Anda di halaman 1dari 12

Korupsi Alat Kesehatan, Melibatkan Mantan

Menteri Kesehatan.
Kasus 1
Nama mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dan pengusaha Bambang Rudijanto
Tanoesoedibjo disebut dalam vonis bekas pejabat Kementerian Kesehatan, Ratna Dewi Umar.
Mereka dinilai turut serta melakukan korupsi bersama Ratna dalam proyek pengadaan alat kesehatan
wabah flu burung di Kementerian Kesehatan.
"Terbukti ada kerja sama sedemikian erat dan secara sadar antara terdakwa, Ratna Dewi Umar, Siti
Fadilah Supari, dan beberapa pihak atau korporasi dalam pelaksanaan pengadaan alat kesehatan
serta reagan dan consumable penanganan flu burung di Kementerian Kesehatan pada 2006 dan
2007," kata hakim anggota, Sutio Jumadi, saat membacakan putusan terdakwa Ratna Dewi Umar di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 2 September 2013.
Hakim Sutio mengatakan, pada pengadaan alat kesehatan penanganan wabah flu burung pada 2006,
Ratna yang saat itu menjadi pejabat pembuat komitmen meminta arahan kepada Menteri Siti Fadilah.
Siti lalu meminta pengadaan itu diberikan kepada Direktur Utama PT Prasasti Mitra Bambang
Rudijanto Tanoesoedibjo. Bambang kemudian menemui Ratna untuk menanyakan proyek itu.
Selanjutnya, ia mengutus bawahannya, Soetikno, untuk mengurusnya.
Ratna tak langsung menunjuk perusahaan Bambang Tanoesoedibjo untuk menggarap proyek. Ia
mengarahkan panitia lelang untuk menunjuk PT Rajawali Nusindo, perusahaan BUMN. Barulah
Rajawali Nusindo menyerahkan pengadaan 13 ventilator merek Drager itu kepada perusahaan milik
Bambang Tanoe. Ia dinilai terbukti menyalahgunakan kewenangan, memperkaya korporasi, dan
merugikan keuangan negara sebesar Rp 50,477 miliar.
Peran Siti tak hanya sampai di situ. Menurut hakim, ia juga memerintahkan Ratna untuk
mengarahkan panitia pengadaan menunjuk PT Kimia Farma Trading Distribution sebagai pemenang
lelang dalam proyek reagan dan consumable flu burung pada 2007. Kimia Farma kemudian
melimpahkan proyek itu kepada PT Bhinneka Usada Raya dan PT Cahaya Prima Cemerlang.
Atas perbuatan itu, majelis menjatuhkan pidana kepada Ratna selama 5 tahun penjara dan denda Rp
500 juta, atau jika tak dibayar diganti dengan hukuman 3 bulan kurungan.
Kasus 2
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari sebagai
tersangka korupsi pengadaan alat kesehatan untuk kebutuhan antisipasi kejadian luar biasa pada
2005. Penetapan ini diambil pimpinan KPK setelah penyidik melakukan gelar perkara terhadap kasus
limpahan dari Markas Besar Kepolisian tersebut.

Siti Fadilah menjadi tersangka sejak 28 Maret 2012 karena diduga terlibat dalam korupsi proyek
pengadaan alat kesehatan senilai Rp 15,5 miliar pada 2005. Dia diduga menyalahgunakan
wewenangnya dengan penunjukan langsung dalam pengadaan alat kesehatan untuk buffer stockatau
stok cadangan kejadian luar biasa.
"Penyidik telah menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menentukan Menteri Kesehatan 20042009 itu sebagai tersangka," kata juru bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo di kantornya, Jumat, 4
April 2014
Dalam surat perintah penyidikan yang diteken pimpinan KPK pada 3 April 2014 itu, Siti Fadilah
dijerat dengan sejumlah pasal: Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 15 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 56 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Siti Fadilah, kini menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden, itu diduga memperkaya diri
sendiri, orang lain, atau korporasi dengan menyalahgunakan kewenangannya. Siti Fadilah juga
diduga dengan sengaja sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan. Ia terancam hukuman maksimal penjara 20 tahun dan denda Rp 1 miliar.

MAFIA PAJAK, Gayus Tambunan


Nama yang akhir-akhir ini mencuat karena namanya disebut oleh mantan Kabareskrim Komjen
Susno Duadji memiliki uang sebesar Rp 25 miliar dalam rekening pribadinya. Hal tersebut
sangat mencuri perhatian karena Gayus Tambunan hanyalah seorang PNS golongan III A yang
mempunyai gaji berkisar antara 1,6-1,9 juta rupiah saja.
Lelaki yang memiliki nama lengkap Gayus Halomoan Tambunan ini bekerja di kantor pusat
pajak dengan menjabat bagian Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak. Posisi yang sangat
strategis, sehingga ia dituduh bermain sebagai makelar kasus (markus). Kasus pun berlanjut
karena di duga banyak pejabat tinggi Polri yang terlibat dalam kasus Gayus. Gayus dijadikan
tersangka oleh Polri pada November 2009 terkait kepemilikan uang yang mencurigakan di
rekeningnya mencapai Rp 25 miliar. Gayus terindikasi melakukan pidana korupsi, pencucian
uang, dan penggelapan senilai Rp 395 juta.
Namun di persidangan, jaksa hanya menjerat pasal penggelapan saja, dengan alasan uang yang
diduga hasil korupsi telah dikembalikan. Sisa uang Rp 24,6 miliar, atas perintah jaksa, blokirnya
dibuka. Hakim pun memutuskan Gayus divonis 6 bulan penjara dan masa percobaan setahun
Setelah dilakukan pemeriksaan, dari uang total Rp 25 miliar, uang sejumlah Rp 395 juta
disita, dan sisanya sebesar Rp 24,6 miliar pun hilang entah kemana dan tidak ada pembahasan
lanjut mengenai uang sebesar itu. Dalam kasus ini, Gayus dijerat 3 pasal sekaligus, yakni
Korupsi, Pengelapan Uang dan Pencucian Uang. Tetapi pada persidangan ia hanya didakwa
kasus Penggelapan Uang saja. Alhasil, hukuman sangat ringan pun ia dapatkan, yaitu 1 tahun.
Tetapi, tak lama kemudian, Gayus pun malah dibebaskan. Dikarenakan ada penghapusan pasal
yang dilakukan jaksa, yakni menghilangkan pasal korupsi dan pencucian uang dan hanya
mengenakan pasal penggelapan,
Berita terakhir menyebutkan bahwa Gayus Tambunan sudah tertangkap. Gayus di vonis hanya 6
bulan dengan masa percobaan 1 tahun. Gayus Tambunan (GT) ternyata telah dijatuhi hukuman
melalui vonis di Pengadilan Negeri Tangerang hanya selama 6 bulan dengan masa percobaan 1
tahun. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum 1 tahun penjara dengan masa
percobaan 1 tahun.Proses hukumnya berlangsung 23 Februari 2010 dimana Gayus
tambunan dituntut hukuman 6 bulan dengan percobaan hukuman 1 tahun oleh JPU. saat naik di
Kejaksaan Negeri, tuntutan berubah menjadi 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun.
1. Kronologi Kasus Terdakwa Gayus:
Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) terdakwa Gayus Halomoan Tambunan dikirim ke
Kejaksaan Agung (Kejagung) oleh tim penyidik Mabes Polri.

Kemudian pihak Kejagung menunjuk 4 jaksa untuk mengikuti perkembangan penyidikan


tersebut. Mereka adalah Cirus Sinaga, Fadil Regan, Eka Kurnia dan Ika Syafitri. Berkas perkara
tersebut dikirim pada 7 Oktober 2009.
Di dalam SPDP, tersangka Gayus diduga melakukan money laundring, tindak pidana
korupsi dan penggelapan. Analisa yang dibangun oleh Jaksa Peneliti melihat pada status Gayus
yang merupakan seorang PNS pada Direktorat Keberatan dan Banding Dirjen Pajak kecil
kemungkinan memiliki dana atau uang sejumlah Rp 25 Miliar pada Bank Panin, Jakarta.
Setelah Jaksa Peneliti menelusuri alat bukti perkara yang terdiri dari saksi-saksi, keterangan
tersangka dari dokumen-dokumen dan barang bukti, ternyata berkas tersebut belum lengkap.
2. Kronologi Kasus Pajak Gayus Versi Kejaksaan
Dalam berkas Gayus dijerat 3 pasal yakni pasal korupsi, pencucian uang, dan
penggelapan.Mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji
membongkar makelar kasus di intitusinya. Jaksa peneliti, Cyrus Sinaga membeberkan kronologi
kasus tersebut.Dia menjelaskan kasus ini awalnya jaksa menerima berkas perkara pada 7
Oktober 2009, setelah diteliti jaksa menyatakan berkas tersebut belum lengkap.
Dikarenakan Gayus seorang pegawai negeri dan memiliki dana Rp 25 miliar di Bank
Panin. Bahkan jaksa Cyrus Sinaga mengungkapkan alasan mengapa pada awalnya Gayus dijerat
tiga pasal tersebut. Menurut Jaksa Cyrus Sinaga, uang Rp 25 miliar milik Andi Kosasih, seorang
pengusaha asal Batam. Jaksa menjelaskan antara Gayus dan Andi terjalin perjanjian bisnis. Dan
Andi menggunakan jasa pihak kedua untuk melakukan pengadaan tanah.Diketahui bahwa
pengiriman Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus Gayus ternyata tidak sesuai
prosedur yang ada.
SPDP tidak melalui prosedur, yang seharusnya masuk terlebih dahulu ke Jampidum, tapi diantar
masuk melalui inspektur Biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan tanah tersebut sebesar US$ 6
juta. Andi membayarkan uang tersebut sebanyak enam kali secara tunai. Rinciannya; pada 1 juni
2008 dibayarkan sebesar 900.000 US dolar; 15 September 2008 sebesar 650.000 US dolar; 27
Oktober 2008 dibayarkan 260.000 US dolar; 10 November 2008 sebesar 200.000 US dolar; 10
Desember 2008 sebesar 500.000 US dolar; 16 Februari 2009 sebesar 300.000 US dolar. Total
yang sudah diserahkan sebesar 2.810.000 US dolar.
3. Sejumlah orang yang terlibat
Seperti yang kita tahu bahwa dalam kasus pajak ini bukan hanya gayus saja yang bekeja sendiri
tetapi ia juga mempunyai jaringan.sebelum Gayus Tambunan pergi ke Singapura ia pernah
memberi pengakuan ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bahwa bukan hanya dirinya yang
bertugas tetapi ada orang lain.

Selain sejumlah petinggi negara yang terlibat istri Gayus(Milana Anggraeni) juga ditetapkan
sebagai tersangka karena ia diketahui menerima dana dari suaminya (Gayus Tambunan) sebesar
3,6 miliar .Andi kosasih juga menerima dana dari Gayus tambunan Sebesar Rp 1,9 miliar,masuk
ke rekening Gayus Rp 10 miliar dan tabungan Gayus Rp 1 miliar. Jaksa Agung Muda
Pengawasan (Jamwas), Hamzah Tadja mencurigai adanya itikad tidak baik dari Cirus Sinaga
selaku jaksa peneliti berkas perkara Gayus Tambunan. . memang ada informasi bahwa SPDP
tersebut diambil sendiri oleh Cirus ke Mabes Polri. Namun, pihaknya belum bisa memastikan
kebenarannya karena masih harus mengkonfirmasikan dengan pihak Mabes. Cirus sendirilah
yang mengantarkan SPDP tersebut langsung kepada Direktur Prapenuntutan Jampidum saat itu,
Poltak Manullang. semestinya SPDP masuk dari Mabes Polri langsung ke Kabbag TU
Jampidum. Setelah itu diproses untuk diberikan kepada Jampidum supaya ditunjuk jaksanya.
Oleh karena itu, hasil pemeriksaan jajaran Pengawasan Kejagung menilai ada itikad tidak baik
dari jaksa Cirus dalam menangani perkara Gayus Tambunan. Itu sebabnya ia dihukum karena
ada itikad tidak baik.
Sebelumnya, jaksa Cirus Sinaga dan mantan Direktur Prapenuntutan Jampidum Poltak
Manullang terbukti tidak cermat dalam menangani kasus Gayus. Keduanya dikenai sanksi
pembebasan dari jabatan struktural.

Negara Rugi Ratusan Miliar Rupiah di


Korupsi 16 Universitas

Dugaan tindak pidana korupsi sudah menjalar ke institusi pendidikan. Badan Pemeriksa
Keuangan dalam auditnya menemukan penyimpangan keuangan negara di 16 universitas dan
tiga Dirjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam dokumen yang diterima Tribunnews.com, total pemborosan keuangan negara sebesar Rp
211.255.453.000 dengan kerugian Rp 128.988.843.520. Audit BPK itu merupakan tindak lanjut
dari kasus korupsi mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
Data 16 universitas yakni Universitas Sumatera Utara, Universitas Lambung Mangkurat,
Universitas Airlangga, Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Mataram,
Universitas Riau, Universitas Nusa Cendana, Universitas Haluoleo, Universitas
Mulawarman.Universitas Andalas, Universitas Sam Ratulangi, Universitas Indonesia,
Universitas Udayana, Institut Teknologi Bandung, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Ditjen
Pendidikan Tinggi, Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Ditjen Peningkatan
Mutu Pendidikan (Kemendikbud).
Pemeriksaan BPK terhadap 16 universitas dan tiga Ditjen di Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menyasar pengadaan barang dan jasa serta rekening di Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan tahun anggaran 2008, 2009, dan 2010.
Tahapan pemeriksaan untuk pengendalian barang dan jasa dirinci lagi antara lain tahap
penganggaran terdiri dari usulan kebutuhan barang dari pengguna barang dan jasa, analisis
kebutuhan barang dan jasa, penganggaran dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) maupun
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
Pada tahap perencanaan pengadaan barang dan jasa, terdiri penetapan kepanitiaan pengadaan,
penyusunan dokumen lelang, penetapan HPS, proses pelelangan, penetapan penyedia barang dan
jasa, penyusunan kontrak pengadaan barang dan jasa/pekerjaan fisik.
Tahap lainnya terkait pelaksanaan pekerjaan, tahap pemanfaatan dan pencatatan barang jasa, dan
pengelolaan rekening.

Analisa Badan Akuntabilitas Keuangan Negara DPR RI dari pemeriksaan BPK,


menemukan sistem pengendalian intern pengadaan barang dan jasa pada umumnya belum sesuai
prinsip-prinsip, rancangan, dan implementasi sistem pengendalian intern yang baik.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diduga terlibat dalam kongkalikong anggaran
proyek 16 universitas negeri yang dimenangkan perusahaan mantan Bendahara Umum Partai
Demokrat, Muhammad Nazaruddin.
Hal tersebut terungkap dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang
anggaran proyek pengadaan laboratorium di 16 universitas yang diterima Badan Akuntabilitas
Keuangan Negara (BAKN) DPR RI.
"Kementrian Keuangan yang mengurusi pencairan banyak melakukan pelanggaran proses
pencairan. Itu jelas disebut di audit BPK," ujar anggota BAKN DPR RI, Eva Kusuma Sundari, di
Gedung DPR, Jakarta, Rabu (29/8/2012).
Eva menjelaskan, dari auditnya, BPK menemukan Kemenkeu tidak menerapkan prinsip
kehati-hatian dalam pencairan anggaran. Tindakan Kemenkeu kali ini pun terbilang sama saat
proses pencairan anggaran untuk proyek pembangunan pabrik vaksin flu burung senilai Rp 2,2
triliun dan proyek Pusat Olahraga Hambalang.
"Jadi, sama seperti vaksin dan proyek Hambalang, di proyek universitas ini Kementerian
Keuangan tidah akuntabel. Menanyakan dokumen proyek misalnya," jelas politisi PDIP itu.
Selain itu, lanjut Eva, Kemenkeu juga kerap menerobos mekanisme pembahasan anggaran di
DPR. Ia pun berharap KPK menelusuri temuan BPK ini. "Ada anggaran yang langsung dibahas
dengan Badan Anggaran. Juga bahkan ada yang anggaran dibahas antara Kementerian Keuangan
dengan kementrian yang punya proyek. Ini harus didalami oleh KPK," ujarnya.
Menurutnya, tampak BPK belum cukup mengeksplorasi dalam audit tersebut. Namun, bisa
terlihat modus pengadaan proyek yang janggal.
"Modusnya bukan memberikan anggaran berdasarkan kebutuhan tapi Jakarta langsung
menelepon rektor. Mereka ditanya mau uang tidak. Baru proyeknya dibuat," ujarnya.
"Audit BPK jelas menunjukkan adanya kongkalikong anggaran dalam proyek di 16 universitas."
BAKN mengusulkan agar Komisi X DPR perlu meminta audit tujuan khusus, yakni audit
investigasi, karena audit yang dilakukan BPK baru seputar audit keuangan.

Diketahui, bahwa korupsi proyek di 16 Universitas ini terungkap dari pengakuan mantan
Direktur Keuangan PT Anugrah Nusantara (PT AN), yakni Yulianis. Perusahaan milik
Nazaruddin itu menjadi rekanan Kemendikbud dalam proyek ini.

Korupsi Dana Pendidikan Rp 47,5 Miliar,


Perpustakaan Sekolah Digeledah
Kejaksaan Negeri Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur
(NTT) melakukan penggeledahan di perpustakaan sejumlah sekolah di Kabupaten tersebut yang
menerima bantuan pengadaan buku referensi, pengayaan dan KIT multimedia.
Pemeriksaan tersebut terkait korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan senilai Rp
47,5 miliar di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (PPO) TTU. Kepala Seksi Pidana Khusus
Kejaksaan Negeri Kefamenanu, Frengki Radja, yang memimpin langsung penggeledahan itu
mengatakan pihaknya melakukan penggeledahan untuk pemeriksaan fisik terhadap pelaksanaan
DAK bidang pendidikan tahun 2008, 2010 dan 2011 yang dilaksanakan pada tahun 2011.

Ini adalah hari pertama kita mulai lakukan pemeriksaan terhadap semua sekolah yang menerima
pengadaan buku referensi, pengayaan dan KIT Multimedia dan kita mulai dari SD GMIT 4
Kefamenanu. Ini ada terbagi dalam beberapa tahun anggaran dan khusus tahun anggaran 2008,
ada 34 sekolah, termasuk SD GMIT 4 Kefamenanu ini. Pemeriksaan dilakukan untuk
mengetahui jumlah dan jenis buku yang diadakan, ujar Frengky, Kamis (27/11/2014).
Dari hasil pemeriksaan ini, lanjut Frengki, ditemukan ada beberapa buku yang jumlahnya
kurang, rusak dan tidak sesuai dengan spek. Menurut Frengki, rusaknya buku pengadaan,
lantaran pemeriksaan buku tersebut bukan dilakukan di sekolah penerima, tetapi di salah satu
gudang yang sudah disepakati oleh pihak dinas PPO dan kontraktor penyedia buku.
Saat itu, penyerahan buku ke sejumlah sekolah bersamaan dengan musim hujan sehingga banyak
buku yang kena air hujan dan akhirnya rusak saat tiba di sekolah. Pemeriksaan ini masih akan
dilakukan oleh pihaknya hingga waktu yang belum ditentukan karena masih ada 169 sekolah
lainnya yang harus diperiksa.

Total anggaran DAK tersebut sebesar Rp. 47.524.696.099, yang dipakai untuk membiayai
sejumlah kegiatan. Dana itu diperuntukan untuk pengadaan buku pengayaan, buku referensi dan
buku panduan pendidik tahun anggaran 2008 untuk 45 Sekolah Dasar (SD), pengadaan buku
pengayaan, buku referensi dan buku panduan pendidik tahun anggaran 2010 untuk 34 SD,
pengadaan alat peraga tahun anggaran 2008 untuk 45 SD, pengadaan alat pendidikan tahun
anggaran 2010 untuk 11 Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan pembangunan ruang
perpustakaan untuk 85 SD.
Pihak kejaksaan mulai melakukan penyelidikan sejak Bulan Juni 2013 dan mendapati
adanya indikasi yakni proses penganggarannya tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 58 Tahun 2005 juncto Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, di mana
bupati TTU melakukan pergeseran anggaran terhadap empat Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD), yang salah satu di antaranya adalah Dinas PPO Kabupaten TTU, di mana pergeseran
anggaran ini tidak melalui peraturan daerahnya (Perda).

Pergeseran anggaran ditandatangani oleh Bupati tanggal 30 Desember 2011 atau satu hari
sebelum tahun anggaran itu selesai, tetapi realisasi dan pencairan anggarannya sudah dibayarkan
sebelum adanya peraturan bupati (Perbup) sehingga penganggaran atau pembayaran itu tanpa
ada dasar hukumnya.

Kemudian perubahan anggaran APBD 2012 tidak ditetapkan melalui Perda tetapi hanya
berdasarkan Perbup, dan ini juga tidak diparipurnakan oleh DPRD. Selain itu, Kejaksaan juga
mendapati adanya perubahan revisi Bupati TTU Nomor 170 Tahun 2011 tanggal 10 Maret 2011
tentang nama-nama SD dan SMP penerima DAK bidang pendidikan tahun anggaran 2008, 2010
dan 2011 di Kabupaten TTU, tidak sesuai dengan prosedurnya karena ini dilakukan secara
sepihak oleh dinas PPO Kabupaten TTU.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak kejaksaan, merupakan tindak lanjut atas temuan
BPK RI Perwakilan NTT, dimana berdasarkan hasil uji petik (sampling) terhadap sekitar 30
sekolah penerima DAK Bidang Pendidikan dari sekitar 220 paket yang ada, indikasi kerugian
telah mencapai sekitar Rp 174 juta lebih, yang diperoleh dari kekurangan volume pekerjaan.
Untuk kasus korupsi DAK tersebut, Kejaksaan Negeri Kefamenanu telah menetapkan 14 orang
menjadi tersangka. Mereka adalah Kepala Dinas PPO Kabupaten TTU, Vinsensius Saba selaku
KPA, Kabid Tendik Dinas PPO Kabupaten TTU, Edmundus Fallo selaku PPK, lima orang
rekanan yakni Jhon Lau sebagai Direktur CV Putra Kencana Perkasa, Jefri Totomone sebagai sub
kontraktor dari CV Tri Sampurna, DR sebagai Direktur PT Wita Clara, AW sebagai Direktur PT
Pagua Nusantara, OSR sebagai Direktur CV Osara Dian Gemilang serta penitia proyek DAK
bidang pendidikan sebanyak tujuh orang.
Kasus tersebut juga menyeret sejumlah pejabat di TTU, yang telah diperiksa sebagai
saksi yakni Bupati TTU Raymundus Sau Fernandes, mantan ketua DPRD TTU Robertus Nailiu,
mantan Wakil Ketua II DPRD TTU, Hermegildus Bone, Ketua DPRD TTU Frengky Saunoah
(saat itu menjabat sebagai wakil ketua I DPRD TTU) dan sejumlah pejabat di Setda Kabupaten
TTU.

Delik-delik Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

1. Delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 dan Pasal 3
UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
2. Delik penyuapan memberikan atau menjanjikan sesuatu Pasal 5 UU NO. 31 Tahun 1999 JO.
UU NO. 20 Tahun 2001 yang diadopsi dari Pasal 209 KUHP (SUAP AKTIF).

3. Delik penyuapan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dan Advokat Pasal
6 UU NO. 31 Tahun 1999 JO. UU NO. 20 TAHUN 2001 yang diadopsi dari Pasal 210 KUHP
(SUAP AKTIF).
4. Delik dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan bangunan dan korupsi dalam
menyerahkan alat keperluan TNI dan Kepolisian RI Pasal 7 UU. No. 31 Tahun 1999 Jo. UU
NO. 20 Tahun 2001 yang diadopsi dari Pasal 387 dan 388 KUHP.
5. Delik Pegawai Negeri menggelapkan Uang dan Surat Berharga Pasal 8 UU. No. 31 Tahun
1999 Jo. UU NO. 20 Tahun 2001 yang diadopsi dari Pasal 415 KUHP.
6. Delik Pegawai Negeri memalsu buku-buku dan daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi Pasal 9 UU. No. 31 Tahun 1999 Jo. UU NO. 20 Tahun 2001 yang diadopsi
dari Pasal416 KUHP.
7. Delik Pegawai Negeri merusakkan barang, akta, surat, atau daftar untuk
meyakinkan/membuktikan di muka pejabat yang berwenang Pasal 10 UU. No. 31 Tahun
1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang diadopsi dari Pasal 417 KUHP.
8. Delik Pegawai Negeri menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kewenangan
jabatan, Pasal 11 UU. No.31 Tahun 1999 Jo. UU NO. 20 Tahun 2001 yang diadopsi
dari Pasal 418 KUHP.
9. Delik Pegawai Negeri atau penyelenggara negara, hakim dan advokat menerima hadiah atau
janji (suap pasif), Pegawai Negeri memaksa membayar, memotong pembayaran, meminta
pekerjaan, menggunakan tanah negara, dan turut serta dalam pemborongan, Pasal 12 UU.
No.31 Tahun 1999 Jo. UU NO. 20 Tahun 2001 yang diadopsi dari Pasal 419, 420, 423, 425,
435 KUHP.
10. Delik Pegawai Negeri menerima gratifikasi (Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang
menerima gratifikasi pemberian dalam arti luas, yakni : pemberian uang, rabat, komisi
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma dan fasilitas lainnya (Pasal 12 B UU. No.20 Tahun 2001).
11. Delik suap pada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan Jabatan Pasal 13 UU. No.31
Tahun 1999 Jo. UU No.20 tahun 2001.
12. Delik yang berhubungan dengan hukum acara Pemberantasan Korupsi : Mencegah,
merintangi /menggagalkan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan Tipikor (Pasal 21 UU.
No.31 Tahun 1999).
13. Tersangka tidak memberikan keterangan seluruh hartanya, saksi bank, setiap saksi dan
mereka yang wajib menyimpan rahasia jabatan sengaja tidak memberikan keterangan atau
memberikan keterangan yang palsu (Pasal 22 UU. No.31 Tahun 1999).
14. Delik saksi menyebut pelapor tindak pidana korupsi (Pasal 24 Jo. Pasal 31 UU. No.31 Tahun
1999).

Anda mungkin juga menyukai