Anda di halaman 1dari 13

TUTORIAL KLINIK

MENINGITIS

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Tentara Tk II. Dr. Soedjono Magelang

Disusun oleh:
Mualimatul Kurniyawati
01.211.6451

Pembimbing:
Letkol CKM dr. Heriyanto, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2015

A. Definisi
Definisi dari meningitis adalah infeksi dari cairan yang mengelilingi otak
dan spinal cord (Meningitis Foundation of America). Mengetahui meningitis
disebabkan oleh bakteri atau virus dapat membantu dalam menentukan keparahan
penyakit dan pengobatannya. Viral meningitis biasanya kurang parah dan dapat
sembuh tanpa pengobatan spesifik, sementara bacterial meningitis biasanya cukup
parah dan dapat menimbulkan kerusakan fungsi otak (Meningitis Foundation of
America).
Terdapat pula definisi lain yang menyebutkan bahwa meningitis adalah
reaksi inflamasi dari membran yang membungkus otak dan spinal cord. Inflamasi
ini menimbulkan perubahan di cairan serebrospinal (CSS) yang mengelilingi otak
dan spinal cord (Dugdale).
B. Etiologi
Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas : Penumococcus,
Meningococcus, Hemophilus influenza, Staphylococcus, E.coli, Salmonella.
(Japardi, Iskandar., 2002). Penyebab meningitis terbagi atas beberapa golongan
umur :
1.

Neonatus : Eserichia coli, Streptococcus beta hemolitikus, Listeria

2.

monositogenes
Anak di bawah

3.

Pneumococcus.
Anak di atas 4 tahun dan orang dewasa : Meningococcus, Pneumococcus.

tahun

Hemofilus

influenza,

meningococcus,

(Japardi, Iskandar., 2002)


C. Anatomi dan Fisiologi
Otak dikelilingi oleh lapisan mesodermal yang disebut dengan meningens.
Lapisan meningens terdiri dari 3 lapisan yaitu:
1. Piameter :
Bagian terdalam lapisan meningens. Lapisan piameter masuk kedalam
celah otak untuk menyediakan dan mengarahkan pembuluh darah di otak.

2. Arachnoid :
Merupakan selaput halus yang memisahkan pia meter dan dura meter.
3. Dura meter :
Merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari jaringan
ikat tebal dan kuat.

Gambar 1.1. Lapisan meningens

Gambar 1.2. Aliran cairan serebrospinal dari pembentukan sampai


penyerapan di sinus dura
D. Klasifikasi Meningitis
1. Meningitis Kriptokokus
Meningitis oleh karena jamur merupakan penyakit yang relatif
jarang ditemukan, namun dengan meningkatnya pasien dengan gangguan
imunitas, angka kejadian meningitis jamur semakin meningkat. Problem

yang dihadapi oleh para klinisi adalah ketepatan diagnosa dan terapi yang
efektif. Sebagai contoh, jamur tidak langsung dipikirkan sebagai penyebab
gejala penyakit / infeksi dan jamur tidak sering ditemukan dalam cairan
serebrospinal (CSS) pasien yang terinfeksi oleh karena jamur hanya dapat
ditemukan dalam beberapa hari sampai minggu pertumbuhannya (Pradana,
2009).
Etilogi dari meningitis jamur antara lain:
a.. Cryptococcus neoformans
b. Coccidioides immitris
Cara mendiagnosis meningitis kriptokokus:
a. Tes CRAG
Tes yang disebut CRAG mencari antigen ( sebuah protein) yang dibuat
oleh kriptokokus. Tes CRAG cepat dilakukan dan dapat memberi hasi
pada hari yang sama.
b. Tes biakan
Mencoba menumbuhkan jamur kriptokokus dari contoh cairan. Tes biakan
membutuhkan waktu satu minggu atau lebih untuk menunjukkan hasil
positif.
2. Meningitis Viral
Disebut juga dengan meningitis aseptik, terjadi sebagai akibat
akhir / sequel dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus seperti
campak, mumps, herpes simpleks, dan herpes zooster. Pada meningitis
virus

ini

tidak

terbentukeksudat

dan

pada

pemeriksaan

cairan

serebrospinal(CSS) tidak ditemukan adanya organisme. Inflamasi terjadi


pada korteks serebri, white matter, dan lapisan menigens. Terjadinya
kerusakan jaringan otak tergantung dari jenis sel yang terkena. Pada herpes
simpleks, virus ini akan mengganggu metabolisme sel, sedangkan jenis
virus lain bisa menyebabkan gangguan produksi enzim neurotransmiter,
dimana hal ini akan berlanjut terganggunya fungsi sel dan
akhirnya terjadi kerusakan neurologis (Pradana, 2009).
3. Meningitis Bakterial
Meningitis bakterial merupakan salah satu penyakit infeksi yang
menyerang susunan saraf pusat, mempunyai resiko tinggi dalam

menimbulkan kematian, dan kecacatan. Diagnosis yang cepat dan tepat


merupakan tujuan dari penanganan meningitis bakteri (Pradana, 2009).
Meningitis bakterial selalu bersifat purulenta (Mardjono, 1981).
Pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari
septikemia. Pada meningitis meningokokus, prodomnya ialah infeksi
nasofaring, oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di
nasofaring. Meningitis purulenta dapat menjadi komplikasi dari otitis
media akibat infeksi kuman-kuman tersebut (Mardjono, 1981).
Etiologi dari meningitis bakterial antara lain (Roos, 2005):
a. S. Pneumonie
b. N. Meningitis
c. Group B streptococcus atau S. Agalactiae
d. L. Monocytogenes
e. H. Influenza
f. Staphylococcus aureus
4. Meningitis Tuberkulosa
Untuk meningitis tuberkulosa sendiri masih banyak ditemukan di
Indonesia karena morbiditas tuberkulosis masih tinggi. Meningitis
tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis
primer, biasanya di paru. Terjadinya meningitis tuberkulosa bukanlah
karena terinfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen,
melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel pada
permukaan otak, sumsung tulang belakang atau vertebra yang kemudian
pecah kedalam rongga arakhnoid (Pradana, 2009).
Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata
merupakan meningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar
pada dasar otak, terutama pada batang otak tempat terdapat eksudat dan
tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat menimbulkan
obstruksi pada sisterna basalis (Pradana, 2009). Etiologi dari meningitis
tuberkulosa adalah Mycobacterium tuberculosis (Pradana, 2009).
E. Patofosiologi
Secara umum patofisiologi dari meningitis adalah sebagai berikut
Agen penyebab

Invasi ke susunan saraf pusat melalui aliran darah

Bermigrasi ke lapisan subarakhnoid

Respon inflamasi di piamater, arakhnoid, cairan serebrospinal, dan ventrikuler

Eksudat menyebar di seluruh saraf kranial dan saraf spinal

Kerusakan neurologis
Selain dari adanya invasi bakteri, virus, jamur, maupun protozoa, point
dentry masuknya kuman juga dapat melalui trauma tajam, prosedur operasi,
dan abses otak yang pecah. Penyebab lainnya adalah adanya rhinorhea,
otorhea pada basis kranial yang memungkinkan kontaknya CSS dengan
lingkungan luar (Pradana, 2009).

1. Meningitis Tuberkulosa
BTA masuk tubuh

Tersering melalui inhalasi, jarang pada kulit, saluran cerna

Multiplikasi

Infeksi paru/focus infeksi lain

Penyebaran homogen

Meningens

Membentuk tuberkel

BTA tidak aktif/dorman


Bila daya tahan tubuh lemah

Ruptur tuberkel meningen

Pelepasan BTA ke ruang subarakhnoid

Meningitis
Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di leptomeningen (piamater
dan arakhnoid) dan korteks serebri di sekitarnya menyebabkan eksudat
cenderung terkumpul di daerah basal otak (Pradana, 2009).

2. Meningitis Viral
Ada 2 rute virus menyerang sistem saraf pusat manusia, yaitu
hematogenus (infeksi enterovirus) dan limfogenus (infeksi Herpes
Simpleks Virus (HSV)). Enterovirus pertama kali menuju ke lambung,
bertahan dari keasaman asam lambung, dan berlanjut ke saluran
pencernaan di bawahnya lagi. Beberapa virus bereplikasi di nasofaring dan
menyebar ke kelenjar limfe regional. Setelah virus menempel ke reseptor
di enterosit, virus menembus lapisan epitelialnya dan melakukan replikasi
di sel enterosit tersebut. Dari situ, virus menuju peyer patches, dimana
replikasi yang lebih lanjut terjadi. Kemudian dari situ viremia enterovirus
berkembang ke sistem saraf pusat (SSP), hati, jantung, dan sistem
retikuloendotelial. Dan kemudian virus bereplikasi dengan cepat di
tempat-tempat tersebut. Mekanisme enterovirus memasuki SSP diduga
dengan cara menembus BBB tight junction dan memasuki cairan
serebrospinal (CSS) (Swartz, 2007).
Berlawanan dengan enterovirus, infeksi HSV mencapai SSP
dengan jalur neuronal. Pada HSV-1 ensepalitis, virus masuk lewat jalur
oral menuju nervus trigeminal dan olfaktori, sedangkan di HSV-2 aseptic
meningitis, virus menyebar dari lesi genital menuju sacral nerve roots
menuju meninges. Dari situ, HSV-2 menjadi fase laten dan menunggu
untuk reaktivasi menjadi episode aseptik
meningitis (Swartz, 2007).
3. Meningitis jamur
Ada tiga pola dasar infeksi jamur pada susunan saraf pusat yaitu,
meningitis kronis, vaskulitis, dan invasi parenkimal. Pada infeksi
Cryptococcaljaringan menunjukkan adanya meningitis kronis pada
leptomeningen basal yang dapat menebal dan mengeras oleh reaksi
jaringan penyokong dan dapat mengobstruksi aliran likuor dari foramen
luschka dan magendi sehingga terjadi hidrosepalus. Pada jaringan otak
terdapat substansia gelatinosa pada ruang subarakhnoid dan kista kecil di
dalam parenkim yang terletak terutama pada ganglia basalis pada distribusi
arteri lentikulostriata. Lesi parenkimal terdiri dari agregasi atau gliosis.
Infiltrat meningens terdiri dari sel-sel inflamasi dan fibroblast yang

bercampur dengan Cryptococcus. Bentuk granuloma tidak sering


ditemukan, pada beberapa kasus terlihat reaksi inflamasi kronis dan reaksi
granulomatosa sama dengan yang terlihat pada Mycobacterium
tuberculosadengan segala bentuk komplikasinya (Pradana, 2009).
4. Meningitis Bakterial
Kebanyakan patofisiologi dari bacterial meningitis merupakan
akibat dari meningkatnya sitokin CSS dan kemokin. TNF dan IL-1 bekerja
sinergis meningkatkan permeabilitas Blood-Brain Barrier (BBB), yang
mengakibatkan edema vasogenik, bocornya protein serum ke ruang
subarakhnoid. Eksudat di ruang subarakhnoid mengganggu aliran CSS di
sistem ventrikular dan mengurangi reabsorbsi dari CSS di sinus dura,
sehingga dapat menyebabkan communicating edema dan concomitant
interstitial edema (Roos, 2005).
F. Pemeriksaan Meningitis
1. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa
fleksi dan rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan
kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri
dan spasme otot. Dagu tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga
didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala.

2. Kernig Sign
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi
pada sendi panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut
sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi
sendi lutut tidak mencapai sudut 135 (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

3. Brudzinski I ( Brudzinski Leher)


Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan
kirinya dibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian
dilakukan fleksi kepala dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda
Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter
pada leher.

4. Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada
sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II
positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi
panggul dan lutut kontralateral.

5. Brudzinski III (Brudzinskis Check Sign)


Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari
pemeriksa tepat di bawah os ozygomaticum, positif (+) bila fleksi kedua
tungkai bawah.
6. Brudzinski IV (Brudzinskis Symphisis Sign)
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kebua ibu jari
tangan pemeriksaan, positif (+) fleksi kedua siku.
G. Terapi
1. Meningitis Viral
Tabel 7.1. Pengobatan yang direkomendasikan untuk meningitis aseptik

2. Meningitis Bakterial
Tabel 7.2. Beberapa dosis obat antibiotik berdasarkan kuman

3. Meningitis Tuberkulosa
Tabel 7.3 Pengobatan meningitis tuberkulosa

4. Meningitis Kriptokokus
Meningitis dapat diobati dengan obat antijamur seperti amfoterisin
B, flukonazol danflusitosin. amfoterisin B adalah yang paling manjur,
tetapi obat ini dapat merusak ginjal. Obat lain mengakibatkan efek
samping

yang lebih ringan,

tetapi kurang efektif

memberantas

kriptokokus. Jika meningitis didiagnosis cukup dini, penyakit ini dapat


diobati tanpa memakai amfoterisin B. Namun, pengobatan umum adalah
amfoterisin B untuk dua minggu diikuti dengan flukonazol oral (pil).
Flukonazol harus dipakai terus untuk seumur hidup. Tanpa ini,
meningitiskemungkinan akan kambuh.Meningitis kriptokokus kambuh
setelah kejadian pertama pada kurang lebih separoorang. Kemungkinan
kambuh dapat dikurangi dengan terus memakai obat antijamur.
Untuk beberapa orang, cairan sumsum tulang belakang harus
disedot setiap hari untukbeberapa lama untuk mengurangi tekanan pada
otak.Walau jarang, meningitis kriptokokus dapat tampaknya kambuh atau
menjadi lebih berat bila terapi antiretroviral (ART) dimulai dengan jumlah
CD4 yang rendah, terutama setelahpengobatan sebelumnya. Gejala
mungkin tidak umum. Hal ini disebabkan oleh pemulihan sistem
kekebalan tubuh.

DAFTAR PUSTAKA
1. Japardi, Iskandar. 2002. Meningitis Meningococcus. USU digital library URL :
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi23.pdf
2. Pradana, A. 2009. Makalah Neurologi. USU
3. Machfoed MH. Otogenic Meningitis. Its Diagnosis and Treatment. Neurona.
2002; ,21:66-69.
4. Jawetz, E., dkk., 1995, Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan edisi 16, 384-386,
EGC, Jakarta
5. Roos, K.L., Tyler, K.L., 2005. Meningitis, Encephalitis, Brain Abscess, and
Empyema. In: Kasper, D.L., Braunwald, E., Fauci, A.S., Hauser, S.L., Longo,

D.L., and Jameson, J.L. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th ed. New
York: McGraw-Hill, 2471-2490.

Anda mungkin juga menyukai