Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan
yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat
dengan Ilmu Kedokteran Forensik; yaitu di dalam upaya pembuktian bahwasanya
kejahatan tersebut memang telah terjadi. Adanya kaitan antara Ilmu Kedokteran
dengan kejahatan seksual dapat dipandang sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Kitab Undang-Undang
Acara Hukum Pidana (KUHAP), yang memuat ancaman hukuman serta tatacara
pembuktian pada setiap kasus yang termasuk di dalam pengertian kasus kejahatan
seksual.
Di dalam upaya pembuktian secara kedokteran forensik, faktor keterbatasan di
dalam ilmu kedokteran itu sendiri dapat sangat berperan, demikian halnya dengan
faktor waktu serta faktor keaslian dari barang bukti (korban), maupun faktor-faktor
dari pelaku kejahatan seksual itu sendiri.
Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap
kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tandatanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta
pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk
dikawin atau tidak.
Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan yang merupakan tindak pidana ini,
hendaknya dilakukan dengan teliti dan waspada. Pemeriksa harus yakin akan semua
bukti-bukti yang ditemukannya karena tidak adanya kesempatan untuk melakukan
pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih banyak bukti. Dalam melaksanakan

kewajiban tersebut, dokter hendaknya tidak meletakkan kepentingan korban di bawah


kepentingan pemeriksaan. Terutama bila korban adalah anak-anak pemeriksaan
sebaiknya tidak sampai menambah trauma psikis yang sudah dideritanya.
Visum et Repertum yang dihasilkan mungkin menjadi dasar untuk
membebaskan terdakwa dari penuntutan atau sebaliknya untuk menjatuhkan
hukuman. Di Indonesia, pemeriksaan korban persetubuhan yang diduga merupakan
tindak kejahatan seksual umumnya dilakukan oleh dokter ahli Ilmu Kebidanan dan
Penyakit Kandungan, kecuali di tempat yang tidak ada dokter ahli tersebut, maka
pemeriksaan harus dilakukan oleh dokter umum.
Sebaiknya korban kejahatan seksual dianggap sebagai orang yang telah
mengalami cedera fisik dan atau mental sehingga lebih baik dilakukan pemeriksaan
oleh dokter di klinik. Penundaan pemeriksaan dapat memberi hasil yang kurang
memuaskan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Persetubuhan yang Merupakan Kejahatan
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh
undang-undang , tertera pada pasal-pasal yang terdapat pada Bab XIV KUHP,
tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan; yang meliputi persetubuhan di dalam
perkawinan maupun di luar perkawinan.

Pasal 288 KUHP


(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan
belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara
paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.

Dengan demikian dari Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter


diharapkan dapat membuktikan bahwa korban memang belum pantas dikawin,
memang terdapat tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan dan dapat
menjelaskan perihal sebab kematiannya.
Di dalam upaya menentukan bahwa seseorang belum mampu dikawin dapat
timbul permasalahan bagi dokter karena penentuan tersebut mencakup dua
pengertian, yaitu pengertian secara biologis dan pengertian menurut undang-

undang. Secara biologis seorang perempuan dikatakan mampu untuk dikawin bila
ia telah siap untuk dapat memberikan keturunan, dimana hal ini dapat diketahui
dari menstruasi, apakah ia belum pernah mendapat menstruasi atau sudah pernah.
Sedangkan menurut undang-undang perkawinan, maka batas umur termuda bagi
seorang perempuan yang diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan adalah
16 tahun. Dengan demikian dokter diharapkan dapat menentukan berapa umur
dari perempuan yang diduga merupakan korban seperti yang dimaksud dalam
pasal 288 KUHP.
Dalam kasus-kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan
kejahatan, dimana persetubuhan tersebut memang disetujui oleh si perempuan
maka dalam hal ini pasal-pasal dalam KUHP yang dimaksud adalah pasal 284 dan
287.

Pasal 284 KUHP


(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a.

seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),


padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku
baginya.

b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),


padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku
baginya.
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.

b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan
pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang
tercemar,dan bila bagi mereka berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek),
dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau
pisah meja da pisah ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang peradilan
belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-isteri berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek), pengaduan
tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau
sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Pasal 27 BW
Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang
perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai
suaminya.

Pasal 287 KUHP


(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima
belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk
dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan
pasal 294.

Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut


undang-undang belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahun tetapi
sudah di atas 12 tahun, penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari yang
bersangkutan. Jadi dengan keadaan itu persetubuhan tersebut merupakan delik
aduan, bila tidak ada pengaduan, tidak ada penuntutan.
Tetapi keadaan akan berbeda jika:
a. Umur korban belum sampai 12 tahun
b. Korban yang belum cukup 15 tahun itu menderita luka berat atau mati akibat
perbuatan itu (KUHP pasal 291); atau
c. Korban yang belum cukup 15 tahun itu dalah anaknya, anak tirinya, muridnya,
anak yang berada di bawah pengawasannya, bujangnya atau bawahannya
(KUHP pasal 294).
Dalam keadaan di atas, penuntutan dapat dilakukan walaupun tidak ada
pengaduan karena bukan lagi merupakan delik aduan.
Pada pemeriksaan akan diketahui umur korban. Jika tidak ada akte kelahiran
maka umur korban yang pasti tidak diketahui. Dokter perlu memperkirakan umur
korban baik dengan menyimpulkan apakah wajah dan bentuk tubuh korban sesuai
dengan umur yang dikatakannya, melihat perkembangan payudara dan
pertumbuhan rambut kemaluan, melalui pertumbuhan gigi (molar ke-2 dan molar
ke-3), serta dengan mengetahui apakah menstruasi telah terjadi.

Hal di atas perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat: padahal


diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa wanita itu umurnya belum
lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk
dikawin. Perempuan yang belum pernah mengalami menstruasi dianggap belum
patut untuk dikawin.

Pasal 291 KUHP


(1) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 288 dan
290 itu berakibat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.
(2) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 289
dan 290 itu berakibat matinya orang, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.

Pasal 294 KUHP


Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya atau anak
piaraannya, anak yang di bawah pengawasannya, orang di bawah umur yang
diserahkan kepadanya untuk dipelihara, dididiknya atau dijaganya, atau bujangnya
atau orang yang di bawah umur, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.

Dengan itu maka dihukum juga:


1. Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang di
bawahnya/orang yang dipercayakan/diserahkan kepadanya untuk dijaga.

2. Pengurus, dokter, guru, pejabat, pengurus atau bujang di penjara, di tempat


bekerja kepunyaan negeri, tempat pendidikan, rumah piatu, RS jiwa atau
lembaga semua yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dimaksudkan di situ.

Pada kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan kejahatan


dimana persetubuhan tersebut terjadi tanpa persetujuan wanita, seperti yang
dimaksud oleh pasal 285 dan 286 KUHP; maka untuk kasus-kasus tersebut Visum
et Repertum harus dapat membuktikan bahwa pada wanita tersebut telah terjadi
kekerasan dan persetubuhan. Kejahatan seksual seperti yang dimaksud oleh pasal
285 KUHP disebut perkosaan, dan perlu dibedakan dari pasal 286 KUHP.

Pasal 285 KUHP


Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi persetubuhan dan
telah terjadi paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dokter dapat
menentukan apakah persetubuhan telah terjadi atau tidak, apakah terdapat tandatanda kekerasan. Tetapi ini tidak dapat menentukan apakah terdapat unsur paksaan
pada tindak pidana ini.
Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu merupakan
akibat paksaan, mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang tak ada
hubungannya dengan paksaan. Demikian pula bila tidak ditemukan tanda-tanda

kekerasan, maka hal itu belum merupakan bukti bahwa paksaan tidak terjadi. Pada
hakekatnya dokter tak dapat menentukan unsur paksaan yang terdapat pada tindak
pidana perkosaan; sehingga ia juga tidak mungkin menentukan apakah perkosaan
telah terjadi.
Yang berwenang untuk menentukan hal tersebut adalah hakim, karena
perkosaan adalah pengertian hukum bukan istilah medis sehingga dokter jangan
menggunakan istilah perkosaan dalam Visum et Repertum.

Pasal 286 KUHP


Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal
diketahuinya

bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya,

diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa korban berada dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya. Dokter perlu mencari tahu apakah korban
sadar waktu persetubuhan terjadi, adakah penyakit yang diderita korban yang
sewaktu-waktu dapat mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya. Jika
korban mengatakan ia menjadi pingsan, maka perlu diketahui bagaimana
terjadinya pingsan itu, apakah terjadi setelah korban diberi minuman atau
makanan. Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah korban menunjukkan
tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran, atau tanda-tanda telah berada di bawah
pengaruh obat-obatan.
Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah sengaja membuat korban pingsan
atau tidak berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan,

karena dengan membuat korban pingsan atau tidak berdaya ia telah melakukan
kekerasan.

Pasal 89 KUHP
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan
kekerasan.

Kejahatan seksual yang dimaksud dalam KUHP pasal 286 adalah pelaku
tidak melakukan upaya apapun; pingsan atau tidak berdayanya korban bukan
diakibatkan oleh perbuatan si pelaku kejahatan seksual.

2.2 Psikologi Pelaku Perkosaan


Sejak awal tahun 1960 tumbuh kesadaran terhadap tindakan pemerkosaan
sebagai suatu tindakan yang didasari banyak hal dan pemerkosa itu tidaklah sama
dalam hal: latar belakang, karakter psikologis, tingkat bahaya.
Gebhard dkk : Pemerkosa adalah pria yang dengan kekerasan merampas apa
yang mereka mau, baik uang, materi, ataupun kehormatan wanita, tindakan
pemerkosaan tersebut merupakan akibat dari tindakan kriminal mereka.
Brown-Miller menyatakan perkosaan adalah perilaku yang didasari pada
keadaan sosial, keadaan masa lalu, dan faktor ekonomi. Ingin menjadikan kaum
wanita kurang dihargai, yang ditunjukkan dengan adanya kekerasan terhadap
mereka. Jadi tindakan ini bukanlah hal yang patologis tetapi hal yang patologis itu
sendiri sudah ada dalam lingkungan sosial budaya serta norma dalam masyarakat.
Laporan ini berdasarkan suatu riset terhadap sekelompok pemerkosa dalam
periode

yang

cukup lama,

selama

perawatan

mereka

di Bridgewater

10

( Massachusetts) Treatment Center For Sexually Dangerous Person.Observasi


secara klinis telah dibuat sejak 20 tahun yang lalu di Treatment Center. Dimana
lebih dari 1500 pemerkosa telah diteliti, lebih dari 400 orang telah dievaluasi
selama 60 hari periode observasi, dan 250 orang telah dievaluasi mulai dari 2
sampai 15 tahun periode observasi. Merupakan studi yang telah diselenggarakan
dengan jelas menandakan pemerkosa mengalami suatu gangguan psikologi dan
beberapa kategori tergolong diagnosis psikiatri.
Ketidaksesuaian ditemukan oleh Glueck dkk yang menyimpulkan bahwa
kebanyakan dari pelanggar seksual (New York, 1950) didiagnosa sebagai penyakit
skizofren pseudoneurotik.

2.3 Pembuktian Persetubuhan


Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam
vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa
disertai ejakulasi.
Dengan demikian hasil dari upaya pembuktian adanya persetubuhan
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain:

Besarnya penis dan derajat penetrasinya

Bentuk dan elastisitas selaput dara (hymen)

Ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulat itu sendiri

Posisi persetubuhan

Keaslian barang bukti serta waktu pemeriksaan


Pemeriksaan

harus

dilakukan

sesegera

mungkin,

sebab

dengan

berlangsungnya waktu tanda-tanda persetubuhan akan menghilang dengan


sendirinya. Sebelum dilakukan pemeriksaan, dokter hendaknya mendapat izin
11

tertulis dari pihak-pihak yang diperiksa. Jika korban adalah seorang anak izin
dapat diminta dari orang tua atau walinya.

2.3.1 Pemeriksaan Korban


a. Pemeriksaan tubuh
Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau
tidak. Bila ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur
tersebut, teliti apakah sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar
orifisium, sebesar ujung jari kelingking, jari telunjuk, atau dua jari.
Sebagai gantinya dapat juga ditentukan ukuran lingkaran orifisium,
dengan cara ujung kelingking atau telunjuk dimasukkan dengan hati-hati
ke dalam orifisium sampai terasa tepi selaput dara menjepit ujung jari,
beri tanda pada sarung tangan dan lingkaran pada titik itu diukur. Ukuran
pada seorang perawan kira-kira 2,5 cm. Lingkaran yang memungkinkan
persetubuhan dapat terjadi menurut Voight adalah minimal 9 cm.
Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara,
tidak dapat dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi;
sebaliknya adanya robekan pada selaput dara hanya merupakan pertanda
adanya suatu benda (penis atau benda lain yang masuk ke dalam vagina.
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan
ejakulat tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam
liang vagina merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila
ejakulat

tidak

mengandung

sperma,

maka

pembuktian

adanya

persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap


ejakulat tersebut.

12

Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa


adalah: enzim asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam
fosfatase, kolin maapun spermin bila dibandingkan dengan sperma nilai
pembuktiannya lebih rendah oleh karena ketiga komponen tersebut tidak
spesifik. Walaupun demikian enzim fosfatase masih dapat diandalkan,
karena kadar asam fosfatase yang terdapat dalam vagina (berasal dari
wanita itu sendiri), kadarnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan
asam fosfatase yang berasal dari kelenjar fosfat.
Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai
dengan persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan
sendirinya pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik
tidak mungkin dapat dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya,
dokter tidak dapat secara pasti pula menentukan bahwa pada seorang
wanita tidak terjadi persetubuhan; maksimal dokter harus mengatakan
bahwa pada diri wanita yang diperiksanya itu tidak ditemukan tandatanda persetubuhan, yang mencakup dua kemungkinan: pertama,
memang tidak ada persetubuhan dan yang kedua persetubuhan ada tapi
tanda-tandanya tidak dapat ditemukan.
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka
perkiraan saat terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini
menyangkut masalah alibi yang sangat penting di dalam proses
penyidikan.
Dalam waktu 4-5 jam postkoital sperma di dalam liang vagina
masih dapat bergerak; sperma masih dapat ditemukan namun tidak
bergerak sampai sekitar 24-36 jam postkoital, dan masih dapat

13

ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita yang menjadi korban meninggal.
Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses
penyembuhan selaput dara yang robek. Pada umumnya penyembuhan
tersebut dicapai dalam waktu 7-10 hari postkoital.
b. Pemeriksaan pakaian
Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat
dilakukan pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak
ejakulat. Dari bercak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk memastikan bahwa bercak yang telah ditemukan adalah air mani
serta dapat menentukan adanya sperma.

2.3.2 Pemeriksaan Pelaku


a. Pemeriksaan tubuh
Untuk

mengetahui

apakah

seorang

pria

baru

melakukan

persetubuhan, dapat dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel


vagina pada glans penis. Perlu juga dilakukan pemeriksaan sekret uretra
untuk menentukan adanya penyakit kelamin.
b. Pemeriksaan pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan
sebagainya. Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian
sehingga tidak perlu ditentukan. Darah mempunyai nilai karena
kemungkinan berasal dari darah deflorasi. Di sini penentuan golongan
darah penting untuk dilakukan. Trace evidence pada pakaian yang
dipakai ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa. Bila fasilitas untuk
pemeriksaan tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di kepolisian atau

14

bagian Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat berita


acara pembungkusan dan penyegelan.

2.4 Pembuktian Kekerasan


Tidak sulit untuk membuktikan adanya kekerasan pada tubuh wanita yang
menjadi korban. Dalam hal ini perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering
ditemukan, yaitu di daerah mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan
tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital.
Luka-luka akibat kekerasan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas
kuku, gigitan (bite marks) serta luka-luka memar.
Sepatutnya diingat bahwa tidak semua kekerasan meninggalkan bekas atau
jejak berbentuk luka. Dengan demikian, tidak ditemukannya luka tidak berarti
bahwa pada wanita korban tidak terjadi kekerasan itulah alasan mengapa dokter
harus menggunakan kalimat tanda-tanda kekerasan di dalam setiap Visum et
Repertum yang dibuat, oleh karena tidak ditemukannya tanda-tanda kekerasan
mencakup dua pengertian: pertama, memang tidak ada kekerasan, dan yang kedua
kekerasan terjadi namun tidak meninggalkan bekas (luka) atau bekas tersebut
sudah hilang.
Tindakan pembiusan serta tindakan lainnya yang menyebabkan korban tidak
berdaya merupakan salah satu bentuk kekerasan. Dalam hal ini perlu dilakukan
pemeriksaan untuk menentukan adanya racun atau obat-obatan yang kiranya dapat
membuat wanita tersebut pingsan; hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa
pada setiap kasus kejahatan seksual, pemeriksaan toksikologik menjadi prosedur
yang rutin dikerjakan.

15

2.5 Perkiraan Umur


Penentuan umur bagi wanita yang menjadi korban kejahatan seksual seperti
yang dikehendaki oleh pasal 284 dan 287 KUHP adalah hal yang tidak mungkin
dapat dilakukan (kecuali didapatkan informasi dari akte keahiran). Dengan
teknologi kedokteran yang canggih pun maksimal hanya sampai pada perkiraan
umur saja.
Perkiraan umur dapat diketahui dengan melakukan serangkaian pemeriksaan
yang meliputi pemeriksaan fisik, ciri-ciri seks sekunder, pertumbuhan gigi, fusi
atau penyatuan dari tulang-tulang khususnya tengkorak serta pemeriksaan
radiologi lainnya.
Dalam menilai perkiraan umur, dokter perlu menyimpulkan apakah wajah
dan bentuk badan korban sesuai dengan yang dikatakannya. Keadaan
perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan perlu dikemukakan.
Ditentukan apakah gigi geraham belakang ke-2 (molar ke-2) sudah tumbuh
(terjadi pada umur kira-kira 12 tahun, sedangkan molar ke-3 akan muncul pada
usia 17-21 tahun atau lebih). Juga harus ditanyakan apakah korban sudah pernah
menstruasi bila umur korban tidak diketahui.
Hal-hal tersebut di atas perlu diketahui sehubungan dengan bunyi pasal 287
KUHP untuk menentukan apakah penuntutan harus dilakukan.

2.6 Penentuan Pantas Dikawin


Apabila suatu perkawinan dimaksudkan sebagai suatu perbuatan yang suci
dan baik, dimana tujuan utamanya adalah untuk dapat menghasilkan keturunan,
maka penentuan apakah seorag wanita itu sudah waktunya untuk dikawin atau
belum, semata-mata hanya berdasarkan atas kesiapan biologis (yang dapat

16

dibuktikan oleh ilmu kedokteran), dalam hal ini: menstruasi. Bila wanita itu sudah
mengalami menstruasi, maka ia sudah waktunya untuk dikawin. Untuk itu, yaitu
untuk mengetahui apakah wanita tersebut sudah pernah menstruasi dokter
pemeriksa tidak jarang harus merawat dan mengisolir wanita tersebut, yang
maksudnya agar ia dapat mengetahui dan mendapatkan bukti secara pasti bahwa
telah terjadi menstruasi. Menurut Muller, untuk mengetahui ada atau tidaknya
ovulasi perlu dilakukan observasi selama 8 minggu di rumah sakit, sehingga dapat
ditentukan adakah selama itu ia mendapat menstruasi. Sekarang ini untuk
menentukan apakah seorang wanita sudah pernah mengalami ovulasi atau belum
dapat dilakukan pemeriksaan vaginal smear.
Akan tetapi bila kita mengacu pada Undang-undang perkawinan, yang
mengatakan bahwa wanita boleh kawin bila ia telah berumur 16 tahun, maka
masalahnya kembali kepada masalah perkiraan umur.

2.7 Homoseksual sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan Seksual


Di dalam pasal 292 KUHP, terdapat ancaman hukuman bagi seseorang yang
cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang berjenis
kelamin sama yang belum cukup umur atau belum dewasa.

Pasal 292 KUHP


Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama
kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

17

Dengan demikian kasus homoseks dan lesbian jelas merupakan kejahatan


seksual, bila partnernya belum dewasa, yang secara yuridis belum berumur 21
tahun atau bila berumur kurang dari 21 tahun tetapi sudah pernah kawin, maka
partnernya tersebut dianggap sudah dewasa.
Jika kasus yang dihadapi adalah kasus homoseks antara dua pria, maka
pembuktian secara kedokteran forensik tidak sulit, oleh karena yang perlu
dibuktikan dalam hal ini adalah: perkiraan umur (belum dewasa), dan adanya
sperma serta air mani baik dalam dubur maupun mulut korban; juga perlu
diperiksa bentuk dubur, bagi yang telah sering melakukan persetubuhan melalui
dubur, maka bentuk dari dubur akan mengalami perubahan, duburnya terbuka,
berbentuk corong (funnel shape), dan otot sfingternya sudah tidak dapat berfungsi
dengan baik.
Pada kasus lesbian, selain perkiraan umur maka perlu dicari apakah terdapat
kelainan yang diakibatkan oleh manipulasi genital dengan tangan atau alat-alat
bantu.

2.8 Pemeriksaan Laboratorium


Adanya cairan mani atau bercak yang dihasilkan bisa menjadi petunjuk
adanya pemerkosaan atau upaya pemerkosaan, pembunuhan seksual pada wanita
dan biasa juga terjadi pada bestiality.
Potensi dari materi cairan ini telah diketahui, dapat mengungkapkan masalah
paternitas atau nullitas, hal ini bisa membela dengan pertahanan bahwa adanya
tindakan pemerkosaan.
Ini penting, sesuai dengan sirkumstansial , untuk membuktikan bercak
tersebut dihasilkan dari cairan mani, atau cairan yang dihasilkan dari vagina

18

(labium minora atau anus). Pada kejadian lain hal ini dapat menunjukan potensi
cairan.
Bahan untuk pemeriksaan biasanya banyak ditemukan dari bercak mani pada
pakaian dan cairan dari vagian maupun anus, sejak adanya prosedur yang berbeda
dalam memperoleh spesimen dan menyiapkan pemeriksaan.
Pada kasus dugaan pemerkosaan perlu untuk melihat cairan mani berupa
bercak pada pakaian, di kulit perineum, paha, labium minor, rambut pubis, vagina
dan lubang anus. Ini tidak pasti membuktikan bahwa cairan semen masuk ke
vagina, ini cukup sering ditemukan pada labium minor atau rambut pubis sejak
adanya penetrasi penis meskipun bukan penetrasi komplit.
Cairan semen yang telah kering pada perineum atau labia minor paling baik
dikumpulkan menggunakan swab tenggorok. Sampel rambut pubis, yang mungkin
juga dibutuhkan untuk perbandingan dengan rambut yang ada pada pakaian
terdakwa, harus diambil secara hati-hati dan dipindahkan ke kemasan kecil dari
gelas. Rambut yang dipotong tidak akan disertai akarnya sehingga menjadi tidak
memuaskan.
Cairan dari vagina dikumpulkan menggunakan pipet atau swab tenggorok
yang dimasukkan dengan atau tanpa bantuan spekulum. Karena sperma dapat
rusak secara cepat, maka penting untuk membuat satu atau lebih smear pada gelas
slide sesegera mungkin dan untuk mengirimnya bersama dengan spesimen yang
sesuai untuk penyelidikan. Demikian pula, smear dari anal swab juga harus dibuat
dengan segera.

19

2.8.1 Pemeriksaan Laboratorium Korban Kejahatan Seksual


1. Tujuan

: menentukan adanya sperma

Bahan pemeriksaan

: cairan vagina

Metoda

Tanpa pewarnaan: satu tetes cairan vaginal ditaruh pada gelas


objek dan kemudian ditutup; pemeriksaan dibawah mikroskop
dengan pembesaran 500 kali.
Hasil yang diharapkan: sperma yang masih bergerak.

Dengan pewarnaan: buat sediaan apus dari cairan vagina pada


gelas objek, keringkan di udara, fiksasi dengan api, warnai dengan
Malachite-green 1% dalam air, tunggu 10-15 menit, cuci dengan
air, warnai dengan Eosin-yellowish 1% dalam air, tunggu 1
menit, cuci dengan air, keringkan dan diperiksa dibawah mikroskop.

Hasil yang diharapkan: bagian basis kepala sperma berwarna ungu,


bagian hidung merah muda.
2. Tujuan

: menentukan adanya sperma

Bahan pemeriksaan

: pakaian

Metoda

Pakaian yang mengandung bercak diambil sedikit pada


bagian

tengahnya

(kon s e n t r a s i

s p e r ma

t e r u t a ma

di

b a g i a n tengah),

Warnai dengan pewarnaan BAEECHI selama 2 menit,

Cuci dengan HCL 1%,

Dehidrasi dengan alkohol 70%, 85% dan alkohaol absolut,

20

Bersihkan dengan Xylol,

Keringkan dan letakan pada kertas saring,

Dengan jarum, pakaian yang mengandung bercak diambil benangnya


1- 2 helai, kemudian diurai sampai menjadi serabut-serabut pada
gelas objek,

Teteskan canada balsem, ditutup dengan gelas penutup lihat


dibawah mikroskop dengan pembesaran 500 kali.

Hasil yang diharapkan:


Kepala sperma berwama merah, bagian ekor biru muda; kepala sperma
tampak menempel pada serabut-serabut benang.
Pembuatan pewarnaan BAEECHI :
acid-fuchsin 1 % (1 tetes atau 1 ml)
methylene-blue 1 % (1 tetes atau 1 ml)
HCL 1 % (40 tetes atau 40 ml).
3. Tujuan

: menentukan adanya air mani (asam fosfatase)

Bahan pemeriksaan : Cairan vaginal


Metoda

Cairan vaginal ditaruh pada kertas Whatman, diamkan


sampai kering,

Semprot dengan reagensia,

Perhatikan warna ungu yang timbul dan catat dalam berapa


detik warna ungu tersebut timbul.

Hasil yang diharapkan:


Warna ungu timbul dalam waktu kurang dari 30 detik, berarti

21

asam fosfatase berasal dari prostat, berarti in dikasi besar;


warna ungu timbul kurang dari 65 detik, indikasi sedang.
Pembuatan reagensia:
Bahan-bahan yang dibutuhkan;
1. Sodium chloride 23 gram
2. Glacial acetic acid 1/2 ml
3. Sodium acetate trihydrate 2 gram
4. Brentaminefast Blue B 50 mg
5. Sodium alpha naphthyl phosphate 50 mg
6. Aquadest 90 ml
7. Kertas Whatman no. 1 serta alat penyemprot (spray)

Bahan No. 1, 2 dan 3 dilarutkan dalam aquadest menjadi larutan


buffer dengan pH sekitar 5. Bahan No. 4 dilarutkan dengan
sedikit larutan buffer dan kemudian bahan No. 5 dilarutkan
dalam sisa buffer. Selanjutnya bahan No 4 yang sudah dilarutkan
tersebut dimasukan ke dalam larutan sodium alpha-naphthylphosphate dan dengan cepat disaring dan dimasukkan ke
dalam botol yang gelap (reagensia ini bila disimpan dalam lemari
es dapat tahan beberapa minggu ).
Adapun dasar reaksi ini ialah: asam fosfatase akan menghidrolisir
alpha naphthyl phosphate dan alpha naphthol yang dibebaskan
akan bereaksi dengan Brentamine dan membentuk warna ungu.
4. Tujuan

: menentukan adanya air mani (kristal kholin)

Bahan pemeriksaan : cairan vaginal


Metoda

: Florence
22

Cairan vaginal ditetesi larutan yodium

Kristal yang terbentuk dilihat di bawah mikroskop

Hasil yang diharapkan:


Kristal-kristal kholin-peryodida tampak berbentuk jarum-jarum yang
berwarna coklat.
5. Tujuan

: menentukan adanya air mani (kristal spermin)

Bahan pemeriksaan : cairan vaginal


Metoda

: Berberio

Cairan vaginal ditetesi larutan asam pikrat., kemudian lihat di


bawah mikroskop

Hasil yang diharapkan :


Kristal-kristal spermin pikrat akan berbentuk rhombik atau
jarum kompas yang berwarna kuning kehijauan.
6. Tujuan

: menentukan adanya air mani

Bahan pemeriksaan

: pakaian

Metoda

a. inhibisi asam fosfatase dengan L (+) asam tartrat


b. reaksi dengan asam fosfatase
c. sinar-UV; visual; taktil dan penciuman
Inhibisi asam Fosfatase dengan L (+) asam tartat

Pakaian yang diduga mengandung bercak air mani dipotong


kecil dan diekstraksi dengan beberapa tetes aquades.

Pada dua helai kertas saring diteteskan masing masing satu


tetes ekstrak; kertas saring pertama disemprot dengan reagens 1,

23

yang kedua disemprot dengan reagensia 2,

Bila pada kertas saring pertama timbul warna ungu dalam


waktu satu menit, sedangkan pada yang kedua tidak terjadi
warna ungu, maka dapat disimpulkan bahwa bercak pada pakaian
vang diperiksa adalah bercak air mani,

Bila dalam jangka waktu tersebut warna ungu timbul pada


keduanya, maka bercak pada pakaian bukan bercak air mani,
asam fosfatase yang terdapat berasal dari sumber lain.

Pembuatan reagensia:
Reagensia 1: sodium alpha naphthyl phosphate dan Brentamine
fast blue B, dilarutkan dalam larutan buffer citrat dengan pH. 4,9.
Reagensia 2: sodium alpha naphthyl phosphate dan Brentamine fast
blue B, dilarutkan dalam larutan yang terdiri dari 9 bagian larutan
buffer citrat pH.4,9 dan 1 bagian larutan 0,4 M. L(+) tartaric acid
dengan pH.4,9.
Reaksi dengan asam fosfatase

Kertas saring yang sudah dibasahi dengan aquades diletakkan


pada pakaian atau bahan yang akan di periksa selama 5-10
menit, kemudian kertas saring diangkat dan dikeringkan,

Semprot dengan reagensia, jika timbul warna ungu berarti


pakaian atau bahan tersebut mengandung air mani,

Bila kertas saring tersebut diletakan pada pakaian atau


bahan seperti semula, maka dapat diketahui letak dari air mani
pada bahan yang diperiksa.

24

Sinar ultra violet; visuil; taktil dan penciuman

Pemeriksaan dengan sinar-UV: bahan yang akan diperiksa ditaruh


dalam ruang yang gelap, kemudian disinari dengan sinar ultra
violet bila terdapat air mani, terjadi fluoresensi.

Pemeriksaan secara visual, taktil dan penciuman tidak sulit


untuk dikerjakan.

7. Tujuan

: menentukan adanya kuman Neisseria


gonorrhoeae (GO)

Bahan pemeriksaan

: sekret uretra dan sekret serviks uteri

Metoda

: pewarnaan Gram

Hasil yang diharapkan: kuman Neisseria gonorrhoea.


8. Tujuan

: menentukan adanya kehamilan

Bahan pemeriksaan

: urin

Metoda

Hemagglutination inhibition test (Pregnosticon)

Agglutination inhibition test (Gravindex )

Hasil yang diharapkan: terjadi aglutinasi pada kehamilan.


9. Tujuan

: menentukan adanya racun (toksikologi )

Bahan pemeriksaan

: darah dan urine

Metoda

TLC

Mikrodiffusi, dsbnya.

25

Hasil yang diharapkan

: adanya obat yang dapat menurunkan atau

menghilangkan kesadaran.
10. Tujuan

: penentuan golongan darah

Bahan pemeriksaan

: cairan vaginal yang berisi air mani dan darah.

Metoda

: serologi (ABO grouping test)

Hasil yang diharapkan : golongan darah dari air mani berbeda


dengan golongan darah dari korban.
Pemeriksaan ini hanya dapat dikerjakan bila tersangka pelaku
kejahatan termasuk golongan "sekretor".

2.8.2 Pemeriksaan Laboratorium Pelaku Kejahatan Seksual


1. Tujuan

: menentukan adanya sel epithel vagina


pada penis

Bahan pemeriksaan

: cairan yang masih melekat di sekitar


corona glandis

Metoda

: dengan gelas objek ditempelkan mengelilingi


korona glandis, kemudian gelas

objek

tersebut diletakan di atas cairan lugol.


Hasil yang diharapkan

: epithel dinding vagina yang berbentuk


heksagonal tampak berwarna coklat atau
coklat kekuningan.

2. Tujuan

: menentukan

adanya

kuman

Neisseria

gonorrhoeae (GO)
Bahan pemeriksaan

: sekret urethrae

Metoda

: sediaan

langsung

dengan

pewarnaan
26

Gram
Hasil yang diharapkan

: ditemukan kuman Neisseria gonorrhoeae.

2.8.3 Pemeriksaan Pada Kasus Homoseksual


Tujuan pemeriksaan : untuk menentukan adanya sperma dalam dubur
pasangannya dan mendapatkan adanya unsur-unsur
yang terdapat dalam anus.
Bahan pemeriksaan

: anal swab

Metoda

: sama seperti di atas untuk menentukan sperma atau


air mani, sedangkan untuk melihat unsur-unsur yang
ada dalam dubur yang terbawa atau melekat pada
penis, dapat dibuat sediaan langsung dengan atau
tanpa pewarnaan.

2.8.4 Pemeriksaan Air Mani Dari Rambut Dan Kulit


Para pelaku kejahatan seksual tidak jarang di dalam melampiaskan
hasrat seksualnya itu, melalui cara yang tidak lazim, seringkali korban
dipaksa untuk melakukan "fellatio" atau sodomy.
Di dalam menghadapi kemungkinan yang demikian tadi, maka
selain pemeriksaan yang rutin dilakukan, harus pula dikerjakan
pemeriksaan terhadap rambut dan kulit korban, untuk mencari air mani
yang tercecer.

Daerah yang diperiksa tergantung dari peristiwanya, kepala,


bulu-bulu atau rambut di wajah, kulit di daerah perioral (sekitar
mulut), paha bagian dalam, dan daerah pantat,

Rambut kepala dicabut dan direndam dalam larutan NaCl,


27

Pemeriksaan dilakukan dengan pap smear dan penen tuan asam


fosfatase,

Kulit dibasahi dengan aplikator katun yang telah diren dam dalam
larutan NaCl, test kemudian dapat dilakukan,

Tes yang positif pada paha atau pantat, dapat memban tu


memperkirakan saat terjadinya kejahatan tersebut, tentunya
tergantung dari: apakah korban telah membersihkan dirinya atau
belum.

Metoda pemeriksaan:

Sampel rambut yang berasal dari daerah frontal dan temporal


diperiksa hati-hati, apakah terkontaminasi dengan air mani,

Rambut tersebut direndam dalam 3 ml NaCl, kemudian disentrifuse,

Pap smear, dapat dilakukan dari sedimen tersebut, sedangkan


supernatantnya dipergunakan antuk analisa asam fosfatase,

Dua aplikator dari katun untuk swab dibasahi oleh NaCl, ini dipakai
untuk membersihkan material yang mengandung air mani pada ki pit,

Kedua swab tersebut digosokkan pada permukaan kulit,

Buat sediaan apus dari swab tersebut, warnai dengan teknik


Papanicolaou,

Penentuan asam fosfatase juga dapat memakai bahan yang


berasal dari swab tersebut,

Salah satu swab direndam dalam 3 ml NaCI selama 30 menit pada


temperatur ruang,

Dengan modifikasi dari teknik Bodansky (bete-glycerolphosphoric

28

acid, disodium salt sebagai substrate), 0,5 ml dari elusi ini dipakai
untuk menentukan kadar dari asam phosphatese yang berasal dari
prostat.

BAB III
PENUTUP
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan
yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat
dengan Ilmu Kedokteran Forensik, yaitu di dalam upaya pembuktian bahwasanya
kejahatan tersebut memang telah terjadi.
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh
undang-undang , tertera pada pasal-pasal yang terdapat pada Bab XIV KUHP, tentang
Kejahatan Terhadap Kesusilaan, meliputi persetubuhan di dalam perkawinan (pasal
288 KUHP) maupun di luar perkawinan yang mencakup persetubuhan dengan
persetujuan (pasal 284 dan 287 KUHP) serta persetubuhan tanpa persetujuan (pasal
285 dan 286). Homoseksual juga termasuk bentuk kejahatan seksual bila dilakukan
pada orang dengan jenis kelamin sama namun belum dewasa seperti yang tertera
dalam pasal 292 KUHP.
Upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan
seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda
persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian
apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawin atau
tidak.
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk mendukung adanya
persetubuhan.

29

30

Anda mungkin juga menyukai