Kajian FARMASi
Kajian FARMASi
I.
PENDAHULUAN
Farmasi didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan
obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada
pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi,
pemilahan (selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan pembakuan
bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine). Pengetahuan kefarmasian mencakup pula
penyaluran dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik melalui resep (prsecription) dokter
berizin, dokter gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara
menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai [4].
Kata farmasi diturunkan dari bahasa Yunani pharmakon, yang berarti cantik atau elok,
yang kemudian berubah artinya menjadi racun, dan selanjutnya berubah lagi menjadi obat atau
bahan obat. Oleh karena itu seorang ahli farmasi (Pharmacist) ialah orang yang paling
mengetahui hal ihwal obat. Ia satu-satunya ahli mengenai obat, karena pengetahuan keahlian
mengenai obat memerlukan pengetahuan yang mendalam mengenai semua aspek kefarmasian
seperti yang tercantum pada definisi di atas.
Bagian I tulisan ini membicarakan ruang lingkup farmasi, termasuk perkembangan
orientasi farmasi; sejarah farmasi, farmasi sebagai ilmu dan profesi, karir dan pekerjaan Farmasis,
dan pendidikan farmasi. Perkembangan farmasi suatu negara tercermin dalam kurikulum
pendidikan tingginya, karena kurikulum pendidikan merupakan gambaran kebutuhan masyarakat
akan jenis kemampuan dan keterampilan dalam bidang keahlian tertentu. Oleh karena itu sebagai
perbandingan dibicarakan pula pendidikan Farmasis pada beberapa perguruan tinggi diluar
negeri.
II.
Mengikuti perkembangan zaman, telah terjadi pula perubahan penekanan pada pengertian dan
orientasi farmasi. Pada awalnya profesi farmasi itu dikatakan merupakan seni (arts) dan
pengetahuan (science). Hal ini dapat dilihat pada buku teks yang digunakan di perguruan tinggi
farmasi pada awal pertengahan abad ke-20, yang antara lain berjudul Scovilles The Art of
Compounding (Seni Meracik Obat), dan Recepteerkunde (Ilmu Resep) karangan van Duin,
dan van der Wielen. Definisi obat menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1960 tentang Farmasi :
Bagian 1 RUANG LINGKUP FARMASI
.. obat yang dibuat dari bahan yang berasal dari binatang, tumbuh-tumbuhan, mineral, dan obat
sintetis.
Definisi ini lebih menekankan sumber atau asal diperolehnya obat.
Perkembangan farmasi
setelah itu berorientasi pada teknologi seperti tergambar oleh buku teks yang populer pada saat
itu, dan masih digunakan sampai sekarang : Pharmaceutical Technology oleh Lachman. Dalam
Kebijaksanaan Obat Nasional (KONAS, 1980) : obat ialah bahan atau paduan bahan yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
Farmasi pada dasarnya merupakan sistem pengetahaun (ilmu, teknologi dan sosial
budaya) yang mengupayakan dan menyelenggarakan jasa kesehatan dengan melibatkan
dirinya dalam mendalami, memperluas, menghasilkan dan mengembangkan pengetahuan
tentang obat dalam arti dan dampak obat yang seluas-luasnya serta efek dan pengaruh
obat pada manusia dan hewan.
Untuk menumbuhkan kompetensi dalam sistem pengetahuan seperti diuraikan di
atas, farmasi menyaring dan menyerap pengetahuan yang relevan dari ilmu biologi, kimia,
fisika, matematika, perilaku dan teknologi; pengetahuan ini dikaji, diuji, diorganisir,
ditransformasi dan diterapkan.
Sebagian besar kompetensi farmasi ini diterjemahkan menjadi produk yang dikelola
dan didistribusikan secara profesional bagi yang membutuhkannya.
Pengetahuan farmasi disampaikan secara selektif kepada tenaga profesional dalam
bidang kesehatan dan kepada orang awam dan masyarakat umum agar pengetahuan
mengenai obat dan produk obat dapat memberikan sumbangan nyata bagi kesehatan
perorangan dan kesejahteraan umum masyarakat.
Tidak dapat disangkal bahwa sistem pengetahuan farmasi, karena penerapannya untuk
tujuan kesehatan, merupakan bagian yang berarti secara kuantitatif maupun secara kualitatif
dalam setiap upaya kesehatan.
III.
[4]
Sejak dahulu nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal penggunaan obat tradisional
(jamu) dan pengobatan secara tradisional (dukun). Pada zaman itu sebenarnya dukun
melaksanakan dua profesi sekaligus, yaitu profesi kedokteran, (mendiagnose penyakit) dan
profesi kefarmasian (meramu dan menyerahkan obat kepada yang membutuhkannya).
Penggunaan obat dapat ditelusuri sejak tahun 2000 S.M. pada zaman kebudayaan Mesir dan
Babilonia telah dikenal obat dalam bentuk tablet tanah liat (granul), dan bentuk sediaan obat lain.
Saat itu juga sudah dikenal ratusan jenis bahan alam yang digunakan sebagai obat.Pengetahuan
tentang obat dan pengobatan selanjutnya berkembang lebih rasional pada zaman Yunani, ketika
Hippocrates (460 S.M.) memperkenalkan metode dasar ilmiah dalam pengobatan. Dalam zaman
Yunani itu dikenal pula Asklepios atau Aesculapius (7 S.M.) dan puterinya Hygeia. Lambang
Bagian 1 RUANG LINGKUP FARMASI
tongkat Asklepios yang dililiti ular saat ini dijadikan lambang penyembuhan (kedokteran),
sedangkan cawan atau mangkok Hygeia yang dililiti ular dijadikan lambang kefarmasian.
Perkembangan profesi kefarmasian pada abad selanjutnya dilakukan dalam biara, yang
telah menghasilkan berbagai tulisan tentang obat dan pengobatan dalam bahasa latin yang hampir
punah itu, sampai saat ini dijadikan tradisi dalam penulisan istilah di bidang kesehatan.
Perkembangan kefarmasian yang pesat pula telah terjadi dalam zaman kultur Arab dengan
terkenalnya seorang ahli yang bernama al-Saidalani pada abad ke-9.
Namun demikian tonggak sejarah yang penting bagi farmasi ialah tahun 1240 di Sisilia,
Eropa, ketika dikeluarkan surat perintah raja (edict) yang secara legal (menurut undang-undang)
mengatur pemisahan farmasi dari pengobatan. Surat perintah yang kemudian dinamakan Magna
Charta dalam bidang farmasi itu juga mewajibkan seorang Farmasis melalui pengucapan
sumpah, untuk menghasilkan obat yang dapat diandalkan sesuai keterampilan dan seni meracik,
dalam kualitas yang sesuai dan seragam. Magna Charta kefarmasian ini dikembangkan sampai
saat ini dalam bentuk Kode Etik Apoteker Indonesia dan Sumpah Apoteker. [4]
IV. PENGETAHUAN, ILMU DAN PROFESI
Semua ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu.
Manusia mempunyai perasaan, pikiran, pengalaman, panca indera, intuisi, dan mampu
menangkap gejala alam lalu mengabstraksikannya dalam bentuk ketahuan atau pengetahuan;
misalnya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Apa yang diperoleh dalam proses
mengetahui itu dilakukan tanpa memperhatikan obyek, cara (ways of knowing) dan
kegunaannya, maka ini dikategorikan dalam ketahuan atau pengetahuan, dalam bahasa
Inggris disebut knowledge. Ilmu atau Science ialah pengetahuan yang diperoleh melalui
metode ilmiah, yaitu suatu cara yang menggunakan syarat-syarat tertentu, melalui
serangkaian langkah yang dilakukan dengan penuh disiplin. [8]
IV.1 Farmasi Sebagai Sains
Semua bentuk pengetahuan dapat dibeda-bedakan atau dikelompokkan dalam berbagai
kategori atau bidang, sehingga terjadi diversifikasi bidang ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu,
yang berakar dari kajian filsafat, yaitu Seni (Arts), Etika (Ethics), dan Sains (Science). Di satu
pihak Farmasi tergolong seni teknis (technical arts) apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam
4
penggunaan obat (medicine); di lain pihak Farmasi dapat pula digolongkan dalam ilmu-ilmu
pengetahuan alam (natural science).
Dalam tinjauan pengelompokan bidang ilmu atau kategori di
atas
digunakan
kriteria :
1. Obyek ontologis. Di sini ditinjau obyek apa yang ditelaah sehingga menghasilkan
pengetahuan tersebut. Sebagai contoh, obyek ontologis dalam bidang Ekonomi ialah
hubungan manusia dan benda atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup; obyek
telaah pada Manajemen ialah kerja sama manusia dalam mencapai tujuan yang telah disetujui
bersama; obyek ontologis pada Farmasi ialah obat dari segi kimia dan fisis, segi terapetik,
pengadaan, pengolahan sampai pada penyerahannya kepada yang memerlukan.
2. Landasan epistemologis, yaitu cara atau metode apa yang digunakan untuk memperoleh
pengetahuan tersebut. Contoh landasan Epistemologis Matematika ialah logika deduktif;
landasan epistemologis kebiasaan sehari-hari ialah pengalaman dan akal sehat; landasan
epitemologis Farmasi ialah logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan hipotesis,
yang dinamakan pula metode logiko-hipotetiko-verifikatif.
3. Landasan aksiologis, yaitu mempertanyakan apa nilai kegunaan pengetahuan tersebut. Nilai
kegunaan pencak silat, matematika dan farmasi sudah jelas berbeda. Dalam hal ini nilai
kegunaan atau landasan aksiologis Farmasi dan Kedokteran itu sama karena kedua-duanya
bertujuan untuk kesehatan manusia. [8]
Sebagai ilmu, Farmasi menelaah obat sebagai materi, baik yang berasal dari alam maupun
sintesis (sama dengan bidang Kimia dan Fisika) dan menggunakan metode logiko-hipotetikoverifikatif sebagai metode telaah yang sama seperti digunakan pada bidang Ilmu Pengetahuan
Alam. Oleh karena itu, Farmasi merupakan ilmu yang dapat dikelompokkan dalam bidang Sains.
IV.2
meliputi pula pelayanan obat secara profesional. Istilah Profesi dan Profesional saat ini semakin
dikaburkan karena banyak digunakan secara salah kaprah. Semua pekerjaan (job, vacation,
occupation) dan keahlian (skill) dikategorikan sebagai profesi. Demikian pula istilah profesional
sering digunakan sebagai lawan kata amatir.
Menurut Hughes, E.C. [4] :
Bagian 1 RUANG LINGKUP FARMASI
..Profesion profess to know better than other the nature of certain matters, and to know better than their
clients what ails them or their affairs.
Definisi ini menggambarkan suatu hubungan pelayanan antar-manusia, sehingga tidak semua
pekerjaan atau keahlian dapat dikategorikan sebagai profesi.
Menurut Schein, F.H. [4] :The profession are a set of occupation that have developed a very special
set or norms deriving from their special role in society .
Kelompok profesional dapat dibedakan dari yang bukan profesional menurut kriteria berikut :
1. Memiliki Pengetahuan Khusus, yang berhubungan dengan kepentingan sosial. Pengetahuan
khusus ini dipelajari dalam waktu yang cukup lama untuk kepentingan masyarakat umum.
2. Sikap dan Prilaku Profesional. Seorang profesional memiliki seperangkat sikap yang
mempengaruhi prilakunya. Komponen dasar sikap ini ialah mendahulukan kepentingan orang
lain (altruisme) di atas kepentingan diri sendiri. Menurut Marshall, seorang profesional bukan
bekerja untuk dibayar, tetapi ia dibayar agar supaya ia dapat bekerja.
3. Sanksi Sosial. Pengakuan atas suatu profesi tergantung pada masyarakat untuk menerimanya.
Bentuk penerimaan masyarakat ini ialah dengan pemberian hak atau lisensi (lincense) oleh
negara untuk melaksanakan praktek suatu profesi. Lisensi ini dimaksudkan untuk menghindarkan
masyarakat dari oknum yang tidak berkompetensi untuk melakukan praktek profesional.
Apabila kriteria di atas diperinci lebih lanjut maka diperoleh sikap dan sifat sebagai
berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
6
terdaftar sebagai supervisor disebabkan oleh sifat khas produk yang ditanganinya itu sehubungan
dengan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia hanya dipersyaratkan tenaga menengah
farmasi (Asisten Apoteker = AA) sebagai penanggungjawab, mengingat belum cukup tersedianya
tenaga ahli berpendidikan tinggi.
PBF sangat berperanan sebagai sumber penyalur obat dari berbagai industri farmasi yang
secara cepat dapat melayani kebutuhan Farmasis Komunitas (Apoteker) untuk secara cepat pula
melayani kebutuhan penderita akan obat. PBF juga mengurangi beban finansial Apoteker dalam
hal menyimpan stok obat dalam jumlah besar dan menjembatani kerumitan negosiasi dengan
ratusan industri farmasi sebagai produsen obat.
Industri Farmasi
Farmasis di industri farmasi terlibat pula dalam fungsi pemasaran produk, riset dan
pengembangan produk, pengendalian kualitas, produksi dan administrasi atau manajemen. Fungsi
perwakilan pelayanan medis (medical service representative) atau detailman yang bertugas dan
langsung berhubungan dengan Dokter dan Apoteker untuk memperkenalkan produk yang
dihasilkan industri farmasi mungkin juga dijabat seorang Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun
paling ideal apabila fungsi itu dipegang seorang Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun paling
ideal apabila fungsi itu dipegang seorang Farmasis karena latar belakang pengetahuannya. Saat
ini memang tidak banyak Farmasis yang mengisi jabatan ini karena jumlahnya belum mencukupi,
dan lebih dibutuhkan di tempat pengabdian profesi yang lain. Peningkatan karir jabatan ini dapat
mencapai tingkat supervisor dalam pemasaran produk, dan direktur pemasaran produk dalam
organisasi industri farmasi.
Pada unit produksi dan pengendalian kualitas (quality control) industri dipersyaratkan
seorang Apoteker. Untuk bidang riset dan pengembangan (R & D = Research and Development)
biasanya diperlukan lulusan pendidikan pascasarjana, meskipun bukan merupakan persyaratan.
Instansi Pemerintah
Departemen Kesehatan adalah instansi pemerintah yang paling banyak menyerap tenaga
Farmasis, terutama Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Minuman (DitJen POM) dan
jajaran Pusat Pemeriksaan Obat (PPOM) dan Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan (Balai POM)
di daerah. Demikian pula Bidang Pengendalian Farmasi dan Makanan pada setiap Kantor
Wilayah Dep.Kes dan jajaran Dinas Kesehatan sampai ke Daerah Tingkat II dan Gudang
8
Farmasi. Fungsi utama Farmasis pada instansi pemerintah ialah administrastif, pemeriksaan,
bimbingan dan pengendalian. Sejak tahun 2000, telah terjadi perubahan struktur, Direktorat
Jendral POM tidak lagi bernaung di bawah Departemen Kesehatan, tetapi menjadi Badan POM
yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Demikian pula struktur Balai (besar,kecil)
POM di daerah tingkat I, yang langsung berada di bawah Badan POM, tidak berada di dalam
Dinas Kesehatan Propinsi. Departemen HANKAM, juga memerlukan Farmasis yang terutama
berfungsi pada bagian logistik dan penyaluran obat dan alat kesehatan. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan merekrut Farmasis untuk jabatan dosen di perguruan tinggi. Sesuai Tri Dharma
Perguruan Tinggi, maka fungsi seorang Farmasis ialah dalam bidang pendidikan dan pengajaran,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Persyaratan untuk diterima menjadi dosen akan
ditingkatkan menjadi lulusan Pascasarjana, atau mempunyai Sertifikat Mengajar Program
PEKERTI/AA (Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional/Applied Approach),
yaitu program penataran dosen dalam aktivitas instruksional atau proses belajar mengajar.
Sebagai tenaga kesehatan, seorang Farmasis atau Apoteker diwajibkan untuk mengabdi
pada negara selama 3 tahun setelah lulus ujian Apoteker sebelum dapat berpraktek swasta
perorangan. Wajib kerja sarjana ini dikenal sebagai Masa Bakti Apoteker (MBA) yang dapat
dilaksanakan pada instansi pemerintah seperti tersebut di atas atau penugasan khusus dari Kepala
Kantor Wilayah Departemen Kesehatan sebagai wakil Menteri Kesehatan di daerah. Dengan
dihapuskannya Kantor Wilayah, tugas ini diambil alih Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
Wartawan Farmasi (Pharmaceutical Journalism)
Profesi ini mulai berkembang di luar negeri bagi Farmasis yang memperoleh latihan khusus
dalam kewartawanan dan mempunyai bakat menulis dan mengedit. Pekerjaan ini diperlukan oleh
instansi pemerintah atau industri farmasi untuk publikasi, mengedit atau menulis tulisan yang
berlatar belakang kefarmasian.
Manajemen Perusahaan
Khususnya instansi swasta banyak memerlukan tenaga ahli berlatar belakang kefarmasian
dengan berkembangnya organisasi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Untuk ini diperlukan
pendidikan tambahan, misalnya Magister Manajemen (MBA = Master of Business
Administration).
VI.
PENDIDIKAN KEFARMASIAN
Pendidikan Farmasi, khususnya pendidikan tinggi sering berubah dengan perubahan
tuntutan zaman. Pendidikan tinggi secara umum dituntut untuk menghasilkan lulusan yang lebih
berkualitas dan lebih relevan terhadap kebutuhan masyarakat. Khususnya bidang Farmasi di era
reformasi ini semakin banyak didirikan perguruan tinggi swasta yang menyelenggarakan
pendidikan Farmasi. Demikian pula terjadi pada pendidikan program profesional di bidang
kesehatan, yang semakin dituntut mutu lulusan yang tinggi, sehingga Sekolah Perawat, Sekolah
Menengah Farmasi, dan lain-lain ditingkatkan menjadi setingkat Akademi (Program D-3 atau D4), yang dikelola oleh Dinas Kesehatan Propinsi, dan dikelompokkan dalam Politeknik Kesehatan
(POLTEKKES).
VI.1
Perang Dunia II, Zaman Pendudukan Jepang dan pasca Proklamasi Kemerdekaan R.I. Sebelum
Perang Dunia II, selama penjajahan Belanda hanya terdapat beberapa Apoteker yang berasal dari
Denmark, Austria, Jerman dan Belanda. Tenaga kefarmasian yang dididik di Indonesia hanya
setingkat Asisten Apoteker (AA), yang mulai dihasilkan tahun 1906. Pelaksanaan pendidikan
A.A. ini dilakukan secara magang ada Apotik yang ada Apotekernya dan setelah periode tertentu
seorang calon menjalani ujian negara. Pada tahun 1918 dibuka sekolah Asisten Apoteker yang
pertama dengan penerimaan murid lulusan MULO Bagian B (Setingkat SMP). Pada tahun 1937
jumlah Apotik di seluruh Indonesia hanya 37. Pada awal Perang Dunia ke-2 (1941) banyak
Apoteker warga negara asing meninggalkan Indonesia sehingga terdapat kekosongan Apotik.
Untuk mengisi kekosongan itu diberi izin kepada dokter untuk mengisi jabatan di Apotik, juga
diberi izin kepada dokter untuk membuka Apotik-Dokter (Dokters-Apotheek) di daerah yang
belum ada Apotiknya.
Pada zaman pendudukan Jepang mulai dirintis pendidikan tinggi Farmasi dengan nama
Yukagaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku diubah menjadi
Yaku Daigaku. Pada tahun 1946 dibuka Perguruan Tinggi Ahli Obat di Klaten yang kemudian
pindah dan berubah menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Tahun
1947 diresmikan Jurusan Farmasi di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Alam (FIPIA),
10
Bandung sebagai bagian dari Universitas Indonesia, Jakarta, yang kemudian berubah menjadi
Jurusan Farmasi, Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Mei 1959.
Lulusan Apoteker pertama di UGM sebanyak 2 orang dihasilkan pada tahun 1953. Saat ini
di Indonesia terdapat 8 perguruan tinggi farmasi negeri dan belasan perguruan tinggi swasta [6].
VI.2
pendidikan menengah farmasi (Sekolah Asisten Apoteker), khususnya pada saat langkanya tenaga
kefarmasian berpendidikan tinggi. Pada saat peralihan sampai dikeluarkannya PP 25 tahun 1980,
masih dimungkinkan adanya Apotik Darurat yaitu Apotik yang dikelola oleh Asisten Apoteker
yang sudah berpengalaman kerja. Tenaga menengah farmasi ini masih sangat diperlukan dan
perperanan, khususnya pada Farmasi Komunitas, baik di Apotik maupun di Rumah Sakit. Dengan
bertambahnya tenaga farmasi berpendidikan tinggi, peranan ini akan semakin kecil, sehingga
perlu dipikirkan untuk meningkatkan pendidikan AA ini setingkat akademi (lulusan SMA). Mulai
tahun 2000, pendidikan menengah ini mulai phasing out, ditingkatkan menjadi Akademi
Farmasi.
VI.3 Program Diploma Farmasi
Sejak 1991 telah dirintis pembukaan pendidikan tenaga farmasi ahli madya dalam bentuk
Program Diploma (D-III) oleh Departemen Kesehatan, yaitu Program Studi Analis Farmasi.
Kebutuhan ini merupakan konsekuensi perkembangan di bidang kesehatan yang semakin
memerluka tenaga ahli, baik dalam jumlah maupun kualitas, dan semakin memerlukan
diversifikasi tenaga keahlian. Tujuan utama program studi ini ialah menghasilkan tenaga ahli
madya farmasi yang berkompetensi untuk pelaksanaan pekerjaan di bidang pengendalian kualitas
(quality control). Adapun peranan yang diharapkan dari lulusan program Studi Analis Farmasi
ialah: Melaksanakan analisis farmasi dalam laboratorium: obat, obat tradisional, kosmetika,
makanan-minuman, bahan berbahaya dan alat kesehatan; di industri farmasi, instalasi farmasi
rumah sakit, instansi pengawasan mutu obat dan makanan-minuman atau laboratorium
sejenisnya, di sektor pemerintah maupun swasta, dengan fungsi :
Pelaksanaan analisis, pengujian mutu, pengembangan metode analisis dan peserta aktif dalam
pendidikan dan penelitian di bidang analisis farmasi.
11
Program ini diharapkan dapat dikelola oleh perguruan tinggi negeri yang mempunyai
fakultas atau Jurusan Farmasi dengan status Program Diploma (D-III). Kemungkinan besar
Sekolah Menengah Farmasi di masa yang akan datang dapat ditingkatkan menjadi Program
Diploma seperti yang diuraikan di atas. [3] Ramalan kami lebih dari 10 tahun yang lalu,
sekarang ini sudah menjadi kenyataan melalui ketentuan yang mengharuskan pendidikan
menengah ditingkatkan menjadi Akademi.
VI.4
farmasi yang pertama di Klaten dan Bandung, sampai saat ini terdapat 8 pendidikan tinggi
Farmasi negeri dan belasan perguruan tinggi swasta. Menurut catatan tahun 1983 jumlah lulusan
Farmasis (Apoteker) di Indonesia 3552 orang, yang merupakan peningkatan sebesar 350% dari
jumlah Apoteker di tahun 1966. Proyeksi jumlah Apoteker pada tahun 2000 adalah 6666 orang
berdasarkan rasio 1 Apoteker untuk 30.000 jiwa, hanya untuk bidang pelayanan saja. (Rasio yang
ideal untuk perbandingan kebutuhan minimum yang lazim diproyeksikan untuk profesi ini di
bidang kesehatan ialah 1 : 15.000).
Tantangan pembangunan di bidang kesehatan, khususnya dalam bidang yang merupakan
tantangan bagi Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia ialah menghasilkan produk pendidikan
tinggi yang memenui Standar Profesi Apoteker (Standard Operating Procedure = SOP) sebagai
berikut : [5]
-
12
turut mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat meringankan
penderitaan akibat penyakit.
memberikan sumbangan untuk mengungkapkan mekanisme terinci dari fungsi normal dan
fungsi abnormal organisme.
mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat memodifikasi penyakit;
memulihkan kesehatan; mencegah penyakit.
Mengupayakan obat yang dapat membantu kebehrasilan intervensi dengan cara lain (bukan
obat) dalam upaya kesehatan.
menciptakan metode untuk mendeteksi sedini mungkin kelainan fungsional pada manusia.
menggali dan mengembangkan sumber alam Indonesia yang dapat diperbaharui atau pun
tidak dapat diperbaharui untuk tujuan kefarmasian.
menciptakan cara baru untuk penyampaian obat ke sasaran yang harus dipengaruhinya dalam
organisme.
mengembangkan metode untuk menguji, menciptakan norma dan kriteria untuk
meningkatkan secara menyeluruh daya guna dan keamanan obat dan komoditi farmasi,
Bagian 1 RUANG LINGKUP FARMASI
maupun keamanan lingkungan dan bahan lain yang digunakan manusia untuk kepentingan
kehidupannya.
membangun sistem farmasi Indonesia dan sistem pengejawantahan profesi farmasi yang
efisien dan efektif selaras dengan konstelasi budaya, geografi dan lingkungan Indonesia.
13
VI.7
Kurikulum Inti
Kurikulum Inti Bidang Farmasi merupakan hasil rumusan Konsorsium Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, DepDikBud pada tahun 1980 yang diberlakukan tahun 1983 dengan SK
DirJenDikTi. Kurikulum Inti (1983) dapat dilihat pada Tabel berikut menurut pengelompokan
mata kuliah dan sebaran SKS :
Kelompok
Mata kuliah Dasar Umum
(MKDU)
Mata Kuliah Dasar
Keahlian (MKDK)
Mata Kuliah Keahlian
Utama (MKKU)
(Kimia Farmasi
Farmasetik
Farmakognosi
Farmakologi
Tugas Akhir
Mata kuliah Pilihan(MKP)
Kurikulum Inti
(SKS)
6
(SKS)
8 - 10
54
11 - 18
65 - 72
54
11 - 18
65 - 72
Jumlah SKS
14 - 16
12
12
12
12
6
(termasuk mata kuliah di luar Kurikulum Inti)
114
114 - 160
Catatan :
1. Antara MKDK dan MKDU dibuat berimbang dengan maksud agar supaya mahasiswa lebih
fleksibel untuk mengembangkan diri baik terjun ke masyarakat, maupun melanjutkan ke
program Pascasarjana.
2. Masing-masing MKKU mendapat jumlah SKS yang sama dengan maksud memberi
kesempatan yang seimbang kepada masing-masing bidang untuk berkembang sesuai dengan
situasi dan kondisi masing-masing universitas/institut.
3. MKP dapat diisi dengan mata kuliah dalam bidang studi atau di luar bidang studi untuk
memperluas wawasan, juga dimaksudkan untuk diisi dengan mata kuliah yang sesuai dengan
Pola Ilmiah Pokok masing-masing universitas/institut.
VI.8 Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi Tahun 2000
Melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (MenDikNas) No.232/2000, tentang
Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Evaluasi hasil Belajar, dan
14
No.045/2002, tentang Kurikulum Pendidikan, telah terjadi perubahan mendasar pada penyusunan
kurikulum, yang saat ini ditekankan pada kompetensi lulusan (Competency-Based Curriculum).
Dengan demikian maka perlu diadakan tinjauan kembali mengenai kompetensi yang akan
dirumuskan dalam Tujuan Program Studi Farmasi sesuai dengan elemen kompetensi seperti
diberikan pengelompokannya. Kalau pada kurikulum mata kuliah dikelompokkan menurut
MKDU, MKDK, MKK dan MKP, maka dalam kurikulum 2002 diadakan pengelompokan
menurut :
Kelompok
Kelompok
Kelompok
Kelompok
Kelompok
15
Mata kuliah dan SKS masih perlu dilengkapi dengan muatan lokal sampai menjadi (144-160)
SKS
VI.9 Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi Farmasi Negeri
Sejak 1984 telah dibentuk Forum Komunikasi oleh pimpinan pendidikan tinggi Farmasi
Negeri (Dekan atau Ketua Jurusan) yang bertemu sekali setahun sebagai wadah sumbang saran
dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan pendidikan. Beberapa kesepakatan penting
antara lain :
1. usaha penyeragaman status pendidikan tinggi Farmasi menjadi Fakultas Farmasi.
2. usaha penyeragaman lulusan Farmasis, khususnya Apoteker dengan menetapkan
kurikulum minimal selain Kurikulum Inti.
3. pelaksanaan ujian negara bagi Perguruan Tinggi Swasta (sekarang ini sudah dihapus)
4. pengembangan program studi baru, misalnya D-III Farmasi, Pascasarjana Farmasi, dan
Spesialis.
FORKOM PTFN beranggotakan 8 perguruan tinggi negeri yang menyelenggarakan pendidik
Farmasi dan Apoteker. Sejak tahun 2000 perkembangan perguruan tinggi swasta semakin pesat
sehingga dibentuk Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia, yang beranggotakan semua
pendidikan tinggi farmasi, negeri dan swasta.
VI.10
keterpadanan (match) sebagai salah satu strategi di bidang pendidikan. Inti dari konsep ini ialah
relevansi pendidikan yang perlu dijabarkan lebih lanjut dalam program-program pendidikan,
sedangkan latar belakang permasalahan yang mendasari konsep ini ialah kenyataan bahwa
terdapat ketidaksesuaian antara kesempatan kerja menurut proyeksi penyediaan tenaga kerja
(DepTenaKer), dengan luaran pendidikan menurut tingkat pendidikannya.
Upaya peningkatan relevansi dalam sistem pendidikan dapat diartikan bahwa hasil
pendidikan harus memberikan dampak bagi pemenuhan dunia kerja, kehidupan di masyarakat,
dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Upaya peningkatan relevansi ini perlu
dioptimalkan agar lulusan dapat memperoleh keterampilan dan keahlian sesuai (keterpadanan)
kebutuhan masyarakat pada umumnya dan kebutuhan lapangan kerja (keterkaitan) pada
khususnya baik dilihat dari segi jumlah dan komposisinya menurut keahlian, mutu keahlian dan
keterampilannya maupun sebaran serta efisiensinya.
Dikaitkan dengan konsep DepDikBud tersebut, pendidikan tinggi farmasi perlu membenahi
diri untuk menghasilkan tenaga yang jumlahnya cukup (kuantitas) untuk mengisi kebutuhan
lapangan kerja yang diproyeksikan, dan lebih meningkatkan kualitasnya lulusan agar mempunyai
keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pendidikan tinggi farmasi di Indonesia baik negeri maupun swasta setiap tahun
diperkirakan dapat memproduksi lulusan Apoteker sebanyak 500 orang. Jumlah Apoteker saat ini
(1993) diperikirakan 4500 orang. Dengan perhitungan rasio 1 orang Apoteker untuk 20.000
orang, dan perkiraan penduduk Indonesia pada tahun 2000 berjumlah 200 juta orang, berarti
diperlukan tenaga Apoteker sebanyak 10.00 orang, yang belum dapat dihasilkan oleh perguruan
tinggi di Indonesia (7 tahun @ 500 = 3500 orang). Dari segi kualitas Apoteker sebagai profesi
ang mendapat pengakuan masyarakat, perlu ditingkatkan dan diadakan diversifikasi menurut
keahlian yang sepadan denga kebutuhan masyarakat. Konsep Link and Match saat ini masih
dilanjutkan dengan nama lain.
VII PENDIDIKAN TINGGI FARMASI DI LUAR NEGERI
Kurikulum
pendidikan
tinggi
Farmasi
dapat
[1,2]
memberikan
gambaran
mengenai
perkembangan kefarmasian (state of the art) dalam suatu negara, karena perkembangan
17
Indonesia
Australia
Amerika Serikat
Farmasis
4 th.
+ 1 th. profesi
3 th.
+ 1 th. Profesi
(akan diseragamkan
4 th + 1)
2 th. (Preprofessional)
4 th. (Professional)
Pharm. Doctor)
Master
+ 2 th.
Doktor
+ 3 th.
Master of Pharmacy
+ 2 th.
Doctor of Philosophy
+ 3 th. (Ph.D)
Master of Science
+ 2 th.
Doctor of Philosophy
+ 3 th. (Ph.D)
Sejak tahun 1996 di Amerika Serikat hanya ada 1 jalur untuk mencapai profesi Pharmacist,
yaitu Pharmaceutical Doctor yang membutuhkan waktu 6 tahun (2 tahun pre-professional + 4
tahun professional). Di Australia juga akan diseragamkan lama waktu studi Pharmacist (Bachelor
of Pharmacy = B.P.) menjadi (4 + 1) tahun. Di samping program pascasarjana di bidang
penelitian (Master dan Doctor), sama halnya di Indonesia, di Australia juga disediakan program
Graduate Diploma di bidang tertentu (Hospital Pharmacy; Industrial Pharmacy) bagi Farmasis
yang ingin meningkatkan keahliannya, khususnya keterampilan.
VII.1 Pendidikan Tinggi Farmasi di Australia [2]
Pendidikan tinggi Farmasi di Australia secara khusus mendidik calon Farmasis untuk dapat
bekerja sebagai seorang profesional di masyarakat, berbeda dengan di Indonesia yang mendidik
mahasiswa juga sebagai calon peneliti (ada jalur akademik dan jalur profesi). Yang dapat menjadi
peneliti hanya terbatas pada lulusan yang mencapai Honours Degree (lulusan dengan pujian) agar
dapat melanjutkan ke jenjang Master of Pharmacy atau Doctor of Philosophy. Hal ini
tergambarkan pada Tujuan Pendidikan dan Materi sebagai berikut :
Tujuan Pendidikan
18
1. memahami ilmu dasar dan terapan yang cukup, agar dengan bertambahnya pengalaman,
mampu mengintegrasikan dan menerapkan pengetahuannya pada lingkungan profesi praktis.
2. memiliki keterampilan dispensing dan keterampilan lain yang sesuai agar setelah menjalani
magang (1 th.) dapat berpraktek sebagai Farmasis yang kompeten.
3. memperoleh keterampilan berkomunikasi yang cukup untuk berpraktek sebagai Farmasis
yang kompeten dengan bertambahnya pengetahuan.
4. mengembangkan ciri, kualitas dan pandangan pribadi terhadap etika dan standar profesi yang
diperlukan untuk berpraktek sebagai profesional di bidang kesehatan secara bertanggung
jawab.
5. mempunyai komitmen untuk mempertahankan dan mengembangkan pengetahuan dasarnya
dengan cara melanjutkan proses pendidikan selama karirnya.
Pengetahuan mendalam (detailed knowledge).
Materi yang diperlukan untuk pencapaian tujuan di atas yang perlu dikuasai secara mendalam
ialah mengenai :
(a) ciri struktur dan sifat fisiokimia obat sebagai dasar untuk memahami mekanisme molekuler
dari aksi obat; faktor yang mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi; dan
tentang desain bentuk sediaan.
(b) fisiologi manusia dan farmakologi sebagai dasar untuk pengobatan penyakit; optimasi
pengobatan, menghindari efek samping, kontraindikasi, efek bertentangan dan reaksi toksis.
(c) formulasi dan pembuatan obat menjadi bentuk sediaan yang tepat untuk optimasi kemanfaatn
terapetik.
(d) penyerahan obat kepada penderita (individu) sesuai dengan persyaratan legalitas, terapetik
dan profesional.
(e) peraturan perundang-undangan tentang praktek profesional farmasi.
Pengetahuan secara umum (general knowledge) tentang
(f) keadaan penyakit manusia secara umum agar dapat memahami dasar-dasar terapi obat secara
rasional.
(g) pengenalan dan pengobatan penyakit biasa (minor ailments) dan kemampuan menentukan
perlunya merujuk penderita kepada profesional kesehatan lain.
(h) teknik membimbing penderita dan berkomunikasi dengan profesi kesehatan lain mengenai
penggunaan obat yang sesuai dan tentang masalah lain yang berkaitan dengan pemeliharaan
kesehatan.
(i) sumber informasi yang relevan dan kemampuan untuk mengevaluasi dan menggunakannya
secara kritis.
Pengertian mengenai.
(j) proses yang berkaitan dengan pengembangan obat baru dan persetujuan mengenai bahan obat
baru untuk tujuan terapetik.
(k) pereaksi dan uji diagnostik yang umum digunakan, yang sesuai dengan praktek kefarmasian.
(l) kedudukan Farmasi dalam sistem pemeliharaan kesehatan.
(m) bahaya yang berkaitan dengan bahan kimia tertentu yang umum digunakan.
Bagian 1 RUANG LINGKUP FARMASI
19
(n) penggunaan salah dan penyalahgunaan obat, bahan obat dan zat lain.
(o) nutrisi, yang berpengaruh pada penyakit dan pengobatannya.
Garis Besar Matakuliah
Matakuliah kefarmasian di Australia itu sifatnya berorientasi-obat dan berorientasipasien, meliputi 4 bidang utama :
1.
2.
3.
4.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
dan disposisi obat; faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemanfaatan fisiologis dan
aktivitas biologis obat dalam bentuk sediaannya; pengaruh umur, seks atau status sakit
sekunder yang dapat mempengaruhi lancarnya pengobatan; dan kemungkinan interaksi
dengan obat lain, makanan dan prosedur diagnostik yang dapat memodifikasi aktivitas obat.
Fungsi keseluruhan Farmasis hendaknya menghasilkan terapi obat secara maksimum.
Farmasis hendaknya memahami penggunaan yang sesuai dan regimen takaran dari terapi obat
yang dilakukan, kontraindikasi dan kemungkinan reaksi tak diinginkan yang diakibatkan oleh
terapi obat. Farmasis hendaknya mempunyai cukup informasi mengenai kemungkinan obat
paten mana yang interaksinya berlawanan dengan terapi atau mungkin berguna sebagai
tambahan dalam memperbaiki pemberian obat atau perawatan secara keseluruhan.
Farmasis harus mengetahui aksi terapi obat paten sesuai penegasan (claim) yang
dikemukakan, komposisinya dan keunikan maupun keterbatasan bentuk sediaan tersebut.
Farmasis hendaknya mampu menilai secara obyektif kemampuan suatu produk sesuai
iklannya. Jika diminta oleh pasien, Farmasis hendaknya mampu menegaskan kemungkinan
kegunaan terapetik suatu obat paten sehubungan dengan keluhan pasien.
Farmasis hendaknya mampu mereviuw publikasi ilmiah dan mampu mencari implikasi
praktis suatu hasil penelitian yang berkaitan dengan kegunaan klinis suatu obat. Farmasis
harus mampu menganalisis suatu laporan pustaka percobaan klinis mengenai kesesuaian
desain penelitian dan analisis statistik yang dibuat dari data. Farmasis hendaknya mampu
menyiapkan suatu abstrak yang obyektif mengenai kebermaknaan data dan kesimpulan si
penulis.
Farmasis hendaknya merupakan seorang spesialis mengenai karakteristik kestabilan dan
persyaratan penyimpanan obat dan bahan obat, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
pelepasan obat dari bentuk sediaannya, bagaimana tempat pemberian obat atau lingkungan di
sekitar tempat itu pada tubuh dapat mempengaruhi absopsi obat tertentu dari bentuk sediaan
yang diberikan, dan bagaimana kemungkinannya berinteraksi untuk mempengaruhi aksi awal
(onset), intensitas, atau lamanya (duration) aksi terapetik.
Farmasis hendaknya paham benar akan pengaturan legal tentang pengadaan, penyimpanan,
dan distribusi obat. Farmasis hendaknya mengetahui tentang penggunaan obat yang diizinkan
seperti yang terperinci oleh pejabat negara dan daerah, praktek medis yang benar, dan
tanggung jawab legalnya terhadap pasien dalam penggunaan obat pada prosedur terapetik
eksperimental.
Farmasis hendaknya mampu, dengan terdapatnya bahan sumber yang sesuai, untuk
merekomendasi produk obat atau bentuk sediaan mana yang mungkin secara potensial
berguna untuk kebutuhan terapetik tertentu, dan Farmasis hendaknya secara obyektif mampu
mendukung pilihan yang diambil. Farmasis hendaknya juga mampu untuk mengidentifikasi
produk obat berdasarkan bentuk dan warna yang dirinci, dan mungkin penggunaannya yang
dianjurkan dengan menggunakan bahan sumber yang sesuai.
Farmasis akan tanggap, berdasarkan gejala yang akan diuraikan dalam wawancara dengan
pasien, tentang informasi tambahan yang masih perlu diusahakan diperoleh dari pasien
mengenai kondisi pasien itu. Berdasarkan informasi ini Farmasis hendaknya dapat merujuk
pasien itu kepada praktisi medis yang sesuai, spesialis, atau badan yang paling berkompeten
untuk membantu pasien dalam kasus spesifik. Farmasis hendaknya memperoleh dan
menyimpan kartu data sakit (profil) pasien untuk digunakan dalam melakukan keputusan
farmatesis yang menyangkut perawatan pasien. Melalui pemanfaatan profil demikian dan
materi pembantu yang sesuai, Farmasis hendaknya melaksanakan program reviuw
pemanfaatan obat dalam lingkungan daerah praktek. Farmasis hendaknya memantapkan dan
Bagian 1 RUANG LINGKUP FARMASI
21
I.
J.
K.
L.
M.
N.
O.
melaksanakan program untuk memastikan tidak lalainya pasien menggunakan obat dengan
tujuan terapetik.
Farmasis hendaknya mempunyai pengetahuan tentang manifestasi toksis dari obat dan
tindakan yang diperlukan yang merupakan cara terbaik untuk pengobatan gejala keracunan
ini.
Farmasis hendaknya mampu berkomunikasi secara efektif dengan pasien mengenai petunjuk
mengenai penanganan yang sesuai dari resep dan obat paten. Farmasis hendaknya
mengetahui tentang pembatasan yang perlu ditekankan pada konsumsi makanan, pengobatan
lain dan aktivitas fisik.
Farmaisis hendaknya mampu berkomunikasi dengan profesional kesehatan lain atau orang
awam tentang topik obat yang baik, masalah kesehatan masayrakat, dan pendidikan kesehatan
perorangan.
Farmasis hendaknya mampu untuk meracik obat yang sesuai atau campuran obat dalam
bentuk sediaan yang baik.
Farmasis hendaknya mampu untuk menginterpretasi resep dari penulis resep yang sepatutnya
berlisensi, secara teliti meracik bahan terapetik yang sesuai, memeriksa ketepatan resep yang
sudah selesai sesuai isinya, dan menempelkan label petunjuk sesuai diperlukan agar
membantu pemahaman pasien tentang maksud si penulis resep. Selanjutnya Farmasis
hendaknya memberitahu pasien secara lisan atau tertulis, mengenai efek merugikan dari obat
yang diracik menurut resep, apabila mengandung obat yang mungkin berbahaya bagi orang
yang memakannya. Farmasis hendaknya memastikan bahwa pasien mengerti betul mengenai
petunjuk obat yang ditulis.
Farmasis hendaknya memahami prinsip dan teknik prosesur manajemen yang baik, dan akan
memberikan pelayanan kefarmasian yang efisien untuk memastikan kesinambungan
perawatan pasiennya. Farmasis hendaknya menyadari tentang pertimbangan finansial dari
perawatan kesehatan, dan senantiasa berusaha memberikan perawatan pasien yang
berkualitas.
Farmasis akan mengambil langkah-langkah yang seuai dalam mempertahankan tingkat
kompetensi dalam setiap bidang yang disebutkan di atas.
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) pada Kongres Nasional ISFI XV di Semarang, pada
tahun 1966 juga sudah merumuskan Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di
Apotik. Hal ini merupakan sebagia materi pada mata kuliah Perundang-undangan dan Etik,
Program Profesi Apoteker.
Kurikulum Pendidikan Farmasi di Amerika Serikat 2002
Sejak 1996 pendidikan profesi Farmasis di Amerika Serikat bergelar Doctor of Pharmacy
( Pharm.D.) berlangsung selama 6 tahun; terbagi atas 2 tahun prasyarat (Prepharmacy) dan 4
tahun magang (residence) untuk program profesional dan pengalaman kerja. Di samping itu
ditawarkan juga program Master of Science (M.S) dan Philosophical Doctor (Ph.D.) dalam
bidang farmasi tertentu, misalnya M.S. in Pharmaceutical Policy and Evaluative Sciences, yang
dapat dilanjutkan ke Program Ph.D. dalam bidang Pharmacoepidemiology, atau Ph.D. dalam
bidang Pharmacoeconomics and Policy. Contoh Kurikulum Pendidikan ialah sebagai berikut :
22
A. General College, School of Pharmacy, University of North Carolina at Chapel Hill [11]
PREPHARMACY REQUIREMENTS
Notes
English Composition
Elementary Statistics
Analytical Geometry and Calculus
General Biology with Laboratory
Genearl Chemistry with Laboratory
6
3
3
4
8 All topics traditionally included in
Org.Chem. Courses
8 All topics incl. in introductory Physics
Course.
8
18 Six courses are to be selected : 2
6-9
2
Fall
Spring
Pharmacology I
Biochemistry II
Basic Pharmaceutics II
Pharmaceutical Care
Pharm.Care Lab II
Pharmacology III
Pharmacotherapy II
Pharmacotherapy III
Pharmacotherapy IV
Applied Pharmacokinetics
23
Professional Elective
Pharm.Care Lab. III
Professional Elective
Pharm.Care Lab. IV
Pharmacy Operations
Physival Assessment
Professional Elective
Professional Elective
Prob.in Pharmacotherapy
Seminar
Clerkships
perawatan komunitas dan rawat jalan, (c) manajemen, dan (d) penelitian. Kebanyakan mata
kuliah bidang konsentrasi diambil pada tahun terakhir.
Bidang Konsentrasi :
1) Farmakoterapi Umum, mempersiapkan farmasis untuk kegiatan perawatan pasien pada
berbagai lingkungan kerja. Mata kuliah yang wajib meliputi farmakokinetika dan terapi
obat bukan-resep. Mata kuliah pilihan meliputi komunikasi, proses pengembangan obat
baru, manajemen, dan farmakoterapi bagi usia lanjut.
2) Perawatan komunitas dan rawat-jalan, mempersiapkan mahasiswa untuk praktek pada
farmasi komunitas (Apotik), dan lingkungan pasien yang tidak dirawat di rumah sakit. Mata
kuliah wajib meliputi manajemen farmasi komunitas, terapi obat bukan-resep, dan praktek
perawatan-jalan.
3) Manajemen, mempersiapkan farmasis untuk pekerjaan dalam pengelolaan pelayanan
farmasi dan keuntungan terapi obat. Mata kuliah wajib meliputi manajemen komunitas atau
institusional, review dan manajemen penggunaan obat, dan ekonomi farmasi dan kebijakan
publik. Mata kuliah pilihan meliputi hukum perdagangan, pemasaran, ekonomi kesehatan,
manajemen personalia, dan perilaku organisasi.
4) Penelitian, memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berpartisipasi dalam
penelitian, dan mempersiapkan mereka untuk pendidikan pasca sarjana.
Dengan melihat beberapa contoh program pendidikan dan kurikulum di luar negeri,
mahasiswa dapat membandingkannya dengan kurikulum pendidikan di Indonesia. Tidak tertutup
kemungkinan adanya mahasiswa yang akan melanjutkan studinya di luar negeri, sehingga
pengetahuan dasar ini dapat membantu dalam menentukan pilihannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Pharmaceutical Association, The National Professional Society of Pharmacicts,
The Final Report of the Task Force on Pharmacy education, Washington DC.
2. College Handbook (Nov.1992), MONASH University, The Office of University Development
for the Victorian College of Pharmacy, Melbourne, Victoria.
25
3. Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Farmasi Negeri se Indonesia, Hasil Rapat Tahunan
(1992).
4. Gennaro, A.R. [Ed.] (1990) Remingtons Pharmaceutical Sciences, Mack Publishing Co,
Easton, Pennsylvania.
5. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Keputusan Kongres Nasional XIII, N0.XIII/Kongres
XIII/ISFI/1989 tentang Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di Apotik.
6. Ketut Patra dkk. (1988) 60 Tahun Dr. Midian Sirait, Pilar-Pilar Penopang Pembangunan di
Bidang Obat, Penerbit P.T.Priastu, Jakarta.
7. Smith, A.K. (1980) Principles and Methods of Pharmacy Management, Second Edition,
Lea Febiger, Philadelphia.
8. Suryasumantri, Y.S
Harapan, Jakarta.
9. Wattimena, J.R. dkk. (1986) makalah dalam Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh
IDI/ISFI, Jakarta.
10. University of Minnesota , (2001) College of Pharmacy Catalog, the Regents of the
University of Minnesota, Catalog On Line.
11. University of North Carolina at Chapel Hill, (2002) School of Pharmacy, Catalog on
Line.
26