimana dan dimasa apa dan perusahaan apa yang akan
diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan lepada sesuatu
badan hukum prive atau kepada seseorang, itu semua tergantung dari pada kepentingan negara, kepentingan
rakyat seluruhnya. Begitupun tentang hal tanah. Pada hakekatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya.
Tambang-tambang yang penting untuk negara akan diurus oleh negara sendiri. Melihat sifat masyarakat
Indonesia sebagai masyarakat pertanian, maka dengan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hidup dari
kaum tani dan negara harus menjaga supaya tanah pertanian itu tetap dipegang oleh kaum tani. Dalam lapangan
ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan djuga oleh karena kekeluargaan itu sifatnya masyarakat Timur, yang
harus kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong menolong, sistem koperasi hendaknya dipakai sebagai salah
satu dasar ekonomi Negara Indonesia (hal. 105-106).
Di dalam UUD 1945, kehidupan masyarakat dalam bidang sosial-ekonomi diatur oleh pasal-pasal 27 ayat 2,
pasal 33, dan pasal 34. Dinyatakan di dalam pasal-pasal tersebut bahwa setiap warganegara Indonesia berhak atas
pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini artinya setiap warganegara Indonesia harus
mendapatkan pekerjaan agar dia dapat memperoleh penghidupan yang layal. Bahkan sesuai pasal-pasal ini,
kalaupun ada warganegara Indonesia yang tidak mendapatkan pekerjaan (menganggur), dia tetap mempunyai hak
untuk mendapatkan kehidupan layak. Ini berarti, jika ia bekerja, ia berhak mendapatkan upah yang manusiawi,
dalam arti dengan upah tersebut ia dapat hidup layak. Sedangkan, bagi pengangguran, pemerintah mempunyai
tanggung jawab penuh dalam memberikan kehidupan layak baginya. Norma ini ditegaskan di dalam pasal 34 yang
mengatakan bahwa orang miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Di dalam ayat 1 pasal 33, dikatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dan
kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Walaupun di dalam
ayat ini disebut secara eksplisit koperasi, namun di dalam realitas, asas kekeluargaan bisa juga dipraktekkan
dalam bentuk-bentuk usaha non-koperasi. Seperti yang dijelaskan oleh Suwarno (1993) sebagai berikut, .dapat
juga dengan usaha-usaha moderen dengan pengaturan sedemikian rupa, sehingga usaha-usaha yang dapat diurus
oleh kelompok-kelompok masyarakat yang kurang kuat dalam permodalan hendaknya diserahkan kepada mereka
itu tidak semuanya diusahakan oleh yang kuat permodalannya, sehingga menjadi konglomerat yang menguasai
cabang-cabang produksi dari hulu sampai hilar tanpa sisa sedikit pun untuk tempat usaha kelompok yang lemah
permodalannya. Kecuali itu asas kekeluargaan dapat juga diterapkan dalam pengelolaan perusahaan besar, yaitu
dengan memberi upah sedemikian rupa, sehingga para buruh mampu membeli saham perusahaan cukup berarti.
(hal.135).
Kadin Indonesia-Jetro, 2006

www.kadin-indonesia.or.id

Tetapi, memang dalam kenyataannya, keadilan ekonomi seperti yang diamanatkan oleh Pasal 33 tersebut, sulit
sekali direalisasikan. Seperti yang dapat dikutip dari Karman (2006), ongkos bernegara terlalu besar merampas
kemakmuran yang seharusnya milik rakyat. Elite politik mengadaikan kekayaan negeri kepada para kapitalistik.
Pemerintah kehilangan peran vital dalam mengelola sendiri kekayaan alam.......Perekonomian bangsa berjalan di
luar amanat konstitusi.........Pemerintah membiarkan anomali kebijakan ekonomi. Petani diberlakukan seperti
pelaku industri manufaktur yang harus berjuang dalam sistem mekanisme pasar. Meski kita negara agraris,
petani tidak menikmati subsidi. Walhasil, setelah berusaha payah menanam padi, nilai tukar hasil produksi petani
tak sebanding ongkos produksi dan biaya hidup sehari-hari (hal.6)
Praktek-praktek ketidakadilan dalam ekonomi, baik yang dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi maupun oleh
pembuat kebijakan, yang tidak sesuai dengan ekonomi berazas Pancasila selama ini telah menimbulkan banyak
permasalahan dalam perekonomian nasional, mulai dari tingkat makro hingga mikro yang menghasilkan antara
lain kemiskinan dan kesenjangan.

IV. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia


Kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan (yang dimaksud dengan kesenjangan ekonomi)
merupakan dua masalah besar di banyak negara sedang berkembang (NSB), tidak terkecuali Indonesia. Dikatakan
besar karena, apabila dua masalah ini berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan
menimbulkan konsukwensi politik dan sosial yang sangat serius. Suatu pemerintahan bisa jatuh karena amukan
rakyat miskin yang sudah tidak tahan lagi menghadapi kemiskinan mereka. Bahkan kejadian tragedi Mei 1998
menjadi suatu pertanyaan (hipotesis) hingga saat ini: andaikan tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia
tinggi sama seperti misalnya di Belanda atau Jepang, mungkinkah mahasiswa akan begitu ngotot berdemonstrasi
hingga akhirnya membuat rejim Soeharto jatuh atau, mungkinkah masyarakat Jakarta bisa diprovokasi hingga
melakukan kerusuhan pada bulan Mei 1998 tersebut?
Walaupun perkembangan dari tingkat kemiskinan (persentase dari jumlah penduduk yang hidup dibawah garis
kemiskinan) dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan menunjukkan suatu tren yang menurun sejak Orde
Baru hingga sekarang, masih adanya kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di dalam negeri mencerminkan masih
adanya ketidakadilan di dalam perekonomian nasional. Hal ini, sebagian, disebabkan oleh masih adanya kegiatankegiatan bisnis yang tidak bermoral, atau yang melanggar etika bisnis (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di
atas), dan, sebagian lainnya, disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak terlalu mendepankan
keadilan sosial, atau yang sering dituding tidak berpihak pada orang miskin..

IV.1 Paradigma Trickle down Effects

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

www.kadin-indonesia.or.id

Di Indonesia, pada awal pemerintahan Orde Baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana pembangunan
ekonomi sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa,
khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan hanya di sektor-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan apa
yang dimaksud dengan trickle down effects. 4Didasarkan pada kerangka pemikiran tersebut, pada awal periode
Orde Baru hingga akhir tahun 1970-an strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Soeharto
lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat
pembangunan ekonomi nasional dimulai di pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang
dibutuhkan seperti pelabuhan, jalan raya dan kereta api, telekomunikasi, kompleks industri, gedung-gedung
pemerintahan/administrasi negara, kantor-kantor perbankan, dan infrastruktur pendukung lainnya lebih tersedia di
Jawa (khususnya Jakarta dan sekitarnya) dibandingkan di propinsi-propinsi lain di Indonesia. Pembangunan pada
saat itu juga hanya terpusatkan di sektor-sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar
untuk menghasilkan nilai tambah (NT) yang tinggi. Pemerintah percaya bahwa nantinya hasil daripada
pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
Memang paradigma pembangunan yang dianut pemerintahan Orde Baru tersebut dapat dipahami, dan bahkan
dapat dikatakan itu merupakan satu-satunya strategi yang tetap sesuai kondisi ekonomi Indonesia yang pada awal
periode Orde Baru sangat buruk. Bagaikan banyak orang ingin makan roti, tetapi rotinya hanya satu potong kecil.
Jika satu potong roti yang kecil tersebut dibagikan sama rata ke semua orang, tentu tidak akan membuat mereka
kenyang. Oleh karena itu, rotinya harus diperbanyak dulu, baru setelah itu dibagikan secara rata ke semua orang.
Masalahnya dalam era Orde Baru adalah bahwa pada saat pembangunan yang terpusatkan di Jawa dan hanya di
sektor-sektor tertentu sudah cukup pesat, efek menetes kebawahnya ternyata relatif kecil (kalau tidak bisa
dikatakan sama sekali tidak ada), atau proses mengalir ke bawahnya sangat lambat. Walaupun perlu diakui bahwa
tingkat kesenjangan di Indonesia selama Orde Baru relatif kecil untuk ukuran internasional dan tingkat kemiskinan
mengalami penurunan yang cukup signifikan (hal ini akan dijelaskan lebih lanjut di Bagian IV.2)
Sebenarnya, menjelang akhir tahun 1970-an, pemerintah sudah mulai menyadari buruknya kualitas
pembangunan yang dihasilkan dengan strategi tersebut. Oleh karena itu, sejak Pelita III strategi pembangunan
mulai dirubah: tidak lagi hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi peningkatan kesejahteraan masyarakat
juga menjadi tujuan penting daripada pembangunan. Sejak itu perhatian mulai diberikan pada usaha meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, misalnya lewat pengembangan industri-industri padat karya, pembangunan perdesaan,
dan modernisasi sektor pertanian. Hingga menjelang terjadinya krisis ekonomi, sudah banyak dilaksanakan
program-program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi (kalau tidak bisa menghilangkan sepenuhnya)
jumlah orang miskin dan ketimpangan pendapatan antara kelompok miskin dan kelompok kaya di tanah air.
Efek cucuran kebawah merupakan salah satu topik penting di dalam literatur mengenai pembangunan ekonomi di NSB pada dekade
1950-an hingga 1960-an. Argumentasi teori yang menghasilkan kesimpulan bahwa akan terjadi efek cucuran ke bawah dikembangkan
pertama kali oleh Arthur Lewis (1954), dan diperluas oleh Ranis dan Fei (1968) dan lainnya.
4

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

www.kadin-indonesia.or.id

Program-program tersebut antara lain adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT), pengembangan industri kecil dan
rumah tangga (khususnya di perdesaan), program Keluarga Sejahtera, program Keluarga Berencana (KB),
program Makanan Tambahan Bagi Anak Sekolah Dasar, program Transmigrasi, kebijakan Upah Minimum
Regional (UMR) atau Propinsi (UMP), dan Jaringan Pengaman Sosial.

IV.2 Tren Perkembangan Kemiskinan dan Kesenjangan Sejak Orde Baru


IV.2.1 Kemiskinan
Pada awal Orde Baru (tahun 1966), rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia hanya sekitar 50 dollar AS per
tahun, dan lebih dari 80% dari populasi hidup di perdesaan dan sebagian besar dari jumlah ini bekerja di sektor
pertanian, yang kebanyakan adalah petani kecil atau marjinal dan buruh tani. Sekitar 60% dari anak-anak di
Indonesia tidak bisa menulis dan membaca dan hampir 65% dari penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan.
Pada tahun 1969 pemerintah mulai melaksanakan pembangunan dengan mencanangkan Repelita I, dan sejak itu
dengan kebijakan ekonomi terbuka, investasi dan bantuan keuangan dari luar negeri membanjiri Indonesia. Dalam
beberapa tahun saja inflasi yang sempat mencapai 500% lebih menjelang jatuhnya pemerintahan Soekarno dapat
ditekan hingga 1 digit dan pertumbuhan ekonomi meningkat, yang pada tahun 1980-an hingga 1997 sebelum
krisis, Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 7%.
Dengan suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, pendapatan per kapita meningkat, dan
dengan didukung oleh berbagai kebijakan dan program terutama di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, dan
pembangunan ekonomi perdesaan, sejumlah indikator sosial menunjukkan perbaikan yang sangat nyata.
Pendapatan rata-rata per kapita per bulan meningkat dari US$ 940 pada tahun 1970 ke hampir US$ 2900 pada
tahun 2000; jumlah bayi yang meninggal pada saat lahir berkurang dari 90 dari 1000 anak yang lahir hidup pada
tahun 1980 ke 42 menjelang akhir 90-an; harapan hidup juga membaik dari 55 pada awal 80-an ke 66 pada akhir
90-an; persentase anak yang terdaftar di sekolah-sekolah pendidikan dasar hingga menengah meningkat; dan
penduduk yang bisa membaca dan menulis membaik secara signifikan; (Tabel 1).
Pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan tersebut juga memberi suatu kontribusi yang besar terhadap
pengurangan kemiskinan selama Orde Baru. Seperti yang ditunjukkan oleh statistik resmi di Tabel 2, 5persentase
kemiskinan menurun dari 40% ke sekitar 17,5% selama 1976-1996, dan penurunan terbesar terjadi selama periode

Angka di Tabel 2 didasarkan metode Head Count Index, yang umum digunakan untuk menghitung penduduk miskin. Menurut metode
ini, penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah suatu batas, yang disebut garis kemiskinan. Garis kemiskinan di Indonesia
adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang untuk memenuhi hidup minimumnya, baik itu kebutuhan hidup minimum makanan
seperti beras, umbi-umbian, ikan dan sebagainya, maupun kebutuhan hidup bukan makanan seperti perumahan, kesehatan, pendidikan,
transportasi, dan sebagainya. Di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), seseorang dapat dikatakan hidup sehat apabila telah
dapat memenuhi enerjinya minimal sebesar 2100 kilo kalori per hari. Mengacu kepada ukuran tersebut, maka batas miskin untuk
makanan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan minimum enerjinya
sebesar 2100 kilo kalori per hari. Dalam menghitung kebutuhan hidup minimum makanan, standar kebutuhan hidup minimum 2100 kilo
kalori per hari didasarkan pada konsumsi makanan dari penduduk kelas marjinal, yaitu penduduk yang hidupnya sedikit di atas estimasi
5

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

10

www.kadin-indonesia.or.id

70s hingga awal 80s dengan 13 persentase poin, sedangkan selama periode 1981-93 laju penurunannya hanya
sekitar 16 persentase point. Pada saat krisis ekonomi 1997/98, kemiskinan mengalami peningkatan yang
substansial karena banyaknya pekerja yang di-PHK-kan akibat banyaknya perusahaan yang terhimbas krisis. Pada
tahun 1998, pada saat krisis mencapai titik klimaksnya, tingkat kemiskinan nasional tercatat sebesar 24,23%, dan
setelah itu cenderung menurun terus. Pada tahun 2005, kemiskinan di Indonesia sekitar hampir 16% dari jumlah
penduduk, dan ini masih lebih tinggi dibandingkan angka terendah yang pernah dicapai pada masa Orde Baru.
Tabel 1: Beberapa Indikator Sosial di Indonesia dan Beberapa NSB Lainnya, 1970-2000
Awal Periode

Akhir Periode

Rata-rata per kapita GDP (dalam 1999 PPP$)*


- Indonesia
- Asia Tenggara & Pasifik
- Asia Selatan

Indikator

1970
940
875
1 051

2000
2 882
4 413
2 216

Meninggal pada saat bayi (per 1.000 bayi yang lahir hidup)
- Indonesia
- Asia Tenggara & Pasifik
- Asia Selatan
- Negara-negara berpendapatan rendah & menengah

1980
90
55
119
86

1999
42
35
74
59

Harapan hidup pada saat lahir (tahun)


- Indonesia
- Asia Tenggara & Pasifik
- Asia Selatan
- Negara-negara berpendapatan rendah & menengah

55
65
54
60

66
69
63
64

Rasio pendaftaran pendidikan dasar (%)**


- Indonesia
- Asia Tenggara & Pasifik
- Asia Selatan
- Negara-negara berpendapatan rendah & menengah

107
111
77
96

113
119
100
107

Rasio pendaftaran pendidikan sekunder (%)**


- Indonesia
- Asia Tenggara & Pasifik
- Asia Selatan
- Negara-negara berpendapatan rendah & menengah

29
44
27
22

56
69
49
59

Buta huruf (% dari penduduk berumur 15 dan di atas)***


- Indonesia
- Asia Tenggara & Pasifik
- Asia Selatan
- Negara-negara berpendapatan rendah & menengah

13(L), 27(P)
13(L), 29(P)
41(L), 66(P)
22(L),39(P)

9(L),19(P)
8(L),22(P)
34(L),58(P)
18(L),32(P)

Catatan: * Data adalah tiga tahun rata-rata, terpusat pada tahun yang ditunjukkan di atas.
** Data paling akhir adalah untuk 1997, bukan 1999.
*** L=lelaki, P=perempuan
Sumber: Balisacan dkk. (2002).

Masalah kesejahteraan ekonomi tidak hanya bicara soal berapa banyak orang miskin tetapi juga berapa banyak
penduduk yang hampir miskin. Suatu negara yang presentase penduduk miskinnya rendah tidak selalu berarti
awal garis kemiskinan yang diperoleh berdasarkan garis kemiskinan sebelumnya yang disesuaikan dengan tingkat inflasi. Penduduk pada
kelompok tersebut disebut penduduk referensi (BPS, 2005).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

11

www.kadin-indonesia.or.id

tingkat kesejahteraan di negara tersebut tinggi jika jumlah penduduknya yang masuk kategori hampir miskin lebih
besar daripada jumlah penduduk kayanya. Di Indonesia, jumlah dan presentase penduduk hampir miskin pada
tahun 2005 (Februari) disajikan di Tabel 3. Mereka yang tergolong hampir miskin dikategorikan sebagai
kelompok yang rentan terperosok menjadi miskin apabila terjadi gejolak ekonomi dan sosial, seperti crisis
ekonomi 1997/98 lalu, atau kenaikan harga BBM bulan Oktober 2005 lalu.
Tabel 2: Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase dari Populasi yang Hidup di bawah Garis Kemiskinan
di Indonesia: 1976-2005
Tahun
1976
1978
1980
1981
1984
1987
1990
1993
1996
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005

Tingkat miskin (%)


Perkotaan Perdesaan
National
38,8
40,4
40,1
30,8
33,4
33,3
29,0
28,4
28,6
28,1
26,5
26,9
23,1
21,2
21,6
20,1
16,1
17,4
16,8
14,3
15,1
13,4
13,8
13,7
13,4
19,8
17,5
21,9
25,7
24,2
19,4
26,03
23,4
14,6
22,4
19,1
9,8
24,8
18,4
14,5
21,1
18,2
13,6
20,2
17,4
12,1
20,1
16,7
11,4
19,5
15,97

Jumlah orang miskin (juta orang)


Perkotaan
Perdesaan
Nasional
10,0
44,2
54,2
8,3
38,9
47,2
42,3
9,5
32,8
9,3
31,3
40,6
9,3
25,7
35,0
9,7
20,3
30,0
9,4
17,8
27,2
8,7
17,2
25,9
34,01
9,4
24,6
49, 5
17,6
31,9
15,6
32,3
48,0
38,7
12,3
26,4
37,9
8,6
29,3
38,4
13,3
25,1
12,2
25,1
37,3
11,4
24,8
36,1
22,7
35,1
12,4

Sumber: BPS

Table 3: Jumlah dan Persentase Penduduk Hampir Miskin di Indonesia, 2005 (Februari)
Daerah
Perkotaan
Perdesaan
Nasional
Sumber: BPS

Jumlah (juta)
7,9
18,3
26,2

Persentase
8,7
15,2
11,97

Dapat dilihat bahwa jumlah penduduk hampir miskin di Indonesia hingga awal 2005 tercatat sebanyak 26,2 juta
orang yang sebagian besar terdapat di daerah perdesaan. Lebih besarnya jumlah orang miskin dan hampir miskin
di daerah perdesaan adalah hasil dari pembangunan ekonomi yang timpang selama ini. Kesempatan kerja,
khususnya di sektor-sektor yang menghasilkan nilai tambah dan pendapatan/gaji tinggi seperti industri, konstruksi,
perbankan dan perdagangan moderen jauh lebih besar di daerah perkotaan daripada di perdesaan. Di perdesaan
kesempatan kerja masih didominasi oleh sektor pertanian yang menghasilkan nilai tambah dan upah relatif rendah.
Ada dua hal lain yang juga harus diperhatikan dalam membahas soal kemiskinan di Indonesia, yakni kedalaman
kemiskinan dan keparahan kemiskinan. Kedalaman kemiskinan menunjukkan rata-rata kesenjangan pengeluaran
penduduk miskin terhadap batas miskin (garis kemiskinan), sedangkan keparahan kemiskinan menunjukkan

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

12

www.kadin-indonesia.or.id

ketimpangan pengeluaran dari penduduk paling miskin, atau yang makin jatuh di bawah garis kemiskinan. 6
Semakin besar nilai kedua indeks ini di sebuah negara mencerminkan semakin seriusnya persoalan kemiskinan di
negara tersebut.
Tabel 4 menunjukkan indeks kedalaman kemiskinan (P1) di Indonesia mengalami penurunan dalam periode
setelah krisis hingga 2005. Pada tahun 1999 tercatat sebesar 4,33 dan 2,78 pada tahun 2005. Keadaan ini
menandakan bahwa pada periode tersebut di Indonesia terus terjadi penurunan besarnya rata-rata kesenjangan
pengeluaran penduduk miskin terhadap batas miskin. Dalam kata lain, rata-rata pengeluaran kaum miskin di
Indonesia cenderung meningkat atau mendekati garis kemiskinan (BPS, 2005).
Tabel 4: Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Indonesia, 1999-2005
Tahun
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Sumber: BPS

Perkotaan
3,52
1,89
1,74
2,59
2,55
2,18
2,05

Perdesaan
4,84
4,68
4,68
3,34
3,53
3,43
3,34

Nasional
4,33
3,51
3,42
3,01
3,13
2,89
2,78

Kecenderungan menurunnya indeks kedalaman kemiskinan juga terlihat baik di perkotaan maupun di
perdesaan, namun laju penurunan di perkotaan terlihat lebih fluktuatif. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh
efek langsung yang lebih besar dari dinamika ekonomi nasional terutama kenaikan inflasi yang dirasakan oleh
penduduk miskin di perkotaan daripada di perdesaan. Walaupun secara umum, indeks kedalaman kemiskinan di
perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Dalam kata lain, jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin
perkotaan dengan garis kemiskinan perkotaan relatif lebih dekat dibandingkan dengan jarak rata-rata pengeluaran
penduduk miskin di perdesaan dengan garis kemiskinan perdesaan.
Berikut, Tabel 5 menyajikan nilai indeks keparahan kemiskinan (P2) di Indonesia yang juga menunjukkan tren
yang menurun selama periode yang sama. Pada tahun 1999 tercatat 1,23 dan menjadi 0,76 pada tahun 2005.
Perkembangan ini menandakan bahwa selama periode tersebut ketimpangan pengeluaran penduduk miskin di
indonesia secara umum semakin berkurang, atau kondisi ekonomi penduduk miskin semakin membaik. Penurunan
ini juga terjadi di perkotaan dan perdesaan namun penurunannya di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di
perkotaan. Karena indeks kedalaman kemiskinan di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan (lihat Tabel 4),
maka dengan sendirinya indeks keparahan kemiskinan di perdesaan juga lebih tinggi dibandingkan di perkotaan;
6

Kedalaman kemiskinan diukur dengan Poverty Gap Index (P1), yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masingmasing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai P1 semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk
miskin terhadap kemiskinan. Keparahan kemiskinan diukur dengan Poverty Severity Index (P2 ), yang adalah jumlah dari kedalaman
kemiskinan (P1) tertimbang di mana penimbangnya sebanding dengan kedalaman kemiskinan itu sendiri. Dengan mengkuadratkan P1 , P2
secara implisit memberikan penimbang yang lebih pada unit observasi yang makin jauh di bawah garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai
indeks ini, berarti semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin (BPS, 2005).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

13

www.kadin-indonesia.or.id

bahkan lebih tinggi daripada di tingkat nasional. Ini merupakan indikasi bahwa tingkat ketimpangan dalam
distribusi pengeluaran penduduk miskin di perdesaan lebih besar daripada di perkotaan. Misalnya pada tahun
1999, P2 di perdesaan tercatat hampir 1,4 dibandingkan 0,98 di perkotaan atau 1,23 di Indonesia secara total, dan
pada tahun 2005 perbandingannya adalah masing-masing 0,89, 0,60, dan 0,76.
Tabel 5: Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Indonesia, 1999-2005
Tahun
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Sumber: BPS

Perkotaan
0,98
0,51
0,45
0,71
0,74
0,58
0,60

Perdesaan
1,39
1,39
1,36
0,85
0,93
0,90
0,89

Nasional
1,23
1,02
0,97
0,79
0,85
0,78
0,76

Kemiskinan antar propinsi disajikan di Tabel 6. Dapat dilihat bahwa tingkat kemiskinan dan perubahannya
bervariasi menurut propinsi, dan variasi ini disebabkan oleh perbedaan antar propinsi dalam banyak hal yang
secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat, seperti laju
pertumbuhan ekonomi dan sifatnya (yakni apakah padat tenaga kerja atau modal), kondisi infrastruktur, tingkat
pendidikan dan kesehatan, khususnya dari kelompok masyarakat berpendapatan rendah, dan implementasi dari
program-program anti kemiskinan dari pemerintah pusat. Lebih dari 55% dari jumlah orang miskin di tanah air
terdapat di pulau Jawa, yang memang merupakan pusat kemiskinan di Indonesia, dan hal ini erat kaitannya dengan
angka kepadatan penduduk yang juga di pulau Jawa paling tinggi dibandingkan di propinsi-propinsi lainnya. Fakta
ini memberi kesan adanya suatu korelasi positif antara kepadatan penduduk (jumlah penduduk dibagi luas wilayah)
dan tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Semakin tinggi jumlah penduduk per km2, atau per hektar, semakin sempit
ladang untuk bertani atau lokasi untuk membangun pabrik atau melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya,
semakin kecil kesempatan kerja dan sumber pendapatan, yang berarti juga semakin besar persentase penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan. Hipotesa ini bisa benar tentu dengan asumsi bahwa mobilisasi penduduk
antardaerah tidak tinggi.
Ada dua hal yang menarik dari data di tabel ini. Pertama, Jawa merupakan pusat kemiskinan di Indonesia
Kawasan Barat (IKB), sedangkan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) di Indonesia
Kawasan Timur (IKT). Paling besarnya kemiskinan di propinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta tersebut erat
kaitannya dengan kenyataan bahwa tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia adalah di dua wilayah
tersebut. Sedangkan di Nusa Tenggara lebih dikarenakan oleh tingkat pembangunan yang rendah, bukan karena
kepadatan penduduk karena jumlah penduduk di wilayah tersebut relatif sedikit. Kedua, sebagian dari propinsipropinsi di Indonesia mengalami penurunan sedangkan propinsi-propinsi lainnya mengalami peningkatan

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

14

www.kadin-indonesia.or.id

kemiskinan selama periode yang diteliti, dan laju penurunan/peningkatan bervariasi per propinsi, yang erat
kaitannya dengan kinerja perekonomian regional yang juga bervariasi menurut propinsi.
Selain dalam bentuk banyaknya orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sebagai suatu persentase dari
jumlah populasi, besarnya kemiskinan di suatu wilayah dapat juga diukur dengan sejumlah variabel lain seperti
jumlah rumah tangga yang membayar listrik (PLN), yang memiliki kendaran bermotor, yang memiliki sambungan
telepon, yang memakai air PAM, yang punya rumah dengan lantai ubin, atau yang memiliki sanitasi yang baik per
1000 rumah tangga. BPS dkk. (2004), membuat suatu indeks yang disebut Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)
yang terdiri dari lima (5) unsur utama, yakni suatu proporsi dari jumlah populasi yang diperkirakan tidak mencapai
usia 40 tahun, yang buta huruf, yang tidak memiliki akses terhadap air bersih dan sarana kesehatan, dan balita
kurang gizi (Tabel 7). Variasi antar propinsi dalam kelima indikator sosial ini erat kaitannya dengan perbedaanperbedaan antar propinsi dalam fasilitas-fasilitas kesehatan dan pendidikan yang baik, di satu sisi, dan akses
masyarakat dari semua golongan terhadap fasilitas-fasilitas tersebut, di sisi lain, dan pendapatan masyarakat dalam
nilai riil. Sedangkan adanya variasi tersebut mencerminkan tidak meratanya pembangunan ekonomi dan sosial
antar propinsi di Indonesia.
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Propinsi: 2000, 2001 dan 2002
Propinsi
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Jakarta
Jabar
Jateng
Yogyakarta
Jatim
Banten
Bali
NTB
NTT
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultengg
Gorontalo
Maluku
Maluku Utara
Irian Jaya/Papua

Jumlah (000)
2000
1.491,8
482,5
485,6
504,9
1.338,0
249,0
2.017,8
416,1
6.658,4
6.513,6
1.035,8
7.845,4
176,8
1.070,5
1.425,9
1.095,0
213,7
385,3
393,6
365,9
503,2
1.198,0
419,2
970,9

2001
1.359,7
643,3
491,6
480,4
1.113,8
308,5
1.674,1
127,9
247,5
3.532,3
6.856,7
767,6
7.508,3
1424,0
248,4
1.175,5
1.317,5
728,5
215,4
357,5
349,7
213,2
530,5
1.296,3
457,5
253,0
418,8
110,1
900,8

2002
1.199,9
1.883,9
496,4
722,4
326,9
1.600,6
372,4
1.650,7
106,2
286,9
4.938,2
7.308,3
635,7
7.701,2
786,7
221,8
1.145,8
1.206,5
644,2
231,4
259,8
313,0
229,3
564,6
1.309,2
463,8
274,7
418,8
110,1
984,7

%
2000
13,05
11,43
10,38
21,15
17,37
17,83
30,43
4,96
15,40
21,16
33,39
22,77
5,68
28,13
36,52
29,42
11,97
13,03
16,30
13,03
24,51
15,44
23,88
46,35

2001
11,73
15,16
10,06
19,71
16,07
21,65
24,91
13,28
3,14
15,34
22,07
24,53
21,64
17,24
7,87
30,43
33,01
19,23
11,72
11,92
14,04
10,67
25,29
16,50
25,20
29,74
34,79
14,03
41,80

2002
29,8
15,8
11,6
13,7
13,2
22,3
22,7
24,1
11,6
3,4
13,4
23,1
20,1
21,9
9,2
6,9
27,8
30,7
15,5
11,9
8,5
12,2
11,2
24,9
15,9
24,2
32,1
34,8
14,0
41,8

Indonesia

37.256,9**

37.108,4***

38.394,1

18,95**

18,40***

18,2

Keterangan: *= hasil estimasi berdasarkan KOR Susenas tahun 2000 dan 2001; **=tanpa Aceh dan Maluku; ***=tanpa Aceh
Sumber: BPS (2001).dan BPS dkk. (2004).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

15

www.kadin-indonesia.or.id

Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah jelas bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selama periode Orde
Baru dan yang mulai positif lagi sejak 1999 berperan sangat besar terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia
selama ini. Tentu hubungan negatif antara laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan yang dialami
Indonesia tersebut tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi adalah satu-satunya yang diperlukan untuk
mengentaskan kemiskinan. Dalam kata lain, pertumbuhan ekonomi adalah suatu faktor yang sangat penting bagi
penurunan kemiskinan, tetapi bukan satu-satu faktor penentu. Kebijakan-kebijakan yang pro-miskin baik yang
sifatnya langsung seperti memberikan kompensasi penurunan subsidi BBM kepada kaum miskin, modal kerja
kepada pengusaha-pengusaha mikro dan kecil, dan subsidi pendidikan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu,
maupun yang sifatnya tidak langsung seperti proyek-proyek pembangunan infrastruktur padat karya,
pembangunan desa-desa tertinggal (seperti IDT pada era Orde Baru), dan modernisasi sektor pertanian sangat

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

16

www.kadin-indonesia.or.id

Tabel 7:. Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) menurut Propinsi, 1998, 1999 dan 2002
Propinsi

Penduduk yang
diperkirakan tidak
mencapai usia 40
tahun (%)
1999

Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Jakarta
Jabar
Jateng
Yogyakarta
Jatim
Banten
Bali
NTB
NTT
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultengg
Gorontalo
Maluku
Maluku Utara
Irian Jaya/
Papua

12,7
13,5
16,2
12,4
14,2
16,2
16,6
15,4

Indonesia

2002

Angka buta huruf


usia dewasa (%)

1999

61,5
47,9
46,4
71,8
57,3
59,7
59,2
54,4

28,8
11,6

10,5

6,9
4,2
5,3
4,4
6,3
6,6
7,4
8,2

17,8
15,2

15,0

11,7
31,5
19,5
18,6
10,4
24,5
10,7
12,0
21,2
11,7
17,0
13,1

1999

4,2
3,9
4,9
3,5
5,3
5,9
7,0
7,0
8,3
1,8
6,9
14,3
14,1
16,8
6,2
15,8
22,2
15,9
13,1
3,6
6,7
4,8
1,2
6,7
16,5
11,8
4,8
3,7
4,2
26,9

12,6
13,3
15,2
12,0
13,9
16,0
16,3
15,2
16,0
6,7
18,0
10,9
6,7
15,3
21,7
9,5
27,3
19,2
18,1
10,2
23,9
10,2
8,4
20,1
11,3
16,8
18,5
16,2
20,7
16,8

7,9
18,2
11,7
8,2
16,2

2002

Penduduk tanpa
akses terhadap air
bersih (%)

2,2
7,8
15,2
14,5
18,7
17,3
27,2
19,6
16,8
5,2
7,2
6,5
2,8
7,4
16,8
12,9
4,2

2002

Penduduk tanpa
akses terhadap
sarana kesehatan
(%)
1999
37,6
20,9
21,7
39,2
21,5
28,9
24,8
34,5

54,5

48,5
41,8
42,4
58,9
47,4
52,7
45,0
45,9
48,9
30,3
53,0
39,8
38,9
36,7
55,8
27,8
52,3
46,8
78,5
66,7
41,5
37,3
35,7
53,8
45,1
41,3
62,4
43,9
43,2
61,6

51,9

44,8

40,2
62,1
47,8
48,9
43,0
34,2
62,5
41,9
78,4
68,2
46,7
35,8
44,5
51,7
49,1
43,6
52,1

2002

IKM

1999

2002

28,3

31,3

28,4
24,8
23,4
25,1
22,7
27,7
22,7
23,9
25,2
13,2
23,0
21,0
16,1
21,7
25,1
17,3
30,2
28,9
38,0
30,7
25,5
19,1
17,8
28,9
24,6
25,8
32,4
22,9
27,9
30,9

30,0

25,8

25,2

22,7

36,0
21,6

23,1

23,8

1999
31,4
24,5
24,4
32,3
26,3
27,3
27,1
27,9

35,6
35,3
34,0
27,9
32,9
26,4
30,0
29,1

14,9
17,5
38,2
43,3
26,2
16,2
19,6
26,1
30,2
26,0
21,3

2002

IKM

35,2
33,0
28,0
18,4
25,0
28,2
26,4
24,2
21,1
23,2
21,5
25,0
16,9
25,5
20,5
18,7
37,8
38,8
33,2
31,9
30,2
21,5
21,9
29,6
29,1
28,3
42,0
29,3
29,6
28,3

38,0
30,4
27,6
29,7
23,1
36,0
22,0
29,8
35,3
2,9
19,0
20,9
7,7
22,2
23,5
19,8
21,6
32,8
50,1
33,6
27,3
22,2
18,4
36,8
27,3
37,4
32,7
26,1
42,2
36,1

2,0
22,4
17,1
8,6
17,1

Peringkat

Balita kurang gizi


(%)

23,7
27,2
30,5
17,3
30,7
21,0
39,7
38,7
42,0
30,5
29,0
31,9
25,8
34,9
33,9
27,1
29,3

15,5
26,9
23,2
18,5
23,4
18,7
33,7
29,5
38,7
29,0
24,4
20,6
22,7
28,4
26,3
22,9
24,7

Sumber: BPS dkk (2004).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

17

www.kadin-indonesia.or.id

1999

2002

23
11
10
24
13
17
16
18

23
15
12
16
9
21
8
13
18
1
11
6
22
27
17
3
26
24
30
27
19
5
4
25
14
20
29
10
22
29

1
15
7
2
8
3
25
21
26
20
9
4
5
19
14
6
12
22

diperlukan agar pertumbuhan ekonomi mempunyai suatu dampak positif yang berarti bagi pengurangan
kemiskinan.
Sebagai perbandingan, Tabel 8 menunjukkan kemiskinan di sejumlah negara di Asia dan Tabel 9 menyajikan
perbandingan hasil penghitungan proporsi populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan di sejumlah NSB
berdasarkan garis kemiskinan nasional dan dengan pendekatan Bank Dunia yakni berdasarkan pengeluaran 1 dan 2
dollar AS per hari. Dari Tabel 8, dapat dilihat bahwa Indonesia merupakan negara yang laju penurunan
kemiskinan per tahun cukup tinggi relatif dibandingkan di negara-negara lain di tabel tersebut, sedangkan pada
tahun 1960an Indonesia merupakan negara termiskin setelah Filipina dan Bangladesh. Pada tahun 1960 sebanyak
60% dari jumlah penduduk saat itu hidup di bawah batas miskin, dan pada tahun 2000 menjadi 14.6%.
Perkembangan ini menandakan bahwa usaha-usaha pemerintahan pada era Orde Baru relatif sangat berhasil dalam
mengurangi kemiskinan di dalam negeri. Ini yang membuat Indonesia dipakai sebagai salah satu contoh success
story dalam pengentasan kemiskinan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di NSB.
Tabel 8. Tingkat Kemiskinan di Indonesia dan Beberapa Negara Asia lainnya, Berdasarkan Garis-Garis
Kemiskinan Nasional, 1970-2000
Negara

Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional yang


berlaku/Indeks HC (%)
1970
1980
1990
2000

China
33,0
28,0
10,1
Korea Selatan
23,0
10,0
8,2 (1993)
Indonesia
60,0
29,0
16,8
Malaysia
18,0
9,0
6,1 (1989)
Filipina
61,6 (1971)
59,7 (1985)
45,2 (1991)
Thailand
26,0
17,0
18,0
Viet Nam
..
75,0 (1988)
58,0 (1993)
Bangladesh
71,0 (1973/74)
52,3 (1983/84)
49,7 (1991/92)
India
55,6
48,4 (1978)
40,9 (1992)
Nepal
..
41,4 (1984/85)
..
Pakistan
54,0 (1961)
29,1 (1986/87)
26,1 (1990/91)
Sri Lanka
37,0 (1963)
27,3 (1985/86)
22,4 (1990/91)
Keterangan; di dalam kurung adalah tahun yang menjadi ukuran.
Sumber: Indonesia: BPS; untuk Negara-negara lain tersebut: ESCAP & UNDP (2003).

4,6
11,6 (1999)
14,6
8,1 (1999)
40,0
14,2
37,0 (1998)
39,8
26,1 (1999/2000)
44,6 (1995/96)
32,6
22,9 (1995/96)

Rata-rata
pertumbuhan (%)
1980s
1990s
-6,4
-1,4
-4,8
-3,6
-4,0
0,6
-4,5
-0,6
-1,1
..
-2,6
-3,6

-5,4
6,9
8,8
3,3
-1,3
-2,1
-7,2
-2,3
-4,5
..
2,9
0,4

Sedangkan dari Tabel 9, satu hal yang sangat menarik adalah bahwa sebenarnya besarnya kemiskinan di suatu
negara sangat tergantung pada garis kemiskinan yang ditentukan sebelumnya. Seperti yang dapat dilihat, pada saat
garis kemiskinan adalah 1 dollar AS per hari, banyak negara yang menunjukka angka kemiskinan yang relatif
rendah; namun pada saat batas miskin dinaikkan ke 2 dollar AS per hari, tingkat kemiskinan di negara-negara
tersebut meningkat cukup signifikan. Di Indonesia, dengan memakai batas miskin 1 dollar AS per hari, jumlah
orang miskin, yakni mereka yang pengeluarannya per hari lebih kecil dari 1 dollar AS (atau sekitar Rp 9000
dengan kurs rata-rata Rp 9000 per dollar AS), tercatat sekitar 7,5% dari jumlah populasi; namun pada saat batas
miskin di naikkan 100% (atau sekitar Rp18.000 per hari), tingkat kemiskinan di Indonesia naik drastis ke 52,4%.
Tabel 9: Kemiskinan di Sejumlah NSB; data terakhir (%)
18

Negara

Tahun
survei

Tingkat kemiskinan
nasional berdasarkan
garis kemiskinan
Nasional

Tahun
survei

Tingkat kemiskinan berdasarkan garis


kemiskinan internasional
Di bawah US$1/hari
Di bawah US$2/hari

Albania
11,8
2002
25,4
2002
<2,0
Argentina
14,3
1998
29,9**
2001
3,3
Bangladesh
82,8
2000
49,8
2000
36,0
Bolivia
34,3
1999
62,7
1999
14,4
Brazil
22,4
1990
17,4
2001
8,2
Cambodia
77,7
1997
36,1
1997
34,1
Cameroon
50,6
2001
40,2
2001
17,1
Chile
9,6
1998
17,0
2000
<2,0
China
46,7
1998
4,6
2001
16,6
Costa Rica
9,5
1992
22,0
2000
2,0
Egypt
43,9
1999-00
16,7
2000
3,1
El Savador
58,0
1992
48,5
2000
31,1
Guatemala
37,4
2000
56,2
2000
16,0
India
79,9
1999-00
28,6
1999-00
34,7
Indonesia
52,4
16,6
2002
7,5
Korea, Rep.
<2,0
2004*
..
1998
<2,0
Lao PDR
73,2
38,6
1997-98
26,3
Malaysia
9,3
1997-98
15,5
1997
<2,0
9,9
Mexico
26,3
1989
10,1
2000
45,1
Nicaragua
79,9
1988
47,9
2001
7,2
Panama
17,6
1998
37,3
2000
18,1
Peru
37,7
1997
49,0
2000
14,6
Philippines
46,4
1997
36,8
2000
<2,0
Thailand
32,5
1997
13,1
2000
<2,0
Tunisia
6,6
1992
7,6
2000
<2,0
Uruguay
3,9
1995
..
2000
17,7
Vietnam
22,9
1993
50,9
1998
Keterangan: * = data BPS (dalam laporan Bank Dunia ini, data Indonesia untuk tahun 1999 dengan tingkat kemiskinan 27,1%).
** = perkotaan
Sumber: Bank Dunia (database)

IV.2.1 Kesenjangan
Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan karena pada dasarnya merupakan ukuran
kemiskinan relatif. 7Karena data pendapatan sulit diperoleh, pengukuran distribusi pendapatan di dalam banyak
studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia selama ini didekati dengan penggunaan data pengeluaran rumah
tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu
pendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi pendapatan masyarakat. Walaupun diakui bahwa cara ini
sebenarnya mempunyai suatu kelemahan yang serius: data pengeluaran konsumsi bisa memberikan informasi yang
7

Ada empat cara yang umum digunakan untuk mengukur ketimpangan dalam distribusi pendapatan, yakni koefisien Gini, ukuran Bank
Dunia, Indeks Theil dan Indeks-L. Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran atau pendapatan
kumulatif yang membandingkan distribusi dari pengeluaran/pendapatan dengan distribusi seragam yang mewakili persentase kumulatif
penduduk. Koefisien Gini punya nilai antara 0 dan 1. Nilai 0 artinya pemerataan sempurna, sedangkan nilai 1 artinya ketimpangan
sempurna. Sedangkan Indeks Theil dan Indeks-L masuk dalam famili ukuran ketimpangan generalized enthropy. Nilai dari kedua
indeks tersebut vervariasi antara 0 dan (tidak terhingga) dengan 0 mewakili distribusi pendapatan yang merata dan nilai di atas itu
mewakili tingkat ketimpangan. Semakin tinggi nilainya berarti semakin tinggi tingkat ketimpangan. Bedanya antara Indeks Theil dan
Indeks L adalah nilai di dalam penghitungan indeks-indeks tersebut. Nilai yang paling umum digunakan adalah 0 dan 1. Dengan =
0, disebut Indeks Theil, dan = 1 disebut Indeks-L, yakni ukuran deviasi log rata-rata karena ukuran tersebut memberikan standar deviasi
dari log pendapatan. Sedangkan ukuran Bank Dunia adalah pembagian penduduk menurut kelompok pendapatan, yakni 40% terendah,
40% menengah, dan 205 terendah.

19

tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya. Jumlah
pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterimanya, bisa lebih
besar atau lebih kecil. Misalnya, pendapatannya lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsinya juga
besar, karena ada tabungan. Sedangkan, jika jumlah pendapatannya rendah tidak selalu berarti jumlah
konsumsinya juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi
tertentu, misalnya untuk beli rumah dan mobil, dan untuk membiayai sekolah anak atau bahkan untuk liburan.
Demikian pula, pengertian pendapatan, yang artinya pembayaran yang didapat karena bekerja, atau menjual
jasa, tidak sama dengan pengertian kekayaan. Kekayaan seseorang bisa jauh lebih besar daripada pendapatannya.
Atau, seseorang bisa saja tidak punya pekerjaan (pendapatan) tetapi ia sangat kaya karena ada warisan keluarga.
Banyak pengusaha-pengusaha muda di Indonesia kalau diukur dari tingkat pendapatan mereka tidak terlalu
berlebihan tetapi mereka sangat kaya karena perusahaan di mana mereka bekerja adalah milik mereka (atau orang
tua mereka). 8
Kalau dilihat pada tingkat agregat dengan memperhatikan perkembangan sejumlah variabel-variabel ekonomi
makro selama Orde Baru hingga krisis ekonomi terjadi, seperti misalnya laju pertumbuhan produk domestik bruto
(PDB) rata-rata per tahun, peningkatan pendapatan nasional (PN) per kapita, diversifikasi ekonomi, dan pangsa
ekspor non-migas, diakui ada keberhasilan daripada pembangunan ekonomi selama periode tersebut. Akan tetapi,
keberhasilan suatu pembangunan ekonomi tidak dapat hanya diukur dari laju pertumbuhan output atau
peningkatan pendapatan secara agregat atau per kapita. Tetapi, bahkan lebih penting, harus dilihat juga dari pola
distribusi dari peningkatan pendapatan tersebut. Menjelang pertengahan 1997, beberapa saat sebelum krisis
ekonomi muncul, tingkat pendapatan per kepala di Indonesia sudah melebihi 1000 dollar AS, dan tingkat ini jauh
lebih tinggi jika dibandingkan 30 tahun yang lalu. Namun, apa artinya kalau hanya 10% saja dari jumlah penduduk
di tanah air yang menikmati 90% dari jumlah PN. 9Sedangkan, sisanya (80%) hanya menikmati 10% dari PN.
Atau, kenaikan PN selama masa itu hanya dinikmati oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan dari
kelompok masyarakat yang mewakili 90% dari jumlah penduduk tidak mengalami perbaikan yang berarti.
Pemerintahan Orde Baru hingga pemerintahan sekarang memang berusaha memperbaiki ketimpangan dalam
distribusi pendapatan. Hasil dari upaya pemerintah selama Orde Baru untuk meningkatkan pemerataan pendapatan
bisa dilihat pada perkembangan koefisien Gini sejak 1965 hingga 1999 dengan memakai data SUSENAS. Selama
1965-70, rata-rata laju pertumbuhan PDB di Indonesia masih sangat rendah sekitar 2,7%, dan koefisien Gini
rata-rata per tahun sebesar 0,35. Selama 1971-80 laju pertumbuhan PDB jauh lebih besar, rata-rata 6% per tahun
dengan koefisien Gini rata-rata per tahun sedikit di atas 0,4. Ini berarti selama periode itu, pertumbuhan memang
sangat baik namun kesenjangan pendapatan yang diukur dengan distribusi pengeluaran konsumsi semakin
memburuk. Sedangkan, selama 1981-90 pertumbuhan PDB 5,4% per tahun dan koefisien Gini rata-rata per tahun

8 Lihat pembahasan lebih dalam mengenai isu ini dari Hasibuan (1978, 1980, 1995).
9 Berarti dapat dibayangkan secara sederhana: 10 persen dari penduduk menikmati 0,90 x (US$1080 x jumlah penduduk).

20

sedikit di atas 0,3. Walaupun ada variasi antara tahun-tahun tertentu, perubahan koefisien Gini tersebut
menandakan bahwa dalam periode 1980-an, dibandingkan 1960-an hingga 1970-an, tingkat ketidak-merataan
pembagian pendapatan di tanah air menunjukkan penurunan. Sebagaimana negara-negara Asia Timur dan Asia
Tenggara lainnya, koefisien Gini di Indonesia juga meningkat selama awal 1990-an, tetapi kemudian menurun lagi
secara tajam menjadi 0,32 tahun 1998, dan naik sedikit menjadi 0,33 tahun 1999 dan relatif stabil hingga awal
tahun 2000-an. Pada tahun 2005, koefisien Gini tercatat 0.34.
Menurut daerah, pada era 60-an tingkat kesenjangan pengeluaran konsumsi di perdesaan lebih besar daripada
di perkotaan. Baru sejak 1970-an ada perbaikan: angka Gini di perdesaan setiap tahun lebih rendah daripada di
perkotaan. Selama 1980-1999 nilai rasio Gini di perdesaan berkisar antara 0,26 (terendah) dan 0,31 (tertinggi),
sedangkan di perkotaan rata-rata 0,33. Pada tahun 2004, indeks Gini di perdesaan tercatat sekitar 0,27 dan
diperkotaan 0,35 (Gambar 1) Kalau perubahan nilai Gini tersebut memang memberi gambaran yang
sebenarnya, 10maka bisa dikatakan ada perbaikan dalam distribusi pendapatan di perdesaan.
Gambar 1: Tren jangka panjang dari perkembangan koefisien gini dari pengeluaran konsumsi di
Indonesia menurut wilayah perdesaan dan perkotaan, 1965-2004
40%
35%
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%

Perkotaan
Perdesaan

1965 1970 1976 1980 1986 1990 1995 1998 2002 2003 2004 2005
Sumber: BPS

Tabel 10 menunjukkan Indeks Theil dan Indeks-L di perkotaan dan Perdesaan dan pada tingkat nasional
selama periode 1996-2005. Dapat dilihat bahwa Indeks Theil dan Indeks-L mengalami penurunan selama periode
1996-1999 (Februari). Antara periode 1999-2002, Indeks Theil di perkotaan sedikit meningkat dari 0,1044 ke
0,1891 sedangkan di perdesaan menurun dari 0,1177 menjadi 0,1164. Sedangkan Indeks-L pada periode yang
sama cenderung menurun baik di perkotaan maupun di perdesaan, masing-masing, dari 0,1762 ke 0,1616 dan dari
0,1044 menjadi 0,1017. Pada periode 2002-2005, kedua indeks tersebut mengalami peningkatan baik di perkotaan
maupun di perdesaan, yang mengindikasikan adanya ketimpangan pengeluaran penduduk yang semakin besar
pada tahun 2005 dibandingkan pada tahun 2002.
10

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan memakai data pengeluaran konsumsi rumah tangga (sebagai proksi daripada pendapatan), informasi yang didapat mengenai
tingkat pendapatan dan distribusinya bisa tidak sama seperti keadaan sebenarnya. Dalam perkataan lain, dengan memakai data konsumsi tingkat kesenjangan lebih rendah,
dibandingkan kalau menggunakan data pendapatan. Sebagai suatu contoh, kalau seorang kaya sangat pelit dalam pngeluaran; lebih suka menabung daripada beli pakaian atau
makanan yang banyak, jumlah pengeluaran konsumsinya bisa relatif sama dengan jumlah konsumsi dari seorang yang tidak kaya yang membelanjakan semua gajinya untuk
pembelian makanan dan pakaian.

21

Tabel 10: Indeks Theil dan Indeks-L di Indonesia, 1996-2005


Tahun
Perkotaan
1996
0,264
1999
0,104
2002
0,189
2005
0,218
Sumber: BPS

Indeks Theil
Perdesaan
Nasional
0,150
0,261
0,118
0,151
0,116
0,149
0,123
0,167

Perkotaan
0,224
0,176
0,162
0,187

Indeks-L
Perdesaan Nasional
0,133
0,216
0,104
0,133
0,102
0,128
0,112
0,147

Tabel 11 menunjukkan ukuran Bank Dunia mengenai ketimpangan distribusi pengeluaran di Indonesia untuk
periode 1996-2005. Kelompok 40% terendah adalah bagian dari populasi termiskin; kelompok 40% menengah
adalah yang sering disebut sebagai kelas masyarakat menengah; dan 20% teratas adalah bagian dari populasi
terkaya. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan di suatu wilayah dianggap tinggi jika pengeluaran
konsumsi dari 40% penduduknya dengan pengeluaran konsumsi terendah kurang dari 12% dari total pengeluaran
dari seluruh penduduk di wilayah tersebut. Jika porsi dari kelompok 40% ini antara12% hingga 17% dari total
pengeluaran dari seluruh penduduk, tingkat ketimpangan dianggap sedang. Apabila rasionya di atas 17%, tingkat
ketimpangan rendah. Dari tabel tersebut terlihat bahwa selama periode 1996-2005, tingkat pemerataan distribusi
pendapatan di perdesaan relatif lebih baik dibandingkan di perkotaan yang ditunjukkan oleh lebih besarnya
persentase pendapatan rata-rata per tahun yang dinikmati oleh kelompok penduduk 40% berpenghasilan paling
rendah di perdesaan daripada di perkotaan. Tabel ini juga menunjukkan bahwa selama periode tersebut, terjadi
peningkatan persentase pengeluaran pada kelompok 40% terendah bersamaan dengan penurunan di kelompok
20% teratas di perkotaan dan perdesaan. Perkembangan ini mengindikasikan bahwa di Indonesia selama periode
tersebut terjadi perbaikan dalam distribusi pendapatan, yang dalam hal ini diwakili oleh data pengeluaran. 11
Pada tahun 2002 (Februari) persentase pengeluaran dari kelompok 40% terendah kembali meningkat dan dari
kelompok 20% teratas menurun, dan ini terjadi baik di perkotaan maupun perdesaan. Perkembangan ini
menandakan bahwa pada tahun 1999-2002 ketimpangan di Indonesia mengalami penurunan. Sementara itu, pada
periode 2002-2005 terjadi kebalikannya, yakni persentase pengeluaran dari kelompok 40% terendah menurun dan
dari kelompok 20% teratas meningkat di perkotaan dan perdesaan, yang menandakan pada periode tersebut
distribusi pendapatan (yang diwakili oleh distribusi pengeluaran) di Indonesia kembali memburuk. Namun
demikian, secara keseluruhan, berdasarkan kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan di Indonesia baik di
perdesaan maupun di perkotaan tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan oleh porsi pengeluaran dari kelompok 40%
termiskin di Indonesia jauh di atas 12%.
Tabel 11: Distribusi Pengeluaran Penduduk di Indonesia Menurut Pengukuran Bank Dunia, 1996-2005
Daerah &
Kelompok Penduduk

1996

1999

2002

2005

Menurut BPS (2005), penurunan ini lebih merupakan fenomena peningkatan pengeluaran dari golongan atas akibat harga dan tingkat
suku bunga yang menurun pada periode tersebut; jadi bukan fenomena peningkatan pendapatan sepenuhnya.

11

22

Perkotaan
-40% terendah
-40% menengah
-20% teratas

19,03
36,93
44,04

20,52
37,74
41,74

21,34
37,43
41,23

20,38
36,86
42,75

Perdesaan
-40% terendah
-40% menengah
-20% teratas

23,18
38,99
37,83

24,59
39,53
35,88

24,97
39,27
35,75

24,19
39,13
36,68

20,25
35,05
44,70

21,50
37,35
41,15

22,83
38,19
38,98

21,84
37,73
40,43

Nasional
-40% terendah
-40% menengah
-20% teratas
Sumber: BPS

Selain ukuran-ukuran di atas, BPS (2005) juga mengukur ketimpangan dengan persentase pembagian
pengeluaran menurut kuantil (1-5). Berdasarkan persentase pembagian pengeluaran pada kuantil 1 dan 2,
ketimpangan pendapatan di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Hal ini juga dapat dilihat dari rasio
Q5/Q1 di perkotaan yang lebih besar dibandingkan di perdesaan (Tabel 12). Penemuan ini konsisten dengan
penemuan-penemuan sebelumnya dengan koefisien Gini, Indeks Theil dan Indeks-L.
Tabel 12: Persentase Pembagian Pengeluaran Menurut Kuantil di Indonesia, 2005
Kuantil
Q1
Q2
Q3
Q4
Q5

Perkotaan
8,22
12,16
15,63
21,24
42,75

Perdesaan
10,22
13,96
17,27
21,86
36,68

Nasional
8,99
12,85
16,26
21,48
40,43

Rasio Q5/Q1
Sumber: BPS

5,20

3,59

4,50

Ketimpangan distribusi pendapatan juga terjadi antar propinsi. Seperti yang dapat diduga sebelumnya, data BPS
mengenai produk domestik regional bruto (PDRB) dari 27 propinsi menunjukkan bahwa sebagian besar dari PDB
nasional berasal dari propinsi-propinsi di pulau Jawa, khususnya propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Selama
dekade 90-an propinsi-propinsi tersebut menyumbang lebih dari 60% terhadap pembentukan PDB Indonesia. Di
pulau Jawa sendiri terjadi ketimpangan, terutama antara Jakarta dan wilayah di luar Jakarta. DKI Jakarta dengan luas
wilayah hanya sekitar l0,03% dari luas tanah air (daratan) dan dengan jumlah penduduk hanya sekitar 5% dari total
populasi di Indonesia menikmati antar 15% hingga 16% lebih dari PDB nasional, sedangkan Jawa Timur misalnya
paling tinggi hanya sekitar 15% pada tahun 1996 dan 1997, atau Jawa Tengah sekitar 10%. Memang dilihat dari data
BPS sejak 1980-an hingga saat ini dan dibandingkan dengan 1970-an dan periode sebelumnya, diperoleh suatu
gambaran adanya dekonsentrasi dari DKI Jakarta ke daerah-daerah lain di sekitar DKI Jakarta. Hal ini tampaknya
dipengaruhi oleh penyebaran kegiatan-kegiatan ekonomi, khususnya industri dan jasa, ke daerah Jabotabek yang
masuk dalam kawasan Jawa Barat. Walaupun demikian, DKI Jakarta masih tetap merupakan pusat pertumbuhan
ekonomi Indonesia.

23

Salah satu fakta yang memprihatinkan adalah bahwa, jika output agregat dihitung tanpa minyak dan gas (migas),
kontribusi PDB dari wilayah-wilayah yang kaya migas seperti D.I Aceh, Riau dan Kalimantan Timur lebih kecil lagi.
Sebagai suatu ilustrasi empiris, Tabel 13 menunjukkan bahwa pada tahun 1995, D.I Aceh menyumbang sekitar 3%
terhadap PDB Indonesia; tanpa gas hanya menyumbang sekitar 50%-nya. Ini artinya, 50% dari perekonomian D.I
Aceh, relatif terhadap perekonomian nasional, tergantung pada sektor gas. Riau dan Kalimantan Timur juga
demikian; dengan minyak kedua propinsi tersebut pada tahun 1995 menyumbang sekitar 5% terhadap PDB
Indonesia; tanpa minyak, peran dari masing-masing propinsi hanya 2% dan 2.9.%. Pada tahun 2000, kontribusi
output regional yang dihasilkan oleh D.I. Aceh dan Kaltim dengan dukungan sektor migas terhadap PDB nasional
menurun menjadi masing-masing 2.5% dan 1.6%; sedangkan dari Riau meningkat menjadi 5,4%. Hal ini memberi
kesan bahwa sektor migas bukan suatu jaminan bagi kinerja ekonomi dari suatu wilayah yang kaya akan migas.
Yang paling menyolot dari data di Tabel 13 adalah bahwa DKI Jakarta yang sama sekali tidak punya SDA
memiliki saham PDB nasional jauh lebih besar daripada D.I Aceh, Riau dan Kalimantan Timur. Satu hal yang pasti
sebagai penyebabnya adalah bahwa perekonomian DKI Jakarta jauh lebih produktif dibandingkan perekonomian
dari tiga propinsi yang kaya SDA tersebut, karena DKI Jakarta memiliki SDM dan infrastuktur yang jauh lebih
banyak dengan kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan yang ada di tiga propinsi tersebut.
Sejak 1970-an hingga saat ini sudah banyak penelitian dan pengkajian mengenai pembangunan ekonomi
regional di Indonesia yang memfokuskan pada ketimpangan ekonomi antar propinsi. Dapat dikatakan bahwa
pelopor dari studi-studi tersebut adalah Esmara yang melakukan penelitian tahun 1975, disusul kemudian oleh
antara lain Hughes dan Islam (1981), Uppal dan Handoko (1988), Islam dan Khan ((1986), Akita (1988), Akita
dan Lukman (1995) Tambunan (1996, 2001), Takeda dan Nakata (1998), Garcia dan Soelistyaningsih (1998),
Sjafrizal (1997,2000), dan Booth (2000). Walaupun data yang dipakai sama, yakni PDRB per kapita, namun
pendekatan yang digunakan bervariasi antarstudi. Misalnya, Sjafrizal menganalisis ketimpangan antara Indonesia
kawasan barat (IKB) dan Indonesia kawasan timur (IKT) dan perbedaan dalam ketimpangan antarpropinsi antara
kedua kawasan tersebut dengan memakai indeks Williamson yang disebut weighted coefficient of variation
(WCV). 12Nilai indeks ini antara 0 dan 1. Bila mendekati 0 berarti distribusi PDB menurut propinsi sangat merata
(atau variasi PDRB per kapita antar propinsi sangat kecil), dan sebaliknya bila mendekati 1 berarti tingkat
disparitas sangat tinggi. 13
Tabel 13: Distribusi PDRB dengan dan tanpa Migas menurut Propinsi atas dasar harga konstan 1993:
1995-2000 (%)
12
Penghitungan WCV didasarkan pada coeffisient of variation (CV), yakni pembagian rata-rata dari standar deviasi. Williamson (1965) memodifikasi penghitungan CV ini
dengan menimbangnya dengan proporsi populasi menurut wilayah(Ni /N).
13
Williamson (1965) menemukan bahwa dalam tahap awal pembangunan ekonomi disparitas dalam distribusi pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada wilayahwilayah tertentu yang pada awalnya sudah relatif maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur dan SDM. Kemudian pada tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih
besar, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan. Penemuan ini sesuai hipotesa dari Kuznets yang dikenal dengan "hipotesa
U terbalik": pada tahap awal dari suatu proses pembangunan ekonomi nasional, perbedaan dalam laju pertumbuhan regional yang besar antar propinsi mengakibatkan
kesenjangan dalam distribusi pendapatan antar propinsi. Tetapi, pada jangka panjang, pada saat kondisi ekonomi mencapai tingkat kedewasaan (maturity) dan dengan asumsi
mekanisme pasar bebas dan mobilitas semua faktor-faktor produksi antar propinsi tanpa sedikitpun rintangan atau distorsi, maka perbedaan dalam laju pertumbuhan output antar
propinsi cenderung mengecil bersamaan dengan tingkat pendapatan per kapita (dan laju pertumbuhannya) rata-rata yang semakin tinggi di setiap propinsi, yang akhirnya
menghilangkan kesenjangan ekonomi regional (Kuznets, 1957). Lihat juga Kuznets (1976), dan Easterlin (1960).

24

Propinsi

Denagan migas
1997
1998

1995

1996

Aceh
Sumut
Sumba
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Jakarta
Jabar
Jateng
Yogyakarta
Jatim
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultengg
Bali
NTB
NTT
Maluku
Irian Jaya

3,0
5,8
1,9
5,0
0,8
3,3
0,4
1,7
16,1
16,6
10,4
1,3
14,1
1,6
1,0
1,4
4,9
0,9
0,6
2,5
0,5
1,8
0,9
0,9
0,8
1,6

2,8
5,8
1,9
4,9
0,8
3,3
0,4
1,7
16,2
16,5
10,2
1,3
15,1
1,6
1,0
1,5
5,1
0,9
0,5
2,3
0,4
1,7
0,8
0,7
0,7
1,7

2,7
5,8
1,9
4,8
0,8
3,3
0,4
1,7
16,3
16,7
10,1
1,3
15,3
1,7
1,0
1,5
4,8
0,9
0,5
2,3
0,4
1,8
0,8
0,7
0,7
1,7

Propinsi

100,0

100,0

100,0

Tanpa migas
1998
1999

1999

2000

1995

1996

1997

2000

2.8
5.9
2,0
5,2
0,8
3,5
0,4
1,8
15,2
15,6
10,4
1,3
14,4
1,9
1,8
1,1
1,6
5,4
1,0
2,6
2,5
0,4
0,9
0,7
0,8
2,1

2,6
6,0
2,0
5,3
0,8
3,6
0,4
1,8
15,0
15,7
10,3
1,3
14,4
1,9
1,8
1,1
1,6
5,6
1,0
0,6
2,5
0,4
0,9
0,7
0,6
2,1

2,5
6,0
2,0
5,4
0,8
3,7
0,4
1,8
14,9
15,8
10,2
1,3
14,4
1,9
1,8
1,0
1,6
5,5
1,0
0,6
2,5
0,4
1,1
0,7
0,5
2,1

1,7
6,1
2,0
2,0
0,8
3,1
0,5
1,9
17,7
17,4
10,8
1,4
16,6
1,8
1,1
1,6
2,9
1,0
0,6
2,6
0,4
1,9
0,9
0,7
0,8
1,8

1,7
6,2
2,0
2,1
0,8
3,1
0,5
1,9
17,7
17,3
10,7
1,4
16,5
1,8
1,1
1,6
2,9
1,0
0,6
2,5
0,4
1,9
0,9
0,7
0,8
1,8

1,7
6,3
2,0
2,2
0,8
3,1
0,5
1,8
17,8
17,3
10,5
1,4
16,6
1,8
1,1
1,6
2,9
1,0
0,6
2,5
0,4
1,9
0,9
0,7
0,8
1,8

1,8
6,4
2,2
2,5
0,8
3,3
0,5
2,0
16,7
16,1
10,4
1,4
15,8
2,1
2,0
1,2
1,7
3,2
1,0
0,6
2,7
0,5
1,0
0,8
0,8
2,4

1,7
6,5
2,2
2,5
0,8
3,3
0,5
2,0
16,4
16,4
10,6
1,4
15,8
2,1
2,0
1,2
1,7
3,3
1,1
0,7
2,7
0,5
1,0
0,8
0,6
2,3

1,6
6,6
2,2
2,6
0,8
3,2
0,5
1,9
16,3
16,6
10,5
1,4
15,8
2,1
2,0
1,1
1,7
3,1
1,1
0,7
2,8
0,5
1,2
0,8
0,6
2,3

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

Keterangan: tidak lagi termasuk Timor Timur dan belum memasukan propinsi-propinsi baru seperti propinsi Banten dsb.nya.
Sumber: BPS (2001).

Dengan memakai data PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1993, hasil studinya memperlihatkan bahwa
tingkat ketimpangan ekonomi antarpropinsi di IKB ternyata lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan
ekonomi rata-rata di Indonesia. Indeks ketimpangan ekonomi daerah di IKB selama periode yang diteliti adalah
antara 0,179 paling rendah hingga 0,392 paling tinggi. Disamping itu, sejak 1990 mulai terlihat adanya tendensi
menurun. Sedangkan indeks ketimpangan untuk IKT berkisar antara terendah 0,396 hingga tertinggi 0,544 dan
cenderung terus meningkat. Hasil studi ini manandakan bahwa ketimpangan ekonomi di IKT lebih tinggi dan
cenderung memburuk dibandingkan di IKB.
Didasarkan atas PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1998, hasil studinya yang lain menunjukkan bahwa
indeks ketimpangan ekonomi antarpropinsi berkisar antara 0,4-0,7. Angka ini diduga lebih tinggi dibandingkan
indeks rata-rata untuk NSB. NSB lain yang indeksnya juga hampir sama dengan Indonesia adalah Brasil, Kolumbia
dan Filipina. Berdasarkan perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa ketimpangan ekonomi antarpropinsi di
Indonesia cukup tinggi dibandingkan rata-rata NSB. Selain itu, hasil studi ini juga menunjukkan adanya tendensi
peningkatan ketimpangan ekonomi antarpropinsi di Indonesia sejak awal 1970an. Sedangkan tingkat ketimpangan
menunjukkan sedikit penurunan dari 0,671 pada tahun 1997 menjadi 0,605 pada tahun 1998. Menurut studi ini,
penurunan indeks tersebut diperkirakan sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi di mana banyak daerah-daerah
maju dengan tingkat konsentrasi industri yang tinggi seperti di Jawa mengalami kemunduran ekonomi yang sangat
tajam. Sedangkan propinsi-propinsi yang kurang maju pada umumnya adalah daerah-daerah pertanian, seperti
25

misalnya Sulawesi, dan sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan merupakan satu-satunya sektor yang
cukup mendapatkan keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Hal ini membuat
perekonomian propinsi-propinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi.
Tadjoeddin dkk. (2001) menganalisa ketimpangan regional pada tingkat yang lebih disagregat dengan
memakai data kabupaten/kota tahun 1996. Mereka menemukan bahwa dari jumlah kabupaten/kota yang ada pada
tahun itu, ada sejumlah kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi yang menjadikan
daerah-daerah itu sebagai daerah-daerah kantong (enclave), yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas,
atau SDA lainnya. Menurut mereka, dilihat dari sebaran PDRB per kapita, daerah-daerah kantong ini bisa
ditempatkan sebagai data pencilan (out layers). Hasil penghitungan Tadjoeddin dkk. (2001) menunjukkan bahwa
PDRB dari tujuh daerah pusat produksi migas, yakni Aceh Utara (Aceh), Kepulauan Riau dan Bengkalis (Riau),
Kutai, Bulungan dan Balik Papan (Kalimantan Timur), dan Fak-Fak (Papua) menguasai 72% dari PDB migas
nasional. Tujuh daerah ini ditambah dengan 13 kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi
tersebut di atas, menghasilkan 19 daerah kantong, karena kabupaten Kutai yang tetap memiliki PDRB per kapita
yang sangat tinggi setelah dikurangi dengan penghasilan dari migas termasuk di dalam kedua kategori tersebut.
Hasil penghitungan mereka menunjukkan bahwa semua daerah kantong itu dengan jumlah penduduk hanya sekitar
9% dari total populasi Indonesia menyumbang sekitar 33% dari PDB nasional. 14
Selain itu, Tadjoeddin dkk. (2001) juga melakukan analisis dekomposisi ketimpangan pendapatan regional ke
dalam dua komponen, yakni ketimpangan pendapatan antar individu di dalam propinsi dan ketimpangan
pendapatan antar propinsi, dengan indeks Theil dan indeks L Hasilnya di Tabel 14 juga menunjukkan
kecenderungannya yang sama, yakni adanya migas dan daerah kantong memperparah ketimpangan regional di
Indonesia. Selanjutnya, di Tabel 15 diperlihatkan bahwa berdasarkan dua indeks ini, kontribusi dari daerah kantong
terhadap total indeks ketimpangan regional mencapai 60% hingga 70%.
Tabel 14: Beberapa Indeks Ketimpangan Regional dalam PDRB per kapita (atas harga konstan 1993)
menurut Kabupaten/Kota: 1993-1998
1993

1994

1995

1996

1997

1998

Total
Tanpa Migas
Tanpa Migas dan Daerah Kantong

0,412
0,363
0,248

0,411
0,366
0,251

0,411
0,371
0,256

0,415
0,378
0,267

0,415
0,381
0,271

0,407
0,363
0,257

Theil
Total
Tanpa Migas
Tanpa Migas dan Daerah Kantong

0,342
0,263
0,102

0,339
0,268
0,104

0,336
0,275
0,108

0,338
0,282
0,119

0,339
0,288
0,122

0,345
0,266
0,109

0,274
0,213

0,273
0,217

0,270
0,222

0,277
0,230

0,277
0,234

0,268
0,212

Gini

L
Total
Tanpa Migas

Yang menarik dari studi mereka adalah jika out layers tersebut tidak dimasukkan di dalam analisa, ketimpangan PDRB per kapita antar
propinsi menjadi sangat rendah. Tanpa migas dan daerah kantong, nilai Gini dari distribusi PDB nasional per kapita menurut
kabupaten/kota selama 1993-1998 berkisar antara 0,24 dan 0,27. Jika daerah kantong juga diperhitungkan, koefisien Gini naik sampai
sekitar 0,36-0,38, dan tambah tinggi lagi menjadi sekitar 0,41 jika migas juga diikut sertakan
14

26

Tanpa Migas dan Daerah Kantong

0,096

0,098

0,102

0,110

0,114

0,103

WCV
Total
Tanpa Migas
Tanpa Migas dan Daerah Kantong

1,076
0,923
0,483

1,067
0,938
0,489

1,070
0,962
0,511

1,073
0,966
0,526

1,080
0,982
0,534

1,165
0,965
0,501

Sumber: Tadjoeddin dkk (2001).

Hal lain yang menarik dari studi Tadjoeddin dkk. (2001) ini adalah mengenai ketimpangan di dalam propinsi.
Dengan memakai data pengeluaran dan Indeks Theil dan Indeks-L, hasil analisis mereka menunjukkan bahwa
ketimpangan dalam pengeluaran di dalam propinsi jauh lebih besar daripada ketimpangan antar propinsi. Pada
tahun 1990, ketimpangan di dalam propinsi menyumbang sekitar 83% terhadap ketimpangan pengeluaran
konsumsi pada tingkat nasional. Sedang sisanya 17%, disebabkan oleh ketimpangan antarpropinsi. Pada tahun
1999 distribusinya sedikit perubah, namun kontribusi dari ketimpangan di dalam propinsi tetap dominan dalam
penciptaan ketimpangan nasional. Penemuan ini menunjukkan dengan jelas bahwa masalah pembangunan
ekonomi yang timpang di Indonesia selama ini tidak hanya mengakibatkan ketimpangan antar daerah tetapi juga
ketimpangan antara kaum kaya dengan kaum miskin di setiap daerah (Tabel 16)..
Tabel 15: Persentase Perubahan Indeks-Indeks Ketimpangan antar Kabupaten/Kota setelah dikurangi Migas
Dan Daerah Kantong: 1993-1998
Indeks
Gini
Theil
L
WCV

1993
40
70
65
55

1994
39
69
64
54

1995
38
68
62
52

1996
36
65
60
51

1997
35
64
59
51

1998
37
68
62
57

Sumber: Tadjoeddin dkk. (2001)

Studi lain yang juga dengan indeks Theil adalah dari Akita dan Alisjahbana (2002). Dengan memakai data output
dan populasi pada tingkat kabupaten/kota untuk periode 1993-1998, mereka melakukan analisis dekomposisi
ketimpangan regional ke dalam tiga komponen, yakni antar-wilayah (yakni Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan,
Sulawesi, dan lainnya), antar propinsi, dan di dalam propinsi. Studi ini menunjukkan bahwa antara 1993 dan 1997,
ketika Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun lebih dari 7%, ketimpangan pendapatan regional
mengalami suatu peningkatan yang cukup signifikan, dari 0,262 tahun 1993 ke 0,287 tahun 1997. Hasil analisis
dekomposisi ketimpangan dengan indeks Theil menunjukkan bahwa kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh
suatu kenaikan ketimpangan di dalam propinsi, terutama di Riau, Jakarta, dan Jawa Barat dan Jawa Timur. Tahun
1997, komponen ketimpangan di dalam propinsi menyumbang sekitar 50% dari ketimpangan regional di Indonesia.
Penyebaran dari efek dari krisis ekonomi, yang mengakibatkan merosotnya PDB per kapita ke tingkat tahun 1995,
ternyata tidak merata lintas propinsi dan kabupaten/kota. Pada tahun 1998 ketimpangan pendapatan regional
menurun ke tingkat 1993-94. Berbeda dengan periode 1993-97, sekitar dari penurunan tersebut diakibatkan oleh
suatu perubahan dalam ketimpangan antar propinsi, dengan wilayah Jawa-Bali memegang suatu peran yang
dominan.
27

Tabel 16: Ketimpangan Pengeluaran Konsumsi di dalam Propinsi dan antarpropinsi dengan Indeks Theil
dan Indeks-L, 1990-1999
Theil
Total
Antar propinsi
Di dalam propinsi
% antar propinsi
% di dalam propinsi

1990

1993

1996

1998

1999

1990

1993

1996

1998

1999

0,245
0,041
0,204
17
83

0,266
0,050
0,216
19
81

0,261
0,053
0,208
20
80

0,215
0,043
0,172
20
80

0,230
0,050
0,180
22
78

0,223
0,030
0,193
13
87

0,239
0,036
0,203
15
85

0,216
0,045
0,171
21
79

0,172
0,038
0,134
22
78

0,190
0,040
0,150
21
79

Sumber: Tabel 2 di Tadjoeddin dkk. (2001).

Bukti empiris diatas memberi kesan kuat bahwa pemerintah selama ini berhasil menahan tingkat ketimpangan
paling tidak tetap rendah, dan rendahnya tingkat kesenjangan tersebut memperbesar efek positif dari pertumbuhan
ekonomi yang tinggi terhadap pengurangan jumlah orang miskin, terutama pada era Orde Baru. Secara teoritis,
perubahan pola distribusi pendapatan di perdesaan dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini:
1. Akibat arus penduduk/tenaga kerja dari perdesaan ke perkotaan yang selama Orde Baru berlangsung sangat
pesat. Sesuai teori A. Lewis (1954), perpindahan orang dari perdesaan ke perkotaan memberi suatu dampak
positif terhadap perekonomian di perdesaan: kesempatan kerja produktif, tingkat produktivitas dan pendapatan
rata-rata masyarakat di perdesaan meningkat. Sedangkan, ekonomi perkotaan pada suatu saat akhirnya tidak
mampu menampung suplai tenaga kerja yang meningkat terus setiap tahunnya, yang sebagian besar adalah
pendatang dari perdesaan, yang akhirnya berakibat pada peningkatan pengangguran, di satu pihak, dan
menurunnya laju pertumbuhan tingkat upah/gaji, di pihak lain.
2. Struktur pasar dan besarnya distorsi yang berbeda di perdesaan dengan di perkotaan. Di perdesaan jumlah sektor
relatif lebih kecil dibandingkan di perkotaan, dan sektor-sektor yang ada di perdesaan lebih kecil (dilihat dari
jumlah unit usaha di dalam dan output yang dihasilkan oleh sektor) dibandingkan sektor-sektor yang sama di
perkotaan. Perbedaan ini ditambah dengan tingkat pendapatan per kapita di perdesaan yang lebih rendah
daripada di perkotaan membuat struktur pasar di perdesaan jauh lebih sederhana daripada di perkotaan.
Struktur pasar yang sederhana ini membuat distorsi pasar juga relatif lebih kecil (kesempatan berusaha bagi
individu lebih besar) di perdesaan dibandingkan di perkotaan.
3. Dampak positif dari proses pembangunan ekonomi nasional. Dampak tersebut bisa dalam beragam bentuk,
diantaranya:
a. semakin banyak kegiatan-kegiatan ekonomi di perdesaan di luar sektor pertanian, seperti industri
manufaktur (kebanyakan dalam skala kecil, atau industri rumah tangga, perdagangan, perbengkelan dan
jasa lainnya, dan bangunan). Diversifikasi ekonomi perdesaan ini tentu menambah jumlah kesempatan
kerja di perdesaan dan juga menambah pendapatan petani;
b. tingkat produktivitas dan pendapatan riil tenaga kerja di sektor pertanian meningkat, bukan saja akibat arus
manusia dari sektor tersebut ke sektor-sektor lainnya di perkotaan (seperti di dalam teori A. Lewis), tetapi
juga akibat penerapan/pemakaian teknologi baru dan penggunaan input-input yang lebih baik, seperti
28

misalnya pupuk hasil pabrik, dan permintaan pasar domestik dan ekspor terhadap komoditas-komoditas
pertanian meningkat;
c. potensi SDA yang ada di perdesaan semakin baik dimanfaatkan oleh penduduk desa (pemakaian semakin
optimal).
Tentu prestasi Indonesia mengenai keberhasilannya menahan tingkat ketimpangan tetap rendah dalam proses
pembangunan yang pesat atau pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti pada masa pra-krisis 1997/98 tidak bisa
diukur secara absolut, tetapi harus dilihat secara relatif dibandingkan di banyak negara lainnya, khususnya dari
kelompok NSB. Untuk ini, Tabel 17 menyajikan data mengenai kesenjangan dalam distribusi pendapatan/
pengeluaran dengan kriteria Bank Dunia dari sejumlah NSB. Dilihat dari porsi dalam total pengeluaran dari
kelompok 20% termiskin, dapat dikatakan bahwa Indonesia relatif baik dibandingkan banyak negara lainnya.
Tabel 17. Ketimpangan Pendapatan di Sejumlah NSB
Negara

Tahun
survei

Albania
2002
Argentina
2001
Bangladesh
2000
Bolivia
1999
Brazil
1998
Cambodia
1997
Cameroon
2001
Chile
2000
China
2001
Costa Rica
2000
Egypt
1999
El Savador
2000
Guatemala
2000
India
1999-00
Indonesia
2002
Korea, Rep.
1998
Lao PDR
1997
Malaysia
1997
Mexico
2000
Nicaragua
2001
Panama
2000
Peru
2000
Philippines
2000
Thailand
2000
Tunisia
2000
Uruguay
2000
Vietnam
1998
Sumber: World Bank (2005a).

Indeks Gini

28,2
52,2
31,8
44,7
59,1
40,4
44,6
57,1
44,7
46,5
34,4
53,2
48,3
32,5
34,3
31,6
37,0
49,2
54,6
55,1
56,4
49,8
46,1
43,2
39,8
44,6
36,1

Persentase bagian dari pendapatan atau konsumsi


20% Terendah

20% Tertinggi

9,1
3,1
9,0
4,0
2,0
6,9
5,6
3,3
4,7
4,2
8,6
2,9
2,6
8,9
8,4
7,9
7,6
4,4
3,1
3,6
2,4
2,9
5,4
6,1
6,0
4,8
8,0

37,4
56,4
41,3
49,1
64,4
47,6
50,9
62,2
50,0
51,5
43,6
57,1
64,1
41,6
43,3
37,5
45,0
54,3
59,1
59,7
60,3
53,2
52,3
50,0
47,3
50,1
44,5

V. Kemiskinan di Pertanian
Kemiskinan adalah suatu fenomena atau proses multidimensi, yang artinya kemiskinan disebabkan oleh
banyak faktor (World Bank, 2000). Namun, di Indonesia kemiskinan merupakan suatu fenomena yang erat
29

kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi di perdesaan pada umumnya dan di sektor pertanian pada khususnya.
Oleh sebab itu, fenomena kemiskinan di Indonesia tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami fenomena
kemiskinan di perdesaan atau di sektor pertanian. Pernyataan ini didukung oleh banyak fakta. Fakta pertama
adalah bahwa sektor terbesar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia selama ini adalah pertanian. 15Walaupun
tren perkembangan jangka panjangnya menurun, pertanian tetap paling banyak menyerap tenaga kerja (Tabel 18).
Pada awal dekade 70-an, sekitar 67% dari jumlah angkatan kerja di Indonesia bekerja di sektor ini, dan pada tahun
2003 menurun menjadi sekitar 46,3%. Penurunan daya serap pertanian terhadap pertumbuhan tenaga kerja ini juga
terjadi di banyak negara lainnya, yang merupakan salah satu ciri utama dari proses transformasi ekonomi yang
terjadi seiring dengan proses pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (Gambar 2).
Tabel 18: Kesempatan Kerja menurut Sektor di Indonesia, 1990-2003 (%)
Sektor
Pertanian
Industri
Pertambangan
Lainnya
Sumber: BPS

1971

1980

67,04
6,92
0,21
25,83

56,3
9,14
0,76
33,80

1985
54,66
9,28
0,67
35,39

1990
55,87
10,14
0,7
33,29

1995
43,98
12,64
0,8
42,58

2000
45,28
12,96
0,58
41,18

2003
46,26
12,04
0,98
40,72

Gambar 2: Pangsa Pertanian dalam Jumlah Tenaga Kerja yang Bekerja di Negara-Negara Tertentu di
Asia [%]: 1985-2003
80
70
60

Indonesia

50

China

40

Thailand

30

Vietnam

20
10
0
1985

1990

1995

2000

2003

Sumber: BPS dan ADB database

Data berikut yang disajikan di Tabel 19 s/d Tabel 21 memperkuat bukti empiri bahwa posisi pertanian memang
sangat krusial bagi pertumbuhan kesempatan kerja atau sumber pendapatan di Indonesia. Dapat dilihat bahwa
sebagian besar dari jumlah kesempatan kerja terdapat di daerah perdesaan, yang pada tahun 2003 tercatat 60% dari
jumlah angkatan kerja yang bekerja, berkurang dari 75% pada awal dekade 90-an (Tabel 19). Sebagian besar dari
tenaga kerja yang bekerja di daerah perdesaan bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani
(Tabel 20). Pada awal dekade 90-an, sektor ini menyerap sekitar 70%, dan sedikit menurun ke 68% pada tahun
15

Itu sebabanya kenapa ada suatu kepercayaan umum bahwa Indonesia sebagai suatu ekonomi agraris yang besar, hanya intervensi
pemerintah di sektor pertanian yang bisa berdampak besar terhadap pengurangan kemiskinan di tanah air, atau seperti argumen dari
Mason dan Baptist (1996), bahwa cara-cara langsung untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia dari sisi kebijakan adalah lewat
penyempurnaan kerja/mekanisme pasar atau menghilangkan distorsi-distorsi pasar terutama untuk output, tanah, dan modal.

30

2003. Sedangkan yang bekerja di sektor industri sangat kecil porsinya, karena memang sebagian besar industri di
Indonesia, terutama yang sifatnya footloose seperti elektronik, mesin, dan tekstil dan pakaian jadi berada di
daerah perkotaan atau dipinggir kota-kota besar seperti Jabotabek, Surabaya, Medan, Semarang dan Makassar.
Industri-industri seperti ini lebih tergantung pada pasar output daripada lokasi sumber daya alam, dan untuk
kebutuhan tenaga kerja mereka bisa dengan mudah didapat di daerah perkotaan. Sumber pendapatan satu-satunya
atau utama bagi sebagian besar rumah tangga (RT) di perdesaan berasal dari bertani, yang tercatat sebesar 46,3%;
sedangkan di perkotaan sebaliknya, hanya sekitar 6%. Jumlah RT di perdesaan yang salah satu sumber
pendapatannya di pertania juga cukup besar, yakni sekitar 13,2%. Bahkan sekitar 2,6% dari jumlah RT di
perkotaan juga sangat tergantung pada pertanian (Tabel 21).
.Tabel 19: Distribusi Kesempatan Kerja menurut Daerah di Indonesia, 1990-2003 (%)
Sektor
Perdesaan
Perkotaan
Sumber: BPS

1990

1995

75
25

67
33

2000

2003

62
38

60
40

Tabel 20: Kesempatan Kerja di Perdesaan menurut Sektor di Indonesia, 1990-2003 (%)
Sektor
Pertanian
Industri
Jasa
Source: BPS

1990

1995

70
9
22

60
11
29

2000

2003

66
10
24

68
9
24

Tabel 21: Pendapatan Keluarga menurut Sumber di Indonesia, 1995 (%)


Sumber
Semua:
- Pertanian
- Non-pertanian
Kombinasi
- Sebagian besar pertanian
- Sebagian besar non-pertanian
Sumber: BPS

Nasional

Perdesaan

24,9
52,5
22,6
9,9
12,7

46,3
27,4
26,3
13,2
13,1

Perkotaan
6,0
84,0
10,0
2,6
7,4

Fakta kedua adalah bahwa sebagian besar dari penduduk miskin di Indonesia bekerja di pertanian, seperti yang
ditunjukkan oleh data SUSENAS di Tabel 22. Pada tahun 1996, tercatat hampir 69% dari jumlah keluarga miskin di
Indonesia memiliki sumber pendapatan di pertanian, baik sebagai petani (dengan lahan atau tanpa lahan sendiri)
maupun buruh (lepas atau kontrak), dan pada tahun 2002 porsinya sekitar 67%. 16 Bahkan, satu hal yang menarik
seperti yang ditunjukka di Tabel 23 adalah bahwa kegiatan pertanian mempunyai suatu peran yang dominan sebagai
sumber pendapatan bagi banyak keluarga miskin di daerah perkotaan. Bisa dilihat di pinggiran kota Jakarta, Bekasi

16

Satu hal yang menarik dari Tabel 8 adalah bahwa pada tahun 1998 walaupun jumlah keluarga miskin di pertanian meningkat, seperti juga
terjadi di sektor-sektor lain pada masa krisis ekonomi, namun secara relatif menurun. Distribusi dari peningkatan kemiskinan menurut sektor
pada tahun 1998 ini membuktikan bahwa pertanian bukanlah sektor yang paling menderita karena krisis. Pandangan ini juga didukung oleh
studi dari Pradhan dkk. (2000) yang menganalisis peningkatan kemiskinan menurut sektor semasa krisis. Berdasarkan data SUSENAS
Februari 1996-Februari 1999, hasil estimasi mereka menunjukkan bahwa walaupun tingkat kemiskinan di pertanian juga mengalami
peningkatan selama periode tersebut, namun menurun sebagai suatu persentase dari jumlah orang miskin di Indonesia.

31

dan Tangerang banyak keluarga miskin menanam berbagai jenis komoditas pertanian di lahan yang sempit dipinggir
sungai dan menjualnya setiap hari ke pasar-pasar terdekat, yang merupakan sumber pendapatan mereka satu-satunya.
Tabel 22: Distribusi Keluarga Miskin menurut Pekerjaan Utama/Sumber Pendapatan, 1996-2002 (%)
Sektor
Pertanian
Industri
Jasa

1996

1998

1999

2000

2001

2002

68,5
6,7
24,7

56,7
7,4
35,9

58,4
8,7
32,9

51,7
13,8
34,5

63,0
11,9
25,1

67,4
10,3
22,3

Sumber: BPS

Tabel 23: Distribusi Keluarga Miskin menurut Sektor dan Wilayah: 2002 (%)
Sektor
Pertanian
Kehutanan
Perikanan
Pertambangan
Industri
Listrik
Konstruksi
Perdagangan
Transportasi
Keuangan
Jasa-jasa
Lainnya
Sumber: BPS.

Perkotaan
31,11
0,23
1,48
1,25
12,17
0,10
9,67
14,06
8,94
0,69
8,14
0,04

Perdesaan
69,09
1,34
2,23
0,49
4,98
0,02
3,63
5,00
2,73
0,08
2,40
0,06

Bukti empiris di Tabel 22 dan Tabel 23 merefleksi satu hal yang jelas, yakni penduduk di sektor pertanian
pada umumnya selalu lebih miskin dibandingkan penduduk yang sumber pendapatan utamanya dari sektor-sektor
lainnya, terutama industri manufaktur, keuangan, dan perdagangan; walaupun pendapatan bervariasi menurut
subsektor atau kelompok usaha di dalam masing-masing sektor tersebut. Sekarang pertanyaannya adalah: kenapa
lebih banyak kemiskinan di pertanian daripada di sektor-sektor lainnya? Tidak sulit untuk mendapatkan
jawabannya, diantaranya distribusi lahan yang timpang, pendidikan petani dan pekerja yang rendah, sulitnya
mendapatkan modal, dan nilai tukar petani yang terus menurun.
V.1 Pembagian Lahan Yang Timpang
Satu faktor penyebab kemiskinan di pertanian adalah rendahnya produktivitas di sektor tersebut dan ini
disebabkan antara lain oleh distribusi lahan pertanian yang sangat timpang; walaupun Indonesia punya Undangundang Agraris yang mengatur pembagian lahan secara adil. Data dari Sensus Pertanian (SP) menunjukkan bahwa
pertanian di Indonesia didominasi oleh jumlah yang besar dan meningkat terus dari petani skala kecil. SP paling
akhir tahun 2003 menunjukkan bahwa terdapat 25,437 juta petani yang menggunakan/memiliki lahan, 13,663 juta
atau hampir 57%-nya adalah petani marjinal/gurem dengan lahan lebih kecil dari 0,5 hektar atau tanpa lahan. Pada
tahun 1993 jumlah petani yang memiliki lahan tercatat sekitar 20,518 juta orang atau tumbuh 1,8% per tahun, di
mana jumlah petani gurem sebanyak 10,804 juta atau bertambah 2,6% per tahun selama periode 1993-2003. Di
Jawa, di mana sebagian besar dari jumlah penduduk Indonesia dan kemiskinan terkonsentrasi, jumlah petani
marjinal naik 2,4% per tahun (Tabel 24). Petani-petani gurem dan buruh tani (petani tanpa memiliki tanah) dengan

32

pendapatan terendah di sektor pertanian diidentifikasi sebagai penyebab sebagian besar kemiskinan di perdesaan
(Mason dan Baptist, 1996).
Tabel 24: Distribusi Rumah Tangga Petani menurut Luas Lahan: 1983, 1993, 2003 (%)
Luas (ha)

1983
8,5
37,7
24,1
29,7

<0,1
0,1-0,49
0,50-0,99
1,0
Sumber: BPS

1993
7,0
40,7
22,4
29,9

2003
17,2
39,2
18,4
25,2

Masalah ini diperparah oleh kenyataan bahwa peralihan lahan pertanian ke non-pertanian seperti untuk
pembangunan jalan raya/tol, perumahan/apartemen, lapangan golf, pertokoan/plaza/mall, perkantoran dan pabrik
dalam 10 tahun belakangan ini semakin pesat. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 25, untuk kasus lahan padi,
walaupun setiap tahun ada lahan baru untuk pertanian, namun laju penambahannya lebih kecil daripada tingkat
konversinya sehingga setiap tahun jumlah lahan untuk sawah atau ladang padi terus berkurang. Di Jawa selama
periode 1999-2003 luas lahan konversi tercatat sebesar 149,1 ribu hektar (ha) atau dengan tingkat konversi 4,425,
dan di luar Jawa mencapai hampir 424 juta ha atau 5,23%.

Tabel 25: Perubahan-perubahan Lahan Padi di Indonesia, 1999-2003


Wilayah
Jawa
Luar Jawa
Indonesia

Luas lahan tetap untuk


padi tahun 1999
(juta ha)
3,38
4,73
8,11

Luas lahan padi


yang hilang
(000 ha)
167,2
396,0
563,2

Luas lahan baru untuk


padi (000 ha)
18,1
121,3
139,3

Luas lahan konversi


(000 ha)

% dari
konversi

-149,1
-274,7
-423,9

4,42
5,81
5,23

Sumber: BPS

Socio-economic Accounting Matrix (SAM) dari BPS memberikan suatu cara lain dalam melihat relasi positif
antara tingkat pendapatan dari petani dan luas lahan yang dimiliki oleh petani. Dalam SAM, kelompok-kelompok
rumah tangga pertanian dibagi dalam: buruh tani, petani yang memiliki lahan 0,5 hektar atau kurang, petani
dengan lahan dari 0,5 hingga 1 hektar, dan petani dengan lahan lebih dari 1 hektar. Seperti dapat dilihat di Tabel
26, pekerja/buruh tani adalah dari kelompok keluarga tani dengan pendapatan terendah. Ini membuktikan bahwa
kemiskinan di Indonesia tidak lepas dari masalah kemiskinan di pertanian, dan yang terakhir ini erat kaitannya
dengan masalah ketidak adilan dalam pembagian lahan pertanian.
Tabel 26: Pendapatan bersih per kapita menurut kelompok rumah tangga pertanian (ribu rupiah),
1975-1999
Kelompok rumah tangga tani
Buruh tani
Petani dengan 0,5 ha/kurang
Petani dengan 0,501 1,0 ha
Petani dengan > 1,0 ha

1975
40,1
43,3
57,7
84,4

1980
102,2
133,9
154,8
198,9

1985
238,1
228,7
342,0
553,7

1990
415,3
548,9
656,5
1035,3

1993
468,2
757,6
901,9
1471,8

1995
616,7
934,5
1200,2
1758,8

1999
1629,7
1676,9
2650,5
3422,3

Sumber: BPS

33

Memang, konversi lahan pertanian terjadi di mana-mana, tidak hanya di Indonesia, yang merupakan
konsukuensi langsung dari proses pembangunan ekonomi atau industrialisasi, pertumbuhan penduduk dan
peningkatan pendapatan masyarakat rata-rata per kapita. Namun demikian, sesuai sistem perekonomian Indonesia
yang berazas Pancasila yang mengedepankan keadilan sosial demi mencapai kesejahteraan masyarakat,
pemerintah harus tetap berusaha, di satu sisi, memperlambat laju peralihan lahan pertanian, terutama mencegah
pemusatan kepemilikan tanah oleh keluarga-keluarga kaya atau pemodal-pemodal besar yang hidup di perkotaan
untuk tujuan-tujuan non-produktif atau yang tidak menciptakan sumber pendapatan atau kesempatan kerja yang
signifikan bagi masyarakat, dan, di sisi lain, mempermudah petani mendapatkan sertifikat tanah. Jika penguasaan
tanah oleh segelintir orang terus dibiarkan, sementara petani, khususnya dari kelompok skala kecil, tetap sulit
mendapatkan sertifikat tanah, akses petani ke tanah dan air akan semakin kecil dan berarti kemiskinan akan
meningkat.
Padahal, tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa aksesibilitas atas tanah merupakan persyaratan mutlak bagi
kesejahteraan dan keadilan sosial di negara agraris seperti Indonesia. Kata kunci dari aksesibilitas atas tanah
adalah property rights. Ketidak adilan dalam ekonomi dicerminkan salah satunya oleh lemahnya sistem property
rights, yang hanya menguntungkan pihak pemilik modal besar. Hak petani atas tanah juga disinggug oleh Amartya
Sen dengan asumsi mengenai entitlement, yaitu tak seorang pun harus lapar, karena di dunia ini tersedia makanan
berkecukupan. Mereka yang lapar hanya karena tidak memiliki akses untuk memproduksi makanan (Hadar, 2006).
Kesalahan pemerintah Indonesia adalah pada awal pembangunan, atau tidak lama setelah Kemerdekaan 1945
tidak melakukan reformasi pembagian lahan pertanian, yang dikenal dengan sebutan land reform, dan jika
dilakukan saat ini sudah sangat terlambat karena hanya akan menghadapi hambatan-hambatan dari pihak tertentu
yang merasa dirugikan oleh kebijakan seperti ini. Padahal sebenarnya reformasi pembagian lahan adalah bagian
dari kewajiban penegakan hak asasi manusia (HAM) oleh negara, yaitu hak atas makanan. Pemerintah Indonesia
(seperti pemerintah dari negara-negara lainnya di dunia) berkewajiban atas pemenuhan hak asasi paling mendasar
ini dengan memberikan akses lahan, bibit, air dan sumber-sumber produktif lainnya kepda masyarakat, atau dalam
hal ini petani, agar mereka bisa menyediakan sendiri makananya (Hadar, 2006).
Banyak negara yang melakukan land reform dan hasilnya sangat nyata: kesejahteraan petani di negara-negara
tersebut tinggi. Diantaranya adalah Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Hasil dari kebijakan dalam pembagian
lahan pertanian di negara-negara ini menghancurkan hak monopoli dari landlords dan membuat petani yang
tadinya sebagai penyewa menjadi pemilik tanah. Keuntungan dari land reform bagi petani dijelaskan oleh Hadar
(2006) sebagai berikut, Perubahan status dari penyewa menjadi pemilik, secara politik-ekonomi, berdampak
positif karena selain lahan, pemilik baru juga memiliki infrastruktur seperti bangunan dan alat produksi. Mereka
juga sudah mengenal sistem yang berlaku serta telah pengalaman dalam perannya sebagai manager dan pekerja
tani (halaman 6).

34

V.2 Pendidikan Petani Yang Rendah


Pendidikan merupakan salah satu faktor penting untuk peningkatan produktivitas, dan peningkatan rasio
output-tenaga kerja ini pada gilirannya berkorelasi positif terhadap peningkatan pendapatan riil per pekerja. Dalam
perkataan lain, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau memerangi kemiskinan, peningkatan
produktivitas menjadi suatu keharusan, dan untuk mencapai ini, pendidikan yang baik merupakan salah satu
prasyarat. Hal ini juga berlaku di sektor pertanian. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas di atau buruknya
kualitas dari sebagian besar hasil pertanian Indonesia selama ini adalah karena pendidikan rata-rata petani dan
buruh tani relatif rendah. Pendidikan menjadi ekstra sangat penting bagi kemajuan dan daya saing pertanian di
Indonesia saat ini dan di masa depan dalam era globalisasi dan perdagangan bebas dunia.
Data BPS (SP) menunjukkan bahwa sebagian besar dari petani di Indonesia berpendidikan hanya sekolah dasar
(44,98) dan tidak berpendidikan formal sama sekali (31,62%). Hanya sekitar 1,69% dari jumlah petani yang ada
pada tahun 2003 yang mempunyai diploma pendidikan tersier (Tabel 27). Tidak diragukan, kondisi ini menjadi
salah satu penyebab kemiskinan di sektor pertanian di Indonesia selama ini. Jelas, usaha pemerintah untuk
membuka kesempatan lebih besar bagi pelaku usaha di sektor pertanian untuk mendapatkan pendidikan yang lebih
baik adalah suatu langkah konkrit yang sangat diperlukan, dan kebijakan ini bisa membantu untuk mencapai
keadilan ekonomi lintas sektoral.
Tabel 27: Persentase dari Petani menurut Tingkat Pendidikan Formal di Indonesia, 2003
Tingkat Pendidikan

Jawa

Luar Jawa

Indonesia

Tidak ada pendidikan


Hanya pendidikan dasar
Sekunder
Tersier

34,44
48,07
15,8
1,69

28,83
41,93
27,56
1,68

31,62
44,98
21,71
1,69

100,00

100,00

100,00

Jumlah
Sumber: BPS

V.3 Akses ke Modal Yang Terbatas


Sering dikatakan bahwa salah satu bukti konkrit dari adanya ketidakadilan dalam perekonomian Indonesia
adalah sulitnya mendapatkan kredit perbankan bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Bahkan yang terjadi
selama pemerintahan Orde Baru sangat ironis: di satu sisi, begitu mudahnya pengusaha-pengusaha besar
mendapatkan pinjaman dari bank, termasuk dari Bank Indonesia dalam bentuk BLBI (Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia), yang sebagian besar diselewengkan dan pada akhirnya menciptakan kredit macet yang besar yang turut
menyeret ekonomi Indonesia ke krisis 1997/98, dan, sisi lain, sulitnya pengusaha kecil mendapatkan pinjaman dari
bank dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada BLBI tetapi sangat diperlukan untuk meningkatkan atau paling
tidak mempertahankan kelangsungan usaha mereka.

35

Contoh konkrit di atas ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam perekonomian Indonesia terhadap
kelompok masyarakat lemah/miskin, dan petani, khususnya petani marjinal/gurem, termasuk di dalamnya.
Padahal, sesuai sistem ekonomi nasional berazas Pancasila, semua pelaku usaha berhak memili akses yang sama
ke semua sumber daya produksi termasuk pendanaan; tentu selama dapat dibuktikan bahwa usaha yang akan
didanai oleh pinjaman mempunyai prospek bisnis yang baik. Seperti yang dibuktikan oleh data SP, proporsi petani
yang pernah memakai pinjaman bank hanya sekitar 3,06%; dan ini kebanyakan pemilik-pemilik lahan perkebunan
yang luas seperti di subsektor kelapa sawit, sedangkan petani padi sangat sulit mendapatkan akses ke bank.
Sebagian besar petani memakai uang sendiri dan sekitar 9,7% memakai pinjaman atau bantuan modal dari kawan,
tetangga atau keluarga (lainnya) dalam mendanai kegiatan bertani mereka (Gambar 3).
Tidak bisa menunjukkan sertifikat tanah sering disebut sebagai salah satu hambatan yang dihadapi banyak
petani dalam mendapatkan modal pinjaman dari bank. Sulitnya kaum miskin mendapatkan sertifikat atas tanah
yang mereka telah diami lebih dari satu generasi merupakan satu conoth konkrit dari adanya ketidakadilan sosial
selama ini di Indonesia. Sebagai satu kasus, pernah diberitakan di harian Kompas (Rabu, 15 Maret 2006), bahwa
para transmigran asal pulau Teon, Nila, dan Serua sudah 28 tahun lamanya mendiami dataran Waipia di pulau
Seram tetapi tetap saja belum memiliki sertikifat atas tanah yang mereka diami tersebut.
Gambar 3: Persentase dari petani menurut sumber pendanaan, 2003
Koperasi:
1,79
Bank: 3,06

Lainnya: 9,72

Uang sendiri:
85,43

Sumber: BPS

V.4 Nilai Tukar Petani Yang Merosot.


Secara teori, kesejahteraan petani akan meningkat apabila selisih antara hasil penjualannya dan biaya
produksinya bertambah besar, atau nilai tambahnya meningkat. Jadi besar kecilnya nilai tambah petani ditentukan
oleh besar kecilnya nilai tukar petani (NTP). Dalam data BPS, NTP ditunjukkan dalam bentuik rasio antara indeks
harga yang diterima petani, yakni indeks harga jual outputnya, terhadap indeks harga yang dibayar petani, yakni
36

indeks harga input-input yang digunakan untuk bertani, misalnya pupuk, pestisida, tenaga kerja, irigasi, bibit, sewa
traktor, dan lainnya..Berdasarkan rasio ini, maka dapat dikatakan semakin tinggi NTP semakin baik profit yang
diterima petani, atau semakin baik posisi pendapatan petani.
Beberapa tahun belakangan ini, NTP di Indonesia cenderung merosot terus, yang membuat tingkat
kesejahteraan petani terus merosot, dan perkembangan ini tidak lepas dari pengaruh dari sistem agrobisnis negeri
ini yang menempatkan petani pada dua kekuatan ekplotasi ekonomi. Di sisi suplai yang berhubungan dengan pasar
input (atau pada, petani menghadapi kekuatan monopolistik. Pada waktu bersamaan, di sisi penawaran yang
berhubungan dengan pasar output, petani menghadapi kekuatan monopsonistis. Menurut data terakhir BPS, pada
era pasca kenaikan harga BBM Oktober 2005, angka NTP merosot 2,39%. Pada Desember 2005, NTP tercatat
97,94. Artinya, indeks harga yang harus dikeluarkan petani lebih besar daripada indeks harga yang diterima.
Dalam kata lain, angka ini menandakan bahwa petani tekor atau pendapatannya menurun.
Sifat pasar input maupun pasar output ini yang tidak menguntungkan petani dijelaskan oleh Subandriyo (2006)
sebagai berikut: Pada usaha tani, nilai tambah yang dinikmati petani diperkecil struktur non-usaha tani yang
bersifat dispersal, asimetris, dan cenderung terdistorsi. Penurunan harga di tingkat konsumen dengan cepat dan
sempurna ditransmisi kepada petani. Sebaliknya, kenaikan harga ditransmisi dengan lambat dan tidak sempurna.
Selain itu, informasi pasar, seperti preferensi konsumen, dimanfaatkan untuk mengeksploitasi petani. Terjadilah
apa yang disebut paradoks produktivitas......... Porsi terbesar dari nilai tambah peningkatan produktivitas usaha
tani dinikmati mereka yang bergerak di luar usaha tani. Akibatnya, tingkat pendapatan riil petani kian tertinggal
jauh dari pendapatan mereka yang ada pada sektor nonusaha tani. (halaman 6).
Tabel 28 dan Tabel 29 menyajikan perkembangan NTP rata-rata di, masing-masing, empat (4) propinsi di Jawa
dan 10 propinsi di luar Jawa untuk periode 1988-2003. Dapat dilihat bahwa perkembangan NTP berbeda menurut
propinsi karena adanya perbedaan inflasi (laju pertumbuhan indeks harga konsumen), sistem distribusi pupuk dan
input-input pertanian lainnya dan juga perbedaan titik ekuilibrium pasar untuk komoditas-komoditas pertanian.
Ekuilibrium pasar itu sendiri dipengaruhi oleh kondisi penawaran dan permintaan di wilayah tersebut. 17Dari sisi
penawaran, faktor penentu adalah terutama volume atau kapasitas produksi di sektor pertanian (ditambah dengan
impor kalau ada), sedangkan dari sisi permintaan adalah terutama jumlah penduduk (serta komposisinya menurut
umur dan jenis kelamin) dan tingkat pendapatan riil masyarakat rata-rata per kapita.
Tabel 28: Indeks Harga yang Diterima Petani (IT), Indeks Harga yang Dibayar Petani (IB), dan Nilai Tukar Petani

(NTP) di 4 Propinsi di Jawa (Nilai Rata-Rata Per Bulan), 1988-2003 (1983=100)*


Tahun
IT

17

Jawa Barat
IB
NTP

IT

Jawa Tengah
IB
NTP

IT

Yogyakarta
IB
NTP

IT

Jawa Timur
IB

NTP

Dimisalkan tidak ada ekspor (permintaan dari luar wilayah: propinsi lain atau luar negeri) dan tidak ada impor (penawaran dari luar wilayah).

37

1988
162
153
106
179
1989
171
164
104
186
1990
190
180
106
201
1991
215
203
106
224
1992
224
220
102
227
1993
225
237
95
236
1994
274
268
102
278
1995
316
300
106
334
1996
329
326
101
377
1997
369
354
104
389
1998
642
634
101
593
1999
853
841
101
789
2000
337
320
106
303
2001
393
360
109
389
2002**
588
441
133
630
2003**
643
462
139
682
Keterangan:*=rata-rata dan dibulatkan; **: Desember.
Sumber: BPS.

161
175
190
214
231
249
278
318
346
373
628
839
329
381
495
523

112
106
106
105
99
95
100
105
109
104
94
94
92
102
127
130

170
172
189
213
215
223
278
322
349
384
760
935
357
441
571
619

156
168
182
203
216
230
257
294
312
335
576
721
309
350
450
457

109
102
104
105
100
97
108
109
112
115
131
130
116
126
127
136

166
167
181
200
205
214
263
313
348
398
665
951
377
490
721
731

147
159
173
194
207
227
257
294
325
353
629
825
363
427
593
609

113
105
104
104
99
94
102
106
107
113
105
115
104
115
122
120

Secara teoritis, dapat diduga bahwa di pusat-pusat produksi beras, misalnya Krawang (Jawa Barat), pada saat
musim panen pasar beras di wilayah tersebut cenderung mengalami kelebihan stok beras, sehingga harga beras per
kilo di pasar lokal cenderung menurun. Sebaliknya, pasar beras di wilayah bukan pusat produksi beras, misalnya
Kalimantan, cenderung mengalami kekurangan, sehingga harga beras per kilo di pasar setempat naik.18Tetapi, ini
bukan berarti bahwa NTP di Krawang selalu harus lebih rendah daripada di Kalimantan. Rendah tingginya NTP juga
ditentukan oleh indeks harga input-input pertanian di masing-masing wilayah. Bisa saja, misalnya harga beras di
Kalimantan tinggi karena persediaan terbatas namun harga pupuk di sana juga tinggi karena kekurangan stok akibat
produksi lokalnya mandek atau ada distorsi dalam distribusi, sehingga NTP di wilayah tersebut rendah.
Tabel 29: Nilai Tukar Petani (NTP) di 10 Propinsi Luar Jawa (Nilai Rata-Rata Per Bulan), 1990-2003 (1987=100)*
Provinsi

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

Aceh
Sumut
Sumbar
Sumsel
Lampung
Bali
NTB
Kalsel
Sulut
Sulsel

102
100
105
103
103
120
105
108
113
113

104
96
113
103
103
111
103
106
104
106

99
94
112
103
95
107
101
100
102
105

96
85
107
98
87
104
107
96
97
100

102
89
108
104
88
110
103
94
95
105

98
91
115
120
89
119
113
99
96
108

99
87
109
100
79
118
116
107
98
113

95
86
122
105
76
120
124
107
102
116

85
81
116
122
73
130
142
107
94
126

82
82
114
111
75
151
179
117
88
123

92
89
95
93
80
128
87
118
144
111

90
93
86
76
80
145
89
112
192
109

2002**
121
97
89
77
78
161
93
112
113
121

2003**
139
102
92
71
73
143
82
105
87
117

Keterangan: *=rata-rata dan dibulatkan; **: Desember


Sumber: BPS

VI. Pengangguran
Adalah merupakan bagian dari HAM bahwa setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan
yang bisa memberikan kehidupan layak baginya. Oleh karena itu, keadilan sosial dalam pengertian Pancasila
adalah termasuk menciptakan kesempatan kerja yang sama kepada setiap warga negara Indonesia. Masalah

18

Terkecuali, bila impor beras dilakukan dalam jumlah yang cukup untuk menutupi kelebihan permintaan tersebut, sehingga pasar lokal bisa kembali
ekuilibrium pada tingkat harga semula (sebelum naik).

38

kemiskinan erat kaitannya dengan masalah pengangguran, dan kaitan ini bisa dijelaskan dengan memakai asumsi
dari Amartya Sen mengenai entitlement, yaitu mereka yang miskin hanya karena tidak memiliki akses untuk
mendapatkan uang, atau kesempatan kerja.
Di dalam paradigma ekonomi makro, jalur utama lewat mana pertumbuhan ekonomi mempengaruhi
kemiskinan adalah yang disebut efek kesempatan kerja dari perubahan output: jika output turun maka kesempatan
kerja juga berkurang sehingga mengakibatkan jumlah pengangguran meningkat yang selanjutnya jumlah orang
miskin bertambah, dan, visa versa.. Horton dan Mazumdar (2001), misalnya, menyimpulkan bahwa pendapatan
dari kelompok miskin yang berkurang selama krisis ekonomi 1997/98 tidak hanya disebabkan oleh tingkat upah
riil yang menurun tetapi juga sebagai suatu akibat dari tingkat pengangguran yang lebih tinggi. Seperti yang
diilustrasikan di Gambar 4, selama periode 1982-1996 persentase kemiskinan menunjukkan suatu tren
pertumbuhan yang negatif, sementara tingkat pengangguran terbuka (resmi) kurang lebih stabil sekitar 2 hingga
2,5% rata-rata per tahun, dan mulai naik sejak 1993 dan mencapai tingkat sekitar 7,2% tahun 1995. Selama krisis,
tingkat pengangguran terbuka sekitar 5,5% atau naik dari sekitar 4 juta pekerja tahun 1997 ke lebih dari 5 juta
orang tahun 1998; sedangkan tingkat kemiskinan naik sangat signifikan pada periode yang sama. Waktu itu
diperkirakan bahwa pada tahun 1998 total pengangguran jauh lebih tinggi dari data resmi tersebut (5,5%).
Gambar 4: Pengangguran Terbuka dan Kemiskinan (%) di Indonesia, 1981-2002
%
30
25
20
15
10
5
0
82

84

86

88

90

Kemiskinan

92

94

96

98

00

02

Pengangguran

Sumber: BPS

Prediksi resmi dari BAPPENAS mengenai perkembangan pasar tenaga kerja di Indonesia menunjukkan bahwa
tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai sekitar 10,22% dari jumlah angkatan kerja pada tahun 2005.
Sedangkan prediksi dari BPS berdasarkan data SAKERNAS memberi suatu gambaran yang sedikit berbeda.
Tingkat pengangguran terbuka pada bulan Oktober 2005 sekitar 11,6 juta orang dan mencapai 12% (atau lebih)
dari jumlah angkatan kerja pada akhir tahun 2005. Prediksi jumlah orang yang menganggur pada bulan Oktober
2005 tersebut lebih banyak 700,000 orang daripada pada 7 bulan sebelumnya yang diperkirakan sebanyak 10,9
39

juta jiwa (atau 10,26% dari jumlah angkatan kerja sebanyak 105,8 juta orang dalam periode tersebut). 19Revisi
terakhir terhadap prediksi jumlah pengangguran terbuka dari BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2005 jumlah
orang yang menganggur mencapai 10.854.254 orang (Gambar 5).
Banyak faktor yang membuat besarnya pengangguran di suatu ekonomi. Diantara faktor-faktor tersebut,
pendidikan merupakan yang terpenting. Banyak orang tidak bisa mendapatkan pekerjaan di sektor formal karena
pendidikannya rendah. Ini artinya masalah kesempatan kerja adalah juga masalah akses ke pendidikan. Seperti
halnya akses ke tanah dan kesempatan kerja, akses ke pendidikan juga merupakan bagian dari HAM dan keadilan
sosial, atau keadilan dalam ekonomi. Memberikan kesempatan yang sama ke pendidikan yang baik berarti
memberikan kesempatan sama untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang baik.
Gambar 5: Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka di Indonesia, 2001-2005 (orang)
12000000
10000000
8000000

8005031

9132104

9820011

10251351

10854254

6000000
4000000
2000000
0
2001

2002

2003

2004

2005

Source: BPS

Data BPS menunjukkan bahwa sebagian besar dari orang yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal
(pengangguran terbuka) adalah dari golongan angkatan kerja berpendidikan rendah, yakni yang tidak tamat
sekolah dasar (SD), hanya memiliki diploma sekolah dasar (SD), dan lulusan sekolah menengah pertama (SMP)
dan sekolah menengah atas (SMA). Selama periode 2001-2005, porsi dari kelompok ini mencapai lebih dari 90%.
Di dalam kelompok ini sendiri, subkategori yang paling dominan adalah lulusan SMP dan SMA yang
persentasenya meningkat dari hampir 59% pada tahun 2001 menjadi sekitar 60,7% pada tahun 2005. Struktur ini
konsisten dengan struktur pendidikan dari angkatan kerja di Indonesia, yang mana porsi dari yang lulus SMP dan
SMA semakin besar, sedangkan yang mendaftarkan ke pasar tenaga kerja dari lulusan SD atau yang tidak
memiliki diploma SD semakin kecil. Ini menandakan bahwa kebijakan pemerintah dalam wajib sekolah 9 tahun
selama ini berhasil, namun belum memberi jaminan kesempatan kerja bagi yang lulus.
Gambar 5: Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Pendidikan di Indonesia, 2001-2005
(% dari jumlah pengagguran perbuka)

19

Prediksi BAPPENAS di Table 30 tersebut belum memasukkan efek negatif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja dari misalnya
pengurangan subsidi BBM Oktober 2005 lalu.

40

70
60

58,96

59,03

62,3

59,9

60,74

50
40 34,29

35,53

35,28

Primer

32,74

31,99

Sekunder

30

Tersier

20
6,75

10

5,69

4,57

6,52

5,71

0
2001

2002

2003

2004

2005

Source: BPS

VII. Pendidikan
Tidak bisa dibantah bahwa rendahnya produktivitas tenaga kerja merupakan salah satu sumber penyebab
kemiskinan, yang artinya kemiskinan tidak sepenuhnya disebabkan oleh pengangguran. Banyak orang/keluarga
miskin memiliki pendapatan, bahkan pendapatan tetap namun masuk dalam kategori miskin sesuai garis
kemiskinan yang berlaku karena pendapatan mereka sangat rendah. Diantara sejumlah faktor penyebab, rendahnya
tingkat produktivitas itu sendiri dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, dan dua hal ini
disebabkan oleh terbatasnya akses bagi kelompok miskin ke pendidikan dan pelayanan kesehatan dengan kualitas
baik.
Pendidikan dan kesehatan merupakan dua sumber utama untuk pengembangan manusia; oleh sebab itu
merupakan dua komponen penting dari Indeks Pengembangan Manusia (IPM) atau human development indeks
(HDI). Walaupun tidak mempengaruhi secara langsung, HDI yang baik sangat penting bagi usaha memerangi
kemiskinan. Hipotesisnya adalah sebagai berikut: perbaikan HDI di suatu wilayah berdampak positif terhadap
peningkatan kesempatan kerja dan/atau peningkatan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan
pendapatan di daerah tersebut.
Di dalam literatur dikatakan bahwa penurunan kemiskinan yang berkelanjutan membutuhkan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan juga berkelanjutan. Pada umumnya masyarakat miskin mendapatkan keuntungan dari
pertumbuhan ekonomi karena pertumbuhan tersebut juga membuat permintaan pasar meningkat terhadap pekerja
berpendidikan rendah dengan upah murah dan output/jasa dengan harga murah yang dihasilkan oleh masyarakat
miskin (seperti produk-produk dari usaha mikro dan kesil). Tetapi hanya mengandalkan jasa tenaga kerja dan
harga barang murah, efek dari pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan tidak akan besar atau akan makan
waktu yang lama hingga efeknya terrealisasi. Oleh karena itu, untuk mempercepat proses pengurangan kemiskinan
atau memperbesar efek positif dari pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan kemiskinan, perbaikan
pendidikan dari masyarakat miskin adalah suatu keharusan (Danielson, 2001). Selama ini negara-negara miskin di
Afrika merupakan wilayah paling penting bagi penelitian-penelitian pertumbuhan ekonomi dan pengurangan
kemiskinan. Laporan-laporan dari Bank Dunia (World Bank, 1999a,b) dan tulisan-tulisan dari banyak
41

pengamat/peneliti menyatakan secara eksplisit bahwa untuk mendapatkan efek penurunan kemiskinan yang
signifikan dan cepat dari pertumbuhan ekonomi di Afrika, perbaikan pendidikan kaum miskin harus menjadi
prioritas utama. 20
Juga banyak studi lainnya yang mendukung pendapat bahwa pendidikan tidak hanya merupakan suatu input
yang krusial bagi proses pembangunan ekonomi, 21tetapi pendidikan juga sangat penting bagi peningkatan potensi
pendapatan dan mobilitas ekonomi bagi individu 22 Kombinasi antara peran pendidikan di dalam pembangunan
ekonomi dan di dalam peningkatan potensi pendapatan serta mobilitas ekonomi individu membuat pendidikan
sebagai suatu alat yang paling efektif bagi program-program pemerintah dalam memerangi kemiskinan.
Namun demikian, peran optimum dari pendidikan dalam membantu mengurangi kemiskinan tergantung pada
akses bagi masyarakat miskin ke pendidikan yang baik yang sangat menentukan kemampuan mereka nanti dalam
bersaing di pasar buruh; seperti yang dikatakan oleh Mason dan Rozelle (1998) sebagai berikut: The effectiveness
of education in helping to reduce poverty, however, depends on the poor obtaining sufficient levels of quality
education to compete in labor or product markets. Obtaining such education depends both on the availability of
adequate educational facilities and on the will and financial ability of families to send their children to school.
This latter issue is particularly important in less-developed countries where systems of universal, compulsory, and
low-cost education do not exist or are limited only to a few grades. Poor families often find the costs of sending
children to school prohibitive or at least unacceptably high relative to expected future benefits (hal.12).
Dengan memakai data propinsi, hasil regresi parsial menunjukkan bahwa memang HDI berkorelasi negatif dan
secara statistik signifikan dengan kemiskinan (P) (Gambar 6), atau berkoreasi positif dan secara statistik signifikan
dengan pendapatan (Y) (Gambar 7). Dapat dilihat bahwa kemiskinan di Indonesia terkonsentrasi di wilayah bagian
timur dengan Papua sebagai propinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi, walaupun PDRB-nya bukan yang
terendah di Indonesia.
Pada zaman orde baru, pemerintah berusaha memperbaiki tingkat pendidikan masyarakat di Indonesia melalui
berbagai cara, yang diantaranya yang terpenting adalah kebijakan wajib belajar 9 tahun. Sebagai salah satu hasil
dari kebijakan ini adalah menurunnya jumlah penduduk yang buta huruf dan meningkatnya tingkat partisipasi
sekolah secara drastis selama periode 1970an-1990an. Data SUSENAS menunjukkan bahwa persentase penduduk
yang bisa membaca dan menulis dengan baik untuk kelompok umur 15-24 tahun meningkat dari hampir 96,6%
tahun 1992 ke hampir 98,7% tahun 2002 (Gambar 8). Sisa persentase mewakili orang-orang yang memang
mengalami kesulitan untuk mengikuti pendidikan karena antara lain lokasi tempat tinggal mereka terpencil jauh
dari letak sekolah terdekat, atau secara kondisi fisik/kesehatan memang tidak memungkinkan. Menurut laporan
resmi dari pemerintah, tingkat buta huruf yang hampir 0% di dalam kelompok umur ini adalah hasil nyata dari
peningkatan akses anak-anak ke pendidikan dasar dan perbaikan dalam jumlah anak-anak yang berhasil sampai ke
20

Lihat misalnya Rahmato dan Kidanu (1999), Kunfaa (1999), Khalila, dkk. (1999) dan Naraya (1997).
Lihat misalnya Psacharopoulos dan Woodhall (1985); Ogawa dkk. (1993); dan World Bank (1993b).
22
Lihat misalnya Mincer (1974); Becker (1975); Schultz (1988) dan Psacharopoulos (1994).
21

42

kelas 5 (GOI, 2004). Namun demikian, masih ada kesenjangan antara perdesaan dan perkotaan maupun antara
kelompok masyarakat kaya dan miskin dalam akses ke pendidikan, termasuk pendidikan dasar, walaupun
kesenjangan tersebut telah mengecil sejak 1995. Selain itu, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan masih relatif
kecil, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga (Gambar 9).
Data SUSENAS 1992-2002 juga menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai tingkat tertinggi dalam akses ke
pendidikan dasar untuk anak-anak umur 7-12 tahun. Rasio pendaftaran neto (NER) meningkat dari 88,7% tahun 1992 ke
antara 92-93% tahun 2002 (Gambar 10). Data dari Menteri Pendidikan (MP) menunjukkan NER yang sedikit lebih tinggi,
yakni 94% tahun 2002. 23Akses ke pendidikan sekunder awal (SMP) juga meningkat sejak 1994, menyusul dilaksanakannya
program wajib belajar 9 tahun. NER pada tingkat sekunder awal meningkat dari hampir 42% pada tahun 1992 ke hampir
62% tahun 2002.

Gambar 6: Korelasi antara Kemiskinan dan HDI, berdasarkan data propinsi 2002
41,8

60,1

14

Maluku Utara

65,8
34,8

66,5

32,1

Gorontalo

64,1

24,2

64,1

15,9

Sulsel

65,3
24,9

64,4

11,2

Sulut

71,3

12,2

70

8,5

Kalsel

64,3
11,9

69,1

15,5

Kalbar

62,9
30,7
27,8

NTB
6,9

57,8
67,5

9,2

Banten

60,3

66,6
21,9

64,1

20,1

D.I. Yogyakarta

70,8

23,1

66,3

13,4

Jabar

65,8

3,4
Bangka Belitung

75,6
11,6

65,4
24,1

65,8

22,7

Bengkulu

66,2

22,3
Jambi

66

13,2

67,1

13,7
Sumbar

69,1

11,6

67,5
15,8

23

D.I. Aceh

68,8
29,8

66

Perbedaan dalam sistem/metode pengumpulan data menjelaskan perbedaan sedikit antara kedua sumber tersebut. SUSENAS memakai
10
20
30
40
60
70
80
data pengeluaran konsumsi rumah 0 tangga/keluarga,
sedangkan
MP memakai
data 50
sekolah, yang
memungkinkan
terjadinya suatu
penghitungan ganda, sejak ada anak-anak yang pergi ke lebih dari satu sekolah. Juga data yang digunakan oleh MP dikumpulkan pada
suatu awal tahun ajaran, sedangkan data SUSENAS tidak selalu begitu. HDI Kemiskinan

43

P = 127,201 0,625HDI
(25,593) (-4,236)*

(* = nilai t)

Gambar 7: Korelasi antara Pendapatan dan HDI, berdasarkan data propinsi 2002
41,8

60,1

10,9

Maluku Utara

65,8

9,5

66,5

11,2

Gorontalo

64,1

9,5

64,1
13,4

Sulsel

65,3
20,5

64,4

17

Sulut

71,3
92,4

70
20,9

Kalsel

64,3

23,2

69,1

19,8

Kalbar

62,9

7,6

60,3
22,9

NTB

57,8

25

67,5
27,3

Banten

66,6

16,4

64,1

15,8

D.I. Yogyakarta

70,8

13,4

66,3

16,8

Jabar

65,8
20,8

Bangka Belitung

65,4

10,9

65,8

11,9

Bengkulu

66,2
17,7

66

12,7

Jambi

67,1
20,5

69,1

17,1

Sumbar

67,5
23,6

68,8
30,5

D.I. Aceh
0

10

77,1
75,6

20

30

66
40
HDI

50

60

70

80

90

100

PDRB riil p.k. (Rp00.000)

Y = -121,527 + 0,412HDI
(-2,015) (2,393)

44

Gambar 8: Persentase penduduk bisa membaca dan menulis (15-24 tahun) di Indonesia: 1992-2002 (%)
99
98.5
98
97.5
97
96.5
96
95.5
1992

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

Keterangan: tanda titik diantara angka artinya koma dalam pengertian Indonesia
Sumber: BPS

Gambar 9: Pengeluaran Pemerintah untuk Pendidikan di Indonesia dan Beberapa Negara Tetangga,
1996-1998 (% dari PNB)
5
4

Indonesia
Singapura

Filipina

%
2

Malaysia
Thailand

1
0

Sumber: UNDP dkk. (2001).

Gambar 10: NER tingkat dasar (7-12) dan sekunder awal (13-15) di Indonesia, 1992-2002 (%).
100
80
60
40
20
0
1992

1994

1995

1996

1997

NER Dasar

1998

1999

2000

2001

2002

NER Sekunder awal

Sumber: BPS
Data SUSENAS 2002 menunjukkan secara konsisten NER yang tinggi dalam sekolah dasar di semua
kelompok populasi, tanpa perbedaan yang signifikan antara perdesaan dan perkotaan, antara perempuan dan lelaki,
dan antara kelompok miskin (berdasarkan kuantil) (Tabel 30). Tidak seperti pendidikan dasar (primer), jumlah
pendaftaran di pendidikan S1 menunjukkan perbedaan yang nyata antara perdesaan dan perkotaan, dan antar
kelompok miskin, namun demikian, tidak dari perspektif jender. NER di daerah perdesaan secara signifikan lebih

45

rendah daripada di perkotaan, dan NER dari kelompok termiskian diantara kelompok miskin (49,9%) berbeda
sangat kontras dengan kelompok terkaya diantara kelompok miskin (72,3%) (Tabel 31). 24
Tabel 30: NER di SD menurut kelompok miskin, kelamin dan wilayah perdesaan-perkotaan, 2002
Kelompok miskin
Q1
Q2
Q3
Q4
Q5

Pria
90,8
93,3
93,7
93,4
92,3

Rata-rata
92,7
Sumber: GOI (2004)

Nasional
Wanita
92,1
93,5
93,2
93,1
91,8
92,8

Total
91,4
93,4
93,4
93,3
92,1

Pria
89,9
92,8
93,9
93,8
93,5

Perdesaan
Wanita Total
91,0
90,4
93,6
93,2
94,0
94,0
93,9
93,9
93,4
93,5

Pria
92,1
94,2
93,4
92,9
90,7

Perkotaan
Wanita Total
93,8
92,9
93,4
93,8
91,9
92,7
92,0
92,4
89,4
90,1

92,7

92,6

93,1

92,8

92,3

92,8

92,6

Tabel 31: NER di sekolah sekunder awal menurut kelompok miskin, kelamin dan wilayah perdesaanperkotaan, 2002
Kelompok miskin
Q1
Q2
Q3
Q4
Q5

Pria
47,3
58,2
63,4
68,5
73,7

Rata-rata
60,9
Sumber: GOI (2004)

Nasional
Wanita
52,7
59,7
64,9
68,3
70,8
62,4

Total
49,9
58,9
64,1
68,4
72,3

Pria
39,5
49,4
55,0
61,2
68,6

Perdesaan
Wanita Total
41,9
40,6
51,1
50,2
57,6
56,3
61,7
61,5
68,2
68,4

Pria
57,6
70,5
75,8
78,9
80,6

Perkotaan
Wanita Total
66,1
61,8
71,1
70,8
75,3
75,5
77,5
78,2
74,3
77,4

61,6

53,3

55,0

71,4

72,3

54,1

71,9

Tidak cukupnya dan tidak meratanya akses ke pelayanan kesehatan juga menyebabkan tidak meratanya
tingkat pendidikan. Masalah yang dominan di kebanyakan NSB adalah bukan tidak adanya pelayanan kesehatan
tetapi ketidak mampuan dari sistem-sistem pelayanan kesehatan publik untuk memberikan pelayanan kesehatan
berkualitas baik di semua wilayah. Kurang baiknya pelayanan kesehatan yang didapat oleh kelompok miskin
membuat suatu masa kehidupan yang tidak terjamin bagi mereka, di mana kesempatan-kesempatan pendapatan
dapat terganggu oleh episode-episode sakit. Kesehatan dan nutrisi yang buruk dapat mengganggu produktivitas
individu maupun nasional dan dapat mempengaruhi masa hidup dari kelompok miskin. Kebalikannya yang sangat
menyolot, sekelompok kecil orang kaya yang berada dalam posisi bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang
sangat baik dari swasta, bahkan dari luar negeri, menikmati standar kesehatan yang tinggi. Kesenjangan ini yang
terus melebar di banyak NSB sangat tidak adil karena menghalangi semua warga negara mendapatkan
kesempatan-kesempatan yang sama dari suatu kehidupan yang sehat dan bahkan untuk bersaing di pasar.

VIII. Busung Lapar: Statu Kasus Ketidakadilan


Memang sangat ironis, di satu sisi, Indonesia termasuk negara paling kaya dalam sumber daya alam (SDA)
dengan tanah yang sngat luas dan subur dan iklim tropis yang sangat baik, sementara, pada di sisi lain, masih

24

Lihat juga Lampiran II.

46

banyak penduduk Indonesia yang kelaparan dalam arti tidak sanggup membeli makanan dengan gizi yang cukup
untuk kehidupan yang sehat. Lebih ironisnya lagi, system ekonomi Indonesia dilandaskan pada azas Pancasila
yang menekankan pada rakyat adil dan makmur, dan Indonesia sudah lebih dari 30 tahun lamanya membangun
sejak Repelita I dimulai tahun 1969 lalu.
Dalam setahun belakangan ini hampir setiap minggu Harian Kompas memberitahukan soal adanya busung
lapar. Terbitan tanggal 27 Mei 2005 melaporkan bahwa ada ribuan anak belita di Nusa Tenggara Timar (NTT)
mengalami busung lapar atau gizi buruk. Juga dilaporkan ada banyak anak balita mengalami hal yang sama di
Lampung. Lombok dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Sesuai hasil SUSENAS, di NTB, yang selama ini dikenal
sebagai daerah lumbung padi, jumlah anak balita yang menderita kekurangan gizi sekitar 10% dari jumlah anak
balita, atau 49.000 anak. Terbitan tanggal 12 April 2006, Kompas mencertikan pengalaman seorang warga di
Lombok Timur sebagai berikut: .....Sumaini, warga Dusun Batu Rimpang, Desa Selebung Ketangga, Lombok
Timur.adalah janda satu anak (Hildatun, 2). Ia tinggal di rumah gubuk ukuran 3x5 meter yang dihuni
sembilan jiwa, termasuk seorang suadaranya dan beberapa anaknya serta ayahnya, Nuralam (55). Sumaini yang
bercerai saat usia kandungannya enam bulan bekerja serabutan, seperti ngerampek (merontokkan bulir padi dari
batangnya) dan tukang cuci pakaian serta perkakas rumah tangga. Dari jasanya itu, selain diberi makanan ala
kadarnya, ia juga mendapat upah Rp 3.000 per hari. Beban Sumaini kian berat sebab Hildatun menderita busung
lapar dan kini dalam proses penyembuhan. Penghasilan itu bila ada yang meminta. Jika tidak ada, kosonglah
pendapatan Sumaini hari itu. Sementara Nuralam tak mampu bekerja lagi, hanya mengharap ada tetangga yang
datang berobat karena sakit mata, maklum dia dianggap ahli di bidang itu. (halaman 15).
Menurut Sihadi (2005), sejak 1989, angka prevalensi gizi buruk secara nasional mengalami stagnasi, dalam
arti belum ada penurunan yang berarti. Data tahun 2003 dari Departemen Kesehatan menunjukkan prevalensi anak
balita gizi buruk di Indonesia mencapai sekitar 8%-8,55%. Menurut proyeksi penduduk Indonesia yang disusun
BPS, tahun 2005 ini jumlah anak usia 0-4 tahun mencapai 20,87 juta. Berarti dengan persentase tersebut, tahun
2005 ada sekitar

1,67 juta anak balita menderita busung lapar. Ini terntu suatu angka yang gawat, yang

memerlukan penanganan serius dari pemerintah. Apalagi Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak,
yang Pasal 6 dan 24-nya menyebutkan bahwa negara yang meratifikasi Konvensi tersebut akan berupaya
maksimal untuk melindungi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.
Pertanyaan sekarang adalah: kenapa hal demikian bisa terjadi di negara yang dikenal sangat kaya akan SDA
dan yang selalu memposisikan dirinya sebagai negara yang selalu memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan
bagi rakyatnya sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945? Jawabannya sederhana dan klasik: berdasarkan hasil
pemamtauan Dinas Kesehatan setempat, banyaknya anak balita yang menderita kekurangan gizi disebabkan oleh
kemiskinan orang tua mereka. Memang, masalah gizi memiliki dimensi luas, jadi tidak hanya masalah kemiskinan,
atau sosial-ekonomi, tetapi juga masalah pendidikan, budaya, pola asuh, dan lingkungan. Namun demikian, dapat
dikatakan bahwa kemiskinan adalah faktor terpenting. Bahkan faktor-faktor lain tersebut mempunyai keterkaitan
47

dengan tingkat kesejahteraan atau pendapatan keluarga. Misalnya, sebagai suatu contoh, pada umumnya kepala
keluarga/orang tua dari keluarga miskin berpendidikan rendah, dan hal ini sangat mempengaruhi pola pikir mereka
mengenai kebutuhan anak-anak mereka akan gizi atau mengenai budaya hidup sehat.
Jadi, kekurangan makanan bergizi atau busung lapar yang dialami oleh banyak anak balita di Indonesia
melambangkan kemiskinan yang tengah melilit kehidupan rakyat di banyak wilayah seperti di NTT, NTB dan
Lampung. Dari sisi sosial-politik, masalah kekurangan gizi ini mencerminkan ketidakpedulian atau
ketidaksanggupan pemerintah Indonesia dalam menghargai harkat/martabat manusia dan juga dalam mengadakan
pangan secara adil. Dapat dikatakan bahwa kekurangan gizi atau kelaparan merupakan salah satu dampak dari
sistem pemerintahan yang amat buruk yang tidak mendahulukan kesejahteraan masyarakat (Chang, 2005). Jelas,
kekurangan gizi atau masih banyaknya masyarakat di dalam negeri yang sangat sulit untuk bisa makan sehat
mencerminkan adanya ketidakadilan sosial yang sedang dialami masyarakat Indonesia.
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat juga dapat dilihat dari rendahnya
pengeluaran APBN untuk kesehatan. Padahal masyarakat miskin sangat tergantung pada pelayanan dari sektor
kesehatan publik, sementara masyarakat kaya bisa menikmati pelayanan kesehatan dari sektor swasta. Dari dulu
anggaran kesehatan hanya sekitar 2,3% hingga 2,4%, yang membuat Indonesia negara paling kecil dalam
pengeluaran kesehatan (Gambar 11).

Gambar 11: Pengeluaran Pemerintah Untuk Kesehatan, 1996-1998 (% dari PNB)

1,3

1,1

1.5
1

1,7

1,7

0,5

0.5
0
Indonesia

Singapura

Filipina

Malaysia

Thailand

Sumber: UNDP dkk. (2001)

Seperti yang telah dibahas di Bab II, bicara keadilan dalam ekonomi adalah terutama bicara keadilan
distributif. Berdasarkan keadilan ini, negara atau pemerintah harus membagi segalanya dengan cara yang sama
kepada para anggota masyarakat. Konkritnya dalam aspek sosial-ekonomi adalah memberikan kesempatan yang
sama bagi semua warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan dengan pendapatan yang baik, dan
makanan yang cukup untuk kehidupan layak atau sehat. Jadi, keadilan distributif menitikberatkan perlakuan yang
sama terhadap semua pihak yang seharusnya mendapatkan haknya. Dalam paradigma ini, ketidakadilan muncul
apabila sebagian dari masyarakat tidak mendapatkan hak mereka, seperti dalam kasus busung lapar di NTT, NTB
dan Lampung tersebut.
48

Bertens, K. (1997), Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


Bertens, K. (2000), Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Penerbit Kanisius
BPS (2005), Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005, Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Chang, William (2005), Lapar akan Keadilan, Kompas, Opini, Jumat, 10 Juni, halaman 4
Hadar, Ivan a. (2006), Busung Lapar dan Reformasi Pertanian, Kompas, Selasa, 21 Maret, halaman 6.
Karman, Yonki (2006), Senjakala Demokrasi Sosial, Kompas, Opini, Kamis, 6 April, halaman 6.
Keraf, Sonny A. (1993), Ketidaksamaan yang Adil. Etika Politik Aristoteles, Atma nan Jaya, No.1, Thn.VI,
April, halaman 31-50.
Keraf, Sonny A. (1998), Etika Bisnis, Yogyakara: Penerbit Kanisius.
Magnis-Suseno (1986), Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia.
Magnis-Suseno (1987), Etika Politik, Jakarta: Gramedia
Sihadi (2005), Rajin ke Posyandu, Cegah Gizi Buruk, Kompas, Opini, Jumat, 10 Juni, halaman 4.
Subandriyo, Toto (2006), Saatnya Berpihak kepada Petani, Kompas, Opini, Jumat, 17 Maret, halaman 6.
Suwarno, P.J. (1993), Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
UNDP, BAPPENAS dan BPS (2001), Indonesian Human Development Report 2001, Jakarta.
Von Hayek, F.A. (1995), Social or distributive justice dalam Alan Ryan (ed.), Justice, Oxford & New York:
Oxford University Press.

49

Anda mungkin juga menyukai