Anda di halaman 1dari 34

TEORI DASAR KEPEMIMPINAN

Pendekatan-pendekatan

untuk

mempelajari

dan

meneliti

masalah

kepemimpinan telah lama dilakukan orang, para pakar ilmu-ilmu sosial telah
berusaha merumuskan teori-teori kepemimpinan berdasarkan hasil penelitian
lapangan yang tentu tidak lepas dari konteks budaya masyarakat dan bangsanya
sendiri.
Kepemimpinan

dapat

dirumuskan

sebagai

inti

manajemen,

sedangkan

manajemen adalah inti administrasi. Hubungan dan persamaanya dapat terungkap


dari kalimat pertanyaan tersebut, namun agak sulit untuk membedakan istilah
pemimpin, manajer dan administrator; walapun ketiga istilah itu tidak identik, namun
hubungan dan persamaannya tampak jelas. Oleh karena itu yang dimaksud
kepemimpinan dalam konteks ini adalah kepemimpinan administratif - manajerial,
dalam

kepustakaan

dikenal

dengan

sebutkan

kepemimpinan

manajerial,

kepemimpinan administratif atau kepemimpinan organisasional.


Bermacam-macam rumusan pengertian kepemimpinan yang jumlahnya hampir
sebanyak jumlah orang yang telah berusaha mendefinisikannya, namun demikian
banyak kesamaannya, sehingga memungkinkan adanya klasifikasi.
Marat (1982 : 8 18) mengemukakan klasifikasi definisi kepemimpinan yang
disadur

dari

buku HAND

BOOK

OF

LEADERSHIP,

karangan R.M

Stogdill sebagai berikut:

Kepemimpinan sebagai fokus proses-proses kelompok.

Kepemimpinan sebagai suatu kepribadian dan akibatnya.

Kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi orang lain.

Kepemimpinan sebagai penggunaan pengaruh.

Kepemimpinan sebagai tindakan atau tingkah laku.

Kepemimpinan sebagai bentuk persuasi.

Kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan.

Kepemimpinan sebagai alat mencapai tujuan.

Kepemimpinan sebagai akibat dari interaksi.

Kepemimpinan sebagai perbedaan peran.

Kepemimpinan sebagai inisiasi struktur.


Pengelompokkan pengertian kepemimpinan sebagaimana tersebut diatas,
menunjukkan bagaimana sudut pandang seorang pakar dalam menpersepsikan
seorang pemimpin. Mereka yang memandang kepemimpinan sebagai pusat dari
perubahan,

aktifitas

dan

proses

kelompok.

Mereka

yang

menganggap

kepemimpinan sebagai suatu kepribadian, mencoba menerangkan mengapa


beberapa individu lebih mampu mempraktekkan kepemimpinan daripada individu
yang lain. Mereka mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni untuk mempengaruhi
orang lain, menganggap bahwa pemimpin mempunyai satu kelebihan, sehingga
dapat

mempengaruhi

orang

lain

agar

berperilaku

sesuai

dengan

yang

diharapkannya. Mereka menganggap bahwa kepemimpinan itu sebagai pemaksa


atau pendesakan secara tidak langsung. Sedangkan mereka yang memandang
kepemimpinan sebagai penggunaan pengaruh, menganggap bahwa pemimpin salah
seorang yang menggunakan pengaruh positifnya untuk menggerakkan orang lain
agar dapat bekerjasama dalam pencapaian tujuan kelompok.
Mereka mendefinisikan kepemimpinan sebagai tindakan atau tingkah laku,
menganggap bahwa karena adanya prilaku pemimpin maka muncullah tindakan
orang lain yang searah dengan keinginannya. Tingkah laku kepemimpinan biasanya
diartikan

sebagai

suatu

tindakan

dimana

pemimpin

mengarahkan

dan

mengkoordinasi aktifitas kelompok.


Mereka yang menganggap kepemimpinan sebagai bentuk persuasi, berusaha
untuk menghilangkan adanya kesan paksaan. Pimpinan adalah faktor yang sangat
menentukan dalam hubungan dengan para pengikutnya.
Kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan memandang kekuasaan sebagai
suatu bentuk dari hubungan saling pengaruh-mempengaruhi. Pemimpin cenderung
mentransformasikan leadership opportunity ke dalam hubungan kekuasaan yang
terbuka.
Mereka yang menganggap kepemimpinan sebagai alat untuk mencapai tujuan,
memandang bahwa kepemimpinan itu mempunyai instrumental. Kepemimpinan
menghasilkan peran-peran tertentu yang harus dimainkan dan dapat dipersatukan
kelompok dalam rangka mencapai tujuan bersama. Jadi kepemimpinan diartikan
sebagai suatu fungsi yang sangat penting dalam suatu kelompok.
Mereka yang memandang kepemimpinan sebagai akibat dari interaksi,
menganggap bahwa kepemimpinan tumbuh dan berkembang sebagai hasil proses
interaksi yang berlangsung dengan sendirinya. Kepemimpinan dapat terjadi bila
dikehendaki dan dipandang perlu oleh para anggota kelompok.
Berdasarkan klasifikasi konsep kepemimpinan diatas, dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang terkandung dalam kepemimpinan adalah :
1. Adanya seorang yang disebut pemimpin.
2. Adanya kelompok yang dipimpin.

3. Adanya suatu tujuan atau sasaran.


4. Adanya aktifitas.
5. Adanya interaksi.
6. Adanya kekuasaan.
Marat (1982 : 37) menyebutkan faktor-faktor diatas sebagai variabel-variabel
kepemimpinan yakni : posisi, objek, arah, peranan, hubungan, dan power.
Teori-teori kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi enam teori, yaitu:
1. Teori orang-orang terkemuka.
2. Teori lingkungan
3. Teori situasi personal
4. Teori interaksi harapan
5. Teori humanistik
6. Teori pertukaran
ad.1 Teori Kelompok Orang-Orang Terkemuka
Teori ini disusun berdasarkan cara induktif dengan mempelajari sifat-sifat yang
menonjol dari pimpinan atas keberhasilan tugas yang dijalankan, terutama
kemampuan untuk memimpin, diasumsikan bahwa pemimpin-pemimpin yang
berhasil memainkan peranan yang memiliki sifat-sifat unik dan kualifikasinya adalah
superior. Teori ini disebut juga dengan teori serba sifat.
Ad.2. Teori Lingkungan
Teori ini menganggap bahwa kepemimpinan didapatkan terutama karena faktor
lingkungan sosial yang merupakan tantangan untuk dapat diatasi. Selain itu seorang
pemimpin tergantung pada zaman dimana ia hidup untuk menyelesaikan masalahmasalah relevan dengan situasi dewasa ini. Situasi lingkungan sosial merangsang
agar pemimpin melakukan kegiatan-kegiatan yang relevan dengan problemaproblema yang ada pada waktu tertentu, sehingga menghasilkan tipe kepemimpinan
tertentu misalnya : pada masa perang, krisis, reformasi, globalisasi, akan muncul
kepemimpinan yang relevan pada saat itu.
Ad.3. Teori Situasi Personal
Teori ini menganggap individu memiliki kemampuan-kemampuan tertentu seperti
kemampuan, sikap dan tingkah laku yang dapat mengoperasikan aktivitasnya
berdasarkan kondisi saat itu. Oleh karenanya masalah kepemimpinan ditentukan
juga oleh kepribadian pemimpinnya, kelompok yang dipimpin, kejadian-kejadian

yang timbul saat itu. Interaksi antara pemimpin dengan situasinya membentuk tipetipe kepemimpinan tertentu.
ad.4. Teori Interaksi Harapan
Teori ini dikemukakan berdasarkan tiga variable, yaitu : aktivitas, interaksi, dan
sentiment. Struktur interaksi akan menentukan arah aktivitas, sehingga pemimpin
harus dapat menciptakan suatu struktur interaksi dimana struktur ini merupakan
stimulasi terciptanya suatu suasana yang relevan dengan harapan-harapan dari
masyarakat.
ad.5. Teori Humanistik
Teori ini menyatakan bahwa fungsi kepemimpinan adalah mengatur kebebasan
individu untuk dapat merealisasikan motivasi rakyatnya agar dapat bersama-sama
mencapai tujuan. Yang terpenting dalam teori ini adalah unsur organisasi yang baik
dan dapat memperhatikan kebutuhan anggotanya.
ad. 6. Teori Pertukaran
Teori ini menganggap bahwa interaksi sosial akan menghasilkan bentuk perubahanperubahan dimana para pengikutnya akan berpartisipasi aktif. Pemimpin dan
kepemimpinan

banyak

diharapkan

mengadakan

interaksi

untuk

menunjang

keberhasilan dari kepemimpinanya sehingga para anggotnya merasa dihargai dan


adanya kepuasan serta penghargaan terhadap pimpinan. Dengan demikian akan
terjalin suatu keseimbangan yang positif untuk adanya kebersamaan persepsi
terhadap tujuan yang akan dicapai, sehingga pengikut maupun pimpinan secara
bersama-sama merasakan kepuasan dalam mencapai harapan-harapannya.
Keenam teori kepemimpinan diatas dapat dirangkum menjadi tiga teori atau
pendekatan utama, yaitu:
1) Pendekatan sifat-sifat kepribadian pemimpin
2) Pendekatan prilaku pemimpin dalam kelompok atau organisasi
3) Pendekatan kontingensi atau situasional
Ad.1. Pendekatan Sifat-Sifat Kepribadian
Studi tentang kepemimpinan yang dipusatkan pada identifikasi sifat-sifat
kepribadian yang sekiranya dapat membedakan pemimpin dan bukan pimpinan,
telah lama dilakukan orang. Pertanyaan penting harus dicari jawabannya dalam
pendekatan ini ialah sifat-sifat apakah yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin,
sehingga dapat dibedakan dengan yang bukan pemimpin. Pendekatan ini

menyarankan bahwa terdapat sifat-sifat atau keramahan yang esensial bagi


kepemimpinan yang efektif. Sifat-sifat pribadi yang tak terpisahkan ini seperti
intelegensi, yang dianggap bisa dialihkan dari situasi yang lain. Karena tidak semua
orang memiliki sifat-sifat ini, maka hanya merekalah yang memilikinya bisa
dipertimbangkan untuk menempati kedudukan-kedudukan kepemimpinan.
Namun kelemahan pendekatan ini ialah sulit untuk mendapatkan generalisasi
sifat-sifat kepemimpinan yang dapat ditemui padaorang lain. Namun demikian
ternyata terdapat pula sifat-sifat kepribadian pemimpin yang dianggap berhasil itu
yang saling bertentangan. Misalnya : ramah tapi tegas, suka merenung tetapi aktif,
stabil tapi fleksibel, keras hati tapi kooperatif.
Pendekatan ini sering disebut orang-orang besar yang menyatakan bahwa
pemimpin besar yang terkenal. Namun demikian dapat diakui bahwa tidak semua
sifat kepemimpinan itu dilahirkan. Sebagian dapat dicapai melalui pendidikan.
Stogdill yang mempelajari 124 studi kepemimpinan, menarik kesimpulan
bahwa :Seseorang tidak menjadi pemimpin dikarenakan memiliki kombinasi sifatsifat kepribadiaan, tetapi pola-pola sifat pribadi pemimpin itu mesti menunjukkan
hubungan tertentu dengan sifat kegiatan dan tujuan dari para pengikutnya.
Walau pendekatan ini banyak mendapat kritikan dan sulit untuk diterapkan dalam
setiap situasi organisasi, namun dapat diakui bahwa pendekatan ini telah
meletakkan dasar untuk munculnya pendekatan lain, seperti pendekatan yang
berpusat pada prilaku pemimpin dalam interaksinya dengan orang lain pada
kelompok atau organisasi.
Ad. 2. Pendekatan Keprilakuan
Pendekatan keprilakuan memandang bahwa kepemimpinan dapat dipelajari dari
pola tingkah laku, dan bukan dari sifat-sifat pemimpin. Studi ini melihat dan
mengidentifikasi prilaku yang khas dari pemimpin dalam kegiatannya untuk
mempengaruhi anggota-anggota kelompok atau pengikutnya. Prilaku pemimpin ini
dapat berorientasi pada tugas keorganisasian ataupun pada hubungan dengan
anggota kelompoknya. Pendekatan ini menitik beratkan pandangannya pada dua
aspek prilaku kepemimpinan, yaitu Fungsi dan Gaya Kepemimpinan (Stoner,
1982 : 472)
Gaya kepemimpinan dapat dikategorikan sebagai gaya yang berorientasi pada
hubungan dengan bawahannya. Dengan istilah Gaya(Style) dimaksudkan suatu
cara berprilaku yang khas dari seorang pemimpin terhadap para anggotanya. Jadi

apa yang dipilih pemimpin untuk dikerjakan, kapan ia mengerjakannya, bagaimana


caranya ia bertindak akan membantu gaya kepemimpinannya.
Terdapat lima gaya kepemimpinan yang merupakan kombinasi antara dimensi
produksi

dan

dimensi

orang.

Gaya

kepemimpinan

pertama

disebut

IMPROVERISHED, artinya : pemimpin menggunakan usaha yang paling sedikit


untuk

menyelesaikan

tugas

tertentu,

dan

hal

ini

dianggap

cukup

untuk

mempertahankan organisasi. Gaya kepemimpinan yang kedua disebut COUNTRY


CLUB. Artinya kepemimpinan yang berdasarkan pada hubungan informal antara
individu, keramah-tamahan dan kegembiraan. Tekanan terletak pada pengarahan
kepada hubungan kemanusian secara maksimal. Gaya kepemimpinan ketiga adalah
TASK, artinya pemimpin memandang efisiensi kerja sebagai faktor utama untuk
keberhasilan organisasi. Yang ditekankan disini ialah penampilan individu dalam
organisasi.
Gaya yang keempat disebut MIDDLE OF THE ROAD artinya tengah-tengah.
Yang menjadi tekanan pada gaya ini ialah pada keseimbangan ynag optimal antara
tugas dan hubungan manusiawi. Gaya kepemimpinan yang kelima disebut TEAM
yang berati keberhasilan suatu organisasi tergantung pada hasil kerjasama sejumlah
individu yang penuh pengabdian. Tekanan utama terletak pada kepemimpinan
kelompok yang satu sama lain saling memerlukan. Dasar dari kepemimpinan
kelompok ini adalah kepercayaan dan penghargaan sesama anggota kelompok.
Teori kepemimpinan berdasarkan dinamika kelompok, dikembangkan oleh
Dorwin Cartwrigh dan Alvin Zander. Mereka mengemukakan bahwa tujuan kelompok
dapat digolongkan kedalam dua kategori.
1. Pencapaian tujuan itu sendiri dengan memberikan arah kepada bawahan untuk
mencapai tujuan.
2. Pemeliharaan integritas kelompok itu sendiri dengan memperbaiki hubungan
diantara para anggota kelompok.
Selanjutnya

Rensis

Likert,

mengembangkan

teori

kepemimpinan

yang

berdasarkan pula pada dua dimensi, yaitu: orientasi tugas dan orientasi bawahan,
yang dijabarkan menjadi empat tingkat model efektivitas manajemen berdasarkan
berbedaan orang yang dipimpinnya, yang paling ketat sampai kepada yang paling
longgar atau bergerak dari sistem I menuju sistem IV, menurut teori ini sistem
kepemipinan terdiri dari empat sistem, yaitu:
1. EXPLOITATIVE AUTHORITATIVE
2. BENEVOLENT AUTHORITATIVE

3. CONSULTATIVE
4. PARTICIPATIVE
1. EXPLOITATIVE AUTHORITATIVE
Sistem ini bercirikan tidak ada kepercayaan kepada bawahan. Ancaman dan
hukuman merupakan alat utama untuk memaksa bawahan untuk melakukan
tugasnya dan berkomunikasi satu arah dari atas kebawah, tertutup, formal dan
instruktif.
2. RENEVOLENT AUTHORITATIVE
Sistem ini bercirikan adanya kepercayaan sedikit tetapi kepercayaan itu sifatnya
seperti tuan kepada hamba. Penghargaan digunakan untuk memotivasi bawahan,
tetapi juga hukuman dan ancaman terus dipergunakan sebagai pendorong untuk
melakukan tugas. Komunikasi sedikit terbuka tetapi berdasarkan ketidak percayaan.
3. CONSULTATIVE
Sistem ini bercirikan adanya kepercayaan kepada bawahan tetapi tidak penuh.
Partisipasi dari bawah terbuka untuk level bawah, demikian pula halnya untuk
proses pengambilan keputusan dimana hal yang penting tetapi berada di tangan
pimpinan.

Komunikasi

terbuka

walaupun

masih

ada

pembatasan,

tetapi

kepercayaan sudah merupakan dasar komunikasi.


4. PARTICIPATIVE
Sistem ini merupakan sistem ideal, kepercayaan dari atasan penuh, partisipasi
juga penuh, penghargaan merupakan faktor penting. Percaya kepada diri sendiri dan
kreativitas merupakan unsur pertama. Komunikasi terbuka seluruhnya, hubungan
antara individu informal dan suasana organisasi segar dan sehat.
Ad. 3. Pendekatan Kontigensi
Pendekatan kontigensi dan situasional sebenarnya masih tergolong dalam
pendekatan keprilakuan karena yang disoroti adalah prilaku kepemimpinan dalam
situasi tertentu. Beberapa teori yang tergolong pendekatan ini akan dijelaskan
sebagai berikut.
a) Teori Tannenbuan dan Schmidt
Robbert Tannenbuan dan Warrant A. Schmidt, mengemukakan bermacammacam gaya kepemimpinan yang dapat dilukiskan sebagai suatu kontinuan. Teori ini
merupakan salah satu pendekatan kepemimpinan situasional yang terkenal. Dalam
kontinuan tersebut, pada satu ujung pemimpin yang bersifat otokratis dan pada
ujung yang lain bergaya demokratis. Prilaku pemimpin bergayaotoriter berpusat

pada pemimpin, sedangkan pada ujung yang lain yaitu gaya demokratis berpusat
pada bawahan.
Prilaku pemimpin yang berpusat pada atasan menekankan pada hak dan
kekuasaan atasan dalam pembuatan keputusan. Sedangkan prilaku yang berpusat
pada bawahan menekankan pada kebebasan bawahan untuk memutuskan suatu
masalah didalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh atasan.
Diantara kedua ekstrim ini ada banyak kombinasi kekuasaan yang manajerial
dan kebebasan bawahan yang tersedia bagi pemimpin. Ia memiliki fleksibilitas
sebayak yang ia ingini dalam memilih gaya kepemimpinan yang cocok untuk
digunakan dalam situasi tertentu.
Ada tujuh model gaya pembuatan keputusan yang dilakukan pemimpin. Ketujuh
model ini masih dalam kerangka dua gaya otokratis dan demokratis diatas.
Ketujuh model pengambilan keputusan pimpinan diantara lain:
1) Pemimpin membuat keputusan dan kemudian mengumumkan kepada bawahannya.
Model ini terlihat bahwa otoritas yang digunakan atasan terlalu banyak sedangkan
daerah kebebasan bawahan sempit sekali.
2) Pemimpin menjual keputusan. Dalam hal ini pemimpin terlihat masih banyak
menggunakan otoritas yang ada padanya sehingga sama dengan yang model
pertama. Bawahan disini masih belum banyak terlibat dalam pembuatan keputusan.
3)

Pemimpin memberikan pemikiran-pemikiran atau ide-ide dan mengundang


pertanyaan-pertanyaan. Dalam model ini pemimpin sudah menunjuk kemajuan.
Dibatasinya penggunaan otoritasnya dan bawahan diberikan kesempatan untuk
mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Bawahan sudah sedikit terlibat dalam rangka
pembuatan keputusan.

4) Pemimpin memberi keputusan yang bersifat sementara, yang memungkinkan dapat


berubah. Bawahan sudah mulai banyak terlibat dalam rangka pembuatan
keputusan, sementara otoritas pimpinan sudah mulai dikurangi penggunaanya.
5)

Pemimpin memberikan persoalan, meminta saran-saran dan membuat keputusan.


Model ini sudah jelas, otoritas pimpinan digunakan sedikit mungkin. Sebaliknya
kebebasan bawahan dalam partisipasi membuat keputusan sudah banyak
dipergunakan.

6) Pemimpin merumuskan batas-batasnya dalam meminta kelompok bawahan


membuat keputusan. Patisipasi bawahan dalam kesempatan ini lebih besar
dibandingkan dengan model kelima diatas.

7) Pemimpin mengijinkan bawahan melakukan fungsi-fungsinya dalam batas-batas


yang telah dirumuskan oleh pimpinan. Model ini terletak pada titik ekstrim
penggunaan otoritas pada model nomor satu (1) diatas.
Untuk memilih gaya kepemimpinan yang paling efektif bagi suatu situasi
tertentu, mereka menyarankan bahwa pemimpin harus mempertimbangkan tiga
variabel, yaitu:
1. Kekuatan-kekuatan dalam dirinya.
2. Kekuatan-kekuatan para bawahan.
3. Kekuatan-kekuatan dalam situasi.
Pendekatan kepemimpinan yang disarankan menekankan fleksibilitas dan
meniadakan pandangan yang salah, bahwa hanya satu cara memimpin yang paling
baik.
b) Model Kepemimpinan Kontigensi
Fiedler dan Chemers mengembangkan teori kepemimpinan yang disebut model
kepemimpinan kontigensi. Menurut pendekatan ini, ada tiga faktor atau variabel
yang menentukan apakah suatu situasi FAVORABLE bagi pemimpin, yaitu :
1. Hubungan antara Pemimpin dengan yang Dipimpin, merupakan variabel terpenting
sebab akan menentukan kekuasaan dan pengaruh pemimpin itu. Otoritas pemimpin
tergantung pada diterima atau tidaknya pemimpin itu oleh anggota kelompokknya.
Apabila karena kepribadiannya pemimpin itu disenangi oleh anggotanya, pemimpin
tersebut tidak begitu memerlukan sokongan dari organisasi melalui struktur tugas
atau kekusaan karena kedudukan (Positioning Power).
2. Struktur Tugas
Yaitu sejauh mana tugas-tugas diperinci. Ini sejauhmana pemimpin dapat
memberikan instruksi dan mengadakan pembinaan terhadap anggota stafnya. Makin
terinci tugas tersebut, makin besar dukungan organisasi kepada pemimpin itu
karena ia makin sukar ditantang.
Pada tugas yang tidak berstruktur pemimpin harus mengetahui masalahnya labih
banyak dibanding dengan anggota stafnya.
3. Kekusaan Kedudukan
Yaitu kekuasaan yang dimiliki pemimpin karena kedudukannya. Kombinasinya
menghasilkan delapan kepemimpinan.
c) Teori Kepemimpinan Tiga Dimensi

William J. Reddin (1970) mengemukakan teori tiga dimensi, yaitu : penambahan


komponen efektifitas pada dua dimensi kepemimpinan yang sudah ada (prilaku
tugas dan prilaku hubungan). Teori ini menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang
efektif hanya dapat dipahami dalam konteks situasi kepemimpinan. Maksudnya ialah
setiap gaya dari keempat gaya dasar kepemipinan dapat efektif atau tidak efektif
tergantung pada situasi. Empat gaya dasar ini akan menjadi delapan gaya
kepemimpinan. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Gaya Dasar INTEGRATED
(Tugas tinggi dan hubungan tinggi). Akan menjadi gayaEXECUTIVE bila
diekspresikan dalam situasi yang efektif. Tandanya ialah memenuhi kebutuhan
kelompok dalam menetapkan tujuan dan bagaimana mencapainya, tetapi juga
sangat memperhatikan hubungan dalam kelompok. Kelompok menjadi kohesif dan
bekerja keras. Bila tidak efektif, maka akan menjadi gaya COMPROMISER yang
ditandai dengan selalu memecahkan masalah dengan mengadakan kompromi
antara tugas dan hubungan sehingga tidak berorientasi pada hasil yang akan
dicapai.
2. Gaya Dasar RELATED
(Hubungan tinggi dan tugas rendah). Bila efektif akan menjadi gaya
DEVELOPER. Yakni
kemudahan

untuk

percaya

kepdaa anggota staf-nya

berkembang

pada

anggota

staf-nya

dan memberikan
dan

memberikan

kemudahanuntuk berkembang pada anggotas staf-nya dalam usaha mencapai


tujuan organisasi. Apabila tidak efektif akan menjadi gaya MISSIONARI, yaitu
hanya

tertarik

pada

adanya

harmoni

dan

kadang-kadang

tidak

bersedia

mengorbankan hubungan meskipun tujuan tidak tercapai.


3. Gaya Dasar SEPARATED
(Hubungan rendah dan tugas rendah). Bila efektif akan menjadi gaya
BUREUCRAT, yakni mendelegasikan wewenang pada bawahan untuk mengambil
keputusan tentang apa yang perlu dikerjakan. Bila tidak efektif akan menjadi gaya
DISERTER, Yakni tidak memberikan struktur yang jelas dan dukungan moral pada
waktu diperlukan.
4. Gaya Dasar DEDICATED
(Tugas tinggi dan hubungan rendah). Bila efektif akan menjadi gaya
BENEVOLENT AUTOCRAT, yakni mempunyai tata kerja yang sangat berstruktur
tapi jelas untuk anggota-anggota staf-nya. Bila tidak efektif akan menjadi gaya

AUTOCRAT, yakni semua kebijakan ditetapkan sendiri tanpa memperdulikan


anggota staf.
d) Model Jalur Tujuan
Teori

ini

penting

karena

merupakan

satu-satunya

yang

menekankan

kepemimpinan dari pandangan para pengikut dan bagaimana prilaku pemimpin


dilihat dari persepsi dan perasan mereka. Model ini menggunakan kerangka teori
motivasi kerja disatu pihak, dan dilain pihak berhubungan dengan kekuasaan.
Martin Evans dan Robert House secara terpisah menulis karangan dalam pokok
yang sama Path-Goal Theory of Leadership (1968 dan 1971) dan merekalah yang
mengembangkan teori ini secara modern. Pada prinsipnya teori ini berusaha untuk
menjelaskan pengaruh prilaku pemimpin terhadap motivasi, kepuasan, dan
penampilan kerja bawahannya. Teori ini dinamakan jalur-tujuan, karena dipusatkan
pada cara pemimpin mempengaruhi persepsi anggotanya tentang tujuan pekerjaan,
tujuan pengembangan diri sendiri, dan jalur untuk mencapai tujuan tersebut.
Dasar model jalur-tujuan adalah teori motivasi harapan. Secara singkat teori
harapan menyatakan bahwa sikap orang, kepuasan kerja, prilaku dan usahanya
dalam pekerjaan dapat diramalkan dari : (1) Sampai seberapa jauh pekerjaan atau
prilaku itu dilihat dapat menghasilkan berbagai macam perolehan (harapan), dan (2)
Kesenangan akan perolehan ini (valensi). Jadi, teori ini menyatakan bahwa orang
akan merasa puas dengan pekerjaannya jika ia berpendapat bahwa pekerjaan itu
akan menghasilkan perolehan yang diinginkan. Implikasi dari asumsi ini bagi
kepemimpinan adalah bahwa bawahan dimotivasi oleh gaya pemimpin atau
prilakunya sejauh gaya itu mempengaruhi harapan (jalan menuju tujuan) dan valensi
atau daya tarik tujuan (Gibson, Ivancevich, Donnelly, 1984 : 301)
Pemimpin akan bekerja efektif dengan memberikan imbalan yang tersedia bagi
bawahan dan menguntungkan imbalan ini terhadap pencapaian bawahan akan
tujuan tertentu. Bagian yang paling penting dari pekerjaan pemimpin ialah
menjelaskan kepada bawahan tentang prilaku apa yang paling mungkin dapat
mencapai tujuan. Kegiatan ini disebut penjelasan jalur.
Teori jalur-tujuan ini bergantung pada tiga konsep utama, yaitu : (1) valensi, (2)
ekspektansi, dan (3) instrumentalitas (Evans, 1968). Kemudian ditambah lagi dua
faktor, yakni peranan manajer dan bawahan serta situasi, sehingga teori ini disebut
juga sebagai teori lima dimensi.
Cribbin (1982 : 21- 22) mengemukakan teori lima dimensi ini sebagai berikut:

(1)

Valensi (valence). Manusia cukup logis berfikir mereka hanya akan melakukan
sesuatu dengan baik jika dengan perbuatannya itu mereka akan memperoleh
imbalan yang bermutu. Karena itu, imbalan dan insentif yang diberikan oleh
pemimpin harus menarik bagi mereka.

(2) Harapan (expectancy). Manusia karena cukup main siasat. Mereka secara subjektif
memperkirakan kemampuannya untuk berprestasi sebagaimana yang diharuskan
dan memperkirakan kemungkinan bahwa mereka akan menerima hasil yang mereka
hargai jika mereka berprestasi dengan baik.
(3)

Alat Perangsang (instrumentality). Imbalan berprestasi tinggi bukan merupakan


tujuan satu-satunya. Orang melihat imbalan seperti kenaikan gaji atau kenaikan
pangkat sebagai cara untuk mencapai tujuan yang lebih penting, misalnya gaya
hidup yang lebih baik atau pendidikan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Jadi, hasil
pada tingkat pertama merupakan alat bantu untuk mencapai tujuan pada tingkat
kedua.

(4)

Peranan Manajer. Merupakan dimensi keempat dalam teori ini. Pemimpin


menggunakan empat tipe atau gaya perilaku yang tergantung pada situasi, yakni
prilaku instrumental atau direktif, prilaku suportif, prilaku partisipatif, dan prilaku yang
berorientasikan prestasi. Prilaku instrumental meliputi organisasi arus kerja, menjaga
supaya bawahan tahu apa yang diharapkan dari mereka. Prilaku suportif atau
konsiderasi

meliputi

pembentukan

suasana

yang

hangat

dan

membantu,

menyingirkan halangan-halangan terhadap pelaksanaan kerja dan memudahkan


bawahan untuk berkarya. Prilaku partisifatif mencakup konsultasi dengan bawahan,
memberitahu mereka berbagai perkembangan, memberikan umpan balik, dan
menggunakan

pendekatan

kelompok

terhadap

pemecahan

masalah

dan

pengambilan keputusan jika sesuai. Sedangkan prilaku yang berorientasi prestasi


menentukan sasaran yang memberikan tantangan dan yang berarti seraya percaya
pada kemampuan bawahan untuk mencapainya.
(5)

Bawahan dan situasi. Merupakan dimensi kelima. Terdapat banyak jalan kecil
(jalur) yang dapat ditempuh untuk mencapai prestasi dan kepuasan karyawan.
Tugas yang sangat berstruktur yang kecepatannya ditentukan oleh mesin dan
bersifat selalu kurang sama dan dapat membosankan, memerlukan prilaku-prilaku
yang ramah, interaktif dan menyokong secara sosial, misalnya pujian, interaksi,
keramahtamahan, bahkan kelakar yang mengurangi ketegangan. Sebaliknya, tugas
yang berlebihan atau mengandung resiko tinggi memerlukan pendekatan yang lebih
bersifat mengarahkan.

Tipe-tipe prilaku atau gaya kepemimpinan seperti yang telah disebutkan itu dapat
terjadi dan dipergunakan senyatanya oleh pemimpin yang sama dalam situasi yang
berbeda.Proposisi dari teori lajur tujuan ini adalah :
(1) Prilaku pemimpin dapat diterima dan memuaskan sejauh bawahan menganggap
prilaku semacam itu merupakan sumber langsung dari kepuasan atau sebagai alat
untuk mendapatkan kepuasan di waktu yang akan datang.
(2) Prilaku pemimpin dapat memotivasi bawahan sampai sejauh prilaku itu memuaskan
kebutuhan bawahan yang digantungkan pada hasil karya yang efektif dan prilaku
tersebut melengkapi lingkungan bawahan dengan memberikan bimbingan, kejelasan
pengarahan, dan imbalan yang perlu bagi hasil karya yang efektif.
Dua jenis variabel situasional atau kontingensi, yaitu : (1) Karakteristik personal
bawahan, dan (2) Tekanan serta tuntutan lingkungan yang harus dihadapi bawahan
agar dapat mencapai tujuan pekerjaan dan kepuasan.
Suatu penelitian menemukan bahwa apabila struktur tugas (pekerjaan yang
berulang-ulang atau yang rutin) itu tinggi, maka prilaku pemimpin yang direktif itu
mempunyai hubungan yang negatif dengan kepuasan; apabila struktur tugas itu
rendah, maka prilaku pemimpin yang direktif mempunyai hubungan yang positif
dengan kepuasan. Demikian juga apabila struktur tugas itu tinggi, maka
kepemipinan yang suportif mempunyai hubungan yang positif dengan kepuasan,
sedangkan pada struktur tugas yang rendah tidak ada sesuatu hubungan antara
prilaku pemimpin yang suportif dengan kepuasan (Gibson, 1984 : 303).
e) Model Kepemimpinan dari Vroom dan Yetton
Vroom

dan

memusatkan

Yetton

(1977)

perhatiannya

mengemukakan

pada

cara

model

pengambilan

kepemimpinan
keputusan

dan

yang
cara

pelaksanaannya. Mereka telah mengembangkan model pengambilan keputusan


kepemimpinan yang menunjukkan macam-macam situasi dimana berbagai macam
tingkat pengambilan keputusan yang partisipatif dapat cocok. Berbeda dengan
Fiedler, mereka berusaha memberikan model normatif yang dapat digunakan oleh
pemimpin dalam pengambilan keputusan. Mereka mengasumsikan bahwa tidak ada
gaya ideal dan cocok bagi setiap situasi. Pemimpin harus cukup fleksibel untuk
merubah gaya kepemimpinan supaya cocok dengan situasi. Fiedler berpendirian
bahwa situasilah yang harus dirubah supaya cocok dengan gaya kepemimpinan
yanag cukup keras dan sukar dirubah.

Cribbin

(1982

24)

mengemukakan

kriteria

pengambilan

keputusan

kepemimpinan sebagaiman yang dirumuskan oleh Vroom dan Yetton dalam bentuk
pertanyaan, yaitu : (1) apakah ada persyaratan mutu ? (2) Apakah masalah itu
berstruktur ? (3) apa saya cukup mempunyai infomasi? (4) apakah penerimaan oleh
bawahan penting ? (5) jika saya mengambil keputusan, apakah saya cukup yakin
bahwa bawahan akan menerimanya ? (6) apakah bawahan ikut mencapai tujuan
organisasi dalam memecahkan masalah? (7) apa ada kemungkinan terjadi
perselisihan mengenai penyelesaian yang lebih disukai.
Dalam menggunakan kriteria ini, ada tiga strategi bagi manajer. Strategi otokratis
menyangkut pemecahan masalah oleh manajer sendiri dengan mempergunakan
informasi apapun yang tersedia, atau mendapatkan data tertentu dari orang-orang
sebelum

mengambil

keputusan.

Strategi konsultatif menyangkut

pembebanan

masalah itu kepada orang-orang yang relevan dan mengumpulkan usul-usul dan
gagasan mereka sebelum mengambil keputusan atau menggunakan cara
berkonsultasi dalam lingkungan kelompok. Akhirnya, proseskelompok menyangkut
fungsi kasalitator sehingga kelompok mencapai konsensus. Ada dua syarat sebagai
pelengkap ketujuh kriteria tersebut diatas. Jika faktor waktu penting sekali, maka
pendekatan yang paling otokratis mungkin paling baik. Ini berlaku untuk keadaan
darurat dan keadaan yang memerlukan efektivitas waktu dipandang dari segi satu
jam kerja untuk satu orang yang disediakan untuk satu proses. Jika pengembangan
bawahan merupakan masalah yang kritis, maka lebih layak dipergunakan
pendekatan partisipatif seperti yang dikatakan oleh Vroom dan Yetton, Manajer
bukan semata-mata otokratis atau partisipatif belaka, tetapi dapat mempergunakan
pendekatan mana saja sebagai jawaban atas tuntutan situasi sesuai dengan
persepsinya.
f) Pendekatan Social Learning dalam Kepemimpinan
Sosial Learning merupakan suatu teori yang dapat memberikan suatu model
yang menjamin kelangsungan interaksi timbal balik antara pemimpin, model yang
menjamin kelangsungan interaksi timbal balik antara pemimpin, lingkungan dan
prilakunya sendiri. Nampaknya teori ini agak komprehensif dan memberikan dasardasar teori yang jelas dalam rangka memahami kepemimpinan. (M. Thoha, 1983 :
48)
Penekanan pendekatan ini ialah terletak pada peranan prilaku kepemimpinan,
kelangsungan dan interaksi timbal balik diantara semua variable yang ada. Dapat
dikatakan bahwa bawahan secara aktif ikut terlibat dalam proses kegiatan organisasi

dan bersama-sama dengan pimpinan memusatkan pada prilakunya sendiri dan


prilaku lainnya, serta memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan lingkungan dan
kognisi-kognisi yang bisa memperantarakan.
Pada prinsipnya pendekatan ini menganggap bahwa :
(1) Pemimpin menjadi lebih mengetahui dengan variabel-variabel mikro dan makro
yang mengendalikan prilakunya.
(2) Pemimpin

bekerja

bersama-sama

dengan

bawahannya

untuk

menentukan

serangkaian prilaku kontigen yang berkepribadiaan dan yang dapat mengatur prilaku
bawahan.
(3) Pemimpin bersama-sama dengan bawahan berusaha menemukan cara-cara yang
dapat dipergunakan untuk mengatur prilaku individu guna menghasilkan hasil-hasil
yang produktif yang lebih bisa menguatkan bersama organisasi.
Dengan demikian, dalam pendekatan social learning ini antara pemimpin dan
bawahan mempunyai kesempatan untuk bisa memusyawarahkan semua perkara
yang timbul. Keduanya mempunyai hubungan interaksi yang hidup dan mempunyai
kesadaran untuk menemukan bagaimana caranya menyempurnakan prilaku masingmasing dengan memberikan penghargaan-penghargaan yang diinginkan.
g)

Teori Kepemimpinan Situsional


Teori kepemimpinan situsional dikembangkan oleh Paul Hersey dan Kenneth H.
Blanchard yang mereka anggap sebagai Life Cycle Theory of Leadership (1977 :
160)
Teori ini merupakan pengembangan yang mutakhir dari teori kepemimpinan dan
merupakan hasil baru dari model keefektifan pemimpin tiga dimensi. Model
kepemimpinan ini didasarkan pada hubungan garis lengkung diantara (1) Kadar
bimbingan dan arahan (prilaku tugas) yang diberikan pemimpin; (2) Kadar dukungan
sosio-emosional (prilaku hubungan) yang disediakan pemimpin; dan (3) level
kesiapan (kamatangan) yang diperlihatkan pengikut dalam pelaksanaan tugas,
fungsi atau tujuan tertentu. Konsep ini dikembangkan untuk membantu orang-orang
yang melakukan proses kepemimpinan, tanpa mempersoalkan peranan mereka,
agar lebih efektif dalam hubungan mereka sehari-hari dengan orang lain. Konsep ini
menjelaskan hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan level
kematangan para pengikut, bagi para pemimpin (Hersey & Blanchard, 1986 : 178)
Walaupun diakui bahwa semua variabel situasi yakni pemimpin, pengikut,
atasan, sejawat, organisasi, desakan pekerjaan dan waktu adalah penting, namun
dalam kepemimpinan situasional penekanan diletakkan pada prilaku pemimpin

dalam hubungannya dengan pengikut. Hubungan ini tidak semata-mata hubungan


vertikal, tetapi juga secara horizontal. Jadi bagaimana peran pemimpin dalam
mempengaruhi prilaku bawahan, atasan, sejawat, teman, peserta didik atau anggota
keluarga.
Dalam teori ini, kematangan diartikan sebagai kemampuan dan kemauan para
pengikut untuk bertanggung jawab dan mengarahkan prilaku mereka sendiri.
Kematangan disini hendaknya diartikan hanya dalam hubungan dengan tugas-tugas
spesifik yang akan dilakukan seseorang. Sebab tidak dapat dikatakan bahwa
seseorang itu sangat matang atau tidak matang dalam arti semua pekerjaan
(menyeluruh). Semua orang cenderung lebih atau kurang matang dalam hubungan
dengan tugas, fungsi atau sasaran spesifik yang diupayakan pemimpin untuk
mereka selesaikan.
Teori kepemimpinan situasional mengatakan bahwa tidak ada satu pun cara
terbaik untuk menpengaruhi prilaku orang lain. Gaya kepemimpinn yang mana yang
harus diterapkan seseorang terhadap orang lain tergantung pada level kematangan
dari orang-orang yang akan dipengaruhi pemimpin.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam

menentukan komponen

kematangan adalah:
(1) Orang yang mempunyai motif berprestasi memiliki karakteristik umum tertentu,
termasuk kemampuan merumuskan dan dapat mencapai tujuan-tujuan yang tinggi,
mempunyai perhatian pada prestasi pribadi.
(2) Berkaitan dengan istilah tanggung jawab yang dapat dilihat dari dua konsep, yaitu :
kemauan (motivasi) dan kemampuan (kompetensi). Kombinasi dari kedua faktor
tersebut adalah : (a) individu yang tidak mampu bertanggung jawab, (b) individu
yang mau tetapi tidak mampu bertanggung jawab, (c) individu yang mampu tetapi
tidak mau bertanggung jawab, dan (d) individu yang mau dan mampu bertanggung
jawab.
(3) Berkaitan dengan pendidikan dan atau pengalaman.
(4) Berkatian dengan kematangan melakukan tugas relevan ini, terdapat dua faktor : (a)
kematangan kerja yaitu kemampuan dan pengetahuan teknis untuk melakukan
tugas, dan (b) kematangan psikologis yaitu suatu perasaan percaya diri dan harga
diri tentang diri sendiri sebagai seorang individu.
(5) Berkaitan dengan variabel-variabel

situasional lain, misalnya gaya atasan

memimpin, komitmen dalam waktu dan hakekat kerja.

Menurut teori kepemimpinana situasional, taraf kematangan para pengikat


secara kontinyu meningkat dalam hal melaksanakan tugas spesifik. Pemimpin
handaknya mulai mengurangi prilaku tugas mereka dan meningkatkan prilaku
hubungan sampai individu atau kelompok mencapai taraf kematangan moderat.
Pada saat seorang atau kelompok bergerak dalam mencapai tingkat rata-rata
kematangan, pemimpin hendaknya mengurangi baik orientasi hubungan maupun
orientasi tugasnya. Keadaan ini berlangsung sampai pengikut mencapai tingkat
kematangan penuh dimana mereka sudah dapat mandiri baik dilihat dari
kematangan kerjanya ataupun kematangan psikologisnya. Pengawasan yang ketat
tidak lagi diperlukan dan pemimpin sudah dapat mendelegasikan wewenangnya
kepada bawahan. Jadi teori ini menekankan pada kesesuaian antara gaya
kepemimpinan dengan tingkat kematangan para pengikut.
Empat gaya kepemimpinan menurut teori ini adalah :
(1) Memberitahukan (Telling). Perilaku pemimpin dengan tugas tinggi dan hubungan
rendah. Gaya ini mempunyai ciri komunikasi satu arah. Pemimpin mengatakan apa,
bagaimana, kapan dan dimana tugas pekerjaan dilakukan. Pemimpin memberikan
intruksi spesifikasi dan mensuvervisi pelaksanaan pekerjaan secara ketat. Gaya ini
sesuai dengan level kematangan yang rendah (M1).
(2) Menjajakan (Selling). Perilaku tugas tinggi dan hubungan tinggi. Gaya ini ditandai
dengan pengarahan yang masih tinggi dari pimpinan, tetapi sudah mengadakan
komunikasi dua arah dengan dukungan sosio-emosional untuk menjajakan
keputusan. Gaya ini sesuai dengan kematangan rendah ke sedang (M2), disini
menjelaskan orang-orang yang tidak mampu tetapi mau memikul tanggung jawab
untuk melaksanakan suatu tugas.
(3) Mengikut sertakan (Participating). Perilaku hubungan tinggi dan tugas rendah.
Pemimpin dan pengikut sama-sama memberikan andil dalam keputusan melalui
komunikasi dua arah. Gaya ini sesuai dengan tingkat kematangan sedang ke tinggi
(M3), disini menjelaskan orang-orang yang mampu tetapi tidak mau melakukan halhal yang diinginkan pemimpin. Ketidak mampuan mereka sering kali karena kurang
yakin atau merasa tidak aman.
(4) Mendelegasikan (Delegating). Perilaku hubungan rendah dan tugas rendah. Gaya
ini melibatkan yang dipimpin untuk melaksanakan tugas mereka sendiri melalui
pendelegasian dan supervisi yang bersifat umum. Sesuai bagi tingkat kematangan
tinggi (M4). Orang-orang yang mampu, dan mau, atau yakin untuk memikul

tanggung jawab. Mereka adalah orang yang matang melakukan tugas dan matang
pula secara psikologis.
Model kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard tersebut telah
mengalami perbaikan dan perubahan yang dilakukan oleh Kenneth Blanchard
bersama Patricia Zigarmi (1985), yang mereka sebut dengan Kepemimpinan
Situasional

II,

2.2. Keempat gaya kepemimpinannya adalah sebagai berikut:


Gaya 1

: Mengarahkan (Directing). Pemeimpin memberikan petunjuk yang spesifik dan


mengawasi secara ketat penyelesaian tugas.

Gaya2 :Melatih (Coasching). Pemimpin terus mengarahkan dan mengawasi secara ketat
penyelesaian tugas, tetapi juga menjelaskan keputusan, meminta saran dan
mendukung kemajuan.
Gaya 3

: Mendukung (Supporting). Pemimpin memberikan fasilitas dan mendukung usaha


bawahan kea rah penyelesaian tugas dan membagi tanggung jawab untuk membuat
keputusan dengan mereka.

Gaya 4 : Mendelegasikan (Delegating). Pemimpin menyerahkan tanggung jawab untuk


mengambil keputusan dan pemecahan masalah kepada bawahan (Blanchard,
Zigarmi, 1986 : 30).
Gaya kepemimpinan adalah bagimana pemimpin berprilaku ketika hendak
mencoba mempengaruhi prestasi para pengikut. Gaya kepemimpinan merupakan
kombinasi antara perilaku direktif dan perilaku suportif. Perilaku direktif meliputi :
mengatakan secara jelas kepada seseorang apa yang dikerjakan, bagimana
mengerjakannya, dimana melakukannya, bilamana mengerjakannya; dan kemudian
mengawasi dengan seksama pelaksanaannya. Sedangkan perilaku suportif
meliputi : mendegarkan orang lain, memberikan dukungan dan semangat atas usaha
mereka, dan kemudian membantu keterlibatan mereka dalam pemecahan persoalan
dalam pengambilan keputusan. Walaupun ada empat gaya kepemimpinan, tetapi
tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang terbaik.
Tingkat kematangan para pengikut, di dalam model Kepemimpinan Situasional II
dikenal dengan sebutan Tingkat Pengembangan yang berupa kombinasi antara
kompetensi dan komitmen. Kompetensi merupakan fungsi dari pengetahuan dan
keterampilan yang dapat diperoleh dari pendidikan, pelatihan dan atau pengalaman.
Komitmen merupakan gabungan antara rasa percaya diri dengan motivasi.

Rasa percaya diri adalah ukuran dari keyakinan diri seseorang, perasaan bahwa
ia mampu melakukan suatu tugas dengan baik tanpa banyak pengawasan.
Sedangkan motivasi adalah minat dan semangat seseorang untuk melakukan tugas
dengan baik.

Definisi Kepemimpinan Dan Macam-Macam


Gaya Kepemimpinan
Definisi Kepimpinan
Kepemimpinan atau leadership merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu social, sebab
prinsip-prinsip dan rumusannya diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi
kesejahteraan manusia. Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh para pakar
menurut sudut pandang masing-masing, definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya
beberapa kesamaan.
Pengertian Kepemimpinan Menurut Para ahli
Menurut Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu
kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan
pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuantujuan yang diinginkan kelompok.
Menurut Young (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu bentuk dominasi
yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang
lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan
memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpnan merupakan
kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok, kemampuan
mengarahkan tingkah laku bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian
khusus dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan
organisasi atau kelompok
Macam-Macam Gaya Kepemimpinan
1. Gaya Kepemimpinan Otoriter / Authoritarian
Adalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil
dari dirinya sendiri secara penuh. Segala pembagian tugas dan tanggung jawab
dipegang oleh si pemimpin yang otoriter tersebut, sedangkan para bawahan hanya
melaksanakan tugas yang telah diberikan.
2. Gaya Kepemimpinan Demokratis / Democratic
Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang
secara luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan
bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin
memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para bawahannya.
3. Gaya Kepemimpinan Bebas / Laissez Faire

Pemimpin jenis ini hanya terlibat delam kuantitas yang kecil di mana para bawahannya
yang secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah yang dihadapi.
EMPAT GAYA KEPEMIMPINAN DARI EMPAT MACAM KEPRIBADIAN
Keempat gaya kepemimpinan berdasarkan kepribadian adalah :
1. Gaya Kepemimpinan Karismatis
2. Gaya Kepemimpinan Diplomatis
3. Gaya Kepemimpinan Otoriter
4. Gaya Kepemimpinan Moralis
GAYA KEPEMIMPINAN KARISMATIS
Kelebihan gaya kepemimpinan karismatis ini adalah mampu menarik orang. Mereka
terpesona dengan cara berbicaranya yang membangkitkan semangat. Biasanya
pemimpin dengan gaya kepribadian ini visionaris. Mereka sangat menyenangi perubahan
dan tantangan.
Mungkin, kelemahan terbesar tipe kepemimpinan model ini bisa di analogikan dengan
peribahasa Tong Kosong Nyaring Bunyinya. Mereka mampu menarik orang untuk datang
kepada mereka. Setelah beberapa lama, orang orang yang datang ini akan kecewa
karena ketidak-konsisten-an. Apa yang diucapkan ternyata tidak dilakukan. Ketika
diminta pertanggungjawabannya, si pemimpin akan memberikan alasan, permintaan
maaf, dan janji.
GAYA KEPEMIPINAN DIPLOMATIS
Kelebihan gaya kepemimpinan diplomatis ini ada di penempatan perspektifnya. Banyak
orang seringkali melihat dari satu sisi, yaitu sisi keuntungan dirinya. Sisanya, melihat dari
sisi keuntungan lawannya. Hanya pemimpin dengan kepribadian putih ini yang bisa
melihat kedua sisi, dengan jelas! Apa yang menguntungkan dirinya, dan juga
menguntungkan lawannya.
Kesabaran dan kepasifan adalah kelemahan pemimpin dengan gaya diplomatis ini.
Umumnya, mereka sangat sabar dan sanggup menerima tekanan. Namun kesabarannya
ini bisa sangat keterlaluan. Mereka bisa menerima perlakuan yang tidak menyengangkan
tersebut, tetapi pengikut-pengikutnya tidak. Dan seringkali hal inilah yang membuat para
pengikutnya meninggalkan si pemimpin.
GAYA KEPEMIMPINAN OTORITER
Kelebihan model kepemimpinan otoriter ini ada di pencapaian prestasinya. Tidak ada
satupun tembok yang mampu menghalangi langkah pemimpin ini. Ketika dia
memutuskan suatu tujuan, itu adalah harga mati, tidak ada alasan, yang ada adalah
hasil. Langkah langkahnya penuh perhitungan dan sistematis.

Dingin dan sedikit kejam adalah kelemahan pemimpin dengan kepribadian merah ini.
Mereka sangat mementingkan tujuan sehingga tidak pernah peduli dengan cara. Makan
atau dimakan adalah prinsip hidupnya.
GAYA KEPEMIMPINAN MORALIS
Kelebihan dari gaya kepemimpinan seperti ini adalah umumnya Mereka hangat dan
sopan kepada semua orang. Mereka memiliki empati yang tinggi terhadap permasalahan
para bawahannya, juga sabar, murah hati Segala bentuk kebajikan ada dalam diri
pemimpin ini. Orang orang yang datang karena kehangatannya terlepas dari segala
kekurangannya.
Kelemahan dari pemimpinan seperti ini adalah emosinya. Rata orang seperti ini sangat
tidak stabil, kadang bisa tampak sedih dan mengerikan, kadang pula bisa sangat
menyenangkan dan bersahabat.
Jika saya menjadi pemimpin, Saya akan lebih memilih gaya kepemimpinan demokratis.
Karena melalui gaya kepemimpinan seperti ini semua permasalahan dapat di selesaikan
dengan kerjasama antara atasan dan bawahan. Sehingga hubungan atasan dan bawahan
bisa terjalin dengan baik.

Tipe atau Macam Kepemimpinan


Oleh Daqoiqul Misbah*
*Mahasiswa UIN Syahid Jakarta
Tipe atau macam kepemimpinan sangatlah unik untuk dibicarakan, karena dari sini kita bisa menelisik lebih
jauh tipe kepemimpinan yang dijalankan oleh seorang pemimpin. Ada banyak sekali tipe kepemimpinan yang
saya sebutkan. Untuk lebih jelasnya simaklah keterangan di bawah ini.

Secara Umum
Secara umum tipe kepemimpinan dapat digolongkan menjadi tipe,yaitu :
a. Tipe Otoriter
Tipe kepemimpinan yang berpusat pada pekerjaan tanpa menghiraukan kepentingan anggota
kelompok sama sekali. Keputusan senantiasa berada ditangan pemimpin, anggota kelompok
cederung dijadikan sebagai alat untuk mengekploitir tujuan kelompok semata, sehingga tipe ini
mempunyai kekuasaan absolute.
b. Tipe Laizess Faire
Tipe Laizess faire ini memberikan kebebasan yang terlalu luas bagi anggota kelompok, sehingga
kelompok seolah-olah tidak mempunyai seorang pemimpin, sehingga anggota kelompok cenderung
memperlihatkan perilaku agresif yang tinggi.
c. Tipe Demokratis
Tipe demokratis merupakan pola kepemimpinan yang sama mementingkan tercapainya tujuan
kelompok seoptimal ,mungkin dengan mengikuti sertakan seluruh partisipasi anggota, daya dan
segenap kemampuan tanggung jawab bersama. Itulah sebabnya ciri utama gaya kepemimpinan ini
adalah pendistribusian wewenang dan tanggung jawab pemimpin pada sejumlah anggota, tanpa
mengurangi partisipasi dan tanggung jawab terhadap kelompok secara keseluruhan.
Tipe Kepemimpinan Menurut Blake dan Mouton
Blake dan Mouton mengemukakan lima tipe pemimpin, yaitu.
1. Tipe Improverished
Merupakan perilaku kepemimpinan dengan segala tindakannya yang kurang berkualitas baik ditinjau
dari segi kerjsamanya dengan anggota kelompok maupun dari segi pencapaian tujuan kelompok itu
sendiri. Kepemimpinan seperti ini dapat disebut sebagai kepemimpinan plinplan.
2. Tipe Ujung tombak Kelompok
Kepemimpinan yang menganggap faktor manusia sebagai robot pekerja tujuan kelompok. Ciri-cirinya
adalah kejam, mengeksplottir anggota kelompok, tidak manusiawi, menstruktur batas waktu kerja tak
terbatas, memberikan sangsi beret terhadap kegagalan dan kelalaian, bertipe hubungan impersonal.
3. Tipe Manusiawi
Merupakan pemimpin yang sangat mementingkan keharmonisan hubungan antar pribadi sesama
anggota dan mengesampingkan tujuan utama kelompok. Cirinya adalah sangat menghargai eksis-

tensi individu sebagai pribadi bersikap lunak, rumah dan penuh kesopanan, penampilan sebagai
manusia (penyayang manusia), rela berkorban demi kepentingan anggota, punya tenggang rasa yang
tinggi.
4. Tipe Team Builder
Tipe ini sangat mementingkan tujuan dan keharmonisan hubungan sosial anggota kelompok. Target
tujuannya harus tercapai dan hubungan sosial tetap terbina, harmonis dan penuh keakraban. Tipe ini
adalah yang paling baik dan tidak perlu disangsikan lagi efektivitasnya, apalagi bila digabungkan
dengan pola pendekatan situasional.

5. Tipe The Middle of the Roader


Tipe ini membuat perilaku perimbangan antara tujuan dan hubungan sosial anggota kelompok.
Keduanya sama dianggap penting dan perlu dicapai secara bersamaan. Tipe ini tidak jauh berbeda
dengan gaya kepemimpinan demokratis kalau tidak boleh dikatakan identik.
Tipe kepemimpinan menurut Sahertian
1. Tipe Nomothetics
Tipe ini, pemimpin sangat menekankan pada persyaratan institusi yang ada dan konformitas
kelakuannay sesuai dengan yang diharapkan. Kalau perlu mengorbankan kepentingan lainnya demi
tujuan institusi yang bersangkutan. Pemimpin seperti ini memegang teguh wewenangnya sebagai
pemimpin dan kalau perlu memaksakan sangsi yang ekstrinsik sifat-sifatnya.
2.Tipe Ideoghraphis
Tipe ini perhatian pemimpin terhadap individu lebih besar dibandingkan dengan tuntutan organisasi.
Wewenangn yang dimiliki oleh pemimpin dilihat sebagai yang didelegasikan dan hubungannya
anggota dijalin dengan orientasi terhadap kebutuhan anggota lain.
3.Tipe Transaksional
Merupakan kombinasi antara gaya kepemimpina di atas. Pemimpin menekankan pentingnya tujuan
institusi dan pada saat yang bersamaan berharap pula kepribadian tidak akan diperkosa dalam usaha
mencapai tujuan tersebut.
Tipe kepepimpinan menurut Max Weber
1.Tipe Kharismatik
Pemimpin diangkat berdasarkan atas suatu kepercayaan bahwa dia dapat memberikan berkat ilmu
gaib yang dimilikinya, untuk keselamatan masyarakat. Keberhasilan dan prestasi yang dimilikinya
menimbulkan orang lain kagum dan terpesona, sehingga dia dianggap orang yang berilmu gaib.
Charisma yang dimiliki oleh pemimpin itu sebenarnya merupakan factor raditas yang dibawa sejak
lahir.
2. Tipe Tradisional
Tipe ini, merupakan kepemimpinan yang diterima secara warisan dan dipercayai sepenuhnya
oleh masyarakat. Misalnya kepemimpinan dalam masyarakat "keraton Jawa, ninik mamak dalarn
masyarakat Minangkabau, ketua marga di Batak, dll. Pemilihan pemimpin pada umumaya tidak
mempertimbangkan syarat yang harus dipenuhi sebagaimana layaknya, akan tetapi yang paling
penting adalah menjaga kelestarian budaya masyarakat. Mengangkat pemimpin baru menurut alur
budaya setempat merupakan suatu bentuk pelanggaran adat istiadat yang pada umumnya orang
tidak berani melanggarnya.

3. Tipe Rasional-Legal
Tipe ini, pemimpin yang dipilih berdasarkan pada dua prinsip, yaitu secara rasional dan legal.
Rasional, karena pemimpin dipilih berdasarkan kriteria tertentu, misalnya tingkat pendidikan,
kecakapan dan pengalaman, serta syarat lainnya.
Tipe Kepemimpinan Menurut Martin Conwav
1. Tipe Crowd-Compeller
Kepemimpinan yang muncul atas panggilan kewajiban. sehingga dengan tanggung jawab
moral seseorang menimbulkan sebagai pemegang amanah dan golongan yang tertindas. Misalnya,
pejuang kemerdekaan, para kiyai dengan dorongan penyebaran agama dan sejenis lainnya. Oleh
karena sifatnya yang menyentuh aspirasi segenap lapisan masa, maka dia sangat ampuh
menggerakkan. massa tanpa memperhitungkan akibatnya terlebih dahulu.
2. Tipe Crowd Representative
Pemimpin dipilih oleh golongan atau kelompok tertentu yang dijadikan sebagai ketua
mereka. Kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi dalam kelompoknya, hanya sepanjang dan
selama didukung oleh golongan atau kelompoknya.
3. Tipe Crowd Exponent
Pemimpin seperti ini pada saat yang tepat dan muncul pada waktu yang sangat diperlukan
mampu menggerakkan masa yang sangat hebatnya dan diarahkannya untuk mencapai sasaran dan
maksud tertentu. Biasanya pemimpin seperti ini banyak ditemui dalam keadaan posisi terjepit, merasa
ditindas dan dirugikan, sehingga semua mereka nekad bertindak sesuai yang diinstruksikan oleh
pemimpin mereka. Pemimpin merupakan kunci pembuka hati yang tertekan, tertutup dan tertindas,
sehingga bila kunci itu sudah terbuka akan menimbulkan suatu tenaga yang sangat besar dan
tangguh.

a)
b)
c)
d)
e)
a.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Tipe-Tipe Pemimpin
Sondang P. Siagian membedakan tipe pemimpin sebagai berikut:
Tipe Aristokrat;
Tipe Militeristis;
Tipe Paternalistis;
Tipe Kharismatis;
Tipe Demokratis.
Tipe Aristokrat
Seorang pemimpin yang bertipe aristokratis adalah pemimpin yang
Menganggap organisasi sebagai milik pribadi;
Mengidentikan tujuan pribadi menjadi tujuan organisasi;
Menganggap bawahan sebagai alat semata;
Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat; .
Terlalu bergantung kepada kekuasaan formalnya;
Dalam tindakan penggerakkannya sering mempergunakan approach yang mengandung
unsur paksaan dan punishtif (bersifat menghukum).
Sifat-sifat tersebut di atas jelas terlihat, bahwa tipe pemimpin itu kurang tepat untuk suatu
organisasi modern, di mana hak-hak manusia itu harus dihormati.

b.

1.
2.
3.
4.
5.

c.
1.
2.
3.
4.
5.

Tipe Militeristis
Tipe seorang pemimpin militeristis berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer. Seorang
pemimpin yang bertipe militeristis adalah seorang yang memiliki sifat:
Dalam menggerakkan bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan;
Dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatan;
Senang kepada formalitas yang berlebihan;
Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan;
Menggemari upacara untuk berbagai keadaan.
Disini juga terlihat, bahwa pemimpin yang bertipe militeristis ini juga merupakan bukan tipe
pemimpin ideal.
Tipe Paternalistis
Seorang pemimpin yang bertipe patnerlistis adalah seorang yang :
menganggap bawahannya sebagai orang yang belum dewasa
bersikap terlalu melindungi;
jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan dan inisiatif;
jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk
mengembangkan daya kreasi dan
fantasi;
sering bersikap maha tahu.
Hendaknya diakui, bahwa dalam keadaan tertentu pemimpin yang bertipe ini sangat diperlukan,
tetapi sifat negatifnya mengalahkan sifat positif.

d.

Tipe Kharismatis,
Sampai saat ini para ahli belum berhasil menemukan penyebab mengapa seorang pemimpin
memiliki kharisma. Namun yang diketahui hanyalah bahwa pemimpin yang demikian mempunyai
daya tarik yang amat besar dan umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya sangat
besar. Meskipun para pengikutnya sering tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi
pengikut pemimpin tersebut.
Kurang pengetahuan tentang penyebab yang menjadikan pemimpin kharismatis, sehingga sering
hanya dikatakan pemimpin tersebut diberkahi kekuatan gaib (supernatural power). Kekayaan, umur,
kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk kharisma. Misalnya Mahatma
Gandhi, Iskandar Zulkarnin bukanlah seorang yang mempunyai fisik sehat; John F. Kennedy adalah
seorang pemimpin yang memiliki kharisma, meskipun umurnya masih muda pada waktu terpilih
menjadi Presiden Amerika Serikat.

e.
1.

Tipe Demokratis,
dalam proses menggerakkan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat, bahwa manusia itu adalah
makhluk termulia di atas dunia ;
selalu berusaha mensikronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan
tujuan pribadi dari bawahannya;
senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik dari bawahannya;
selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan team work dalam usaha mencapai tujuan;
dengan ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat
kesalahan yang kemudian dibandingkan dan diperbaiki agar bawahan tidak lagi berbuat kesalahan
yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain;

2.
3.
4.
5.

6.
7.

1.
2.
3.
4.

1.
2.
3.
4.

1.
2.
3.
4.

selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses darinya;


berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin (Syahriman Dkk., 1991:105108).
Kemudian Bogardus (1918) mengajukan empat tipe pemimpin, yaitu:
Tipe Otokratik, adalah orang yang berkuasa dalam organisasi yang kuat;
Tipe Demokratik, adalah yang melambangkan interse dan kelompok;
Tipe Eksekutif, adalah yang memperoleh kepemimpinnya, karena segala hal dapat terlaksana;
Tipe cerminan intelektual, adalah yang mendapat kesukaran dalam merebut banyak pengikut.
Berbeda derigan yang disampaikan di atas, ternyata Sanderson dan Nafe (1929)
dalam(Syahriman Dkk., 1991:108). mengajukan empat tipe pemimpin, yaitu:
Pemimpin Statis, merupakan orang yang profesional atau cendikiawan yang bermartabat
tinggi yang kerjanya mempengaruhi pikiran orang lain;
Pemimpin Eksekutif, melaksanakan kontrol melalui otoritas dan kekuasaan dari posisi yang
didudukinya;
Pemimpin
Profesional, berfungsi
untuk
merangsang
para
pengikutnya
untuk
mengernbangkan dan menggunakan kemampuannya masing-masing.
Pemimpin Kelompok, bekerja demi kepentingan anggota kelompok.
Setelah itu Levine (1949) dalam (Syahriman Dkk., 1991:108) menyebutkan empat tipe pemimpin,
yaitu:
Pemimpin Kharismatik, sangat membantu kelompok dalam hal mendapat dukungan dalam
pencapaian tujuan bersama;
Pemimpin Organisational, menitik beratkan kepada tindakan yang efektif dan cenderung mendorong
anggota kelompok;
Pemimpin Intelektual, biasanya kurang terampil dalam menarik simpati anggota kelompok;
Pemimpin Informal, cenderung ingin menyesuaikan gaya penampilan yang sesuai dengan kebutuhan
kelompok.

C. Teori Kepemimpinan
Konsep teori kepemimpinan dilandasi oleh tiga pendapatyang satu dengan yang lainnya
saling berbeda. Pendapat kuno mengatakan bahwa pemimpin itu sebenarnya dilahirkan dan bukan
dibentuk oleh sistem sosial masyarakat (the leader were born not made). Kemudian muncul pendapat
yang menyanggah bahwa pemimpin itu bukan dilahirkan tetapi sengaja terlahir dari interaksi sistem
sosial ditempat di hidup (the leader are made not born). Akhirnya muncul lagi pendekatan ekologis
yang menyatakan bahwa munculnya seorang pemimpin karena adanya bakat kepemimpinan yang
dibawa semenjak dia lahir dan kemudian bakat tersebut sempat berkembang dalam masyarakat
berkat pengalaman dan pendidikan yang sudah ditempuhnya serta sesuai pula dengan tuntutan
masyarakat(Syahriman Dkk., 1991:133)
Pendekatan yang mangatakan the leaders were born disebut pendekatan genetis, karena
sifatnya diturunkan dari gen orang tua. Pendekatan the leaders are made disebut sebagai
pendekatan sosial, karena pemimpin itu lahir dari masyarakat. Pendekatan ekologis yaitu berusaha
mensintesiskan dua pendapatan di atas. Pendekatan ekologis ini sering diberi nama dengan

pendekatan situasional. Pendekatan situasional mengatakan munculnya kepemimpinan seseorang


hanya pada situasi tertentu.
Mar'at pakar Psikologi lebih mendistribusikan teori kepemimpinannya menurut kategori tertentu,
sehingga dapat membedakan antara pendapat dengan lainnya. Pendapat tersebut dijelaskannya
secara rinci (Syahriman Dkk., 1991:133) sebagai berikut:

1.

Teori Orang Terkemuka


Inti pokok teori ini, menyebutkan bahwa seorang pemimpin tersebut munculnya karena faktor
keturunan yaitu dari gen keturunannya. Pengaruh warisan memang diterima secara biokogis dari
orang tuanya. Pengaruh ini telah dikemukakan oleh Wiggams (1931) dalam penelitiannya yang
menyatakan perkawinan campuran terjadi antara keturunan kerabat raja dengan golongan orang
biasa menghasilkan kelas aristokrasi yang secara biologis berbeda dengan kelas yang lebih rendah.
Jadi pemimpin superior sangat bergantung pada keturunannya. Penelitian ini didukungoleh penelitian
Galton (1879); Cariile (1841); Woods (1913); Bernard (1926); Bingham (1927) dan Kilbourne (1935)
dalam (Syahriman Dkk., 1991:134).

2.

Teori Lingkungan
Kemunculan para pemimpin besar, merupakan hasil dari waktu, tempat dan situasi sesaat.
Pernyataan ini merupakan landasan berfikir teori lingkungan. Mumford (1909) menyatakan bahwa
lahirnya seorang pemimpin karena kemampuan dan keterampilannya memecahkan masalah sosial
sewaktu masyarakat dalam keadaan tertekan oleh perubahan dan adaptasi. Kepemimpinan
merupakan sesuatu yang "inner dan menjadi modal dasar bagi kekuatan sosial yang dimilikinya.
Kemudian Scheider (1937) menemukan bahwa jumlah para pemimpin militer di Ingris sebanding
dengan banyaknya konflik yang muncul pada bangsa tersebut. Jadi situasi kultural erat kaitannya
dengan prestasi seorang pemimpin. Selain itu Murphy (1947) menyatakan bahwa kepemimpinan itu
bukan terletak dalam diri seseorang melainkan merupakan fungsi dari suatu peristiwa. Teori
Lingkungan Mumford (1909) kelihatannya lebih luas dari Scheider dan Murphy (1937, 1941) yang
menekankan pada faktor "innate" saja. Namun hal ini bukan beitentangan, tetapi saling melengkapai
karena keduanya sama-sania memberi penekanan khusus pada peristiwa sosial itu
sendiri (Syahriman Dkk., 1991:134).

3.

Teori Personal Situasional


Pada dasarnya teori ini ingin memperlihatkan proses interaktif dalam diri seorang "innate" dengan
situasi sosial kelompoknya. Para ahli melihat adanya faktor yang terlupakan oleh kedua teori di atas,
yaitu efek interaksi antara faktor individu dengan faktor situasi. Jadi, kehendak seorang pemimpin itu,
karena kejelian persepsinya terhadap analisis situasi yang membuat dia lebih dari orang lain,
sehingga pandangannya itu meberikan pengaruh luas terhadap anggota kelompoknya. Cattel (1951)
mengajukan
pendapat
bahwa
ada
dua
fungsi
primer
tentang
kepemimpinan,
yaitu: Pertama, membantu kelompok dalam menemukan arti tujuan yang telah ditetapkan bersama
dan Kedua, membantu kelompok dalam menemukan tujuan tersebut. Jelas bahwa kelebihan persepsi
pemimpin memberikan nilai yang lebih berarti bagi anggota kelompok. Oleh sebab itu, terkadang
seorang pemimpin diberi semacam hak istimewa oleh anggota kelompok, sedikitnya menyimpang
dari norma kelompok asal, kemudian memberikan manfaat terhadap kelompok (Wahjosumidjo, 1994:
99-107).

4.

Teori Interaksi Harapan


Setiap anggota kelompok memiliki peran-peran tertentu. Struktur peran mencerminkan perbedaan
harapan perilaku yang ditampilkannya untuk kepentingan kelompok dan anggotanya. Semakin tinggi
kedudukan seseorang dalam kelompok, semakin besar pula perilaku yang diharapkan orang lain
terhadap dirinya. Pemimpin merupakan orang yang paling tinggi statusnya dalam kelompok, maka
harapan para anggota juga amat besar terhadap dirinya sehingga tingginya harapan inilah yang
membedakannya dengan yang lainnya dalam (Syahriman Dkk., 1991:135)..
5. Teori Humanistik
Teori Humanistik dikemukakan oleh Argyris (1957;1962;1964); Mc-Gregor (1960;1966); Likert
(1961; 1967); Black dan Mauton (1964). Mar'at menyatakan, bahwa semua teori tersebut
berhubungan dengan perkembangan kepemimpinan yang efektif dan kohesif. Secara alamiah
manusia merupakan motivated organism. Organisasi memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu.
Fungsi kepemimpinan adalah modifikasi organisasi supaya individu bebas merealisasikan potensi
motivasinya dalam memenuhi kebutuhannya dan pada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan
kelompok.
Teori Humanistik ini, menjelaskan bahwa martabat tndividu setiagai persona! benar-benar
dihargai. Setiap individu niemiiiki motivasi- motivasi tertentu sebagai alasannya vuituk memasuki
kelompok. Tujuan kelompok merupakan bagian dari tujuaannya. Untuk itu dia harus dibebaskan
tnengenibangkan motivasinya dan oleh sebab itu pemimpin hai-us berusaha menyediakan fasilitas
berkembangnya motivasi itu disalurkan ke arah tujuan kelompok. Jadi kelebihan pemimpin disini
adalah dalam strateginya memilih saluran yang lebih tepat dan sesuai dengan motivasi para
anggotanya sehingga motivasinya tersebut dapat berkembang secara optimal yang tetap menunjang
pada tercapainya tujuan kelompok dalam (Syahriman Dkk., 1991:136).
6.

Teori Pertukaran
Interaksi sosial mengentengahkan bentuk pertukaran dan diantara anggota kelompok
berlangsung proses saling memberi dan menerima (Mar'at, 1983). Kelanjutan interaksi terjadi karena
para anggota mendapatkan pertukaran yang berimbang. Artinya ysng dikeluarkan sebanding dengan
yang diperoleh. Dalam akhir tulisannya mengatakan bahwa bila peran harus dimainkan telah
diketahui bersama, maka setiap orang dapat memuaskan harapan yang diidamkannya secara
merata. Sayang hanya berhenti sampai disana dan belum mengungkapkan cara lahirnya para
pemimpin menurut teori ini.
Sebenarnya masyarakat selalu terlibat dalam proses memberi dan menerima (Cost snd reward).
Namun dengan cost dan reward saja belum dapat menerangkan munculnya stuktur sosial secara
lebih sempurna, misalnya pola pertukaran langsung dalam kelompok duaan (dyad). Kemudian Levi
Strauss (1969) menjc-laskan bahwa pola pertukaran langsung cenderung menekankan pada
keseimbangan atau persamaan dan sering berlarut dengan keterlibatan emosional yang mendalam
antara kedua belah pihak (Johnson (1986:57). Teori pertukaran secara langsung belum mampu
memperlihatkan siapa pemimpin dari dua orang yang terlibat dalam transaksi sosial tersebut, karena
dihalangi oleh faktor keseimbangan bersama dan peng'aruh emosional.
Memang disini baru dilihat munculnya kepemimpinan itu dari teori pertukaran yang dikembangkan
Homans pada tahun 1974. Homans (1974) menjelaskan bahwa orang-orang dalam kelompok bekerja
sama menerima social approval (dukungan sosial, yakni reward yang diberikan anggota karena
sumbangannya terhadap tujuan kelompok. Orang yang sumbangannya sangat bernilai dan sifatnya
jarang diperoleh, akan dibiayai sangat tinggi atau lebih tinggi dari tingkat social approval pada

umumnya (Johnson, 1986:69). Orang yang berjasa terhadap kelompok inilah kemudian yang tampil
sebagai pimpinan kelompok dalam (Syahriman Dkk., 1991:134-137).
7. Teori Path-Goal
Melengkapi teori-teori yang dikemukakan oleh yang diajukan Mar'at, ada baiknya dicantumkan
juga satu teori lagi. Mar'at memang pernah menyinggungnya tetapi hanya dalam empat baris saja
dalam (Syahriman Dkk., 1991:138).Pada hal menurut Evans (1970) bahwa teori Path
Goal merupakan teori kepemimpinan sendiri pula, sebab banyak ahli lain yang menggolongkannya ke
dalam teori yang tergolong "grand" pula. Setelah diamati memang tepat juga digolongkan ke dalam
teori interaksi harapan, karena pada dasarnya teori tersebut juga memperlihatkan kelebihan seorang
pemimpin itu dari yang lainnya tentang pemilihan cara yang tepat untuk mencapai tujuan, sehingga
dia menjadi orangyang diharapkan.
Teori Path Goal menitik beratkan perhatiannya pada cara pemimpin dalam mepengaruhi persepsi
Jawabannya yang menyangkut dengan tujuan pekerjaan, tujuan pribadi dan jalan (path) untuk
mencapai tujuan tersebut (Soejono Trimo, 1986). Akar teori ini adalah teori ekspektasi (expectancy
theory). Orang akan puas dengan hasil pekerjaannya bila membuahkan sesuatu yang berarti bagi
dirinya (uang, kedudukan, pangkat, jabatan dan status sosial). Teori ini mempunyai kesamaan
dengan teori pertukaran, karena itu keduanya sangat mengharapkan reward setelah memberikan
sejumlah Costtertentu. Bahkan Evans sendiri sebagai pakar Teori Path Goal menyebutkan bahwa
kepemimpinan yang efektif melalui dua cara. Pertama, menyediakan sistem reward terhadap
bawahannya. Kedua, mengakaitkan sistem reward tersebut dengan tujuan pribadi bawahannya
dalam (Syahriman Dkk., 1991:138).
Perbedaan nyata antara teori Path-Goal dengan terori pertukaran terletak pada penekanan cara
(path) daiam mencapai tujuan. Menurut teori ekspektasi ini seorang pemimpin itu adalah orang yang
ahli mentabulasikan berbagai cara merain tujuan yang diinginkan. Setiap cara mengandung
probabilitas efektivitas terhadap tujuan. Pemilihan yang tepat akan membantu kelompok dan para
anggotanya daiam marealisasikan kebutuhannya. Hal ini dis-ebabkan karena kelebihan anggota
kelompok memilihnya sebagai seorang pemimpin. Tipe kepemimpinan semacam ini lebih
cocok diterapkan dalam kelompok-kelomgok tugas, tetapi belum tentu dapat dijamin"berhasil dalam
kelompok sosil" dalam (Syahriman Dkk., 1991:138).
8. Teori Traits
Teori ini dikemukakan oleh Barnard, Ordway Tead, Millet, Stogdill, Keith Davis, George Terry.
Seandainya diteliti pendapat mereka satu persatu, dapat disimpulkan bahwa diantara mereka sendiri
tidak ada kesatuan pendapat tentang ciri yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Untuk melihat
kebenaran tentang ketidak sepakatan mereka, ada baiknya dijelaskan berikut ini. Menurut Millet
(Wahjosumidjo, 1994: 45) yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah:
1. Kemampuan untuk melihat oragnisasi atau kelompok sebagai satu keseluruhan;
2. Kemampuan dalam mengambil keputusan;
3. Kemampuan untuk melimpahkan atau mendelegasikan wewenang;
4. Kemampuan rnenanamkan kesetiaan terhadap bawahan atau anggota kelompok.

Sementara Barnard berpendapat, bahwa harus ada dua sifat pribadi yang dimiliki oleh
seorang pemimpin (Wahjusumidjo, 1994: 46), yaitu:

1.

Sifat pribadi yang meliputi kelebihan fisik, kecakapan, teknologi, daya tanggap, pengetahuan, daya
ingat dan imajinasi.
2. Sifat pribadi yang mempunyai watak lebih subyektif, seperti keunggulan pemimpin dalam hal:
keyakinan, ketekunan, daya tahan dan keberanian.
Lain pula yang disampaikar. Davis (1972) bahwa ada em pat faktor yang mengantarkan
kesuksesan seseorang dalam memimpin kelompok atau organisasi (Wahjosumidjo, 1994: 46), yaitu:
a. Intelligency
Pada umumnya para peneliti menunjukkan hasil penelitiannya bahwa para pemimpin itu mempunyai
kecerdasan yang lebih tinggi dari pengikutnya.
b. Social Maturity' and Breadth
Kematangan dan keluasan pandangan sosial. Pada umumnya para pemimpin memiliki kestabilan
emosi, keluasan pandangan dan ak-tifitasnya.
c. Inner Motivation and Achievement Drives
Mempunyai motivasi dan keinginan berprestasi yang datang dari dalam dirinya sendiri.
d. Humaa Relations Attitude
Mempunyai sikap dalam membina relasi sosial. Kesuksesan para pemimpin merupakan sikapnya
yang menghargai martabat para pengikutnya serta kemampuan beretnpati dengan mereka.
Ketiga pendapat di atas menyatakan bahwa memang rupanya tidak terdapat kesepakatan
dikalangan para ahli teori kepemimpinan. Namun yang penting adalah bahwa asumsi dasar teori ini
bertitik tolak dari keberhasilan seseorang dalam memimpin kelom-pok tergantung kepada sifat yang
dimilikinya, baik sifat dasar maupun sifat yang dikembangkannya dalarn bentuk prosocial behavior. Pendapat ini tidak begitu banyak lagi dipakai saat ini, karena hasil penelitian yang dilakukan
oleh Byrd (1940) tehadap 20 sifat kepemimpinan. Tidak satupun diantaranj-a yang menunjukkan
bahwa salah satu sifat tersebut selalu ada pada setiap pemimpin yangditelitinya. Penelitian Jenkins
juga mendukungnya yang men-gatakan bahwa "no single trait or group of characteristics has been
isolated which sets off the leader from the members of the group" dalam (Syahriman Dkk., 1991:140).
Kelemahan yang dimiliki teori ini adalah:
a. Teori sifat tidak memiliki standar }'ang baku. sehingga suiit bagi peneliti dalam memformulasikan
indikator penelitiannya yang diakui tingkat validitasnya.
b. Lebih cenderung bersifat deskriptif dan kurang analisis, sehingga bentuk penelitiannya pun lebih
cenderung pada bentuk penelitian kualitatif deskriptif.
c. Ternyata tidak semua sifat itu terdapat pada setiap pemimpin yang dianggap paling efektif.
d. Sulit mencari alat ukur yang valid untuk mengetahui batasan kriteria dari masing-masing
sifat. Misalnya ukuran keyakinan, ketekunan dan keberanian seseorang.
Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah kharisma seseorang, tingkat kecerdasan dan dorongan dari
dalam diri seseorang merupakan sumbangannya yang sangat berharga bagi perkembangan teori
kepemimpinan sampai sekarang.
9. Teori Kepemimpinan Situasionl
Teori situasioaal ini berasumsi bahwa sukses tidaknya.kepemimpinan seseorang tergantung
pada situasi yang mendukungnya. Oleh sebab itu banyak faktor yang memainkan peranan, agar
seseorang bisa sukses dalam karir kepemirnpinannya. Filley dan House (Wahjosumidjo, 1994:99107) rnenyimpulkan bahwa ada 12 faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam
memimpin, yaitu:
a. Sejarah organisasi;

a.
b.
c.

b. Lamanya masa jabatan pemimpin;


c. Umur jabatan pemimpin yang sekarang dan pengalaman pada masa lalu;
d. Masyarakat tempat organisasi itu berada;
e. Persyaratan khusus dari kerja kelompok yang dipimpin;.
f. Suasana psikologis kelompok yang dipimpinnya;
g. Jenis pekerjaan yang dipegang oleh pemimpin;
h. Tingkat kerja sama anggota yang diperlukan;
i. Ukuran kelompok yang dipimpin;
j. Kultur harapan bawahan;
k. Kepribadian anggota kelompok;
1. Waktu yang diperlukan untuk mengambil keputusan.
Ada hubungan antara teori kepemimpinan situasional dengan teori kepemimpinan behavior.
Menurut SoejonoTrimo (1986: 41-46) para behaviorist telah memperoleh sejumlah variabel yang
dapat mempengaruhi perilaku dan perfoman pemimpin dalam melaksanakan peranannya. Masalah
yang muncul adalah variabel-variabel manakah diantara variabel tersebut yang paling menentukan
keberhasilan seorang pemimpin, serta gaya kepemimpinan yang manakah yang cocok dipakai dalam
situasi itu. Kedua masalah itu berkaitan dengari statemen Edgar H. Schein yaitu: setiap pemimpin
atau manajer itu haruslah seorang ahli diagnostik dan sekaligus berjiwa peneliti. Oleh sebab itu
dituntut pula tingkat kedewasaan dalam memimpin. Tingkat kedewasaan ini maksudnya ada dua
yaitu pertama, tingkat kedewasaan tekhnis yaitu kematangan dalam bekerja; kedua, tingkat
kedewasaan psikologis mencakup rasa percaya diri sendiri dan harga diri pemimpin bersangkutan
dalam (Syahriman Dkk., 1991:141)..
Bila dihubungkan kedua belas faktor yang mempengaruhi pola kepemimpinan seseorang di
atas (filley dan house) dengan konsep kematangan tadi (maturity levels) maka paling tidak ada tiga
hal pokok yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin, yaitu:
Kemampuan menganalisis situasi, baik situasi kelompok maupun situasi sosialnya;
Kemampuan menyesuaiakan diri dengan sikap yang dimiliki oleh setiap individu anggota kelompok
serta harapannya;
Kemampuan menyelaraskan perkembangan kelompok sesuai dengan irama perkembangan situasi
sosial yang lebih luas dan kornpleks.
10 Terori Perilaku Kepemimpinan
Inti teori ini dalam batas-batas tertentu inner personality seseorang pada dasarnya
mempunyai kemampuan dalam mengembangkan kebiasaan perilakunya yang dapat mengoptimalkan
pengaruhnya terhadap orang lain dalam (Syahriman Dkk., 1991:141). Setiap inner personality individu
tersebut merupakan potensi dasar yang dapat dikembangkan seoptimal mungkin dengan cara
menerapkannya melalui latihan mempengaruhi orang lain secara kontinue. Setiap perilaku
pemimpin mempunya kualitas pegnaruh yang berbeda terhdap bawahan atau anggota kelompoknya.

Tujuh perilaku kepemimpinan


1. Perilaku pemimpin otoritas adalah merupakan segala keputusan berada di tangan pemimin dan para
anggota kelompok hanya sebagai penerima saja.
2. Perilaku pemimpin sedikit memberikan tenggan rasa dalam mengambil keputusan, tetapi final
keputusan tetap berada ditangannya. Perkataan lain, suara anggota kelompok sedikit sudah
mendapat perhatian.

3.
4.
5.
6.
7.

Dalam tipe ketiga ini, perilaklu pemimpin sudah agak membuka diri denga membentangkan gagasan
dan para anggota diberi kesempatan untuk menanggapinya.
Tipe keempat merupakan perilaku yang berada ekstrin kiri dan kanan. Keputusan pemimin sudah
bersifat tentative dan bisa mengalami perubahan atas saran dari anggota kelompok.
Tipe kelima pemimpin mengajukan berbagai masalah yang sedang dihadapi sehingga dia
memberikan dorongan terhadap bawahan untuk sama-sama memikirkannya.
Pemimpin sudah memberikan batasan keputusan yang patut diambilnya dan disamping itu kelompok
secara nyata turut mempunyai andil dalam keputusan kelompok teresebut.
pemimpin mendelegasikan terhadap para bawahannya yang superior dalam mengambil keputusan
kelompok. Jadi dalam tipe ekstrim kanan ini pemimpin seolah-olah hanya sebagai simbol saja, segala
keputusan berada ditangan orang yang dipercayai dalam(Syahriman Dkk., 1991:143).

Tingkatan kepemimpinan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :


Kategori Top Kelompok, ketua dan wakil ketua, sekretaris dan bendahara. Dikatakan top Kelompok
adalah karena keempat jenis peranan inilah yang dianggap paling berpengaruh dalam melaksanakan
kegiatan kelompok. Golongan ini biasa juga disebut sebagai pengurus inti dalam perkumpulan social
masyarkat.
2. Kategori orang kebanyakan tetapi mampu mengambil inisiatif. Dalam istilah managemen kategori
orang yang seperti ini disebut lower management atau operasional management yang biasanya
ditunjuk ketua pelaksana pekerja dilapangan.
3. Follower yaitu pengikut biasa. Kategori ini merupakan para anggota kelompok biasa dan mereka
inilah yang sebenarnya orang yang dipimpin dan digerakan untuk didaya gunakan.
1.

D. Studi-studi Kepemirnpinan
Pembahasan selanjutnva lebih dititik beratkan pada studi kepemimpinan yang pernah
dilakukan. Ada 8 (delapan) studi kepemimpinan yang akan dijelaskan dalam tulisan ini.
1. Studi Kepemimpinan /OU'A
Studi ini dilakukan pada tahun 1930 oleh Ronald Lippit dan Ralph K. White di bawah
bimbingan Kuit Lewin salah seorang ahli teori Cognitif di Universitas IOWA. Para ahli kemudian lebih
mengenal Kurt Lewin .sebagai bapak "Dinamika Kelompok" disamping ahli teori "psikologi kognitif.
Mereka ingin melihat produktivitas kelompok melalui tiga tipe kepemimpinan, yaitu otoriter,
demokratis_dan laissez faire. Ketiga gaya kepemimpinan ini diterapkan dalam kelompok anak yang
berumur sekitar 10 tahun. Hasil penelitiannva menunjukkan (Syahriman Dkk., 1991:147), bahwa:
a. Pemimpin Otoriter, ternyata tidak memperoleh paitipasi dari anggota kelompok. karena dia menuntut
perhatian anggota yang teiialu besar, sementara dia sendiri tidak memberikan perhatian terhadap
kelompok. Perilaku anggota kelompok terpola menjadi dua bagian, yaitu agi-esif, apatis, sehingga
cenderung menim-bulkan reaksi frustasi yang melanda anggota kelompok.
b.

Pemimpin Demokratis, lebih cenderung berdiskusi dengan anggota kelompok dalam mengambil
keputusannya. pemimpin berusaha lebih bersikap objektif mau merierima pujian serta tidak menolak
bila dikritik-dan suasana ini merupakan salah satu bentuk spirit dari kelompok. Sedangkan perbedaan
antara democracies leader dengan autocratics leader ditunjukkan sebagai 'The democaraticallyled
group fell between the one extremely aggresive group and the four aphatic groups under the
autocratic leaders".

c.

Kepemimpinan Laisezz faire, memberi kebebasan luas terhadap kelompok yang secara esensial
kelihatan sebagai kelompok yang tidak mempunyai kepemimpinan. Dalam kelompok yang diteliti, tipe
kepemimpinan sepeiti ini menghasilkan tindakan agresif paling besar dari kelompok (the laisezz faire
leadership climate actually produced the greatest number of aggresive acts from the group).
2. Studi Kepemimpinan IOWA State
Studi ini diiakukan oleh Biro Penelitian Universitas IOWA State, yang staf ahlinya terdiri dari
ahli: psikologi, sosiologi dan ekonpmi. Mereka menganalisis kepemimpinan dari berbagai kelompok
dengan situasi yang berbeda, melalui kuisioner. Premis penelitiannya berbunyi: tak satupun definisi
kepemimpinan yang memuaskan (no satisfactory definition of leadership existed). Mereka menolak
pendapatyang mengatakan bahwa jenis kepemimpinan tertentu adalah tepat digunakan untuk
kelompok teilentu. Mereka mengakui apapun gaya kepemimpinan, adalah ingin meiihat efektif atau
tidaknya suatu gaya kepemimpinan (Syahriman Dkk., 1991:148).
Dari kuisioner LBDQ (leader behavior description quistioner.) yang disebarkan, diperoleh
keterangan bahwa terdapat dua dimensi perilaku kepemimpinan, yaitu consideration dan initiating
structure. Kedua faktor ini diperoleh dari berbagai penelitian dan posisi kepemimpinan. Selain itu
menemui adanya dua dimensi perilaku kepemimpinan juga menyebutkan bahwa kedua bentuk
dimensi itu adalah saiing terpisah dan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya (Syahriman
Dkk., 1991:148). Hasil empiris mem-buktikan bahwa premis dan hipotesis yang mereka rumuskan ternyata ditolak.

Refrensi:
http://belajarpsikologi.com/pengertian-kepemimpinan-menurut-para-ahli/#ixzz1ijX4CPTU
http://organisasi.org/jenis_dan_macam_gaya_kepemimpinan_pemimpin_klasik_otoriter_de
mokratis_dan_bebas_manajemen_sumber_daya_manusia
http://wapannuri.com/a.kepemimpinan/kepemimpinan_efektif.html
http://felixdeny.wordpress.com/2012/01/07/definisi-kepemimpinan-dan-macam-macam-gayakepemimpinan/

Anda mungkin juga menyukai