Forensik Kejahatan Seksual
Forensik Kejahatan Seksual
PENDAHULUAN
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan
yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat
dengan Ilmu Kedokteran Forensik; yaitu di dalam upaya pembuktian bahwasanya
kejahatan tersebut memang telah terjadi. Adanya kaitan antara Ilmu Kedokteran
dengan kejahatan seksual dapat dipandang sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Kitab Undang-Undang
Acara Hukum Pidana (KUHAP), yang memuat ancaman hukuman serta tatacara
pembuktian pada setiap kasus yang termasuk di dalam pengertian kasus kejahatan
seksual.
Di dalam upaya pembuktian secara kedokteran forensik, faktor keterbatasan di
dalam ilmu kedokteran itu sendiri dapat sangat berperan, demikian halnya dengan
faktor waktu serta faktor keaslian dari barang bukti (korban), maupun faktor-faktor
dari pelaku kejahatan seksual itu sendiri.
Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap
kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tandatanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta
pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk
dikawin atau tidak.
Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan yang merupakan tindak pidana ini,
hendaknya dilakukan dengan teliti dan waspada. Pemeriksa harus yakin akan semua
bukti-bukti yang ditemukannya karena tidak adanya kesempatan untuk melakukan
pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih banyak bukti. Dalam melaksanakan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Persetubuhan yang Merupakan Kejahatan
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh
undang-undang , tertera pada pasal-pasal yang terdapat pada Bab XIV KUHP,
tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan; yang meliputi persetubuhan di dalam
perkawinan maupun di luar perkawinan.
undang. Secara biologis seorang perempuan dikatakan mampu untuk dikawin bila
ia telah siap untuk dapat memberikan keturunan, dimana hal ini dapat diketahui
dari menstruasi, apakah ia belum pernah mendapat menstruasi atau sudah pernah.
Sedangkan menurut undang-undang perkawinan, maka batas umur termuda bagi
seorang perempuan yang diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan adalah
16 tahun. Dengan demikian dokter diharapkan dapat menentukan berapa umur
dari perempuan yang diduga merupakan korban seperti yang dimaksud dalam
pasal 288 KUHP.
Dalam kasus-kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan
kejahatan, dimana persetubuhan tersebut memang disetujui oleh si perempuan
maka dalam hal ini pasal-pasal dalam KUHP yang dimaksud adalah pasal 284 dan
287.
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan
pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang
tercemar,dan bila bagi mereka berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek),
dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau
pisah meja da pisah ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang peradilan
belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-isteri berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek), pengaduan
tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau
sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Pasal 27 BW
Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang
perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai
suaminya.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan
pasal 294.
Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi persetubuhan dan
telah terjadi paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dokter dapat
menentukan apakah persetubuhan telah terjadi atau tidak, apakah terdapat tandatanda kekerasan. Tetapi ini tidak dapat menentukan apakah terdapat unsur paksaan
pada tindak pidana ini.
Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu merupakan
akibat paksaan, mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang tak ada
hubungannya dengan paksaan. Demikian pula bila tidak ditemukan tanda-tanda
kekerasan, maka hal itu belum merupakan bukti bahwa paksaan tidak terjadi. Pada
hakekatnya dokter tak dapat menentukan unsur paksaan yang terdapat pada tindak
pidana perkosaan; sehingga ia juga tidak mungkin menentukan apakah perkosaan
telah terjadi.
Yang berwenang untuk menentukan hal tersebut adalah hakim, karena
perkosaan adalah pengertian hukum bukan istilah medis sehingga dokter jangan
menggunakan istilah perkosaan dalam Visum et Repertum.
Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa korban berada dalam
keadaan pingsan atau tidak berdaya. Dokter perlu mencari tahu apakah korban
sadar waktu persetubuhan terjadi, adakah penyakit yang diderita korban yang
sewaktu-waktu dapat mengakibatkan korban pingsan atau tidak berdaya. Jika
korban mengatakan ia menjadi pingsan, maka perlu diketahui bagaimana
terjadinya pingsan itu, apakah terjadi setelah korban diberi minuman atau
makanan. Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah korban menunjukkan
tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran, atau tanda-tanda telah berada di bawah
pengaruh obat-obatan.
Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah sengaja membuat korban pingsan
atau tidak berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan,
karena dengan membuat korban pingsan atau tidak berdaya ia telah melakukan
kekerasan.
Pasal 89 KUHP
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan
kekerasan.
Kejahatan seksual yang dimaksud dalam KUHP pasal 286 adalah pelaku
tidak melakukan upaya apapun; pingsan atau tidak berdayanya korban bukan
diakibatkan oleh perbuatan si pelaku kejahatan seksual.
yang
cukup lama,
selama
perawatan
mereka
di Bridgewater
10
Posisi persetubuhan
harus
dilakukan
sesegera
mungkin,
sebab
dengan
tertulis dari pihak-pihak yang diperiksa. Jika korban adalah seorang anak izin
dapat diminta dari orang tua atau walinya.
tidak
mengandung
sperma,
maka
pembuktian
adanya
12
13
ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita yang menjadi korban meninggal.
Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses
penyembuhan selaput dara yang robek. Pada umumnya penyembuhan
tersebut dicapai dalam waktu 7-10 hari postkoital.
b. Pemeriksaan pakaian
Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat
dilakukan pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak
ejakulat. Dari bercak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk memastikan bahwa bercak yang telah ditemukan adalah air mani
serta dapat menentukan adanya sperma.
mengetahui
apakah
seorang
pria
baru
melakukan
14
15
16
dibuktikan oleh ilmu kedokteran), dalam hal ini: menstruasi. Bila wanita itu sudah
mengalami menstruasi, maka ia sudah waktunya untuk dikawin. Untuk itu, yaitu
untuk mengetahui apakah wanita tersebut sudah pernah menstruasi dokter
pemeriksa tidak jarang harus merawat dan mengisolir wanita tersebut, yang
maksudnya agar ia dapat mengetahui dan mendapatkan bukti secara pasti bahwa
telah terjadi menstruasi. Menurut Muller, untuk mengetahui ada atau tidaknya
ovulasi perlu dilakukan observasi selama 8 minggu di rumah sakit, sehingga dapat
ditentukan adakah selama itu ia mendapat menstruasi. Sekarang ini untuk
menentukan apakah seorang wanita sudah pernah mengalami ovulasi atau belum
dapat dilakukan pemeriksaan vaginal smear.
Akan tetapi bila kita mengacu pada Undang-undang perkawinan, yang
mengatakan bahwa wanita boleh kawin bila ia telah berumur 16 tahun, maka
masalahnya kembali kepada masalah perkiraan umur.
17
18
(labium minora atau anus). Pada kejadian lain hal ini dapat menunjukan potensi
cairan.
Bahan untuk pemeriksaan biasanya banyak ditemukan dari bercak mani pada
pakaian dan cairan dari vagian maupun anus, sejak adanya prosedur yang berbeda
dalam memperoleh spesimen dan menyiapkan pemeriksaan.
Pada kasus dugaan pemerkosaan perlu untuk melihat cairan mani berupa
bercak pada pakaian, di kulit perineum, paha, labium minor, rambut pubis, vagina
dan lubang anus. Ini tidak pasti membuktikan bahwa cairan semen masuk ke
vagina, ini cukup sering ditemukan pada labium minor atau rambut pubis sejak
adanya penetrasi penis meskipun bukan penetrasi komplit.
Cairan semen yang telah kering pada perineum atau labia minor paling baik
dikumpulkan menggunakan swab tenggorok. Sampel rambut pubis, yang mungkin
juga dibutuhkan untuk perbandingan dengan rambut yang ada pada pakaian
terdakwa, harus diambil secara hati-hati dan dipindahkan ke kemasan kecil dari
gelas. Rambut yang dipotong tidak akan disertai akarnya sehingga menjadi tidak
memuaskan.
Cairan dari vagina dikumpulkan menggunakan pipet atau swab tenggorok
yang dimasukkan dengan atau tanpa bantuan spekulum. Karena sperma dapat
rusak secara cepat, maka penting untuk membuat satu atau lebih smear pada gelas
slide sesegera mungkin dan untuk mengirimnya bersama dengan spesimen yang
sesuai untuk penyelidikan. Demikian pula, smear dari anal swab juga harus dibuat
dengan segera.
19
Bahan pemeriksaan
: cairan vagina
Metoda
Bahan pemeriksaan
: pakaian
Metoda
tengahnya
(kon s e n t r a s i
s p e r ma
t e r u t a ma
di
b a g i a n tengah),
20
21
: Florence
22
: Berberio
Bahan pemeriksaan
: pakaian
Metoda
23
Pembuatan reagensia:
Reagensia 1: sodium alpha naphthyl phosphate dan Brentamine
fast blue B, dilarutkan dalam larutan buffer citrat dengan pH. 4,9.
Reagensia 2: sodium alpha naphthyl phosphate dan Brentamine fast
blue B, dilarutkan dalam larutan yang terdiri dari 9 bagian larutan
buffer citrat pH.4,9 dan 1 bagian larutan 0,4 M. L(+) tartaric acid
dengan pH.4,9.
Reaksi dengan asam fosfatase
24
7. Tujuan
Bahan pemeriksaan
Metoda
: pewarnaan Gram
Bahan pemeriksaan
: urin
Metoda
Bahan pemeriksaan
Metoda
TLC
Mikrodiffusi, dsbnya.
25
menghilangkan kesadaran.
10. Tujuan
Bahan pemeriksaan
Metoda
Bahan pemeriksaan
Metoda
objek
2. Tujuan
: menentukan
adanya
kuman
Neisseria
gonorrhoeae (GO)
Bahan pemeriksaan
: sekret urethrae
Metoda
: sediaan
langsung
dengan
pewarnaan
26
Gram
Hasil yang diharapkan
: anal swab
Metoda
Kulit dibasahi dengan aplikator katun yang telah diren dam dalam
larutan NaCl, test kemudian dapat dilakukan,
Metoda pemeriksaan:
Dua aplikator dari katun untuk swab dibasahi oleh NaCl, ini dipakai
untuk membersihkan material yang mengandung air mani pada ki pit,
28
acid, disodium salt sebagai substrate), 0,5 ml dari elusi ini dipakai
untuk menentukan kadar dari asam phosphatese yang berasal dari
prostat.
BAB III
PENUTUP
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari kejahatan
yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai kaitan yang erat
dengan Ilmu Kedokteran Forensik, yaitu di dalam upaya pembuktian bahwasanya
kejahatan tersebut memang telah terjadi.
Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh
undang-undang , tertera pada pasal-pasal yang terdapat pada Bab XIV KUHP, tentang
Kejahatan Terhadap Kesusilaan, meliputi persetubuhan di dalam perkawinan (pasal
288 KUHP) maupun di luar perkawinan yang mencakup persetubuhan dengan
persetujuan (pasal 284 dan 287 KUHP) serta persetubuhan tanpa persetujuan (pasal
285 dan 286). Homoseksual juga termasuk bentuk kejahatan seksual bila dilakukan
pada orang dengan jenis kelamin sama namun belum dewasa seperti yang tertera
dalam pasal 292 KUHP.
Upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus kejahatan
seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya tanda-tanda
persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian
apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah mampu untuk dikawin atau
tidak.
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk mendukung adanya
persetubuhan.
29
30