Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

SINDROMA GUILLAIN-BARRE

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Tentara Tk II. Dr. Soedjono Magelang

Disusunoleh:

Pembimbing:
Letkol CKM dr. Heriyanto, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2015
HALAMAN PENGESAHAN

Nama

NIM

Fakultas

: Kedokteran

Universitas

: Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )

Tingkat

: Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian

: Ilmu Saraf

Judul

Semarang, oktober 2015


Mengetahui dan Menyetujui
Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Saraf RST Tk II. Dr. Soedjono Magelang

Pembimbing

Letkol CKM dr. Heriyanto, Sp.S

BAB I
LAPORAN KASUS

STATUS KHUSUS COASS NEUROLOGI


DEPARTEMEN NEUROLOGI RST Dr. SOEDJONO MAGELANG
No. Reg

: 127.129

Nama Pasien

: Ny.ND

Alamat

: Citrosono, Grabag, Magelang

Sex : P

Umur : 36

SUBJEK
A. Keluhan Utama
Kedua Jari tangan dan kaki susah digerakkan
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien baru datang pada tanggal 18 oktober 2015 (2hari yang lalu) dari
poli klinik Syaraf RST Soedjono dengan keluhan kedua Jari tangan dan
kaki susah digerakkan , pasien mengaku Jari tangan dan kaki susah
digerakkan sejak 1 minggu yang lalu, keadaan itu semakin berat dan
berjalan progresif kelengan atas dan kaki atas.tidak ada mual dan muntah,
tidak pusing.pasien megeluh flu sebelumnya.
C. Riwayat Penyakit Dulu
Tidak pernah sakit seperti ini dahulunya

II

OBJEK
A. Status Interna
Anemis : Ikterik : Rhonki halus/ kasar : -/Wheezing : -/-

Bunyi jantung : reguler


Abdomen : Peristaltik (+) Normal
Nyeri Lumbal : Ekstremitas : Oedem -/- , akral hangat
B. Status Neurologi
a. GCS : E4V5M6
b. Meningeal Sign :
i. Brudzinski I-IV : DBN
ii. Laseque : DBN
c. N. Craniales
i. N. Olfaktorius : tidak dilakukan
ii. N. Opticus :
1. Visual Acuity : Tidak dilakukan
2. Visual Field : DBN
3. Warna : tidak dilakukan
4. Funduskopi : tidak dilakukan
iii. N. Oculomotor, N. Abducens, N. Trochlearis : DBN
iv. N. Trigeminus :
1. Sensorik : DBN
2. Motorik :
Rapat gigi : Normal
Buka Mulut : DBN
Gigit tongue spatel : tidak dilakukan
Gerak rahang : DBN
v. N. Facialis :
1. Motorik :
Diam : DBN
Bergerak : DBN
2. Sensorik : Tidak dilakukan
vi. N. Stato-akustikus : tidak dilakukan
vii. N. Glossopharyngeus & N Vagus:
1. Menelan air : DBN
2. Suara parau : DBN
viii. N. Accessorius : DBN
ix. N. Hypoglossus :
1. Diam : DBN (tidak ada fasikulasi)
2. Bergerak : DBN
d. Motorik
i. Observasi : Normal
ii. Palpasi : tidak ada atrofi, kenyal padat normal
iii. Perkusi : normal

iv. Tonus : normo tonus


v. Kekuatan otot :
1. Ex atas :
M. Deltoid
: +4/+4
M. Biceps brachii : +4/+4
M.Triceps
: +4/+4
M.Brachioradialis : +4/+4
M.Pronator teres
: +4/+4
Genggaman tangan : +3/+3
2. Ex bawah :
M. Iliopsoas : +4/+4
M. Quadriceps : +4/+4
M. Hamstring : +4/+4
M. Tibialis Anterior : +4/+4
M. Gastrocnemius : +4/+4
M. Soleus : +4/+4
e. Sensorik
i. Protopatik (nyeri/suhu, raba halus/kasar) : DBN
ii. Propioseptif (gerak/posisi, getar tekan) : DBN
iii. Kombinasi :
1. 2 point tactile : DBN
2. Sensory extinction : DBN
3. Loss of Body image : DBN
iv. Reflek Fisiologi
1. BHR : DBN
2. Cremaster : tidak dilakukan
v. Reflek tendon : +1/+1
f. Reflek Patologis :
i. Babinski : -/ii. Chaddock : -/iii. Oppenheim : -/iv. Gordon : -/v. Stransky : -/vi. Gonda : -/vii. Schaeffer : -/viii. Rossolimo : -/ix. Mendel-Bechtrew : -/x. Hoffman : -/xi. Tromner : -/g. Px Cerebellum :
i. Koordinasi : tidak dilakukan
ii. Keseimbangan : DBN
iii. Berjalan / gait : DBN
iv. Tonus : DBN

v. Tremor : DBN
h. Px fungsi luhur : tidak dilakukan
i. Tes sendi sakro iliaka :
i. Patricks : -/ii. Kontra patricks : -/j. Tes Provokasi n. Ischiadicus :
i. Laseque : -/ii. Sicard : -/iii. Reverse laseque : /iv. Bragards : -/v. Doorbells : -/III

ASSESMENT
A. Klinis : Kepala pusing berputar, mual (+) muntah (+),keluar keringat
dingin
B. Topis : nervus perifer
C. Etiologi : SGB

IV

PLANNING
A. Diagnosa
CCS
elektrodiagnostik
B. Therapi :
Kortikosteroid
Plasmaparesis
Imunoglobulin IV
6 merkaptopurin (6-MP)
C. Monitoring : Keadaan Umum + Vital Sign (Tensi)
D. Edukasi :
Istirahat cukup
Makan makanan bergizi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis
flaksid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Guillain Barre sering

juga disebut sebagai acute idiopathic demyelinating polyradiculoneuritis (AIDP)


yang artinya proses demielinasi pada Guillain Barre bersifat akut.
B. Epidemiologi
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0,4 - 1,7 kasus per
100.000 orang pertahun. Insidensi lebih tinggi pada perempuan dibanding pria dan
lebih banyak terjadi pada usia muda. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35
tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia
termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun.
Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa
83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4%
pada kelompok ras yang tidak spesifik.
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran
pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
C. Etiologi
Etiologi SGB masih belum diketahui secara pasti. Teori yang dianut sekarang
adalah

suatu

kelainan

imunologik,

baik

secara primary

imune

response maupun immune mediated response. Beberapa keadaan / penyakit yang


mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB antara lain:
1.

Infeksi.
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Infeksi akut
yang sering berhubungan dengan SGB adalah infeksi dari virus (CMV, EBV,
HIV, varisela) dan bakteri (Campilobakter jejuni, Mycoplasma pneumonia).
Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi. Interval antara
penyakit yang mendahului dengan awitan biasanya 2-3 minggu. Pada
umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza, infeksi saluran nafas
bagian atas atau saluran pencernaan.

2.

Vaksinasi

3.

Pembedahan

4.

Penyakit sistemik seperti: keganasan, SLE, tiroiditis, penyakit addison

5.

Kehamilan/ dalam masa nifas

D. Patogenesis
Delapan puluh persen pasien dengan SGB memiliki riwayat pendahulu
seperti infeksi, pembedahan dan trauma. Mekanisme bagaimana infeksi,
vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mencetuskan terjadinya demielinisasi akut
pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan
bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme
imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. Terjadi reaksi inflamasi pada
saraf yang terganggu. Infiltrat terdiri atas sel-sel mononuklear terutama sel
limfosit. Terdapat juga sel makrofag, sel polimorfonuklear. Serabut saraf
mengalami degenerasi segmental dan aksonal.
Organisme yang menyebabkan infeksi terdahulu mengaktivasi sel T,
setelah masa laten beberapa hari sampai minggu, sel B dan T spesifik antigen
teraktivasi. IgG yang diproduksi sel B dapat dideteksi pada serum pada berbagai
konsentrasi. Antibodi ini memblok konduksi impuls sehingga terjadi akut paralisis
atau mengaktivasi komplemen dan makrofag yang menyebabkan lesi pada
mielin. Penelitian terbaru menyatakan bahwa terjadinya destruksi mielin
dicetuskan oleh aktivasi komplement. Aktivasi cascade komplemen dimediasi
oleh ikatan antara antibodi dengan sel Schwann dan mengakibatkan degenerasi

mielin. Akson biasanya menjadi target, terutama setelah infeksi Campylobacter


jejuni.
E. Klasifikasi
Beberapa

varian

dari

sindroma

Guillan-Barre

dapat

diklasifikasikan,

yaitu:
1.

Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy

Mediasi oleh antibodi, dipicu oleh infeksi virus atau bakteri sebelumnya,
gambaran elektrofisiologi berupa demielinisasi, remielinisasi muncul setelah
reaksi imun berakhir, merupakan tipe SGB yang sering dijumpai di Eropa dan
Amerika.
2.

Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)

Merupakan bentuk murni dari neuropathy axonal, dimana acute motor axonal
neurophaty (AMAN), terjadi degenerasi dari axon motorik, tanpa adanya
demielinisasi. Gejala ditandai dengan adanya kelemahan otot bagian distal,
terkadang dapat disertai paralisis otot pernafasan. Sensorik tidak mengalami
gangguan. Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan protein pada
cairan serebrospinal sementara dari pemeriksaan elektrofisiologi menunjukkan
absen/turunnya saraf motorik dan saraf sensorik. Penyembuhan lebih cepat, sering
terjadi pada anak, dan merupakan tipe SGB yang sering di Cina dan Jepang.
3.

Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)


Degenerasi terjadi pada akson sensorik dan motorik, sehingga manifestasi

klinisnya berupa kelemahan motorik dan sensorik, terkadang dengan paralisis otot
pernafasan. Kebanyakan pasien menjadi tetraplegi dan kesulitan bernafas hanya
dalam waktu yang singkat.
4.

Miller Fishers Syndrome


Merupakan

kelainan

yang

jarang

dijumpai,

berupa trias

ataxia, areflexia dan oftalmoplegia, dapat terjadi gangguan proprioseptif, resolusi


dalam waktu 1-3 bulan.

5.

Acute Pandysautonomia
Varian yang paling jarang dari SGB, mempengaruhi sistim simpatis dan

parasimpatis,

gangguan

kardiovaskular

(hipotensi,

takikardi,

hipertensi,

disaritmia), gangguan penglihatan berupa pandangan kabur, kekeringan pada mata


dan anhidrosis, penyembuhan bertahap dan tidak sempurna, sering dijumpai juga
gangguan sensorik.
F. Gejala Klinis dan Kriteria Diagnosa
SBG ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai
hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu
setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan
gangguan sensorik dan motorik perifer. Parestesi dan hilang rasa pada jari-jari kaki
dan tangan merupakan gejala yang paling awal terjadi. Manifestasi klinik mayor
berupa kelemahan pada anggota gerak dalam 1 sampai 2 minggu atau bisa lebih
lama. Biasanya mengenai ekstremitas bawah terlebih dahulu dibanding
ekstremitas atas. Manifestasi klasik dari GBS ditandai dengan adanya kelemahan
yang terjadi secara akut progresif, simetris, dan dimulai dari bawah ke atas,
arefleksia, dan abnormalitas sensorik. Dapat mengenai nervus kranialis terjadi
pada 45 % sampai 70 % kasus. Defisit nervus kranial yang sering terkena adalah
nervus III, IV, VI, VII, IX, X. Paresis nervus VII biasanya bilateral, terjadi hampir
pada sebagian pasien. kegagalan otot pernafasan dapat terjadi rata-rata dalam 1
minggu setelah onset parestesi.
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute
of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:

a.

Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:


Terjadinya kelemahan yang progresif
Hiporefleksi

b.

Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:

Ciri-ciri klinis:
-

Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,


maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu,

80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.


Relatif simetris
Gejala gangguan sensibilitas ringan, hipotoni dan hiporefleksi selalu

ditemukan.
Gejala saraf kranial 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral.
Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah
dan otot-otot menelan, kadang

< 5% kasus neuropati dimulai

dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain


Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat

memanjang sampai beberapa bulan.


Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,

hipertensi dangejala vasomotor.


Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong

diagnosa:
Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi

peningkatan pada LP serial


Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3

c.

Varian:
-

Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala


Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3

Pada gangguan neurogenik dengan demielinisasi sering terjadi kehilangan


refleks fisiologi pada tahap awal penyakit, seperti yang terjadi pada Guiilain
Barre Syndrome. Hal ini terjadi karena adanya blok dan ketidaksesuaian
serabut saraf aferen dan eferen. Fase progresif dari SGB berlangsung dalam
beberapa hari hingga empat minggu dan diikuti dengan fase plateau, saat
gejala berada dalam keadaan persisten sebelum diakhiri dengan masa
resolusi dari gejala yang lamanya bervariasi.
Sementara kriteria diagnostik Sindrom Guillain Barre menurut Daroff
(2012) yang diadaptasi dari Assessment of current diagnostic criteria for
Guillain Barre Syndrome tahun 1990 dibagi menjadi tiga kriteria yaitu:

1)

manifestasi klinis yang diperlukan untuk diagnosis yaitu kelemahan

progresif pada kedua ektremitas dan arefleksia;


2)

manifestasi klinis yang mendukung diagnosis yaitu:

progresivitas dalam beberapa hari sampai 4 minggu,

relatif simetris, dapat mengenai sistem sensorik,

kelumpuhan kedua otot wajah (bifacial palsies),

disfungsi otonom,

periode recovery 2-4 minggu setelah periode progresif.

3)

pemeriksaan laboratorium yang mendukung diagnosis:

peningkatan protein dalam cairan serebrospinal dengan sel < 10

sel/l
-

gambaran elektrodiagnostik pada konduksi nervus lambat atau

terhambat
Derajat penyakit SGB didasarkan pada skala disabilitas dari Hughes (Tabel
1). Pada SGB berat, pasien memiliki skala 4.
Tabel 1. Skala disabilitas Sindrom Guillain Barre menurut Hughes.
0
1
2

Sehat
Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan pekerjaan manual
Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat melakukan

3
4
5
6

pekerjaan manual
Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang
Kegiatan terbatas di tempat tidur/kursi (bed / chair bound)
Membutuhkan bantuan ventilasi
Kematian

G. Diagnosis Banding
Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria
diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus
dibedakan dengan jenis polineuropati lain seperti: Mielitis akuta, Poliomyelitis
anterior

akuta, Porphyria

intermitten

akuta, Polineuropati

post

difteri,

hypocalemia, meningeal carsimatosis, neuromuscular transmission disorders,


uremic polyneuropathy, diabetic polyradiculoneuropathy, danhypophosphatemia,
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang biasa digunakan untuk mendukung diagnosis
Guilllain Barre Sindrom antara lain:
o

Pemeriksaan darah rutin, titer EBV, Campylobacter, HIV, CMV, RF, ANA,
hepatitis.

EMG., akan terlihat adanya blok konduksi dengan kecepatan rendah,


penurunan konduksi gelombang-F

Biopsi, akan terlihat demielinasi fokal.

LP: peningkatan jumlah protein setelah beberapa hari. Jumlah sel biasanya
normal, namun terkadang diikuti peningkatan monosit

I. Terapi
Untuk Sindrom Guillain Barre dapat dikatakan tidak ada drug of choice.
Terapi diberikan untuk mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). Pada pasien dengan SGB
ringan, diberikan terapi suportif dengan pemantauan ketat dan persiapan bila
pasien secara klinis mengalami perburukan.
Perlakuan utama SGB adalah mencegah dan mengelola komplikasi dan
memberikan perawatan suportif sampai gejala mulai membaik. ini mungkin
termasuk:

mengurangi masalah pernapasan melalui penggunaan mesin pernapasan


(ventilator)

monitoring tekanan darah dan denyut jantung. menyediakan cukup gizi jika
pasien memiliki masalah mengunyah dan menelan.

mengelola kandung kemih dan masalah usus

menggunakan terapi fisik untuk membantu mempertahankan kekuatan otot dan


fleksibilitas

mencegah dan mengobati komplikasi seperti radang paru-paru atau infeksi


saluran kemih.

pengobatan lain dari sindrom guillain barre (SGB) tergantung pada seberapa
parah gejalanya. pada kasus lebih parah gejalanya. pada kasus lebih parah SGB
dengan

immunotherapy,

yang

mencakup

pertukaran

plasma

atau

Immunoglobulin intravena (IVIG). Perawatan diberikan di rumah sakit. hal ini


dimulai segera setelah pasien didiagnosa dengan SGB yang semakin buruk.
Intervensi dini dengan salah satu perawatan ini tampaknya efektif dan dapat
mengurangi waktu pemulihan. Pemantauan yang sangat hati-hati sangat
penting selama tahap awal SGB karena masalah pernapasan dan komplikasi
yang mengancam jiwa lainnya dapat terjadi dalam waktu 24 jam setelah gejala
mulai pertama.
a.

Kortikosteroid
Manfaat kortikosteroid untuk terapi SGB masih kontroversial. Kebanyakan

penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai


nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Namun, apabila terjadi keadaan gawat
akibat terjadinya paralisis otot-otot pernafasan maka kortikosteroid dosis tinggi
dapat dilakukan.
b.

Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor

autoantibodi

yang

yang nonambulatory,

beredar.
atau

Plasmaferesis
yang

diindikasikan

penyakitnya

pada

berlangsung

kasus
secara

agresif. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik,


berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih
sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan
mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih
bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). Plasmaferesis
atau plasma exchange merupakan terapi yang pertama kali terbukti efektif pada
kasus SGB berat. Perbaikan klinis pasien nampak nyata dalam kemampuan

berjalan tanpa dibantu, waktu penggunaan ventilasi mekanik lebih singkat, dan
gejala sisa lebih ringan.
Pada anak yang menderita SGB, plasmaferesis jarang dilakukan karena
prosedur ini membutuhkan persiapan yang lebih kompleks seperti unit perawatan
intensif (ICU), akses vena sentral dan mesin plasmaferesis. Selain plasmaferesis,
hanya intravenous immunoglobulin(IVIg) yang terbukti efektif dalam mengurangi
kegawatan dan memperpendek perjalanan penyakit.
c.

Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan

dibandingkan plasmaparesis karena efek samping / komplikasi lebih ringan. Dosis


0.4 gr/kg BB/hari selama 5 hari. Pemberian IVIg diduga dapat menetralisasi
antibodi mielin yang beredar dengan berperan sebagai antibodi antiidiotipik,
menurunkan sitokin proinflammatory dan menghadang kaskade komplemen.
d.

Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:

6 merkaptopurin (6-MP)

Azathioprine

cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit

kepala.
Pengobatan suportif untuk Gullain Barre antara lain:
-

Monitor kapasitas vitas pernafasan dan kekuatan inspirasi negatif (negative


inspiratory force; NIF). Jika kapasitas vita < 20 mL/kg atau NIF kurang dari
30cm H2O, bawa pasien ke ICU dan lakukan intubasi. Jangan tunggu sampai
saturasi oksigen drop.

Swallowing assessment

Monitoring fungsi jantung

Berikan obat anti nyeri seperti gabapentin, pregabalin atau tramadol

Profilak DVT

Regimen untuk kostipasi

Fisioterapi

untuk

mencegah

kontraktur

dan

mempercepat

proses

penyembuhan
J. Prognosa
Pada umumnya prognosa relatif baik. 90-95% terjadi penyembuhan tanpa
gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain:
-

pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal

mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset

progresifitas penyakit lambat dan pendek

pada penderita berusia 30-60 tahun

tidak terjadi kelumpuhan total

Angka kematian pada GBS 5 %. Kebanyakan pasien membaik pada beberapa


bulan. Jika tanpa pengobatan, sekitar 35 % dari pasien memiliki kelemahan
residual, atrofi, hiporefleksia dan kelemahan otot wajah. Prognosis buruk pada
pasien dengan usia tua, didahului penyakit GI track.

BAB III
KESIMPULAN

Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh
manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan
karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya
progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun
susunan saraf pusat. SGB merupakan Polineuropati akut, bersifat simetris dan ascenden,
yang,biasanya terjadi 1 3 minggu dan kadang sampai 8 minggu setelah suatu infeksi
akut.

Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa terjadi
paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan wajah. Sindrom ini
dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan dikenal sebagai Landrys
Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh Landry, 1859 menyebutnya sebagai
suatu penyakit akut, ascending dan paralysis motorik dengan gagal napas.
Gejala klinis SGB berupa kelemahan, gangguan saraf kranial, perubahan
sensorik, nyeri, perubahan otonom, gangguan pernafasan. Sampai saat ini belum ada
pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis. Tujuan utama
penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat
penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu
dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita
dengan gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan
pernafasan, pengobatan dan fisioterapi
Pemeriksaan penunjang untuk Sindroma Guillain-Barre adalah pemeriksaan LCS,
EMG dan MRI. Penyakit ini memiliki prognosis yang baik. Komplikasi yang dapat
menyebabkan kematian adalah gagal nafas dan aritmia.

Plasmaferesis telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya paralisa dan


mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif untuk melakukan
PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Sebanyak 95 % pasien
dengan SGB dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya sembuh total.
Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural tremor masih
mungkin terjadi pada sebagian pasien. Plasmaferesis dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.
Selain itu, pasien dengan SGB atau miastenia gravis yang menerima
plasmaferesi, berisiko terhadap potensial komplikasi karena prosedur tersebut. Infeksi
mungkin terjadi pada tempat akses vaskuler. Hipovolemia dapat mengakibatkan
hipotensi. Takikardia, pening, dan diaphoresis. Hipokalemia dan hipokalasemia dapat
mengarah pada disritmia jantung. Pasien dapat mengalami sirkumolar temporer dan
paresis ekstremitas distal, kedutan otot dan mual serta muntah yang berhubungan dengan
pemberian plasma sitrat. Pengamatan dengan cermat pengkajian penting untuk mencegah
masalah-masalah ini.

Oleh itu, sebagai dokter kita harus mempertimbangan indikasi dan kontraindikasi
penatalaksanaan plasmaferesis pada penderita SGB. Menurut American Academy of
Neurologi plasmaferesis belum juga terbukti pengobatan paling efektif pada SGB.

DAFTAR PUSTAKA
1. Japardi, Iskandar. 2002. Sindroma Guillain Barre. USU.
2. Perdossi. 2008. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gajah Mada University Press:
Jakarta. Hal 307-310.
3. Lukito, Vimaladewi, Irawan Mangunatmadja, Antonius H. Pudjiadji, Tatang
M. Puspandjono. 2010. Plasmaferesis Sebagai Terapi Sindrom Guillain-Barre
Berat pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 6, April 2010.
4. Van
Doorn,
PA.
2004. Guillain
Barre
Syndrome.

Orphanet

Encyclopedia.Burns, Ted M. 2008. Guillain Barre Syndrome. Semin Neurol


28(2):152-167.Guillain-Barre

Syndrome. Avalaible

from: http://emedicine.medscape.com/article/792008-overview

5. Sindroma Guillain-Barre (GBS) : Patofisiologi dan Diagnosis. Avalaible


from:http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/14/guillain-barresyndrome-gbs-patofisiologi-manifestasi-klinis-dan-diagnosis/

Anda mungkin juga menyukai