Analisis Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia
Analisis Kebijakan Ketenagakerjaan Di Indonesia
13 Tahun 2003)
Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat empat
kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja
yaitu kebijakan upah minimum, ketentuan PHK dan pembayaran uang pesangon, ketentuan yang
berkaitan hubungan kerja dan ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja.
Upah Minimum
Pengaturan mengenai upah minimum dijelaskan pada pasal 88 90. Dalam pasal-pasal
tersebut dinyatakan bahwa salah satu komponen/kebijakan pengupahan adalah upah minimum
(pasal 88). Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan
dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (pasal 88). Upah minimum
ditetapkan berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota serta berdasarkan sektor pada
wilayah provinsi atau kabupaten/kota (pasal 89). Pengusaha dilarang membayar upah lebih
rendah dari upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum
tersebut dapat dilakukan penangguhan (pasal 90).
Jika diterapkan secara proporsional, kebijakan upah minimum bermanfaat dalam
melindungi kelompok kerja marjinal yang tidak terorganisasi di sektor modern. Namun demikian,
kenaikan upah minimum yang tinggi dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang rendah di
Indonesia belakangan ini telah berdampak pada turunnya keunggulan komparatif industri-industri
padat karya, yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja akibat
berkurangnya aktivitas produksi.
PHK dan Pembayaran Uang Pesangon
Pengaturan mengenai PHK dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada Bab XII
pada pasal 150 172. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan dengan serikat
pekerja (pasal 151), dan jika dari perundingan tersebut tidak mendapatkan persetujuan maka
permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang mendasarinya (pasal 152).
Selanjutnya dalam pasal 153-155 dijelaskan alasan-alasan yang diperbolehkannya PHK dan
alasan-alasan tidak diperbolehkannya PHK.
Hubungan Kerja
Dalam pasal 56 dinyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu
tidak tertentu. Selanjutnya, pada pasal 59 dinyatakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya
dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya
akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara
sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama
dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap.
Waktu Kerja
Terkait dengan waktu kerja, pada pasal 76 dinyatakan adanya larangan mempekerjakan
pekerja perempuan di bawah 18 tahun dan pekerja perempuan hamil pada malam hari (Pukul
23.00 7.00). Selanjutnya pada pasal 77 dinyatakan kewajiban perusahaan untuk melaksanakan
ketentuan waktu kerja 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk
6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat
puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
REKOMENDASI
Dari kajian mengenai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
maka tulisan ini merekomendasikan beberapa poin rekomendasi dalam rangka menyeimbangkan
antara tujuan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja, sebagai berikut:
Substansi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan rekruitmen, PHK,
upah minimum, perlindungan kerja dan waktu kerja, dengan tetap memperhatikan jaminan
keberadaan upah dan perlindungan kerja yang layak, serta struktur pasar kerja di Indonesia,
perlu ditinjau ulang dalam konteks keseimbangan perlindungan tenaga kerja dan perluasan
kesempatan kerja. Terkait dengan struktur pasar kerja di Indonesia, yang harus diperhatikan
adalah karakteristik pasar kerja yang surplus tenaga kerja, lapangan kerja sektor informal yang
sangat besar, banyaknya pekerja berada dalam kondisi setengah menganggur, rendahnya
kualitas tenaga kerja. Data tahun 2005 menunjukkan 70,06 persen tenaga kerja berada pada
sektor informal, 31,22 persen yang bekerja berada dalam kondisi setengah menganggur, 60,0
persen berpendidikan SD. Hal ini menunjukkan besarnya proporsi pekerja kelompok marjinal,
yang berdasarkan pengalaman negara-negara dalam penerapan pasar kerja fleksibel
merupakan kelompok yang paling rentan terkena dampak degradasi pasar kerja fleksibel.
UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang telah dikeluarkan
pemerintah pada dasarnya telah mengacu pada kebijakan perlindungan tenaga kerja yang lebih
komprehensif. Namun demikian, implementasi UU tersebut belum berlaku efektif dalam
menjamin pemerataan jaminan sosial.
PP No. 31 Tahun 2006 Tentang sistem Pelatihan Kerja Nasional perlu segera diefektifkan
dalam kerangka meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui berbagai pelatihan-pelatihan kerja.
Sebagai dampak era otonomi daerah, Departemen Tenaga Kerja sebagai instansi yang memiliki
kewenangan utama dalam pelatihan tenaga kerja ini telah kehilangan kendali dalam
mengarahkan kebijakan pelatihan-pelatihan tenaga kerja di daerah. Balai Latihan Kerja (BLK)
sebagai salah satu pusat pelatihan, di banyak daerah pada saat ini berada dalam kondisi mati
suri.
Perlunya peningkatan peran pemerintah dalam memfasilitasi dialog, komunikasi, dan
negosiasi untuk mendorong hubungan yang baik antara pengusaha dengan pekerja seperti.
Perlunya meningkatkan aksesibilitas pencari kerja pada informasi pasar kerja. PP No. 15
Tahun 2007 telah mengatur tentang tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan
penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja. Namun demikian, dalam PP tersebut
belum terlihat secara tegas upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas
pencari kerja.
Perlunya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia aparat yang terkait dengan proses
pengawasan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Peningkatan kualitas
sumberdaya manusia aparat dalam pengawasan bertujuan untuk mencegah terjadinya praktekpraktek penyelewengan peraturan-peraturan yang dapat merugikan buruh. Di sisi lain,
peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparat dalam penyelesaian perselisihan hubungan
industrial diperlukan dalam rangka meningkatkan kepastian hubungan industrial dan dapat
menekan biaya tinggi yang selama ini dialami baik oleh pengusaha maupun pekerja.
.
Latihan Kerja
Latihan kerja merupakan proses pengembangan keahlian dan keterampilan kerja yang
langsung dikaitkan dengan pekerjaan dan persyaratan kerja. Dengan kata lain, latihan kerja
berkaitan dengan pengembangan profesionalisme tenaga kerja. Dalam kaitannya dengan
peningkatan mutu kerja, latihan kerja dapat berfungsi sebagai suplemen ataupun komplemen
dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan keterampilan yang dipelajari selama magang
pada suatu perusahaan.
c.
F.
pemerintah dapat meminta pemotongan bea masuk dan pembebasan atas berbagai pengenaan
bea masuk bukan ad-valorem oleh negara-negara maju, dengan dampak yang kecil bagi
kebijakan proteksi Indonesia sendiri.
3.
a.
b.