Anda di halaman 1dari 23

1/1/2010

SINEMA
GORENGAN
INDONESIA

[Type text]

DASARDASAR MISE EN SCENE

| Kusen Dony Hermansyah

GAYA FILM I :
MISE EN SCENE (UNSUR VISUAL)
1. DEFINISI
Seorang Teoritikus Perancis bernama Andre Bazin pernah mengatakan, Dalam teater,
pemain adalah tokoh sentral dari sebuah peristiwa. Sedangkan di dalam film, daun yang jatuh,
pintu yang dibanting, pohon yang tertiup angin bisa menjadi tokoh sentral. Bazin hanya ingin
mengatakan bahwa dalam film, penonton tidak hanya bisa melihat pemain, namun segala
macam unsur visual bisa dimanfaatkan untuk memberi informasi dan mendramatiisasi
peristiwa. Oleh karena itu secara definisi mise en scene bisa dilihat dari dua sudut pandang.
Dari sudut pandang penonton mise en scene adalah segala sesuatu yang terlihat secara kasat
mata di layar, sedangkan dari sudut pandang pembuat filmnya, mise en scene dipahami sebagai
sebuah tidakan meletakan sesuatu di dalam peristiwa yang dibuat.
Pada produksi film, umunya yang di-kejar oleh pembuatnya adalah pendekatan
terhadap keseharian dan perilaku logis manusia yang ada di dalam filmnya atau lebih dikenal
dengan istilah realisme. Istilah itu sebenarnya diambil dari aliran seni lain yang lebih dulu ada
seperti lukisan, sastra ataupun teater. Dalam hal ini imajinasi yang berlebihan di luar logika
keseharian sangat dihindari. Meskipun begitu, justru tidak sedikit film yang merujuk pada
imajinasi pembuatnya sehingga muncullah film-film sepert Star Wars (1977) karya George Lucas
maupun yang akhirnya dicampur dengan realisme itu sendiri seperti E.T : The Extra-Terrestrial
(1982) karya Steven Spielberg, The Terminator (198 ) karya James Cameron ataupun yang
terakhir muncul yaitu District-9 (2009) karya Neil Blomkamp.
Kembali lagi, seimajinatif apapun, yang cenderung akan dituju pembuatnya adalah
realisme sebab bagaimanapun juga apa yang akan ditangkap oleh penonton adalah sesuatu
yang mereka tahu dari lingkungannya, baik yang dirasakan sendiri, dilihat dari televisi ataupun
di film , ataupun halhal yang mereka baca dari surat kabar dan internet.

2. UNSURUNSUR MISE EN SCENE


2.1. SETTING
2.1.1. Definisi Dan Fungsi Setting
Secara sederhana setting dipahami sebagai keseluruhan latar peristiwa
bersama dengan benda-benda yang ada di dalamnya (properti) yang bisa menjadi
petunjuk ruang dan waktu. Dengan kata lain setting adalah dimana dan kapan
sebuah peristiwa terjadi. Persoalannya, setting bisa berada di luar ruang (eksterior)
maupun di dalam ruang (interior)Setting eksterior bisa menggunakan alam
pegunungan, sungai, sebuah gang perkampungan, pantai dan lain sebagainya. Bila
kusen_dony_hermansyah

melibatkan alam bebas, penonton bisa memahami tempat kejadiannya saja, namun
seringkali sulit menebak kapan waktu terjadinya, misalkan di hutan, pantai di sebuah
pulau ataupun pegunungan kapur di mana yang tampak hanya warna putih.
Contohnya (Gbr. 1) di mana penonton tidak akan bisa menentukan kapan kejadian
sebenarnya.

Gambar 1
Namun bila setting eksterior itu ada di perkotaan, maka akan mudah dikenali
kapan peristiwa tersebut terjadi. Hal ini dikarenakan adanya properti yaitu segala
macam benda yang melengkapi setting, misalnya mobil, tiang listrik, pot tanaman
dan lain sebagainya. Bila penonton tidak bisa memastikan betul kejadiannya,
properti membuat rentang waktunya menjadi semakin pendek, misalnya antara
tahun 1990-an sampai dengan 2000-an, seperti yang tampak pada (Gbr. 2).

Gambar 2
Untuk setting interior, hampir seperti yang ada pada setting eksterior di
perkotaan, di mana penonton akan dengan mudah menebak kapan dan di mana
peristiwanya terjadi karena adanya properti yang menyertainya. Pada (Gbr. 3.1)
penonton akan menduga bahwa terjadi di masa lalu sebab seluruh propertinya
menggunakan gerabah, sedangkan (Gbr. 3.3) terjadi pada masa kini dan (Gbr. 3.2)
penonton bisa menaksir rentang waktunya juga pada masa kini ataupun beberapa
tahun sebelumnya. Hal ini karena panci yang digunakan pada (Gbr. 3.2) dibuat dari
alumunium.

kusen_dony_hermansyah

Gambar 3

Gambar 4
Dilihat dari gambaran di atas, setting memiliki fungsi untuk memberi
informasi ruang dan waktu sebuah peristiwa dalam film, namun sebenarnya setting
masih mungkin untuk difungsikan lebih dari itu sebab bila kita melihat gambar di
atas, maka sebenarnya penonton bisa menduga status sosial (stratifikasi sosial)
tokohnya, tanpa harus diucapkan dalam dialog.
Misalnya saja kalau
membandingkan ruang tidur pada (Gbr. 4), maka penonton akan menganggap
bahwa tokoh pada (Gbr. 4.1) dari kalangan menengahbawah dan tokoh dari (Gbr.
4.2) dari kalangan atas. Untuk (Gbr. 4.1) memang tidaklah mutlak sebab bisa saja
ketika tokohnya ingin mendapatkan suasana perkampungan maka dia membangun
kamar tidurnya seperti itu namun dapurnya tetap menggunakan setting seperti yang
tampak pada (Gbr. 3.3).
Selain tiga fungsi di atas, setting juga bisa menjadi motif penggerak bagi
tokohnya atau dengan kata lain setting menunjukan motif tertentu, yaitu ketika
sebuah setting baik latar secara utuh ataupun hanya sebuah properti menjadi tujuan
tokohnya. Contohnya, dalam The Mummy (1999) karya Stephen Sommers
menggunakan sebuah kota kuno bernama Hamunaptra sebagai tujuan dari para
tokohnya. Pada film Indiana Jones and The Last Crusades (1989) yang menjadi
tujuan tokohnya adalah cawan suci (holly grail) Yesus Kristus.
Dua fungsi lainnya adalah pendukung aktif adegan seperti yang dilakukan
oleh Jackie Chan dalam film-filmnya, di mana dia sering menggunakan benda-benda
di sekitarnya sebagai senjata ataupun sesuatu yang melindungi, seperti dalam
Rumble In The Bronx (1995) dia menggunakan kulkas untuk melindungi diri pukulan
para berandalan. Yang terakhir, setting sebagai pembangun suasana (mood) dan
contoh paling mudahnya adalah pada filmfilm ber-genre horor biasanya akan
menggunakan setting yang kusam dan kumuh agar terasa menyeramkan bagi
penonton.
kusen_dony_hermansyah

2.1.2. JENIS-JENIS SETTING


Ada dua jenis setting yang biasa digunakan dalam produksi film, yaitu setting
yang dibuat di dalam studio (baik setting yang realis maupun setting yang virtual)
dan setting otentik yang langsung digunakan sebagai lokasi (shot on location).
-

Shot On Studio
Studio yang dimaksud di sini tidak terbatas pada indoor studio seperti
gambar film Das Cabinet Des Dr. Caligari (1920) yang terlihat di (Gbr. 5.1) dan
sebuah shooting acara televisi (Gbr. 5.2) , namun juga outdoor studio seperti
setting film western (Gbr. 5.3) ataupun film Water World (1995) yang
menggunakan laut untuk membangun setting-nya. Selain berwujud realis seperti
pada (Gbr. 5.3), setting juga bisa menggunakan wujud virtual (virtual setting)
seperti yang ada dalam film Water World (1995) dan Star Wars (1977).
Keuntungan menggunakan setting di dalam studio, pembuat film dapat
leluasa mengarahkan seluruh elemen visualnya termasuk pemain tanpa harus
diganggu oleh penonton. Bahkan, misalnya adegan sebuah sudut kota seperti
dalam adegan akhir film The Untouchables (1987) karya Brian de Palma, seluruh
orang yang ada di kota tersebut adalah pemain walaupun hanya sekedar lewat.
Namun menggunakan setting jenis ini bukannya tidak ada kerugian, sebab harus
cermat sekali dalam membuatnya, sehingga memerlukan biaya yang tidak
sedikit.

Gambar 5

Gambar 6 (Virtual Setting)

kusen_dony_hermansyah

Shot On Location
Pembuat film biasanya tidak perlu membangun lokasi yang akan dijadikan
setting-nya sebab biasanya justru keotentikan tempat tersebut yang menjadi
tujuan agar bisa mendapatkan keaslian ataupun kedekatan realismenya.
Walaupun pada umumnya tetap saja diperlukan beberapa sentuhan yang
tujuannya mempercantik setting tersebut (set dressing).
Keuntungan menggunakan setting ini, selain menuntut biaya yang relatif
lebih murah dibanding harus membangun, juga seperti yang sudah dikatakan di
atas bahwa pembuat film bisa lebih mudah mendapatkan keaslian dan
keotentikannya. Sedangkan kerugiannya, harus berhadapan dengan persoalan
alam (bila lokasi outdoor) seperti hujan, angin dan sebagainya. Selain itu juga
sering juga harus berhadapan dengan masyarakat yang menonton shooting
tersebut. Pada lokasi indoor juga ada kerugiannya, yaitu harus menyesuaikan
dengan posisi ruangan yang tidak bisa dipindah ataupun digeser seperti dalam
studio.

Gambar 7 (Shot On Location)


2.2. KOSTUM & MAKE UP
2.2.1. Kostum
Kostum bisa dikatakan sebagai, segala sesuatu yang melekat secara konsisten
pada tokoh. Harus dibedakan dengan wardrobe yang penggunaanya ada di ranah
manajemen produksi dan cenderung diartikan sebagai pakaian yang digunakan
tokoh. Sedangkan kostum tidak terbatas hanya pakaian, tapi juga properti (hand
prop) yang melekat pada tubuh karakter. Contohnya pada karakter Indiana Jones
dalam film Indiana Jones : The Temple of Doom (1984), kostumnya tidak hanya
kemeja, celana dan sepatu saja tapi juga ada topi, tas selempang, pistol revolver,
gesper untuk menggantung sarung pistol, ikat pinggang serta cambuk (lihat Gbr. 8.1)
Selama handprop itu tidak diletakkan, benda itu masih menjadi kostum, namun bila
sudah terpisah dari karakter maka benda itu menjadi bagian dari setting yang
disebut properti. Contoh lain, misalnya Tarzan yang hanya menggunakan kulit
binatang yang menjadi semacam celana dalam yang menutupi auratnya, memang
harus dipahami bahwa itulah kostumnya dan tidak perlu tambahan yang lain untuk
melengkapinya.
kusen_dony_hermansyah

Gambar 8
Tentu saja kostum sendiri memiliki fungsinya yang di antaranya adalah
memberikan informasi ruang dan waktu kepada penonton. Misalnya pada setting
hutan di (Gbr. 1.3) yang kosong, penonton mungkin akan sulit menentukan waktu
kejadiannya, namun bila kemudian ada kostum Liverpool tergantung di salah satu
pohonnya (Gbr. 9), maka tidak mungkin waktunya sebelum Masehi atau masa
revolusi fisik di Indonesia.

Gambar 9
Selain fungsi informasi ruang dan waktu, kostum juga bisa menginformasikan
status atau strata sosial tokoh, misalnya dengan memperlihatkan tokohnya
mengenakan kaos dan celana pendek atau menggunakan stelan jas lengkap,
penonton langsung mengatakan bahwa tokoh bercelana pendek dan berkaos adalah
kelas menengahbawah, sedangkan tokoh berstelan jas lengkap adalah orang kaya
(Gbr. 10)

kusen_dony_hermansyah

Gambar 10
Masih ada beberapa fungsi kostum, yaitu sebagai motif penggerak cerita
seperti pada film The Tuxedo (2002) yang dibintangi oleh Jackie Chan dan
disutradarai oleh Kevin Donovan, di mana pakaian tuxedo justru menyebabkan
tokoh Jimmie Tong menjadi pandai bela diri, padahal sebelumnya adalah pemuda
biasa. Juga dalam film The Mask (1994) yang dibintangi Jim Carrey dan disutradarai
oleh Chuck Russell, topeng yang awalnya hanya properti biasa, setelah melekat di
wajah tokohnya (menjadi kostum) bisa mengubah wujud dan kepribadiannya
sehingga kemudian menjadi rebutan banyak orang. Fungsi selanjutnya adalah
bahwa kostum bisa membentuk citra dan kepribadian tokoh serta simbol. Dalam
beberapa film superhero, tokohtokohnya sudah memiliki pencitraan dari
kostumnya seperti Batman, Superman, Wolverin dan lain sebagainya, namun selain
itu pencitraan juga bisa dibuat dari kostum yang sedikit berlebihan atau kurang
sepadan seperti yang dikenakan oleh tokoh Charlie yang dimainkan oleh Charles
Chaplin. Sedangkan untuk pembentukan kepribadian tokoh, misalnya bisa dilihat di
film The Outsiders (1983) yang disutradarai Francis Ford Coppola, menceritakan
perseteruan dua genk di sebuah kota, di mana bagian selatan adalah daerah orang
kaya dikuasai oleh pemuda yang dikenal dengan The Socials dan bagian utara
adalah wilayah miskin dengan gerombolan yang dikenal dengan The Greasers.
Kostum yang dikenakan The Socials, terlihat rapi walaupun sederhana dengan
mengenakan jeans bagus dengan jaket baseball dan sepatu kets, sedangkan
golongan The Greasers mengenakan kostum yang seenaknya, yaitu jeans belel,
kaos buntung, jaket dan sepatu boot (Gbr. 11)

kusen_dony_hermansyah

Gambar 11
(The Greasers dalam film The Outsiders)
Untuk fungsi simbol, kostum berkaitan dengan warna yang melekat padanya.
Misalnya saja warna hitam sering disimbolkan sebagai warna kejahatan dan putih
sebagai symbol kebajikan. Walaupun tidak mutlak, warna kostum tetap saja
dijadikan tanda untuk mewakili suatu nuansa, suasana atau informasi tertentu.

2.2.2. MakeUp
Walaupun sering diterjemahkan sebagai tata rias, makeup dalam film tidak
selalu hanya digunakan untuk merias wajah sebab yang dipoles bisa jadi mencakup
seluruh tubuh termasuk wajah. Dalam produksi film dikenal dua macam makeup
yaitu makeup natural dan makeup character. Makeup natural biasanya untuk
digunakan pada tokohtokoh dalam rangka mengejar aspek realism yang normal,
seperti halnya di dalam kehidupan seharihari (Gbr 12.1 dan 12.2). Sedangkan
makeup character digunakan pada permasalahan yang tidak biasa misalnya luka,
wajah tua, wajah yang aneh dan sebagainya ((Gbr 12.3 sampai dengan 12.5).
Contohnya luka pada wajah robot T-800 (Gbr 12.5) dalam film The Terminator (1984)
karya James Cameron.
Makeup berfungsi sebagai informasi usia tokohnya seperti yang dilakukan
Mike Newell dalam film Love in the Time of Cholera (2007) di mana perubahan usia
dari tokoh Florentino Ariza (Gbr. 13) dan Fermina Urbino (Gbr 14) lebih cenderung
menggunakan makeup dibandingkan mengganti pemain. Selain itu makeup juga
banyak digunakan untuk menciptakan karakter yang tidak lazim, seperti tokoh Joker
(Gbr 15.1) dan TwoFace (Gbr. 15.2 & 15.3) dalam film The Dark Night (2008) karya
Christoper Nolan ataupun pergantian wujud tokoh Dracula dalam film Bram Stokers
Dracula (1992) karya Francis Ford Coppola (Gbr. 15. 4 & 15.5).

kusen_dony_hermansyah

Gambar 12

Gambar 13

Gambar 14

Gambar 15

kusen_dony_hermansyah

2.3. PENCAHAYAAN
Unsur paling penting dari seluruh mise en scene adalah pencahayaan ini sebab bila
usnur ini dihilangkan, maka penonton hanya akan melihat gelap semata. Fungsi cahaya,
selain untuk menerangi subjek juga untuk turut membentuk suasan (mood) serta
memberikan kesan tiga dimensi (dimensi ruang) bagi penonton. Dalam menerangi subjek,
cahaya akan membentuk dua sisi yaitu sisi terang (light) dan sisi gelap / bayangan (shade).
Pada sisi terang, bila cahaya jatuh pada permukaan yang halus maka akan banyak
dipantulkan sehingga wujudnya menjadi gemerlap, sedangkan bila cahayanya jatuh pada
permukaan yang kasar maka cahaya lebih banyak menyebar (diserap).

Gambar 16

Selain itu cahaya sendiri memiliki dua macam kualitas saat jatuh ke subjek, yaitu
cahaya lembut (soft light) dan cahaya keras (hard light). Cahaya keras biasanya terjadi
karena subjek terkena langsung cahaya matahari atau jarak subjek dengan sumber
cahayanya sangat dekat. Sedangkan cahaya lembut terjadi karena cahaya yang jatuh ke
subjek terhalang oleh benda lain yang menyebabkan intensitasnya menjadi tidak sekeras
cahaya awalnya. Untuk menunjang fungsinya, pencahayaan ditentukan selain oleh kualitas
cahayanya, juga oleh arah, sumber, warna dan pendekatan penataan cahayanya.

hard light

soft light
Gambar 17

kusen_dony_hermansyah

2.3.1. Arah Cahaya


- Depan (Frontal Light)
Cahaya dari arah depan biasanya akan menghilangkan bayangan (shade)
dan menegaskan bentuk atau karakter yang terkena cahaya tersebut.

Gambar 18
- Belakang (Back Light)
Cahaya yang berasal dari belakang subjek, biasanya mampu membentuk
siluet bila digunakan secara tunggal, namun bisa turut membentuk kedalaman bila
digunakan dengan arah cahaya yang lainnya.

Gambar 19
- Samping (Side Light)
Arah cahaya ini berasal dari bagian samping subjek, sehingga akan
terbentuk bayangan di bagian samping lainnya. Selain itu, side light juga mampu
mengeluarkan tekstur dari suatu benda.

kusen_dony_hermansyah

Gambar 20
- Atas (Top Light)
Sebenarnya arah ini adalah arah cahaya matahari yang alamiah di
Indonesia, terutama ketika waktu menunjukkan pukul 11.00 hingga 13.00 dan
puncaknya adalah pukul 12.00 saat matahari tepat di atas kepala. Akan tetapi arah
cahaya ini justru sering dihindari saat shooting eksterior karena bayangan jatuh ke
bawah dan yang ditekutkan bila bayangan itu ada di sekitar kantung mata, di
bawah hidung dan sebagainya yang membuat karakter dianggap kurang bagus.
Darius Khondji pernah menggunakan arah cahaya ini ketika membuat film Evita
(1996) karya Alan Parker, menurutnya secara realitas top light memang ada di
negeri tropis seperti Argentina. Selain itu secara tunggal top light sering digunakan
dalam adeganadegan inteorgasi.

Gambar 21

- Bawah (Under Light)


Under light pada masa kini jarang digunakan, selain memang ada sumber
cahaya yang mengarah seperti itu, misalnya lampu sorot pada film Batman.
Namun pada masa lalu dalam filmfilm berjenis horror under light justru
digunakan untuk menambah seram karakter hantunya.

kusen_dony_hermansyah

Gambar 22

2.3.2. Warna Cahaya


Warna dari cahaya dalam kenyataannya bisa dilihat secara kasat mata,
misalnya pada pagi hari warna cahaya adalah putih cenderung kebiruan, sedangkan
pada siang hari lebih banyak terlihat putih saja dan pada senja hari ditambah cahaya
dari lampulampu warna akan cenderung seperti warna teh (amber). Warna cahaya
putih kebiruan itu sering dikenal dengan istilah cahaya daylight. Sedangkan yang
berwarna amber dikenal dengan cahaya tungsten.

cahaya daylight

cahaya tungsten
Gambar 23

2.3.3. Sumber Cahaya


Sumber cahaya adalah salah satu bahasan penting untuk menetapkan
realitas pada cahaya. Logika sumber cahaya ini seringkali menjadi masalah karena
secara suasana bisa mengganggu penonton bila salah menentukannya, walaupun
jarang sekali sampai mengganggu cerita. Sumber cahaya hanya terbagi atas sumber
cahaya utama (key light) dan sumber cahaya tambahan (fill light).

kusen_dony_hermansyah

Gambar 24
2.3.4. Pendekatan Penataan Cahaya
Biasanya seorang pembuat film tidak begitu saja menggunakan cahaya,
artinya harus ada pertimbangan logika realitas maupun kebutuhan naratif (cerita)
sehingga cahaya tertentu digunakan untuk sebuah adegan. Apalagi kalau pembuat
film tersebut menggunakan artificial light (cahaya yang sengaja ditambahkan untuk
kepentingan realitas ataupun intensitas agar bisa terekam dengan baik di filmnya).
Ada tiga pendekatan dalam pentaan cahaya :
- High Key / Low Contrast
Pendekatan ini berarti sebuah adegan yang menggunakan sumber cahaya
dengan intesitas yang besar dan merata hingga batas antara terang dan gelapnya
(kontras) sangatlah tipis atau bayangan (shade) yang tercipta dari penataan ini
tidak terlalu kentara. Biasanya digunakan dalam filmfilm berjenis komedi, namun
pada adeganadegan seperti di dalam took swalayan, kampus, sekolah, restoran
dan sebagainya. Tentu saja semua dibuat tetap berdasarkan pertimbangan logika
realita ataupun kebutuhan ceritanya.

kusen_dony_hermansyah

Gambar 25
- Low Key / High Contrast
Penataan ini adalah kebalikan dari yang sebelumnya, selain memiliki
kontras yang tinggi juga batasan bayangan (shade) justru tampak jelas. Bahkan
dalam film berjenis horor ataupun bergaya noir, bayangan yang jatuh justru jauh
lebih tebal.

Gambar 26
- Graduated Tonality
Penataan cahaya ini merupakan perpaduan antara high key dan low key yang
digunakan dalam sebuah adegan. Para pembuat film pemula jarang menggunakan
penataan ini karena tingkat kesulitan dan kerumitannya yang tinggi, sebab dari
bagian yang menggunakan high key ke bagian yang menggunakan low key, cahaya
harus tampak gradasinya.
2.3.5. Penataan Cahaya Ala Hollywood.
Hollywood sebagai salah satu industri film terbesar dunia memiliki suatu
pola penataan cahaya yang menjadi standar di sana. Pola itu dikenal dengan three
point lighting. Pola ini menggunakan 1 sumber cahaya utama (key light) dan 2
sumber cahaya tambahan (fill light) dengan arah yang berbeda, terutama dengan
arah back light yang membuat kesan tiga dimensinya menjadi lebih terasa.

kusen_dony_hermansyah

key light

fill light 1

fill light 2 (back light)

HASIL

threepoint light
Gambar 27

2.4. GERAK DAN EKPRESI FIGUR.


Figur yang dimaksud di sini adalah apa yang dikenal oleh masyarakat dengan tokoh
atau karakter. Mengapa menggunakan kata figur, dikarenakan dalam film tidak selalu
dimainkan oleh manusia. Dengan kata lain figur bisa berupa manusia ataupun sesuatu
yang dimanusiakan dalam wujud yang fisik maupun non fisik. Mengapa harus
dimanusiakan, sebab bagaimanapun juga pendekatan realisme tetaplah dipegang oleh
kusen_dony_hermansyah

pembuat film agar mampu mengontrol mise en scene. Bahkan ketika figur itu tidak
menyerupai manusia sekalipun. Bila mau diperinci, maka ada beberapa kriteria figur, yaitu:
2.4.1. Jenis Figur
- Figur Manusia
Figur manusia adalah yang paling banyak digunakan di dalam film apalagi
film dokumenter, sebab dengan figur inilah pembuat film dengan mudah
mengarahkan meskipun secara sosialbudaya tidak mereka kenal. Ini bisa
terjadi karena manusia memiliki tindakan common sense dalam kehidupan
mereka seperti makan, minum, tidur, jalan, berlari ataupun perasaan seperti
marah, sedih, senang, kecewa dan sebagainya.
Figur manusia tidak hanya diwujudkan secara nyata (live action), tetapi
juga menggunakan teknik animasi seperti dalam film Pocahontas (1995), The
Hunchback of Notre Dame (1996), Sinbad: The Legend of Seven Seas (2003) dan
masih banyak yang lainnya.
- Figur Non-Manusia
Figur non-manusia bisa berwujud binatang, alien, bendabenda, ataupun
bentukbentuk tertentu. Filmfilm yang menggunakan figur binatang seperti
Lassie (1994) yang menggunakan figur anjing ataupun Stuart Little (1999) yang
menggunakan figur tikus. Filmfilm yang menggunakan figur alien dicontohkan
dengan film Avatar (2009) dan District9 (2009). Filmfilm yang menggunakan
figur benda adalah Herbie Fully Loaded (2005) yang menggunakan mobil VW
Kodok, film I-Robot (2004) dan The Terminator (1984) yang menggunakan robot.
Filmfilm yang menggunakan figur boneka adalah Childs Play (1988) atau Toy
Story (1995) dan Nightmare Before Christmast (1993) walaupun menggunakan
teknik animasi.
Selain menggunakan halhal di atas, figur nonmanusia dalam bentuk
garis dan bidang juga digunakan, misalnya dalam karya Hans Richter (Rythmus
21) ataupun filmfilm yang dibuat oleh Norman MacLaren seorang animator
eksperimentalis dari Kanada. Berbicara tentang animasi, film seperti Fantasia
(1940) produksi Walt Disney banyak menggunakan garis, warna bahkan wujud
seperti tangga nada sebagai figurnya.

kusen_dony_hermansyah

- Figur NonFisik
Figur nonfisik umumnya muncul sebagai hantu merupakan wujudnya
seperti dalam film Casper (1995) atau figur Sam dalam Ghost (1990) dan Cyrus
dalam The Frighteners (1996). Namun figur non fisik juga muncul dalam film
Hollowman (2000) di mana figur Sebastian Caine menjadi sosok yang tidak kasat
mata karena sebuah percobaan ilmiah.

2.4.2. Gerak dan Ekspresi Figur


Gerak figur (gestur) berfungsi untuk menunjukkan sebuah tindakan yang
dilakukan oleh tokoh, paling sederhana adalah gerak memasukkan makanan ke
dalam mulut yang disebut makan, gerak mengayunkan tangan yang terkepal ke
arah wajah seseorang yang disebut memukul dan sebagainya. Contoh tadi adalah
gerak yang besar dan lugas, dalam artian hampir setiap penonton bisa memahami.
Namun gerak ada juga gerak yang menunjukkan tandatanda tertentu,
misalnya meletakkan jari telunjuk di depan bibir yang berarti menyuruh seseroang
diam atau bisa juga menundukkan kepala saat bertemu dengan orang tua yang
berarti menghormati. Terkadang gerak seperti ini juga dibarengi dengan
penggunaan properti misalnya seorang lelaki yang berlutut di hadapan perempuan
dengan mengajukan setangkai bunga yang berarti tanda cinta. Bahkan pada
adegan tertentu gerak justru menunjukkan sebuah makna tertentu, contohnya
pada adegan dokter yang keluar dari kamar oprasi. Saat pintu terbuka terlihat sang
dokter mencopot penutup kepala dan maskernya dan membantingnya ke lantai.
Segera saja penonton tahu bahwa oprasi yang dijalaninya telah gagal.
Masalah lain adalah bahwa gerak juga bisa dilakukan hanya pada wajah
tokoh bahkan saat gerak tersebut sangat sedikit dilakukan, misalnya
mengerenyitkan dahi, memicingkan alis, membelalakan mata dan sebagainya.
Gerak ini disebut ekspresi, yang seringkali dihubungkan dengan suasana hati
tokoh, misalnya dahi yang mengkerut tanda berpikir keras, membelalakan mata
tanda terkejut, anggukkan tanda setuju dan sebagainya. Namun ekspresi juga bisa
dibentuk dengan gerakan tertentu dari bagian wajah yang bisa menandakan tokoh
tersebut sedang senang, sedih ataupun bingung.
Walaupun gerak figur sangatlah bebas, tetapi dalam buku Film and the
Director, Don Livingston menyatakan bahwa gerak subjek (figur) terbagi atas dua
di mana gerak tersebut berhubungan dengan kamera, yaitu walk in (subjek
mendekati kamera) dan walk away (subjek manjauhi kamera).

kusen_dony_hermansyah

Gambar 28 (Walk In)

Gambar 29 (Walk Away)

2.4.3. Akting
Akting diadopsi dari seni drama (teater) yang masuk ke film sejak dari
gambar bergerak ini ada. Pemahaman awal bahwa film adalah teater yang direkam
dengan kamera sehingga kecenderungan action yang berlebihan dianggap wajar.
Contohnya dalam film The Birth of a Nation (1915) karya David Wark Griffith atau
yang paling jelas dalam filmfilm dari gerakan Ekspresionisme Jerman tahun 1920an, seperti film Das Cabinet des Dr. Caligari (1920) atau Metropolis (1927).
Perubahan mulai ada ketika munculnya suara, sehingga akting yang
dilakukan seorang pemain tidak terbatas hanya pada gerak tubuh dan ekspresi
wajah saja, namun suara juga diperhitungkan. Mulai 1930-an metode akting sudah
mulai berubah menjadi lebih halus dan tidak telalu berlebihan, namun akhirnya
dialog maupun geraknya masih terasa formal, artinya terasa tidak wajar atau
seperti bukan keseharian manusia. Hal ini bisa dimaklumi karena biasanya
sutradara masih mengatur blocking posisi dan gerak seperti apa yang dia inginkan.
Kita bisa melihat dalam film seperti Casablanca (1942), The Birds (1963) dan
sebagainya.
Sekitar tahun 1970-an akting menjadi lebih membumi, di mana aspek
realisme (mengacu pada gerak, ekspresi dan cara berbicara seharihari) sangatlah
ditekankan. Kita bisa lihat pada film Godfather (1972), Taxi Driver (1976), The Deer
Hunter (1978) dan lainlain, bahkan hingga sekarang metode akting yang
mendekati keseharian ini dipertahankan.
kusen_dony_hermansyah

3. PENGGUNAAN MISE EN SCENE


Bila membaca pembahasan di atas, seolaholah pembuat film hanya bisa
menggunakan mise en scene secara pasif, padahal sebenarnya harus bisa difungsikan secara
aktif untuk menunjang cerita dan ini tidak terbatas pada figur yang bisa bergerak. Selain
figur umumnya mise en scene berkhir sebagai penghias serta latar sebuah film dan cara jitu
agar hal itu tidak terjadi, mise en scene harus selalu menjadi pusat perhatian penonton
(center point of interest). Agar usaha itu bisa berjalan mulus, maka yang diolah adalah
kekontrasan dari mise en scene yang ada di dalam frame. Ada beberapa hal yang bisa
dijadikan kontrasnya yaitu cahaya, warna, ukuran bentuk dan gerak.

cahaya

bentuk dan warna

gerak

bentuk dan warna

ukuran bentuk

melawan arah gerak

Penonton akan melihat pertama kali mise en scene sebagai point of interest ketika ada
cahaya yang paling keras dari yang lain, ukuran bentuk yang lebih paling besar dari yang lain,
warna dan bentuk yang paling berbeda dengan yang lain, juga gerak subjek ketika latarnya tidak
bergerak atau gerakan yang paling berbeda (bisa lebih cepat, lambat ataupun melawan arah) di
antara yang lain. Gampangnya, bila seorang penonton diminta memejamkan mata sejenak lalu
langsung membuka mata, maka benda / subjek yang pertama kali menarik perhatiannya
disebut point of interest.
kusen_dony_hermansyah

4. PENDEKATAN DALAM MISE EN SCENE


4.1. Realisme
Pendekatan ini adalah pendekatan yang paling umum digunakan pada filmfilm
yang diproduksi di seluruh dunia. Realisme diartikan sebagai pendekatan sebuah seni
terhadap keseharian dan perilaku logis manusia. Selama figur yang dimainkan oleh
pembuatnya adalah manusia maka realisme akan selalu dibuat sampai kapanpun. Realisme
yang paling rumit tingkatannya adalah ketika dibuat film dengan tipe doku-drama. Hal ini
disebabakan ada tuntutan kedekatan yang sangat detil dengan peristiwa aslinya, sehingga
terkadang untuk membuat satu film membutuhkan riset yang sangat lama, misalnya
Stoned (2005) karya Stephen Woolley yang melakukan riset selama 10 tahun untuk
meneliti kurun waktu tiga bulan sebelum meninggalnya Brian Jones (gitaris Rolling Stones).
Namun tidak selalu doku-drama yang menggunakan pedekatan yang rumit dalam
pembuatannya, film American President (1995) karya Rob Reiner juga membuat desain
interior Gedung Putih dengan sangat detil dan teliti agar bisa semirip mungkin dengan
aslinya.
Dikarenakan pengerjaannya yang rumit dan teliti, maka kesulitan paling tinggi yang
dihadapi pendekatan ini adalah ketika wujudnya perilaku manusia, sebab setiap tempat
memiliki kebudayaan yang berbeda satu sama lain, misalnya saja cara makan, tidur, marah,
berkelahi dan sebagainya.

4.2. Imajinatif
Pendekatan ini paling sering digunakan adalah pada seri TV untuk anakanak, yaitu
animasi kartun seperti Tom & Jerry, The Flinstone, Scooby Doo dan sebagainya. Pada film
layar lebar pendekatan imajinatif sangat sering atau hampir semua film berjenis horor
menggunakannya. Masalahnya memang apa yang diimajinasikan seringkali tidak bisa
dinalar oleh manusia. Namun begitu, pendekatan seperti ini masih digunakan hingga
sekarang untuk terutama pada filmfilm berjenis science fiction, seperti The Abyss (1989),
Godzilla, King of the Monsters! (1956), Gorgo (1961) dan sebagainya.

4.3. Hollywood Spectacular


Pendekatan ini bisa didasarkan pada realisme, imajinatif ataupun perpaduan
keduanya. Akan tetapi pendekatan tersebut dibuat sangat luar biasa (spektakuler) misalnya
saja yang menggunakan pendekatan realisme namun spektakuler, bisa kita jumpai pada
filmfilm perang kolosal seperti Ben Hur (1959) karya William Wyler, The Ten
Commandements (1956) karya Cecil B. DeMille, ataupun Pearl Harbor (2001) karya Michael
Bay. Sedangkan yang berdasar pada imajinatif seperti film Star Wars dan serinya karya
George Lucas dan trilogi Matrix karya Wachowski Bersaudara.
kusen_dony_hermansyah

Malahan yang justru banyak dibuat adalah perpaduan antara realisme dan
imajinatif seperti Jurasic Park (1993) karya Steven Spielberg, Avatar (2009) James
Cameron, District-9 (2009) karya Neill Blomkamp. Namun ada juga film yang sebenarnya
didasarkan pada realitas, hanya saja kurun waktunya ada sebelum masehi sehingga
imajinasi pembuatnya sangatlah diperlukan untuk membangun setting-nya, kita bisa
melihatnya dalam film Gladiator (2000) karya Ridley Scott dan fil 300 (2006) karya Zack
Snyder.

kusen_dony_hermansyah

Anda mungkin juga menyukai