Judul Jurnal Frequency Of Intradialytic Hypotension In Patients With
Chronic Kidney Disease Nama Penulis Izhar Ali Bangash Irfan Mirza Syed Hassan Mustafa Farah Iqbal Nomor/Tahun/ 30/2023/30 Volume Latar belakang Ketidakstabilan hemodinamik selama dilakukannya hemodialisis adalah masalah yang penting dan sering terjadi. Salah satu masalahnya yaitu ketidakstabilan hemodinamik adalah hipotensi intradialitik (IDH). IDH sendiri adalah penurunan tekanan darah sistolik sebesar ≥20 mmHg setelah dimulainya dialisis atau penurunan tekanan darah arteni rata- rata > 40 mmHg selama dialisis. Banyak faktor yang dapat melatarbelakangi hal ini yaitu jantung koroner, aritmia, sepsis, emboli udara, penyakit perikardial, kehilangan darah dan reaksi analifilaksis terhadap dialyzer. Meskipun tidak memiliki penyakit yang disebutkan diatas, IDH dapat juga terjadi karena ketika cairan keluar dari tubuh dikeluarkan dengan cepat sehingga menyebabkan hipovolemia. Tindakan yang dapat dilakukan untuk meniminalisir kejadian IDH adalah dengan mengeluarkan cairan dengan hati-hati dan perlahan untuk mencegah hipotensi, dan menghentikan sesi hemodialisis secara bersamaan ketika IDH berkembang. Selain itu mengubah posisi pasien dan memberikan cairan oral dan intravena. Cairan yang sering digunakan yaitu infus normal saline, hypertonic saline, dextrose saline, dan albumin. Angka kematian akibat IDH sangat signifikan apalagi pada pasien CKD yang diwajibkan cuci darah. Tujuan Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hipotensi intradialitik pada penyakit kronis Metode Studi cross sectional ini dilakukan pada bulan April 2019 hingga Juli 2019 di unit Hemodialisis Ayub Teaching Hospital (ATH), Abbottabad. Sebanyak 95 pasien dilibatkan dalam penelitian, dengan pengambilan sampel dilakukan melalui non- probability konsekutif sampling. Kriteria inklusi kami meliputi; usia 18 – 60 tahun, pasien dengan gangguan fungsi ginjal selama 6 bulan dan menjalani hemodialisis rutin. Sedangkan kriteria eksklusinya yaitu; syok septik, syok kardiogenik, perdarahan masif karena sebab apa pun, pasien dengan riwayat diare atau muntah berat, pasien dengan penyakit jantung koroner, penyakit katup jantung, atau kardiomiopati. Semua data dimasukkan dan dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 22. Rata-rata dan deviasi standar dihitung untuk variabel kuantitatif seperti usia, dan tekanan darah sebagai tekanan darah sistolik dan tekanan arteri rata-rata. Frekuensi dan persentase dihitung untuk variabel kategori seperti gender dan IDH. Data dikelompokkan berdasarkan usia dan jenis kelamin sehubungan dengan variabel hasil yaitu adanya IDH. Hasil
Ada 95 pasien yang dilibatkan dalam penelitian ini. Di antara
pasien tersebut, 49 orang adalah pasien laki-laki dan 46 orang adalah pasien perempuan. Pasien termuda berusia 20 tahun sedangkan pasien tertua berusia 60 tahun. Rerata usia ± SD adalah 42,98 ± 11,35 tahun. Mengenai tekanan darah sistolik (SBP), nilai rata-rata sebelum sesi dimulai adalah 159 ± 29 mmHg sedangkan tekanan arteri rata-rata (MAP) adalah 114 ± 19 mmHg. Demikian pula, pada pertengahan sesi, SBP dan MAP diukur masing-masing sebesar 148 ± 26 mmHg dan 108 ± 17 mmHg. Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus estimasi besar sampel WHO dengan asumsi sebagai berikut: Prevalensi IDH pada pasien CKD: 57%7, Tingkat kepercayaan: 95% dan Presisi Absolut 10%. Hipotensi intradialitik didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20 mm Hg setelah dimulainya dialisis atau penurunan tekanan arteri rata-rata > 10 mm Hg selama dialisis. Pembahasan Tingginyafrekuensi IDH di unit hemodialisis Rumah Sakit Pendidikan Ayub Abbottabad cukup tinggi. IDH memiliki angka kematian yang tinggi, hal ini menandakan pentingnya pemantauan tekanan darah secara berkala selama sesi hemodialisis. Dalam penelitian ini tekanan darah diukur dua kali selama hemodialisis, dengan satu pembacaan dilakukan pada awal dialisis dan pembacaan lainnya dilakukan ketika lebih dari separuh sesi telah dilakukan. Namun dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa frekuensi IDH paling tinggi terjadi pada 25% awal sesi, oleh karena itu staf hemodialisis harus mewaspadai IDH sejak awal sesi. Dalam penelitian ini, frekuensi IDH ditemukan serupa pada kedua jenis kelamin (23,2% pada laki-laki vs 26,3% pada perempuan). Dalam literatur, jenis kelamin perempuan disebutkan sebagai faktor risiko terjadinya IDH, namun pada penelitian ini jenis kelamin tidak masuk dalam faktor risiko terjadinya IDH. Karena frekuensi berbagai kondisi medis yang biasanya meningkatkan kemungkinan terjadinya IDH meningkat seiring bertambahnya usia, maka frekuensi IDH itu sendiri diperkirakan akan meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini, berlawanan dengan penelitian ini dimana dilakukan pengamatan bahwa frekuensi IDH tidak dipengaruhi oleh usia. Salah satu alasannya mungkin karena usia rata-rata ukuran sampel relatif muda dan frekuensi IDH diperkirakan tinggi pada pasien berusia di atas 60 tahun. Kami mengamati bahwa IDH terjadi pada 49% pasien dan hal ini sesuai dengan literatur. Dengan demikian mereka menunjukkan bahwa 68% pasien mengalami IDH selama dialisis ketika nilai batas IDH dianggap sebagai penurunan tekanan darah sistolik > 20mmHg. Namun, hanya 10% pasien yang kadar SBP-nya turun hingga di bawah 90mmHg, menunjukkan bahwa jika hal ini dianggap sebagai IDH dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Oleh karena itu dapat dilakukan pencegahan seperti meningkatkan durasi dialisis menjadi 4 jam, mengeluarkan darah dari tubuh secara perlahan, membatasi asupan natrium, membatasi dialisat, dan sering memantau tekanan darah. Selain itu ada beberapa anjuran dari dokter untuk mengurangi kejadian IDH yaitu pertama, riwayat rinci harus diambil dari semua pasien yang menjalani dialisis dan setiap pasien dengan kondisi yang disebutkan di atas di bagian pendahuluan harus diberi label sebagai pasien berisiko tinggi. Kedua, semua pemeriksaan penunjang yang relevan harus dilakukan terutama hitung darah lengkap dan elektrolit serum, dan kelainan jika ditemukan harus diselesaikan sebelum memulai sesi. Ketiga a, anjuran mengenai pembatasan diet natrium harus dilakukan secara rutin. Dan yang terakhir yaitu cairan harus dikeluarkan secara perlahan dan ultra filtrasi atau dialisis harus segera dihentikan jika pasien mengalami perkembangan gejala IDH apapun. Kesimpulan Presentase IDH ketika dilakukan hemodialisis di rumah sakit sangat tinggi apalagi di Rumah Sakit Pendidikan Ayub Rumah Sait Abbottabad. Karena dialisis merupakan kebutuhan pasien CKD dan tidak dapat ditinggalkan, maka frekuensi cuci darah yang tinggi sangat mengkhawatirkan bagi pasien itu sendiri. Hal ini haruslah menjadi perhatian yang penting bagi tenaga medis.