menyediakan
informasi
yang
berguna
terkait
epidemi
pes
dan
pencegahannya.
Secara khusus kami memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, karena telah mengizinkan kami menyelesaikan penulisan makalah
ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
memberi kami kepercayaan untuk mengerjakan makalah ini. Kepada orangtua
yang telah memberi semangat dan dukungan doa, kami juga mengucapkan terima
kasih.
Dalam penulisan makalah ini, ada beberapa kendala yang harus kami
hadapi, terutama terkait pencarian sumber terpercaya yang dapat digunakan.
Namun, semua itu telah kami lewati sehingga makalah ini dapat tersusun
sebagaimana adanya.
Akhirnya, kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
untuk
menambah
pengetahuan
mengenai
penyakit
pes
dalam
bahasan
epidemiologi, selain juga terpenuhinya tugas mata kuliah yang telah diberikan.
Medan, Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................i
Daftar Isi................................................................................................................ii
Bab I: Pendahuluan
1.1 Latar Belakang, Masalah, dan Tujuan.......................................................3
1.1.1 Latar Belakang...............................................................................3
Bab II: Pembahasan
2.1 Sejarah Pes.................................................................................................5
2.2 Etiologi Pes................................................................................................10
2.3Klasifikasi dan Gejala Klinis Pes...............................................................14
2.4 Patogenesis Pes..........................................................................................16
2.5 Epidemiologi Pes.......................................................................................17
2.6 Mekanisme Penularan Pes.........................................................................20
2.7 Pencegahan dan Pengobatan Pes...............................................................23
2.7.1 Pencegahan Primer...........................................................................23
2.7.2 Pengobatan Pes (Pencegahan Sekunder)..........................................24
2.8 Pengawasan dan Pengendalian Pes...........................................................25
Bab III: Penutup
3.1 Kesimpulan dan Saran.............................................................................26
3.1.1 Kesimpulan....................................................................................26
3.1.2 Saran..............................................................................................27
Daftar Pustaka
28
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Penyakit pes umumnya merupakan sebuah penyakit pada kelompok hewan
rodensia dan kutu-kutunya, yang dapat menginfeksi manusia. Penyakit ini
biasanya ditularkan di antara sesama rodensia melalui kutunya, dan bisa
ditransmisikan ke manusia ketika terinfeksi oleh gigitan kutu tersebut.
Sebagaimana layaknya banyak penyakit zoonotik lainnya, pes memiliki tingkat
keparahan yang tinggi pada manusia, dengan CFR 50-60% jika tidak ditangani.
(WHO, 2000).
Penyakit pes berperan penting pada merebaknya pandemi yang luas
dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Istilah Kematian Hitam atau Black Death
pada abad ke-14 cukup terkenal dalam berbagai literatur. Wabah Black Death
sudah menyebabkan sekitar 50 juta kematian, sekitar setengahnya berasal dari
benua Asia dan Afrika dan setengahnya lagi di Eropa, dimana seperempat dari
populasi di sana meninggal (WHO, 2000).
Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa epidemi penyakit pes di dunia
terjadi pada abad ke-13, khususnya tahun 1347. Kasus ini terjadi di negara Cina
dan India. Sejak epidemi penyakit pes berlangsung saat itu sudah tercatat kasus
13.000.000 orang meninggal. Pada abad yang sama, juga dilaporkan terjadinya
wabah pes di negara Mesir dan Palestina.
Kejadian penyakit pes pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya
pada tahun 1910. Penyakit tersebut dibawa ke Indonesia oleh tikus yang
ditubuhnya ada pinjal dari pelabuhan Rangoon. Tikus - tikus berada di dalam
kapal yang mengangkut beras kebutuhan buruh perkebunan milik Belanda dan
berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Pada tahun 1910 1960 terdapat
245.375 orang meninggal dunia yang disebabkan oleh penyakit Pes, dari total
kasus tersebut 17,6% terjadi di Jawa Timur; 51,5% di Jawa Tengah dan 30,9% di
Jawa Barat. Angka kematian yang tertinggi terjadi pada tahun 1934 yakni 23.275
orang meninggal dunia (Depkes RI, 1998).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Pes
Pes (sampar / pasteurellosis / yersinosis / plague / la peste / black death /
peste / pest / pestilence) adalah penyakit zoonotik infeksius akut yang disebabkan
oleh enterobakteria bervirulensi tinggi Yersinia pestis (dinamai menurut nama
bakteriolog Perancis A.J.E. Yersin) atau Pasteurella pestis. Penyakit ini adalah
penyakit yang sangat fatal dengan gejala bakteriemia, demam yang tinggi, shock,
penurunan tekanan darah, nadi cepat dan tidak teratur, gangguan mental,
kelemahan, kegelisahan dan koma (Yudhastuti, 2011).
Penyakit ini memiliki sejarah yang cukup panjang. Menurut Pusat
Kesehatan Satwa Liar Nasional (NWHC) Amerika Serikat dan WHO, meskipun
agen penyebabnya baru diketahui setelah 1894, jauh di waktu yang lampau,
penyakit ini sudah diceritakan dalam Kitab Suci (Bible). Dalam teks 1 Samuel 4
dan 5 tercatat bahwa pes atau sampar sudah mewabah di daerah orang Filistin
tahun 1320 SM. Wabah tersebut ditandai oleh banyaknya tikus mati dan sejumlah
besar kematian warga yang menderita pembengkakan di sela paha dan daerah
paha itu sendiri (Zietz dan Dunkelberg, 2004).
Dalam buku Biology of Plagues: Evidence from Historical Populations,
Susan Scott dan Christopher Duncan membagi masa historik pes ke dalam 4
periode sebagai berikut: (Scott dan Duncan, 2001)
1. Pes di Athena, 430-427 SM
Epidemi yang menyerang Athena tahun 430 SM masih banyak dibahas
oleh para ahli, namun deskripsi yang gamblang pertama kali diberikan oleh
Thucydides, seorang penderita pes yang berhasil selamat dari wabah (lih. Page,
1953). Sehingga kadang muncul istilah sindrom Thucydides untuk mengenang
Thucydides dan narasinya.
Pes ini diyakini berasal dari Etiopia dan menyebar melalui Mesir dan
Mediterania Timur sebelum mencapai Athena.
Athena, membunuh beberapa tenaga medis saat itu, juga pasien yang datang
berobat. Penyakit ini menurun pada 429 SM dan kembali menyerang lagi pada
musim panas 428 SM. Penyakit ini kemudian berkurang, bahkan sempat
menghilang sejak musim dingin 428 SM sampai musim panas 427 SM, lalu
mewabah kembali di musim gugur dan awal musim dingin 427 SM. Epidemi ini
berlangsung tidak kurang dari setahun, tapi kemudian tidak ada penjelasan
berikutnya mengenai kelanjutannya. Total warga yang meninggal tidak tercatat
namun setelah periode 3 tahun, 4400 dari 13.000 tentara meninggal (rate mortality
33%).
2. Pes Justinian
Procopius, sejarawan Yunani, meyakini bahwa wabah ini (seperti yang
terjadi di Athena) berasal dari dekat Etiopia. Pandemi mulai terjadi di Mesir pada
541 SM dan bergerak ke Asia Kecil, Afrika, dan Eropa, hingga ke Konstantinopel,
ibukota Kekaisaran Bizantium, di akhir musim semi dan musim panas 542 SM.
Wabah ini menyerang Konstantinopel selama 4 bulan dengan korban meningkat
dari 5.000 ke 10.000 per hari dan bahkan lebih tinggi lagi selama tiga bulan.
Kaisar Bizantium saat itu, Justinian, jatuh sakit dan sembuh, namun 300.000
orang dikatakan meninggal di Konstantinopel sendiri pada tahun pertama, meski
Russel (1968) dan Twigg (1984) meyakini jumlah ini terlalu dibesar-besarkan.
Procopius mencatat bahwa orang-orang saat itu sangat ketakutan akan
kemungkinan terserang wabah tanpa peringatan. Hasil penelusuran berikutnya
menunjukkan bahwa pes di masa ini sebenarnya adalah pandemi bubonic plague
(Kohn, 1995). Pes Justinian di abad ke-6 SM ini menyebabkan 100 juta kematian.
3. Periode Terbesar Pes: Black Death dan masa berikutnya
Wabah Kematian Hitam meletus di Sisilia tahun 1347 dan pandemi
kemudian menyebar melalui Eropa selama 3 tahun berikutnya, mencapai
Norwegia (yang mana dua pertiga populasinya meninggal; Carmichael, 1997) dan
Sweden dan melewati Inggris dan ke Irlandia (Biraben, 1975), dan mungkin ke
Islandia dan Greenland (Kohn, 1995). Kedatangannya di Eropa membawa
epidemi yang terus menerus selama 300 tahun berikutnya sebelum menghilang
sekitar tahun 1670. Jumlah kematian yang besar karena Black Death memiliki
dampak yang sangat besar bagi demografi di Eropa, dan populasi di Inggris
sendiri tidak bisa pulih total selama 150 tahun.
Surabaya tadi terdapat tikus-tikus yang telah terinfeksi pinjal. Dapat disimpulkan
pula bahwa penyakit pes yang masuk ke pulau Jawa berawal dari wilayah di Jawa
Timur di Distrik Turen tepatnya yaitu di daerah Dampit, dan mulai menyebar ke
beberapa daerah yang terdapat gudang penyimpanan beras. Beberapa daerah di
Malang tepatnya di Distrik Turen banyak ditemui beberapa daerah yang memiliki
gudang penyimpanan beras, seperti di Dampit, Singosari, Blimbing, Kepanjen,
Batu, dan Gondang Legi.
Setelah beberapa waktu kemudian banyak korban berjatuhan akibat sakit
yang belum diketahui dengan pasti apa penyebabnya. Kasus pertama terjadi pada
bulan November 1910 ditemukan sebanyak 17 orang meninggal dunia dan
kemudian korban yang berjatuhan semakin banyak. Pada waktu itu kecurigaan
terhadap tikus-tikus belum ada, karena tidak ditemukan tikus yang mati dalam
jumlah yang besar di dalam gudang penyimpanan beras. Barulah pada saat banyak
pemberitaan mengenai wabah penyakit pes di luar Hindia Belanda pada waktu itu
dan sekitar bulan Maret 1911 pemerintah kolonial mulai melakukan tindakan
preventif untuk melindungi Hindia Belanda dari epidemi penyakit pes tersebut.
Kebijakan ini dilakukan dengan mengubah peraturan tentang pes, yaitu dengan
mempertegas pestordonantie. Salah satu tindakan tegas dari kebijakan
pestordonantie adalah dengan lebih memperketat pengawasan terhadap kapalkapal dagang dan penumpang yang keluar maupun yang masuk di wilayah Hindia
Belanda. Jika terdapat kapal-kapal yang telah terjangkit penyakit pes akan masuk
ke wilayah Hindia Belanda, maka kapal-kapal tersebut tidak diizinkan sama sekali
untuk mendekati daratan Hindia Belanda. Kapal tersebut harus bertahan di lautan
selama tujuh hingga sepuluh hari. Kapal baru akan diizinkan berlabuh di daratan
Hindia Belanda setelah dokter yang memeriksa memastikan bahwa orang-orang
yang ada di kapal dinyatakan telah sehat dan tidak terdapat tikus yang terinfeksi
penyakit pes.
Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial kepada Hindia
Belanda ternyata tidak dapat sepenuhnya berjalan sesuai dengan rencana, karena
mengingat kondisi ekonomi Hindia Belanda yang pada masa itu sedang dilanda
krisis pangan menyebabkan kebijakan tersebut terpaksa tidak dilanjutkan. Jika
harus menahan kapal dari luar sampai tujuh hingga sepuluh hari di lautan akan
10
negatif. Yersin lah yang kemudian diakui sebagai penemu bakteri yang awalnya
dinamai Bacterium pestis itu. Y.pestis sendiri adalah bakteri yang tidak tahan
asam, tidak motil, tidak membentuk spora, berbentuk kokobasil bipolar berukuran
0.50.8 x 1.52.0 m. Bakteri ini menduduki Genus XI dari famili
Enterobacteriaceae. Awalnya bakteri ini diklasifikasikan ke dalam famili
Pasteurellaceae, namun berdasarkan kemiripannya dengan E.coli yang ditentukan
dengan studi informasi herediter pada DNA, bakteri ini kemudian masuk ke dalam
famili Enterobacteriaceae. Meskipun genus Yersinia memiliki 11 spesies, hanya 3
yang patogen pada manusia: Y.pestis, Y.pseudotuberculosis, dan Y.enterocolitica.
Tidak seperti spesies lainnya yang ditularkan ketika termakan makanan atau
minuman yang terkontaminasi feses (oral-fecal), Y.pestis telah mengembangkan
kemampuan transmisi melalui artropoda, dan juga kemampuan infeksi pada darah
dan jaringan limfoid. Berikut adalah tabel taksonomi bakteri ini.
Kingdom
Phylum
Class
Order
Family
Genus
Species
Eubacteria
Proteobacteria
Gammaproteobacteria
Enterobacteriales
Enterobacteriaceae
Yersinia
pestis,
enterocolitica,
pseudotuberculosis,
frederiksenii, kristensenii,
ruckeri,
bercovieri,
mollaretii,
rohdei,
aldovae, intermedia
Bakteri ini tumbuh optimal pada suhu 28 derajat Celcius, memproduksi
koloni kecil setelah 48 jam pada agar darah atau agar MacConkey. Secara
biokimia, bakteri pes ini tidak memproduksi hemolysin, bersifat positif untuk
katalase, dan negatif untuk hydrogen sulfide, oxidase, urease, dan fermentasi
laktosa, sukrosa, rhamnosa, and melibiosa. Bakteri ini tumbuh sebagai anaerob
fakultatif pada banyak perbenihan bakteriologi. Semua Pasteurella pestis
memiliki lipopolisakarida dengan aktivitas endotoksik bila dilepaskan. Organisme
ini menghasilkan banyak antigen dan toksin yang bertindak sebagai faktor
virulensi.
11
Reservoar utama dari penyakit pes adalah hewan rodensia, misalnya tikus,
kelinci, bahkan dalam kasus tertentu melibatkan kucing sebagai sumber penularan
ke manusia. Bakteri ditularkan dari tikus ke manusia melalui gigitan pinjal yang
merupakan vektor dari penyakit ini. Jenis pinjal yang dikenal sebagai vektor pes
antara lain Xenopsylla cheopis, Pulex irritans, Neopsylla sundaica, Stivallus
cognatus (Yudhastuti, 2011).
Menurut tempat hidupnya tikus dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu tikus
rumah (Rattus diardi, Mus musculus, Suncus murinus), tikus ladang (Rattus
exulans), tikus kebun (Rattus timanicus), tikus sawah (Rattus argentiventer), dan
12
Tikus-tikus ini
semua metode ini, metode paling efektif yaitu tes immunofluorescence langsung.
Tes ini dapat diketahui dalam waktu 2 jam (Kenneth L.Gage, 2010:143).
Berbeda dengan identifikasi Yersinia pestis pada tikus, identifikasi
Yersinia pestis pada pinjal memerlukan waktu yang lama. Identifikasi Yersinia
pestis pada pinjal dilakukan dengan menanam hasil gerusan pinjal pada hewan
percobaan selama 25 hari. Apabila selama 25 hari tikus mati, maka perlu
dilakukan pemeriksaan lanjut. Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil darah
13
pada tikus dan kemudian dideteksi dengan teknik imunologi dan PCR (Kenneth
L.Gage, 2010:156).
Untuk penjelasan lebih lanjut, berikut diberikan tabel klasifikasi reservoar
dan vektor pes.
Reservoar
Dunia : Animalia
Vektor
Filum : Chordata
Kingdom :Animalia
Phylum : Arthropoda
Kelas : Mammalia
Class : Insecta
Subklas : Theria
Order : Siphonaptera
Ordo : Rodentia
Family : Pulicoidea
Genus : Xenopsylla
Famili : Muridae
Species : Cheopis
(Departemen
Parasitologi FKUI
2008:249).
(Swastiko Priyambodo,
2003:5)
2.3. Klasifikasi dan Gejala Klinis Pes
14
bubonik dan septikemik primer akan berlanjut menjadi tipe pneumonik sekunder,
dan tipe pneumonik sekunder akan berlanjut menjadi tipe pneumonik primer.
2.4. Patogenesis Pes
Hanya dibutuhkan sedikit saja Y.pestis untuk dapat menginfeksi hewan
rodensia dan primata via jalur oral, intradermal, subkutan, dan intravena.
Perkiraan infektivitas jika melalui jalur pernapasan pada primata yang bukan
manusia beragam mulai dari 100 sampai 20.000 Y.pestis.
Setelah dibawa kepada host mamalia oleh gigitan pinjal, pada temperatur
ambien, seharusnya bakteri pes ini dapat difagositosis dan dibunuh oleh neutrofil.
Namun demikian, beberapa bakteri dapat tumbuh dan berkembangbiak dalam
jaringan makrofag. Sedangkan dalam host berupa manusia, lingkungan tubuh
manusia (misalnya suhu tubuh, kontak dengan sel eukariotik, dan lain-lain) yang
merupakan hal baru bagi bakteri akan membuat bakteri itu mengembangkan
mekanisme pertahanan untuk menjaga dia tetap virulen, berupa serangkaian
proses biokimia. Bakteri pada tahap ini nantinya akan resisten terhadap fagositosis
dan dapat berkembangbiak di luar sel tanpa terganggu.
Selama fase inkubasi, bakteri ini umumnya menyebar ke wilayah nodul
limpa, dimana akan mudah terjadi pernanahan karena radang pada limpa, yang
berlanjut kepada ciri-ciri bubo. Infeksi akan berkembang terus jika tidak segera
ditolong; septikemia akan muncul dan infeksi akan menyebar ke organ lainnya.
Endotoksin bakteri mungkin berperan dalam terjadinya syok septik, juga dalam
mengembangkan resistensi bakteri terhadap aktivitas bakterisidal dari serum.
Nekrosis dan sianosis yang luas, yang terlihat dalam beberapa kasus septikemik
mungkin terkait dengan aktivitas koagulase aktivator plasminogen, yang terjadi
pada suhu di bawah 37 derajat Celsius.
Jaringan yang umumnya diserang termasuk limpa, hati, paru, kulit, dan
membran mukosa. Infeksi berikutnya pada selaput otak juga terjadi, khususnya
jika terapi antibiotik yang belum optimal diberikan.
Pes pneumonik primer, tahap paling parah dari penyakit ini, meningkat
jika terhirup udara yang tercemar bakteri ini. Tahap ini jauh lebih fatal daripada
16
pneumonik sekunder, karena droplet yang terhirup sudah berisi bakteri yang
resisten terhadap fagositosis.
Pes septikemik primer bisa terjadi dari suntikan langsung basil pes ke
dalam aliran darah, yang berlanjut pada multiplikasi bakteri pada nodul limpa.
2.5. Epidemiologi Pes
Sepanjang sejarah, pinjal Xenopsylla cheopis bertanggungjawab dalam
penyebaran pes bubonik. Setelah pinjal mencerna darah pada hewan yang
terinfeksi bakteri, basili pes dapat bermultiplikasi dan bahkan membentuk agregat
dalam usus depan pinjal. Ketika pinjal yang ususnya dipenuhi agregat ini
mencoba untuk mengisap darah lagi, maka darah dari usus beserta bakteri akan
keluar dan bergerak menuju ke aliran darah korban berikutnya. Pinjal akan
mengering bila berada pada suhu dan cuaca yang panas dan jauh dari host, namun
tumbuh subur pada kelembapan di atas 65% dan suhu antara 20-26 derajat Celcius
serta dapat bertahan tanpa makan selama 6 bulan.
Kejadian penyakit pes pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya
pada tahun 1910, kemudian di tahun 1916 ditemukan di Pelabuhan Tanjung Mas
Semarang. Selanjutnya penyakit pes menyebar melalui pelabuhan pelabuhan di
Cirebon pada tahun 1923 dan pelabuhan di Tegal pada tahun 1927. Sejak tahun
1910 pes pertama kali masuk ke Indonesia hingga tahun 1960 sudah tercatat
korban meninggal akibat penyakit pes sebanyak 245.375 orang. Distribusi
penyebaran 245.375 orang kasus pes yang meninggal di Jawa Barat 30,9%, di
Jawa Tengah 51,5%, dan di Jawa Timur 17,6% (Dinkes Boyolali, 2014a).
Indonesia khususnya di Pulau Jawa terdapat tiga daerah fokus pes yang masih
aktif, yaitu di Kecamatan Selo dan Cepogo Kabupaten Boyolali Jawa Tengah, di
Kecamatan Tosari dan Nongkojajar Kabupaten Pasuruan Jawa Timur, dan di
Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (Dinkes
Boyolali, 2014a).
Kabupaten Boyolali pertama kali ditemukannya kasus pes pada tahun
1986. Kasus ini terjadi di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Selo dan Cepogo.
Jumlah penderita yang ditemukan pada saat itu sebanyak 101 orang, 42 orang di
antaranya meninggal dunia. Case Fatality Rate (CFR) pada tahun tersebut,
17
CFR=43%. Kemudian pada tahun 1970 ditemukan kembali kasus pes di Boyolali
dengan penderita sebanyak 11 orang, dan tiga diantaranya meninggal dunia.
Sehingga angka CFR yang didapatkan yaitu, CFR=27,3%. Adanya kasus
meninggal dunia karena penyakit pes tersebut, sehingga pada tahun 1986 sampai
sekarang Kabupaten Boyolali ditetapkan sebagai daerah endemis pes (Dinkes
Boyolali, 2014a). Data surveilan pes penangkapan tikus yang dilakukan oleh
Dinkes Boyolali di tahun 2010-2013, lebih dari 1500 tikus yang tertangkap dan
ditemukan 15 pinjal yang positif mengandung bakteri Yersinia pestis penyebab
penyakit pes.
1. Distribusi Berdasarkan Orang
Orang yang biasanya terkena oleh penyakit pes adalah:
-
Para biolog yang sedang mengadakan penelitian di hutan. Para biolog yang
sedang meneliti tikus memiliki luka dan luka tersebut terkena darah atau organ
tikus yang mengandung penyakit pes.
Orang yang berada dirumah. Penularan penyakit pes pada orang rumah
ditularkan melalui pinjal yang menggigit manusia yang ada di rumah
Resiko terkena penyakit biasanya meningkat seiring dengan bertambahnya
Di hutan dimana terdapat banyak tikus yang terinfeksi bakteri Yersinia pestis
Di daerah pelabuhan
18
Gbr 6. Global distribution and natural foci of plague. Natural foci of plague have become
established in local rodent and flea populations on all inhabited continents except Australia.
Sylvatic plague can act as a source of infection for humans. Since 1954, plague in humans has
been reported from more than 35 countries.
(From http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/plague/resources/plagueFactSheet.pdf)
19
Gbr 7. Areas in the United States where plague is found in animals, fleas, and humans. In the
United States, most counties with plague-positive animal or flea samples (19702009; shaded
areas) are located west of the 100th meridian, where the infection is enzootic. Cases of plague in
humans (19702007; dots) are most prevalent in the southwest and Pacific regions.
(Map based on information from Ken Gage, CDC)
Gbr 8. Human cases of plague, by region, 19542010. In the 1970s, most human cases of plague
were reported from countries in Asia, particularly Vietnam. More recently, most cases are in
African countries, especially Madagascar. War and political turmoil in Asian and African countries
disrupted sanitation and medical services, contributing to the increased risk of transmission of Y.
pestis from rodents to humans.
(Data from World Health Organization, 2010; World Health Organization, 2000; World Health
Organization, www.who.ing/whosis/whostat/2011/en/index.html)
20
menghisap darah kurang lebih 0,5 mm3, dan di dalamnya mampu mengandung
5.000 bakteri pes dari tikus yang terinfeksi. Di masa epidemi atau musim kering,
persentase pinjal infektif lebih tinggi. Interval antara saat menghisap darah dengan
masa infektif terjadi setelah 21 hari (5-31 hari) untuk Xenopsylla cheopis dan ratarata masa infektif berlangsung selama 17 hari atau maksimal sampai 44 hari
(Kemenkes,2012).
Penularan penyakit pes dapat terjadi dengan berbagai cara seperti :
a. Penularan pes dari tikus hutan ke tikus domestik melalui gigitan pinjal. Pinjal
infektif kemudian menggigit manusia.
b. Terjadinya kontak rodent dan pinjalnya dengan sumber pes didaerah sylvatic
yang dapat menimbulkan enzootik dan endemik pada manusia
c. Penularan pes secara eksidental dapat terjadi pada orang-orang yang bila
digigit oleh pinjal tikus hutan yang infektif. Ini dapat terjadi pada pekerjapekerja dihutan atau pada orang yang mengadakan rekreasi/camping dihutan
termasuk seorang biolog yang sedang mengadakan penelitian dihutan dimana
lukanya terkena darah atau organ tikus yang terinfeksi.
d. Penularan dari orang ke orang dapat pula terjadi melalui gigitan pinjal manusia
Pulex irritans (human flea)
e. Penularan dapat terjadi pada hewan peliharaan seperti anjing dan kucing
khususnya pada masa epizootic. Dimana risiko terjadinya penularan saat pinjal
yang berasal dari hewan mati berpindah pada hewan peliharaan. Biasanya
kucing akan sakit karena pes dan dapat menularkan secara langsung pada
manusia melalui percikan air liur (droplet) keudaran saat kucing tersebut batuk.
f. Penularan Pes dari orang yang menderita pes paru-paru (pneumonie plaque)
kepada orang lain melalui percikan ludah atau pernapasan.
g. Penularan melalui kontak langsung dengan nanah penderita bubo.
21
22
23
4. Menyimpan bahan makanan dan makanan pada tempat yang tidak terbuka
5. Melaporkan kepada petugas puskesmas apabila ada tikus mati karna sebab yang
tidak jelas (rat fall)
6. Tinggi tempat tidur lebih 20 cm dari tanah
7. Manusia penderita pes harus diisolasi dan segera diberikan pengobatan
8. Orang yang diduga pernah kontak dengan penderita segera dikarantina dan
diawasi
9. Orang yang pernah kontak dengan penderita pes harus diberi terapi pencegahan
dengan tetrasiklin atau sulfonamid
10. Binatang pengerat yang menjadi sumber penularan diberantas dengan rodentisida
sedangkan pinjal diberantas dengan menggunakan insektisida.
2.7.2. Pengobatan Pes (Pencegahan Sekunder)
Imunogenisiti
Penyakit pes merupakan penyakit yang sangat serius. Penyakit pes dapat
menyerang semua golongan umur tetapi pada umumnya dapat diobati dengan
antibiotik. Semakin cepat pasien diobati maka semakin besar kesempatan untuk
dapat sembuh dengan sempurna.
Diagnostic Test
Pada dasarnya diagnosis tetap berdasarkan pada dua hal: adanya tanda dan
gejala; serta hasil pemeriksaan laboratorium. Diagnosis presumtif dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi karakteristik organisme dalam sputum, usapan
bronkial/trakeal, darah, bubo, cairan serebrospinal atau sample jaringan
postmortem; bakteri pes adalah bakteri Gram negatif, kokobasilus intraseluler
fakultatif, atau basilus dengan pewarnaaan bipolar. Dapat digunakan bantuan
immunofluorescen untuk sampel klinis.
Pes dapat juga didiagnosis dengan mengisolasi Y. pestis. Bakteri ini
biasanya ada di darah selama fase septikemik.
Test serologi juga kadang-kadang dapat membantu. Tes ini mencakup
enzyme-linked
immunosorbent
assays
(ELISAs),
hemaglutinasi
24
pasif,
dinyatakan diagnosa pes adalah penderita pes paru harus diisolasi dan
dirawat di rumah sakit.
3. Pengawasan pada kegiatan surveilans terhadap rodent dan pinjal, manusia
dan hewan lain didaerah fokus pes,terancam pes dan bekas daerah fokus.
Yang dimaksud dengan daerah fokus per merupakan daerah yang diamati
sepanjang tahun yaitu sebulan sekali selama lima hari berturut-turut dan
daerah terancam merupakan daerah yang diamati secara periodik yakni
empat kali dalam satu tahun dengan kurun waktu tiga bulan sekali selama
lima hari berturut-turut sedangkan daerah bekas fokus merupakan daerah
yang diamati selama satu tahun sekali atau dua tahun sekali selama lima
hari berturut-turut (Sub Direktorat Zoonosis, 2008:8).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pes (sampar / pasteurellosis / yersinosis / plague / la peste / black death / peste /
pest / pestilence) adalah penyakit zoonotik infeksius akut yang disebabkan oleh
25
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Internet
Centers
for
Disease
Control
and
Prevention
(CDC)
Plague
http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/plague/index.htm
Medical Microbiology
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK7627/
The Merck Veterinary Manual
http://www.merckvetmanual.com/mvm/index.jsp
United States Geological Survey. National Wildlife Health Center. Sylvatic Plague
27
http://www.nwhc.usgs.gov/disease_information/sylvatic_plague/index.jsp
University of Alberta. Some Potential Microbiological Hazards for Field Workers
http://www.biology.ualberta.ca/facilities/safety/?Page=700
World Health Organization (WHO). Plague
http://www.who.int/csr/disease/plague/en/
Literatur
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2006. Plague [Website]. CDC.
Collins FM. 1996 Pasteurella, Yersinia, and Francisella. In: Baron S., editor.
Medical microbiology. 4th ed. New York: Churchill Livingstone.
Drancourt M, Houhamdi L, Raoult D. 2006. Yersinia pestis as a telluric, human
ectoparasite-borne organism. Lancet Infect Dis.
Edmunds DR, Williams ES, O'Toole D, Mills KW, Boerger-Fields AM, Jaeger
PT, Bildfell RJ, Dearing P, Cornish TE. 2008. Ocular plague (Yersinia
pestis) in mule deer (Odocoileus hemionus) from Wyoming and Oregon. J
Wildl Dis.
Eisen RJ, Gage KL. 2009. Adaptive strategies of Yersinia pestis to persist during
inter-epizootic and epizootic periods. Vet Res.
Eisen RJ, Petersen JM, Higgins CL, Wong D, Levy CE, Mead PS, Schriefer ME,
Griffith KS, Gage KL, Beard CB. 2008. Persistence of Yersinia pestis in
soil under natural conditions. Emerg Infect Dis.
Lilienfeld, A.M. 1976. Foundations of epidemiology. Oxford University Press:
New York.
Plague in Vietnam. Lancet. 1968;13 Apr:799800.
28
2.
3.
4.
5.
131000649
Bagaimana keadaan tikus yang terjangkit pes dan berapa lama tikus tersebut
dapat bertahan hidup?
131000265
Apakah penderita pes harus mengalami kedua fase pes baru kemudian
meninggal? Bila tidak, mengapa?
131000556
Bagaimana program pemerintah terkait pemberantasan pes?
131000712
Kapan penyakit pes terjadi berulang?
131000567
Bagaimana keterkaitan antara ketiga fase/tipe penyakit pes tersebut?
29