2008, Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kesehatan adalah merupakan unsur pelaksana
pemerintah Kabupaten Majalengka yang melaksanakan urusan pemerintahan daerah
berdasarkan asas desentralisasi dan tugas pembantuan bidang kesehatan.
Maksud dan tujuan dibentuknya Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka dapat
dilihat dari kedudukan, tugas pokok dan fungsi sebagi berikut :
Kedudukan
Dinas Kesehatan adalah unsur Pemerintah Kabupaten dibidang kesehatan, Dinas
Kesehatan dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah
Tugas Pokok
Tugas pokok Dinas Kesehatan adalah melaksanakan kewenangan Otonomi Daerah
dalam bidang kesehatan yang terdiri dari Pelayanan Kesehatan, Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit, Pembinaan Kesehatan dan Penyehatan Lingkungan.
Fungsi
1)
2)
3)
4)
5)
II-1
II-2
jumlahnya, komposisinya dan kompetensinya, yaitu (1) Dinas Kesehatan, (2) Puskesmas
dan pelayanan di tingkat desa serta (3) RSUD.
2.2.1
Ada 60 orang yang bekerja di Dinas Kesehatan (data 2011), seperti disampaikan dalam
tabel berikut. Data dalam tabel tersebut tidak menjelaskan apakan dari 21 sarjana dan S2
kesmas terdapat 4 tenaga S2 epidemilogi. Diketahui dari keterangan Dinas Kesehatan
Kabupaten Majalengka, bahwa meski jumlah tenaga S2 Epidemiologi sudah mencukupi (4
orang), ternyata tidak semua menjalanka fungsinya sebagai epidemiolog. Ini menjadi isu
penting dalam penempatan tenaga kesehatan khususnya dalam hal kompetensi dan
profesionalisme.
Paling tidak diperlukan dua epidemiolog untuk kabupaten sebesar dan seluas Majalengka.
Disamping epidemilogi, juga diperlukan tenaga ahli bidang promosi kesehatan untuk
mengatasi berbagai masalah perilaku kesehatan seperti telah disampaikan dimuka.
2.2.2
Data dalam tabel di atas memperlihatkan bahwa baik RSUD Cideres mapun RSUD
Majalengka sudah mempunyai tenaga spesialis 4 besar (Penyakit Dalam, Anak, Obgyn
dan Bedah).
Yang belum tersedia adalah tenaga dokter ahli anestesi. Tenaga ahli bedah ortopedi ada di
RS Majalengka dan bekerja sebagai dokter paruh waktu(part time). Tenaga ahli madya
rekam medis hanya ada di RSUD Cideres dan belum ada di RSUD Majalengka.
2.2.3
Ketenagaan di Puskesmas
menujukkan bahwa belum semua Puskesmas memiliki tenaga sesuai dengan standar
kebutuhan untuk melaksanakan fungsi Puskesmas. Sebagai catatan, Puskesmas sebagai
unit pembina kesehatan wilayah mempunyai 4 fungsi pokok, yaitu sebagai berikut:
1. Melaksanakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) termasuk promosi kesehatan,
upaya pencegahan penyakit dan kesehatan lingkungan
di beberapa
Puskesmas. Secara umum, jenis tenaga yang masih kurang adalah sebagai berikut:
a)
b)
c)
d)
2.2.4.
Dokter gigi
Apoteker
Tenaga promosi kesehatan
Tenaga analis kesehatan
Data dalam tabel menunjukkan bahwa estimasi kebutuhan dan perencanaan obat masih
belum akurat. Ada jenis obat yang tidak mencukupi dan ada pula jenis obat yang lebuih
dari cukup.
RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018
Sarana pelayanan rawat inap disediakan di RSUD dan Puskesmas. Tabel berikut
memperlihatkan bahwa tingkat hunian rawat inap (BOR) di RSUD masih rendah, yaitu
dibawah 60%.
Sedangkan BOR fasilitas rawat inap di Puskesmas mencapai hampir 70%. Padaa tahun
2009 dan 2010 angka tersebut adalah 86,6% dan 88,5%. Ini menunjukkan bahwa peranan
Puskesmas melayani rawat inap
pula
dikatakan bahwa
Penyakit
DBD
erat
kaitannya
dengan
Tabel 2.12
Insiden Rate per 100.000 Penduduk dan CFR per 100 Penderita Penyakit DHF
di Kabupaten Majalengka Tahun 20072013
Tahun
Jml
Penderita
CFR %
100.000 pddk
2007
393
10
33.5
2.5
2008
196
16.6
3.1
2009
517
43.7
1.3
2010
431
11
36,3
2,5
2011
138
11,6
0,7
2012
134
11.5
5.2
2013
305
25.8
2.6
Rabies
Tujuan program pemberantasan penyakit rabies adalah menurunkan
angka kasus rabies pada manusia maupun hewan sampai angka 0 (nol). Pada
Tahun 2013 di Kabupaten Majalengka tidak terjadi kasus rabies, namun
Grafik 2.13
Cakupan Penemuan Penderita Diare di Kabupaten Majalengka
Tahun 2009 2013
100000
90000
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
120
100
80
60
40
20
0
2009
2010
2011
2012
2013
Dari grafik tersebut terlihat bahwa dari tahun 20092013 semuanya telah mencapai
target yang ditentukan yaitu 20% dari perkiraan insiden diare, dan tahun 2013 juga
telah melebihi target 10%
Rendahnya penemuan kasus diare kemungkinan disebabkan karena
banyaknya kasus yang tidak dittemukan atau berobat ke sarana kesehatan swasta
dan hal ini menunjukkan masih rendahnya proses pelaksanaan surveilans di
Kabupaten Majalengka. Akibatnya bila kasus tidak ditemukan, terutama pada
golongan umur kurang dari 5 tahun (balita) akan berakibat tingginya angka
kematian.
Grafik 2.1
Proporsi Penderita Diare Berdasarkan Kelompok Umur
Di Kabupaten Majalengka Tahun 20092013
70
60
50
40
30
20
10
0
2009
2010
2011
2012
2013
Grafik 2.2
Distribusi Kasus dan CFR Diare Pada Kejadian KLB
di Kabupaten Majalengka Tahun 20092013
40000
35000
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun 2009-2013 CFR diare dibawah target yang ditetapkan yaitu 1% dari
jumlah penderira yang ditemukan. Hal ini menunjukan bahwa penanganan
pada kasus diare telah ada perbaikan.
2) Kusta
Grafik 2.3
Penemuan Penderita Baru Kusta Menurut Type dan Proporsi Kasus MB
Di Kabupaten Majalengka Tahun 20092013
120
120
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
2009
2010
2011
2012
2013
Grafik 2.4
Proporsi Kasus Baru Anak di Kabupaten Majalengka
Tahun 20092013
250
15
200
10
150
100
50
0
0
2009
2010
2011
2012
2013
Pada (Gambar 25) penemuan kasus baru kusta terbanyak pada tahun
2009 yaitu mencapai 84 kasus baru kemudian pada tahun 2010 mengalami
penurunan yaitu 78 kasus, tahun 2011 jumlah penderita baru meningkat
lagi menjadi 101 tahun 2012 turun lagi menjadi 85 kasus, tahun 2013 turun
sedikit yaitu 84 kasus, hal itu dikarenakan pada tahun tersebut kurangnya
kegiatan yang aktif ke masyarakat seperti RVS. Pada tahun 2009 proporsi
kasus anak mengalami penurunan menjadi (3.6%), pada tahun 2012
mengalami peningkatan lagi menjadi (5.88%) dari target 5% dan pada
tahun 2013 mengalami penurunan lagi menjadi 2.3%.
Grafik 2.5
Penemuan Kasus Baru Kusta (Case Detection Rate atau CDR)/100.000
Penduduk Di Kabupaten Majalengka Tahun 20092013
120
8
7
100
6
80
60
4
3
40
2
20
0
2009
2010
2011
2012
2013
3) Tuberkulosa
Di Kabupaten Majalengka penanggulangan Tuberkulosis (TBC)
dilaksanakan sesuai dengan kebijakan KEMENKES RI, yaitu
pemberantasan tuberculosis dengan menggunakan strategi DOTS yang telah
dilaksanakan oleh seluruh UPK, meliputi : Puskesmas, RSUD dan Praktek
Dokter Swasta serta melibatkan peran serta masyarakat secara paripurna dan
terpadu. Untuk seluruh Puskesmas yang ada, dibentuk beberapa Kelompok
Puskesmas Pelaksana (KPP) yang sampai dengan tahun 2013 telah
menjangkau seluruh puskesmas, yang terdiri dari 7 Puskesmas Rujukan
Mikroskopis (PRM), 8 Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM), 14 Puskesmas
Satelit (PS), 2 Rumah Sakit serta 1 Lembaga Pemasyarakatan.
Cakupan penemuan kasus tahun 2013 sebesar 1.210 Kasus BTA Positif.
Pada tahun 2013 proporsi Positivity Rate setiap triwulannya selalu berada
pada batas toleransi. Hal ini berarti penjaringan/skrining suspek di UPK
rata-rata sudah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan (ideal). Tidak terlalu
selektif (ketat) maupun tidak terlalu longgar seperti yang terlihat pada grafik
di bawah ini
Grafik 2.6
Positivity Rate per Triwulan / Quarter
Di Kabupaten Majalengka Tahun 2013
Pada grafik di atas proporsi BTA positif diantara suspek yang diperiksa
dahaknya (positivity rate) tahun 2013 pada setiap triwulannya selalu berada
pada batas toleransi. Hal ini berarti penjaringan/skrining suspek di UPK
rata-rata sudah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan (ideal). Tidak terlalu
selektif (ketat) maupun tidak terlalu longgar.
Grafik 2.7
Case Detection Rate (CDR) Tahun 2013
Kabupaten Majalengka
Pada grafik diatas terlihat selama tahun 2013 penemuan penderita TB BTA
positif baru selalu melampaui target (20%), pada setiap triwulannya. Begitu
pula halnya penemuan kumulatif 1 tahun dapat melampaui target.
4) Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit yang banyak menyerang usia balita dan
lansia. Pada balita, pneumonia merupakan salah satu penyakit penyebab
kematian terbanyak. Berikut adalah cakupan penemuan kasus pneumonia
balita di Kabupaten Majalengka.
Grafik 2.8
Cakupan Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Kabupaten Majalengka
Tahun 20092013
14000
100
90
12000
80
10000
70
8000
60
6000
40
50
30
4000
20
2000
10
0
2009
2010
2011
2012
2013
kegiatan
berkesinambungan
supervisi
sehingga
dan
belum
bintek
program
meningkatkan
puskesmas.
yang
belum
motifasi
petugas
Grafik 2.9
Proporsi Kasus Pneumonia Balita Berdasarkan Klasifikasi Diagnosa
di Kabupaten Majalengka Tahun 20092013
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2009
2010
2011
2012
2013
yaitu
Grafik 2.10
Proporsi Kasus Pneumonia Berat dan CFR Pneumonia
Berdasarkan Kelompok Umur
di Kabupaten Majalengka Tahun 20092013
200
4.5
180
160
3.5
140
120
2.5
100
2
80
1.5
60
40
20
0.5
0
2009
2010
2011
2012
2013
Berdasarkan gambar di atas proporsi Pneumonia berat tahun 20092013 pada anak usia 1-4 tahun selalu lebih besar dibanding bayi, kecuali
tahun 2010 dan 2012. Artinya resiko terjadinya Pneumonia berat pada anak
usia 1 4 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan bayi (< 1 tahun). Hal ini
tidak sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa terjadinya Pneumonia
pada bayi dan anak balita dipengaruhi oleh faktor usia anak, aspek
kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan dan lain-lain.
(Depkes RI, 1991).
Berdasarkan gambar tersebut pula terlihat bahwa kasus meninggal
karena Pneumonia dari tahun ke tahun selalu berfluktuasi, dimana CFR
terendah terjadi pada tahun 2010 untuk balita (0,01%) sedangkan CFR
tertinggi terjadi pada tahun 2009 (2,9%) untuk bayi.
Dari data di atas menunjukkan bahwa dari satu sisi merupakan
keberhasilan dalam pencatatan dan pelaporan kasus tetapi disisi lain
mengindikasikan adanya keterlambatan dalam penemuan dini dan
RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018
tatalaksana kasus, dan hal tersebut tidak sejalan dengan target yang telah
ditentukan yaitu 63% penderita Pneumonia harus mendapat tatalaksana
standar.
perselisihan,
ketegangan,
pelecahan
kepada
penderita
akan
menurunkan
produktifitas
masyarakat
dalam
rangka
Grafik 2.11
Sebaran Kasus HIV/AIDS Per-Wilayah Kerja Puskesmas
Di Kabupaten Majalengka Tahun 2012
selanjutnya sel spermatozoa dari laki-laki HIV positif membuahi sel ovum
dan selanjutnya menjadikan keturunan (anak) HIV positif juga.
Sama seperti halnya kasus HIV, pada sebaran kasus AIDS menurut jenis
kelamin ternyata laki-laki masih lebih banyak ketimbang perempuan, seperti
yang terlihat pada diagram berikut ini :
Diagram 2.12
Sebaran Kasus AIDS Menurut Gender
Di Kabupaten Majalengka Periode Tahun 2001 - 2013
Sebaran Kasus HIV Per Jenis Kelamin
Majalengka 2001 - 2013
P; 36.1; 36%
L
P
L; 63.9; 64%
Tetanus Neonatorum
Pada tahun 2013 di Kabupaten Majalengka terdapat kasus
Tetanus sebanyak 2 (dua) kasus. Namun bukan kasus Tetanus
Neonatorum, namun hal ini masih menimbulkan tanda tanya apakah,
benar tidak ada kasus atau tidak terlaporkan. Dan kalaupun memang
Campak
Kasus campak yang terjadi pada tahun 2013 sebanyak 128
kasus. Hal ini berarti terjadi peningkatan kasus jika dibandingkan
pada tahun 2011 yaitu 120 kasus dan tahun 2012 sebanyak 125
kasus. Pada tahun 2013 ini terjadi KLB
Grafik 2.13
Kasus Campak Menurut Kelompok Umur
Di Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Grafik 2.14
Distribusi Kasus CBMS Tahun 2013
Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka
b. Gangguan Jiwa
Pada tahun 2013 kunjungan pasien dengan gangguan jiwa di sarana pelayanan
kesehatan di Kabupaten Majalengka baik di Puskesmas maupun rumah sakit
dilaporkan sebanyak 31.262 meningkat dari tahun 2012 sebanyak 25.813.
3. KEMATIAN
Secara umum tingkat kematian berhubungan erat dengan tingkat kesakitan
karena biasanya merupakan akumulasi akhir dari berbagai penyakit. Peristiwa kematian
yang terjadi dalam suatu wilayah dapat menggambarkan derajat kesehatan, penanganan
penyakit dan pelayanan kesehatan maupun hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa
kematian di wilayah tersebut. Pada dasarnya ada 2 penyebab kematian yaitu penyebab
langsung dan penyebab tidak langsung, walaupun kenyataan yang terjadi adalah
akumulasi interaksi berbagai faktor tunggal maupun bersama yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap tingkat kematian masyarakat.
a) Kematian Ibu
Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan kematian maternal
terjadi lebih dari 500.000 kasus per tahun di seluruh dunia, yang terjadi akibat
proses reproduksi. Sebagian besar kasus kematian ibu terjadi di negara negara
berkembang, termasuk di Indonesia.
Angka kematian ibu di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2002-2003, angka kematian ibu
(AKI) di Indonesia adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup, dengan angka kematian
bayi (AKB) sebesar 35 per 1.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2007). Salah satu
penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin adalah pre-eklamsia dengan angka
kejadiannya berkisar antara 0,51% - 38,4% menurut WHO. Di negara maju, angka
kejadian pre-eklamsia berkisar 6% - 7%. Di negara berkembang, angka kematian
ibu karena pre-eklamsia masih tinggi. Penyebab angka kematian ibu dan anak yang
tinggi pada kasus pre-eklamsia dan eklamsia di negara-negara berkembang adalah
karena pemeriksaan antenatal dan upaya pencegahan yang kurang, serta terlambat
mendapat penanganan yang tepat.
Menurut Depkes RI, pada tahun 2005 kasus pre-eklamsia dan eklamsia
memiliki persentase kasus sebesar 4,91% dari seluruh kasus obstetri di rumah sakit
di Indonesia, dengan Case Fatality Rate sebesar 2,35% yang merupakan penyebab
kematian ibu terbesar.
Pre-eklamsia ialah penyakit yang ditandai dengan adanya hipertensi,
edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Sedangkan eklamsia adalah
pre-eklamsia yang terkomplikasi dengan kejang tonik-klonik umum. Etiologi dan
patofisiologi dari pre-eklamsia dan eklamsia masih belum dapat dijelaskan secara
pasti, namun terdapat beberapa hipotesis yang mencoba menerangkan hal tersebut,
salah satunya adalah teori tentang disfungsi endotel. Disfungsi endotel ini akan
menyebabkan aktivasi koagulasi, sehingga dapat terjadi trombositopenia konsumtif.
Sedangkan pada ibu hamil normal, dikatakan trombosit juga menurun kadarnya
secara progresif selama kehamilan.
Angka kematian ibu atau maternal mortality rate (MMR) adalah angka
kematian ibu yang disebabkan oleh karena kehamilan atau persalinan pada setiap
100.000 kelahiran hidup. Angka ini berguna untuk menggambarkan status gizi dan
kesehatan ibu, kondisi kesehatan lingkungan serta tingkat pelayanan kesehatan
terutama untuk ibu pada saat hamil, melahirkan dan masa nifas. Angka ini juga
berkontribusi pada angka harapan hidup secara keseluruhan sebagai indikator
pembangunan manusia.
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan
indikator status kesehatan masyarakat. Selama 15 tahun terakhir, AKI di Indonesia
tidak menunjukan penurunan yang bermakna, seharusnya sudah mencapai
225/100.000 kelahiran hidup (KH) pada tahun 2000.Dalam upaya pencapaian
Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2014, diharapkan AKI turun
menjadi 118 per 100.000 KH, AKB menjadi 24 per 1.000 KH dan Angka Kematian
Neonatal (AKN) menjadi 15 per 1.000 KH.
Tahun 2013 jumlah kematian ibu di Kabupaten Majalengka adalah 30 orang
Kematian ibu menurut penyebab terdiri dari hipertensi dalam kehamilan 11orang
(36,67%), perdarahan 12 orang (40%), penyakit jantung 4 orang (13,33%), partus
lama 1 orang (3,33%) dan ileus 1 orang (3,33%).Kematian ibu menurut waktu
terjadinya kematian adalah kematian ibu hamil 2 orang (6,67%), ibu melahirkan 14
orang (46,67%) dan kematian ibu nifas 14 orang (46,67%). Sementara itu kematian
ibu menurut tempat kematian adalah 4orang ( 13,39%)meninggal di rumah, 25
orang (83,338%) meninggal di Rumah Sakit yaitu 8 orang RSUD Majalengka, 6
orang RSUD Cideres dan 11 orang di RS luar wilayah,dan1 orang (3,33%)
meninggal dalam perjalanan. Dari 25 orang yang meninggal di Rumah Sakit 15
orang meninggal dalam waktu kurang dari 24 jam dan 15 orang dalam waktu lebih
dari 24 jam.
Grafik 2.16
Trend Kematian Ibu dan Bayi Tahun 2009-2013
Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kab. Majalengka
450
400 406
350
300
250
200
150
100
50 47
0
2009
405
285
299
247
Kematian Ibu
Kematian Bayi
27
2010
43
2011
46
2012
30
2013
Grafik 2.17
Trend Kematian Ibu Menurut Puskesmas Tahun 2012-2013
Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kab. Majalengka
6
5
4
3
2
2012
2013
i
uk
ah
S
in
g
aj
l
am
bu
ik
i ji
ng
C
g
un
as
Pa
l
Li
g
ah
n
gk
ir
a
yi
n
Pa
n
ag
al
S
Le
m
ah
ed
su
an
gi
Ileus; 3%
Perdarahan; 40%
Infeks i; 9%
HDK; 37%
HDK; 46%
; 22%
Tahun 2012
Tahun 2013
Tabel 2.13
Kematian Ibu Menurut Penyebab Tahun 2012 dan 2013
Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kab. Majalengka
Penyebab
Perdarahan
HDK
Infeksi
Lain-lain
Partus Lama
Penyakit Jantung
Emboli Air
Ketuban
Ileus
TBC
Gagal Ginjal
Hilang Kesadaran
Akut
Jumlah
Tahun 2012
10
21
4
0
0
8
0
Tahun 2013
12
11
0
0
1
4
1
Diperkirakan 15-20 %
kehamilan
dan
0
1
1
1
1
0
0
0
46
30
persalinan
sebagian
jiwa,
besar
tetapi
komplikasi
ke
tenaga
kesehatan;
2)
tenaga
terjadinya kematian adalah kematian ibu hamil 2 orang (6,67%), ibu melahirkan 14
orang (46,67%) dan kematian ibu nifas 14 orang (46,67%). Sementara itu kematian
ibu menurut tempat kematian adalah 4orang ( 13,39%)meninggal di rumah, 25
orang (83,338%) meninggal di Rumah Sakit yaitu 8 orang RSUD Majalengka, 6
orang RSUD Cideres dan 11 orang di RS luar wilayah,dan1 orang (3,33%)
meninggal dalam perjalanan. Dari 25 orang yang meninggal di Rumah Sakit 13
orang meninggal dalam waktu kurang dari 24 jam dan 12 orang dalam waktu lebih
dari 24 jam.
Terjadi penurunan jumlah kematian ibu yang bermakna jika dibandingkan
dengan upaya-upaya yang dilakukan pada Tahun 2013.Sebab kematian ibu di
Kabupaten Majalengka mengalami pergeseran jika pada Tahun 2012 sebab
kematian tertinggi adalah Hipertensi Dalam Kehamilan 21 orang (46%) pada tahun
2013 sebab kematian tertinggi disebabkan karena perdarahan 12 (40%).
Berdasarkan hasil Audit Maternal Perinatal Tahun 2013, 12 orang kematian
ibu karena perdarahan terdiri dari atonia uteri 6 (enam) kasus persalinan ditolong
oleh dokter spesialis, inversio uteri 2 (dua) kasus persalinan ditolong oleh bidan,
solutio plasenta 2 (dua) kasus persalinan masing-masing ditolong dokter spesialis
dan bidan dan ruftur uteri 2 (dua) kasus persalinan ditolong oleh dukun paraji.
6 (enam) kasus atau 50 % perdarahan post partum yang ditemukan pada
Tahun 2013 disebabkan oleh atonia uteri. Upaya penanganan perdarahan post
partum disebabkan atonia uteri harus dimulai engan mengenal ibu yang memiliki
kondisi yang berisiko terjadinya atonia uteri. Kondisi ini mencakup hal-hal yang
menyebabkan uterus meregang lebih dari kondisi normal, persalinan lama,
persalinan terlalu cepat, persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin, infeksi
intrapartum, paritas tinggi dan anemia.
Solutio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari
implantasi normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu atau
lebih.Solusio plasenta umumnya terjadi karena dekompresi uterus pada hidramnion
dan gemeli, tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang
banyak, versi luar atau tindakan pertolongan persalinan. Pengaruh lainnya adalah
faktor usia, faktor paritas, anemia juga defisiensi gizi.
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam kavum uteri, dapat
secara mendadak atau perlahan.Kejadian ini biasanya disebabkan pada saat melakukan
persalinan plasenta secara Crede, dengan otot rahim belum berkontraksi dengan
baik.Inversio uterim emberikan rasa sakit yang dapat menimbulkan keadaan
syok.Penyebab Inversio Uteri yaitu spontan (grandemultipara, atoni uteri,
kelemahan alat kandungan, tekanan intra abdominal yang tinggi misalnya mengejan
dan batuk) dan tindakan ( tarikan tali pusat, manual plasenta yang dipaksakan,
perlekatan plasenta pada dinding rahim).
Ruptura uteri adalah robekan rahim merupakan peristiwa yang amat
membahayakan baik untuk ibu maupun untuk janin.Ruptura uteri dapat terjadi
secara spontan atau akibat trauma dan dapat terjadi pada uterus yang utuh atau yang
sudah mengalami cacat rahim (pasca miomektomi atau pasca sectio caesar) serta
dapat terjadi pada ibu yang sedang inpartu (awal persalinan) atau belum inpartu
(akhir kehamilan).Faktor resikopasca sectio caesar, pasca miomektomi, disfungsi
persalinan (partus lama, distosia), induksi atau akselerasi persalinan dengan
oksitosin drip atau prostaglandin, makrosomia dan grande multipara.
Atonia uteri, solusio plasenta, inversio uteri dan ruftur uteri merupakan
perdarahan pasca salin primer atau terjadi dalam 24 jam pertama, terbanyak dalam
2 jam pertama. Terjadinya kematian karena perdarahan pasca salin primer
mengindikasikan kurang baiknya deteksi faktor risiko pada ibu hamil, manajemen
tahap ketiga proses kelahiran dan pelayanan emergensi obstetrik baik di pelayanan
dasar maupun pelayanan rujukan.
11(sebelas) orang kematian ibu terjadi karena Hipertensi Dalam Kehamilan
(Preeklampsia dan eklampsia). Hipertensi karena kehamilan lebih sering terjadi
pada primigravida. Keadaan patologis telah terjadi sejak implantasi, sehingga
terjadi iskemia plasenta.Risiko meningkat pada masa plasenta besar (gemelli,
penyakit trofoblast), hidramnion, DM, faktor herediter dan autoimun.Preeklampsia
ringan sering ditemukan tanpa gejala kecuali peningkatan tekanan darah.Prognosis
menjadi lebih buruk dengan terdapatnya proteinuria, sedangkan edema tidak selalu
ditemukan.Oleh karena itu, penemuan kasus preeklampsia sedini mungkin dengan
mengidentifikasi faktor risiko, menemukan gejala awal hipertensi dan preteinuria
dapat mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Seharusnya sebagian besar kematian ibu dapat dicegah karena sebagian
besar komplikasi kebidanan dapat ditangani. Setidaknya ada tiga kondisi yang perlu
dicermati dalam menyelamatkan ibu yaitu :
a) Pertama, sifat komplikasi obstetri yang tidak dapat diprediksi akan dialami oleh
siapa dan kapan akan terjadi (dalam kehamilan, persalinan atau pasca-salin
terutama 24 jam pertama pasca-salin). Hal ini menempatkan setiap ibu hamil
mempunyai risiko mengalami komplikasi kebidanan yang dapat mengancam
jiwanya.
b) Kedua, karena setiap kehamilan berisiko maka seharusnya setiap ibu mempunyai
akses terhadap pelayanan yang adekuat yang dibutuhkannya saat komplikasi
terjadi. Sebagian komplikasi dapat mengancam jiwa sehingga harus segera
mendapatkan pertolongan di rumah sakit yang mampu memberikan pertolongan
kegawat-daruratan kebidanan dan bayi baru lahir.
Ketiga, sebagian besar kematian ibu terjadi pada masa persalinan dan dalam
24 jam pertama pasca persalinan, suatu periode yang sangat singkat sehingga akses
terhadap dan kualitas pelayanan pada periode ini perlu mendapatkan prioritas agar
mempunyai daya ungkit yang tinggi dalam menurunkan kematian ibu.
Dalam
kenyataannya,
langkah-langkah
pencegahan
dan
penanganan
terlambat
melakukan
pencegahan
dan/atau
Tabel 2.14
Angka Kematian Ibu (yang dilaporkan) di Kabupaten Majalengka
Tahun 2005 2013
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
AKI
147,9
147,6
197,17
148,36
223,21
133,25
209,5
209,2
137.97
Sumber
BPS Kab.
Majalengka
b.
Kematian Bayi
berkembang lainnya. Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi
dalam usia 28 hari pertama kehidupan per 1000 kelahiran hidup. Angka ini
merupakan salah satu indikator derajat kesehatan bangsa. Tingginya angka
Kematian bayi ini dapat menjadi petunjuk bahwa pelayanan maternal dan noenatal
kurang baik, untuk itu dibutuhkan upaya untuk menurunkan angka kematian bayi
tersebut.
Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 Angka
Kematian Bayi (AKB) didunia 54 per 1000 kelahiran hidup dan tahun 2006
menjadi 49 per 1000 kelahiran hidup. Menurut data dari Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 sebesar 34/1000 kelahiran hidup
sedangkan angka Kematian balita (AKBAL) pada tahun 2007 sebesar 44/1000
kelahiran hidup.
Menurut WHO dalam Maryunani (2009) data BBLR dirincikan sebanyak
17% dari 25 juta persalinan pertahun didunia dan hampir semua terjadi dinegara
berkembang. Angka kejadian BBLR di Indonesia adalah 10,5% masih di atas angka
rata-rata Thailand (9,6%) dan Vietnam (5,2%). Di Indonesia, BBLR bersama 1
prematur merupakan penyebab Kematian neonatal yang tinggi. Berdasarkan hasil
Riskesdas 2010 ditemukan bahwa daerah Sumut kejadian berat bayi lahir rendah
sebanyak 8,2 %. Berdasarkan profil Puskesmas Kecamatan Medan Tuntungan
tahun 2011 ditemukan kejadian BBLR 1,5% dari setiap persalinan pertahun.
Bayi yang lahir dari ibu muda mengalami lebih sering kejadian prematuritas
atau berat badan kurang, dan angka kematian yang lebih tinggi dari pada bayi yang
dilahirkan dari ibu yang lebih tua. Berat badan kurang mungkin merupakan
penyebab kematian janin dan bayi yang terpenting. Berat badan kurang pada bayi
RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018
yang dilahirkan dari ibu yang sangat muda ternyata berhubungan dengan cacat
bawaan fisik atau mental seperti ayan, kejang kejang, keterbelakangan, kebutaan
atau ketulian.
Salah satu penyebab Kematian neonatus tersering adalah bayi berat lahir
rendah (BBLR) baik cukup bulan maupun kurang bulan (prematur). Pertumbuhan
dan perkembangan BBLR setelah lahir mungkin akan mendapat banyak hambatan.
Perawatan setelah lahir diperlukan bayi untuk dapat mencapai pertumbuhan dan
perkembangannya. Kemampuan ibu untuk memahami sinyal dan berespon terhadap
bayi prematur berinteraksi dan memberikan dekapan.
Bayi lahir dengan berat badan lahir rendah merupakan salah satu faktor risiko
yang mempunyai kontribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal
selain itu BBLR dapat mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh
kembang selanjutnya sehingga membutuhkan biaya perawatan yang tinggi. Angka
BBLR di Indonesia nampak bervariasi, secara nasional berdasarkan analisa lanjut
SDKI angka BBLR sekitar 7,5 %.
Bila dikaji lebih dalam lagi, fenomena faktor demografi dan perawatan
antenatal yang kurang baik akan beruntut pada tingginya angka kejadian bayi berat
lahir rendah atau prematur yang dapat mengakibatkan tingginya angka kesakitan
dan kematian pada bayi.
Berdasarkan kajian dan meta analisis tentang faktor faktor penentu bayi berat
lahir rendah antara lain adalah faktor demografi dan psikososial termasuk di
dalamnya (usia ibu, status ekonomi, pendidikan, penghasilan) faktor berikutnya
adalah faktor perawatan Antenatal termasuk didalamnya (kunjungan antenatal
pertama, jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan dan kualitas perawatan
antenatal). Apabila faktor-faktor di atas tidak segera diatasi maka jumlah kelahiran
BBLR kemungkinan semakin meningkat. Hal ini akan menjadi beban
pembangunan kesehatan jangka pendek dan jangka panjang, karena dampak jangka
pendek meningkatnya jumlah kematian bayi usia 0-28 hari, sedangkan jangka
panjang BBLR rentan terhadap timbulnya beberapa jenis penyakit pada usia
dewasa.
Jumlah bayi baru lahir hidup Tahun 2013 adalah 21.743 orangmenurun jika
dibandingkan dengan tahun 2012 yaitu 21.988 orang, bayi lahir hidup dengan Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR) tahun 2013 adalah 793 orang (3,65) meningkat jika
dibandingkan Tahun 2012 yaitu 745 orang (3,39%), lahir mati 165 orang, jumlah
kematian bayi 247 turun jika dibandingkan Tahun 2012 (299 orang) dan jumlah
kematian balita 17.
Grafik 2.18
Trend Kematian Bayi Menurut Puskesmas Tahun 2012-2013
Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kab. Majalengka
30
25
19
20
15
12
9
10
5 5
6
3
1211
1010
9
5 4
11
6 7 5 7
6 6
11
8
11
8
2013
1
h
gi
ah
Le
m
Le
u
im
un
su
di
an
gw
an
in
d
S
ng
gi
i
Lo
j
al
id
n
Pa
n
on
ga
ah
Pa
la
s
ik
i
jin
Grafik 2.19
Perbandingan Bayi Lahir Mati Menurut Puskesmas
Tahun 2012 dan 2013
2012
20
18
16
13
14
11
12
10
77
99
22
4
2
4444
44
2
33
88
2012
5
3
2013
i
Le
m
ah
su
gi
Lo
j
ik
iji
ng
C
Pa
n
on
ga
at
i
Ke
r
ta
j
a
sm
au
M
al
in
ga
bu
15
16
14
12
12
10
8
6
4
2 1
4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5 5
6 6 6 6 6 6
7 7 7 7
8 8 8
2 2 2
Su
ka
ha
ji
Ja
tit
uj
uh
un
di
ng
Le
uw
im
Li
gu
ng
M
un
ju
l
Sa
la
ge
da
ng
Su
ka
m
ul
ya
Diagram 2.1
Kematian Neonatal dan Bayi Menurut Penyebab
Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kab. Majalengka
Lain-lain; 18%
Kel Saluran cerna; 1%
Diare; 1%
BBLR; 27%
Pneumonia; 8%
Lain-lain; 8%
Ikterus; 1%
Asfiksia; 24%
Kel Kongenital; 9%
Sepsis; 3%
Tabel 2.15
Pola Penyakit Penyebab Kematian Pasien Rawat Inap
di RSUD Majalengka Umur 1-4 tahun di Kabupaten Majalengka Tahun 2013
Tabel 2.16
Pola Penyakit Penyebab Kematian Pasien Rawat Inap
di RSUD Cideres Umur 1-4 tahun di Kabupaten Majalengka Tahun 2013
4. STATUS GIZI
Masalah utama gizi masih diwarnai dengan masalah gizi buruk (khususnya
pada kelompok umur balita), gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), anemia
gizi besi (AGB) dan kurang vitamin A (KVA), utamanya pada kelompok penduduk
tertentu seperti anak-anak dan wanita.
Dari tabel diatas tampak ada penurunan proporsi pada status gizi baik, serta
adanya kenaikan pada status gizi lebih, penurunan pada gizi kurang, kenaikan pada
gizi buruk namun tidak terlalu signifikan, ada kenaikan pada gizi lebih pada tahun
2013.
Intervensi yang telah dilakukan dan bersifat jangka pendek adalah dengan
pemberian makanan tambahan (PMT), yang selama ini telah terbukti dapat
meningkatkan status gizi balita selain intervensi pada program lain seperti
imunisasi dan kesehatan lingkungan. Intervensi pada gizi lebih saat ini belum
dilakukan secara intensif. Hanya saja jika mengikuti definisi operasional Standar
Pelayanan Minimum (SPM), yang menjadi sasaran adalah seluruh balita dari
keluarga miskin tanpa melihat status gizi balita sehingga yang terjadi adalah
peningkatan pada status gizi lebih atau gemuk.
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bersumber dari Program Jaringan
Pengaman Kesehatan Masyarakat Miskin (PJPKMM) sangat membantu untuk
peningkatan Status Gizi pada Balita, khususnya balita pada keluarga miskin.
b. Asi Eklusif
ASI Eksklusif adalah pemberian hanya Air Susu Ibu (ASI) saja pada bayi
tanpa tambahan makanan/minuman lain kecuali obat/vitamin/mineral sejak lahir
sampai bayi berusia 6 bulan. Bayi dikatakan mendapatkan ASI Eksklusif bila pada
saat survey dilakukan masih diberi ASI secara eksklusif.
Pada Lampiran Tabel 1.10 dapat dilihat Cakupan ASI Eksklusif
Perpuskesmas di Kabupaten Majalengka Tahun 2013. Pada tabel 1.10 tersebut
dapat dilihat bahwa Cakupan ASI Eksklusif tahun 2013 di Kabupaten
Majalengka berdasarkan Sasaran Riil adalah
50,5 % sedangkan
Grafik 2.21
Cakupan ASI Eksklusif Berdasarkan Sasaran Ril
Di Kab. Majalengka Tahun 2013
89.6
81.8
78.1
75.9 75.7
68.7 68.4 67.4
66.0
64.3
62.1
60.1
56.7
50.5
54.1
49.7
43.0
M
un
ju
l
ul
ya
Su
ka
m
ig
as
on
C
Lo
ji
a
be
rja
y
Su
m
gi
aj
al
en
gk
a
M
an
Ja
tiw
Ja
t
itu
ju
h
ng
ed
a
Sa
la
g
Ta
la
ga
M
aj
a
19.0 18.8
Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa dari 32 Puskesmas, tidak ada yang
mencapai mencapai lebih dari 90%.
c. Ibu Hamil KEK, Ibu Hamil Anemia dan Cakupan Pemberian Tablet Fe3
Bumil KEK adalah ibu hamil yang mempunyai ukuran lingkar lengan atas
(LILA) < 23,5 cm hasil pengukuran menggunakan pita LILA. Parameter yang
digunakan adalah jumlah Bumil KEK yang dihitung setiap bulan dan
dan
prevalensi Bumil KEK yang dihitung setiap tahun. Prevalensi Bumil KEK adalah
persentase jumlah bumil KEK dibandingkan dengan jumlah bumil yang ada di
wilayah kerja.
Bumil KEK merupakan faktor resiko terjadinya BBLR. Bumil KEK
dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat bila prevalensi > 10%.
Grafik 2.22
PWS Prevalensi Bumil KEK
Di Kab. Majalengka Tahun 2013
8.3 8.3
7.0
6.7
5.2 5.2 5.1 5.1
4.5 4.4 4.4
4.1 4.0
3.2
2.5 2.4
2.0 1.9
1.7 1.6
1.5
0.4 0.2 0.2
Ba
lid
a
gi
Ja
tiw
an
a
Ta
la
g
Sa
la
ge
da
ng
sm
M
al
au
Li
gu
ng
Ba
nt
ar
uj
eg
aj
i
Su
ka
h
un
di
ng
im
Le
uw
Ke
rt
aj
at
W
ar
in
gi
n
6.2
5.5
3.8
3.7
2.7
2006
2007
2008
2009
2010
2.8
2011
2012
3.2
2013
Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2013 Prevalensi Bumil
KEK berada di bawah ambang batas.
Ibu Hamil Anemia adalah Ibu Hamil yang menderita anemia gizi besi dengan
kadar haemoglobin (Hb) Kurang dari 11,0 gram %. Parameter yang digunakan
adalah jumlah Bumil anemia yang dihitung setiap bulan dan dan prevalensi Bumil
anemia yang dihitung setiap tahun. Prevalensi Bumil anemia adalah persentase
jumlah bumil anemia dibandingkan dengan jumlah bumil yang ada di wilayah
kerja.
Bumil anemia merupakan faktor resiko terjadinya perdarahan. Dari SKRT
2001 prevalensi Bumil anemia adalah 40,1%. Bumil anemia dianggap sebagai
masalah kesehatan masyarakat bila prevalensi > 20%.
Pada tabel 1.12 dapat dilihat Laporan Bumil Anemia Perpuskesmas di
Kabupaten Majalengka tahun 2013. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa
Prevalensi Bumil Anemia pada tahun 2013 adalah 6,8%.
Pada grafik 3.13 di bawah ini dapat dilihat Pemantauan Wilayah Setempat
Prevalensi Bumil Anemia Perpuskesmas di Kabupaten Majalengka Tahun 2013
sebagai berikut :
Grafik 2.24
Prevalensi Bumil Anemia
Di Kab. Majalengka Tahun 2013
37.5
16.4
16.4
16.0
14.2
13.9
13.2
12.3
11.7
10.1
8.7
6.8
0.0 0.0
ul
ya
Ba
lid
a
Su
ka
m
aj
al
en
g
ka
te
n
Ka
di
pa
ah
su
g
ih
Le
m
on
ga
n
5.3 5.0
Pa
n
Ba
nt
ar
uj
eg
pu
ra
Ar
ga
ik
iji
ng
C
Ra
ja
ga
lu
h
Sa
la
g
ed
a
ng
6.5 6.05.9
Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa prevalensi bumil anemia masih di atas
Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2013 prevalensi bumil
anemia cenderung meningkat dibanding tahun 2012.
2.3. Tantangan Dan Peluang Pengembangan Dinas Kesehatan
2.4.1 Tantangan Dinas Kesehatan
berbagai masalah dan determinan kesehatan) dan juga harus holistik (meliputi semua
elemen sistem kesehatan).
Untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan kesehatan yang
kompleks tersebut, Pemerintah Kabupaten Majelengka memerlukan sebuah
masterplan atau Rencana Induk yang akan menjadi acuan bagi semua pihak: Dinas
Kesehatan dan Puskesmas, RSUD, sektor-sektor terkait, pelayanan kesehatan swasta,
LSM,
perusahaan
swasta
dan
seluruh
masyarakat,
dalam
melaksanakan
itu,
pembangunan
jalan
tol
sudah
berlangsung,
yang
akan
dan
relatif
di kawasan tersebut
Jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal meningkat dan ini akan
Aerocity adalah
akan tetapi tata ruangnya terikat pada tata ruang yang ada.
KIA, penyakit
wilayah ini. Menurut asessment Pokja Sanitasi desa dengan sanitasi terburuk
ada di wilayah ini, sehingga program kesling dan promkes perlu diprioritaskan.
Demikian juga, banyak desa-desa dan pemukiman terpencil berada di wilayah
ini, sehingga Puskesmas dan Bidan desa perlu diberdayakan dengan
kemampuan
Dengan demikian BPJS akan menjadi sebuah badan yang sangat besar peranan
dan penagruhnya dalam (a) menentukan cara pembayaran penyedia pelayanan
kesehatan (PPK), (b) menentukan standar pelayanan kesehatan dan (c)
menentukan tarif pelayanan kesehatan. Jadi BPJS nantinya akan mempunyai
posisi tawar-menawar (bargaining power) yang kuat.
PPK primer termasuk Puskesmas dan Bidan akan dibayar dengan cara Fee
for service (FFS) atau cara kapitasi. Sedangkan PPK sekunder yaitu
pelayanan rujukan di RS akan dibayar dengan cara kelompok diagnosis yaitu
DRG (Diagnostic Related Group) atau disebut juga CBG (Case Based Group).
Prospek perkembangan BPJS perlu diantisipasi oleh sistem kesehataan di
Kabupaten Majalengka dengan baik, terutama dalam mempersiapkan PPK
(Bidan, Puskesmas dan RSUD).
2 - sel VI, VII dan IX adalah posisi lemah dan mempertahankan eksistensi
dan VII adalah posisi bertahan dan memperkuat diri
- sel I, II dan IV adalah posisi untuk secara agresif memacu kinerja
- sel III, V