Anda di halaman 1dari 2

Aku sering sekali melupakan sesuatu yang ingin kutulis karena tertunda

atau memang menundanya. Jadi bisa dibilang cukup banyak ide yang
sudah kubuang-buang selama ini. Kadang aku ingin sekali menulis semua
yang kualami detik itu juga. Tapi di waktu yang lain, keinginan itu sama
sekali tidak bisa terbit di diriku. Aku ini kenapa?
Sebelum berpura-pura menulis bijak, aku ingin membuat sebuah narasi
dahulu. Begini. Ada orang-orang yang tidak memiliki keberanian untuk
membuat keinginannya menjadi nyata. Di seberangnya, ada orang-orang
yang

seperti

tidak

punya

waktu

untuk

berhenti

berkeringat

memperjuangkan keinginannya agar menjadi kenyataan. Karena gagal


dalam memerangi ketakutannya sendiri, akhirnya orang-orang pengecut
itu tidak suka melihat para pemberani lalu-lalang di hadapannya mengejar
peluang-peluang yang berceceran. Kemudian mereka sepakat menamai
setiap orang yang berlarian mengejar keinginan dengan sebutan:
ambisius.
Seringkali, ketika melihat para pemberani seperti narasi di atas lalulalang, aku pun akan menamai mereka ambisius. Entahlah, memangnya
ada indikator pasti sejauh mana orang-orang yang lalu-lalang itu boleh
dikata ambisius? Lalu suatu hari salah satu dosenku yang mengajar mata
kuliah Psikologi Sosial meyakinkan kami untuk tidak takut dibilang
ambisius. Setiap orang berhak memperjuangkan masa depannya.
Begitu petuahnya.
Kalau dipikir-pikir, memang benar. Setiap orang berhak punya ambisi dan
mewujudkannya. Sekeras apapun usahanya, setinggi apapun ambisinya.
Yang kita salahi itu pelabelannya. Kita itu seringnya memberi label
ambisius pada orang-orang hanya karena ia selalu berhasil lebih dulu
mengambil peluang yang sama-sama menunggu eksekutornya. Pada
orang-orang yang membuat kita gelisah memikirkan bagaimana ia bisa
memiliki

kepercayaan

diri

sebesar

gunung.

Orang-orang

dengan

kemampuannya mengalahkan ketakutan dalam dirinya. orang-orang yang


membuat
menangani

kita

merasa

kesempatan

jadi

pecundang

demi

karena

kesempatan,

tak

bahkan

pernah

becus

kesempatan

mengangkat tangan untuk bertanya kepada dosen tentang sesuatu yang


mungkin kita remehkan. Ambisius itu hanya akan jadi monster jahat ketika
jalannya meliuk-liuk, menikung dan menyakiti orang. Tapi aku yakin, rasa
sakit atau tak nyaman yang kita rasakan ketika melihat si yang-kitasebut-ambisius itu bukan timbul karena dirinya, tapi karena penyakit
takut yang menjangkiti kita selama berpuluh waktu. Bagaimana tidak
sakit, kita saja tidak mau mengobati.
Dan benar saja, setelah kuubah cara pandangku terhadap orang-orang
yang sebelumnya kulabeli ambisius, kutemukan bahwa ada sifat-sifat
alamiah manusia yang selalu berhasrat memenuhi keinginannya. Setiap
orang punya keinginan untuk maju dan berkembang. Kenapa mereka
selalu menanggapi pertanyaan dan pernyataan dosen, mengomentari
para peresensi yang tampil di depan kelas, mengabaikan desahan
penghuni kelas lain yang tidak sabar dan mungkin bosan dengan dia lagidia lagi. Karena pada akhirnya hanya orang-orang yang berani dipandang
berbeda oleh orang lainlah yang akan menjadi pemenang. Apa latar
belakangnya selain mendapat ilmu di kelas? Mungkin, nilai di atas ratarata, perhatian lebih dari dosen dan asisten praktikum kepadanya,
berharap mendapat pekerjaan yang baik, hidup sejahtera. Setiap orang
berhak memperjuangkan masa depannya. Dan hal itu hanya bisa dimulai
saat ini.

...atau ia tidak akan pernah melihat mimpinya terbit sebagai kenyataan di


pagi-pagi selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai