Anda di halaman 1dari 64

BAB II

GAMBARAN PELAYANAN DINAS KESEHATAN


KABUPATEN MAJAENGKA
2.1.

Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kesehatan


Sebagaimana yang tertuang dalam PERDA Nomor 5 Tahun 2008, Bulan Februari

2008, Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kesehatan adalah merupakan unsur pelaksana
pemerintah Kabupaten Majalengka yang melaksanakan urusan pemerintahan daerah
berdasarkan asas desentralisasi dan tugas pembantuan bidang kesehatan.
Maksud dan tujuan dibentuknya Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka dapat
dilihat dari kedudukan, tugas pokok dan fungsi sebagi berikut :

Kedudukan
Dinas Kesehatan adalah unsur Pemerintah Kabupaten dibidang kesehatan, Dinas
Kesehatan dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah

Tugas Pokok
Tugas pokok Dinas Kesehatan adalah melaksanakan kewenangan Otonomi Daerah
dalam bidang kesehatan yang terdiri dari Pelayanan Kesehatan, Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit, Pembinaan Kesehatan dan Penyehatan Lingkungan.

Fungsi
1)

Perumusan kebijaksanaan teknis operasional dibidang kesehatan berdasarkan


kebijaksanaan Bupati.

2)

Pelaksanaan teknis fungsional dibidang kesehatan berdasarkan kebijaksanaan


pemerintah pusat.

3)

Pemberian perizinan, pembinaan dan pelaksanaan pelayanan umum dibidang


kesehatan.

4)

Pembinaan terhadap unit pelaksanaan teknis dinas dalam lingkungan dinasnya.

5)

Penyelenggaraan pelayanan teknis administrasi instansi ketata usahaan keuangan


dan kepegawaian serta penyusunan program evaluasi dan pelaporan dinas.
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud diatas, Dinas Kesehatan

mempunyai Struktur Organisasi, sebagai berikut :

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

II-1

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

II-2

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

2.2 Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan


Ada tiga institusi kesehatan yang memerlukan kecukupan

tenaga, baik dari segi

jumlahnya, komposisinya dan kompetensinya, yaitu (1) Dinas Kesehatan, (2) Puskesmas
dan pelayanan di tingkat desa serta (3) RSUD.
2.2.1

Ketenagaan Dinas Kesehatan

Tabel- 1. Situasi Ketenagaan Dinkes, 2009-2011

Ada 60 orang yang bekerja di Dinas Kesehatan (data 2011), seperti disampaikan dalam
tabel berikut. Data dalam tabel tersebut tidak menjelaskan apakan dari 21 sarjana dan S2
kesmas terdapat 4 tenaga S2 epidemilogi. Diketahui dari keterangan Dinas Kesehatan
Kabupaten Majalengka, bahwa meski jumlah tenaga S2 Epidemiologi sudah mencukupi (4
orang), ternyata tidak semua menjalanka fungsinya sebagai epidemiolog. Ini menjadi isu
penting dalam penempatan tenaga kesehatan khususnya dalam hal kompetensi dan
profesionalisme.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Paling tidak diperlukan dua epidemiolog untuk kabupaten sebesar dan seluas Majalengka.
Disamping epidemilogi, juga diperlukan tenaga ahli bidang promosi kesehatan untuk
mengatasi berbagai masalah perilaku kesehatan seperti telah disampaikan dimuka.
2.2.2

Ketenagaan RSUD Cideres dan RSUD Majalengka

Tabel- 2.2. Ketenagaan RSUD Cideres dan RSUD Majalengka, 2011

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Data dalam tabel di atas memperlihatkan bahwa baik RSUD Cideres mapun RSUD
Majalengka sudah mempunyai tenaga spesialis 4 besar (Penyakit Dalam, Anak, Obgyn
dan Bedah).
Yang belum tersedia adalah tenaga dokter ahli anestesi. Tenaga ahli bedah ortopedi ada di
RS Majalengka dan bekerja sebagai dokter paruh waktu(part time). Tenaga ahli madya
rekam medis hanya ada di RSUD Cideres dan belum ada di RSUD Majalengka.
2.2.3

Ketenagaan di Puskesmas

Tabel- 2.3. Ketenagaan di Puskesmas, 2009-2011

Data situasi ketenagaan di Puskesmas seperti

disampaikan dalam tabel berikut

menujukkan bahwa belum semua Puskesmas memiliki tenaga sesuai dengan standar
kebutuhan untuk melaksanakan fungsi Puskesmas. Sebagai catatan, Puskesmas sebagai
unit pembina kesehatan wilayah mempunyai 4 fungsi pokok, yaitu sebagai berikut:
1. Melaksanakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) termasuk promosi kesehatan,
upaya pencegahan penyakit dan kesehatan lingkungan

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

2. Melaksanakan Upaya Kesehatan Perorangan, yaitu pelayanan pengobatan dan


rujukan
3. Meningkatkan peran serta dan memberdayakan masyarakat
4. Mendorong pembangunan berwawasan kesehatan, yaitu melalui kerja sama lintas
sektor
Dari data

dalam tabel terlihat adanya beberapa kekurangan tenaga

di beberapa

Puskesmas. Secara umum, jenis tenaga yang masih kurang adalah sebagai berikut:
a)
b)
c)
d)

2.2.4.

Dokter gigi
Apoteker
Tenaga promosi kesehatan
Tenaga analis kesehatan

Obat dan Bahan Medis

Tabel- 3. Ketersediaan Obat di Dinas Kesehatan 2009-2011

Data dalam tabel menunjukkan bahwa estimasi kebutuhan dan perencanaan obat masih
belum akurat. Ada jenis obat yang tidak mencukupi dan ada pula jenis obat yang lebuih
dari cukup.
RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Ketidakcukupan obat menyebabkan mutu pelayanan kesehatan tidak baik, sedangkan


kelebihan stok obat menyebabkan inefisiensi dan kerugian ekonomi.

2.2.5 Sarana dan Fasilitas Kesehatan


Setiap kecamatan sudah memilki Puskesmas, dibantu oleh sejumlahPuskesmas Pembantu,
Puskesmas Keliling, Poskesdes dan Bidan di desa.
Tabel- 4. Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan Majalengka, 2009 s.d. 2011

Sarana pelayanan rawat inap disediakan di RSUD dan Puskesmas. Tabel berikut
memperlihatkan bahwa tingkat hunian rawat inap (BOR) di RSUD masih rendah, yaitu
dibawah 60%.
Sedangkan BOR fasilitas rawat inap di Puskesmas mencapai hampir 70%. Padaa tahun
2009 dan 2010 angka tersebut adalah 86,6% dan 88,5%. Ini menunjukkan bahwa peranan
Puskesmas melayani rawat inap

cukup tinggi. Atau dapat

pula

dikatakan bahwa

permintaan maasyarakat akan pelayanan rawat inap di Puskesmas cukup tinggi.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

2.2.6 Pembiayaan Kesehatan

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

2.3. Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka


Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
Tahun 2008 s.d 2013

Dalam perhitungan pencapaian Standar Pelayananan Minimal bidang Kesehatan


terdapat beberapa indikakator yang belum memenuhi target, hal disebabkan karena
masih belum optimalnya kegiatan tersebut.
1. Gambaran Pelayanan Kesehatan Penyakit Menular
Gambaran dari beberapa penyakit menular yang berjangkit di Kabupaten
Majalengka antara lain sebagai berikut :
a.

Penyakit Menular Tidak Langsung


1)

Penyakit Demam Berdarah (DBD)


2)

Penyakit

DBD

erat

kaitannya

dengan

meningkatnya mobilitas penduduk, dimana makin baiknya sarana


transportasi memudahkan tersebar luasnya nyamuk penular (vektor) DBD
baik dirumah/pemukiman, sekolah dan tempat-tempat umum.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Tabel 2.12
Insiden Rate per 100.000 Penduduk dan CFR per 100 Penderita Penyakit DHF
di Kabupaten Majalengka Tahun 20072013
Tahun

Jml

Meninggal Insiden Rate per

Penderita

CFR %

100.000 pddk

2007

393

10

33.5

2.5

2008

196

16.6

3.1

2009

517

43.7

1.3

2010

431

11

36,3

2,5

2011

138

11,6

0,7

2012

134

11.5

5.2

2013

305

25.8

2.6

Situasi pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di


Kabupaten Majalengka belum mencapai apa yang diharapkan, hal ini
terlihat masih tingginya kematian kasus DBD pada tahun 2012 dan 2013
(CFR 5,2 dan 2,6 %). Hal ini menandakan bahwa pengetahuan masyarakat
tentang bahaya DBD masih rendah.
Pelaksanaan penanggulangan DBD secara umum dapat dibagi dalam tiga
wilayah: endemis, sporadis dan potensial bebas. Pemberantasan vektor
masih harus dilakukan dengan cara fogging foccus, abatisasi masal dan PSN
dengan cara gerakan 3M. Penyuluhan dengan cara gerakan bulan bakti 3M
dilaksanakan oleh kader POKJA setempat seminggu sekali sejalan dengan
gerakan Jumat bersih. Berdasarkan data dari Propinsi menunjukkan adanya
kecenderungan pergeseran kasus dari usia anak-anak menjadi usia lebih
dewasa.
3)

Rabies
Tujuan program pemberantasan penyakit rabies adalah menurunkan
angka kasus rabies pada manusia maupun hewan sampai angka 0 (nol). Pada
Tahun 2013 di Kabupaten Majalengka tidak terjadi kasus rabies, namun

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

demikian Pelaksanaan penanganan oleh Dinas Kesehatan/ Puskesmas


dengan cara :
(a) Pemberantasan vektor, dilaksanakan dengan tujuan :
-

Menekan angka kasus rabies pada daerah-daerah yang belum


bebas rabies

Memepertahankan daerah yang telah bebas rabies

(b) Penanganan penderita gigitan


Dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan/ Puskesmas dengan jalan
memberikan perlindungan sedini mungkin kepada semua penderita
gigitan hewan tersangka rabies dengan pertolongan pertama mencuci
luka gigitan menggunakan sabun deterjen dan pemberian vaksin anti
rabies berorientasi pada indikasi vaksin.
Pada tahun 2013 telah dilakukan penanganan penderita gigitan
sebanyak 6 kasus yang terdiri dari ; Puskesmas Balida (1 kasus),
Puskesmas Kadipaten (1 kasus) dan Puskesmas Majalengka (4 kasus).
b.

Penyakit Menular Langsung


1) Diare
Tujuan program diare adalah menurunkan angka kesakitan dan
kematian karena diare. Berdasarkan laporan Seksi pencegahan dan
pengamatan penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, jumlah
kasus Diare yang dilaporkan tahun 2013 adalah 48.491 kasus. Angka
tersebut menunjukan terjadinya peningkatan kasus bila dibandingkan
dengan tahun 2012 yang hanya sekitar 31.570 kasus. Jumlah tersebut
menunjukkan angka insiden yang masih cukup tinggi sekaligus menunjukan
bahwa diare masih endemis dan masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang utama.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Grafik 2.13
Cakupan Penemuan Penderita Diare di Kabupaten Majalengka
Tahun 2009 2013
100000
90000
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0

120
100
80
60
40
20
0
2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : Bidang P2PL Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

Dari grafik tersebut terlihat bahwa dari tahun 20092013 semuanya telah mencapai
target yang ditentukan yaitu 20% dari perkiraan insiden diare, dan tahun 2013 juga
telah melebihi target 10%
Rendahnya penemuan kasus diare kemungkinan disebabkan karena
banyaknya kasus yang tidak dittemukan atau berobat ke sarana kesehatan swasta
dan hal ini menunjukkan masih rendahnya proses pelaksanaan surveilans di
Kabupaten Majalengka. Akibatnya bila kasus tidak ditemukan, terutama pada
golongan umur kurang dari 5 tahun (balita) akan berakibat tingginya angka
kematian.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Grafik 2.1
Proporsi Penderita Diare Berdasarkan Kelompok Umur
Di Kabupaten Majalengka Tahun 20092013
70
60
50
40
30
20
10
0
2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : Bidang P2PL Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

Dari gambar tersebut di atas terlihat bahwa terjadi perubahan resiko


terjadinya kasus diare dari tahun 2012 yang lebih besar pada anak usia lebih
dari 5 tahun dibandingkan dengan pada anak dibawah 5 tahun. Pada tahun
2013 kasus diare lebih besar pada anak usia di bawah 5 tahun. Hal ini
sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa kejadian diare pada golongan
balita episode diare adalah 1,5 kali per tahun. Selain itu anak di bawah lima
tahun memiliki kekebalan yang rentan terhadap terjadinya penyakit diare.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Grafik 2.2
Distribusi Kasus dan CFR Diare Pada Kejadian KLB
di Kabupaten Majalengka Tahun 20092013
40000

35000

30000

25000

20000

15000
10000

5000

0
2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : Bidang P2PL Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

Tahun 2009-2013 CFR diare dibawah target yang ditetapkan yaitu 1% dari
jumlah penderira yang ditemukan. Hal ini menunjukan bahwa penanganan
pada kasus diare telah ada perbaikan.
2) Kusta
Grafik 2.3
Penemuan Penderita Baru Kusta Menurut Type dan Proporsi Kasus MB
Di Kabupaten Majalengka Tahun 20092013

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

120

120

100

100

80

80

60

60

40

40

20

20

0
2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : Bidang P2PL Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

Pada Tahun 2013 penemuan kasus (Case finding) kusta ditemukan 79


kasus, hal ini menurun dibandingkan dengan Tahun 2012 yang berjumlah 85
kasus.

Grafik 2.4
Proporsi Kasus Baru Anak di Kabupaten Majalengka
Tahun 20092013
250

15

200
10

150
100

50
0

0
2009

2010

2011

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

2012

2013

Sumber : Bidang P2PL Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

Pada (Gambar 25) penemuan kasus baru kusta terbanyak pada tahun
2009 yaitu mencapai 84 kasus baru kemudian pada tahun 2010 mengalami
penurunan yaitu 78 kasus, tahun 2011 jumlah penderita baru meningkat
lagi menjadi 101 tahun 2012 turun lagi menjadi 85 kasus, tahun 2013 turun
sedikit yaitu 84 kasus, hal itu dikarenakan pada tahun tersebut kurangnya
kegiatan yang aktif ke masyarakat seperti RVS. Pada tahun 2009 proporsi
kasus anak mengalami penurunan menjadi (3.6%), pada tahun 2012
mengalami peningkatan lagi menjadi (5.88%) dari target 5% dan pada
tahun 2013 mengalami penurunan lagi menjadi 2.3%.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Grafik 2.5
Penemuan Kasus Baru Kusta (Case Detection Rate atau CDR)/100.000
Penduduk Di Kabupaten Majalengka Tahun 20092013
120

8
7

100

6
80

60

4
3

40

2
20

0
2009

2010

2011

2012

2013

3) Tuberkulosa
Di Kabupaten Majalengka penanggulangan Tuberkulosis (TBC)
dilaksanakan sesuai dengan kebijakan KEMENKES RI, yaitu
pemberantasan tuberculosis dengan menggunakan strategi DOTS yang telah
dilaksanakan oleh seluruh UPK, meliputi : Puskesmas, RSUD dan Praktek
Dokter Swasta serta melibatkan peran serta masyarakat secara paripurna dan
terpadu. Untuk seluruh Puskesmas yang ada, dibentuk beberapa Kelompok
Puskesmas Pelaksana (KPP) yang sampai dengan tahun 2013 telah
menjangkau seluruh puskesmas, yang terdiri dari 7 Puskesmas Rujukan
Mikroskopis (PRM), 8 Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM), 14 Puskesmas
Satelit (PS), 2 Rumah Sakit serta 1 Lembaga Pemasyarakatan.
Cakupan penemuan kasus tahun 2013 sebesar 1.210 Kasus BTA Positif.
Pada tahun 2013 proporsi Positivity Rate setiap triwulannya selalu berada
pada batas toleransi. Hal ini berarti penjaringan/skrining suspek di UPK
rata-rata sudah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan (ideal). Tidak terlalu
selektif (ketat) maupun tidak terlalu longgar seperti yang terlihat pada grafik
di bawah ini

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Grafik 2.6
Positivity Rate per Triwulan / Quarter
Di Kabupaten Majalengka Tahun 2013

Sumber : Bidang P2PL Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

Pada grafik di atas proporsi BTA positif diantara suspek yang diperiksa
dahaknya (positivity rate) tahun 2013 pada setiap triwulannya selalu berada
pada batas toleransi. Hal ini berarti penjaringan/skrining suspek di UPK
rata-rata sudah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan (ideal). Tidak terlalu
selektif (ketat) maupun tidak terlalu longgar.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Grafik 2.7
Case Detection Rate (CDR) Tahun 2013
Kabupaten Majalengka

Sumber : Bidang P2PL Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

Pada grafik diatas terlihat selama tahun 2013 penemuan penderita TB BTA
positif baru selalu melampaui target (20%), pada setiap triwulannya. Begitu
pula halnya penemuan kumulatif 1 tahun dapat melampaui target.

4) Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit yang banyak menyerang usia balita dan
lansia. Pada balita, pneumonia merupakan salah satu penyakit penyebab
kematian terbanyak. Berikut adalah cakupan penemuan kasus pneumonia
balita di Kabupaten Majalengka.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Grafik 2.8
Cakupan Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Kabupaten Majalengka
Tahun 20092013
14000

100
90

12000

80

10000

70

8000

60

6000

40

50
30

4000

20

2000

10

0
2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : Bidang P2PL Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

Dari grafik di atas cakupan penemuan kasus Pneumonia balita selama


5 tahun dari tahun 2009 baru mencapai 40%, pada tahun 2010 capaian hasil
kegiatan naik hingga 87,85%, pada tahun 2011 terjadi penurunan kembali
cakupan Pneumonia balita secara drastic yaitu hanya 40,43%, pada tahun
2012 naik lagi menjadi 48,2%, sedangkan pada tahun 2013 mengalami
penurunan lagi yang cukup signifikan yaitu 38.5% hal ini dikarenakan
dengan

kegiatan

berkesinambungan

supervisi
sehingga

dan
belum

bintek

program

meningkatkan

puskesmas.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

yang

belum

motifasi

petugas

Rendahnya cakupan penemuan dini kasus Pneumonia akan berakibat


terhadap tingginya kasus Pneumonia berat dan kemungkinan bisa berakibat
pada tingginya angka kematian kasus akibat Pneumonia.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Grafik 2.9
Proporsi Kasus Pneumonia Balita Berdasarkan Klasifikasi Diagnosa
di Kabupaten Majalengka Tahun 20092013
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : Bidang P2PL Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

Dari gambar di atas penemuan kasus ISPA bukan Pneumonia tiap


tahun berfluktuasi dimana kasus terendah tahun 2009 (46,3%) dan
tertinggi tahun 2010 (72,8%), sedangkan untuk kasus Pneumonia
Berat, dari tahun 2009 sampai 2013 fluktuasinya antara 0,3% sampai
6,7 %.
Dari gambar itu pula dapat kita perhatikan bahwa dari tahun
2009 sampai 2013 ada kecenderungan naiknya kasus Pneumonia dan
kasus ISPA bukan Pneumonia. Hal ini menunjukan sudah makin
meningkatnya penemuan kasus Pneumonia dini di Puskesmas.
Pada tahun 2009 kasus Pneumonia Berat berjumlah 284 kasus
dan kasus Pneumonia berjumlah 6.466 kasus. Proporsi kasus
Pneumonia Berat terhadap seluruh kasus Pneumonia adalah 4,4 %.
Angka tersebut masih di atas target yang ditentukan program

yaitu

1%, hal ini menunjukkan bahwa masih kurang maksimalnya dalam


menemukan kasus Pneumonia dini di masyarakat.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Grafik 2.10
Proporsi Kasus Pneumonia Berat dan CFR Pneumonia
Berdasarkan Kelompok Umur
di Kabupaten Majalengka Tahun 20092013
200

4.5

180

160

3.5

140

120

2.5

100
2

80

1.5

60
40

20

0.5

0
2009

2010

2011

2012

2013

Sumber : Bidang P2PL Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

Berdasarkan gambar di atas proporsi Pneumonia berat tahun 20092013 pada anak usia 1-4 tahun selalu lebih besar dibanding bayi, kecuali
tahun 2010 dan 2012. Artinya resiko terjadinya Pneumonia berat pada anak
usia 1 4 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan bayi (< 1 tahun). Hal ini
tidak sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa terjadinya Pneumonia
pada bayi dan anak balita dipengaruhi oleh faktor usia anak, aspek
kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan dan lain-lain.
(Depkes RI, 1991).
Berdasarkan gambar tersebut pula terlihat bahwa kasus meninggal
karena Pneumonia dari tahun ke tahun selalu berfluktuasi, dimana CFR
terendah terjadi pada tahun 2010 untuk balita (0,01%) sedangkan CFR
tertinggi terjadi pada tahun 2009 (2,9%) untuk bayi.
Dari data di atas menunjukkan bahwa dari satu sisi merupakan
keberhasilan dalam pencatatan dan pelaporan kasus tetapi disisi lain
mengindikasikan adanya keterlambatan dalam penemuan dini dan
RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

tatalaksana kasus, dan hal tersebut tidak sejalan dengan target yang telah
ditentukan yaitu 63% penderita Pneumonia harus mendapat tatalaksana
standar.

5) Penyakit Menular Seksual


AIDS adalah penyakit yang sangat berbahaya karena sampai saat ini
belum ada vaksin untuk mencegahnya dan belum ada obat yang dapat
menyembuhkan penyakit ini dengan sempurna. Penyakit ini mempunyai
case fatality rate (CFR) 100% dalam waktu 5-10 tahun, artinya dalam kurun
waktu antara 5-10 tahun setelah diagnosis AIDS ditegakan hampir
dipastikan penderita akan meninggal.
Saat ini AIDS sudah menjadi epidemi (wabah) Di Kabupaten
Majalengka berdasarkan hasil pelaksanaan mobile VCT, kunjungan sukarela
ke klinik VCT yang baru ada di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten
Majalengka, hasil temuan di beberapa Fasyankes (RSUD Majalengka dan
13 Puskesmas) dari tahun 2001 s/d 2013 telah ditemukan 69 kasus HIV
positif dan 46 kasus AIDS. Meskipun jumlah tersebut masih sangat kecil
dibandingkan besarnya penduduk Kabupaten Majalengka namun dampak
sosialnya sangat besar karena yang terkena penyakit ini adalah pada
golongan usia produktif. Kita harus tetap mewaspadai fenomena gunung es
ini dengan realitas sebernarnya di masyarakat.
Semakin banyak generasi muda terkena HIV/AIDS, maka semakin
berkurang kualitas Sumber Daya Manusia. Dampak sosial seperti
pengucilan,

perselisihan,

ketegangan,

pelecahan

kepada

penderita

HIV/AIDS akan sangat berpengaruh terhadap penderita, keluarga dan


masyarakat. Kalau keadaan ini tidak ditanggulangi maka suatu saat jumlah
penderita HIV/AIDS akan semakin bertambah banyak. Mengingat
HIV/AIDS menyerang sebagian besar kelompok usia muda yang produktif,
maka

akan

menurunkan

produktifitas

masyarakat

dalam

rangka

Pembangunan terutama dalam upaya pengentasan kemiskinan dan


berpengaruh kepada menurunnya Indeksi Pembangunan Manusia di
Kabupaten Majalengka.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Grafik 2.11
Sebaran Kasus HIV/AIDS Per-Wilayah Kerja Puskesmas
Di Kabupaten Majalengka Tahun 2012

Sumber : Bidang P2PL Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

Menurut data diatas kasus HIV Positif banyak ditemukan di wilayah


Puskesmas Majalengka dan kasus AIDS terbanyak ditemukan di Wilayah
Puskesmas Kasokandel. Hal ini dikarenakan di wilayah Puskesmas
Majalengka terdapat lapas yang menampung kasus-kasus narkoba,
kemudian di wilayah Puskesmas Kasokandel terdapat Hotspot sama halnya
dengan di wilayah Puskesmas waringin. Di wilayah Puskesmas Cigasong
juga kasus HIV cukup banyak karena memang terdapat Hotspot disekitar
pasar cigasong.
Laki-laki yang terjangkit HIV masih mendominasi, hal ini perlu diwaspadai
oleh karena siap menularkan kepada lawan jenisnya, apalagi bila laki-laki
tersebut sudah mempunyai pasangan, yang selanjutnya bisa saja penularan
akan terjadi didalam kamar sendiri (penularan melalui transmisi seksual)
dalam tatanan rumah tangga dan juga tidak menutup kemungkinan apabila
RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

selanjutnya sel spermatozoa dari laki-laki HIV positif membuahi sel ovum
dan selanjutnya menjadikan keturunan (anak) HIV positif juga.
Sama seperti halnya kasus HIV, pada sebaran kasus AIDS menurut jenis
kelamin ternyata laki-laki masih lebih banyak ketimbang perempuan, seperti
yang terlihat pada diagram berikut ini :
Diagram 2.12
Sebaran Kasus AIDS Menurut Gender
Di Kabupaten Majalengka Periode Tahun 2001 - 2013
Sebaran Kasus HIV Per Jenis Kelamin
Majalengka 2001 - 2013

P; 36.1; 36%
L

P
L; 63.9; 64%

Sumber : Bidang P2PL Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

6) Penyakit Yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi


a)

Tetanus Neonatorum
Pada tahun 2013 di Kabupaten Majalengka terdapat kasus
Tetanus sebanyak 2 (dua) kasus. Namun bukan kasus Tetanus
Neonatorum, namun hal ini masih menimbulkan tanda tanya apakah,
benar tidak ada kasus atau tidak terlaporkan. Dan kalaupun memang

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

benar-benar tidak ada kasus, hal tersebut diharapkan sebagai kemajuan


bagi progam imunisasi dan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan.
b)

Campak
Kasus campak yang terjadi pada tahun 2013 sebanyak 128
kasus. Hal ini berarti terjadi peningkatan kasus jika dibandingkan
pada tahun 2011 yaitu 120 kasus dan tahun 2012 sebanyak 125
kasus. Pada tahun 2013 ini terjadi KLB

campak di desa Argalingga

kecamatan Argapura dengan jumlah kasus 15.


Adapun rincian kasus menurut Kelompok Umur, Bulan dan
Puskesmas akan ditampilkan pada grafik di bawah ini.

Grafik 2.13
Kasus Campak Menurut Kelompok Umur
Di Kabupaten Majalengka Tahun 2012

Sumber : Bidang P2PL Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

Pada grafik di atas terlihat proporsi kasus campak menurut


kelompok umur, pada tahun ini kasus terbanyak adalah pada usia 5-14
tahun atau usia sekolah yaitu sebanyak 90 kasus hal ini menunjukkan
adanya peningkatan kasus jika dibandingkan tahun sebelumnya tahun 2012
sebesar 78 kasus atau peningkatan kasus pada umur tersebut sekitar 15.3
%.
RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Sedangkan Menurut jenis kelamin, kasus campak terbanyak


terjadi pada Perempuan yaitu sebesar 59 % sedangkan pada laki-laki
sebesar 41% .
Berdasarkan petunjuk teknis surveilans campak dari kementerian
kesehatan tahun 2012 maka seharusnya dilakukan pemeriksaan specimen
minimal sebanyak 50% dari seluruh kasus. Maka dari Jumlah kasus campak
di Kabupaten Majalengka pada Tahun 2013 sebanyak 134, seharusnya
diperiksa sampel sebanyak 67 kasus campak, namun pada tahun 2013 ini
Surveilans Campak Kabupaten Majalengka melalui Case Base Measles
Surveilance (CBMS) mengirimkan 14 kasus atau sekitar 10,45%. Grafik
kasus CBMS menurut Puskesmas yang mengirimkan Sampel dapat dilihat
pada grafik berikut ini:

Grafik 2.14
Distribusi Kasus CBMS Tahun 2013
Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka

Sumber : Bidang P2PL Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

2. Penyakit Tidak Menular


a. Penyakit Degeneratif
Selama periode tahun 2013 dan sebelumnya, belum dilaksanakan surveilans
terhadap penyakit tidak menular. Sehingga belum bisa dilakukan analisa data
mengenai penyakit-penyakit degeneratif.
Namun untuk penyakit Hipertensi dan Diabetes Melitus telah dilakukan
pendataan sperti terlihat pada tabel berikut :
Grafik 2.15
Jumlah Kasus Hipertensi Tahun 2013
Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka

Sumber : Bidang P2PL Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa penyakit Hipertensi lebih banyak


terjadi daripada Diabetes Melitus dan kasusnya banyak terjadi pada usia di atas 45
tahun.
Terjadi sebuah pola hidup yang kurang baik disini, sehingga ketika telah
mencapai usia di atas 45 tahun terjadi gejala penyakit degenerative akibat
akumulasi kelainan metabolisme tubuh yang terjadi secara berkesinambungan pada
saat masih usia muda nya.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

b. Gangguan Jiwa
Pada tahun 2013 kunjungan pasien dengan gangguan jiwa di sarana pelayanan
kesehatan di Kabupaten Majalengka baik di Puskesmas maupun rumah sakit
dilaporkan sebanyak 31.262 meningkat dari tahun 2012 sebanyak 25.813.

3. KEMATIAN
Secara umum tingkat kematian berhubungan erat dengan tingkat kesakitan
karena biasanya merupakan akumulasi akhir dari berbagai penyakit. Peristiwa kematian
yang terjadi dalam suatu wilayah dapat menggambarkan derajat kesehatan, penanganan
penyakit dan pelayanan kesehatan maupun hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa
kematian di wilayah tersebut. Pada dasarnya ada 2 penyebab kematian yaitu penyebab
langsung dan penyebab tidak langsung, walaupun kenyataan yang terjadi adalah
akumulasi interaksi berbagai faktor tunggal maupun bersama yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap tingkat kematian masyarakat.
a) Kematian Ibu
Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan kematian maternal
terjadi lebih dari 500.000 kasus per tahun di seluruh dunia, yang terjadi akibat
proses reproduksi. Sebagian besar kasus kematian ibu terjadi di negara negara
berkembang, termasuk di Indonesia.
Angka kematian ibu di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2002-2003, angka kematian ibu
(AKI) di Indonesia adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup, dengan angka kematian
bayi (AKB) sebesar 35 per 1.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2007). Salah satu
penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin adalah pre-eklamsia dengan angka
kejadiannya berkisar antara 0,51% - 38,4% menurut WHO. Di negara maju, angka
kejadian pre-eklamsia berkisar 6% - 7%. Di negara berkembang, angka kematian
ibu karena pre-eklamsia masih tinggi. Penyebab angka kematian ibu dan anak yang
tinggi pada kasus pre-eklamsia dan eklamsia di negara-negara berkembang adalah
karena pemeriksaan antenatal dan upaya pencegahan yang kurang, serta terlambat
mendapat penanganan yang tepat.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Menurut Depkes RI, pada tahun 2005 kasus pre-eklamsia dan eklamsia
memiliki persentase kasus sebesar 4,91% dari seluruh kasus obstetri di rumah sakit
di Indonesia, dengan Case Fatality Rate sebesar 2,35% yang merupakan penyebab
kematian ibu terbesar.
Pre-eklamsia ialah penyakit yang ditandai dengan adanya hipertensi,
edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Sedangkan eklamsia adalah
pre-eklamsia yang terkomplikasi dengan kejang tonik-klonik umum. Etiologi dan
patofisiologi dari pre-eklamsia dan eklamsia masih belum dapat dijelaskan secara
pasti, namun terdapat beberapa hipotesis yang mencoba menerangkan hal tersebut,
salah satunya adalah teori tentang disfungsi endotel. Disfungsi endotel ini akan
menyebabkan aktivasi koagulasi, sehingga dapat terjadi trombositopenia konsumtif.
Sedangkan pada ibu hamil normal, dikatakan trombosit juga menurun kadarnya
secara progresif selama kehamilan.
Angka kematian ibu atau maternal mortality rate (MMR) adalah angka
kematian ibu yang disebabkan oleh karena kehamilan atau persalinan pada setiap
100.000 kelahiran hidup. Angka ini berguna untuk menggambarkan status gizi dan
kesehatan ibu, kondisi kesehatan lingkungan serta tingkat pelayanan kesehatan
terutama untuk ibu pada saat hamil, melahirkan dan masa nifas. Angka ini juga
berkontribusi pada angka harapan hidup secara keseluruhan sebagai indikator
pembangunan manusia.
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan
indikator status kesehatan masyarakat. Selama 15 tahun terakhir, AKI di Indonesia
tidak menunjukan penurunan yang bermakna, seharusnya sudah mencapai
225/100.000 kelahiran hidup (KH) pada tahun 2000.Dalam upaya pencapaian
Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2014, diharapkan AKI turun
menjadi 118 per 100.000 KH, AKB menjadi 24 per 1.000 KH dan Angka Kematian
Neonatal (AKN) menjadi 15 per 1.000 KH.
Tahun 2013 jumlah kematian ibu di Kabupaten Majalengka adalah 30 orang
Kematian ibu menurut penyebab terdiri dari hipertensi dalam kehamilan 11orang
(36,67%), perdarahan 12 orang (40%), penyakit jantung 4 orang (13,33%), partus
lama 1 orang (3,33%) dan ileus 1 orang (3,33%).Kematian ibu menurut waktu
terjadinya kematian adalah kematian ibu hamil 2 orang (6,67%), ibu melahirkan 14

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

orang (46,67%) dan kematian ibu nifas 14 orang (46,67%). Sementara itu kematian
ibu menurut tempat kematian adalah 4orang ( 13,39%)meninggal di rumah, 25
orang (83,338%) meninggal di Rumah Sakit yaitu 8 orang RSUD Majalengka, 6
orang RSUD Cideres dan 11 orang di RS luar wilayah,dan1 orang (3,33%)
meninggal dalam perjalanan. Dari 25 orang yang meninggal di Rumah Sakit 15
orang meninggal dalam waktu kurang dari 24 jam dan 15 orang dalam waktu lebih
dari 24 jam.
Grafik 2.16
Trend Kematian Ibu dan Bayi Tahun 2009-2013
Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kab. Majalengka
450
400 406
350
300
250
200
150
100
50 47
0
2009

405
285

299
247

Kematian Ibu
Kematian Bayi

27
2010

43
2011

46
2012

30
2013

Grafik 2.17
Trend Kematian Ibu Menurut Puskesmas Tahun 2012-2013
Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kab. Majalengka

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

6
5
4
3
2

2012

2013

i
uk
ah
S

in
g

aj

l
am

bu

ik
i ji
ng
C

g
un

as
Pa
l

Li
g

ah

n
gk
ir
a
yi
n
Pa
n

ag
al
S

Le
m

ah

ed

su

an

gi

Menurut Grafik 3.29 Puskesmas penyumbang kematian ibu di Tahun 2013


adalah Jatiwangi, Cigasong, Kasokandel, Argapura, Sumberjaya, Leuwimunding,
Cikijing, Argapura,Panyingkiran, Jatitujuh, Palasah, Kadipaten, Malausma, Balida,
Majalengka dan Lemahsugih.
Diagram 2.18
Kematian Menurut Penyebab Tahun 2012 dan 2013
Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kab. Majalengka

Emboli Air Ketuban; 3%

Ileus; 3%

Penyakit Jantung; 13%


Partus Lama; 3%

TBC; 2%Ginjal; 2%Hilang Kes adaran Akut; 2%


Penyakit Jantung; Perdararahan
17%

Perdarahan; 40%
Infeks i; 9%

HDK; 37%

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

HDK; 46%

; 22%

Tahun 2012

Tahun 2013

Terjadi penurunan jumlah kematian ibu yang bermakna jika dibandingkan


dengan upaya-upaya yang dilakukan pada Tahun 2013.Sebab kematian ibu di
Kabupaten Majalengka mengalami pergeseran jika pada Tahun 2012 sebab
kematian tertinggi adalah Hipertensi Dalam Kehamilan 21 orang (46%) pada tahun
2013 sebab kematian tertinggi disebabkan karena perdarahan 12 (40%).

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Tabel 2.13
Kematian Ibu Menurut Penyebab Tahun 2012 dan 2013
Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kab. Majalengka
Penyebab
Perdarahan
HDK
Infeksi
Lain-lain
Partus Lama
Penyakit Jantung
Emboli Air
Ketuban
Ileus
TBC
Gagal Ginjal
Hilang Kesadaran
Akut
Jumlah

Tahun 2012
10
21
4
0
0
8
0

Tahun 2013
12
11
0
0
1
4
1

Diperkirakan 15-20 %
kehamilan

dan

akan mengalami komplikasi.


Sebagian komplikasi ini dapat
mengancam

0
1
1
1

1
0
0
0

46

30

persalinan

sebagian

jiwa,

besar

tetapi

komplikasi

dapat dicegah danditangani


bila: 1) ibu segera mencari
pertolongan

ke

tenaga

kesehatan;

2)

tenaga

kesehatanmelakukan prosedur penanganan yang sesuai, antara lain penggunaan partograf


untukmemantau perkembangan persalinan, dan pelaksanaan manajemen aktif kala III
(MAK III)untuk mencegah perdarahan pasca-salin; 3) tenaga kesehatan mampu melakukan
identifikasidini komplikasi; 4) apabila komplikasi terjadi, tenaga kesehatan dapat
memberikanpertolongan pertama dan melakukan tindakan stabilisasi pasien sebelum
melakukan rujukan;5) proses rujukan efektif; 6) pelayanan di RS yang cepat dan tepat
guna.
Dengan demikian, untuk komplikasi yang membutuhkan pelayanan di RS,
diperlukanpenanganan yang berkesinambungan (continuum of care), yaitu dari
pelayanan di tingkatdasar sampai di Rumah Sakit. Langkah 1 sampai dengan 5
diatas tidak akan bermanfaat bilalangkah ke 6 tidak adekuat. Sebaliknya, adanya
pelayanan di RS yang adekuat tidak akanbermanfaat bila pasien yang mengalami
komplikasi tidak dirujuk.
Tahun 2013 jumlah kematian ibu di Kabupaten Majalengka adalah 30 orang
Kematian ibu menurut penyebab terdiri dari hipertensi dalam kehamilan 11orang
(36,67%), perdarahan 12 orang (40%), penyakit jantung 4 orang (13,33%), partus
lama 1 orang (3,33%) dan ileus 1 orang (3,33%).Kematian ibu menurut waktu

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

terjadinya kematian adalah kematian ibu hamil 2 orang (6,67%), ibu melahirkan 14
orang (46,67%) dan kematian ibu nifas 14 orang (46,67%). Sementara itu kematian
ibu menurut tempat kematian adalah 4orang ( 13,39%)meninggal di rumah, 25
orang (83,338%) meninggal di Rumah Sakit yaitu 8 orang RSUD Majalengka, 6
orang RSUD Cideres dan 11 orang di RS luar wilayah,dan1 orang (3,33%)
meninggal dalam perjalanan. Dari 25 orang yang meninggal di Rumah Sakit 13
orang meninggal dalam waktu kurang dari 24 jam dan 12 orang dalam waktu lebih
dari 24 jam.
Terjadi penurunan jumlah kematian ibu yang bermakna jika dibandingkan
dengan upaya-upaya yang dilakukan pada Tahun 2013.Sebab kematian ibu di
Kabupaten Majalengka mengalami pergeseran jika pada Tahun 2012 sebab
kematian tertinggi adalah Hipertensi Dalam Kehamilan 21 orang (46%) pada tahun
2013 sebab kematian tertinggi disebabkan karena perdarahan 12 (40%).
Berdasarkan hasil Audit Maternal Perinatal Tahun 2013, 12 orang kematian
ibu karena perdarahan terdiri dari atonia uteri 6 (enam) kasus persalinan ditolong
oleh dokter spesialis, inversio uteri 2 (dua) kasus persalinan ditolong oleh bidan,
solutio plasenta 2 (dua) kasus persalinan masing-masing ditolong dokter spesialis
dan bidan dan ruftur uteri 2 (dua) kasus persalinan ditolong oleh dukun paraji.
6 (enam) kasus atau 50 % perdarahan post partum yang ditemukan pada
Tahun 2013 disebabkan oleh atonia uteri. Upaya penanganan perdarahan post
partum disebabkan atonia uteri harus dimulai engan mengenal ibu yang memiliki
kondisi yang berisiko terjadinya atonia uteri. Kondisi ini mencakup hal-hal yang
menyebabkan uterus meregang lebih dari kondisi normal, persalinan lama,
persalinan terlalu cepat, persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin, infeksi
intrapartum, paritas tinggi dan anemia.
Solutio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari
implantasi normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu atau
lebih.Solusio plasenta umumnya terjadi karena dekompresi uterus pada hidramnion
dan gemeli, tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang
banyak, versi luar atau tindakan pertolongan persalinan. Pengaruh lainnya adalah
faktor usia, faktor paritas, anemia juga defisiensi gizi.
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam kavum uteri, dapat
secara mendadak atau perlahan.Kejadian ini biasanya disebabkan pada saat melakukan

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

persalinan plasenta secara Crede, dengan otot rahim belum berkontraksi dengan
baik.Inversio uterim emberikan rasa sakit yang dapat menimbulkan keadaan
syok.Penyebab Inversio Uteri yaitu spontan (grandemultipara, atoni uteri,
kelemahan alat kandungan, tekanan intra abdominal yang tinggi misalnya mengejan
dan batuk) dan tindakan ( tarikan tali pusat, manual plasenta yang dipaksakan,
perlekatan plasenta pada dinding rahim).
Ruptura uteri adalah robekan rahim merupakan peristiwa yang amat
membahayakan baik untuk ibu maupun untuk janin.Ruptura uteri dapat terjadi
secara spontan atau akibat trauma dan dapat terjadi pada uterus yang utuh atau yang
sudah mengalami cacat rahim (pasca miomektomi atau pasca sectio caesar) serta
dapat terjadi pada ibu yang sedang inpartu (awal persalinan) atau belum inpartu
(akhir kehamilan).Faktor resikopasca sectio caesar, pasca miomektomi, disfungsi
persalinan (partus lama, distosia), induksi atau akselerasi persalinan dengan
oksitosin drip atau prostaglandin, makrosomia dan grande multipara.
Atonia uteri, solusio plasenta, inversio uteri dan ruftur uteri merupakan
perdarahan pasca salin primer atau terjadi dalam 24 jam pertama, terbanyak dalam
2 jam pertama. Terjadinya kematian karena perdarahan pasca salin primer
mengindikasikan kurang baiknya deteksi faktor risiko pada ibu hamil, manajemen
tahap ketiga proses kelahiran dan pelayanan emergensi obstetrik baik di pelayanan
dasar maupun pelayanan rujukan.
11(sebelas) orang kematian ibu terjadi karena Hipertensi Dalam Kehamilan
(Preeklampsia dan eklampsia). Hipertensi karena kehamilan lebih sering terjadi
pada primigravida. Keadaan patologis telah terjadi sejak implantasi, sehingga
terjadi iskemia plasenta.Risiko meningkat pada masa plasenta besar (gemelli,
penyakit trofoblast), hidramnion, DM, faktor herediter dan autoimun.Preeklampsia
ringan sering ditemukan tanpa gejala kecuali peningkatan tekanan darah.Prognosis
menjadi lebih buruk dengan terdapatnya proteinuria, sedangkan edema tidak selalu
ditemukan.Oleh karena itu, penemuan kasus preeklampsia sedini mungkin dengan
mengidentifikasi faktor risiko, menemukan gejala awal hipertensi dan preteinuria
dapat mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Seharusnya sebagian besar kematian ibu dapat dicegah karena sebagian
besar komplikasi kebidanan dapat ditangani. Setidaknya ada tiga kondisi yang perlu
dicermati dalam menyelamatkan ibu yaitu :

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

a) Pertama, sifat komplikasi obstetri yang tidak dapat diprediksi akan dialami oleh
siapa dan kapan akan terjadi (dalam kehamilan, persalinan atau pasca-salin
terutama 24 jam pertama pasca-salin). Hal ini menempatkan setiap ibu hamil
mempunyai risiko mengalami komplikasi kebidanan yang dapat mengancam
jiwanya.
b) Kedua, karena setiap kehamilan berisiko maka seharusnya setiap ibu mempunyai
akses terhadap pelayanan yang adekuat yang dibutuhkannya saat komplikasi
terjadi. Sebagian komplikasi dapat mengancam jiwa sehingga harus segera
mendapatkan pertolongan di rumah sakit yang mampu memberikan pertolongan
kegawat-daruratan kebidanan dan bayi baru lahir.
Ketiga, sebagian besar kematian ibu terjadi pada masa persalinan dan dalam
24 jam pertama pasca persalinan, suatu periode yang sangat singkat sehingga akses
terhadap dan kualitas pelayanan pada periode ini perlu mendapatkan prioritas agar
mempunyai daya ungkit yang tinggi dalam menurunkan kematian ibu.
Dalam

kenyataannya,

langkah-langkah

pencegahan

dan

penanganan

komplikasi tersebutdiatas seringkali tidak terjadi, yang disebabkan oleh karena


keterlambatan dalam setiaplangkah, yaitu:
a) Terlambat mengambil keputusan
Keterlambatan pengambilan keputusan di tingkat masyarakat dapat disebabkan
oleh beberapa hal berikut ini:
1) Ibu terlambat mencari pertolongan tenaga kesehatan walaupun akses
terhadap tenaga kesehatan tersedia 24/7 (24 jam dalam sehari dan 7 hari
dalam seminggu) oleh karena masalah tradisi/kepercayaan dalam
pengambilan keputusan di keluarga, dan ketidakmampuan menyediakan
biaya non-medis dan biaya medis lainnya (obat jenis tertentu, pemeriksaan
golongan darah,transport untuk mencari darah/obat, dll).
2) Keluarga terlambat merujuk karena tidak mengerti tanda bahaya yang
mengancam jiwa ibu.
3) Tenaga
kesehatan

terlambat

melakukan

pencegahan

dan/atau

mengidentifikasi komplikasi secara dini - yang disebabkan oleh karena


kompetensi tenaga kesehatan tidak optimal, antara lain kemampuan dalam
melakukan APN (Asuhan Persalinan Normal) sesuai standar dan

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

penanganan pertama keadaan GDON (Gawat Darurat Obstetri dan


Neonatal).
4) Tenaga kesehatan tidak mampu mengadvokasi pasien dan keluarganya
mengenai pentingnya merujuk tepat waktu untuk menyelamatkan jiwa ibu.
b) Terlambat Mencapai RS Rujukan dan Rujukan Tidak Efektif, yang dapat
disebabkan oleh:
1) Masalah geografis
2) Ketersediaan alat transportasi
3) Stabilisasi pasien komplikasi (misalnya pre-syok) tidak terjadi/tidak efektif
karena keterampilan tenaga kesehatan yg kurang optimal dan/atau
obat/alat kurang lengkap
4) Monitoring pasien selama rujukan tidak dilakukan atau dilakukan tetapi
tidak ditindaklanjuti
c) Terlambat Mendapatkan Pertolongan Adekuat di RS Rujukan, yang dapat
disebabkan karena :
1) Tenaga kesehatan yang dibutuhkan (SPOG, Anestesi, Anak, dll) tidak
tersedia terutama pada hari libur
2) Tenaga Kesehatan kurang terampil walaupun akses terhadap tenaga
tersedia
3) Sarana dan prasarana tidak lengkap/tidak tersedia, termasuk ruang
perawatan, ruang tindakan, peralatan dan obat
4) Darah tidak segera tersedia
5) Pasien tiba di RS dengan kondisi medis yang sulit diselamatkan
6) Kurang jelasnya Pengaturan penerimaan kasus darurat agar tidak terjadi
penolakan pasien atau agar pasien dialihkanke RS lain secara efektif
7) Kurangnya informasi di masyarakat tentang kemampuan sarana pelayanan
kesehatan yang dirujuk dalam penanganan kegawat daruratan maternal dan
bayi baru lahir, sehingga pelayanan adekuat tidak diperoleh
Tabel dibawah ini menggambarkan Angka Kematian Ibu tahun 2005 2013
di Kabupaten Majalengka.

Tabel 2.14
Angka Kematian Ibu (yang dilaporkan) di Kabupaten Majalengka
Tahun 2005 2013

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

AKI
147,9
147,6
197,17
148,36
223,21
133,25
209,5
209,2
137.97

Sumber
BPS Kab.
Majalengka
b.

Kematian Bayi

Tabel 7 Profile Kesehatan Tahun 2010


Tabel 8 Profile Kesehatan Tahun 2011
Tabel 8 Profile Kesehatan Tahun 2012
Tabel 8 Profile Kesehatan Tahun 2013

Angka Kematian bayi di


Indonesia masih tinggi
dibandingkan dengan negara

berkembang lainnya. Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi
dalam usia 28 hari pertama kehidupan per 1000 kelahiran hidup. Angka ini
merupakan salah satu indikator derajat kesehatan bangsa. Tingginya angka
Kematian bayi ini dapat menjadi petunjuk bahwa pelayanan maternal dan noenatal
kurang baik, untuk itu dibutuhkan upaya untuk menurunkan angka kematian bayi
tersebut.
Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 Angka
Kematian Bayi (AKB) didunia 54 per 1000 kelahiran hidup dan tahun 2006
menjadi 49 per 1000 kelahiran hidup. Menurut data dari Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 sebesar 34/1000 kelahiran hidup
sedangkan angka Kematian balita (AKBAL) pada tahun 2007 sebesar 44/1000
kelahiran hidup.
Menurut WHO dalam Maryunani (2009) data BBLR dirincikan sebanyak
17% dari 25 juta persalinan pertahun didunia dan hampir semua terjadi dinegara
berkembang. Angka kejadian BBLR di Indonesia adalah 10,5% masih di atas angka
rata-rata Thailand (9,6%) dan Vietnam (5,2%). Di Indonesia, BBLR bersama 1
prematur merupakan penyebab Kematian neonatal yang tinggi. Berdasarkan hasil
Riskesdas 2010 ditemukan bahwa daerah Sumut kejadian berat bayi lahir rendah
sebanyak 8,2 %. Berdasarkan profil Puskesmas Kecamatan Medan Tuntungan
tahun 2011 ditemukan kejadian BBLR 1,5% dari setiap persalinan pertahun.
Bayi yang lahir dari ibu muda mengalami lebih sering kejadian prematuritas
atau berat badan kurang, dan angka kematian yang lebih tinggi dari pada bayi yang
dilahirkan dari ibu yang lebih tua. Berat badan kurang mungkin merupakan
penyebab kematian janin dan bayi yang terpenting. Berat badan kurang pada bayi
RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

yang dilahirkan dari ibu yang sangat muda ternyata berhubungan dengan cacat
bawaan fisik atau mental seperti ayan, kejang kejang, keterbelakangan, kebutaan
atau ketulian.
Salah satu penyebab Kematian neonatus tersering adalah bayi berat lahir
rendah (BBLR) baik cukup bulan maupun kurang bulan (prematur). Pertumbuhan
dan perkembangan BBLR setelah lahir mungkin akan mendapat banyak hambatan.
Perawatan setelah lahir diperlukan bayi untuk dapat mencapai pertumbuhan dan
perkembangannya. Kemampuan ibu untuk memahami sinyal dan berespon terhadap
bayi prematur berinteraksi dan memberikan dekapan.
Bayi lahir dengan berat badan lahir rendah merupakan salah satu faktor risiko
yang mempunyai kontribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal
selain itu BBLR dapat mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh
kembang selanjutnya sehingga membutuhkan biaya perawatan yang tinggi. Angka
BBLR di Indonesia nampak bervariasi, secara nasional berdasarkan analisa lanjut
SDKI angka BBLR sekitar 7,5 %.

Bila dikaji lebih dalam lagi, fenomena faktor demografi dan perawatan
antenatal yang kurang baik akan beruntut pada tingginya angka kejadian bayi berat
lahir rendah atau prematur yang dapat mengakibatkan tingginya angka kesakitan
dan kematian pada bayi.
Berdasarkan kajian dan meta analisis tentang faktor faktor penentu bayi berat
lahir rendah antara lain adalah faktor demografi dan psikososial termasuk di
dalamnya (usia ibu, status ekonomi, pendidikan, penghasilan) faktor berikutnya
adalah faktor perawatan Antenatal termasuk didalamnya (kunjungan antenatal
pertama, jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan dan kualitas perawatan
antenatal). Apabila faktor-faktor di atas tidak segera diatasi maka jumlah kelahiran
BBLR kemungkinan semakin meningkat. Hal ini akan menjadi beban
pembangunan kesehatan jangka pendek dan jangka panjang, karena dampak jangka
pendek meningkatnya jumlah kematian bayi usia 0-28 hari, sedangkan jangka
panjang BBLR rentan terhadap timbulnya beberapa jenis penyakit pada usia
dewasa.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Jumlah bayi baru lahir hidup Tahun 2013 adalah 21.743 orangmenurun jika
dibandingkan dengan tahun 2012 yaitu 21.988 orang, bayi lahir hidup dengan Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR) tahun 2013 adalah 793 orang (3,65) meningkat jika
dibandingkan Tahun 2012 yaitu 745 orang (3,39%), lahir mati 165 orang, jumlah
kematian bayi 247 turun jika dibandingkan Tahun 2012 (299 orang) dan jumlah
kematian balita 17.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Grafik 2.18
Trend Kematian Bayi Menurut Puskesmas Tahun 2012-2013
Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kab. Majalengka

30
25

19

20
15

12
9

10

5 5

6
3

1211
1010

9
5 4

11
6 7 5 7

6 6

11
8

11
8

2013

1
h
gi
ah
Le
m

Le
u

im

un

su

di

an
gw
an

in
d
S

ng

gi

i
Lo
j

al

id

n
Pa
n

on

ga

ah
Pa
la
s

ik
i

jin

Grafik 2.19
Perbandingan Bayi Lahir Mati Menurut Puskesmas
Tahun 2012 dan 2013

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

2012

20
18
16

13

14

11

12

10

77

99

22

4
2

4444

44
2

33

88
2012

5
3

2013

i
Le
m

ah

su

gi

Lo
j

ik
iji
ng
C

Pa
n

on

ga

at
i
Ke
r

ta
j

a
sm
au
M
al

in

ga

bu

Menurut Grafik 3.33 Puskesmas dengan jumlah kematian bayi tertinggi


Tahun 2013 adalah Jatiwangi, Loji, Sukahaji, Rajagaluh, Talaga, Bantarujeg,
Leuwimunding, Malausma dan Banjaran.
Menurut Grafik 3.34 Puskesmas dengan kasus lahir mati tertinggi adalah
Jatiwangi, Argapura, Palasah, Kasokandel, Cigasong, Rajagaluh, Talaga dan
Sumberjaya.
Kematian bayi menurut waktu kematian adalah 159 orang pada usia 0-6 hari
(64,37) meningkat jika dibandingkan Tahun 2012 (61,20%), 27 orang pada 7-28
hari (10,93%) menurun jika dibandingkan Tahun 2012 (14,04%) dan 61 orang pada
usia 29 hari -1I bulan (24,69) relatif tetap jika dibandingkan Tahun 2012 (24,74%).
Grafik 2.20
PWS Kematian Neonatal (0-28 hari) Menurut Puskesmas
Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kab. Majalengka

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

15

16
14

12

12
10
8
6
4
2 1

4 4 4 4 4

5 5 5 5 5 5 5

6 6 6 6 6 6

7 7 7 7

8 8 8

2 2 2

Su
ka
ha
ji

Ja
tit
uj
uh

un
di
ng
Le
uw
im

Li
gu
ng

M
un
ju
l

Sa
la
ge
da
ng

Su
ka
m

ul
ya

Kematian Neonatal tertinggi pada Tahun 2013 tejadi di Puskesmas Jatiwangi,


sukahaji, Loji, Palasah, Bantarujeg, Malausma, Margajaya, Jatitujuh, Banjaran dan
Lemahsugih.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Diagram 2.1
Kematian Neonatal dan Bayi Menurut Penyebab
Di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kab. Majalengka

Lain-lain; 18%
Kel Saluran cerna; 1%
Diare; 1%

BBLR; 27%

Pneumonia; 8%
Lain-lain; 8%
Ikterus; 1%
Asfiksia; 24%
Kel Kongenital; 9%
Sepsis; 3%

Kematian bayi menurut penyebab kematian di Kabupaten Majalengka tahun


2013 adalah masalah neonatal BBLR 69 orang (27%), asfiksia 62 orang (24%),
sepsis 7 orang (3%), ikterus 3 orang (1%), kelainan kongenital 23 orang (9%),
pneumonia 20 orang (8%), diare 3 orang (1%), kelainan saluran cerna 2 (1%) dan
penyebab lainnya 68 orang (18 %).
c. Kematian Balita
Angka Kematian Balita adalah jumlah kematian anak umur 0-4 tahun per 1000
kelahiran hidup. Selama tahun 2013 di Kabupaten Majalengka khususnya yang
dilaporkan di Puskesmas terdapat kematian balita sebanyak 17 orang, menurun bila
dibandingkan kematian balita tahun 2012 sebanyak 22 orang. Angka Kematian
Balita (AKABA) dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat permasalahan
kesehatan serta faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan anak dan balita
seperti gizi, sanitasi, penyakit infeksi dan kecelakaan.
Namun jika dibandingkan dengan Rumah Sakit, Kematian Balita masih sangat
besar yaitu sebanyak 38 orang di RSUD Majalengka dan 18 orang di RSUD
Cideres.. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Tabel 2.15
Pola Penyakit Penyebab Kematian Pasien Rawat Inap
di RSUD Majalengka Umur 1-4 tahun di Kabupaten Majalengka Tahun 2013

Sumber :RSUD Majalengka Tahun 2013

Tabel 2.16
Pola Penyakit Penyebab Kematian Pasien Rawat Inap
di RSUD Cideres Umur 1-4 tahun di Kabupaten Majalengka Tahun 2013

Sumber :RSUD CideresTahun 2013

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

4. STATUS GIZI
Masalah utama gizi masih diwarnai dengan masalah gizi buruk (khususnya
pada kelompok umur balita), gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), anemia
gizi besi (AGB) dan kurang vitamin A (KVA), utamanya pada kelompok penduduk
tertentu seperti anak-anak dan wanita.

a. Status Gizi Balita


Perkembangan dan diferensiasi status gizi terjadi lebih banyak pada anak
dibandingkan pada kelompok-kelompok lain. Keadaan Status Gizi Balita di
Kabupaten Majalengka dapat terlihat pada tabel berikut :
Tabel 2.17
Status Gizi Balita Berdasarkan Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) di
Kabupaten Majalengka Tahun 2008-2013

Sumber : Bidang Yankes Dinkes Kab. Majalengka Tahun 2013

Dari tabel diatas tampak ada penurunan proporsi pada status gizi baik, serta
adanya kenaikan pada status gizi lebih, penurunan pada gizi kurang, kenaikan pada
gizi buruk namun tidak terlalu signifikan, ada kenaikan pada gizi lebih pada tahun
2013.
Intervensi yang telah dilakukan dan bersifat jangka pendek adalah dengan
pemberian makanan tambahan (PMT), yang selama ini telah terbukti dapat
meningkatkan status gizi balita selain intervensi pada program lain seperti
imunisasi dan kesehatan lingkungan. Intervensi pada gizi lebih saat ini belum
dilakukan secara intensif. Hanya saja jika mengikuti definisi operasional Standar

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Pelayanan Minimum (SPM), yang menjadi sasaran adalah seluruh balita dari
keluarga miskin tanpa melihat status gizi balita sehingga yang terjadi adalah
peningkatan pada status gizi lebih atau gemuk.
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bersumber dari Program Jaringan
Pengaman Kesehatan Masyarakat Miskin (PJPKMM) sangat membantu untuk
peningkatan Status Gizi pada Balita, khususnya balita pada keluarga miskin.
b. Asi Eklusif
ASI Eksklusif adalah pemberian hanya Air Susu Ibu (ASI) saja pada bayi
tanpa tambahan makanan/minuman lain kecuali obat/vitamin/mineral sejak lahir
sampai bayi berusia 6 bulan. Bayi dikatakan mendapatkan ASI Eksklusif bila pada
saat survey dilakukan masih diberi ASI secara eksklusif.
Pada Lampiran Tabel 1.10 dapat dilihat Cakupan ASI Eksklusif
Perpuskesmas di Kabupaten Majalengka Tahun 2013. Pada tabel 1.10 tersebut
dapat dilihat bahwa Cakupan ASI Eksklusif tahun 2013 di Kabupaten
Majalengka berdasarkan Sasaran Riil adalah

50,5 % sedangkan

berdasarkan Sasaran Estimasi adalah 59,7%.


Dapat dilihat pemantauan wilayah setempat cakupan ASI Eksklusif
Berdasarkan Sasaran Riil Perpuskesmas di Kabupaten Majalengka tahun 2013
sebagai berikut :

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Grafik 2.21
Cakupan ASI Eksklusif Berdasarkan Sasaran Ril
Di Kab. Majalengka Tahun 2013
89.6
81.8
78.1

75.9 75.7
68.7 68.4 67.4
66.0

64.3

62.1

60.1

56.7

50.5

54.1
49.7

46.5 46.4 45.0

43.0

40.5 40.4 39.4 39.4 39.2


34.7 34.4
29.2 28.6
23.9 23.8

M
un
ju
l

ul
ya
Su
ka
m

ig
as
on
C

Lo
ji

a
be
rja
y
Su
m

gi

aj
al
en
gk
a
M

an
Ja
tiw

Ja
t

itu
ju
h

ng
ed
a
Sa
la
g

Ta
la
ga

M
aj
a

19.0 18.8

Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa dari 32 Puskesmas, tidak ada yang
mencapai mencapai lebih dari 90%.

c. Ibu Hamil KEK, Ibu Hamil Anemia dan Cakupan Pemberian Tablet Fe3
Bumil KEK adalah ibu hamil yang mempunyai ukuran lingkar lengan atas
(LILA) < 23,5 cm hasil pengukuran menggunakan pita LILA. Parameter yang
digunakan adalah jumlah Bumil KEK yang dihitung setiap bulan dan

dan

prevalensi Bumil KEK yang dihitung setiap tahun. Prevalensi Bumil KEK adalah
persentase jumlah bumil KEK dibandingkan dengan jumlah bumil yang ada di
wilayah kerja.
Bumil KEK merupakan faktor resiko terjadinya BBLR. Bumil KEK
dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat bila prevalensi > 10%.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Pada tabel 1.11 dapat dilihat Laporan Bumil KEK Perpuskesmas di


Kabupaten Majalengka tahun 2013. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa
Prevalensi Bumil KEK pada tahun 2013 adalah 3,3 %.
Pada grafik di bawah ini dapat dilihat Pemantauan Wilayah Setempat
Prevalensi Bumil KEK Perpuskesmas di Kabupaten Majalengka Tahun 2013
sebagai berikut :

Grafik 2.22
PWS Prevalensi Bumil KEK
Di Kab. Majalengka Tahun 2013
8.3 8.3
7.0

6.7
5.2 5.2 5.1 5.1
4.5 4.4 4.4

4.1 4.0

3.9 3.8 3.7


2.9 2.8 2.7

3.2
2.5 2.4

2.0 1.9

1.7 1.6

1.5
0.4 0.2 0.2

Ba
lid
a

gi
Ja
tiw

an

a
Ta
la
g

Sa
la
ge
da
ng

sm
M
al
au

Li
gu
ng

Ba
nt
ar
uj
eg

aj
i
Su
ka
h

un
di
ng

im

Le
uw

Ke
rt
aj
at

W
ar
in
gi
n

0.8 0.7 0.6

Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa dari 32 Puskesmas di Kabupaten


Majalengka pada tahun 2013 semuanya prevalensi Bumil KEK < 10%.
Pada grafik di bawah ini dapat dilihat prevalensi Bumil KEK dari tahun
2006 sampai tahun 2013 sebagai berikut :
Grafik 2.23

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Prevalensi Bumil KEK


Di Kab. Majalengka Tahun 2006-2013
8.4

6.2
5.5
3.8

3.7
2.7

2006

2007

2008

2009

2010

2.8

2011

2012

3.2

2013

Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2013 Prevalensi Bumil
KEK berada di bawah ambang batas.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Ibu Hamil Anemia adalah Ibu Hamil yang menderita anemia gizi besi dengan
kadar haemoglobin (Hb) Kurang dari 11,0 gram %. Parameter yang digunakan
adalah jumlah Bumil anemia yang dihitung setiap bulan dan dan prevalensi Bumil
anemia yang dihitung setiap tahun. Prevalensi Bumil anemia adalah persentase
jumlah bumil anemia dibandingkan dengan jumlah bumil yang ada di wilayah
kerja.
Bumil anemia merupakan faktor resiko terjadinya perdarahan. Dari SKRT
2001 prevalensi Bumil anemia adalah 40,1%. Bumil anemia dianggap sebagai
masalah kesehatan masyarakat bila prevalensi > 20%.
Pada tabel 1.12 dapat dilihat Laporan Bumil Anemia Perpuskesmas di
Kabupaten Majalengka tahun 2013. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa
Prevalensi Bumil Anemia pada tahun 2013 adalah 6,8%.
Pada grafik 3.13 di bawah ini dapat dilihat Pemantauan Wilayah Setempat
Prevalensi Bumil Anemia Perpuskesmas di Kabupaten Majalengka Tahun 2013
sebagai berikut :
Grafik 2.24
Prevalensi Bumil Anemia
Di Kab. Majalengka Tahun 2013
37.5

16.4
16.4
16.0
14.2
13.9
13.2
12.3
11.7
10.1
8.7

6.8

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

0.0 0.0

ul
ya

Ba
lid
a

0.7 0.40.3 0.20.2

Su
ka
m

aj
al
en
g

ka

2.82.7 2.5 2.3

te
n
Ka
di
pa

ah
su
g

ih

3.8 3.5 3.23.1 2.9

Le
m

on
ga
n

5.3 5.0

Pa
n

Ba
nt
ar
uj
eg

pu
ra
Ar
ga

ik
iji
ng
C

Ra
ja
ga
lu
h

Sa
la
g

ed
a

ng

6.5 6.05.9

Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa prevalensi bumil anemia masih di atas

20% di Puskesmas Salagedang. Sedangkan prevalensi antara 10-20% ada di


Puskesmas Sukahaji, Waringin, Rajagaluh, Sindang, Leuwimunding, Cikijing,
Munjul, Cigasong, Argapura. Tingginya prevalensi di Puskesmas Salagedang
tersebut sejalan dengan deteksi dini dan pencatatan yang lebih baik dibanding
puskesmas lainnya.
Dapat di bawah ini dapat dilihat prevalensi bumil anemia di Kabupaten
Majalengka tahun 2006 sampai dengan tahun 2013 sebagai berikut :
Grafik 2.25
Prevalensi Bumil Anemia
Di Kab. Majalengka Tahun 2006-2013
Grafik 3.14 Prevalensi Bumil Anemia
di Kabupaten Majalengka
Tahun
7.8 sampai dengan 2013
7.7 2006
6.8
6
5.7
5.7 5.7
2.1

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2013 prevalensi bumil
anemia cenderung meningkat dibanding tahun 2012.
2.3. Tantangan Dan Peluang Pengembangan Dinas Kesehatan
2.4.1 Tantangan Dinas Kesehatan

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Tantangan pertama adalah kemiskinan. Sebanyak 384.820 (23,1%)


penduduk Kabupaten Majalengka masih tergolong miskin. Analisis data Susenas
Tahun 2010 menunjukkan bahwa 20% penduduk Kabupaten Majalengka mempunyai
tingkat konsumsi dibawah US$ 1 perkapita/hari. Batas ini adalah batas kemiskinan
menurut Bank Dunia. Berikut disampaikan besar konsumsi perkapita perhari untuk
masing-masing kuintil (perlimaan) penduduk Kabupaten Majalengka yang dioleh
dari data Susenas Tahun 2010.

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Tabel- 2.18. Konsumsi per Kapita RT Menurut Kuintil, 2010

Angka-angka diatas menunjukkan bahwa 20% RT (Q1) adalah keluarga


miskin. Kemudian 60% (Q2, Q3 dan Q4) adalah penduduk yang tergolong hampir
miskin (near poor), yaitu dengan konsumsi antara US$ 1 sampai US$ 2 per kapita
per hari. Kelompok hampir miskin ini sangat rentan terhadap gejolak ekonomi
(inflasi) dan peristiwa sakit yang memerlukan biaya perawatan yang mahal.
Dibidang pendidikan, tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Majalengka
masih relatif rendah, dimana sebagian besar penduduk Majalengka (59,61%) hanya
pernah mengenyam pendidikan setingkat SD. Dari jumlah tersebut yang dapat
menamatkannya hanya sekitar 42%1.
Khusus untuk bidang kesehatan, Kementerian Kesehatan melalui Badan
Litbangkes mengembangkan IPKM (Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat)
yang merupakan indeks komposit terdiri dari 14 indikator.IPKM Majalengka
termasuk rendah, yaitu pada urutan ke 19 dari 25 Kabupaten/Kota di Jawa
Barat.Rata-rata IPKM di Jawa Barat adalah 0,489 sedangkan IPKM Majalengka
adalah 0,422.
Pembangunan dalam upaya mensejahterakan penduduk Majalengka telah
berlangsung dari tahun ke tahun termasuk dibidang kesehatan. Pembangunan
kesehatan terdiri dari berbagai kegiatan yang kompleks, yang berhubungan dengan
berbagai macam masalah kesehatan (mortalitas dan morbiditas), determinan
kesehatan, pilihan intervensi yang tersedia dan pelaku-pelaku yang juga sangat
beragam. Pembangunan kesehatan hanya bisa efektif dan efisien kalau direncanakan
dengan baik. Berbagai jenis perencanaan perlu dipersiapkan, termasuk rencana
jangka panjang (20-25 tahun), jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (1
tahun). Perencanaan pembangunan kesehatan juga harus komprehensif (meliputi
1Susenas, 2010.
RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

berbagai masalah dan determinan kesehatan) dan juga harus holistik (meliputi semua
elemen sistem kesehatan).
Untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan kesehatan yang
kompleks tersebut, Pemerintah Kabupaten Majelengka memerlukan sebuah
masterplan atau Rencana Induk yang akan menjadi acuan bagi semua pihak: Dinas
Kesehatan dan Puskesmas, RSUD, sektor-sektor terkait, pelayanan kesehatan swasta,
LSM,

perusahaan

swasta

dan

seluruh

masyarakat,

dalam

melaksanakan

pembangunan kesehatan secara sinkron dan terkoordinasi.


2.4.2 Peluang Dinas Kesehatan
a) Dalam UU Kesehatan

2009, disebutkan bahwa daerah hendaknya

mengalokasikan minimal 10% APBD untuk kesehatan tanpa gaji. Kalau


komponen gaji diambil dari alokasi kesehahan (75% untuk RS dan 64,1% untuk
Dinas Kesehatan), maka total anggaran kesehatan tanpa gaji adalah Rp
105.287.215.143 atau 8,4% dari APBD total. Dengan demikian realisasi
anggaran kesehatan 2011 terpaut 1,6% dibawah ketetapan UU Kesehatan 2009.
b) Prospek Perkembangan Wilayah
Pembangunan BIJB dan kawasan industri, perkantoran dan bisnis akan/sudah
dimulai dalam waktu dekat (tahun 2013). Perkembangan ini, yang untuk
sementara disebut Aerocity, didalamnya termasuk kawasan pemukiman dan
central park. Kawasan pemukiman tersebut (Sukamulya) akan dihuni oleh
penduduk pindahan dari Kecamatan Kertajati dan Sukamulya.
Selain

itu,

pembangunan

jalan

tol

sudah

berlangsung,

yang

akan

menghubungkan Majalengka khususnya Aerocity dengan Cikampek (akses


langsung ke Jakarta), dengan Kota Bandung dan Kota Cirebon. Perjalanan ke
Cikampek diperkirakan 1 jam, ke Bandung 1 jam dan ke Cirebon 20 menit.
Pembangunan Aerocity akan menjadi sentra kota modern yang membawa
pengaruh kewilayah sekitarnya. Diperkirakan kabupaten Majelengka akan
berkembang menjadi 3 strata wilayah, yaitu:

Wilayah utara/barat yang menjadi pusat Aerocity;


Wilayah tengah dengan pusatnya kota Majalengka dan lokasi poros jalan
yang berhubungan dengan Cirebon dan Sumedang; dan

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Wilayah timur/selatan, dengan bukit dan pegunungan

dan

relatif

berkembang lebih lamban


Tabel- 5. Strata Wilayah Kabupaten Majalengka

Ada beberapa dampak yang diperkirakan akan terjadi dengan pembangunan


Aerocity tersebut, yaitu sebagai berikut:

Pembangunan industri (pabrik), kantor, pasar/toko, restoran dan pelayanan

bandara yang akan membuka lapangan pekerjaan


Migrasi penduduk dari sekitar Aero city dan dari luar Majalengka untuk
mengisi lapangan pekerjaan tersebut, yang akan menambah jumlah manusia

di kawasan tersebut
Jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal meningkat dan ini akan

meningkatkan pula kebutuhan akan pelayanan dan program kesehatan kerja


Peningkatan kebutuhan dan permintaan akan rumah dan bahan makanan
Peningkatan kebutuhan dan permintaan terhadap pelayanan kesehatan

primer dan sekunder/tertier yang bermutu


Membuka pasar bagi produk pertanian termasuk dari pegunungan di selatan
dan timur kota Majalengka (kecamatan Cikijing, Talaga, Argapura, Ligung,
Banjaran), seperti sayur mayur, sumber karbohidrat dan protein hewani

(ternak ayam, ikan, kambing, dll).


Potensi daerah retreat (villa dan wisata alam) di lereng gunung Ciremai

akan menjadi sasaran investasi swasta maupun perorangan


Yang terakhir ini juga akan meningkatkan kebutuhan dan permintaan
terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu di kawasan tersebut (yang
sekarang relatif terbelakang).

Skenario perkembangan seperti disampaikan diatas perlu di respons dalam


masterplan kesehatan ini. Di kawasan Aerocity diperlukan fasilitas pelayanan
kesehatan primer dan sekunder yang memenuhi standar untuk sebuah kota

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

modern. Puskesmas yang

berada ditengah kawasan

Aerocity adalah

Puskesmas Sukamulya dan RS terdekat adalah RS Cideres. Kedua fasilitas


milik Pemda ini perlu di ditingkatkan infrastruktur, tenaga, manajemen dan
mutu pelayanannya.
Wilayah tengah dengan pusatnya kota Majalengka, memiliki akses ke Aerocity,
dan Cirebon serta Sumedang melalui jalan propinsi. Wilayah ini akan
berkembang dengan pola konvensional (seperti sekarang); juga dengan
percepatan

akan tetapi tata ruangnya terikat pada tata ruang yang ada.

Penduduk wilayah ini

juga berinteraksi dengan perkembangan Aerocity,

terutama di daerah Kadipaten dan Jatiwangi.


Wilayah selatan-timur dengan perbukitan dan gunung, dominan dengan
penduduk petani yang hidup secara tradisional. Masalah
menular, sanitasi

dan air bersih

KIA, penyakit

merupakan masalah utama penduduk di

wilayah ini. Menurut asessment Pokja Sanitasi desa dengan sanitasi terburuk
ada di wilayah ini, sehingga program kesling dan promkes perlu diprioritaskan.
Demikian juga, banyak desa-desa dan pemukiman terpencil berada di wilayah
ini, sehingga Puskesmas dan Bidan desa perlu diberdayakan dengan
kemampuan

outreach seperti Puskesmas Keliling, kunjungan rumah,

supervisi Posyandu, dll.


c. Prospek Perkembangan BPJS Kesehatan
UU No. 40/2011 menetapkan bahwa pada tahun 2014 nanti akan dimulai
Sistem Jaminan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage atau UHC).
Sistem jaminan kesehetan ini akan dikelola oleh sebuah badan pelaksana
tunggal, yaitu BPJS-Kesehatan (PP No.24/2011). Sistem jaminan kesehatan
yang ada akan dilebur kedalam BPJS tersebut, yaitu peserta PT Askes (jaminan
kesehatan PNS dan keluarganya), peserta PT Jamsostek (jaminan kesehataan
tenaga kerja sektor formal), peserta Jamkesmas (jaminan kesehatan bagi
penduduk miskin yang preminya ditanggung oleh pemerintah pusat) dan
Jamkesda (jaminan kesehatan penduduk miskin yang preminya ditanggung
pemerintah daerah). Demikian juga Jampersal, program jaminan biaya
persalinan untuk semua ibu hamil yang sekarang ditanggung oleh pemerintah
pusat, akan digabungkan dalam BPJS.
RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Dengan demikian BPJS akan menjadi sebuah badan yang sangat besar peranan
dan penagruhnya dalam (a) menentukan cara pembayaran penyedia pelayanan
kesehatan (PPK), (b) menentukan standar pelayanan kesehatan dan (c)
menentukan tarif pelayanan kesehatan. Jadi BPJS nantinya akan mempunyai
posisi tawar-menawar (bargaining power) yang kuat.
PPK primer termasuk Puskesmas dan Bidan akan dibayar dengan cara Fee
for service (FFS) atau cara kapitasi. Sedangkan PPK sekunder yaitu
pelayanan rujukan di RS akan dibayar dengan cara kelompok diagnosis yaitu
DRG (Diagnostic Related Group) atau disebut juga CBG (Case Based Group).
Prospek perkembangan BPJS perlu diantisipasi oleh sistem kesehataan di
Kabupaten Majalengka dengan baik, terutama dalam mempersiapkan PPK
(Bidan, Puskesmas dan RSUD).

d. Analisis Lingkungan Internal Dan Eksternal (Analisis SWOT)


Hasil analisis Duapuluh isu utama (frekuensi tinggi) dalam masing-masing
kelompok lingkungan tersebut disampaikan dalam tabel berikut.
Tabel- 6. Ringkasan Score Hasil Analisis SWOT

Secara keseluruhan hasil analisis tersebut menunjukkan (1) kekuatan internal


kesehatan tidak besar, (2) banyak kelemahan, (3) padahal peluang diluar
cukup besar dan (4) banyak pula hambatan eksternal yang dihadapi. Ringkasan
skor untuk masing-masing dimensi analisis tersebut adalah sebagai berikut:

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Gambar- 2.1 . Matriks SWOT2


Analisis matriks seperti disampaikan diatas menunjukkan bahwa sistem kesehatan berada
pada posisi bertahan dan memperkuat diri dengan lingkungan eksternal yang memberikan
peluang sekaligus hambatan.
Dari hasil analisis SWOT seperti disampaikan diatas dapat disimpulkan bahwa strategi
umum pembangunan kesehatan kabupaten Majalengka selama 2014 -2018 adalah sdebagai
berikut:
1. Pada tahap awal adalah mempertahankan kinerja yang ada, memperkuat Sistem
Kesehatan, dan menangkap berbagai peluang;
2. Pada tahap akhir memacu kinerja untuk mewujudkan Visi yang telah ditetapkan.

2 - sel VI, VII dan IX adalah posisi lemah dan mempertahankan eksistensi
dan VII adalah posisi bertahan dan memperkuat diri
- sel I, II dan IV adalah posisi untuk secara agresif memacu kinerja

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

- sel III, V

Tabel- 2.21 Hasil Evaluasi Lingkungan Internal dan Eksternal

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

RENSTRA Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, Tahun 2014-2018

Anda mungkin juga menyukai