Hipotensi Intradialisis - Unlocked
Hipotensi Intradialisis - Unlocked
Acc Supervisor
HIPOTENSI INTRADIALISIS
Ananda Wibawanta Ginting
Divisi Nefrologi Hipertensi Dept. Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/RSUP H. Adam Malik/RSU. Dr Pirngadi Medan
I. PENDAHULUAN
Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari
hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. IDH masih merupakan
masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti mual, dan kram, memiliki
pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialisis. Sebagai tambahan, IDH sering
membutuhkan cairan, atau penghentian dialisis lebih awal, yang kedua hal tersebut dapat
menyebabkan pembuangan cairan tidak adekuat. Pasien dengan IDH, sering mengalami
keadaan kelebihan cairan (volume overload) dan dialisis sering tidak adekuat.2,3,4
12,13
1,2,3
II. DEFINISI
Pada beberapa literatur, pengertian intradialytic hypotension (IDH) tidak memiliki
standardisasi dan beberapa studi memiliki definisi yang berbeda. Namun kebanyakan
mendefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai munculnya gejala spesifik.
Penurunan tekanan darah bisa relatif atau absolut. Sampai saat ini, belum ada evidence based
yang merekomendasikan pengertian IDH. Manifestasi dari IDH bervariasi mulai dari
asimptomatik sampai dengan syok. The EBPG working group menekankan bahwa menurunnya
tekanan darah, disertai dengan munculnya gejala klinis yang membutuhkan intervensi medis
harus dipikirkan kemungkinan munculnya IDH. Beberapa literatur mengemukakan bahwa30
IDHatau ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik
tekanan darah sistolik absolut dibawah 90 mmHg. Hipotensi pada dialisis bisa muncul
dengan beberapa gambaran klinis: (i) akut (episodik) hipotensi, didefinisikan sebagai
penurunan tekanan darah sistolik secara tiba-tiba dibawah 90 mmHg atau paling tidak 20
mmHg diikuti dengan gejala klinis, (ii) Rekuren (berulang), secara definisi sama seperti yang
sebelumnya, namun hipotensi terjadi pada 50% dari sesi dialisis, dan (iii) kronik, yaitu
hipotensi persisten yang didefinisikan sebagai tekanan darah interdialisis tetap dalam
kisaran 90-100 mmHg. Pedoman dari NKF KDOQI, mendefiniskan hipotensi intradialisis
1,2,3,4
1,2,6
ginjal
selain
glomerulonefritis,
dan
penggunaan
obat-obat
golongan
nitrat,
menyebabkan angka kejadian IDH lebih tinggi. Analisis multivariat, menyimpulkan bahwa usia,
hiperfosfatemia dan penggunaan obat-obatan nitrat merupakan faktor resiko independen untuk
terjadinya IDH. Pada studi lain, episode hipotensi muncul pada 44% pasien
da.
Abnormalitas dari jantung dapat meningkatkan resiko terjadinya IDH. Pada studi
observasional 15 pasien dialisis, penurunan tekanan darah lebih tinggi pada pasien dengan
disfungsi sistolik, dibandingkan dengan pasien dengan fungsi sistolik yang normal. Dan juga,
disfungsi diastolik bisa meningkatkan resiko IDH. Pada suatu studi observational, pasien
dengan IDH mempunyai hipertrofi ventrikel kiri yang lebih berat dengan tekanan darah predialisis yang lebih rendah, dan terganggunya pengisian diastolik ventrikel kiri. Walaupun
anemia dipertimbangkan sebagai faktor resiko untuk terjadinya IDH, belum ada studi yang
membahas hubungan anemia terhadap terjadinya IDH.1,7
Neuropati saraf autonom juga ditemukan sebagai salah satu faktor resiko
untuk IDH pada sebagian banyak penelitian, namun tidak pada semua penelitian.
Berikut ini adalah subgrup pasien dengan hemodialisis kronik yang harus
dievaluasi dengan hati-hati karena memiliki faktor resiko untuk terjadinya IDH:
1,2
V. Patofisiologi IDH
Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab dari IDH adalah multifaktorial.
Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan darah selama
hemodialisis: umur, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati, anemia, large interdialytic
weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat antihipertensi. Pada sisi lain, faktor-faktor yang
berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat
hemodinamik: sesi hemodialisis yang pendek, laju ultrafiltrasi yang tinggi, temperatur dialisat
yang tinggi, konsentrasi sodium dialisat yang rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi
dari membran dan lain-lain. Faktor yang kelihatannya paling dominan dari kejadian IDH ini
adalah berkurangnya volume sirkulasi darah yang agresif, dikarenakan ultrafiltrasi,
penurunan osmolalitas ekstraselular dengan cepat yang berhubungan dengan perpindahan
sodium, dan ketidakseimbangan antara ultrafiltrasi dan plasma refilling. Dari segi pandangan
fisiologi, IDH dapat dipandang sebagai suatu keadaan ketidakmampuan dari sistem
kardiovaskular dalam merespon penurunan volume darah secara adequat. Respon adequat
dari sistem kardiovaskular termasuk refleks aktivasi sitem saraf simpatetik, termasuk
takikardia dan vasokonstriksi arteri dan vena yang merupakan respon dari cardiac
underfilling dan hipovolemia. Mekanisme kompensasi ini dapat terganggu pada beberapa
pasien, yang akan menyebabkan mereka mempunyai faktor resiko terjadinya IDH.
Bagaimanapun, hal-hal seperti ini sulit untuk diukur dan untuk dimodifikasi. Suatu studi
komprehensif mengenai regulasi volume darah selama HD, dapat menolong kita untuk
mengerti tentang kemungkinan IDH pada individu pasien.1,2,3,4
(40% BW) dan sebagian lagi di kompartemen ekstraselular (20% BW). Ekstraselular dapat
dibagi lagi menjadi interstisial (15% BW) dan intravaskular (5% BW). Sehingga hanya sekitar
5-8% dari TBW yang dapat diultrafiltrasi. Sehingga untuk memindahkan sejumlah cairan
substansial dalam jangka waktu tertentu, kompartemen vaskular harus melakukan refilling
secara terus menerus dari ruangan interstisial. Dalam lingkaran fisiologis, penurunan volume
darah akan menginisiasi peningkatan resistensi vaskular perifer, dikarenakan vasokonstriksi,
dan mempertahankan cardiac output dengan cara meningkatkan heart rate dan kontraktilitas
miokard dan konstriksi dari capacitance vessels. Orang sehat dapat mentoleransi penurunan
volume sirkulasi darah sampai 20% sebelum munculnya hipotensi. Namun, pada pasien
dengan HD, hipotensi dapat muncul hanya dengan penurunan volume darah dalam jumlah
yang lebih sedikit. Terganggunya respon kardiak berupa peningkatan heart rate dan
kontraktilitas
miokardium
dapat
mencetuskan
terjadinya
IDH.
Telah
dikemukakan
sebelumnya bahwa adanya penyakit jantung, yang menyebabkan disfungsi sistolik atau
diastolik meningkatkan resiko terjadinya IDH. Penurunan tekanan darah lebih besar pada
pasien dengan disfungsi sistolik dibandingkan denga fungsi sistolik normal. Hipertrofi
ventrikel kiri yang lebih berat dan diastolic filling yang terganggu juga dijumpai pada pasien
IDH.1,2
Plasma refill sebagian besar diperankan oleh tekanan hidrostatik dan tekanan
onkotik. Selama sesi HD awal, tekanan onkotik vaskular meningkat dan tekanan hidrostatik
menurun sebagai hasil dari ultrafiltrasi yang progresif. Perubahan gradien tekanan
menyebabkan cairan bergerak ke dalam vaskular sampai keseimbangan tercapai. Begitu
seterusnya sampai sesi HD berakhir (Santoro et al., 1996). Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi laju plasma refilling adalah: status hidrasi kompartemen interstisial,
osmolalitas plasma, dan konsentrasi plasma protein, konsentrasi sodium dialisat,
permeabilitas vaskular, dan venous compliance. Sehingga, IDH dapat muncul ketika
terjadinya ketidakseimbangan diantara laju ultrafiltrasi dan kapasitas plasma refilling yang
tidak bisa diatur oleh refleks kompensasi kardiovaskular.1,2
Cardiac underfilling terutama ventricular underfilling merupakan salah satu
mekanisme akibat terganggunya mekanisme kompensasi kardiovaskular yang dapat
memicu sympatico-inhibitory cardiodepressor Bezold-Jarish reflex. Refleks ini berupa suatu
keadaan bradikardia akibat gangguan respon simpatik yang terganggu. Beberapa penelitian
telah menunujukkan bahwa gangguan fungsi simpatik, dapat ditunjukkan dengan beberapa
manifestasi, seperti berkurangnya frekuensi heart rate. Berkurangnya resistensi dan
kapasitansi pembuluh darah selama penurunan volume darah dapat memicu IDH.
1,2,7,15
Telah lama diketahui sebelumnya bahwa iskemia miokardium dapat disebabkan oleh
HD. Sesi HD yang singkat saja dapat berpengaruh secara signifikan terhadap hemodinamik,
dan 20-30% kejadian ini menyebabkan IDH. Pasien HD lebih rentan terhadap kejadian
iskemia miokardium. Dengan bertambah tingginya kejadian ateroma arteri koroner, pasien
diabetes dengan HD, mengalami suatu keadaan yaitu berkurangnya aliran koroner
walaupun tidak dijumpai lesi di pembuluh darah koroner. Pasien HD juga cenderung
mengalami LVH, berkurangnya compliance arteri perifer, gangguan mikrosirkulasi, dan
inefektif mikrosirkulasi, dan inefektif vasoregulasi. Seluruh faktor ini akan mempredisposisi
terjadinya iskemia jantung. Diabetes dapat menyebabkan komplikasi sistemik seperti
neuropati autonom, dan perifer, makroangiopati, dan progresifitas dari aterosklerosis dan
dapat memperberat atau bahkan meningkatkan kejadian IDH. Salah satu juga yang harus
diperhitungkan bahwa uremia sendiri dapat menyebabkan disfungsi autonom.1,2,7,15
Zat-zat Vasoaktif
Beberapa penulis mengindikasikan mengenai mengenai pengaruh dari beberapa
substansi vasoaktif yang disintesis atau dilepaskan selama sesi dialisis berlangsung. Seperti
yang telah diketahui sebelumnya, disfungsi endotel mempunyai peran penting dalam instabilitas
hemodinamik selama dialisis berlangsung. Sebagai respon mekanis dan kimia, sel endotel akan
merespon dengan memproduksi substansi biologis aktif, yaitu: endothelial derived relaxing
factor, NO, endothelin-1. Sebagai contoh, zat-zat cardiodepressive dan vasodilative adenosine
atau nitric oxide (NO) yang mengalami produksi berlebihan oleh inducible synthase. Adenosin,
suatu nukleosida purin endogen, dilepaskan oleh sel endotel dan miosit vaskular selama
terjadinya iskemia jaringan. Konsentrasi adenosin yang tinggi dan metabolitnya telah banyak
dijumpai pada pasien hemodialisis. Substansi ini bekerja dengan menstimulasi reseptor spesifik
dan efek yang ditimbulkannya adalah supresi dari kontraktilitas jantung, dan berkurangnya heart
rate, relaksasi arteri, dan juga menurunnya pelepasan katekolamin dan renin. Akumulasi dari
adenosin mungkin terjadi karena dipicu oleh IDH yang mencetuskan iskemia, dan hal ini
sepertinya tidak merupakan pemeran utama dari patogenesis terjadinya hipotensi intradialisis.
NO, merupakan zat kimia yang labil, disintesa dari asam amino L-arginine (L-arg) oleh enzim
NOS (Nitric Oxide synthase), studi invitro mengemukakan bahwa aktivitas dari NO synthase
meningkat ketika darah terekspos oleh material membran hemodialisis. Pada pasien dengan
hemodialisis, aktivasi dari sitokin
selama hemodialisis meningkatkan kadar NO, dan uremic milieu telah dilaporkan
meningkatkan sintesis dari NO dengan meningkatkan aktivitas dari NO synthase
(NOS). Sebenarnya ada zat yang menghambat sintesa dari NO, zat ini disebut
Asymmetric dimethyarginine (ADMA). Inhibitor ini bersifat dialyzable. Sehingga,
gangguan keseimbangan kadar NO dan ADMA selama proses HD, dapat
mencetuskan instabilitas hemodinamik. Endothelin-1 (ET-1) dapat memodulasi
respon vaskular, dan menentukan respon hemodinamik terhadap perubahan volume
intravaskular selama hemodialisis terjadi.
1,2,14
intravaskular.
terjadinya IDH. Walaupun kadar sodium dialisat yang tinggi dapat digunakan dalam
pencegahan IDH, hal ini tidak sepenuhnya bisa diterima, karena beberapa studi
menyimpulkan bahwa dengan kadar sodium dialisat yang tinggi berhubungan dengan
kontrol tekanan darah yang buruk selama sesi dialisis (intradialytic), terutama pada pasien
hipertensi atau peningkatan IDWG. Penggunaan cairan dialisat dengan kadar sodium yang
lebih tinggi(> 140 mEq/L) efektif untuk memastikan adequatnya vascular refilling dan telah
terbukti sebagai salah satu terapi yang efikasi dan toleransinya paling baik untuk hipotensi
episodik.2,3,4,5,8,10
Kadar sodium pada cairan dialisat dapat dimodifikasi selama hemodialisa dengan
tujuan mengurangi penurunan volume darah yang terlalu agresif selama ultrafiltrasi. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara memodifikasi konsentrasi sodium selama proses
hemodialisis. Pada umumnya, konsentrasi tinggi sodium dialisat digunakan pada awal
sesi HD, sehingga akan menyebabkan influx dari Na lebih awal untuk mencegah
penurunan osmolalitas plasma yang agresif. Banyak penelitian, mengemukakan bahwa
dialisis dengan kadar sodium tinggi, berhubungan dengan peningkatan rasa haus,
IDWG, dan peningkatan level tekanan darah predialisis.
2,3,5,18
Buffer Dialisat
Asetat, pada dekade sebelumnya digunakan sebagai buffer dialisat, mempunyai efek
vasodilatasi, dan efek kardiodepresan. Pada beberapa studi cross over yang kecil.
Penurunan tekanan darah yang lebih besar atau insidensi IDH yang lebih tinggi dijumpai
pada penggunaan asetat dibandingkan dengan bikarbonat. Suatu studi mengemukakan
bahwa toleransi ultrafiltrasi lebih baik dan signifikan dengan menggunakan bikarbonat
dibandingkan dengan penggunaan asetat. Ada dua studi yang mencoba efek dari
perubahan buffer asetat menjadi bikarbonat. Pada salah satu dari kedua studi tersebut,
merupakan non-randomized cross-over trial, menyimpulkan terjadinya penurunan insidensi
IDH sebesar 50%. Dan juga selama proses hemodiafiltrasi, sedikit terjadi instabilitas
hemodinamik pada penggunaan bikarbonat versus asetat sebagai buffer dialisat.1,2,3,6
Lebih jauh, diperkirakan bahwa, konsentrasi bikarbonat pada dialisat mempengaruhi
stabilitas hemodinamik. Pada studi randomized cross-over trial, insidensi IDH secara
signifikan lebih rendah dengan menggunakan dialisat bikarbonat. Bagaimanapun, pada
percobaan ini, juga menggunakan konsentrasi kalsium pada dialisat yang rendah (1.25
mmol/l). Pada beberapa penelitian randomized cross-over, tidak ada perbedaan instabilitas
hemodinamik atau penurunan tekanan darah yang ditemukan selama penggunaan dialisat
bikarbonat dengan konsentrasi 26 atau 32 mmol/L, walaupun dengan konsentrasi kalsium
pada cairan dialisat rendah (1.25 mmol/L). Pada percobaan ini, insidensi IDH lebih rendah
ketika pasien diberikan konsentrasi bikarbonat dialisat. 32 mmol/L dan konsentrasi kalsium
dialisat 1.50 mmol/L.1,2,3,6
Konsentrasi
bikarbonat
dialisat
yang
rendah
kemungkinan
akan
Sebagai kesimpulan, penurunan tekanan darah dan insidensi IDH lebih tinggi
pada penggunaan asetat sebagai buffer dialisat. Konsentrasi bikarbonat standar
tidak menyebabkan instabilitas hemodinamik jika dibandingkan dengan konsentrasi
bikarbonat dialisat yang rendah dengan konsentrasi kalsium 1.50 mmol/L.
Dialisat kalsium
Perubahan kalsium terionisasi memainkan peranan penting dalam kontraktilitas
miokardium selama hemodialisis berlangsung. Beberapa studi menunjukkan penurunan
kontraktilitas miokardium diantara pasien yang mendapat konsentrasi kalium rendah
(1.25 mmol/L) dibandingkan dengan pasien yang mendapat konsentrasi kalium yang
tinggi (1.75 mmol/L). Perubahan tekanan arterial rata-rata selama hemodialisis
berbanding terbalik dengan kadar kalsium terionisasi, sedangkan pada dua studi, yang
mana salah satunya dilakukan pada pasien dengan gangguan jantung disimpulkan
bahwa penurunan tekanan darah lebih sedikit pada pasien dengan konsentrasi kalsium
dialisat 1.75 mmol/L dibandingkan dengan 1.25 mmol/L. Pada studi lain, tidak ada
perbedaan respon tekanan darah dijumpai diantara konsentrasi kalsium rendah ataupun
tinggi. Dengan kata lain, dialisat tinggi kalsium menyebabkan keseimbangan kalsium
positif selama dialisis, sementara keseimbangan kalsium cenderung negatif dengan
kadar dialisat rendah kalsium. Dialisat tinggi kalsium mungkin memiliki efek jangka
pendek yang merugikan berupa kekakuan arteri, dan relaksasi jantung, walaupun
penelitan lain tidak menemukan efek peningkatan kadar kalsium terionisasi dengan
penggunaan dialisis tinggi kalsium pada fungsi diastolik jantung. Hubungan antara
konsentrasi kalsium dialisat dan kalsifikasi vaskular belum sepenuhnya dipelajari.
Studi randomized cross-over menilai efek dari kalsium yang diprofil pada stabilitas
hemodinamik pada 18 pasien hemodialisis. Selama periode 9 minggu, terdapat tiga terapi
dengan konsentrasi dialisat kalsium yang berbeda diterapkan, masing-masing 1.25 mmol/L,
dan 1.50 mmol/L dan terapi diprofil dengan konsentrasi kalsium 1.25 mmol/L selama 2 jam
pertama, dan 1.75 mmol selama 2 jam selanjutnya. Dengan terapi seperti itu, kejadian IDH
dapat dikurangi dibandingkan dengan konsentrasi dialisat 1.25 mmol/L dan 1.50 mmol/L.2
Sebagai kesimpulan, hampir kebanyakan studi menunjukkan efek positif dialisat
tinggi kalsium pada stabilitas hemodinamik selama dialisis dibandingkan dengan dialisat
rendah kalsium. Namun, dialisat tinggi kalsium menyebabkan keseimbangan kalsium positif
pada jangka pendek dan jangka panjang, mempunyai potensi efek yang merugikan.1,2
meningkat
walaupun terjadi kehilangan energi melalui sistem ekstrakorporeal. Hal ini dapat meningkatkan
resiko terjadinya IDH. Fenomena ini tidak sepenuhnya dimengerti. Ada yang mengemukakan
oleh karena heat load dari sistem ekstrakorporeal, ataupun proses sekunder dari perpindahan
cairan. Perpindahan cairan berasosiasi dengan peningkatan metabolic rate dan berkurangnya
kehilangan panas dari kulit yang disebabkan oleh vasokonstriksi perifer sebagai respon dari
penurunan volume darah. Peningkatan suhu inti tubuh menyebabkan dilatasi dari pembuluh
darah di kulit, hal ini berlawanan dengan respon fisiologis dari hipovolemia. Namun hipotesis ini
baru-baru ini ditentang. Agar mencegah peningkatan suhu inti ini, sejumlah energi panas
signifikan, sebesar 30% dari daily resting energy expenditure, harus dikeluarkan oleh sirkuit
ekstrakorporeal dengan mendinginkan dialisat. Berbagai percobaan randomized cross-over
menunjukkan bahwa dialisis dengan temperatur dialisat lebih dingin (pada kebanyakan studi
o
35 C) dikaitkan dengan peningkatan reaktivitas dari resistensi perifer dan kapasitansi pemubuluh
darah, meningkatkan kontraktilitas miokardium, mengurangi penurunan tekanan darah, dan
o
mengurangi frekuensi IDH dibandingkan dengan temperatur dialisat 37-37.5 C. Dialisis dengan
suhu yang lebih dingin dapat menyebabkan gemetar (keringat dingin), namun tidak semua studi.
Penurunan volume darah signifikan lebih tinggi dengan menggunakan dialisis temperatur dingin,
kemungkinan dikarenakan berkurangnya refill volume darah dari interstisial dikarenakan
vasokonstriksi perifer. Walaupun pada studi dimana penurunan volume darah lebih besar
dengan dialisis temperatur dingin, stabilitas hemodinamik meningkat jika dibandingkan dengan
temperatur dialisis standar. Oleh karena dialisis temperatur dingin terkadang dapat
menyebabkan gemetar (keringat dingin), the working group menyarankan untuk menurunkan
o
suhu dialisat secara bertahap, dari 36.5 C kebawah selama sesi dialisis yang berbeda agar
mencapai hasil klinis yang terbaik pada individu pasien. Agar mengurangi efek samping dan
dikarenakan pengalaman yang terbatas, serta tidak adanya bukti mengenai manfaat dari suhu
o
dialisat < 35 C, the working group menyarankan bahwa suhu dialisat < 35 C tidak boleh
digunakan.1,2,3,4,5,10,12,13,16
Sebagai kesimpulan, dialisis temperatur dingin efektif dalam mencegah IDH tanpa
efek samping yang merugikan. Agar dapat mengurangi efek samping seperti shivering,
maka dianjurkan penurunan temperatur dialisat secara bertahap mulai dari 36.5 oC sampai
didapatkan efek optimal. Sangat sedikit bukti dan keuntungan tambahan dengan penurunan
suhu dialisat < 35oC. Perlu diingat bahwa monitoring temperatur sulit pada pasien dialisis,
dikarenakan variasi suhu ruangan, suhu inti tubuh, dan temperatur dialisat, serta
kurangnya sensitivitas alat untuk memantau gradien suhu dialisat-darah.
1,2,3,4
Pencegahan IDH
Berat Badan Kering (Dry body weight)
Perhitungan dry body weight yang tidak tepat dapat menyebabkan underhydration atau
overhydration pasien dialisis. Studi-studi sebelumnya menunjukkan jumlah signifikan dari pasien
tidak stabil yang pada awalnya normohidrasi atau underhidrasi, menjadi underhydrated pada
akhir sesi dialisis. Pada pasien underhydrated, volume interstisial sangat kurang, dan
volume darah yang lebih besar. Dengan kata lain, overestimasi berat badan kering dapat
menyebabkan hipertensi dan meningkatkan resiko terjadinya dilatasi jantung, dan edema paru.
Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk menilai keadaan pasien apakah pasien kemungkinan
underhydrated
atau
Cardiothoracic ratio dengan X-ray bisa mendeteksi pasien overhydrated, tetapi tidak dapat
digunakan sebagai alat untuk pencegahan terjadinya IDH. Diameter vena cava inferior, dapat
diukur dengan ekokardiografi, berhubungan dengan volume darah, dan tekanan atrium kanan
dan dapat memprediksi perubahan hemodinamik selama proses dialisis. Analisis Multifrequency
bioimpedance dapat digunakan untuk memprediksi instabilitas hemodinamik pada beberapa
studi. Alat ini juga sangat sensitif dalam mendeteksi perubahan status cairan. Marker biokimia
seperti cGMP, tetapi bukan ANP, dapat memprediksi perubahan hemodinamik selama dialisis
berlangsung. Baik cGMP dan ANP dilepaskan sebagai respon terhadap peregangan atrium kiri.
cGMP ditemukan dan dianggap kemungkinan berguna untuk diagnosis overhydration, namun
tidak dapat memprediksi underhydration. Dan juga BNP, yang dilepaskan sebagai respon
terhadap peregangan terhadap ventrikel kiri, dapat memprediksi overhidration, tetapi tidak
underhydration.
Evaluasi jantung harus dilakukan pada pasien dengan frekuensi IDH yang sering.
Keadaan penyakit jantung, menyebabkan disfungsi sistolik dan disfungsi diastolik dari
2,15
laju ultrafiltrasi standar. Dan mortalitas lebih rendah pada pasien dengan laju ultrafiltrasi < 10
ml/kg/jam. Pada pasien yang menjalani dialisis 8 jam sebanyak 3 x seminggu, insidensi
hipotensi sangat rendah. Dengan frekuensi hemodialisis yang lebih sering, seperti quotidian
dialysis atau short daily dialysis, kontrol tekanan darah lebih bagus, dan masa ventrikel kiri
juga berkurang. Karena frekuensinya lebih sering, volume ultrafiltrasi dikurangi. Suatu studi
menunjukkan pengurangan insidensi IDH dengan mengganti frekuensi HD dari 3-4 kali
seminggu menjadi 6 kali, 2 jam per sesi dialisis. Suatu studi menunjukkan pengurangan
kebutuhan infus salin setelah konversi frekuensi hemodialisis dari 3x seminggu menjadi 6x
seminggu. Pada studi kohort, 23 pasien (11 pasien, short daily dialysis; 12 pasien, long
nocturnal dialysis) dibandingkan dengan 22 HD konvensional (3x seminggu) sebagai kontrol.
Terjadi pengurangan insidensi dialysis-related symptoms pada short daily dialysis. Namun
studi oleh Fagugli et al pada pasien yang stabil, tidak ada perbedaan IDH diantara short
daily dialysis dan dialisis standar 3x seminggu. Sebagai kesimpulan, ada bukti yang
menunjukkan bahwa memperpanjang waktu dialisis dapat menurunkan kejadian IDH,
dengan penurunan laju ultrafiltrasi sehingga penurunan tekanan darah sistolik tidak terlalu
agresif pada pasien dengan fungsi jantung terganggu.2
Penatalaksanaan IDH
Pendekatan Lini Pertama
Posisi Trendelenburg
2,3,4
Stop Ultrafiltrasi
2,3,4
2,9
Salin isotonik harus diinfuskan, pada pasien yang tidak respon dengan penghentian
ultrafiltrasi dan posisi trendelenburg selama episode IDH. Pemberian cairan ini paling sering
diberikan untuk meningkatkan volume darah selama kejadian IDH. Baik kristaloid dan koloid
telah dipelajari dalam pengobatan IDH. Beberapa studi telah menilai efek dari salin isotonik,
glukosa hipertonik, manitol, dan larutan koloid. Pada studi tersebut membandingkan efek
dari isovolumetrik infus glukosa 5 dan 20%, salin 0.9% dan 3.0% dan manitol 20% dalam
volume darah selama ultrafiltrasi, peningkatan volume darah paling besar selama pemberian
larutan glukosa hipertonik. Pada studi lain, peningkatan volume darah lebih besar setelah
pemberian infus 100 ml plasma ekspander gelofusin dibandingkan dengan 100 cc salin
isotonik. Pada studi lain, tidak ada perbedaan signifikan antara pemberian albumin
dibandingkan salin isotonik untuk penatalaksanaan IDH. Sebagai kesimpulan baik salin
isotonik dan larutan albumin sama-sama efektif pada pengobatan IDH. Salin hipertonik tidak
lebih superior dari salin isotonik, dan albumin tidak lebih superior dari albumin atau HES
pada penatalaksanaan IDH.
Intervensi farmakologis
1,2,17
Midrodin merupakan suatu obat alpha-1 agonist oral. Metabolit dari midodrine,
desglymidodrine, menyebabkan konstriksi dari resistance dan capacitance vessels.
Midrodrine mencegah IDH dengan mempertahankan volume darah sentral dan cardiac
output, dan peningkatan resistensi vaskular perifer. Midodrin efektif diekskresikan melalui
hemodialisis, dan waktu paruh berkurang sampai 1.4 jam dengan hemodialisis. Midodrine
memiliki efek jantung yang minimal, dan efek susunan saraf pusat, dikarenakan spesifisitas
terhadap1,danreseptortidak melewati BBB. Pemberian dosis tunggal midodrine (5
mg)
30 menit sebelum sesi dialisis berhubungan dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan
diastolik dan MAP intradialisis dan pos dialisis, dibandingkan dengan sesi dialisis tanpa
penggunaan midodrine. Penelitian lain menunjukkan efikasi dari penggunaan midodrine
berketerusan (8 bulan) dan tidak ada tanda-tanda efek samping yang berkembang. Namun
beberapa literatur pernah menemukan komplikasinya berupa supine systolic hypertension.
Beberapa studi mengemukakan efek samping yang dijumpai antara lain scalp paresthesias,
heartburn, flushing, nyeri kepala, nyeri leher, dan kelemahan tungkai, urinary urgency, dan
gangguan tidur. Pasien juga harus dimonitor untuk kemungkinan bradikardia, oleh karena
midodrine dapat menstimulasi refleks parasimpatis. Midodrin harus digunakan secara hatihati pada pasien CHF dan obat-obat kronotropik negatif seperti beta-bloker, digoksin, dan
CCB nondihidropiridin. Penggunaan bersama-sama dengan obat -adrenergik yang lain
seperti efedrin, pseudoefedrin, dan phenylpropanolamin harus dihindari, oleh karena akan
mencetuskan supine hypertension. Suatu studi membandingkan efektivitas dari midodrine
dan dialisis temperatur dingin. Baik dialisis temperatur dingin, dan midodrine sama-sama
efektif dalam pencegahan IDH, dan tidak ada perbedaan respon tekanan darah dan
insidensi IDH diantara kedua terapi tersebut. Efektivitas dari beberapa obat vasoaktif dalam
pencegahan IDH telah dilaporkan. Data mengenai efektivitas dan keamanan dari lisin
vasopresin, ergotamin, metilen blue, sertralin dan dobutamin sangat terbatas dan tidak bisa
dijadikan rekomendasi. Pada beberapa literatur menyimpulkan bahwa dosis awal midodrine
adalah 2.5 mg, dimakan 30 menit sebelum dialisis, dengan dosis maksimal 10 mg, efektif
dan mungkin aman dalam pencegahan IDH, walaupun data tentang keamanan dalam
penggunaan jangka panjang masih terbatas. Namun, superioritas dari midodrine
dibandingkan dari intervensi lain belum dapat dibandingkan.
L-carnitine, suplementasi zat golongan ini harus dipertimbangkan dalam pencegahan
IDH jika pengobatan standar lainnya gagal. Pada pasien hemodialisis, kadar L-carnitine menjadi
rendah oleh karena berkurangnya biosintesis oleh ginjal, dan kehilangan dari cairan dialisat.
Defisiensi l-carnitine dapat menyebabkan berkurangnya fungsi sistolik dari jantung. Pemberian lcarnitine juga meningkatkan fraksi ejeksi dari ventrikel kiri. Suatu penelitian dengan pemberian
infus L-carnitin 20 mg/kg pada setiap sesi dialisis mengurangi frekuensi IDH dan kram otot (44%
banding 18% dan 36% banding 13%) dibandingkan dengan plasebo. Mengenai alasan atas
keuntungan ini belum jelas, namun kemungkinan dikarenakan peningkatan fungsi otot polos
vaskular dan fungsi otot jantung. Namun, masih sedikit bukti
1,2,3
KESIMPULAN
Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling
sering dari hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. IDH masih
merupakan masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti mual, dan
kram, memiliki pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialisis. Sebagai
tambahan, IDH sering membutuhkan cairan, atau penghentian dialisis lebih awal,
yang kedua hal tersebut dapat menyebabkan pembuangan cairan tidak adekuat.
Patogenesis dari hipotensi intradialisis multifaktor, namun secara umum
disebabkan sebagai hasil dari gangguan tiga faktor utama .
Banyak intervensi/cara untuk mencegah IDH seperti: penggunaan dialisis
temperatur dingin, pengaturan profil natrium, peningkatan kadar kalsium dialisat, dan
beberapa penggunaan pressor agents
DAFTAR PUSTAKA
1. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Cardiovascular Disease in Dialysis
patients: NKF KDOQI Guidelines, National Kidney Foundation Inc 2005
2. Kooman Jeroen et al, European Best Practice Guidelines (EBPG) Guideline
on haemodynamic instability: Nephrology Dialysis Transpant (2007); Oxford
University Press, pg ii22-ii44
3. W Sulowicz et al, Pathogenesis and treatment of dialysis hypotension:
International Society of Nephrology 2006, pg s36-s39
4. Biff F. Palmer et al, Recent Advances in the Prevention and
Management of Intradialytic Hypotension: J Am Soc Nephrol 19: 8
11, 2008. doi: 10.1681/ASN.2007091006
5. Sunita Dheenan et al, Preventing dialysis hypotension: A comparison of usual
protective maneuvers: Kidney International, Vol. 59 (2001) , pp. 1175-1181
12. Frank M. Van der Sande, Management of Hypotension in Dialysis Patients: Role of
Dialysate Temperature Control, Departement of Nephrology, University Hospital
Maastricht, The Netherlands: Saudi J Kidney Dis Transplant 2001;12(3):382-386