Anda di halaman 1dari 3

TUGAS MANDIRI

PROGRAM PASCA SARJANA (S2)


PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS PERTANIAN - UNIVERSITAS BENGKULU
N AM A
N PM
MATA KULIAH
DOSEN PENGAMPU

:
:
:
:

PEBRI SURGIANSYAH
E2A014006
DINAMIKA SOSIAL DAN KEARIFAN LOKAL
Dr. Gunggung Senoaji, S.Hut, MP

KEARIFAN LOKAL DALAM UPAYA ADAPTASI DAN


MITIGASI PERUBAHAN IKLIM
Iklim

sangat erat kaitannya dengan perubahan unsur-unsur cuaca. Perubahan iklim

merupakan suatu kondisi dimana terjadi perubahan pola iklim dunia yang berimplikasi terhadap
fenomena cuaca yang tidak menentu. Perubahan iklim yang terjadi disebabkan oleh berubahnya
variabel iklim atau unsur-unsur cuaca dalam waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun.
Perubahan iklim juga akan mempengaruhi kondisi cuaca menjadi tidak stabil dan ekstrim serta
sulit diprediksi, sebagai contoh hujan yang tidak menentu, kekeringan, angin kencang, puting
beliung dan sebagainya. Perubahan suatu unsur cuaca akan secara otomatis mempengaruhi unsur
cuaca yang lainnya, keterkaitan antar unsur cuaca ini yang akan berdampak, baik secara
langsung maupun tidak, terhadap kehidupan manusia.
Beberapa bulan yang lalu Bengkulu telah ditetapkan dalam status siaga banjir dan longsor.
Longsor yang terjadi di beberapa kabupaten seperti di Kabupaten Lebong yang meratakan
beberapa rumah penduduk, di Kabupaten Bengkulu Tengah yang menelan korban jiwa dan
longsor yang sempat memutus jalur lintas Bengkulu-Lampung di Kabupaten Seluma. Selain itu
banjir besar juga telah terjadi di Kabupaten Kepahiang yang mengakibatkan tiga desa terendam.
Bencana banjir dan longsor tersebut diakibatkan oleh tingginya intensitas curah hujan. Namun
sangatlah tidak bijak jika semua bencana yang terjadi dan kita rasakan terus menerus
mengkambinghitamkan alam (cuaca).
Secara umum, cuaca memiliki pola dan sirkulasi yang teratur dan bekerja secara kontinyu
tanpa mengenal wilayah dan batas administrasi. Setiap unsur-unsur cuaca yang berada dalam
1

sirkulasi akan saling berkaitan, sehingga jika ada satu saja unsur cuaca yang terganggu atau
mengalami perubahan yang tidak wajar (anomali), maka itu akan berdampak terhadap unsur
cuaca lainnya. Jika kita runut sumber atau pokok permasalahan dari bencana banjir dan longsor,
cuaca merupakan faktor kedua yang menyebabkan bencana itu terjadi. Hal pertama yang
mengakibatkan bencana banjir dan longsor adalah tata kelola lahan yang belum terencana
dengan baik. Alih fungsi hutan dan pemukiman yang tidak sesuai peruntukannya akan membuat
bencana ini semakin parah. Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan dapat
menyebabkan wilayah yang seharusnya dapat menyimpan air menjadi kehilangan fungsinya. Air
hujan yang seharusnya dapat ditahan oleh hutan akan mengalir begitu saja dan menyebabkan
banjir dan longsor. Untuk jangka pendek, mungkin hanya banjir dan longsor yang akan terjadi,
namun dalam jangka panjang, dengan hilangnya hutan penahan air ini akan memperburuk
keadaan di saat musim kemarau. Hutan memiliki fungsi ganda, selain menahan air, hutan juga
berfungsi menjaga cadangan dan kualitas air tanah. Dengan adanya tahanan air di dalam hutan,
maka dampak kekeringan yang dirasakan saat musim kemarau takkan begitu buruk. Penggunaan
lahan pemukiman yang tidak tepat seperti di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sawah atau rawa
yang merupakan wilayah penyangga air dapat menyebabkan dampak dari perubahan iklim
menjadi semakin buruk. Intensitas kejadian banjir di wilayah tersebut akan semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya intensitas curah hujan. Untuk itu perlu kiranya pemerintah dan
stakeholder serta masyarakat bersatu padu dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Adapatasi dan mitigasi ini merupakan suatu keharusan sebagai upaya survival dalam
mengahadapi dampak dari perubahan iklim itu snediri.
Berkaitan dengan itu, kearifan lokal (local wisdom) dipandang dapat menjalankan peran
yang signifikan dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Undang-undang PLH No.
32 tahun 2009 sendiri mengakui bahwa kearifan lokal merupakan nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara
lestari. Kearifan lokal mutlak untuk dimanfaatkan dan dilestarikan dalam upaya mitigasi
perubahan iklim. Pemerintah perlu membenahi dan meningkatkan kapasitas kelembagaan
masyarakat tradisional agar dapat berkontribusi maksimal dalam upaya mitigasi perubahan iklim
yang mereka lakukan. Kearifan lokal yang selama ini dilakukan masyarakat adat mengalami
peminggiran dan kemerosotan akibat dari model pembangunan sumber daya alam yang
eksploitatif dan cenderung memarginalkan masyarakat sekitar hutan. Sebagai contoh, suku
Rejang memilki kearifan lokal dengan zonasi hutannya, mereka telah menetukan ombo lem
(hutan dalam), imbo u'ai (hutan muda) dan pinggea imbo (hutan pinggiran). Dengan zonasi yang
2

mereka buat, maka ada aturan-aturan tentang penanaman dan penebangan kayu sehingga
kelestarian hutan tetap terjaga.
Kearifan lokal tidak hanya terbatas dalam pengelolaan hutan, namun di sektor pertanian,
yang merupakan sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim, kearifan lokal pun dapat
dijadikan sebagai bentuk adaptasi dan mitigasi. Masyarakat sebenarnya memilki kearifan lokal
terkait pengelolaan benih dan cadangan pangan untuk keluarga dan kelompoknya. Lumbung
yang merupakan mekanisme penyimpanan cadangan makanan yang baisa dilakukan masyarakat
tradisional. Seperti yang dilakukan di wilayah Suku Dayak pengunungan Meratus, Kalimantan
Selatan yang mampu memilki cadangan makanan selama 9 tahun karena pengelolaan lumbung
yang baik. Nusa Tenggara Timur, dimana masyarakat di sana telah merevitalisasi lumbung
keluarga, kelompok hingga lumbung adat. Masyarakat di sana memilki aturan adat khusus untuk
mengakses bahan makanan yang tersimpan di dalam lumbung. Ragam pangan yang mengisi
lumbung juga beragam sehingga mereka tidak tergantung pada satu komoditas saja untuk
mengatasi permasalahan pangan di daerahnya.
Selain kearifan lokal, pengetahuan masyarakat perlu ditingkatkan dalam upaya adaptasi
dan mitigasi perubahan iklim. Peran pemerintah daerah dalam pemilihan kebijakan yang
mengarah pada peran aktif masyarakat dan peran lembaga pemerintah lainnya diharapkan dapat
membantu masyarakat mengahdapi dampak perubahan iklim. Seperti yang dilakukan BMKG
dengan program Sekolah Lapang Iklim (SLI) yang dilakukan di setiap propinsi di Indonesia
melalui Unit Pelaksana Teknis di daerah. Program SLI ini diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan petani dalam memanfaatkan informasi iklim dan mampu mengidentifkasi
perubahan iklim serta meningktakan sikap kritis saat mengambil keputusan dalam upaya mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim. Pengetahuan informasi iklim dipadukan dengan kearifan lokal
masyarakt setempat tentunya akan menjamin keberhasilan sikap masyarakat untuk menghadapi
dan beradaptasi dengan dampak dari perubahan iklim.

Anda mungkin juga menyukai