Anda di halaman 1dari 22

1

A. Tafsir Ayat Tentang Kewajiban Menegakan Keadilan Dan


Menunaikan Amanah.
1 . QS. Al-Maidah : 8
a. Teks ayat dan Terjemah









Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan

janganlah

sekali-kali

kebencianmu

terhadap

sesuatu

kaum,

mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan
b. Kosa kata
Jadilah kalian
Orang-orang yang
selalu menegakkan

kebenaran

Saksi-saksi

Dengan adil
Dan janganlah

mendorong kalian
Kebencian
Berbuat tidak adil
Lebih dekat
Kepada takwa
c. Tafsir ayat

Allah SWT menganjurkan manusia untuk menegakan keadilan, juga


menjadi saksi yang adil terhadap keadilan,serta jangan menjadi saksi
dalam sesuatu yang tidak adil.

Diriwayatkan dari Numan bin Basyir r.a, dia berkata : aku diberi
oleh ayahku sesuatu, maka ibuku, Amrah binti Rawahah berkata : Aku
tidak rela hingga pemberian itu kamu persaksikan dihadapan Rasulullah
Saw. Maka ayahku pergi untuk mempersaksikan pemberian itu kepada
Rasulullah Saw. Maka Nabi bertanya, Apakah setiap anakmu mendapatkan
pemberian yang sama?, jawab ayahku, tidak. Maka Nabi bersabda:
bertakwalah

kepada

Allah

dan

berlaku

adillah

diantara

anak-

anakmu,sesungguhnya aku tidak akan menjadi saksi terhadap perbuatan


dzalim (tidak adil),maka ayahku mengurungkan pemberian itu.
Dan jangan karena terdorong oleh rasa kebencian dan permusuhan
sehingga berlaku tidak adil. Tetaplah kalian berlaku adil,sebab berlaku adil
itulah yang lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah selalu kepada
Allah dalam semua amal perbuatanmu, sungguh Allah mengetahui
sedalam-dalamnya amal perbuatanmu semua yang baik akan dibalas
dengan baik, sedang yang jahat akan menerima akibat balasannya.1

2. QS. An-Nisa : 58
a. Teks ayat


























Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya

Allah

memberi

pengajaran

yang

sebaik-baiknya

kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha


Melihat.

b. Kosa Kata
1 Ibnu Katsir, Tafsir al-quran al-Adzim, Mesir, Dar at-Tauzi, 1998, Juz 2, hlm.44.

Sesungguhnya Allah

Memerintahkan kalian

Untuk menunaikan

Amanat
Kepada yang berhak menerimanya

Dan jika kalian menetapkan hukum

Diantara manusia

Supaya kamu menetapkan

Dengan adil

c. Sebab Turunnya ayat


Ayat ini turun menceritakan tentang Usman bin Talhah al-Hajabi,dari bani
abd al-Darr, dia adalah pemegang kunci kabah. Ketika Rasulullah Saw
datang ke kota Mekah pada hari penaklukan, Usman mengunci pintu
kabah dan naik ke atapnya.kemudian Rasulullah Saw meminta kunci
kabah, lalu dikatakan bahwa kuncinya ditangan Usman, Rasulullah Saw
meminta Usman menyerahkan kunci itu, tapi dia menolak, dan Usman
berkata: kalau aku mengetahui bahwa dia itu Rasulullah, pasti aku akan
memberikannya. Ali bin Abi Thalib memohon kepada Usman untuk
menyerahkan kunci itu dan membuka pintu kabah, hingga Rasulullah Saw
masuk kedalamnya dan shalat dua rakaat. Lalu ketika beliau keluar, Abbas
bin Abdul Mutholib meminta kunci itu kepada Rasulullah Saw agar dia bisa
memiliki dua peran,yaitu sebagai pemegang kunci kabah dan pemberi
minum kepada para jemaah haji,lalu turunlah ayat ini.
Rasulullah Saw memerintahkan kepada Ali untuk mengembalikan
kunci itu kepada Usman dan menyampaikan permohonan maaf. Setelah
disampaikan,

Usman

berkata

wahai

Ali,

tadi

engkau

memaksa,menyakiti,tapi tiba-tiba sekarang engkau bersikap lembut. Ali


pun

menyampaikan

bahwa

telah

diturunkan

ayat

terkait

dengan

usman,lalu dia membacakan ayat itu, Usman berkata : Aku bersaksi


bahwa Muhammad adalah utusan Allah,dia pun memeluk Islam. Kemudian
datang malaikat jibril dan berkata : selama kabah ini tetap berdiri, maka
urusan kunci kabah dan memberi minuman kepada jemaah haji berada
dalam kekuasaan keturunan Usman, dan hari ini hal itu benar-benar
berada ditangan mereka.2

d. Tafsir ayat 3:
Allah memberitahukan bahwa Dia memerintahkan hamba-hamba-Nya
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, sebagaimana
sabda Rasulullah Saw menurut Riwayat Imam Ahmad :


Sampaikanlah amanat kepada yang berhak menerimanya dan janganlah
engkau mengkhianati orang yang telah mengkhianataimu.
Kata amanat dalam ayat ini menjangkau amanat yang dipesankan
Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya seperti kewajiban shalat, zakat,
puasa,pembayaran kaffarat, penunaian nadzar dan amanat yang lainnya
yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan hamba-Nya, dan amanat yang
diterima oleh seseorang dari sesamanya seperti titipan-titipan yang
disertai atau tanpa bukti. Semuanya itu diperintahkan oleh Allah SWT agar
ditunaikannya, karena jika tidak, akan diambilkannya dari padanya di hari
kiamat sebagaimana sabda Rasulullah Saw :

2 Imam Abu Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbaab Nuzul al-Quran, Beirut, Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1991, cet.pertama, Hlm. 161
3 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Mesir, Dar at-Tauzi, 1998, Juz 1, hlm.680.

Tunaikanlah

amanat-amanat

menerimanya,sehingga

kambing

itu

yang

kepada
tidak

yang

bertanduk

berhak

diberi

hak

membalas kambing yang bertanduk.


Selain kewajiban menunaikan amanat, dalam ayat ini, Allah SWT
memerintahkan hendaklah orang yang menjadi hakim menghukum
dengan adil dan mengeluarkan yang sama rata diantara sesama manusia.
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis:


Sesungguhnya Allah menyertai seorang hakim selama ia tidak curang
dalam hukumannya, dan jika ia curang, maka Allah akan menyerahkan
nya kepada dirinya sendiri.

B. Hukum Suap (Risywah) Kepada Hakim


a. Pengertian
Dalam bahasa arab, Suap dikenal dengan kata Risywah,Rasywah
atau Rusywah, berasal dari kata Rasya Yarsyu yang bermakna sesuatu
yang diberikan karena ada kepentingan, atau sesuatu yang diberikan
untuk

membenarkan

yang

bathil,

atau

membatilkan

yang

haq. 4

Sementara dalam kamus besar bahasa indonesia, suap diartikan dengan


uang sogok.5 Sedangkan menurut istilah risywah berarti: Pemberian yang

4 Mujamma al-Lughah al-Arabiya, Al-Mujam al-Washit, Kairo,Maktabah asySyuruq ad-Dauliyah,2004, hlm. 348
5 Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, Depeartemen Pendidikan
nasional,2008, hlm 1532.

bertujuan

membatalkan

yang

memenangkan yang salah.

benar

atau

untuk

menguatkan

dan

Berdasarkan definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa suatu tindakan


dinamakan risywah jika memenuhi unsur-unsur berikut:
a.
b.
c.
d.

Adanya athiyyah (pemberian)


Pemberi suap
Penerima suap
Adanya kepentingan (Tujuan)

Adapun tujuan daripada suap itu sendiri adalah :


1.

Ibtholul haq (membatalkan yang haq)

2.

Ihqaqul bathil (merealisasikan kebathilan)

3.

Al mahsubiyah bighoiri haq (mencari keberpihakan yang tidak


dibenarkan)

4.

Al hushul alal manafi (mendapatkan kepentingan yang bukan


menjadi haknya)

5.

Al hukmu lahu (memenangkan perkaranya)

Bila dilihat dari sisi kedua yaitu menerima atau mengambil sesuatu
yang bukan haknya, maka tindakan lain yang serupa dengan risywah,
adalah korupsi. Korupsi adalah perbuatan menggunakan kekuasaan untuk
kepentingan sendiri (spt menggelapkan uang atau menerima uang
sogok)7. Dalam istilah Islam, korupsi agak sulit dicari persamaannya.
Dalam Islam, ada beberapa istilah yang terkait dengan mengambil harta
tanpa hak, misalnya; ghasb, ikhtilas, sariqoh, hirobah, ghulul dll.
Semuanya mengandung makna yang berbeda, tetapi semua istilah itu
bermuara pada pengambilan harta dengan cara yang tidak benar. Dan
biasanya Untuk memuluskan tindakan korupsi disertai dengan risywah.
6 Al-Jurjani, Al-tarifat, Riyadh, Dar al-Fadilah, 1992, hlm. 31.
7 Pusat Bahasa, kamus bahasa Indonesia, hlm.813.

Oleh karena itu banyak orang yang mengidentikkan korupsi dengan


risywah.
Bahkan dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi pasal 5 ayat 1
terdapat kemiripan antara korupsi dan suap, dimana korupsi didefinisikan
dengan:
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara, dimana pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya .8
b. Hukum Risywah

Dari definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah
risywah; Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang duaduanya sama-sama diharamkan dalam Islam menurut kesepakatan para
ulama, bahkan al-Shanani mengatakan bahwa risywah itu haram
hukumnya baik kepada hakim maupun pejabat negara dan yang lainnya 9 .
Perbuatan

tersebut

dikategorikan

dalam

kelompok

dosa

besar.

Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Quran dan


Sunnah Nabawiyah berikut ini:
a. Firman Allah taala:




Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan

8 UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang


Pemberantasan Tindak pidana korupsi.
9 Al-Shanaani, Subul al-Salam, Mesir, Maktabah al-Iman, t.th, juz 4,hlm.219.

sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui(QS. Al Baqarah: 188)

Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan


seseorang yang punya hutang, tetapi tidak ada buktinya, lalu ia
mengingkari hutangnya dan membawa perkaranya kepada hakim,padahal
ia ingat bahwa memang ia punya hutang dan tahu bahwa ia berada di
pihak yang salah.10
Ayat ini menunjukan bahwa keputusan seorang hakim tidak mengubah
hakikat hukum syariat, yakni tidak dapat mengubah yang haram menjadi
halal atau sebaliknya, meskipun secara lahir dapat berlaku.

b. Firman Allah taala:




Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong,
banyak memakan yang haram (QS.Al Maidah: 42).

Al-Qurthuby memberi penafsiran kata Suht dengan

(kerusakan dan kesulitan). Kata haram dinamakan suht

karena yang

haram itu membinasakan wibawa seseorang. Ayat ini menunjukan tentang


haramnya melakukan suap kepada hakim, tidak ada perbedaan diantara
ulama salaf bahwa tindakan suap dengan niat menyalahkan yang benar
atau sebaliknya termasuk kategori diharamkan. Bahkan imam Abu
Hanifah berkata

: jika seorang hakim menerima suap, maka secara

otomatis dia gugur status kehakimannya meskipun dia tidak mundur, dan

10 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-adzim, hlm. 364.

batallah semua keputusan yang dia buat setelah dia menerima suap
tersebut.11
c. Rasulullah SAW bersabda:



Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap (HR Khamsah
kecuali an-Nasai dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).

Hadis ini secara jelas menunjukan akan haramnya perbuatan suap, baik
dari pihak yang memberi maupun yang menerima suap. Al-Rasyi adalah
orang yang memberi suap dan memiliki kepentingan, sedangkan alMurtasyi adalah orang yang menerima suap. Bahkan dalam suatu kasus,
suap ini juga melibatkan pihak ketiga yang sebut dengan al-Raisy yaitu
orang yang menjadi perantara diantara keduanya (broker).
d. Nabi Muhammad SAW bersabda:

: :
Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah
yang paling layak untuknya.Mereka bertanya: Ya Rasulullah, apa barang
haram (as-suht) yang dimaksud?, Suap dalam perkara hukum 12

Ayat dan hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang


diharamkannya mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga
menjadi mediator antara penyuap dan yang disuap.

c. Risywah yang diperbolehkan

11 Al-Qurthubi, al-Jami Li ahkam al-Quran, Kairo, Dar al-Hadis, 2002, Juz 3 , 538
12 Al-Qurthubi, al-Jami Li ahkam al-Quran, Kairo, Dar al-Hadis, 2002, Juz 3 , 537.

10

Pada prinsipnya risywah itu hukumnya haram karena termasuk


memakan harta dengan cara yang tidak dibenarkan. Hanya saja sebagian
ulama

membolehkan

Risywah

(penyuapan)

yang

dilakukan

oleh

seseorang untuk mendapatkan haknya dan atau untuk mencegah


kezhaliman orang lain. Dan dosanya tetap ditanggung oleh orang yang
menerima suap. Salah satunya adalah Mansur bin Yunus idris al-Bahuti
dalam kitabnya Kasf al-Qanna sebagaimana dikutip oleh Nurul Irfan,
beliau mengatakan bahwa jika pihak pertama yang memberikan sesuatu
kepada pihak kedua dalam rangka mencegah pihak pertama agar
terhindar dari kezaliman pihak kedua dan agar pihak kedua mau
melaksanakan

kewajibannya,maka

pemberian

semacam

ini

tidak

dianggap sebagai risywah yang dilarang agama.13


Senada dengan al-Bahuti, Syamsul haq al-adzim juga berpendapat
sama, namun dia menyatakan bahwa sebaiknya pemberian dalam kondisi
seperti ini tidak dilakukan terhadap hakim-hakim dan penguasa sebab
upaya untuk membela yang benar sudah merupakan kewajiban yang
harus dilakukan,menolak kezaliman yang dilaksanakan oleh pelaku
terhadap objek juga wajib dilakukan oleh para hakim tersebut sehingga
tidak boleh mengambil atau menerima pemberian ini.14
Yusuf Qaradhawi juga menyatakan bahwa barang siapa yang hendak
mengambil haknya, namun tidak ada jalan lain kecuali dengan praktek
menyuap, atau dia menerima tindakan kezaliman dan dia tidak bisa
menghalangi itu kecuali dengan risywah,maka yang lebih utama adalah
dia bersabar, hingga Allah SWT memberikan baginya jalan terbaik untuk
mendapatkan haknya atau mencegahnya dari kezaliman.
Namun jika dia terpaksa menempuh jalan risywah, dalam hal ini
maka dosanya ditimpakan kepada orang yang menerima suap, bukan
13 Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta, Amzah, 2011,
hlm.90.
14 Ibid.

11

yang

memberikan

suap

selama

pihak

yang

memberi

suap

telah

melakukan berbagai cara untuk mendapatkan haknya, namun tidak


berhasil, dan selama cara dia mendapatkan haknya tanpa melakukan
tindakan aniaya kepada orang lain.15
Adapun dalil yang digunakan adalah hadis tentang orang-orang yang
meminta minta sedekah kepada Rasulullah Saw, padahal mereka tidak
berhak menerimanya. Dari Umar r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda :
sesungguhnya saya akan memberikan sebuah pemberian kepada mereka,
maka akan keluar dari bagian bawah ketiaknya api neraka. Ketika umar
bertanya: wahai Rasulullah, bagaimana mungkin engkau memberi kepada
mereka? Beliau menjawab: bagaimana lagi? Mereka enggan (tidak bosanbosan terus meminta) padahal Allah tidak berkenan bila saya bersifat
bakhil.16

d. Tentang penghasilan hakim


Hal menarik dalam masalah suap menyuap adalah dikaitkan dengan
penghasilan yang dianggap layak bagi seorang hakim. Dijelaskan oleh
Muhammad bin Ismail al-Kahlani al-Shanani bahwa suap secara ijma
dinyatakan haram, baik diberikan kepada hakim atau petugas atas nama
sedekah maupun diberikan bukan kepada keduanya.
Pendapatan yang biasa dihasilkan oleh seorang hakim terdiri dari
empat macam; suap, hadiah, gaji dan rejeki.

17

15 Yusuf al-Qaradhawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Kairo, Maktabah Wahbah,


2004, cet.28 hal.288.
16 Yusuf al-Qaradhawi, al-halal wa al-haram fi al-islam, hal.288. hadis ini
diriwayat oleh Ahmad dalam Musnadnya,jilid 3,hlm. 4.
17 Al-Shanani, Subul al-Salam, Juz 4, hlm 215.

12

a) Suap, jika tujuannya agar hakim memutuskan perkara secara tidak


benar maka status hukumnya adalah haram,baik bagi pemberi
maupun penerima suap. Akan tetapi, jika tujuannya agar hakim
memutuskan perkara secara benar untuk menyelesaikan piutang
pihak pemberi suap, maka motif suap ini haram bagi hakim,tetapi
halal bagi penyuap sebab tujuannya untuk memperjuangkan hak
yang mesti diterima penyuap. Suap motif ini sama dengan upah
bagi pemenang sayembara yang bisa menemukan budak yang
kabur dan sama dengan upah orang yang dipercaya dalam
memenangkan

persengketaan.

Akan

tetapi,

konon

hal

ini

diharamkan karena bisa menjerumuskan seorang hakim kedalam


dosa.
b) Hadiah;

jika

hadiah

ini

diberikan

dari

seseorang

sebelum

penunjukan seorang hakim yang akan menangani perkaranya maka


status hukumnya tidak diharamkan, tetapi jika diberikan setelah
ditentukan hakim yang akan menangani perkaranya,maka tetap
haram. Jika hadiah itu berasal dari seseorang yang tidak ada
kepentingan didalamnya, maka hadiah itu diperbolehkan tetapi
makruh, dan jika hadiah itu berasal dari seseorang yang mempunyai
persengketaan utang dengan pihak lawan maka hadiah dalam kasus
ini hukumnya haram, baik bagi hakim maupun pemberi hadiah.
c) Gaji; al-Shanani berpendapat jika hakim telah mendapat jatah rutin
dari baitul mal (kas negara) maka ia tidak boleh mendapatkan gaji
lagi.
d) Rejeki; untuk jenis yang keempat ini, tidak dijelaskan secara rinci
oleh al-shanani

C. Hukum Memberi Hadiah Kepada Hakim/Pejabat Negara


a. Pengertian Hadiah

13

Dalam kamus bahasa indonesia, hadiah diartikan sebagai 1. pemberian


(kenang-kenangan,

penghargaan,

penghormatan).

2.

Ganjaran

(ttg

menang dalam perlombaan). 3. Tanda mata (tentang perpisahan).18


Hadiah sering disebut juga sebagai gratifikasi, terutama bila dikaitkan
dengan pemberian kepada pejabat negara. Gratifikasi adalah uang hadiah
kepada pegawai diluar gaji yang telah ditentukan.19
Lebih jauh dalam undang-undang no 20 tahun 2001 tentang
perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindakan
pidana korupsi. Penjelasan Pasal 12 B ayat (1)

gratifikasi adalah,

pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat
(diskon),

komisi,

pinjaman

tanpa

bunga, tiket

perjalanan,

fasilitas

penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas


lainnya.

b. Hukum Hadiah Kepada Pegawai ( Gratifikasi )


Hadiah Pegawai ( Gratifikasi ) hukumnya haram berdasarkan hadist
Abu Humaid as-Saidi di bawah ini :

18 Pusat Bahasa, Kamus bahasa indonesia, Jakarta, Departemen pendidikan


Nasional,2008, hlm 513.
19 Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, hlm. 500.

14








Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata : Nabi shallallahu
'alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang
bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari
tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan
untukku". Beliau bersabda : " Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya
atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan
kepadanya hadiah ? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak
seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan
datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta
yang

berteriak,

mengembik".

atau

Kemudian

sapi

yang

beliau

melembuh

mengangkat

atau

kambing

tangan-nya,

yang

sehingga

terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan
kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak
tiga kali. (HR. Muttafaq alaihi)
Berkata Ibnu Abdul Barr : Hadist di atas menunjukkan bahwa uang
yang diambilnya tersebut adalah ghulul ( barang curian dari harta
rampasan perang ) dan hukumnya haram, sebagaimana firman Allah
subhanahu wa taala :

Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu,


maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu (QS.Ali Imran : 161)
Di dalam kitab Syarhu as-Sunnah, Imam al-Baghawi menjelaskan
bahwa hadist Abu Humaid as-Saidi di atas menunjukkan bahwa hadiah
pegawai, pejabat, dan para hakim adalah haram. Hal itu karena
pemberian kepada pegawai ( zakat ) tersebut, dimaksudkan agar dia
tidak

terlalu

mempermasalahkan

hal-hal

yang

mestinya

menjadi

kewajiban sang pemberi, dan bertujuan untuk mengurangi hak-hak orang-

15

orang miskin. Adapun yang diberikan kepada para hakim, agar dia
cenderungan kepadanya ketika dalam persidangan.

20

Dalam realita kehidupan zaman sekarang, hadis ini berlaku pada


beberapa contoh kegiatan sebagai berikut:
Pertama : Seorang pegawai perusahaan telekomunikasi yang bertugas
memperbaiki saluran atau kabel telpon yang terputus atau mengalami
gangguan. Dia tidak boleh menerima atau meminta upah tambahan dari
kerjanya dari para pelanggan, karena sudah mendapatkan gaji bulanan
dari perusahaannya. Jika ia menghambil atau meminta upah lagi hal itu
bisa merusak kerjanya, karena dia akan cenderung untuk mendahulukan
para

pelanggan

yang

memberikan

kepadanya

uang

lebih,

dan

membiarkan pelanggan yang memberikan kepadanya uang sedikit atau


yang tidak memberikannya sama sekali.
Kedua : Seorang pengurus masjid yang ditugaskan untuk membeli
kambing kurban dalam jumlah yang banyak pada hari Raya Idul Adha, dia
tidak boleh mengambil uang discount dari pembelian tersebut, kecuali
harus melaporkan kepada pengurus secara transparan.
Ketiga : Seorang petugas Lembaga Zakat ketika mengambil zakat dari
masyarakat atau anggota, tidak boleh mengambil uang tambahan dari
pembayar zakat, karena dia sudah dapat gaji dari lembaga tersebut,
kecuali dia melaporkankan kepada lembaga tersebut bahwa dia diberi
uang tambahan, apakah tambahan itu akan diambil lembaga untuk
kepentingan umat atau diberikan kepada petugas tersebut sebagai
tambahan gaji, maka yang menentukan adalah aturan dalam lembaga
tersebut.
Keempat : Seorang hakim tidak boleh menerima hadiah dari orang yang
masalahnya sedang dia tangani, karena hal itu akan mempengaruhi di
dalam keputusan hukum.
20 Al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Beirut, al-Maktab al-Islamy,t.th, Juz 3 hlm.313.

16

Kelima : Seorang petugas pajak, tidak boleh menerima hadiah dari para
pembayar pajak, karena hal itu akan menyebabkannya tidak disiplin di
dalam

menjalankan

tugasnya,

dan

tidak

terlalu

ketat

di

dalam

menghitung kewajiban pembayar, karena sudah mendapatkan hadiah


darinya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallahu alai wassalam mengirim
Muadz bin Jabal ke Yaman, kemudian pada pemerintahaan Abu Bakar ,
beliau mengirim Umar pada musim haji ke Mekkah. Ketika sedang di
Arafah Umar bertemu dengan Muadz bin Jabal yang datang dari Yaman
membawa budak-budak.
Umar bertanya kepadanya : Itu budak-budak milik siapa ? Muadz
menjawab : Sebagian milik Abu Bakar dan sebagian lagi milikku . Umar
berkata : Sebaiknya kamu serahkan semua budak itu kepada Abu Bakar,
setelah itu jika beliau memberikan kepadamu, maka itu hakmu, tetapi jika
beliau mengambilnya semuanya, maka itu adalah hak beliau ( sebagai
pemimpin ). Muadz berkata : Kenapa saya hartus menyerahkan
semuanya kepada Abu Bakar, saya tidak akan memberikan hadiah yang
diberikan kepadaku .
Kemudian Muadz pergi ke tempat tinggalnya. Pada pagi hari Muadz
ketemu lagi dengan Umar dan mengatakan : Wahai Umar tadi malam aku
bermimpi

mau

masuk

neraka,

tiba-tiba

kamu

datang

untuk

menyelematkan diriku, makanya sekarang saya taat kepadamu.


Kemudian Muadz pergi ke Abu Bakar dan berkata : Sebagian budak
adalah milikmu dan sebagian lain adalah hadiah untukku, tapi saya
serahkan kepadamu semuanya. Kemudian Abu Bakar mengatakan :
Adapun budak-budak yang dihadiahkan kepadamu, saya kembalikan
kepadamu.21

21 Atsar ini disebutkan oleh Ibnu Abd al-Barr dalam kitab at-Tamhid, Juz 2, hlm.7
( dinukil dari http://www.ahmadzain.com/read/karya-tulis/273/hadiah-pegawai)

17

Atsar di atas menunjukan bahwa jika seorang pegawai di dalam


menjalankan

tugasnya

mendapatkan

hadiah,

hendaknya

dilaporkan

secara transparan kepada lembaga yang mengirimnya. Kemudian apakah


lembaga tersebut akan mengijinkannya untuk mengambil hadiah itu atau
memintanya untuk kepentingan lembaga, maka ini diserahkan kepada
aturan dalam lembaga tersebut.
c. Dampak Negatif Dari Hadiah/Gratifikasi
Hadiah ( gratifikasi ) ini akan merusak tatanan negara secara
keseluruhan dan akan mengganggu kerja pegawai, serta mencabut rasa
amanah dari diri mereka. Dampak negatif tersebut bisa dirinci sebagai
berikut :
1. Sang pegawai akan lebih cenderung dan lebih senang untuk
melayani orang yang memberikan kepadanya hadiah. Sebaliknya
dia malas untuk melayani orang-orang yang tidak memberikan
kepadanya hadiah, padahal semua konsumen mempunyai hak yang
sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara
adil dan proposional, karena pegawai tersebut sudah mendapatkan
gaji secara rutin dari perusahaan yang mengirimnya.
2. Sang pegawai ketika mendapatkan hadiah dari salah seorang
konsumen, mengakibatkan dia bekerja tidak profesional lagi. Dia
merasa tidak mewakili perusahaan yang mengirimnya, tetapi
merasa bahwa dia bekerja untuk dirinya sendiri. Hal seperti ini akan
menyebabkan perusahaan rugi. Apalagi banyak konsumen yang
complain akibat ulahnya yang malas-malas dalam bekerja ketika
konsumen tidak memberikan kepadanya hadiah.
3. Sang pegawai ketika bekerja selalu dalam keadaan mengharapharap hadiah dari konsumen. Hal ini merupakan kebiasaan buruk
yang harus dihilangkan, karena Islam mengajarkan umatnya untuk
selalu menjaga harga diri dan menjauhi dari mengharap apa yang
ada di tangan orang lain.

18

4. Islam juga mengharamkan umatnya untuk meminta-minta kecuali


dalam keadaan darurat. Pegawai yang meminta hadiah dari
konsumen yang sebenarnya bukan haknya termasuk dalam katogori
meminta-minta yang dilarang dalam Islam.
Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan hadiah atau uang
tambahan kepada pegawai bawahan yang miskin dan keadaannya sangat
memprihatinkan, jika hal itu tidak mempengaruhi kerjanya dan tidak
berdampak

kepada

instansi

atau

lembaga

yang

mengutusnya,

umpamanya dengan memberikan kepadanya sesuatu setelah selesai


bekerja dan dia tidak lagi membutuhkan pegawai tersebut.
Menurut hemat penulis, sebaiknya dipisahkan antara pemberian
hadiah karena pekerjaan dengan pemberian hadiah karena faktor lain,
seperti ingin membantunya karena dia miskin atau karena dia sedang
sakit dan membutuhkan uang. Walaupun demikian, sebaiknya jika
seseorang ingin membantunya hendaknya memberikannya di waktu lain
dan pada kesempatan yang berbeda, supaya menjadia lebih jelas bahwa
dia memberikan hadiah itu semata-mata faktor kemanusiaan, bukan
karena pekerjaannya. Itupun sebaiknya dihindari sebisa mungkin dan
janganlah menjadi sebuah kebiasaan, demi menjaga diri kita dari sesuatu
yang diharamkan dalam Islam. Wallahu Alam.

3. KESIMPULAN
Dari uraian tentang pengertian dan hukum risywah diatas, bisa
dimpulkan bahwa risywah atau suap adalah suatu pemberian yang
diberikan sesorang kepada hakim,petugas atau pejabat tertentu dengan
tujuan yang diinginkan oleh kedua belah pihak,baik pemberi maupun
penerima suap. Dalam kasus penyuapan, biasanya melibatkan tiga unsur

19

utama,yaitu pemberi suap (al-rasyi), penerima suap (al-murtasyi) dan


barang atau nilai yang diserahterimakan dalam kasus suap. Namun
demikian tidak menutup kemungkinan dalam suatu kasus suap juga
melibatkan pihak keempat sebagai broker (mediator) antara pemberi dan
penerima suap. Broker itu disebut juga al-raisy.
Hukum perbuatan suap disepakati oleh para ulama adalah haram,
yaitu risywah yang terdapat unsur membenarkan yang salah dan atau
menyalahkan yang benar. Akan tetapi sebagian ulama menganggap halal
sebuah bentuk suap yang dilakukan dalam rangka menuntut atau
memperjuangkan hak yang mesti diterima oleh pihak pemberi suap atau
dalam rangka menolak kezalian,kemadaratan dan ketidak adilan yang
dirasakan oleh pemberi suap.
Disamping risywah, hukum memberi hadiah kepada hakim juga
diharamkan sesuai syarat yang disebutkan diatas. Risywah dan hadiah
merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai tindakan korupsi,dimana
diantara

kriterianya

adalah,penyalahgunaan

wewenang

dan

penyelewengan dana. Secara global korupsi dapat diformulasikan sebagai


tindakan berupa penyelewengan hak, kedudukan, wewenang atau jabatan
yang dilakukan untuk mengutamakan kepentingan dan keuntungan
pribadi, menyalahgunakan (mengkhianati) amanah rakyat dan bangsa,
memperturutkan hawa nafsu serakah dalam rangka memperkaya diri dan
mengabaikan kepentingan umum.22
Dalam Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia yang
berlangsung pada tanggal 23-27 Rabiul Akhir 1421 H/ 25-29 Juli 2000 M
dan membahas tentang Suap (Risywah) Korupsi (Ghulul) dan Hadiah
kepada Pejabat,diputuskan :
Pertama : Pengertian
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. Risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada
orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan
22 Huzaemah T Yanggo, Masail Fiqhiyah, Bandung, Angkasa, 2005, hlm.48

20

yang batil (tidak benar menurut syariah) atau membatilkan


perbuatan yang hak.( ( . Pemberi
disebut rasyi; penerima disebut murtasyi; dan penghubung antara
rasyi dan murtasyi disebut raisy (Ibn al-Atsir, al-Nihayah fi Gharib
al-Hadits wa al-Atsar, II, h. 226).
2. Suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya dapat
dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan
sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.
3. Hadiah kepada pejabat adalah suatu pemberian dari seseorang
dan/atau masyarakat yang diberikan kepada pejabat, karena
kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintahan maupun
lainnya.
4. Korupsi adalah tindakan pengambilan sesua-tu yang ada di bawah
kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syariat
Islam.
Kedua : Hukum
1. Memberikan risywah dan menerimanya hu-kumnya adalah haram.
2. Melakukan korupsi hukumnya adalah haram.
3. Memberikan hadiah kepada pejabat:
a. Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat
tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu
hukumnya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya;
b. Jika pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum
pejabat tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini ada
tiga kemungkinan:
1) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak
akan ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima
hadiah tersebut tidak haram;
2) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan
(perkara),

maka

bagi

pejabat

haram

menerima

hadiah

tersebut; sedangkan bagi pemberi, haram memberikannya


apabila perberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan
sesuatu yang batil (bukan haknya);
3) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan,
baik

sebelum

maupun

sesudah

pemberian

hadiah

dan

21

pemberiannya itu tidak bertujuan untuk sesuatu yang batil,


maka halal (tidak haram) bagi pemberi memberikan hadiah
itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qurthuby, Al-Jami Li Ahkam al-Quran, (Kairo, Dar al-Hadis,
2002)
2. Al-Baghawi, Syarh Sunnah (Beirut, al-Maktab al-Islamy,t.th)
3. Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim (Mesir, Dar at-Tauzy,
1998)
4. Imam Abu Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidi, Asbab Nuzul alQuran (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991)
5. Mujamma al-Lughah al-Arabuyah, al-Mujam al-Wasith (Kairo,
Maktabah as-Syuruq ad-Dauliyah,2004)
6. Al-Jurjani, at-Tarifat (Riyadh, Dar al-Fadilah, 1992)
7. As-Shanany, Subul as-Salam (Mesir,Maktabah al-Iman, t,th)
8. Yusuf al-Qaradhawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam ( Kairo,
Maktabah Wahbah, 2004)
9. Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta, Departemen
Pendidikan Nasional, 2008).
Prof. Dr. Hj. Huzaemah T Yanggo, MA, Masail Fiqhiyah;

10.

Kajian

Hukum

Islam

Kontemporer

Bandung,

Penerbit

Angkasa, 2005)
11.
Dr. H . Nurul Irfan, M.Ag, Korupsi Dalam Hukum Pidana
Islam, (Jakarta, Amzah,2011)

22

Anda mungkin juga menyukai