REFERAT Malformation Anorectal
REFERAT Malformation Anorectal
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Embriologi
dari analpit.
lapisan
dalam
kandung
kemih
dan
uretra.
septum urorektal, pada sudut antara allantois dan usus belakang. Sekat ini tumbuh
ke arah kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi bagian depan, yaitu sinus
urogenitalis primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis anorektalis. Ketika
mudigah berumur 7 minggu, septum urorektal mencapai membran kloaka, dan di
daerah ini terbentuklah korpus perinealis. Membran kloakalis kemudian terbagi
menjadi membrana analis di belakang, dan membran urogenitalis di depan.
Sementara itu, membrana analis dikelilingi oleh tonjolan-tonjolan
mesenkim, dan pada minggu ke-8 selaput ini terletak di dasar cekungan ektoderm,
yang dikenal sebagai celah anus atau proktoderm. Pada minggu ke-9 membran
analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum dengan dunia luar. Bagian atas
kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh pembuluh nadi hindgut,
yaitu arteri mesenterika inferior. Akan, tetapi sepertiga bagian bawah kanalis
analis berasal dari ektoderm dan diperdarahi oleh aa. Rektales, yang merupakan
cabang dari arteri pudenda interna. Tempat persambungan antara bagian endoderm
dan ektoderm dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat tepat di bawah kolumna
analis. Pada garis ini, epitel berubah dari epitel torak menjadi epitelberlapis
gepeng.
Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut sebagai primitif gut.
Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan
anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau infra
levator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada
anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan
otot sfingter eksternus dan internus dapat tidak ada atau rudimenter.
Tahap-tahap pertumbuhan terjadi pada formasi anatomi normal dari bagian
bawah yaitu anus, rektum dan saluran urogenital. Pada minggu ke-4 pertumbuhan
terdapat kloaka dan struktur yang disebut membran kloaka. Kloaka adalah
struktur normal pada burung dan ada pada manusia untuk waktu yang singkat
pada tahap pertumbuhan. Sebelum manusia lahir, kloaka adalah struktur dimana
colon, saluran urin, dan genital bermuara kemudian keluar dari tubuh melalui satu
lubang. Manusia melalui suatu tahap pertumbuhan dimana kloaka merupakan
struktur yang normal, kemudian tumbuh lubang yang terpisah untuk rektum dan
traktus urin dan pada wanita juga terbentuk vagina. Perkembangan normal ini juga
terjadi pada perkembangan struktur yang disebut membran kloaka. Jika membran
ini tidak berkembang normal, kloaka mungkin masih terdapat setelah kelahiran
pada wanita atau pada pria akan berkembang bentuk dari anus imperforata3.
2.2 Anatomi dan Fisiologi
epitel
berlapis
gepeng
kulit
luar.
Tidak ada yang disebut mukosa anus. Daerah batas rektum dan kanalis
analis ditandai dengan perubahan jenis, epitel. Kanalis analis dan kulit luar di
sekitarnya kaya akan persarafan sensoris somatik dan peka terhadap rangsangan
nyeri, sedangkan mukosa rektum mempunyai persarafan autonom dan tidak peka
terhadap nyeri. Nyeri bukanlah gejala awal pengidap karsinoma rektum,
sementara
fisura anus
nyeri sekali.
yang
teregang.
Distensi dari rectum oleh feses menginisiasi kontraksi reflex dari otot-
ototnya dan membuat keinginan untuk BAB. Pada manusia, saraf simpatis
mensuplai sfingter anal interna sebagai eksitatori, dimana parasimpatisnya sebagai
inhibitor. Sfingter ini rileks ketika rectum distensi. Suplai saraf ke sfingter anal
eksterna, otot skeletal berasal dari saraf pudenda. Sfingter ini terjaga dalam
keadaan kontraksi tonik, dan adanya distensi yang bertambah pada rectum akan
menambah tekanan dari kontraksi otot. Keinginan untuk BAB pertama kali
muncul pada saat tekanan rectum sekitar 18 mmHg. Ketika tekanan mencapai 55
mmHg, sfingter interna maupun eksterna rileks dan isi dari rectum dikeluarkan.
Kontinensia berhubungan dengan fungsi normal dari otot sfingter yang
mengelilingi anus dan rektum dan derajat dimana mereka ada dan mendapatkan
stimulasi saraf yang cukup. Perkembangan sakrum terjadi pada saat yang sama
dengan perkembangan anus, rektum, dan sfingter. Ini adalah hal yang penting
karena saraf yang terletak dekat sakrum yang mensuplai otot sfingter yang
mengontrol kontinensia. Jika sakrum tidak berkembang normal, saraf ini mungkin
tidak berkembang atau tidak berfungsi normal. Pada perkembangannya terdapat
reseptor sensori pada garis dasar dari anal kanal yang penting untuk kontinensia.
Bagian ini mungkin tidak ada pada anak dengan anus imperforata. Nomalnya
manusia memiliki 3 kelompok otot di sekitar anus dan rektum yang penting untuk
kontinensia. Sfingter eksterna, sfingter interna, dan kompleks levator. Anak yang
lahir dengan anus imperforata memiliki disfungsi atau tidak adanya komponen ini.
Sfingter interna dan eksterna mengontrol kemampuan untuk membuat anus
menutup. Beberapa bagian dari muskulus levator ani berbentuk seperti kerucut
yang mengelilingi anus dan rektum. Ketika otot ini mengkerut maka rektum akan
tertarik ke depan menambah sudut usus besar sebelum masuk anal kanal. Sudut
rektoanal yang tepat dapat membantu mempertahankan kontinensia dengan
manghambat feses yang terbentuk memasuki anal kanal. Otot levator juga disuplai
oleh saraf yang dekat dengan sakrum, hal ini penting jarena sebagai aturan umum,
jika ada bagian dari sakrum yang hilang maka saraf yang berhubungan dengan
sakrum tersebut mungkin juga tidak ada3.
Inervasi
Inervasi dari rectum melalui saraf simpatis dan parasimpatis, saraf
simpatis berasal dari segmen L1-3, membentuk plexus mesenterikus inferior,
melewati plexus hipogastrik superior, dan turun sebagai saraf hipogastrik untuk
plexus pelviks.
Saraf parasimpatis berasal dari sacral dua, tiga, dan empat dan bergabung
dengan saraf hipogastrik anterior dan lateral menuju ke rectum dan membentuk
plexus pelviks, dan dimana serat lewat untuk membentuk plexus periprostatik.
Setelah melewati plexus pelvis dan periprostatik Serat saraf simpatik dan
parasimpatik menuju rectum dan sfingter anal juga prostat, buli-buli, dan penis.
Cedera pada saraf ini dapat menyebabkan impotensi, disfungsi buli-buli, dan
kehilangan
mekanisme
normal
dari
defekasi.
dengan
serat
yang
berasal
dar
S2-4.
Segmen saraf yang berasal dari bagian sakrum mensuplai anus dan rektum,
uretra, buli-buli, dan vagina, termasuk berbagai komponen dari kompleks levator
ani (otot dan pelvis). Saraf ini juga berfungsi sebagai reseptor sensoris kulit pada
anus dan kulit sekitarnya. Batas dari anal kanal dan kulit di sekitar anus sangtlah
sensitif terhadap rasa sakit, sentuhan dingin, tekanan, regangan, dan gesekan.
Bukti menunjukkan bahwa reseptor sensori yang sejenis terdapat pada otot-otot
pelvis yang mengelilingi. Reseptor ini dapat membedakan isi rektum yang keras,
cair, atau gas. Anal kanal dan rektum di atas batas anal adalah yang paling tidak
sensitif terhadap nyeri tetapi sangat sensitif terhadap regangan. Kontinensia feses
terhadi pada saat batas anal, dinding rektum, dan otot yangmengelilinginya
menerima sensasi yang cukup dan diproses secara normal pada otak dan kemudian
sinyal yang cukup dikirim kembali ke berbagai otot yang mengontrol kontinensia.
Pada keadaan yang normal anal kanal tertutup kecuali ketika terjadi pergerakan
menuju
ke
urethra
(rektourethralis) 3,6.
10
> 1 cm.
b. Letak intermediate akhiran rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak
menembusnya.
c. Letak rendah yaitu rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak
antara kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm.
Ladd dan Gross pada tahun 1934 mengajukan klasifikasi terdiri atas 4
tipe yang masih banyak digunakan oleh para ahli hingga saat ini :
I. Saluran anus atau rektum bagian bawah mengalami stenosis dalam berbagai
derajat.
II. Terdapat suatu membran tipis yang menutupi anus karena menetapnya
membran anus.
III Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacammacam jarak
dari peritoneum.
11
sekunder dapat terbentuk akibat adanya obstruksi kronik saluran cerna bagian
bawah di daerah stenosis, yang sering bertambah berat akibat mengerasnya tinja.
Pada pemeriksaan colok dubur dapat ditemukan daerah stenosis pada saluran anus
atau rektum bagian bawah..
Bayi dengan kelainan tipe II yang tidak disertai fistula, atau ukuran fistula
terlalu kecil untuk dilalui mekoneum, lazim akan mengalami obstruksi usus dalam
waktu 48 jam segera setelah lahir. Di daerah anus seharusnya terbentuk umumnya
terdapat suatu penonjolan membran tipis yang tampak lebih gelap dari kulit di
sekitarnya, karena mekoneum terletak di balik membran tersebut.
Jika disertai fistula anokutaneus, maka akan ditemukan fistula dari daerah
lekukan anus yang berjalan ke arah anterior di dalam jaringan subkutan sampai
jarak tertentu; mekoneum dapat keluan melalui fistula ini.
Pada bayi perempuan dapat ditemukan fistula anovestibular atau
rektovestibular; yang pertama jauh lebih sering dijumpai. Fistula ini acapkali
sukar terlihat dan untuk menemukannya maka labia perlu dipisahkan dengan
spekulum hidung berukuran kecil dan kemudian dilakukan pemeriksaan secara
teliti pads dinding belakang vestibulum vagina. Fistula anovestibular acapkali
sukar dibedakan dengan fistula rektovestibular.
Pada tipe III, atau kelainan letak tinggi atau juga dikenal sebagai agenesis
rektum, di tempat anus seharusnya terbentuk biasanya terdapat suatu lekukan yang
berbatas tegas dan memiliki pigmen yang lebih banyak dari kulit di sekitarnya.
Sebagian besar tipe ini disertai adanya fistula, sehingga pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan muana lubang fistula pada dinding posterior vagina atau
perineum, atau tanda-tanda adanya fistula rektourinaria. Lubang fistula
rektovagina dapat ditemukan pada vestibulum atau jauh lebih tinggi pada dinding
posterior vagina di dekat serviks. Fistula rektourinaria, baik berupa fistula
rektouretra atau rektovesika, ditandai oleh keluarnya mekoneum serta udara dari
uretra. Fistula rektouretra jauh lebih banyak ditemukan dibanding fistula
rektovesika. Dari 41 kasus fistula rektourinaria yang ditemukan 37 kasus di
antaranya berupa fistula rektouretra dan hanya 1 kasus berupa fistula rektovesika,
sementara 3 kasus lainnya tidak diketahui secara pasti.
12
Sedangkan
PENA
menggunakan
cara
sebagai
berikut:
definitive.
laki-laki
rektum
fistel
>
dapat
1
berupa
cm
disebut
rectovesikalis,
letak
tinggi.
rektourethralis
dan
rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel. Bila ditemukan :
a. Fistel perineal (+) minimal, dilakukan PSARP tanpa kolostomi.
b. Jika terdapat Fistel rektovaginal atau rektovestibuler maka dilakukan
kolostomi terlebih dahulu.
13
terdapat
kelainan
letak
rendah
b) Bila pada pemeriksaan tidak ditemukan adanya fistel, maka mungkin terdapat
kelainan letak tinggi atau rendah.
Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisis udara,
dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertical dengan
kepala dibawah) atau knee chest position (sujud), cara ini bertujuan agar udara
berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi2.
Secara sederhana diagnosis MAR adalah sebagai berikut :
a. Pada bayi laki-laki :
- Bila ditemukan 2 lubang, maka kemungkinannya :
1. Anus normal, hanya terletak lebih anterior.
2. Fistula pada bagian anterior perineum; fistula anokutaneus.
3. Lubang kecil pada letak yang normal : stenosis anal membran, stenosis
anal/anorectal.
- Bila ditemukan 1 lubang periksa urine apakah mengandung
mekoneum/tidak :
1. Mekoneum (-) foto knee chest position, kemungkinannya :
- Letak tinggi : agenesis anorectal tanpa fistula, agenesis anal tanpa fistula
14
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani
letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu
penanganan atresia ani menggunakan prosedur Abdomino Perineal Poli Through
(APPT), tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps
mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries (1982) memperkenalkan metode
operasi yang baru, yaitu PSARP (Postero Sagital Ano Recto Plasty). Yaitu dengan
cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk
memudahkan mobilisasi kantong rectum dan pemotongan fistel. Tekhnik dari
15
PSARP ini mempunyai akurasi yang sangat tinggi dibandingkan dengan APPT
yang mempunyai tingkat kegagalan yang tinggi.
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta
antisipasi trauma psikis. Sebagai Goalnya adalah defekasi secara teratur dan
konsistensinya baik.
Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran
rectum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan
pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca operasi
banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan
operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan
operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai
klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran
rectum dan ada tidaknya fistula.
Leape (1987) menganjurkan pada :
a) Atresia letak tinggi & intermediet sebaiknya dilakukan sigmoid kolostomi atau
TCD dahulu, setelah 6 12 bulan baru dikerjakan tindakan definitive (PSARP).
b) Atresia letak rendah sebaiknya dilakukan perineal anoplasti, dimana
sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi
batas otot sfingter ani ekternus,
c) Bila terdapat fistula sebaiknya dilakukan cut back incicion.
d) Stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin , berbeda dengan Pena dimana
dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.
Penatalaksanaan atresia ani ini bisa dilakukan juga secara preventif, yaitu
dengan cara antara lain :
a.
16
b.
Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika
sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat
berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya.
c.
TEKNIK OPERASI
1. Dilakukan dengan general anestesi, dengan endotrakeal intubasi, dengan
posisi pasien tengkurap dan pelvis ditinggikan.
2. Stimulasi perineum dengan alat Pena Muscle Stimulator untuk identifikasi
anal dimple.
3. Incisi bagian tengah sacrum kearah bawah melewati pusat spingter dan
berhenti 2 cm didepannya.
4. Dibelah jaringan subkutis , lemak, parasagital fiber dan muscle complek. Os
Coxigeus dibelah sampai tampak muskulus levator , dan muskulus levator
dibelah tampak dinding belakang rectum.
5. Rektum dibebaskan dari jaringan sekitarnya.
6. Rektum ditarik melewati levator, muscle complek dan parasagital fiber.
7. Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai tension2,3.
Perawatan pasca operasi PSARP :
a. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari,salep antibiotik diberikan
selama 8-10 hari.
b. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan hegar dilatation, 2x
sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang
dinaikan sampai mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi
dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk2,3.
17
UMUR UKURAN
1 - 4 Bulan # 12
4 - 12 bulan # 13
8 - 12 bulan # 14
1-3 tahun # 15
3 - 12 tahun # 16
> 12 tahun # 17
FREKUENSI DILATASI
Tiap 1 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 3 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 minggu 2 x dalam 1 bulan
Tiap 1 minggu 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 bulan 1x dalam 3 bulan
Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan serta tidak
ada rasa nyeri dilakukan 2x selama 3-4 minggu merupakan indikasi tutup
kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan2,3.
2.8 Prognosis
Kelainan anorektal letak rendah biasanya dapat diperbaiki dengan
pembedahan melalui perineum dan prognosis baik untuk kontinensia fekal.
Sedangkan kelainan anorektal letak tinggi diperbaiki dengan pembedahan
sakroperineal atau abdominoperineal, pada kelainan ini sfingter ani eksternus
tidak memadai dan tidak ada sfingter ani internus, maka kontinensia fekal
tergantung fungsi otot puborektalis.
Beasley (1990) mendapatkan perjalanan klinis jangka panjang dari
kelainan anorektal letak rendah yang dilakukan operasi perineal lebih dari 90%
penderita mencapai kontrol anorektal yang secara sosial dapat diterima. Insidensi
soiling pada penderita umur lebih 10 tahun lebih rendah dari penderita yang
18
BAB IV
KESIMPULAN
Kelainan bentuk anorektum merupakan kelainan bawaan yang perlu
ditangani secara seksama sejak diagnosis ditegakkan sampai masa pasca operasi.
Keberhasilan pengobatan tidak hanya dinilai berdasarkan dapat tidaknya penderita
diselamatkan, akan tetapi juga ditentukan oleh hasil fungsional dalam proses
defekasi yang diperoleh.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/19KelainanAnorektum100.pdf/19Kelain
anAnorektum100.html
2. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/ilmukesehatan/atresia-ani
3. http://bedahumum-fkunram.blogspot.com/
4. http://fkuii.org/tiki-index.php?page=Atresia+ani5
5. http://bedahugm.net/Bedah-Anak/Atresia-Ani-dengan-Fistula-Rektovestibula
6. Sjamjuhidajat, R dan De Jong Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2.
Jakarta: EGC. Hal : 671, 901-908.
7. Hayle T. Debas. 2003. Gastrointestinal Surgery. New York : Springer. Pg 248,
260.
8. http://surgery.med.umich.edu
20