Anda di halaman 1dari 29

KATA PENGANTAR

Penyakit pes menempati posisi yang penting dalam sederetan penyakit


yang cukup mematikan di masa lampau. Banyak catatan sejarah menunjukkan
betapa mengerikannya gambaran yang dihadirkan oleh penyakit ini di masyarakat
kala itu. Bahkan sampai sekarang, kita mengenal penyakit ini sebagai bagian dari
serangkaian masalah kesehatan yang perlu terus dipantau perkembangannya.
Demikianlah penyakit ini masih menjadi bagian dari topik-topik yang
diperbincangkan dalam ranah epidemiologi penyakit zoonosis.
Tujuan dari penulisan makalah ini terutama adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Epidemiologi Zoonosis yang telah diberikan. Selain itu, makalah ini
juga

menyediakan

informasi

yang

berguna

terkait

epidemi

pes

dan

pencegahannya.
Secara khusus kami memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, karena telah mengizinkan kami menyelesaikan penulisan makalah
ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
memberi kami kepercayaan untuk mengerjakan makalah ini. Kepada orangtua
yang telah memberi semangat dan dukungan doa, kami juga mengucapkan terima
kasih.
Dalam penulisan makalah ini, ada beberapa kendala yang harus kami
hadapi, terutama terkait pencarian sumber terpercaya yang dapat digunakan.
Namun, semua itu telah kami lewati sehingga makalah ini dapat tersusun
sebagaimana adanya.
Akhirnya, kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
untuk

menambah

pengetahuan

mengenai

penyakit

pes

dalam

bahasan

epidemiologi, selain juga terpenuhinya tugas mata kuliah yang telah diberikan.
Medan, Oktober 2015

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................i
Daftar Isi................................................................................................................ii
Bab I: Pendahuluan
1.1 Latar Belakang, Masalah, dan Tujuan.......................................................3
1.1.1 Latar Belakang...............................................................................3
Bab II: Pembahasan
2.1 Sejarah Pes.................................................................................................5
2.2 Etiologi Pes................................................................................................10
2.3Klasifikasi dan Gejala Klinis Pes...............................................................14
2.4 Patogenesis Pes..........................................................................................16
2.5 Epidemiologi Pes.......................................................................................17
2.6 Mekanisme Penularan Pes.........................................................................20
2.7 Pencegahan dan Pengobatan Pes...............................................................23
2.7.1 Pencegahan Primer...........................................................................23
2.7.2 Pengobatan Pes (Pencegahan Sekunder)..........................................24
2.8 Pengawasan dan Pengendalian Pes...........................................................25
Bab III: Penutup
3.1 Kesimpulan dan Saran.............................................................................26
3.1.1 Kesimpulan....................................................................................26
3.1.2 Saran..............................................................................................27
Daftar Pustaka
28

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Penyakit pes umumnya merupakan sebuah penyakit pada kelompok hewan
rodensia dan kutu-kutunya, yang dapat menginfeksi manusia. Penyakit ini
biasanya ditularkan di antara sesama rodensia melalui kutunya, dan bisa
ditransmisikan ke manusia ketika terinfeksi oleh gigitan kutu tersebut.
Sebagaimana layaknya banyak penyakit zoonotik lainnya, pes memiliki tingkat
keparahan yang tinggi pada manusia, dengan CFR 50-60% jika tidak ditangani.
(WHO, 2000).
Penyakit pes berperan penting pada merebaknya pandemi yang luas
dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Istilah Kematian Hitam atau Black Death
pada abad ke-14 cukup terkenal dalam berbagai literatur. Wabah Black Death
sudah menyebabkan sekitar 50 juta kematian, sekitar setengahnya berasal dari
benua Asia dan Afrika dan setengahnya lagi di Eropa, dimana seperempat dari
populasi di sana meninggal (WHO, 2000).
Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa epidemi penyakit pes di dunia
terjadi pada abad ke-13, khususnya tahun 1347. Kasus ini terjadi di negara Cina
dan India. Sejak epidemi penyakit pes berlangsung saat itu sudah tercatat kasus
13.000.000 orang meninggal. Pada abad yang sama, juga dilaporkan terjadinya
wabah pes di negara Mesir dan Palestina.
Kejadian penyakit pes pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya
pada tahun 1910. Penyakit tersebut dibawa ke Indonesia oleh tikus yang
ditubuhnya ada pinjal dari pelabuhan Rangoon. Tikus - tikus berada di dalam
kapal yang mengangkut beras kebutuhan buruh perkebunan milik Belanda dan
berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Pada tahun 1910 1960 terdapat
245.375 orang meninggal dunia yang disebabkan oleh penyakit Pes, dari total
kasus tersebut 17,6% terjadi di Jawa Timur; 51,5% di Jawa Tengah dan 30,9% di
Jawa Barat. Angka kematian yang tertinggi terjadi pada tahun 1934 yakni 23.275
orang meninggal dunia (Depkes RI, 1998).

Kemudian di tahun 1916, pes ditemukan di Pelabuhan Tanjung Mas


Semarang. Selanjutnya penyakit pes menyebar melalui pelabuhan-pelabuhan di
Cirebon pada tahun 1923 dan pelabuhan di Tegal pada tahun 1927.
Menurut Raharjo, 2012, yang mengutip BTKL Yogyakarta, penyakit ini
merupakan penyakit yang terdaftar dalam Karantina Internasional, termasuk
dalam UU No.4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan termaktub di
dalam peraturan Menkes RI No.560/Menkes/Per/VIII/1989 tentang Penyakit Yang
Menimbulkan Wabah, yang diatur dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal PP&PL
No.4511/PD.03.04/IF/1999.
Penyakit ini juga masih merupakan masalah kesehatan yang dapat
menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah, sehingga penyakit pes di
Indonesia termasuk penyakit yang dicantumkan dalam Undang-undang Karantina
dan Epidemi (Undang-undang RI. No. 2 Tahun 1962) karena dapat menimbulkan
wabah yang berbahaya (Depkes RI, 1998). Sampai saat ini di Indonesia,
khususnya di Pulau Jawa, masih terdapat 3 daerah yang masih aktif pes, yaitu di
Kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah; di Kecamatan Tosari dan
Nongkojajar, Pasuruan, Jawa Timur dan di Kecamatan Cangkringan, Sleman. Dari
kenyataan yang ada tersebut, penulis akan mengkaji penyakit zoonotik ini lebih
jauh lagi.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Pes
Pes (sampar / pasteurellosis / yersinosis / plague / la peste / black death /
peste / pest / pestilence) adalah penyakit zoonotik infeksius akut yang disebabkan
oleh enterobakteria bervirulensi tinggi Yersinia pestis (dinamai menurut nama
bakteriolog Perancis A.J.E. Yersin) atau Pasteurella pestis. Penyakit ini adalah
penyakit yang sangat fatal dengan gejala bakteriemia, demam yang tinggi, shock,
penurunan tekanan darah, nadi cepat dan tidak teratur, gangguan mental,
kelemahan, kegelisahan dan koma (Yudhastuti, 2011).
Penyakit ini memiliki sejarah yang cukup panjang. Menurut Pusat
Kesehatan Satwa Liar Nasional (NWHC) Amerika Serikat dan WHO, meskipun
agen penyebabnya baru diketahui setelah 1894, jauh di waktu yang lampau,
penyakit ini sudah diceritakan dalam Kitab Suci (Bible). Dalam teks 1 Samuel 4
dan 5 tercatat bahwa pes atau sampar sudah mewabah di daerah orang Filistin
tahun 1320 SM. Wabah tersebut ditandai oleh banyaknya tikus mati dan sejumlah
besar kematian warga yang menderita pembengkakan di sela paha dan daerah
paha itu sendiri (Zietz dan Dunkelberg, 2004).
Dalam buku Biology of Plagues: Evidence from Historical Populations,
Susan Scott dan Christopher Duncan membagi masa historik pes ke dalam 4
periode sebagai berikut: (Scott dan Duncan, 2001)
1. Pes di Athena, 430-427 SM
Epidemi yang menyerang Athena tahun 430 SM masih banyak dibahas
oleh para ahli, namun deskripsi yang gamblang pertama kali diberikan oleh
Thucydides, seorang penderita pes yang berhasil selamat dari wabah (lih. Page,
1953). Sehingga kadang muncul istilah sindrom Thucydides untuk mengenang
Thucydides dan narasinya.
Pes ini diyakini berasal dari Etiopia dan menyebar melalui Mesir dan
Mediterania Timur sebelum mencapai Athena.

Wabah melanda ke seluruh

Athena, membunuh beberapa tenaga medis saat itu, juga pasien yang datang
berobat. Penyakit ini menurun pada 429 SM dan kembali menyerang lagi pada

musim panas 428 SM. Penyakit ini kemudian berkurang, bahkan sempat
menghilang sejak musim dingin 428 SM sampai musim panas 427 SM, lalu
mewabah kembali di musim gugur dan awal musim dingin 427 SM. Epidemi ini
berlangsung tidak kurang dari setahun, tapi kemudian tidak ada penjelasan
berikutnya mengenai kelanjutannya. Total warga yang meninggal tidak tercatat
namun setelah periode 3 tahun, 4400 dari 13.000 tentara meninggal (rate mortality
33%).
2. Pes Justinian
Procopius, sejarawan Yunani, meyakini bahwa wabah ini (seperti yang
terjadi di Athena) berasal dari dekat Etiopia. Pandemi mulai terjadi di Mesir pada
541 SM dan bergerak ke Asia Kecil, Afrika, dan Eropa, hingga ke Konstantinopel,
ibukota Kekaisaran Bizantium, di akhir musim semi dan musim panas 542 SM.
Wabah ini menyerang Konstantinopel selama 4 bulan dengan korban meningkat
dari 5.000 ke 10.000 per hari dan bahkan lebih tinggi lagi selama tiga bulan.
Kaisar Bizantium saat itu, Justinian, jatuh sakit dan sembuh, namun 300.000
orang dikatakan meninggal di Konstantinopel sendiri pada tahun pertama, meski
Russel (1968) dan Twigg (1984) meyakini jumlah ini terlalu dibesar-besarkan.
Procopius mencatat bahwa orang-orang saat itu sangat ketakutan akan
kemungkinan terserang wabah tanpa peringatan. Hasil penelusuran berikutnya
menunjukkan bahwa pes di masa ini sebenarnya adalah pandemi bubonic plague
(Kohn, 1995). Pes Justinian di abad ke-6 SM ini menyebabkan 100 juta kematian.
3. Periode Terbesar Pes: Black Death dan masa berikutnya
Wabah Kematian Hitam meletus di Sisilia tahun 1347 dan pandemi
kemudian menyebar melalui Eropa selama 3 tahun berikutnya, mencapai
Norwegia (yang mana dua pertiga populasinya meninggal; Carmichael, 1997) dan
Sweden dan melewati Inggris dan ke Irlandia (Biraben, 1975), dan mungkin ke
Islandia dan Greenland (Kohn, 1995). Kedatangannya di Eropa membawa
epidemi yang terus menerus selama 300 tahun berikutnya sebelum menghilang
sekitar tahun 1670. Jumlah kematian yang besar karena Black Death memiliki
dampak yang sangat besar bagi demografi di Eropa, dan populasi di Inggris
sendiri tidak bisa pulih total selama 150 tahun.

Selama pertengahan kedua abad ke-14, epidemi di Inggris dan benua


Eropa menjadi kurang virulen namun infeksi kemudian mencapai keganasannya
secara bertahap, dan mencapai puncak sekitar tahun 1630 di Perancis dan 1665-66
di Inggris. Pandemi besar ini secara perlahan lenyap di Eropa tahun 1720. Banyak
alasan dikemukakan, beberapa di antaranya sebagai berikut: (Thomas W.
McGovern, M.D., FAAD dan Arthur M. Friedlander, M.D)
Pinjal tikus yang sesungguhnya, Xenopsylla cheopis, vektor utama dari
basilus pes, tidak ada lagi ketika tiba iklim dingin di Eropa.
Tikus hitam, Rattus rattus, digantikan oleh tikus coklat, Rattus
norvegicus, yang kurang dapat hidup dekat dengan manusia.
Spesies baru dan kurang virulen dari Y. pestis, atau spesies spesies
Yersinia terkait, telah berkembang, menyebabkan kekebalan alami pada
tikus yang terinfeksi dan juga manusia.
Populasi di Eropa umumnya mengalami defisiensi zat besi, dan zat besi
merupakan faktor yang esensial bagi virulensi bakteri.
Kerapatan pinjal pada manusia menurun seiring dengan penggunaan
sabun yang makin tersebar.
4. Bubonic Plague di abad ke 20
Sejak dimulai di Cina di tahun 1894, wabah pes menyebar ke seluruh
dunia dan menyebabkan kira-kira 12 juta kematian tahun 1930. Tahun 1894 juga
adalah masa ketika Alexandre J.E. Yersin menemukan bahwa Y.pestis memenuhi
postulat Koch untuk pes bubonik. Reservoir pes pada pinjal marmut Siberia
agaknya bertanggungjawab dalam epidemi pes pneumonik Manchurian tahun
1910-1911 yang menyebabkan 50.000 kematian. Pandemi modern mencapai
Bombay tahun 1898, dan selama 50 tahun berikutnya, lebih dari 13 juta warga
India meninggal karena pes.
Penyakit ini secara resmi memasuki AS pada Maret 1900, ketika mayat
dari pekerja Cina ditemukan di basement hotel di San Fransisco, California.
Penyakit itu kemudian muncul di New York dan Washington di tahun yang sama.
New Orleans, Lusiana, diserang wabah ini tahun 1924 dan 1926. Wabah baru
dapat dikendalikan setelah ada perbaikan standar hygiene dan kontrol tikus yang
baik.

Selama tahun 2001-2006 wabah pes muncul kembali setiap tahun di


beberapa negara seperti Zambia, India, Vietnam, Algeria, Kongo dengan jumlah
kasus 2793 dan kematian 233 orang (CFR = 8,34 %). Penyakit ini masih endemis
di beberapa negara Afrika seperti Congo, Madagaskar, Malawi, Mozambique,
Namibia, Tanzania, Uganda, Zambia, Zimbabwe, dan negara-negara Amerika
Latin antara lain Bolivia, Brazil, Ekuador, Peru, dan di Asia seperti Vietnam dan
India (WHO, 2007).
Di Indonesia sendiri, pes pertama kali menyerang pulau Jawa. Memasuki
awal abad ke-20 pemberitaan mengenai penyakit pes di Hindia Belanda hampir
tidak pernah ada. Pada tahun 1905 diberitakan bahwa di Pantai Timur Sumatra
(Sumatra Oostkust) terjadi beberapa kasus pes, tetapi tidak cukup lama kemudian
menghilang begitu saja. Tidak ada tanda-tanda bahwa penyakit tersebut akan
datang kembali. Pada tahun itu juga penyakit pes tidak sampai mewabah ke Pulau
Jawa.
Pada tahun 1910-1911 pada saat pemerintah Hindia Belanda mengimpor
beras dari Rangoon, ternyata di dalam beras-beras tersebut sudah ada tikus yang
terinfeksi oleh pinjal. Mengimpor beras merupakan salah satu kebijakan dari
pemerintah Hindia Belanda untuk menyelamatkan penduduk dari krisis pangan
yang terjadi di wilayah Jawa Timur dan sekitarnya. Khususnya di wilayah Residen
Surabaya yang pada saat itu mengalami gagal panen karena serangan hama
mentek, telah merusak tanaman pangan di wilayah tersebut.
Proses pengiriman beras dari Rangoon ke wilayah Jawa Timur dikirim
lewat laut melalui pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Tepat pada tanggal 3
November 1910 kiriman beras tiba di pelabuhan Tanjung Perak, kemudian berasberas itu disalurkan ke daerah-daerah yang mengalami krisis kekurangan pangan
menggunakan jasa kereta api yang berpusat dari Surabaya. Pada akhir tahun 1910
tepatnya di bulan November beras yang mulai disalurkan melalui jasa kereta api
ternyata mengalami masalah, jalur kereta api antara jurusan Malang dan Wlingi
terputus akibat bencana banjir. Pada saat itulah kereta yang harusnya mengirim
beras dari Surabaya ke Wlingi terpaksa berhenti di Malang, dan beras-beras
kiriman itu kemudian disimpan sementara di gudang penyimpanan yang berada di
dekat stasiun Malang. Besar kemungkinan bahwa beras-beras yang dibawa dari

Surabaya tadi terdapat tikus-tikus yang telah terinfeksi pinjal. Dapat disimpulkan
pula bahwa penyakit pes yang masuk ke pulau Jawa berawal dari wilayah di Jawa
Timur di Distrik Turen tepatnya yaitu di daerah Dampit, dan mulai menyebar ke
beberapa daerah yang terdapat gudang penyimpanan beras. Beberapa daerah di
Malang tepatnya di Distrik Turen banyak ditemui beberapa daerah yang memiliki
gudang penyimpanan beras, seperti di Dampit, Singosari, Blimbing, Kepanjen,
Batu, dan Gondang Legi.
Setelah beberapa waktu kemudian banyak korban berjatuhan akibat sakit
yang belum diketahui dengan pasti apa penyebabnya. Kasus pertama terjadi pada
bulan November 1910 ditemukan sebanyak 17 orang meninggal dunia dan
kemudian korban yang berjatuhan semakin banyak. Pada waktu itu kecurigaan
terhadap tikus-tikus belum ada, karena tidak ditemukan tikus yang mati dalam
jumlah yang besar di dalam gudang penyimpanan beras. Barulah pada saat banyak
pemberitaan mengenai wabah penyakit pes di luar Hindia Belanda pada waktu itu
dan sekitar bulan Maret 1911 pemerintah kolonial mulai melakukan tindakan
preventif untuk melindungi Hindia Belanda dari epidemi penyakit pes tersebut.
Kebijakan ini dilakukan dengan mengubah peraturan tentang pes, yaitu dengan
mempertegas pestordonantie. Salah satu tindakan tegas dari kebijakan
pestordonantie adalah dengan lebih memperketat pengawasan terhadap kapalkapal dagang dan penumpang yang keluar maupun yang masuk di wilayah Hindia
Belanda. Jika terdapat kapal-kapal yang telah terjangkit penyakit pes akan masuk
ke wilayah Hindia Belanda, maka kapal-kapal tersebut tidak diizinkan sama sekali
untuk mendekati daratan Hindia Belanda. Kapal tersebut harus bertahan di lautan
selama tujuh hingga sepuluh hari. Kapal baru akan diizinkan berlabuh di daratan
Hindia Belanda setelah dokter yang memeriksa memastikan bahwa orang-orang
yang ada di kapal dinyatakan telah sehat dan tidak terdapat tikus yang terinfeksi
penyakit pes.
Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial kepada Hindia
Belanda ternyata tidak dapat sepenuhnya berjalan sesuai dengan rencana, karena
mengingat kondisi ekonomi Hindia Belanda yang pada masa itu sedang dilanda
krisis pangan menyebabkan kebijakan tersebut terpaksa tidak dilanjutkan. Jika
harus menahan kapal dari luar sampai tujuh hingga sepuluh hari di lautan akan

memberatkan pihak pemerintah dan masyarakat, karena tingginya kebutuhan akan


beras impor tersebut. Hingga pada akhirnya kapal-kapal yang membawa beras
dari luar masuk ke Hindia Belanda terpaksa tidak di karantina terlebih dahulu
selama di lautan.
Dari sinilah awal masuknya wabah penyakit pes ke pulau Jawa. Pada
tahun 1910 1960 terdapat 245.375 orang meninggal dunia yang disebabkan oleh
penyakit Pes, dari total kasus tersebut 17,6% terjadi di Jawa Timur; 51,5% di Jawa
Tengah dan 30,9% di Jawa Barat. Angka kematian yang tertinggi terjadi pada
tahun 1934 yakni 23.275 orang meninggal dunia (Depkes RI, 1998).
Kemudian di tahun 1916, pes ditemukan di Pelabuhan Tanjung Mas
Semarang. Selanjutnya penyakit pes menyebar melalui pelabuhan-pelabuhan di
Cirebon pada tahun 1923 dan pelabuhan di Tegal pada tahun 1927.
Pemerintah Indonesia maupun dunia sudah menetapkan juga bahwa
penyakit pes menjadi salah satu penyakit karatina dan tercatat dalam
Internasional Health Regulation. Penyakit ini juga termasuk dalam Public Health
Emergency of International Concern (PHEIC) atau Kedaruratan Kesehatan yang
Meresahkan Dunia.
2.2. Etiologi Pes
Pes disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis (Pasteurella pestis), sebuah
basil Gram negatif dalam famili Enterobacteriaceae. Y. pestis dapat dibagi ke
dalam 3 biovariasi/subspesies: Antiqua, Medievalis, dan Orientalis (Devignat,
1951). Kemudian diusulkan lagi biovar keempat, Microtus (Zhou, dkk, 2004).
Namun biovar keempat ini ditemukan ternyata tidak virulen pada mamalia yang
besar dan manusia. Lebih jauh lagi diusulkan biovar kelima, Pestoides, yang jauh
menyimpang secara biokimia dari keempat biovar lainnya (Anisimov, dkk, 2004).
Strain Antiqua lebih beragam daripada Medievalis dan Orientalis.
Ada pula yang mengklasifikasikan Y.pestis dengan melihat keragaman
hubungannya dengan host, yaitu: ratti (bila muncul pada tikus), marmotae (bila
muncul pada marmut), dan citelli (bila muncul pada susliks/tupai tanah Eurasia).
Bakteri ini pertama kali diidentifikasi oleh Alexandre J.E Yersin dan
Shibasaburo Kitasato secara terpisah tahun 1894 sebagai coccobasilus Gram

10

negatif. Yersin lah yang kemudian diakui sebagai penemu bakteri yang awalnya
dinamai Bacterium pestis itu. Y.pestis sendiri adalah bakteri yang tidak tahan
asam, tidak motil, tidak membentuk spora, berbentuk kokobasil bipolar berukuran
0.50.8 x 1.52.0 m. Bakteri ini menduduki Genus XI dari famili
Enterobacteriaceae. Awalnya bakteri ini diklasifikasikan ke dalam famili
Pasteurellaceae, namun berdasarkan kemiripannya dengan E.coli yang ditentukan
dengan studi informasi herediter pada DNA, bakteri ini kemudian masuk ke dalam
famili Enterobacteriaceae. Meskipun genus Yersinia memiliki 11 spesies, hanya 3
yang patogen pada manusia: Y.pestis, Y.pseudotuberculosis, dan Y.enterocolitica.
Tidak seperti spesies lainnya yang ditularkan ketika termakan makanan atau
minuman yang terkontaminasi feses (oral-fecal), Y.pestis telah mengembangkan
kemampuan transmisi melalui artropoda, dan juga kemampuan infeksi pada darah
dan jaringan limfoid. Berikut adalah tabel taksonomi bakteri ini.
Kingdom
Phylum
Class
Order
Family
Genus
Species

Eubacteria
Proteobacteria
Gammaproteobacteria
Enterobacteriales
Enterobacteriaceae
Yersinia
pestis,
enterocolitica,
pseudotuberculosis,
frederiksenii, kristensenii,
ruckeri,
bercovieri,

mollaretii,
rohdei,

aldovae, intermedia
Bakteri ini tumbuh optimal pada suhu 28 derajat Celcius, memproduksi
koloni kecil setelah 48 jam pada agar darah atau agar MacConkey. Secara
biokimia, bakteri pes ini tidak memproduksi hemolysin, bersifat positif untuk
katalase, dan negatif untuk hydrogen sulfide, oxidase, urease, dan fermentasi
laktosa, sukrosa, rhamnosa, and melibiosa. Bakteri ini tumbuh sebagai anaerob
fakultatif pada banyak perbenihan bakteriologi. Semua Pasteurella pestis
memiliki lipopolisakarida dengan aktivitas endotoksik bila dilepaskan. Organisme
ini menghasilkan banyak antigen dan toksin yang bertindak sebagai faktor
virulensi.

11

Gbr 1. Pewarnaan Yersinia pestis

Reservoar utama dari penyakit pes adalah hewan rodensia, misalnya tikus,
kelinci, bahkan dalam kasus tertentu melibatkan kucing sebagai sumber penularan
ke manusia. Bakteri ditularkan dari tikus ke manusia melalui gigitan pinjal yang
merupakan vektor dari penyakit ini. Jenis pinjal yang dikenal sebagai vektor pes
antara lain Xenopsylla cheopis, Pulex irritans, Neopsylla sundaica, Stivallus
cognatus (Yudhastuti, 2011).

Gbr 2. Xenopsylla cheopis jantan yang baru saja mengisap darah

Menurut tempat hidupnya tikus dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu tikus
rumah (Rattus diardi, Mus musculus, Suncus murinus), tikus ladang (Rattus
exulans), tikus kebun (Rattus timanicus), tikus sawah (Rattus argentiventer), dan

12

tikus bukit (Niviventer) (Sub Direktorat Zoonosis, 2008:31).

Tikus-tikus ini

merupakan jenis tikus yang dapat membawa penyakit pes.

Gbr 3. Penampakan patologis dari tikus yang terinfeksi


(Department of Public Health NSW, 1900)

Untuk mengidentifikasi ada tidaknya bakteri Yersinia pestis pada tikus


yang masih hidup, dapat diambil sampel darah dari jantung atau dari daerah
sekitar mata, sedangkan pada tikus yang sudah mati dapat diambil dari jantung
apabila darah masih ada, jika darah sudah habis bisa diambil dari sumsum tulang
panjang seperti femur.
Untuk mengidentifikasi sampel bakteri Yersinia pestis dapat dilakukan
dengan metode tes immunofluorescence langsung, aglutinasi, tes enzyme-linked
munosorbent, atau

dengan mengisolasi organisme dalam kultur murni. Dari

semua metode ini, metode paling efektif yaitu tes immunofluorescence langsung.
Tes ini dapat diketahui dalam waktu 2 jam (Kenneth L.Gage, 2010:143).
Berbeda dengan identifikasi Yersinia pestis pada tikus, identifikasi
Yersinia pestis pada pinjal memerlukan waktu yang lama. Identifikasi Yersinia
pestis pada pinjal dilakukan dengan menanam hasil gerusan pinjal pada hewan
percobaan selama 25 hari. Apabila selama 25 hari tikus mati, maka perlu
dilakukan pemeriksaan lanjut. Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil darah

13

pada tikus dan kemudian dideteksi dengan teknik imunologi dan PCR (Kenneth
L.Gage, 2010:156).
Untuk penjelasan lebih lanjut, berikut diberikan tabel klasifikasi reservoar
dan vektor pes.
Reservoar
Dunia : Animalia

Vektor

Filum : Chordata

Kingdom :Animalia

Sub Filum : Vertebrata

Phylum : Arthropoda

Kelas : Mammalia

Class : Insecta

Subklas : Theria

Order : Siphonaptera

Ordo : Rodentia

Family : Pulicoidea

Sub ordo : Myomorpha

Genus : Xenopsylla

Famili : Muridae

Species : Cheopis

Sub famili : Murinae


Genus : Bandicota, Rattus
dan Mus

(Departemen
Parasitologi FKUI
2008:249).

(Swastiko Priyambodo,
2003:5)
2.3. Klasifikasi dan Gejala Klinis Pes

Pada umumnya, pes terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:


1. Pes Bubonik (Bubonic plague)
Yaitu pes pada tahap awal, ketika kuman Y.pestis masuk ke dalam tubuh,
namun belum masuk ke dalam paru-paru. Masa inkubasi 2-7 hari. Bubo
mempunyai onset gejala regular mirip flu, demam, pusing, menggigil, lemah,
yang kemudian diikuti nausea dan muntah-muntah. Gejala yang hadir mencakup
malaise parah (75%), sakit kepala (20%-85%), muntah (25%-49%), menggigil
(40%), batuk (25%), sakit perut (18%) dan sakit dada (13%). Enam sampai
delapan jam setelah onset gejala, bubo, yang didahului dengan nyeri yang parah,
terjadi di sela paha (90%, femoral lebih sering daripada inguinal), bengkak pada
nodul limpa, tergantung di bagian mana bakteri berkumpul. Bubo akan terlihat
dalam 24 jam, dan terasa sangat sakit. Manifestasi lainnya berupa kekenduran
kandung kemih, apatis, kebingungan, ketakutan, kegelisahan, oliguria, dan anuria.

14

Takikardia, hipotensi, leukositosis, dan demam kadang-kadang dialami. Bila


dibiarkan tanpa perawatan, akan muncul septikemia dalam 2-6 hari. Sekitar 5%
sampai 15% pasien pes bubonik akan mengembangkan pes pneumonik sekunder,
dan sebagai hasilnya, semakin berpotensi menularkan ke orang lain. Pada
dasarnya, bubonic plague jarang menular pada orang lain. Bila tidak dirawat, tipe
bubonik akan menghasilkan mortality rate 50-60%.

Gbr 4. Bubo femoral

2. Pes Septikemik (Septicaemic plague)


Gejalanya demam, menggigil, pusing, lemah, sakit pada perut, shock,
pendarahan di bawah kulit atau organ-organ tubuh lainnya, pembekuan darah
pada saluran darah, tekanan darah rendah, mual, muntah, organ tubuh tidak
bekerja dengan baik. Tidak terdapat benjolan pada penderita. Septicemic plague
jarang menular pada orang lain. Septicemic plague dapat juga disebabkan Bubonic
plague dan Pneumonic plague yang tidak diobati dengan benar. Fase septikemik
ini yang menunjukkan ciri-ciri Black Death. Bila tidak dirawat, tipe septikemik
akan menghasilkan mortality rate hingga 100%.

Gbr 5. Pes Septikemik

3. Pes Pneumonik (Pneumonic plague)


Masa inkubasi 1-3 hari. Gejalanya pneumonia (radang paru-paru), napas
pendek, sesak napas, batuk, sakit pada dada. Ini adalah penyakit plague yang
paling berbahaya dibandingkan jenis lainnya. Pneumonic plague menular lewat
udara, bisa juga merupakan infeksi sekunder akibat Bubonic plague dan
Septicemic plague yang tidak diobati dengan benar. Sekitar 12% kasus tipe
15

bubonik dan septikemik primer akan berlanjut menjadi tipe pneumonik sekunder,
dan tipe pneumonik sekunder akan berlanjut menjadi tipe pneumonik primer.
2.4. Patogenesis Pes
Hanya dibutuhkan sedikit saja Y.pestis untuk dapat menginfeksi hewan
rodensia dan primata via jalur oral, intradermal, subkutan, dan intravena.
Perkiraan infektivitas jika melalui jalur pernapasan pada primata yang bukan
manusia beragam mulai dari 100 sampai 20.000 Y.pestis.
Setelah dibawa kepada host mamalia oleh gigitan pinjal, pada temperatur
ambien, seharusnya bakteri pes ini dapat difagositosis dan dibunuh oleh neutrofil.
Namun demikian, beberapa bakteri dapat tumbuh dan berkembangbiak dalam
jaringan makrofag. Sedangkan dalam host berupa manusia, lingkungan tubuh
manusia (misalnya suhu tubuh, kontak dengan sel eukariotik, dan lain-lain) yang
merupakan hal baru bagi bakteri akan membuat bakteri itu mengembangkan
mekanisme pertahanan untuk menjaga dia tetap virulen, berupa serangkaian
proses biokimia. Bakteri pada tahap ini nantinya akan resisten terhadap fagositosis
dan dapat berkembangbiak di luar sel tanpa terganggu.
Selama fase inkubasi, bakteri ini umumnya menyebar ke wilayah nodul
limpa, dimana akan mudah terjadi pernanahan karena radang pada limpa, yang
berlanjut kepada ciri-ciri bubo. Infeksi akan berkembang terus jika tidak segera
ditolong; septikemia akan muncul dan infeksi akan menyebar ke organ lainnya.
Endotoksin bakteri mungkin berperan dalam terjadinya syok septik, juga dalam
mengembangkan resistensi bakteri terhadap aktivitas bakterisidal dari serum.
Nekrosis dan sianosis yang luas, yang terlihat dalam beberapa kasus septikemik
mungkin terkait dengan aktivitas koagulase aktivator plasminogen, yang terjadi
pada suhu di bawah 37 derajat Celsius.
Jaringan yang umumnya diserang termasuk limpa, hati, paru, kulit, dan
membran mukosa. Infeksi berikutnya pada selaput otak juga terjadi, khususnya
jika terapi antibiotik yang belum optimal diberikan.
Pes pneumonik primer, tahap paling parah dari penyakit ini, meningkat
jika terhirup udara yang tercemar bakteri ini. Tahap ini jauh lebih fatal daripada

16

pneumonik sekunder, karena droplet yang terhirup sudah berisi bakteri yang
resisten terhadap fagositosis.
Pes septikemik primer bisa terjadi dari suntikan langsung basil pes ke
dalam aliran darah, yang berlanjut pada multiplikasi bakteri pada nodul limpa.
2.5. Epidemiologi Pes
Sepanjang sejarah, pinjal Xenopsylla cheopis bertanggungjawab dalam
penyebaran pes bubonik. Setelah pinjal mencerna darah pada hewan yang
terinfeksi bakteri, basili pes dapat bermultiplikasi dan bahkan membentuk agregat
dalam usus depan pinjal. Ketika pinjal yang ususnya dipenuhi agregat ini
mencoba untuk mengisap darah lagi, maka darah dari usus beserta bakteri akan
keluar dan bergerak menuju ke aliran darah korban berikutnya. Pinjal akan
mengering bila berada pada suhu dan cuaca yang panas dan jauh dari host, namun
tumbuh subur pada kelembapan di atas 65% dan suhu antara 20-26 derajat Celcius
serta dapat bertahan tanpa makan selama 6 bulan.
Kejadian penyakit pes pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya
pada tahun 1910, kemudian di tahun 1916 ditemukan di Pelabuhan Tanjung Mas
Semarang. Selanjutnya penyakit pes menyebar melalui pelabuhan pelabuhan di
Cirebon pada tahun 1923 dan pelabuhan di Tegal pada tahun 1927. Sejak tahun
1910 pes pertama kali masuk ke Indonesia hingga tahun 1960 sudah tercatat
korban meninggal akibat penyakit pes sebanyak 245.375 orang. Distribusi
penyebaran 245.375 orang kasus pes yang meninggal di Jawa Barat 30,9%, di
Jawa Tengah 51,5%, dan di Jawa Timur 17,6% (Dinkes Boyolali, 2014a).
Indonesia khususnya di Pulau Jawa terdapat tiga daerah fokus pes yang masih
aktif, yaitu di Kecamatan Selo dan Cepogo Kabupaten Boyolali Jawa Tengah, di
Kecamatan Tosari dan Nongkojajar Kabupaten Pasuruan Jawa Timur, dan di
Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (Dinkes
Boyolali, 2014a).
Kabupaten Boyolali pertama kali ditemukannya kasus pes pada tahun
1986. Kasus ini terjadi di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Selo dan Cepogo.
Jumlah penderita yang ditemukan pada saat itu sebanyak 101 orang, 42 orang di
antaranya meninggal dunia. Case Fatality Rate (CFR) pada tahun tersebut,

17

CFR=43%. Kemudian pada tahun 1970 ditemukan kembali kasus pes di Boyolali
dengan penderita sebanyak 11 orang, dan tiga diantaranya meninggal dunia.
Sehingga angka CFR yang didapatkan yaitu, CFR=27,3%. Adanya kasus
meninggal dunia karena penyakit pes tersebut, sehingga pada tahun 1986 sampai
sekarang Kabupaten Boyolali ditetapkan sebagai daerah endemis pes (Dinkes
Boyolali, 2014a). Data surveilan pes penangkapan tikus yang dilakukan oleh
Dinkes Boyolali di tahun 2010-2013, lebih dari 1500 tikus yang tertangkap dan
ditemukan 15 pinjal yang positif mengandung bakteri Yersinia pestis penyebab
penyakit pes.
1. Distribusi Berdasarkan Orang
Orang yang biasanya terkena oleh penyakit pes adalah:
-

Para biolog yang sedang mengadakan penelitian di hutan. Para biolog yang
sedang meneliti tikus memiliki luka dan luka tersebut terkena darah atau organ
tikus yang mengandung penyakit pes.

Orang-orang yang camping atau rekreasi ke hutan

Orang yang berada dirumah. Penularan penyakit pes pada orang rumah
ditularkan melalui pinjal yang menggigit manusia yang ada di rumah
Resiko terkena penyakit biasanya meningkat seiring dengan bertambahnya

kepadatan penduduk di daerah yang kurang saniter.


2. Distribusi Berdasarkan Tempat
Tempat yang biasanya memiliki resiko penularan yang tinggi adalah:
-

Tempat-tempat yang kotor dimana kemungkinan tikus dapat hidup

Di hutan dimana terdapat banyak tikus yang terinfeksi bakteri Yersinia pestis

Di daerah pelabuhan

3. Distribusi Berdasarkan Waktu


Saat musim penghujan, reservoir dari penyakit ini berkembang dengan
baik sehingga kemungkinan tikus yang terinfeksi bakteri Yersinia lebih tinggi
daripada musim kemarau.

18

Gbr 6. Global distribution and natural foci of plague. Natural foci of plague have become
established in local rodent and flea populations on all inhabited continents except Australia.
Sylvatic plague can act as a source of infection for humans. Since 1954, plague in humans has
been reported from more than 35 countries.
(From http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/plague/resources/plagueFactSheet.pdf)

19

Gbr 7. Areas in the United States where plague is found in animals, fleas, and humans. In the
United States, most counties with plague-positive animal or flea samples (19702009; shaded
areas) are located west of the 100th meridian, where the infection is enzootic. Cases of plague in
humans (19702007; dots) are most prevalent in the southwest and Pacific regions.
(Map based on information from Ken Gage, CDC)

Gbr 8. Human cases of plague, by region, 19542010. In the 1970s, most human cases of plague
were reported from countries in Asia, particularly Vietnam. More recently, most cases are in
African countries, especially Madagascar. War and political turmoil in Asian and African countries
disrupted sanitation and medical services, contributing to the increased risk of transmission of Y.
pestis from rodents to humans.
(Data from World Health Organization, 2010; World Health Organization, 2000; World Health
Organization, www.who.ing/whosis/whostat/2011/en/index.html)

2.6. Mekanisme Penularan Pes


Menurut Gratz, dalam modul Pelatihan Teknis Pengendalian Penyakit Pes
tahun 2012, di Indonesia dikenal ada 4 spesies pinjal yang mampu menjadi vektor
perantara dan reservoir sementara penyakit pes. Spesies tersebut adalah
Xenopsylla cheopis, Pulex iritans, Neopsylla sondaica dan Stivalius cognatus.
Pinjal S. Cognatus dan N. Sondaica adalah pinjal tikus liar dataran tinggi
(pegunungan), sedang Xenopsylla cheopis merupakan pinjal tikus rumah.
Pinjal menjadi infektif apabila mengisap darah dari inang yang telah
terinfeksi Y.pestis. Pinjal jantan dan betina keduanya mengisap darah inang dan
menyebarkan bakteri pes. Rata-rata kapasitas Xenopsylla cheopis untuk

20

menghisap darah kurang lebih 0,5 mm3, dan di dalamnya mampu mengandung
5.000 bakteri pes dari tikus yang terinfeksi. Di masa epidemi atau musim kering,
persentase pinjal infektif lebih tinggi. Interval antara saat menghisap darah dengan
masa infektif terjadi setelah 21 hari (5-31 hari) untuk Xenopsylla cheopis dan ratarata masa infektif berlangsung selama 17 hari atau maksimal sampai 44 hari
(Kemenkes,2012).
Penularan penyakit pes dapat terjadi dengan berbagai cara seperti :
a. Penularan pes dari tikus hutan ke tikus domestik melalui gigitan pinjal. Pinjal
infektif kemudian menggigit manusia.
b. Terjadinya kontak rodent dan pinjalnya dengan sumber pes didaerah sylvatic
yang dapat menimbulkan enzootik dan endemik pada manusia
c. Penularan pes secara eksidental dapat terjadi pada orang-orang yang bila
digigit oleh pinjal tikus hutan yang infektif. Ini dapat terjadi pada pekerjapekerja dihutan atau pada orang yang mengadakan rekreasi/camping dihutan
termasuk seorang biolog yang sedang mengadakan penelitian dihutan dimana
lukanya terkena darah atau organ tikus yang terinfeksi.
d. Penularan dari orang ke orang dapat pula terjadi melalui gigitan pinjal manusia
Pulex irritans (human flea)
e. Penularan dapat terjadi pada hewan peliharaan seperti anjing dan kucing
khususnya pada masa epizootic. Dimana risiko terjadinya penularan saat pinjal
yang berasal dari hewan mati berpindah pada hewan peliharaan. Biasanya
kucing akan sakit karena pes dan dapat menularkan secara langsung pada
manusia melalui percikan air liur (droplet) keudaran saat kucing tersebut batuk.
f. Penularan Pes dari orang yang menderita pes paru-paru (pneumonie plaque)
kepada orang lain melalui percikan ludah atau pernapasan.
g. Penularan melalui kontak langsung dengan nanah penderita bubo.

21

Gbr 9. Siklus Penularan Sederhana

Gbr 10. Siklus Penularan yang lebih kompleks

22

Gbr 11. Siklus penularan pes

2.7. Pencegahan dan Pengobatan Pes


2.7.1. Pencegahan Primer
Vaksinasi
Ada dua jenis vaksin yang tersedia: satu yang terbuat dari bakteri halus
yang masih hidup namun avirulen dan yang lain terbuat dari kultur yang tidak
aktif dari bakteri pes, yang bisa mereduksi tingkat kematian pada saat terjadi
epidemi.
Untuk mencegah penyakit pes biasanya akan diberikan vaksinasi otten
yang diberikan setahun sekali.
Tindakan Pencegahan
Berikut beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya penularan penyakit pes.
1. Penyuluhan pada masyarakat tentang bahaya penyakit pes dan cara penularannya
2. Penempatan kandang ternak diluar rumah
3. Perbaikan konstruksi rumah dan gedung-gedung (rat proof)

23

4. Menyimpan bahan makanan dan makanan pada tempat yang tidak terbuka
5. Melaporkan kepada petugas puskesmas apabila ada tikus mati karna sebab yang
tidak jelas (rat fall)
6. Tinggi tempat tidur lebih 20 cm dari tanah
7. Manusia penderita pes harus diisolasi dan segera diberikan pengobatan
8. Orang yang diduga pernah kontak dengan penderita segera dikarantina dan
diawasi
9. Orang yang pernah kontak dengan penderita pes harus diberi terapi pencegahan
dengan tetrasiklin atau sulfonamid
10. Binatang pengerat yang menjadi sumber penularan diberantas dengan rodentisida
sedangkan pinjal diberantas dengan menggunakan insektisida.
2.7.2. Pengobatan Pes (Pencegahan Sekunder)
Imunogenisiti
Penyakit pes merupakan penyakit yang sangat serius. Penyakit pes dapat
menyerang semua golongan umur tetapi pada umumnya dapat diobati dengan
antibiotik. Semakin cepat pasien diobati maka semakin besar kesempatan untuk
dapat sembuh dengan sempurna.
Diagnostic Test
Pada dasarnya diagnosis tetap berdasarkan pada dua hal: adanya tanda dan
gejala; serta hasil pemeriksaan laboratorium. Diagnosis presumtif dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi karakteristik organisme dalam sputum, usapan
bronkial/trakeal, darah, bubo, cairan serebrospinal atau sample jaringan
postmortem; bakteri pes adalah bakteri Gram negatif, kokobasilus intraseluler
fakultatif, atau basilus dengan pewarnaaan bipolar. Dapat digunakan bantuan
immunofluorescen untuk sampel klinis.
Pes dapat juga didiagnosis dengan mengisolasi Y. pestis. Bakteri ini
biasanya ada di darah selama fase septikemik.
Test serologi juga kadang-kadang dapat membantu. Tes ini mencakup
enzyme-linked

immunosorbent

assays

(ELISAs),

hemaglutinasi

hemaglutinasi-inhibisi, aglutinasi latex dan fiksasi komplemen.


Penatalaksanaan Pengobatan

24

pasif,

Dilakukan terapi dengan pemberian Streptomycine 3 gr/hari/2 hari atau 2


gr/hari/5 hr, setelah panas hilang diberikan Tetracycline 4-6 gr/hari/2hr atau
2gr/hari/5hari.
Pemberian Chloramphenicol 6-8 gr/hr/2 hari. Dari tindakan profilaksis
atau pencegahan pada anggota keluarga yang kontak serumah dengan penderita
Pes Bubo dan terhadap seluruh warga desa jika ada penderita pes paru.
2.8. Pengawasan dan Pengendalian Pes
Beberapa hal yang terkait dengan pengawasan dan pengendalian untuk pes
adalah:
1. Keharusan melaporkan terjadinya penyakit pes oleh para dokter supaya
tindakan pencegahan dan pemberantasan penyakit dapat dijalankan. (UU
Wabah 1962).
2. Keharusan melaporkan adanya kematian sebelum mayat dikubur. Pada
mayat itu dilakukan tes paru, limfa dan

septichaemia. Jika telah

dinyatakan diagnosa pes adalah penderita pes paru harus diisolasi dan
dirawat di rumah sakit.
3. Pengawasan pada kegiatan surveilans terhadap rodent dan pinjal, manusia
dan hewan lain didaerah fokus pes,terancam pes dan bekas daerah fokus.
Yang dimaksud dengan daerah fokus per merupakan daerah yang diamati
sepanjang tahun yaitu sebulan sekali selama lima hari berturut-turut dan
daerah terancam merupakan daerah yang diamati secara periodik yakni
empat kali dalam satu tahun dengan kurun waktu tiga bulan sekali selama
lima hari berturut-turut sedangkan daerah bekas fokus merupakan daerah
yang diamati selama satu tahun sekali atau dua tahun sekali selama lima
hari berturut-turut (Sub Direktorat Zoonosis, 2008:8).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pes (sampar / pasteurellosis / yersinosis / plague / la peste / black death / peste /
pest / pestilence) adalah penyakit zoonotik infeksius akut yang disebabkan oleh

25

enterobakteria bervirulensi tinggi Yersinia pestis atau Pasteurella pestis. Dalam


buku Biology of Plagues: Evidence from Historical Populations, Susan Scott
dan Christopher Duncan membagi masa historik pes ke dalam 4 periode
sebagai berikut: Pes di Athena, Pes Justinian, Black Death, dan Bubonic Plague
di abad ke-20. Di Indonesia sendiri, pes pertama kali menyerang pulau Jawa.
2. Pes disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis (Pasteurella pestis), sebuah basil
Gram negatif dalam famili Enterobacteriaceae. Reservoar utama dari penyakit
pes adalah hewan rodensia, misalnya tikus, kelinci, bahkan dalam kasus
tertentu melibatkan kucing sebagai sumber penularan ke manusia. Bakteri
ditularkan dari tikus ke manusia melalui gigitan pinjal yang merupakan vektor
dari penyakit ini.
3. Pes dapat diklasifikasikan menjadi pes bubonik, septikemik, dan pneumonik.
4. Selama fase inkubasi, bakteri ini umumnya menyebar ke wilayah nodul limpa,
dimana akan mudah terjadi pernanahan karena radang pada limpa, yang
berlanjut kepada ciri-ciri bubo. Infeksi akan berkembang terus jika tidak segera
ditolong.
5. Kejadian penyakit pes pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada
tahun 1910, kemudian di tahun 1916 ditemukan di Pelabuhan Tanjung Mas
Semarang. Selanjutnya penyakit pes menyebar melalui pelabuhan pelabuhan di
Cirebon pada tahun 1923 dan pelabuhan di Tegal pada tahun 1927. Sejak tahun
1910 pes pertama kali masuk ke Indonesia hingga tahun 1960 sudah tercatat
korban meninggal akibat penyakit pes sebanyak 245.375 orang.
6. Pinjal menjadi infektif apabila mengisap darah dari inang yang telah terinfeksi
Y.pestis. Pinjal jantan dan betina keduanya mengisap darah inang dan
menyebarkan bakteri pes.
7. Pencegahan primer mencakup vaksinasi dan tindakan pencegahan. Sedangkan
pengobatan perlu didahului oleh diagnosis yang tepat, dan umumnya
digunakan antibiotik.
8. Tindakan pengawasan dan pengendalian berupa pelaporan yang baik dan
pengawasan pada kegiatan surveilans pes.
3.2. Saran
1. Sebaiknya dilakukan peninjauan kembali mengenai tindakan pencegahan dan
pengendalian pes yang sudah dilakukan selama ini dari segi efektivitas dan
efisiensinya.
26

2. Sebaiknya kegiatan surveilans tetap dijaga kontinuitasnya agar tidak sempat


terjadi epidemi.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Internet
Centers

for

Disease

Control

and

Prevention

(CDC)

Plague

http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/plague/index.htm
Medical Microbiology
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK7627/
The Merck Veterinary Manual
http://www.merckvetmanual.com/mvm/index.jsp
United States Geological Survey. National Wildlife Health Center. Sylvatic Plague

27

http://www.nwhc.usgs.gov/disease_information/sylvatic_plague/index.jsp
University of Alberta. Some Potential Microbiological Hazards for Field Workers
http://www.biology.ualberta.ca/facilities/safety/?Page=700
World Health Organization (WHO). Plague
http://www.who.int/csr/disease/plague/en/
Literatur
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2006. Plague [Website]. CDC.
Collins FM. 1996 Pasteurella, Yersinia, and Francisella. In: Baron S., editor.
Medical microbiology. 4th ed. New York: Churchill Livingstone.
Drancourt M, Houhamdi L, Raoult D. 2006. Yersinia pestis as a telluric, human
ectoparasite-borne organism. Lancet Infect Dis.
Edmunds DR, Williams ES, O'Toole D, Mills KW, Boerger-Fields AM, Jaeger
PT, Bildfell RJ, Dearing P, Cornish TE. 2008. Ocular plague (Yersinia
pestis) in mule deer (Odocoileus hemionus) from Wyoming and Oregon. J
Wildl Dis.
Eisen RJ, Gage KL. 2009. Adaptive strategies of Yersinia pestis to persist during
inter-epizootic and epizootic periods. Vet Res.
Eisen RJ, Petersen JM, Higgins CL, Wong D, Levy CE, Mead PS, Schriefer ME,
Griffith KS, Gage KL, Beard CB. 2008. Persistence of Yersinia pestis in
soil under natural conditions. Emerg Infect Dis.
Lilienfeld, A.M. 1976. Foundations of epidemiology. Oxford University Press:
New York.
Plague in Vietnam. Lancet. 1968;13 Apr:799800.

28

Pertanyaan Diskusi 8 Oktober 2015:


1.

2.

3.
4.
5.

131000649
Bagaimana keadaan tikus yang terjangkit pes dan berapa lama tikus tersebut
dapat bertahan hidup?
131000265
Apakah penderita pes harus mengalami kedua fase pes baru kemudian
meninggal? Bila tidak, mengapa?
131000556
Bagaimana program pemerintah terkait pemberantasan pes?
131000712
Kapan penyakit pes terjadi berulang?
131000567
Bagaimana keterkaitan antara ketiga fase/tipe penyakit pes tersebut?

29

Anda mungkin juga menyukai