Perkawinan Dibawah Tangan
Perkawinan Dibawah Tangan
PENDAHULUAN
perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan
anak, perwalian, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan
penutup.
Ketentuan mengenai harta benda dalam perkawinan, menurut pasal 35 UU
Perkawinan, menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama. Harta yang diperoleh selama perkawinan, yang berarti
perkawinan sebagaimana pasal 1 UU Perkawinan, bahwa Perkawinan ialah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.
Perkawinan tersebut harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan sesuai
dengan pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. selain itu harus didasarkan atas syarat
perkawinan, sesuai pasal 9 UU Perkawinan menentukan bahwa Seorang yang masih
terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal
yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Perkawinan yang dibuat tidak memenuhi syarat perkawinan, perkawinan
tersebut dapat dibatalkan sesuai pasal 22 UU Perkawinan yang menentukan bahwa
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut, suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang
lebih dahulu, orang-orang ketiga lainnya sepanjang mereka memperoleh hak-hak
dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan
hukum tetap sebagaimana pasal 28 UU Perkawinan.
2
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang dipermasalahkan dalam tesis
ini adalah:
a. Bagaimana tinjauan hukum islam dan UU No. 1 Tahun 1974 terhadap
prosedur perkawinan dibawah tangan atau siri ?
b. Bagaimana akibat hukum terjadinya perkawinan di bawah tangan ?
c. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mencegah perkawinan dibawah
tangan atau siri ?.
3. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan menganalisis gambaran yang jelas tentang Hukum
Islam dan Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
dibawah tangan.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis hubungan antara kenyataan dengan
ketentuan yang di atur dalam Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan dibawah tangan yang kususnya bagi yang beragama islam
4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapat dalam penelitian ini selain menambah wawasan ilmu
pengetahuan khususnya yang berhubungan dengan perkawinan dibawah tangan serta
akibat hukumnya . Selain itu dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran bagi
pihak-pihak yang bersengketa yang berhubungan dengan perkawinan dibawah tangan
dan akibat hukumnya terhadap harta benda dalam perkawinan tersebut.
harta tersebut tidak harus dengan persetujuan kedua belah pihak, kecuali ditentukan
lain, maksudnya dibuat lain dalam suatu perjanjian kawin.
Perihal perjanjian kawin, diatur dalam pasal 29 UU Perkawinan, yang
menentukan:
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga tersangkut;
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan;
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan;
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Mengenai perjanjian kawin, Soetojo Prawirohamidjojo mengemukakan: Maksud
pembuatan perjanjian kawin ini adalah untuk mengadakan penyimpangan terhadap
ketentuan-ketentuan tentang harta kekayaan bersama.1 Hal ini berarti perjanjian
kawin ada kaitannya dengan hal untuk mengatur harta perkawinan. Oleh karena itu
dalam perjanjian kawin ini yang diatur meliputi:
(1) bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu
pihak dari pihak yang lain;
(2) kedua belah pihak masing-masing membawa masukkan (aanbrengst) yang
cukup besar;
(3) masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andai kata salah
satu jatuh pailit, yang lain tidak tersangkut;
(4) atas pinjaman-pinjaman yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing
akan bertanggung jawab sendiri-sendiri.2
1
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2001, h. 58.
2
Ibid.
5
Dengan demikian selama tidak ditentukan lain dalam suatu perjanjian kawin, maka
UU Perkawinan membedakan antara harta bawaan dan harta bersama. Harta bawaan
yaitu harta yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung dan dibawa ke dalam
perkawinan termasuk pula harta yang diperoleh selama perkawinan dari hibah
maupun warisan, sedangkan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama
perkawinan berlangsung. Mengenai bagaimana akibatnya terhadap harta bersama
tersebut jika perkawinan berakhir karena perceraian, pasal 37 UU Perkawinan
menentukan bahwa jika perkawinan bubar, pembagian harta bersama akan diatur
menurut hukum masing-masing.
b. Pembatalan Perkawinan
Pembatalan berasal dari kata batal yang artinya tidak sah lagi, tidak berlaku, siasia. Mengenai pembatalan perkawinan, meskipun ketatnya pengawasan yang
dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan, masih banyak terjadi kemungkinan
suatu perkawinan yang sebenarnya dilarang oleh hukum yang berlaku. Menurut
Djoko Prakoso, sudah selayaknya perkawinan semacam ini dianggap batal. Kalau
tidak, apakah gunanya diadakannya suatu larangan.3 Pembatalan perkawinan
menurut Soetojo Prawiro-hamidjojo mengemukakan sebagai berikut:
Istilahnya batalnya perkawinan itu tidaklah tepat, lebih tepat kalau dikatakan
dapat dibatalkan perkawinan. Sebab bilamana perkawinan itu tidan memenuhi
syarat-syarat, maka barulah perkawinan itu dibatalkan sesudah diajukan ke
muka pengadilan. Bila demikian halnya, maka istilahnya bukan batal (neitig),
melainkan dapat dibatalkan (verneitigbaar).4
3
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di
Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1999, h. 87.
4
6
secara paksaan salah satu pihak, dapat digunakan sebagai alasan pihak lain untuk
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan tersebut pada pengadilan.
Mengenai pembatalan perkawinan dijelaskan oleh pasal 38 PP No. 9
Tahun 1975 sebagai berikut:
(1)Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh
pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya
perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri,
suami atau isteri.
(2)Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan
dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan
perceraian.
Pasal 42 UU Perkawinan menentukan bahwa anak sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 ayat (1) UU
Perkawinan, yang menentukan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
6. Metodologi Penelitian
a. Pendekatan Masalah
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah
pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).6
Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
dibahas yaitu mengenai pengurusan harta yang diperoleh selama perkawinan yang
tidak dicatatkan.
6
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2006, h. 93.
10
b. Bahan Hukum
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber
penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum
sekunder. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatancatatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusanputusan hakim. Bahan hukum primer terdiri atas UU Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan materi yang
dibahas. Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar
atas putusan pengadilan.7
c. Prosedur Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum
Pada penelitian bagi kegiatan akademis perlu dilakukan telaah yang
mendalam mengenai perundang-undangan di bidang tertentu yang berkaitan dengan
masalah yang dihadapi. Pembahasan masalah dalam penelitian hukum ini akan
dilakukan secara kritis dengan menggunakan teori-teori hukum yang disusun secara
sistematis dan teratur untuk memperoleh jawaban atas permasalahan yang dibahas
dalam tesis ini dan untuk mengungkap nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya.
Sedangkan analisis bahan hukum dilakukan langkah-langkah yaitu mengidentifikasi
fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu
hukum yang hendak dipecahkan; pengumpulan bahan-bahan hukum bahan-bahan
hukum dan sekiranya dipandang mempunyai relevansi juga bahan-bahan non-hukum;
melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah
dikumpulkan; menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu
7
Ibid., h. 141.
11
kesimpulan dan alternatif pemecahan atas permasalahan yang diletakkan pada sub
bab saran.
13
BAB II
STATUS HARTA PERKAWINAN YANG TIDAK MEMENUHI
SYARAT PERKAWINAN
10
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermusa, Jakarta, 1978, h.23
ad.1. Ikatan Lahir batin, maksudnya bahwa ikatan itu tidak hanya cukup dengan
dengan ikatan lahir dan batin saja, akan tetapi kedua-duanya harus terpadu
erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan
mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang
wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri yang disebut hubungan
formal sebaliknya suatu ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal,
suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Perkawinan bukan hanya menyangkut unsur
lahir, akan tetapi juga menyangkut unsur batiniah yang dalam dan luhur.
ad.2.
Antara seorang pria dan seorang wanita, maksudnya ikatan perkawinan hanya
boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita, maka hubungan
perkawinan selain antara pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi, misalnya
antara seorang pria dengan seorang pria atau seorang wanita dengan seorang
wanita ataupun seorang wadam dengan seorang wadam lain Di samping itu
dalam unsur kedua ini terkandung asas monogami.
ad.3.
Sebagai suami istri, maksudnya seorang pria dan seorang wanita dipandang sebagai suami istri bilamana ikatan antara seorang pria dan
seorang wanita didasarkan pada suatu perkawinan yang sah. Suatu pekawinan sah jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pasal 2
UU Perkawinan. Ada dua macam syarat yaitu syarat-syarat intern maupun syarat-syarat ekstern.Yang dimaksud syarat-syarat intern
adalah yang menyangkut pihak-pihak yang melakukan perkawinan yaitu: kesepakatan kedua belah pihak baik dari pihak pria dan pihak
wanitanya, kecakapan dan juga adanya izin dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syaratsyarat ekstern adalah yang menyangkut formalita-formalita pelangsungan perkawinan.
ad.4.
Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, maksud keluarga disini ialah satu kesatuan yang terdiri atas ayah,ibu,
dan anak. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang merupakan pula tujuan perkawinan. Untuk
dapat mencapai keluarga yang bahagia, maka diharapkan kekekalan dalam perkawinan, yaitu bahwa sekali orang melakukan
perkawinan, tidak akan bercerai untuk selama-lamanya, kecuali cerai karena kematian.
ad.5.
Esa,
maka
perkawinan
mempunyai
hubungan
erat
dengan
yang
berlaku.
Menurut Penjelasan pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, sebagai berikut: Dengan
perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar
1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya
dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
undang-undang ini.
13
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, h. 7.
16
17
18
Sesuai dengan pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan adanya persetujuan kedua belah pihak
ini dengan pertimbangan bahwa perkawinan mempunyai maksud agar suami dan
isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, maka perkawinan harus
disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada
paksaan dari pihak manapun. K. Wantjik Saleh berpendapat: Hendaklah persetujuan
itu adalah suatu yang murni, yang betul-betul tercetus dari para calon sendiri dalam
bentuk kemauan untuk hidup bersama seumur hidup, bukan secara pura-pura atau
hasil paksaan. Apabila dalam suatu perkawinan hanya 1 pihak saja yang menyetujui
maka perkawinan tersebut tidak memenuhi syaratsyarat perkawinan.
Pada pasal 6 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 dijelaskan jika usianya kurang dari 21 tahun harus dengan persetujuan orang tuanya.
Mengenai batasan usia perkawinan pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menentukan: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dengan batasan usia perkawinan tersebut di
harapkan agar tidak terjadi perkawinan terlalu muda, karena untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunannya, dan sesuai dengan prinsip
bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian, Hal ini sesuai dengan pendapat dari Sudarsono sebagai berikut:
Calon suami
istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan
secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik
dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri
yang masih di bawah umur.14
Perkawinan dilarang jika antara calon suami dan calon isteri masih ada
hubungan darah sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 UU Perkawinan, yang
menentukan sebagai berikut :
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas;
.K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1987, h. 25.
14
Sudarsono, Op. cit., h. 8.
19
perkawinannya
belum sah
dan dianggap
belum terjadi
perkawinan
atau
dan
wanita.
b. Wali
c. Saksi
d. Akad Nikah15
Perkawinan jika syarat-syarat maupun rukun perkawinan tidak terpenuhi,
maka perkawinannya tidak batal demi hukum melainkan perkawinan tersebut dapat
dibatalkan.
21
Islam
dan
Undang-Undang
17Ibid.
23
2.
akta lebih menonjolkan pada isi akta, yaitu berisikan perbuatan hukum yang dibuat
oleh pihak-pihak. Perbuatan hukum tersebut diwujudkan dalam suatu tulisan-tulisan
yang digunakan sebagai bukti telah terjadinya suatu ikatan. Oleh karena berisikan
suatu perbuatan hukum antara para pihak dan digunakan sebagai bukti, maka surat
meskipun dibuat dalam bentuk tertulis, namun karena tidak berisikan adanya
perbuatan hukum, maka tulisan tersebut tidak dapat disebut sebagai akta, tetapi hanya
surat biasa.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya surat dapat disebut sebagai
akta, adalah sebagai berikut:
1)
24
2)
surat itu harus memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak
atau perikatan, dan
3)
pada surat tersebut dengan tujuan untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisasi
sebuah akta, sebab tandatangan dari setiap orang mempunyai ciri tersendiri yang
tidak mungkin sama dengan tandatangan orang lain.
Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hal atas perikatan, maksudnya bahwa surat itu harus berisikan sesuatu
keterangan yang dapat menjadi bukti yang dibutuhkan oleh para pihak yang menandatanganinya. Mengenai maksud pencantuman peristiwa hukum
yang termuat dalam surat tersebut haruslah merupakan peristiwa hukum yang menjadi dasar adanya perikatan. Oleh karena itu jika dalam surat
tersebut tidak termuat dasar perikatan, maka tidak dapat disebut sebagai akta, sebab itu tidak mungkin digunakan sebagai alat bukti telah terjadinya
suatu perikatan.
Surat itu diperuntukkan sebagai bukti, maksudnya bahwa surat tersebut harus
digunakan sebagai bukti jika dipersengketakan di depan pengadilan, sehingga jika
tulisan atau akta tersebut dibuat tidak digunakan sebagai bukti, maka surat tersebut
tidak dapat disebut sebagai akta.
Surat digunakan sebagai alat bukti hak, yang dimaksud adalah bahwa setiap orang yang merasa haknya dilanggar, maka harus dapat
membuktikan bahwa memang haknya dilanggar sesuai dengan ketentuan pasal 1865 B.W., bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia
mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa,
Menurut pasal 1867 B.W., menentukan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-
tulisan di bawah tangan. Jadi akta sebagai bukti terdiri dari akta di bawah tangan dan akta otentik.
Akta di bawah tangan yang dimaksud adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat
urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum, demikian bunyi pasal 1874 B.W. Jadi akta di
bawah tangan merupakan akta yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak sendiri tidak dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan
26
membuat akta, yang oleh para pihak dipergunakan sebagai alat bukti telah terjadinya suatu perbuatan hukum. Oleh karena dibuat oleh pihak-pihak
saja, maka kekuatan mengikatnya akta itu hanya sebatas pihak-pihak yang membuatnya saja, sesuai dengan ketentuan pasal 1338 B.W., bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya.
Akta yang dibuat di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang sah, jika pembuat akta tersebut mengakui isi akta serta
tandatangan yang ada pada akta tersebut. Oleh karenanya jika misalnya akta di bawah tangan yang memuat pengakuan hutang secara sepihak untuk
membayar sejumlah uang atau memberikan sesuatu barang, namun ternyata diingikari oleh pihak lawan yang tidak mengakui tandatangan yang ada
pada surat atau akta tersebut, maka harus dibuktikan dengan alat bukti yang lain, dalam arti surat tersebut hanya dapat diterima sebagai suatu
Akta otentik, yaitu suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya (Pasal 1868 B.W.). Dengan demikian dikualifikasikan sebagai suatu akta otentik jika akta
tersebut tercantum tandatangan, merupakan suatu pernyataan perbuatan hukum dan digunakan sebagai bukti. Akta tersebut dibuat oleh atau di
hadapan pejabat umum, bentuknya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan pejabat yang membuat akta tersebut mempunyai
kewenangan. Dengan demikian akta otentik harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:21
1)
akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum;
2)
akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
3)
pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
kewenangan untuk membuat akta tersebut.
Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa
harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Hal ini
21
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. cit., hlm. 29.
27
berarti bahwa harta tersebut didapat ketika kedua pihak yaitu suami dan istri tersebut
terikat dalam perkawinan yang sah.
pembatalan
mutlak.22
Istilah
dapat
dibatalkan
dalam
28
berwenang mencatatnya yaitu Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau
Kantor Catatan Sipil yang beragama non Islam,
atau perkawinan sejenis adalah dilarang.
Mengenai pembatalan perkawinan, pada pasal 22 UU Perkawinan
menentukan bahwa: Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Jadi jika perkawinan
yang telah dilangsungkan tersebut ternyata tidak memenuhi syarat perkawinan, maka
perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Pengertian dapat menurut penjelasan pasal
22 UU Perkawinan sebagai berikut: Pengertian dapat pada pasal ini diartikan bisa
batal atau bisa tidak.
Pihak yang mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan perkawinan
menurut pasal 23 UU Perkawinan adalah sebagai berikut:
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami
atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum
diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undangundang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan
hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut,
tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dapat dilakukan sebagaimana
pasal 25 UU Perkawinan, yang menentukan: Permohonan pembatalan perkawinan
diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan
atau bertempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Jadi permohonan
30
32
merupakan harta pribadi milik Moudy Wilhelmina dan harta pribadi Junaidi Ahmadi.
27
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga
(Personen en Familie-Recht), Airlangga University Press, Surabaya, 2001, h.
54.
34
BAB III
STATUS DAN HAK ANAK YANG DILAHIRKAN DARI HASIL
PERKAWINAN ANTARA MOUDY WILHELMINA
DENGAN JUNAIDI AHMADI
35
b. menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih itu
terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara
sekandung), atau se kakek-nenek dan lain sebagainya.29
Di dalam hubungan kekeluargaan, dikenal adanya garis keturunan bapak (keturunan
patrilineal) dan keturunan garis ibu (keturunan matrilineal). Keturunan patrilineal
adalah orang yang hubungan darahnya hanya melewati orang laki-laki saja di antara
mereka anak orang laki-laki dan orang perempuan. Sedang hubungan kekeluargaan
yang matrilineal adalah hanya mengakui orang-orang yang hubungan darahnya hanya
melewati orang perempuan saja.30
Anak yang belum mencapai umur (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka
tidak dicabut dari kekuasaannya, orang tua mewakili anak tersebut mengenai
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 47 UU Perkawinan). Anak
menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak (selanjutnya disebut UU Kesejahteraan Anak) menentukan : Seseorang yang
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
Anak perlu memperoleh perhatian dengan pertimbangan anak adalah potensi serta
penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi
sebelumnya. Agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia
perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
29 Ibid., h. 109.
30 Ibid.
36
dengan wajar baik secara rohani jasmani maupun sosial. 31 Selanjutnya anak bagian
dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi
dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peranan strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan, dan perlindungan dalam
rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara
utuh, serasi slaras dan seimbang. Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan
perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut
kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh sebab
itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara
khusus.32
Apabila memperhatikan konsideran UU Kesejahteraan anak dan UU Perlindungan
Anak di atas dapat dijelaskan bahwa, anak sebagai salahs atu sumber daya manusia
yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan, maka anak yang berusia
kurang dari 18 tahun memperoleh perlakuan istimewa dalam segala hal sebagia
upayanya untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial
secara utuh, serasi dan seimbang.
Anak jika dikaitkan dengan kesejahteraan usianya adalah 21 tahun sesuai
dengan UU Kesejahteraan anak, sedang usia anak 18 tahun diarahkan kepada dewasa
dalam bertindak menurut hukum (kecakapan). Karena usia 18 tahun dalam
prakteknya masih belum dapat memnuhi kebutuhannya sendiri (sebagai usia sekolah).
31 Konsideran UU No. 4 Tahun 1979, huruf a dan b.
Anak ditinjau dari asal usul dikenal adanya anak sah, anak luar kawin dan
anak angkat. Anak sah adalah anak yang dilahirkan oleh orang tua yang terikat dalam
suatu perkawinan yang sah (Pasal 42 ayat (1) UU Perkawinan). Sehingga jika seorang
anak yang dilahirkan dari orang tua yang tidak terikat dalam suatu perkawinan yang
sah, maka dianggap sebagai anak tidak sah. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Soetojo Prawirohamidjojo bahwa seorang anak dilahirkan dari seorang wanita
yang kawin, maka ia adalah anak yang sah dari orang yang terakhir ini, sedangkan
suami ibunya adalah ayanya yang sah.33
Seorang ayah dikatakan sebagai ayah yang sah jika :34
1) seorang anak yang lahir dalam jangka waktu enam bulan dihitung sejak hari
akad nikah adalah tidak sah, kecuali bilamana suami ibunya mengakui yang
lahir itu sebagai anaknya.
2) seorang anak yang lahir sesudah enam bulan sejak hari akad nikah, adalah
sah, kecuali jika ayahnya tidak mengakuinya.
Anak luar kawin ialah anak yang asal-usulnya tidak didasarkan pada
hubungan perkawinan yang sah yaitu hubungan antara ayah dan ibunya, sehingga
tidak mempunyai kedudukan yang sempurna seperti anak sah.
Anak angkat atau adopsi adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain
ke dalam keluarga sendiri demikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak
38
dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubunga kekeluargaan yang sama seperti
yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.35
Di dalam UU Perkawinan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya
disebut UU Perlindungan Anak) yang digunakan sebagai dasar untuk mengetahui hak
asuh anak tidak mengatur megnenai akte kelahiran. Meskipun demikian bagi setiap
anak akte kelahiran merupakan suatu hal yang penting, karena itu merupakan salah
satu hak anak, sesuai dengan pasal 5 UU Perlindungan Anak, tentang Perlindungan
Anak yang menentukan sebagai berikut : Setiap anak berhak atas suatu nama
sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Menurut Victor Situmorang disebutkan sebagai berikut :
Bagaimanakah anak tersebut membuktikan bahwa dianya (anak asuh) anak dari
orang tuanya. Malah tersebut dapat diatasi dengan baik apabila anak tersebut
dapat menunjukkan bukti-bukti yang kuat dan autentik bahwa dirinya adalah
anak sah orang tuanya. Sebab bukti yang sah tentunya adalah suatu bukti
tertulis yang autentik yang menerangkan tentang suatu hal, agar hal tersebut
mempunyai dasar kekuatan hukum yang pasti dan kuat. Demikian pula dengan
peristiwa kelahiran seseorang, peristiwa kelahiran itu perlu mempunyai bukti
tertulis dan autentik, karena untuk membuktikan identitas seseorang yang pasti
dan sah adalah dapat kita lihat dari akta kelahirannya yang dikeluarkan oleh
suatu lembaga yang berwenang mengeluarkan akta tersebut.36
Memperhatikan uraian Victor Situmorang tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa
akta kelahiran adalah suatu bukti yang otentik yang berisikan identitas seseorang, dan
39
akta kelahiran tersebut dibuat oleh lemabaga yang berwenang agar akta kelahiran
dapat digunakan sebagai bukti yang otentik.
Mengenai pihak yang membuat akta kelahiran adalah Catatan Sipil, menurut
Peraturan Walikota Surabaya Nomor 67 Tahun 2005 tentang Penjabaran Tugas dan
Fungsi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya (SK Walikota
Surabaya No. 67 Tahun 2005) dijalankan oleh Dinas Kependudukan dan Cattan Sipil.
Namun SK Walikota Surabaya No. 67 Tahun 2005 tidak memberikan definisi
mengenai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Pada Pasal 1 angka 5 menentukan
Dinas asdalah Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Surabaya. Sedangkan
Pasal 1 angka 6 menentukan Kepala Dinas adalah kepala Dinas Kependudukan Dan
Catatan Sipil Kota Surabaya. Cattan Sipil yaitu suatu lembaga yang diusahakan
oleh pemerintah yang ditugaskan untuk memelihara daftar-daftar atau catatan-catatan
guna pembuktian status atau peristiwa-peristiwa penting bagi para warga negara
seperti kelahiran, perkawinan, kematian.37 Sedangkan Volmar mengartikan lembaga
catatan sipil adalah suatu lembaga yang diadakan oleh penguasa/pemerintah yang
dimaksud membuktikan selengkap mungkin karena itu memberikan kepastian
sebesar-besarnya tentang semua peristiwa yang penting bagi status keperdataan
seseorang perkawinan kelahiran perceraian dan kematian.38
37 Ibid., h. 10
38 Volmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid 1, Rajawali, jakarta,
1989, h. 37.
40
41
kedudukan hukum seseorang, sehingga orang-orang yang berkepentingan dalam halhal yang berhubungan dengan lembaga ini dapat dengan mudah memperoleh
kepastian hukum, megnenai status seseorang. Dengan demikian tujuan dibentuknya
lembaga catatan sipil adalah untuk memberikan kepastian hukum sebesar-besarnya
mengenai peristiwa-peristiwa yang dialami atau terjadi atas diri seseorang, maka
semua akta catatan sipil mempunyai kedudukan yang sempurna yang mutlak
kebenarannya di depan hukum.
Demikian halnya dengan akta kelahiran sebagai identitas seseorang yang berarti pada
akte kelahiran tersebut tercantum nama anak dan asal usul anak tersebut dalam arti
tercantum pula nama orang tuanya. Akta kelahiran merupakan suatu bukti yang
menunjukkan asal usul anak sesuai dengan pasal 55 UU Perkawinan yang
menentukan :
(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang
autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasdal ini tidak ada, maka
Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak
setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
memenuhi syarat.
(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi
pencatatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Ketentuan pasal 55 UU Perkawinan yang berhubungan dengan asal-usul anak yang
dituangkan dalam akta kelahiran, dijelaskan lebih lanjut oleh pasal 27 UU
Perlindungan Anak tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat UU
Perlindungan Anak) menentukan :
(1) identitas dari setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya;
42
(2) identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta
kelahiran;
(3) pembuatan akta kelahiran didasarkan ada surat keterangan dari orang yang
menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran;
(4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan oreang tuanya
tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut
didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.
Dengan demikian bahwa setiap kelahiran harus jelas identitasnya, karenanya akta
kelahiran bagi anak merupakan suatu yang penting dan harus ada.
Mengenai fungsi akta kelahiran adalah sebagai berikut :40
Pembuatan KTP/KK/NIK
Pembuatan SIM
Pembuatan Paspor
Pengurusan Asuransi
43
Pengurusan kematian
Pengurusan Perceraian
44
45
46
dan
orang
tua
berkewajiban
dan
bertanggung
jawab
terhadap
47
Terlepas dari hak-hak anak sebagaimana di atas, setiap anak berhak untuk
mengetahui orang tuanya sesuai dengan Pasal 7 UU Perlindungan Anak yang
menentukan sebagai berikut :
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau anak dalam keadaan telantar maka anak tersebut berhak
diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perudnang-undangan yang berlaku.
Mengenai perlunya setiap anak mengetahui orang tuanya, menurut penjelasan
Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Anak dijelaskan sebagai berikut:
Ketentuan mengenai hak anak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dalam arti
asal-usul (termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari terputusnya
silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya,
sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya, dimaksudkan agar
anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya.
Memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa maksud dan tujuan
perlindungan anak menurut UU Perlindungan Anak adalah memberikan perlindungan
agar hak-hak anak terpenuhi, agar anak terjamin pertumbuhan dan perkembangan
fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Hak anak salah satu
di antaranya adalah hak asuh yang pertama-tama menjadi tanggung jawab dari orang
tuanya. Mengenai orang tua dari anak yang bersangkutan dapat dilihat dari akta
kelahiran dari anak tersebut sesuai dengan yang dimaksud oleh Pasal 27 UU
Perlindungan Anak.
Apabila memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa orang tua
mempunyai kewajiban utama untuk mengasuh anak-anaknya, dalam pengertian
48
sebagaimana Pasal 7 ayat (1) UU Perlindngan Anak. Jadi terdapat dua hal yang
menyangkut anak yaitu anak memperoleh hak asuh dan anak menjadi anak angkat
jika orang tuanya tidak mampu menjamin kesejahteraan anaknya. Anak angkat adalah
anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan. Sedangkan anak asuh adalah anak yang diasuh
oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan,
pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak
mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar sebagaimana Pasal 1 angka 7
dan Pasal 8 UU Perlindungan Anak.
Perkawinan antara Junaidi Ahmadi dan Moudy Wilhelmina telah mengetahui bahwa
Junaidi Ahmadi masih terikat dalam suatu perkawinan terdahulu. Perkawinan tersebut
dapat dibatalkan sesuai dengan pasal 22 UU Perkawinan, bahwa perkawinan dapat
dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan.
Meskipun perkawinan dibatalkan dan pembatalan perkawinan berlaku surut
sesuai dengan pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan bahwa batalnya suatu perkawinan
dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan
berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan, namun tidak berlaku surut terhadap
anak yang dilahirkannya sesuai dengan pasal 28 ayat (1) huruf a UU Perkawinan
bahwa Putusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut.
Anak wanita Moudy Wilhelmina yang saat ini berumur 9 tahun hasil
perkawinannya dengan Junaidi Ahmadi. Anak tersebut ketika dilahirkan Moudy
Wilhemina terikat dalam suatu perkawinan dengan Junaidi Ahmadi, sehingga jika
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 42 UU Perkawinan adalah anak sah, karena Junaidi
Ahmadi tidak mengingkari kelahiran anak tersebut sebagaimana Pasal 44 UU
Perkawinan. Namun jika anak tersebut dilahirkan ketika kedua orang tuanya tidak
terikat dalam perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya tersebut adalah
anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan
keluarga ibunya sesuai dengan pasal 43 UU Perkawinan.
50
ayat (2) UU Perkawinan bahwa putusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut, maka anak tersebut adalah anak sah. Namun
sebagaimana pasal 42 jo Pasal 28 ayat (2) huruf a UU Perkawinan, bahwa anak yang
sah adlaah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah,
putusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut. Suatu perkawinan sebagaimana Pasal 22 UU Perkawinan jika tidak
memenuhi syarat perkawinan, maka perkawinannya dapat dibatalkan.
Batal berarti neitig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak
ada nilai), dapat dibatalkan berarti nietig verklaard, sedangkan absolut nietig adalah
pembatalan mutlak.43 Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-undang ini berarti dapat
difasidkan jadi relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti
sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran
terhadap aturan-aturan tertentu.44 Jika dikaitkan dengan kasus perkawinan antara
Moudy Wilhelmina dengan Junaidi Ahmadi sebelumnya terikat dalam suatu
perkawinan. Hal ini berarti bahwa di dalam perkawinan dimungkinkan untuk
dibatalkan dan ada kemungkinan perkawinan batal demi hukum. Perkawinan jika
dilangsungkan padahal perkawinan tersebut dilarang untuk dilangsungkannya, maka
menurut Djoko Prakoso, meskipun ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan, masih banyak terjadi kemungkinan suatu perkawinan
52
yang sebenarnya dilarang oleh hukum yang berlaku, sudah selayaknya perkawinan
semacam ini diangggap batal. Kalau tidak, apakah gunanya diadakannya suatu
larangan.45 Hal ini berarti bahwa perkawinan antara Moudy Wilhemina dengan
Junaidi Ahmadi adalah batal. Oleh sebab perkawinannya batal karena tidak
memenuhi syarat perkawinan masuk dalam larangan perkawinan, apabila dikaitkan
dengan Pasal 42 UU Perkawinan, bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah, karena perkawinannya tidak sah, maka anak
yang dihasilkan dari perkawinan antara Moudy Wilhemina dengan Junaidi Ahmadi
adalah anak tidak sah. Jika dikaitkan dengan Pasal 43 UU Perkawinan, maka anak
tersebut hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan saudara ibunya.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa status dan hak anak
yang dilahirkan dari hasil perkawinan antara Moudy Wilhemina dengan Junaidi
Ahmadi yang ternyata perkawinannya tidak memenuhi syarat perkawinan adalah
tidak sah atau anak luar kawin. Sebagai anak luar kawin, maka jika anak tersebut
telah mempunyai akta kelahiran dengan menyebut nama Moudy Wilhemina sebagai
ibu dengan Junaidi Ahmadi sebagai ayah, maka dapat dilakukan perubahan atas akta
kelahiran tersebut dengan menghapus Junaidi Ahmadi dari akta sebagai ayah anak
tersebut dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan.46
Mengenai gugatan sahnya anak, karena sahnya anak, dijelaskan oleh Soetojo
Porawirohamidjojo bahwa gugat untuk menentang keabsahan keturunan seorang
45 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Loc. Cit.
46
Wawancara dengan Diana Ratnawati, Panitera Pengadilan Negeri Surabaya.
53
anak harus dibedakan dengan gugat untuk menyangkal keabsahan seorang anak. Hal
ini berarti bahwa gugatan keabsahan anak berbega dengan gugat mengenai
penyangkalan anak yang dilakukan oleh suami (atau ahli warisnya) dari ibu sang
anak. Gugat yang sahnya anak disebutkan bermaksud menetapkan kedudukan status
hukum sesungguhnya dari seorang anak. Putusan hakim merupakan putusan
deklaratoir, artinya hanya menyatakan keadaan sesungguhnya yang sudah ada. 47
Memperhatikan pendapat Soetojo sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan
bahwa gugatan sahnya anak ini mempengaruhi akta kelahiran yang dibuatnya,
sehingga putusan pengadilan dapat digunakan sebagai dasar untuk merubah akta jika
keabsahan anak tersebut dapat dibuktikan, maksudnya jika perkawinan tersebut
ternyata dibatalkan oleh Pengadilan, karena tidak dipenuhi syarat perkawinan
khususnya menyangkut larangan perkawinan, maka perkawinan menjadi batal. Oleh
karenanya anak yang dilahirkan menjadi anak luar kawin. Apabila telah dibuatkannya
akta, maka batalnya perkawinan tersebut dapat digunakan untuk mengajukan
perubahan atas akta kelahiran dengan mengajukan permohonan penghapusan nama
suami sebagai ayah dari akta kelahiran.
47
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Op. cit., h. 175.
54
BAB IV
PENUTUP
1. Simpulan
a. Status harta yang diperoleh selama perkawinan antara Moudy Wilhelmina dengan
Junaidi Ahmadi yang ternyata diketahui bahwa perkawinan tersebut tidak
memenuhi syarat perkawinan sebagaimana pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
larangan perkawinan, bukan menjadi harta benda bersama dalam perkawinan
sebagaimana pasal 35 UU Perkawinan. Perkawinan yang dilakukan tidak
memenuhi syarat perkawinan dan perkawinannya dibatalkan, maka pembatalan
berlaku surut sejak perkawinan dilangsungkan sesuai dengan pasal 22 jo pasal 26
ayat (1) UU Perkawinan, termasuk harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung.
b. Pembatalan perkawinan berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan, karena
syarat perkawinan yang tidak dipenuhi adalah larangan perkawinan sebagaimana
pasal 9 UU Perkawinan. Oleh karena perkawinan batal, maka status anak bukan
anak sah sebagaimana pasal 42 UU Perkawinan, melainkan anak luar kawin yang
hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya sesuai
pasal 43 UU Perkawinan. Meskipun dalam akta kelahiran sebagai bukti asal-usul
anak sesuai dengan pasal 55 ayat (1) UU Perkawinan tercantum nama bapak dan
ibu dari anak tersebut.
2. Saran
a. Hendaknya mengenai harta benda dalam perkawinan tersebut dijanjikan, agar
ketika perkawinannya dibatalkan perjanjian perkawinan tersebut dapat digunakan
sebagai dasar untuk membagi harta benda dalam perkawinan tersebut.
b. Hendaknya perkawinan yang tidak dipenuhi syarat terutama larangan untuk
melangsungkan perkawinan tersebut dinyatakan batal demi hukum
konsekuensinya tidak perlu mengajukan permohonan pembatalan, agar status
anak menjadi jelas yaitu anak luar kawin bukan dikecualikan sebagaimana pasal
26 ayat (2) huruf a UU Perkawinan dan tidak perlu mengajukan permohonan
perubahan akta.
55
56
DAFTAR BACAAN
Buku Referensi
Djamali, Abdul, Hukum Islam (Asas-asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II),
Mandar Maju, Bandung, 1992.
Dellyana, Shanty, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988.
Gosita, Arif, Maslah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta, 1984.
Hamzah, Tanggapan Terhadap Makalah yang Berjudul Kekuatan Hukum Akta
Notaris Sebagai Alat Bukti, Media Notariat, No. 12-13 Tahun IV, Oktober,
1989.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2006.
Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang,
1984.
Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
Kencana Prenada Media Grup. Jakarta, 2006.
Prakoso, Djoko dan Murtika, I Ketut , Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia,
Bina Aksara, Jakarta, 1999.
Prawirohamidjojo, Soetojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan
di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2001.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta,
1974.
Prodjohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, Legal Center
Publishing, Jakarta, 2002.
Saleh, K.Wantjik, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1987.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty,
Yogyakarta, 1999.
57
Soimin, Soedarjo, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.
Situmorang, Victor M. dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan
Sipil Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996.
_______, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta,
1993.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermusa, Jakarta, 1978.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005.
Vollmar, Hukum Perdata, Bagian I, Cetakan ke-2, Rajawali, Jakarta, 1993.
_______, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid 1, Rajawali, jakarta, 1989.
Wignjodipuro, Surojo, Asas-asas Hukum Adat., Gunung Agung, Jakarta, 1982.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
58
DAFTAR BACAAN
Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II),
Mandar Maju, Bandung, 1992.
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
Kencana Prenada Media Grup. Jakarta, 2006.
Arif Gosita, Maslah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta, 1984.
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia,
Bina Aksara, Jakarta, 1999.
Hamzah, Tanggapan Terhadap Makalah yang Berjudul Kekuatan Hukum Akta
Notaris Sebagai Alat Bukti, Media Notariat, No. 12-13 Tahun IV, Oktober,
1989.
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang,
1984.
K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum
Publishing, Jakarta, 2002.
Perkawinan
Indonesia,
Legal
Center
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2006.
Shanty Dellyana, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988.
Soedarjo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty,
Yogyakarta, 1999.
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2001.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermusa, Jakarta, 1978.
59
60
61
Perang komentar antara keluarga Ria Irawan, Jun Mahir dan Maudy Wilhelmina
tampaknya akan berujung serius. Gara-gara Ria mendapat tanggapan sengit Jun
Mahir serta SMS bernada teror dari Maudy, keluarga Irawan pun merapatkan barisan.
Bersama sang kakak, Dewi, dan ibu mereka, Ade Irawan, Ria akhirnya memilih untuk
meladeni tanggapan pasangan yang tengah menjalani proses cerai di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan tersebut, Pada kesempatan ini, saya minta maaf kepada Jun
Mahir, kalau ada salah secara pribadi. Tapi untuk Maudy Wilhelmina, tetap saya mau
gampar/ Dan sekali maling tetap maling.
Meski Ria terlihat begitu emosional dalam mengungkapkan kekesalannya atas
Maudy, namun, pihak keluarga menganggap wajar reaksi Ria tersebut, setidaknya
dari bukti-bukti otentik yang berhasil dikumpulkan.
Baik Dewi maupun Ade tak sungkan mengungkapkan adanya kebohongan serta
penghinaan yang dilakukan pasangan Jun dan Maudy terhadap keluarga besar
irawan.
Bagaimana tidak, Jun mengaku-aku sebagai jejaka, saat menikahi Maudy, 7 Agustus
1998 silam di KUA Cimenyan, Bandung, Jawa Barat. Padahal. Kala itu, bapak satu
putri itu masih berstatus sebagai suami Dewi, yang tak lain adalah adik Ira. Jun
sendiri baru resmi bercerai di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, 16 Desember 1998.
Hal lain yang membuat keluarga Irawan marah besar adalah sikap Maudy yang
meneror Atrie, kakak Ria, yang nota bene adalah mantan istri Jun Mahir. Tak hanya
itu, komentar Jun yang menyebut Ria sebagai biang ribut kembali menyulut dendam
lama keluarga Irawan, kepada lelaki yang berprofesi sebagai juru kamera tersebut.
Secara jujur, Ria mengungkapkan bila ia tak bisa membendung rasa geram dan
dendam terhadap Maudy, yang dianggapnya telah merusak rumah tangga sang kakak.
Karena itu, ia tak bisa tinggal diam, saat ada momen gugatan cerai Jun terhadap
Maudy, karena itulah saat ia bisa membongkar aib Jun dan Maudy, yang telah
mengkhianati kakak serta keluarga besarnya. Langkah yang Ria tempuh itu juga
mendapat dukungan dari pihak keluarga.
Bersiap Menggugat Melalui Jalur Hukum
Ria ternyata tak sekedar menggertak sambal dua orang yang telah menyakiti hati
kakak kandungnya. Berbekal setumpuk bukti otentik tentang berkas berkas
pernikahan sekaligus perceraian Jun dan Maudy yang berhasil dikumpulkan, keluarga
Irawan benar-benar siap menyeret pasangan tersebut ke jalur hokum, lantaran telah
menghina keluarga mereka, karena memalsukan data saat menikahi Maudy, Agustus
1998 silam.
Setelah kemarin keluarga ketemu dengan Gusti (Gusti Randa Red.), untuk membela
keluarga, Gusti melihat bahwa Jun Mahir telah melakukan pelecehan dan perbuatan
62
63
new s
true
255004
Kirim
Ade%20Iraw an%
Moudy Wilhelmina
64
Daftar
Kapanlagi.com - Usai Ria Irawan yang marah besar pada Moudy Wilhelmina gara-gara menyebut
bahwa ia bukan perebut suami orang, kini giliran sang mama Ade Irawan yang naik pitam. Ade
merasa tersinggung atas pernyataan-pernyataan yang menyinggung putrinya, Shinta Safitri Dewi
(Apri Irawan) - yang pernah berstatus sebagai istri dari suami Moudy, Junaidi Ahmadi alias Jun
Mahir.
Sebelumnya, Jun Mahir pernah menuduh Ria mencari popularitas karena menjadi artis
yang tidak laku dengan masalah rumah tangganya yang berantakan bersama Moudy.
Perkataan itu jelas saja menyinggung Ria Irawan. Akhirnya, keluarga besar Irawan yang
dihadiri Ade, Ria, dan didampingi pengacara mereka, Gusti Randa, mengadakan jumpa
pers demi meluruskan masalah ini.
Dalam jumpers yang diadakan di Cafe Connesioure di Citos, Jakarta, Rabu (8/10) siang tadi,
Ade yang tak terima dengan pernyataan Jum yang mengaku masih single mengungkapkan,
"Saya lupa periksakan Jun ke dokter kalau dia itu amnesia. Waktu anaknya lahir sebulan,
sudah mau kawin lagi."
65
Ade menjelaskan, akte perceraian Apri dan Jun tercatat pada 19 Desember 1998,
sementara akte nikah Jun dengan Moudy didata pada 7 Agustus 1998. Terang saja hal
itu menimbulkan kejanggalan. Dan dengan tegas Ade meminta agar Moudy tidak
memberikan keterangan yang salah dan menyudutkan keluarga Irawan atas kehancuran
rumah tangganya sendiri.
"Jangan pernah mengaku kalau dia (Moudy) ditipu Jun Mahir. Mungkin ada hal-hal yang
membuat atau menekan Jun untuk segera menikahi Moudy karena kan diketahui bahwa
anaknya Moudy itu lahir 7 bulan setelah dia menikah. Berarti kan ada kemungkinan
sebelum menikah mereka memang sudah ada hubungan atau mungkin bahkan hubungan
dengan lelaki lain," tukas bintang film senior ini.
Ria yang mendampingi sang ibu juga tak mau terima dengan pernyataan Moudy bahwa
dirinya bukan perebut suami orang. "Moudy jangan berharap bahwa dia itu nggak merebut
suami orang, kan dia ngomong di infotainment bahwa dia tidak merebut suami orang," ujar
Ria emosi. Menanggapi omongan Ria, Ade pun tak mau kalah, "Dia itu memang nggak
ngerebut suami orang, tapi memangsa."
Diakui Ade, sebenarnya Apri pun sudah mengetahui bahwa dirinya diselingkuhi. Bahkan Apri
sempat minta dipulangkan ke rumah orang tuanya saja karena Jun juga jarang pulang ke
rumah. "Daripada lihat Jun sama Moudy terus," kata Ade.
Sementara menanggapi omongan Moudy bahwa dia tidak mengenal keluarga Irawan, Ria
malah menepisnya dengan santai. "Gue yang bikin dia jadi artis. Kalau dia bilang nggak
dekat sama keluarga Irawan, gue jadi ngerasa bego ngomongin orang bego. Makanya
sekarang kita minta tolong Gusti Randa karena udah nyangkut masalah hukum. Kalau
masalah gue sama Jun sih peace aja deh, karena Jun tetap bapak dari ponakan gue,"
pungkas Ria. (kpl/ang/boo)
Lihat Profil: Moudy Wilhelmina, Ria Irawan, Ade Irawan, Gusti Randa
Sampai sidang selesai tadi, ia merasa tidak ada gangguan atau pun sesuatu ... Ria
Irawan: Gue Yang Jadiin Moudy Artis Ade Irawan Sebut Moudy Wilhelmina ...
www.detikhot.com/read/2008/10/20/120540/1022748/230/moudy-wilhelminadiganggu-kakak-ria-irawan - 30k - Tembolok - Halaman sejenis
KOMENTAR PEMBACA
Jakarta Bintang sinetron Moudy Wilhelmina menguggat cerai suaminya Junaidi Mahir. Saat sidang cerai
berjalan, Senin (20/10/2008) ini kakak Ria Irawan, Ati Irawan melakukan intervensi.
Intervensi itu dilakukan Ati melalui kuasa hukumnya Gusti Randa. Gusti memasukkan surat gugatan
intervensi ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
66
"Gugatan intervensi dilakukan agar persidangan ditunda, dipending selama 14 hari. Karena sebenarnya si
Jun itu telah menipu institusi dan lain-lain," tutur mantan suami Nia Paramitha itu saat ditemui di PA Jakarta
Selatan, Senin (20/10/2008).
Gugatan tersebut diajukan Ati Irawan karena ia tak mau nantinya Pengadilan Agama salah langkah.
Pernikahan Moudy-Junaidi yang sebenarnya tidak sah, nantinya malah dikabulkan untuk bercerai.
Soal gugatan intervensi tersebut, kuasa hukum Moudy, Yudianta MN Simbolon mengaku belum tahu. "Saya nggak
tahu, nggak ada surat apa-apa sampai sidang selesai," tutur Yudianta usai sidang cerai kliennya yang hanya
berjalan kurang lebih 5 menit itu.
Dilanjutkan Yudianta, sidang gugatan cerai Moudy, Senin (20/10/2008) ini mengagendakan pengajuan bukti
tertulis. Sampai sidang selesai tadi, ia merasa tidak ada gangguan atau pun sesuatu yang mempersulit.(eny/eny)
Rabu, 29 Oktober 2008
[ Kembali ] [ Atas ]
Perceraian Moudy Wilhelmina dengan Djunaidi Mahir membuat Ria Irawan ikut
berbicara yang maksudnya marah-marah dengan Moudy Wilhelmina yang katanya
melakukan zina dengan mantan suami kakaknya Ria Irawan, Safitri Irawan.
Menurut Djunaidi, Ria Irawan memang selalu bikin ribut seperti yang telah
diketahui Djunaidi selama masih menjadi suami Safitri Irawan.Djunaidi juga
mengatakan soal Ria Irawan seperti apa, hingga mengatakan seperti hal itu kepada
Moudy Wilhelmina dan secara otomatis juga melibatkan Djunaidi sebagai
pasangannya Moudy Wilhelmina.
Yang mendengarkan omongan Ria Irawan sama aja orang gila. Kita tahu
bagaimana masa lalu Ria Irawan, kehidupannya juga. Kelakuannya bagaimana,
kalau urusan zina, itu hanya Tuhan yang tahu, tutur Djunaidi.
Djunaidi tidak tahu penyebab Ria Irawan yang selalu bikin ribut, padahal hubungan
dengan Safitri Irawan sebenarnya baik-baik saja.
Dia selalu bikin ribut, abang juga nggak tahu. Tapi hubungan saya dengan
yang dulu baik-baik aja, tambah Djunaidi.
Djunaidi sebenarnya juga mengatakan kalau dirinya tidak menutup kemungkinan
balikan dengan Safitri Irawan akan tetapi Djunaidi merasa kurang nyaman dengan
Ria Irawan yang selalu bikin ribut.
Tapi bagaimana bisa balikan lagi, orang dia selalu bikin ribut. Kalau dia diem
aja kan nggak masalah, tandas Djunaidi.
Kalau memang Djunaidi masih ingin balikan dengan Safitri Irawan sebaiknya segera
dilakukan saja, namun Ria Irawan sebaiknya tahu diri untuk tidak terlalu mencampuri
terlalu dalam mengenai urusan keluarga mereka berdua. Demi perkembangan
anaknya Safitri Irawan dengan Djunaidi sebaiknya memang mereka seharusnya
balikan lagi. Ria Irawan please deh jangan suka urusi rumah tangga orang lain atau
kakakmu sendiri. Kamu sendiri bagaimana Ria ?
"Moudy dan Jun sudah resmi bercerai di Pengadilan Agama Jakarta Selatan tanggal 27 Oktober lalu.
Permohonan talak Djunaidi pada Moudy dikabulkan. Empat belas hari setelah keputusan, ikrar talak
dibacakan," jelas Ary di Sari Kuring SCBD, Jakarta Pusat, Rabu (29/10).
68
Halo Tamu | iklan | kontak | ketentuan layanan | tentang kami | site map
Cari
Walau sampai saat ini, baik Jun maupun keluarga Irawan belum melakukan komunikasi tapi
pihak Jun sudah berencana untuk meminta maaf secara pribadi. "Pada dasarnya Jun ingin
membicarakan secara kekeluargaan. Dia juga ingin minta maaf, tapi tolong dibicarakan dulu
dengan baik-baik jangan ngomong-ngomong ke infotainment," tambah pengacara
ini. (kpl/mai/erl)
70
Pelaporan ini menurut Gusti Randa demi memberikan bukti tambahan soal dugaan
pemalsuan dokumen yang dilakukan Jun. "Kita memberikan tambahan bukti-bukti otentik,
yang diduga telah dipalsukan. Kalau itu benar palsu berarti tidak terjadi pernikahan. Itu
sangat disayangkan, karena ada dokumen palsu seperti yang tertera dalam akte. Jun
statusnya perjaka padahal dia masih jadi bapak atau suami Safitri. Kalau pernikahannya
palsu, tidak sesuai dengan undang-undang karena ada anak dalam perkawinan sebelumnya.
Jadi status Emir (anak Safitri dan Jun) bisa hangus. Jun juga membuat dan melakukan
keterangan palsu pada KUA Cimenyan, Bandung," ungkap Gusti yang mendampingi Ade.
Junaidi dan Moudy Wilhelmina menikah pada Agustus 1998, sedang Junaidi mengajukan
gugat cerai pada Safitri pada bulan Desember 1998. Jika terbukti terjadi pemalsuan
dokumen, Jun akan dikenai pasal 266, soal pemalsuan dan terancam hukuman tujuh tahun
penjara. Sedang Moudy dapat dijerat dengan pasal 55 karena ikut membantu melakukan
kejahatan dengan ancaman hukuman 1 sampai 2 tahun. (kpl/buj/erl)
71
72
Setelah komentar Moudy di sebuah tabloid, keluarga Irawan pun unjuk bicara, mereka
menguak kembali peristiwa masa lalu yang sudah bertahun-tahun didiamkan. Keluarga
Irawan bersikukuh kalau saat Moudy menikah dengan Junaidi, waktu itu posisi dia masih
sebagai pria beristri. Mereka menikah tiga bulan sebelum perceraian Junaidi dengan Safitri
Irawan resmi. (kpl/mai/erl)
73
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
Halaman
i
HALAMAN PENGESAHAN
ii
KATA PENGANTAR.......
iii
DAFTAR ISI...
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah .
2. Rumusan Masalah ..
4. Manfaat Penelitian .
15
a. Pendekatan Masalah .
15
b. Bahan Hukum
15
BAB II
16
7. Pertangungjawaban Sistematika ..
17
STATUS
HARTA
PERKAWINAN
YAGN
TIDAK
19
19
74
BAB III
30
38
47
47
58
3. Status
Anak
yang
Perkawinan
Orang
Tuanya
Dibatalkan .......................................................................
BAB IV
64
PENUTUP ..............................................................................
71
1. Kesimpulan .....................................................................
71
2.
72
Saran .................................................................................
DAFTAR BACAAN
75