Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Inflammatory bowel disease (IBD) adalah kondisi intestinal kronik yang
dimediasi oleh sistem imun. Tipe utama dari IBD adalah penyakit crohn (crohn disease)
dan kolitis ulseratif (ulcerative colitis).
Penyakit Crohn adalah gangguan peradangan yang terus menerus dan melibatkan
semua lokasi pada traktus gastrointestinal. Penyakit ini dapat didefinisikan berdasarkan
lokasi seperti ileum terminal, kolonik, ileokolik, dan gastrointestinal atas. Selain
berdasarkan lokasi, penyakit ini juga dapat didefinisikan berdasarkan bentuk penyakit
seperti inflamasi, fistula, atau striktura). Penyakit crohn ini umumnya mengenai bagian
akhir usus halus yaitu ileum sehingga sering disebut ileitis atau enteritis.
Penyakit kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada kolon (usus
besar) terutama mengenai bagian mukosa kolon. Penyakit ini termasuk salah satu
inflammatory bowel diseases (IBD) yang hingga saat ini belum diketahui penyebabnya
secara jelas (Ardizzone, 2003).
Penyebab IBD memang masih belum jelas, namun berhubungan dengan faktor
genetik dan faktor lingkungan sebagai pemicunya hal ini terbukti dari 10-20% penderita
pasti memiliki anggota keluarga yang terkena penyakit yang sama (Collins, 2006).
Insiden IBD beragam dan bergantung area geografiknya. Penyakit crohn dan
kolitis ulseratif memiliki insiden tertinggi di Eropa, USA, dan Amerika Utara. Puncak
usia untuk penyakit crohn dan kolitis ulseratif adalah antara 15 dan 30 tahun. Puncak
kedua muncul diantara usia 60 dan 80 tahun. Rasio pria dan wanita untuk penyakit crohn
1,1-1,8 : 1 dan untuk kolitis ulseratif 1 : 1.
Angka penderita IBD khususnya diusia produktif sangat merugikan. Oleh karena
itu penting bagi kita sebagai perawat untuk meminimalisir angka kejadian tersebut
khususnya pada usia produktif. Angka kejadian di usia lanjut juga tidak kalah penting
untuk diminimalisir sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di usia
lanjut. Peran kita yaitu kita harus mampu memahami secara teori mengenai kolitis
ulseratif,

mampu

melakukan

tindakan

asuhan

keperawatannya

dan

mampu

menginformasikan kepada masyarakat sebagai tindakan preventif.


1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa definisi dari enteritis regional?
1.2.2 Bagaimana etiologi dari enteritis regional?
1.2.3 Bagaimana manifestasi klinis dari enteritis regional?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi dari enteritis regional?
1

1.2.5
1.2.6
1.2.7
1.2.8
1.2.9
1.2.10
1.2.11
1.2.12
1.2.13
1.2.14

Bagaimana pemeriksaan penunjang dari enteritis regional?


Bagaimana penatalaksanaan dari enteritis regional?
Apa saja komplikasi yang diakibatkan oleh enteritis regional?
Apa definisi dari kolitis ulseratif?
Bagaimana etiologi dari kolitis ulseratif?
Bagaimana manifestasi klinis dari kolitis ulseratif?
Bagaimana patofisiologi dari kolitis ulseratif?
Bagaimana pemeriksaan penunjang dari kolitis ulseratif?
Bagaimana penatalaksanaan dari kolitis ulseratif?
Apa saja komplikasi yang diakibatkan oleh kolitis ulseratif?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi pada klien dengan
penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.1.2.1 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi penyakit
enteritis regional dan kolitis ulseratif
1.1.2.2 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi penyakit
enteritis regional dan kolitis ulseratif
1.1.2.3 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinis
penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif
1.1.2.4 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan epidemiologi penyakit
kolitis ulseratif
1.1.2.5 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan klasifikasi penyakit
kolitis ulseratif
1.1.2.6 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi penyakit
enteritis regional dan kolitis ulseratif
1.1.2.7 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan penunjang
terhadap pasien dengan penyakit kolitis ulseratif
1.1.2.8 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan medis
terhadap pasien dengan penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif
1.1.2.9 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan komplikasi penyakit
enteritis regional dan kolitis ulseratif
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teori
Mengetahui definisi

etiologi,

manifestasi

klinis,

patofisiologi,

dan

penatalaksanaan medis terhadap pasien dengan penyakit enteritis regional dan


1.4.2

kolitis ulseratif.
Manfaat Praktis
Sebagai calon perawat mampu memahami patofisiologi pada pasien dengan
penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sistem Pencernaan
2.1.1 Mulut
Mulut adalah jalan masuk menuju sistem pencernaan dan berisi organ
aksesori yang berfungsi dalam proses awal pencernaan. Rongga vestibulum (bukal)
terletak di antara gigi dan, bibir dan pipi sebagai batas luarnya.
Batas-batas mulut adalah:
Atas
: palatum durum dan molle,
Bawah
: mandibula, lidah dan struktur lain pada dasar mulut,
Lateral
: pipi,
Depan
: bibir,
Belakang : lubang menuju faring.
2.1.2 Faring
Faring adalah tabung fibromuskular yang melekat pada dasar tengkorak di
atas dan berhubungan dengan esofagus di bagian bawah. Faring terdiri dari tiga
bagian, nasofaring dan orofaring. Laringofaring ada di belakang epiglotis dan
laring dan berhubungan dengan esofagus di bagian bawah. Makanan melewati
orofaring dan laringofaring masuk ke dalam esofagus.
2.1.3 Esofagus
Esofagus adalah tabung muskular dengan panjang sekitar 25 cm dan
berdiameter 0,5 cm.
Esofagus dimulai di leher sebagai sambungan faring, berjalan ke bawah leher
dan toraks dan kemudian melalui crus sinistra diafragma memasuki lambung.
Di bagian depannya adalah:
Trakea dan kelenjar tiroid,
3

Jantung,
Diafragma.
Di bagian belakangnya:
Columna vertebralis.
Pada setiap sisi adalah:
Paru dan pleura.
Arcus aorta terletak pada sisi kiri esofagus dan aorta descendens awalnya
terletak pada sisi kiri dan kemudian lewat di belakangnya, sehingga terletak di
antara esofagus dan columna vertebralis.
Esofagus sedikit menyempit pada:
a. Ujung atas esofagus
b. Tempat bronkus menyilang esofagus
c. Tempat esofagus melewati diafragma
Komposisi
a. Lapisan dalam membran mukosa
b. Lapisan submukosa yang tebal, mengandung kelenjar mukus
c. Lapisan otot serat longitudinal dan sirkular
d. Lapisan fibrosa di bagian luar
Bolus memasuki sepertiga bagian atas esofagus kurang dari satu detik dan di
dorong ke bawah melewati sisanya oleh kontraksi seperti cincin otot esofagus.
Bolus yang lembab dan lunak mencapai pintu masuk lambung dalam beberapa
detik, tetapi bolus yang kering mungkin harus didorong oleh gelombang sekunder,
yang dapat terasa nyeri.
2.1.4 Lambung
Lambung bervariasi dalam bentuk tergantung dari jumlah makanan di
dalamnya, adanya gelombang peristaltik, tekanan dari organ lain, respirasi, dan
postur tubuh. Posisi, bentuk, dan mobilitas lambung sangat bervariasi.
Lambung biasanya memiliki bentuk J dan terletak di kuadran kiri atas
abdomen.
Lambung memiliki:
a. Permukaan anterior dan posterior
b. Curvatura minor pada sisi kanan
c. Curvatura mayor pada sisi kiri
d. Orificium cardia tempat esofagus bergabung
e. Fundus: kubah di atas tingkat orificium cardia, normal diisi oleh gelembung
udara
f. Corpus: bagian terbesar lambung
g. Canalis pyloricus: tabung sempit di bawah corpus
h. Lubang pylorus: ke dalam bagian pertama duodenum
2.1.5 Usus Halus

Usus halus memanjang dari lambung sampai katup ileo-kolika, tempat


bersambung usus besar. Usus halus terletak di daerah umbilikus dan dikelilingi
oleh usus besar. Usus halus dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya yaitu:
1.

Duodenum
Merupakan bagian pertama usus halus yang memiliki panjang 25 cm,
bentuknya seperti sepatu kuda, dan kepalanya mengelilingi kepala pankreas.
Isisnya adalah alkali. Saluran empedu dan saluran pankreas masuk ke dalam
duodenum pada suatu lubang yang disebut ampula hepatopankreatika, atau
ampula Vateri, 10 cm dari pilorus.

2.

Yeyenum
Letaknya 2/5 sebelah atas dari usus halus yang selebihnya

3.

Ileum
Letaknya 3/5 akhir.

2.1.5.1. Lapisan Usus Halus


Struktur usus halus, dindingnya terdiri dari 4 lapisan yang sama
dengan lambung, yaitu:
1. Dinding lapisan luar (serosa).
Yaitu peritoneum yang membalut usus dengan erat.
2. Dinding lapisan berotot
Terdiri atas 2 lapis serabut, yaitu:
a. Lapisan luar terdiri atas serabut longitudinal
b. Lapisan tebal terdiri atas serabut sirkuler.
Diantara kedua lapisan serabut berotot ini terdapat pembuluh limfe dan
plexus saraf.
3. Dinding submukosa
Terdapat antara otot sirkuler dan lapisan terdalam yang merupakan
perbatasannya. Dinding ini terdiri atas jaringan areolar dan berisi banyak
pembuluh darah, saluran limfe, kelenjar dan plexus saraf yang disebut
plexus Meissner. Di dalam duodenum terdapat beberapa kelenjar
khasyang dikenal sebagai kelenjar Brunner. Kelemnjar-kelenjar ini
adalah jenis kelenjar tandan yang mengeluarkan sekret cairan kental
alakai yang bekerja untuk melindungi lapisan duodenum dari pengaruh
isi lambung yang asam.
5

Dinding submukosa dan mukos


Dipisahkan oleh selapis otot datar yang disebut dengan mukosa
muskhularis. Serabut-serabut berasal dari dari sini naik Vili dengan
berkontraksi membantu mengososngkan semua lakteal.
4. Dinding mukosa dalam
Dinding ini yang menyelpauti sebelah dalamnya, disusun berupa
kerutan tetap seperti jala, yang disebut valvulae koniventes. Lipatan inin
menambah luasnya ermukaan sekresi dan absorpsi. Dengan ini juga
dihalangi agar isinya tidak terlalu cepat berjalan melalui usus. Dengan
demikian memberi kesempatan lebih lama pada getah pencernaan untuk
bekerja terhadap makanan. Lapisan mukosa ini berisi banyak lipatan
Lieberkuhn yang bermuara diatas permukaan di tengah-tengah vili.
Lipatan Liberkuhn ini berupa kelenjar sederhana yang diselaputi
epitelium silinder. Epitelium ini bersambung menutupi vili.

Gb. 1Kedudukan usus halus dalam perbandingan terhadap kolon

Didalam dinding mukosa terdapat berbagai ragam sel, termasuk


banyak leukosit. Terdapat beberapa nodula jaringan limfe, yang disebut
kelenjarsoliter. Di dalam ileum terdapat kelompok-kelompok nodula itu.
Mereka membentuk tumpukan kelenjar Peyer dan dapat berisi 20 sampai
30 kelenjar soliter yang panjangnya 1 cm sampai bereapa sentimeter.
Kelenjar-kelenjar ini mempunyai fungsi melindungi dan merupakan
tempat peradangan pada demam usu (tifoid). Permukaan valvulae
6

koniventes tampak seperti beludru empuk karena adanya tajuk-tajuk


serupa bulu halus yang disebut vili.

Gb. 2. Struktur sebuah vilus

2.1.5.2. Gerakan Usus Halus


Fungsi usus halus adalah mencerna dan mengarbsorpsi khime dari
lambung yang dijalankan oleh serangkaian gerak peristaltik yang cepat.
Terdapat dua jenis gerakan lain, seperti berkut:
1.

Gerakan segemental
Adalah gerakan yang memisahkan beberapa segmen usus karea
diikat dengan gerakan konstriksi serabut sirkuler. Hal ini memungkinkan
isi yang cair ini sementara bersentuhan dengan dinding usus untuk
digesti dan absorpsi. Kemudian segmen yang berisis itu hilang untuk
timbul lebih jauh lagi dalam usus tadi.

2.

Gerakan pendulum atau ayunan


Gerakan ini menyebabkan isi usus bercampur. Dua cairan pencerna
masuk duodenum melalui saluran-salurannya yaitu empedu melalui hati
dan getah pankreas dari pankreas.
7

Gb. 3. Bagian-bagian usus halus. (A) Bagian duodenum dan jejenum. (B) Vili. (C)
Potongan pada villus memperlihatkan jaring-jaring kapilar, lakteal, dan hubungan
antar kelenjar usus.

Ada tiga spesialisasi struktural yang memperluas permukaan absorptif usus


halus sampai kurang lebih 600 kali, yaitu:
1. Plicae circulares adalah lipatan sirkular membran mukosa yang
permanen dan besar. Lipatan ini hampir secara keseluruhan mengitari
lumen.
2. Vili adalah jutaan tonjolan menyerupai jari tingginya 0,2 mm- 1,0 mm
yang memanjang ke lumen dari permukaan mukosa . Vili hanya
ditemukn paadcausus halus, setiap vilus mengandung jaring-jaring
kapilar dan pemuluh limfe yng disebut lakteal.
3. Mikrovili adalah lipatan-lipatan menonjol kecil pada membran sel yang
muncul pada tepi yang berhadapan dengan sel-sel epitel
2.1.5.3. Kelenjar Usus Halus

1. Kelenjar-kelenjar usus (kripta Liebrkuhn) tertanam dalam mukosa dan


membuka diantara basis-basis vili. Kelenjar ini mensekresi hormon dan
enzim.
a. Enzim yang dibentuk oleh sel-sel epitel dibutuhkan untuk
melengkapi digesti.
b. Hormon-hormon yang mempengaruhi sekresi dan motilitas salauran
pencernan antara lain:
2. Kelenjar penghasil mucus
Sel gobet terletak dalam epitelium di sepanjang usus halus. Sel ini
memproduksi mukus pelindung.
3. Kelenjar Brunner terletak dalam submukosa duodenum. Kelenjar ini
memproduksi mukus untuk melindungi mukosa duodenum terhadap
kimus asam dan cairan lambung yang masuk ke pilorus melalui
lambung.
4. Kelenjar enteroendokrin menghasilakn hormon-hormon gastrointestinal.

2.1.5.4. Jaringan limfatik


9

Leukosit dan nodulus limfe ada di keseluruhan usus halus untuk


melindungi dinding usus terhadap invasi benda asing. Agregasi nodulus
limfe yang disebut bercak Peyer terdaoat dalam ileum.
2.1.5.5. Fungsi usus halus
1. Mengakhiri proses pencernaan makanan yang dimulai dari mulut dan di
lambung. Proses ini diselesaikan oleh enzim usus dan enzim pankreas
serta dibantu oleh empedu dalam hati.
2. Usus halus secara selektif mengabsorpsi produk digesti.
2.1.6. Usus Besar
Panjang usus besar bervariasi, berkisar sekitar 150 cm. Dapat dibedakan dari
usus halus dengan ukurannya yang lebih besar dan adanya taenia coli dan
appendices epiploicae. Taenia coli adalah 3 pita serat otot longitudinal pada bagian
luar colon dan memendek daripada seluruh dinding usus menyebabkan gambaran
sakulasi atau berkerut. Appendiks dan rectum tidak memiliki taenia coli.
Appendices epiploicae adalah umbai peritoneum yang mengandung lemak pada
permukaan caccum.
1. Caecum
Caecum adalah kantong lebar, terletak pada fossa iliaca dextra. Ileum
memasuki sisi kirinya pada lubang ileosekal, celah oval yang dikontrol oleh
sfingter otot. Appendiks membuka ke dalam caecum di bawah lubang
ileosekal. Caecum berlanjut ke atas sebagai colon ascendens.
2. Appendiks
Appendiks adalah tonjolan seperti cacing dengan panjang sampai 18 cm
dan membuka pada caecum pada sekitar 2,5 cm di bawah katup ileosekal.
Appendiks memiliki lumen yang sempit. Lapisan submukosanya mengandung
banyak jaringan limfe.
Appendiks berhubungan dengan mesenterium ileum oleh mesenterium
pendek berbentuk segitiga yang di dalamnya berjalan pembuluh darah dan
pembuluh limfe appendicular.
3. Colon ascendens
Colon ascendens membentang dari caecum pada fossa iliaca dextra ke
sisi kanan abdomen sampai flexura colica dextra di bawah lobus hepatis
dexter.
10

4. Colon transversum
Pada flexura colica dextra colon membelok ke kiri dengan tajam dan
menyilang abdomen sebagai colon transversum dalam lengkungan yang dapat
menggantung lebih rendah daripada umbilikus, dan naik pada sisi kiri berakhir
pada flexura colica sinistra di bawah lien.
5. Colon descendens
Pada flexura colica sinistra, colon membelok kembali berjalan ke bawah
pada sisi kiri abdomen sampai tepi pelvis, tempat colon berlanjut sebagai
colon sigmoid.
6. Colon sigmoid (pelvicus)
Colon sigmoid memiliki beberapa lengkungan di dalam pelvis dan
berakhir pada sisi yang berlawanan dengan pertengahan sacrum tempatnya
berhubungan dengan rectum.
7. Rectum
Rectum memiliki panjang sekitar 12 cm dan mendapat namanya karena
berbentuk lurus atau hampir lurus. Rectum dimulai pada pertengahan sacrum
dan berakhir pada canalis analis.

2.2 Inflamasi Usus Halus


Penyakit inflamasi usus termasuk penyakit Crohn dan kolitis ulserativa. Keduanya
ini merupakan kondisi penyakit otoimun dengan penyebab yang tidak diketahui, disertai
aktivasi sitokin pro-inflamatori yang menyebabkan jaringan parut dan inflamasi jaringan.
Kedua gangguan ini sangat dipengaruhi genetik dan diperparah dengan stres.
Membedakan kolitis ulseratif dengan penyakit Crohn mungkin sulit dilakukan;
pada 10% kasus tidak dibuat diagnosis diferensial. Etiologi kedua penyakit ini tidak
diketahui meskipun penelitian sekarang memusatkan perhatiannya pada penyebab
genetik, imunologi, diet, dan infeksi.
Kemungkinan ada hubungan antara spondilitis ankilosis dan histokompatibilitas
antigen leukosit manusia (HLA-B27) dengan penyakit inflamasi usus. Kolitis ulseratif
dan penyakit Crohn memiliki gejala awal serupa, seperti diare, perdarahan dari rektum,
nyeri abdomen, demam, malaise, anoreksia, berat badan turun, dan anemia. Anak-anak
pada mulanya tampak dengan gejala yang tidak jelas seperti pertumbuhan terganggu,
anoreksia, demam, dan nyeri sendi dengan atau tanpa gejala gastrointestinal. Kedua
kondisi tersebut ditandai dengan remisi dan eksaserbasi. Dapat timbul manifestasi
ekstrakolon, seperti masalah sendi, kondisi-kondisi hepatobilier, ruam kulit, dan iritasi
pada mata. Meskipun insidensi puncak penyakit inflamasi usus ini terjadi antara usia 15
11

dan 25 tahun, 15% dari semua kasus terjadi pada usia 15 tahun atau lebih muda.
Prognosis penyakit ini bergantung pada faktor-faktor berikut:
1. Usia pada saat awitan dan kecepatan awitannya
2. Respons terhadap pengobatan
3. Tingkat keparahan
Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi kambuhan yang
terutama menyerang usus besar. Lesinya bersifat kontinu dan menyerang mukosa
superfisial, yang menyebabkan kongesti vaskular, dilatasi kapiler, edema, hemoragi, dan
ulserasi. Hal ini menimbulkan hipertrofi muskular dan deposisi jaringan fibrosa dan
lemak, yang memberi tampilan usus pipa timah akibat penyempitan usus itu sendiri.
Penyakit Crohn adalah penyakit inflamasi dan ulseratif yang menyerang sembarang
bagian saluran cerna dari mulut sampai anus. Penyakit ini menyerang dinding usus
bagian dalam. Lesinya bersifat diskontinu, yang menimbulkan efek melompat-lompat,
yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh jaringan yang normal. Timbul fisura, fistula,
dan penebalan dinding usus. Granuloma terdapat pada kira-kira 50% kasus.
2.2.1. Enteritis Regional (Crohns Disease)
1. Definisi Enteritis Regional
Penyakit Crohn adalah suatu gangguan radang kronis usus idiopatik
yang melibatkan bagian saluran pencernaan yang mana saja. Ditemukan pada
bagian saluran pencernaan dari mulut sampai anus paling umum ditemukan
pada usus halus (ileum terminal) (Marilynn, 1999). Penyakit ini menyerang
dinding usus bagian dalam. Lesinya bersifat diskontinu, yang menimbulkan
efek melompat-lompat, yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh
jaringan yang normal. Timbul fistura, fistula, dan penebalan dinding usus.
Walaupun banyak persamaan antara kolitis ulserativa dan penyakit Crohn, ada
juga perbedaan-perbedaan besar dalam perjalanan klinis dan distribusi
penyakit di dalam saluran pencernaan. Proses radangnya cenderung eksentris
dan segmental, sering dengan daerah antara (yaitu daerah normal usus di
antara daerah-daerah radang). Sedangkan radang pada kolitis ulserativa
terbatas pada mukosa (kecuali pada megakolon toksik), keterlibatan saluran
pencernaan pada penyakit Crohn adalah transmural (Cecily Lynn Betz, 2009).
Inflamasi pada penyakit Crohn timbul sebagai lesi granulomatosa
berbatas tegas dengan pola terpisah-pisah yang tersebar di seluruh bagian usus
yang terkena. Di antara daerah inflamasi terdapat jaringan usus yang normal.
Pada inflamasi kronis, timbul jaringan ikat dan fibrosis sehingga usus menjadi
kaku atau tidak fleksibel. Apabila fibrosis terjadi di usus halus, penyerapan zat
12

gizi akan terganggu. Jika penyakit terlokalisasi terutama di kolon,


keseimbangan air dan elektrolit dapat terganggu. Saluran atau fistula abnormal
kadang-kadang terbentuk antara bagian saluran cerna dan antara saluran GI
dan vagina, kandung kemih, atau rektum. Hal ini dapat menyebabkan
malabsorbsi dan infeksi.
Kondisi ini diyakini sebagai hasil dari ketidakseimbangan antara proinflamasi dan mediator anti-inflamasi. Sebagian besar kasus enteritis regional
melibatkan usus halus, khususnya ileum terminal. Presentasi karakteristik
enteristik regional adalah sakit perut dan diare, yang mungkin menjadi rumit
oleh fistula usus, obstruksi, atau keduanya. Penyakit ini mempunyai sifat yang
sulit diprediksi dan mempunyai tingkat remisi jangka panjang (Aufses, 2001).
Pada tahun 1932, Crohn, Ginzberg, dan Oppenheimer mendeskripsikan
penyakit ini dengan melokalisasi segmen ileum dan memengaruhi saluran
gastrointestinal lainnya. Kondisi ini kemudian didokumentasikan bahwa
enteritis regional bisa melibatkan bagian mana pun dari saluran gastrointestinal
(Thoreson, 2007).

Gb. 4.

Penyakit

Crohn pada

ileum

dengan

penyempitan

segmen yang

iregular
(tanda panah)

2. Etiologi
Penyebab dari enteritis regional masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa predisposisi seperti genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, penyakit
vaskular, dan faktor psikososial, termasuk merokok, kontrasepsi oral, serta

13

menggunakan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), diyakini oleh sebagian


besar ahli terlibat dalam patogenesis enteritis regional (Wu, 2009).
Pada beberapa penelitian terdapat hubungan genetik pada enteritis
regional. Sebagian besar gen yang dianggap terlibat dalam perkembangan
penyakit ini berperan dalam imunitas mukosa dan ditemukan pada epitel
mukosa penghalang. Beberapa gen memberikan kontribusi untuk fenotip yang
kompleks, namun dalam mutasi gen NOD2 telah ditunjukkan memiliki
kerentanan terhadap enteritis regional (Church, 2001). Pengaruh lingkungan
seperti penggunaan tembakau tampaknya memiliki efek pada enteritis
regional. Perokok aktif dan perokok pasif mempunyai risiko rendah untuk
pengenbangan enteritis regional dan berbanding terbalik dengan terjadinya
risiko kolitis ulseratif (Thoreson, 2007). Kemungkinan infeksi seperti
Mycobacterium paratuberculosis, Pseudomonas, dan Listeria mempunyai
keterlibatan dalam patogenesis enteritis regional. Hal ini menunjukkan bahwa
radang dengan penyakit menghasilkan kondisi disfungsi terhadap sumber
infeksi (Van Heel, 2001). Interleukin dan tumor necrosis factor-alpha (TNFalpha) juga terlibat dalam proses enteritis regional. Enteritis regional ini
ditandai oleh pola respons imun selular T-helper tipe-1 yang mengarah pada
produksi interleukin 12 (IL-12), TNF, dan interferon gamma (IFN-gamma).
TNF telah ditunjukkan untuk memainkan peran penting dalam peradangan
pada penyakit ini. Peningkatan produksi TNF oleh makrofag pada pasien
dengan enteritis regional menyebabkan peningkatan konsentrasi TNF pada
tinja, darah, dan mukosa (Wu, 2009).
3. Manifestasi Klinis
Di antara anak-anak penderita penyakit Crohn, gejala permulaan paling
sering mengenai ileum dan kolon (yaitu ileokolitis), tetapi dapat juga
melibatkan usus halus saja pada 40% (50% anak menderita ileitis terminal
saja) atau kolon saja pada sekitar 10% (kolitis granulomatosa). Penyakit Crohn
jarang dijumpai pada umur 1 tahun pertama. Seperti pada kolitis ulserativa,
penyakit Crohn cenderung mempunyai distribusi umur bimodal dengan
puncak pertama mulai pada akhir umur belasan (Arif Muttaqin, 2011).
Penyakit Crohn dapat muncul dalam beberapa bentuk; manifestasinya
cenderung ditentukan oleh daerah usus yang terlibat, derajat radangnya, dan
adanya komplikasi seperti striktura atau fistula. Anak dengan ileokolitis khas
14

menderita nyeri abdomen dengan kram dan diare, kadang-kadang dengan


darah. Ileitis dapat muncul dengan nyeri abdomen kuadran kanan bawah saja.
Kolitis Crohn dapat disertai dengan diare bercampur darah, tenesmus, dan
mendadak ingin buang kotoran. Gejala dan tanda-tanda sistemik cenderung
lebih sering terjadi pada penyakit Crohn daripada pada kolitis ulserativa.
Demam, malaise, dan mudah lelah sering terjadi. Kegagalan pertumbuhan
dengan keterlambatan pematangan tulang dan keterlambatan perkembangan
seksual dapat mendahului gejala-gejala lain 1 atau 2 tahun sebelumnya dan
setidak-tidaknya 2 kali lebih sering terjadi pada penyakit Crohn daripada pada
kolitis ulserativa. Anak dapat datang dengan gagal tumbuh sebagai satusatunya manifestasi penyakit Crohn. Retardasi pertumbuhan disertai dengan
penurunan massa badan tetapi tidak disertai pengurangan lemak badan;
kehilangan protein melalui usus dan laju perputaran (turnover) protein tubuh
meningkat. Amenore primer atau sekunder sering terjadi. Berlawanan dengan
kolitis ulserativa, sering terjadi penyakit perianal (umbai-umbai = tags, fistula,
abses). Keterlibatan lambung atau duodenum mungkin disertai dengan muntah
berulang dan nyeri epigastrik. Obstruksi usus halus parsial, biasanya akibat
penyempitan lumen usus karena radang atau striktura, dapat menyebabkan
gejala-gejala nyeri abdomen dengan kram (terutama waktu makan),
borborigmi, dan kembung abdomen intermiten. Striktura harus dicurigai
apabila anak merasakan gejala mereda bersama dengan sensasi mendadak
degukan (gurgling) isi usus melalui regio tertentu abdomen. Obstruksi ureter
akibat perluasan proses radangnya merupakan komplikasi yang jarang pada
penyakit Crohn.
Manifestasi klinis penyakit Crohn menurut Diane, 2000 sebagai berikut:
1. Awitan gejala biasanya tersembunyi dan membahayakan, tanda nyeri
abdomen yang menonjol, dan diare tak sembuh dengan defekasi.
2. Diare terdapat pada 90% pasien penderita penyakit ini.
3. Nyeri kram terjadi setelah makan; pasien cenderung untuk
mengurangi masukan makanan; menyebabkan penurunan berat
badan, malnutrisi, dan anemia sekunder.
4. Mungkin terjadi diare kronis, mengakibatkan rasa sangan tidak
nyaman pada individu yang kurus dan kering akibat masukan
makanan yang tidak adekuat serta kehilangan cairan. Usus yang
15

mengalami inflamasi dapat mengalami perforasi dan membentuk


abses intraabdominal dan anal.
5. Terjadi demam dan leukositosis.
6. Abses, fistula, dan fisura merupakan hal yang umum terjadi.
4. Patofisiologi
Secara mikroskopis, lesi awal dimulai sebagai fokus peradangan diikuti
dengan ulserasi mukosa yang dangkal. Kemudian, menyerang sel-sel inflamasi
dalam lapisan mukosa dan dalam proses mulai membentuk granuloma.
Granuloma menyelimuti semua lapisan dinding usus dan masuk ke dalam
mesenterium dan kelenjar getah bening regional. Infiltrasi neutrofil ke dalam
bentuk abses yang dalam, menyebabkan kerusakan pada lapisan dalam dan
atrofi dari usus besar. Kerusakan kronis dapat dilihat dalam bentuk
penumpukan vili di usus kecil. Terbentuknya ulkus menjadi kondisi umum dan
sering terlihat (Thoreson, 2007).
Secara makrokospis kelainan awal adalah hiperemia dan edema dari
mukosa yang terlibat. Kemudian, diskrit terbentuk ulkus limfoid dangkal dan
dipandang sebagai bintik-bintik merah atau depresi mukosa. Keadaan ini dapat
menjadi mendalam, borok serpiginous terletak melintang dan longitudinal di
atas mukosa yang meradang. Lesi sering segmental dan dipisahkan oleh daerah
sehat (Thoreson, 2007).
Hasil peradangan transmural (meliputi mukosa dan seluruh dinding)
membentuk penebalan dinding usus dan penyempitan lumen. Obstruksi pada
awalnya disebabkan oleh edema dari mukosa dan spasme usus terkait.
Obstruksi biasanya bersifat intermiten dan sering reversibel setelah mendapat
agen antiinflamasi. Pada proses lanjut, halangan menjadi kronis akibat jaringan
parut, penyempitan lumen, dan pembentukan striktur. Lanjutan dari enteritis
regional berkembang komplikasi oleh suatu obstruksi atau ulkus yang
menyebabkan terbentuknya fistula dengan jalan terbentuknya sinus yang
menembus

serosa,

mikroperforasi,

pembentukan

abses,

adhesi,

dan

malabsorbsi. Fistula dapat bersifat enteroenteral, enterovesikal, enterovaginal,


atau enterokutaneous. Proses inflamasi melalui dinding usus mungkin juga
melibatkan mesenterium dan kelenjar getah bening sekitarnya (Wu, 2009).
Manifestasi pada enteritis regional akan terjadi nyeri abdomen menetap
dan diare yang tidak hilang dengan defekasi. Diare terjadi pada 90% pasien.
16

Jaringan parut dan pembentukan granuloma memengaruhi kemampuan usus


untuk mentranspor produk dari pencernaan usus atas melalui lumen yang
terkontriksi, mengakibatkan nyeri abdomen berupa kram.
Gerakan peristaltik usus dirangsang oleh makanan sehingga nyeri kram
terjadi setelah makan. Untuk menghindari nyeri kram ini, pasien cenderung
untuk membatasi masukan makanan, mengurangi jumlah dan jenis makanan
sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi. Akibatnya adalah
penurunan berat badan, malnutrisi, dan anemia sekunder. Selain itu,
pembentukan ulkus di lapisan membran usus dan di tempat terjadinya
inflamasi, akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan ke
kolon dari usus yang tipis, bengkak, yang menyebabkan diare kronis.
Kekurangan nutrisi dapat terjadi akibat absorbsi terganggu. Malabsorbsi terjadi
sebagai akibat hilangnya fungsi penyerapan permukaan mukosa. Fenomena ini
dapat mengakibatkan malnutrisi protein-kalori, dehidrasi, dan beberapa
kekurangan

gizi.

Keterlibatan

ileum

terminal

dapat

mengakibatkan

malabsorpsi asam empedu, yang mengarah ke steatorrhea (buang air besar


dengan feses bercampur lemak), kekurangan vitamin yang larut lemak, dan
batu

ginjal. Malabsorpsi lemak,

dengan penangkap

kalsium,

dapat

mengakibatkan peningkatan ekskresi oksalat dan menyebabkan pembentukan


batu ginjal (Chen, 2007).
5. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Anemia mungkin disebabkan oleh beberapa penyebab, termasuk
peradangan kronis, malabsorpsi besi, kehilangan darah kronis, dan
malabsorpsi vitamin B12 atau folat.
b. Hipoalbuminemia,
hipokolesterolemia,

hipokalsemia,

hipomagnesemia, dan hipoprothrombinemia mungkin mencerminkan


malabsorpsi.
c. Leukositosis mungkin disebabkan oleh peradangan kronis, abses, atau
pengobatan steroid.
d. Marker inflamasi akut, seperti C-reactive protein (CRP) dan
orosomucoid, berkorelasi erat dengan aktivitas penyakit. Laju endap
darah/eritrosit sedimentation rate (ESR) dianggap lebih bermanfaat
dalam menilai aktivitas enteritis regional daripada kolitis ileitis.
17

2. Pemeriksaan radiografik
a. Studi kontras barium
Studi ini sangat berguna dalam mendefinisikan sifat, distribusi, dan
tingkat keparahan enteritis regional (Chen, 2007). Setelah psien dapat
menoleransi prosedur, barium enema mungkin dapat membantu dalam
evaluasi lesi kolon. Studi kontras barium berguna dalam mengevaluasi
fitur seperti kekakuan, pseudodivertikula, fistula, dan edema
submukosa. Edema dan ulkus dari mukosa di usus kecil mungkin
tampak sebagai penebalan dan distorsi. Fistula juga dapat dideteksi
oleh studi barium saluran pencernaan atau melalui suntikan ke dalam
pembukaan fistula yang dicurigai (Mackalski, 2006).
b. Computed tomography scan
CT scan yang membantu dalam penilaian di luar komplikasi seperti
fistula dan abses, serta hepatobiliary dan komplikasi ginjal
(Mackalski, 2006).
c. Magnetic resonance imaging
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat lebih unggul daripada CT
scan dalam menunjukkan lesi panggul. Oleh karena kadar air
diferensial, MRI dapat membedakan peradangan aktif dari fibrosis
darn dapat membedakan antara inflamasi serta lesi fibrostenosis
enteritis regional (Chen, 2007).
3. Pemeriksaan Ultrasonography
Ultrasonography (USG) dapat membantu dalam membedakan kelainan
tubo-ovarium. Namun, modalitas ini dapat juga mendeteksi pembesaran
kelenjar getah bening, abses, stenoses, dan bahkan fistula. USG dianggap
sebagai cara yang cepat dan murah metode penyaringan untuk membantu
dalam diagnosis IBD atau berulang-ulang mengevaluasi pasien untuk
komplikasi (Wu, 2009).
4. Pemeriksaan Kolonoskopi
Kolonoskopi (Colonoscopy) dapat membantu ketika barium enema satu
kontras belum informatif dalam mengevaluasi sebuah lesi kolon.
Kolonoskopi berguna dalam memperoleh jaringan biopsi, yang membantu
dalam diferensiasi penyakit lain, dalam evaluasi lesi massa, dan dalam
pelaksanaan surveilans

kanker. Kolonoskopi juga memungkinkan


18

memvisualisasi fibrosis striktur pada pasien dengan penyakit kronis.


Selain itu, kolonoskopi juga dapat digunakan dalam periode pasca-operasi
bedah untuk mengevaluasi anatomosis dan memprediksi kemungkinan
kambuh klinis, serta respons terhadap terapi pascaoperasi (Mackalski,
2006).
5. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)

sangat

membantu baik sebagai prosedur diagnostik dan alat terapeutik pada


pasien dengan striktur kolangitis sklerosa (Wu, 2009).
6. Penatalaksanaan Medis
1. Penurunan respons diare :
a. Pemberian antidiare
b. Pemberian diet rendah lemak
c. Kram perut dapat dikurangi dengan propantheline (0,125 mg),
dicyclomine (10-20 mg), atau hyoscyamine (0,125 mg)
d. Antiinflamasi
2. Terapi medikamentosa
Terapi steroid diindikasikan pada pasien dengan gejala sistemik yang
parah (misalnya: demam, mual, penurunan berat badan) dan dalam kondisi
mereka yang tidak merespons agen anti-inflamasi. Prednison (40-60
mg/hari) umumnya membantu dalam peradangan akut. Setelah resmi
tercapai, agen perlahan-lahan diturunkan (5-10 mg satu-dua minggu).
Berikan juga Kortikosteroid, Salazopirin, Azatioprin, Metronidazol, serta
Fe, asam folat, dan vitamin B12. Pada pasien yang kambuh setelah
pemberian steroid, pilihan perawatan lain diperlukan. Steroid tidak
diindikasikan untuk terapi perawatan karena komplikasi serius, seperti
nekrosis aseptik panggul, osteoporosis, katarak, diabetes, dan hipertensi.
3. Terapi imunosupresi
Pertimbangkan imunosupresi jika steroid tidak memberikan hasil
maksimal seperti azathioprine (2 mg/kg/hari) atau metabolit aktif, 6mercaptopurine (6-MP). Pengawasan diperlukan karena adanya risiko
supresi sumsum tulang.
4. Terapi bedah
Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan enteritis regional
untuk mengontrol dan mengobati gejala komplikasi. Jika terapi medis
19

gagal, bedah reseksi dari usus yang meradang dengan pemulihan secara
berlanjut. Pembedahan dengan segera mungkin diperlukan dalam kasus
diare yang berkelanjutan atau berulang kondisi pendarahan atau kondisi
fistula

enterovesicular,

enterocutaneous,

cologastric,

dan

fistula

coloduodenal.
Pembedahan akhirnya perlu dilakukan pada sekitar 30% kasus.
Reseksi usus halus yang terkena penyakit dan operasi pintas mungkin perlu
dilakukan dalam keadaan umum yang sakit berat dan kronis, namun
tindakan ini tidak bertujuan kuratif.
5. Diet
Diet harus seimbang pada pasien dengan enteritis regional. Suplemen
serat dikatakan bermanfaat bagi pasien dengan penyakit kolon karena fakta
menyatakan bahwa serat makanan dapat diubah menjadi rantai pendek
asam lemak, yang menyediakan bahan bakar untuk penyembuhan mukosa
kolon, sedangkan diet rendah serat biasanya diindikasikan untuk pasien
dengan gejala obstruksi.
Pasien dengan enteritis regional usus kecil sering memiliki intoleransi
laktosa sehingga perlu menghindari produk susu. Namun, suplemen
kalsium mungkin diperlukan.
Enteral terapi dengan diet elemental telah disarankan untuk
merangsang remisi pada enteritis regional akut, konsumsi minimal 1.200
kkal/hari dikaitkan dengan tingkat lebih rendah penyakit kambuh, tetapi
pasien kondisi sering kambuh setelah memulai diet normal.
Indikasi untuk Total Parenteral Therapy (TPN) adalah sebagai berikut :
a. Penggunaan jangka pendek : pasien dengan inflamasi aktif dan
kekurangan gizi, serta mereka dengan fistula (diberikan sejak
preoperatif).
b. Penggunaan jangka panjang : pasien yang telah mengalami reseksi
usus luas, mengakibatkan sindrom usus pendek.
7. Komplikasi
a. Megakolon toksik (lebih lazim pada kolitis ulseratif)
b. Dehidrasi dan malnutrisi akibat diare dan malabsorpsi. Vitamin yang larut
dalam lemak dan vitamin B12 yang terutama cenderung terpengaruh
c. Perforasi usus dan pembentukan abses
d. Kanker usus (lima kali lipat dari kontrol yang sama usianya)
20

e. Penyakit ginjal antara lain urolitiasis (tidak ditemukan pada kolitis


ulseratif)
f. Hemoragi
g. Abses hati dan penyakit hati

8. WOC Enteritis Regional

Faktor predisposisi genetik, lingkungan, infeksi,


imunitas, makanan, penyakit vaskular, dan faktor
psikososial, kontrasepsi oral, dan menggunakan OAINS
Respon peningkatan progresifitas enteritis regional
Malabsorpsi

Enteritis regional

Jaringan parut dan pembentukan


granumola
Pembentukan
fistula
enteroenteral,
enterovesikal,
enterovaginal,
atau
Intervensi
enterokutaneo
bedah total
us
kolektomi dan
ileostomi
Preoperatif

Respons
psikologis

Kecemasan
Pemenuhan
Informasi
Pascaoperatif

Penyempitan lumen
intestinal
Kram
abdomen
Gangguan transportasi
makanan

Kekuatan
jaringan
Nyeri
pascabedah

Gangguan
gastrointestinal

Mual, muntah,
kembung,
diare, anoreksia
Asupan nutrisi tidak
adekuat. Penurunan
berat badan. Output
cairan berlebih

Penurunan
absorpsi
nutrisi dan
asam folat
Gangguan
metabolisme
cairan dan
elektrolit
Frekuensi
BAB
meningkat
21

Respons
psikologis
Misinterpreta
si perawatan
dan
penatalaksana
an
pengobatan
Kecemasan
Pemenuhan
Informasi

Port de
entree
pascabedah
Risiko
infeksi

Penurunan kemampuan batuk efektif

Resiko gangguan
Integritas kulit

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan
Ketidakseimbangan
cairan dan
elektrolit

Diare
Perdarahan
Kekurangan
volume
cairan

Aktual/risiko ketidakefektifan
bersihan jalan napas

Rasa perih di daerah


anus ketika BAB

2.2.2 Penyakit Kolitis Ulseratif


1. Definisi Kolitis Ulseratif
Kolitis ulseratif adalah proses inflamasi kronis yang mengenai mukosa dan
submukosa kolon dan rektum, sedangkan saluran cerna bagian atas bebas dari penyakit
(Greenberg, 1988; Wong, 1996; Behrman & Nelson, 1996).
Kolitis ulseratif adalah penyakit inflamasi usus karena penyebab yang tidak
diketahui, biasanya mengenai lapisan mukosa kolon, dapat ringan, akut, atau kronis
(Yasmin Asih dkk, 1998).
Kolitis ulseratif adalah suatu kondisi yang menyebabkan inflamasi dan
ulserasi pada lapisan kolon dan rektum. Inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap
cedera atau iritasi dan juga dapat menyebabkan kemerahan, bengkak dan nyeri.
Luka kecil terbuka, atau borok, tersebar pada permukaan lapisan kolon dan rektum
bisa membunuh sel-sel yang melapisi sehingga menimbulkan perdarahan dan
nanah. Ketika lapisan terjadi peradangan akan memproduksi ekstra mukus,
merangsang usus besar untuk mempercepat pengosongan sehingga mengakibatkan
diare. Peradangan biasanya dimulai di rektum dan usus besar bagian bawah, tetapi
dapat mempengaruhi seluruh bagian usus besar. Kolitis ulseratif adalah salah satu
22

dari dua penyakit utama Inflammatory Bowel Disease (IBD) dan dideskripsikan
sebagai kondisi kronis.
2. Epidemiologi
Prevalensi Jenis Kelamin
Kolitis ulseratif mempengaruhi laki-laki dan perempuan sama besar, dari
sumber lain menyebutkan laki-laki sedikit lebih besar berisiko terkena daripada
wanita.
Onset Usia
Kolitis ulseratif bisa terjadi pada usia berapapun. Namun, sangat jarang pada
anak-anak di bawah usia 5 tahun. Dalam kebanyakan kasus gejala mulai muncul
ketika orang berusia antara 10-40 tahun, dari sumber lain menyebutkan terjadi
antara usia 15-40 tahun tahun.
Prevalensi Geografis dan Ras
Kolitis ulseratif paling sering terjadi pada orang kulit putih keturunan Eropa
(Ras Kaukasia), terutama yang berasal dari Yahudi Ashkenazi. Hal ini terlihat lebih
umum di antara orang-orang yang telah tinggal selama beberapa generasi di Eropa
Timur dan Rusia. Kondisi ini juga umum pada orang kulit hitam tetapi jarang pada
keturunan Asia. Alasan untuk prevalensi yang lebih tinggi di daerah perkotaan dan
di negara-negara maju di Utara Eropa Barat dan Amerika dibandingkan dengan
daerah pedesaan tidak diketahui. Namun telah terlihat bahwa prevalensi dan
insidensi mulai meningkat di negara berkembang.
3. Klasifikasi Kolitis Ulseratif
Kolitis ulseratif diklasifikasikan berdasarkan pada keterlibatan bagian kolon
dan beratnya peradangan. Jenis yang paling terbatas melibatkan hanya rektum yaitu
proctitis, untuk yang paling luas melibatkan seluruh usus besar yaitu pancolitis.
Sekitar dua orang dari sepuluh penderita kolitis ulseratif mengalami perluasan
sampai usus besar setelah 10 tahun.
1. Proctitis
Merupakan inflamasi yang terbatas pada rektum. Pada penderita proctitis
cenderung ditemukan gejala utama lebih ringan yaitu perdarahan merah terang
yang bisa bercampur dengan lendir. Penderita mungkin mengalami diare, atau
memiliki tinja yang normal dan bahkan mungkin mendapatkan sembelit. Jika
pada peradangan parah, akan terasa nyeri rektum dan perasaan mendesak untuk

23

buru-buru ke toilet, tetapi yang keluar hanya angin. Selain itu, kulit di sekitar
anus juga bisa mengalami iritasi.
2. Proctosigmoiditis
Jenis kolitis ulseratif yang mempengaruhi rektum dan kolon sigmoid. Seperti
proctitis, gejala yang ditemukan yaitu perdarahan dan rasa urgensi.
3. Kolitis Distal (Left-side Colitis)
Pada kolitis distal terjadi peradangan dimulai di rektum dan terus ke sisi
kiri usus besar, kolon sigmoid, kolon desendens sampai dengan lentur lienalis.
Gejala termasuk diare dengan darah dan lendir, kehilangan nafsu makan,
penurunan berat badan dan sakit parah di sisi kiri perut. Frekuensi diare
cenderung lebih sedikit yaitu kurang dari 6 kali sehari.
4. Extensive dan Pancolitis (Total Colitis)
Pankolitis merupakan inflamasi dari proksimal ke lentur lienalis, biasanya
sampai dengan usus buntu. Ketika kolitis ulseratif mempengaruhi sebagian
besar kolon, akan menyebabkan frekuensi diare yang sangat sering dengan
darah dan lendir. Jika peradangan parah penderita bisa mengalami diare 20 kali
sehari, dan bisa mengarah pada dehidrasi. Gejala lain yang dijumpai seperti
sakit perut (parah), kram, demam, dan penurunan berat badan. Sangat jarang
ketika peradangan parah, gas dapat terjebak dalam usus besar menyebabkan
bengkak, dikenal sebagai megakolon toksik. Megakolon toksik menyebabkan
demam tinggi, rasa sakit dan nyeri di perut.

Gambar Klasifikasi Kolitis Ulseratif

4. Etiologi Kolitis Ulseratif


Penyebab pasti dari kolitis ulseratif masih idiopatik, namun hal ini dianggap
sebagai penyakit autoimun. Dalam kondisi normal sistem kekebalan tubuh bekerja
24

untuk mempertahankan tubuh terhadap infeksi dan infasi mikroba. Pada gangguan
autoimun, sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel tubuhnya sendiri. Ada
miliaran bakteri berbahaya terdapat di usus. Pada penyakit radang usus seperti
penyakit Crohn dan kolitis ulseratif, sistem kekebalan tubuh menyerang bakteri
berbahaya di dalam usus besar dan berbalik menyerang jaringan usus besar,
sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi atau radang.
Faktor yang berkontribusi pada patogenesis kolitis ulseratif yaitu faktor
genetik, interaksi dengan lingkungan, faktor-faktor lain seperti hubungan dengan
paparan untuk infeksi pada periode perinatal atau kehidupan awal, kebalikannya
hubungan dengan menyusui, administrasi non steroid anti-inflamasi obat, dan
inversi hubungan dengan usus buntu sebelum usia 20 tahun.
Penyebab mengapa sistem kekebalan tubuh bertindak seperti itu masih belum
jelas. Beberapa hipotesis mengenai penyebab kolitis ulseratif meliputi:
1. Sistem Imunologik
Setelah menyerang virus dan bakteri, sistem kekebalan tubuh tidak lantas
menjadi nonaktif. Sistem kekebalan tubuh terus waspada dan aktif mengarah ke
peradangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh
sebenarnya tidak dipicu oleh serangan bakteri berbahaya tetapi oleh miliaran
bakteri ramah dan tidak berbahaya dalam usus. Hal ini merupakan manifestasi
dari hipotesis autoimun dibalik penyebab kolitis ulseratif.
Pada 60-70% pasien dengan kolitis ulseratif ditemukan adanya p-ANCA
(perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA
tidak terlibat dalam pathogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan
dengan alel HLA-DR2, pasien dengan p-ANCA negative lebih cenderung
menjadi HLA-DR4 positif.
2. Faktor Genetik
Terdapat studi populasi yang mengungkapkan bahwa setidaknya 1 dari 6
orang dengan kolitis ulseratif memiliki hubungan darah yang memiliki kondisi
seperti ini. Hipotesis genetik juga diperkuat oleh fakta bahwa sebagian
masyarakat dengan riwayat keluarga kolitis ulseratif lebih berisiko terkena.
Faktor resiko pada orang kulit putih keturunan Eropa terutama yang berasal dari
komunitas Yahudi Ashkenazi lebih tinggi, jarang terjadi di antara orang kulit
hitam dan orang keturunan Asia. Hal ini menunjukkan bahwa ada predisposisi
genetik terhadap perkembangan penyakit. Para peneliti telah mengidentifikasi
25

beberapa gen yang tampaknya bisa memprediksi apakah seseorang akan terkena
kolitis ulseratif, tetapi mekanisme secara tepat belum diketahui.
3. Faktor Lingkungan
Kolitis ulseratif lebih umum terjadi di daerah perkotaan terutama di
bagian utara Eropa Barat dan Amerika. Ada penelitian yang menunjukkan
hubungan kolitis ulseratif dengan beberapa faktor lingkungan termasuk polusi
udara, diet dan kebersihan. Diet khas Barat tinggi karbohidrat dan lemak. Ini
sangat berbeda dari diet Asia yang lebih rendah karbohidrat dan lemak. Metode
diet kebarat-baratan bisa menjadi kunci untuk penyebab dari kolitis ulseratif.
Selain itu, anak-anak dibesarkan dalam lingkungan yang semakin bebas
kuman gagal terkena mikroba yang diperlukan yang membantu dalam
memperkuat sistem kekebalan tubuh. Ini disebut hipotesis kebersihan dan
menunjukkan mengapa mereka yang tinggal di negara berkembang dan negara
miskin dengan standar kebersihan yang lebih rendah relatif lebih kecil
kemungkinannya untuk mengembangkan kolitis ulseratif. Bersama dengan
hipotesis lain seperti penggunaan kontrasepsi oral, infeksi mikobakteri atipikal
dll belum terbukti meningkatkan risiko khususnya kolitis ulseratif.
Merokok adalah faktor lingkungan yang penting. Kolitis ulseratif lebih
umum di kalangan mantan perokok dan non perokok, sementara penyakit Crohn
lebih umum di kalangan perokok. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan
resiko penyakit kolitis ulseratif diantara perokok dibandingkan dengan bukan
perokok. Analisis meta menunjukkan resiko penyakit kolitis ulseratif pada
perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan bukan perokok.
4. Faktor Infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus
menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usaha untuk
menemukan agen bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang sedemikian jauh
diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel Pseudomonas atau agen yang
dapat ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih
harus dikonfirmasi.
5. Faktor Psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan.
Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang,
sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor misalnya kehilangan seorang
anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus
26

memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi rentan terhadap
stres emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya.
5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis kolitis ulseratif dapat diamati dari berbagai gangguan
yang diakibatkan dari penyakit tersebut. Gejala utama adalah diare dan
ditemukan darah yang berwarna merah terang pada feses dengan frekuensi
sering (antara 4 sampai 24 kali). Peristaltik usus mungkin lemah, akibat adanya
iritasi rektum yang meradang. Gejala lain meliputi nyeri perut atau rektum
berhubungan dengan buang air besar, demam, dan penurunan berat badan.
Proktitis ditandai dengan gejala tenesmu, urgensi dan feses lembek
bercampur darah serta lendir. Hal sebaliknya terjadi pada kolitis sisi kiri atau
pankolitis, pada kondisi tersebut dapat ditemukan diare berdarah dan sakit perut
secara bermakna. Sebagian besar pasien akan datang dengan riwayat gejala
selama beberapa minggu, dan maka dari itu kegagalan pertumbuhan jauh lebih
sedikit terjadi dibandingkan dengan penyakit Crohn. Tingkat keterlibatan
mukosa kolon dan tingkat keparahan penyakit berhubungan dengan manifestasi
klinis dari kolitis ulseratif.
Tanda dan gejala kolitis ulseratif
Kolon
Perdarahan rektum
Diare
Tenesmus
Inkontinensia fekal
Kram perut bagian bawah
Nyeri pada saat defekasi nyeri
hilang setelah defekasi
Iritasi peritoneum

Sistemik
Kelelahan
Demam
Anoreksia
Ketidakseimbangan elektrolit
Penurunan berat badan (kehilangan
berat badan 5-10 kg dalam 2 bulan)
Takikardia
Anemia
Peningkatan LED
Leukositosis
Flatulensi
Retardasi pertumbuhan

Tingkatan gangguan pada kolon berhubungan dengan manifestasi klinik


dari kolitis ulseratif.
Ringan (mild)

Sedang-berat

Fulminan

Buang air besar 4 kali

(moderate/severe)
Buang air besar 5

Perdarahan lebih jelas

per hari

kali per hari

tiap hari
27

Adanya darah dalam

Adanya darah dalam

feses setiap hari


Tidak ada gejala

feses setiap hari


Dengan atau tanpa

sistemik

gangguan sistemik

Demam lebih dari 38 C


Takikardi
Hemoglobin 8 gr/dl
Serum albumin 3,0
gr/dl

Perbandingan penyakit inflamasi usus antara kolitis ulseratif dengan


penyakit crohn
Karakteristik
Perdarahan usus

Klitif Ulseratif
Umum, ringan sampai berat

Penyakit Crohn
Tidak umum, ringan sampai

Diare

Sering berat

berat

Nyeri abdomen

Jarang

Ringan sampai berat

Anoreksia

Ringan sampai sedang

Umum

Penurunan berat badan

Ringan sampai sedang

Mungkin berat

Retardasi pertumbuhan

Biasanya ringan

Mungkin berat

Lesi anal dan perianal

Jarang

Umum

Fistula dan striktur

Jarang

Umum

6. Patofisiologi Kolitis Ulseratif


Kolitis ulseratif hanya melibatkan mukosa; kondisi ini ditandai dengan
pembentukan abses dan deplesi dari sel-sel goblet. Dalam kasus yang berat,
submukosa mungkin terlibat; dalam beberapa kasus, makin dalam lapisan otot dinding
kolon juga terpengaruh. Kolitis akut berat dapat mengakibatkan kolitis fulminan atau
megakolon toksis, yang ditandai dengan penipisan dinding tipis, pembesaran, serta
dilatasi usus-usus besar yang memungkinkan terjadinya perforasi. Penyakit kronis
dikaitkan dengan pembentukkan pseudopolip pada sekitar 15-20% dari kasus. Pada
kondisi kronis dan berat juga dihubungkan dengan resiko peningkatan prekanker
kolon, yaitu berupa karsinoma insitu atau dispalsia.
Secara anatomis sebagian besar kasus melibatkan rectum; beberapa pasien juga
mengalami mengembangkan ileitis terminal disebabkan oleh katup ileocecal yang
tidak kompeten. Dalam kasus ini, sekitar 30 cm dari ileum terminal biasanya
terpengaruh. Kolitis ulseratif mempengaruhi mukosa superficial kolon dan
dikarekteristikkan dengan adanya ulserasi multiple, inflamasi menyebar, dan
deskuamasasi atau pengelupasan epithelium kolonik. Perdarahan terjadi sebagai
akibat ulserasi. Lesi berlanjut, yang terjadi satu secara bergiliran, satu lesi diikuiti lesi
28

yang lainnya. Proses penyakit mulai pada rektum dan akhirnya dapat mengenai
seluruh kolon. Akhirnya usus menyempit, memendek, dan menebal akibat hipertrofi
muscular dan deposit lemak.
Proses radang mulai di rektum sebagai radang yang difus, naik ke bagian
proksimal dan seluruh kolon dapat terkena. Ada infiltrasi sel-sel polimorf, sel plasma
dan eosinofil ke lamina propria, ada edema dan pelebaran vaskuler, kelenjar-kelanjar
ikut meradang dan terjadi abses-abses di kripta-kripta Lieberkuhn.
Kemudian terdapat destruksi kelenjar-kelenjar dan ulserasi pada epitel.
Makroskopis mukosa kelihatan hiperemis secara difus pada keadaan yang ringan dan
kelihatan ulserasi pada keadaan yang sedang dan berat. Dinding usus bisa menjadi
tipis dan tidak jarang ini menyebabkan perforasi.
Pada waktu penyembuhan terjadi proses granulasi yang sering berlebihan
sehingga menyerupai suatu polip disebut pseudopolip. Pada kasus yang menahun,
usus akan menjadi lebih pendek, sering timbul penyempitan lumen, walaupun
striktura jarang terjadi. Pada sebagian kecil penderita, proses radang hanya terdapat
pada rektum.
Kolitis ulseratif merupakan penyakit primer yang didapatkan pada kolon, yang
merupakan perluasan dari rektum. Kelainan pada rektum yang menyebar kebagian
kolon yang lain dengan gambaran mukosa yang normal tidak dijumpai. Kelainan ini
akan behenti pada daerah ileosekal, namun pada keadaan yang berat kelainan dapat
tejadi pada ileum terminalis dan appendiks. Pada daerah ileosekal akan terjadi
kerusakan sfingter dan terjadi inkompetensi. Panjang kolon akan menjadi 2/3 normal,
pemendekan ini disebakan terjadinya kelainan muskuler terutama pada koln distal dan
rektum. Terjadinya striktur tidak selalu didapatkan pada penyakit ini, melainkan dapat
terjadi hipertrofi lokal lapisan muskularis yang akan berakibat stenosis yang
reversible.
Lesi patologik awal hanya terbatas pada lapisan mukosa, berupa pembentukan
abses pada kriptus, yang jelas berbeda dengan lesi pada penyakit crohn yang
menyerang seluruh tebal dinding usus. Pada permulaan penyakit, timbul edema dan
kongesti mukosa. Edema dapat menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi
perdarahan pada trauma yang hanya ringan, seperti gesekan ringan pada permukaan.
Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kriptus pecah menembus dinding
kriptus dan menyebar dalam lapisan submukosa, menimbulkan terowongan dalam
mukosa. Mukosa kemudian terlepas menyisakan daerah yang tidak bermukosa
(tukak). Tukak mula- mula tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium yang lebih
29

lanjut, permukaan mukosa yang hilang menjadi lebih luas sekali sehingga
menyebabkan banyak kehilangan jaringan, protein dan darah.
Proses alteratif ulseratif superfisialis dan granulasi yang diikuti oleh reepitelisasi
bisa menyebabkan tonjolan yang membentuk polip peradangan (pseudopolip), yang
tidak neoplastik. penyakit yang berlangsung lama menyebabkan hiperplasia lamina
muskularis mukosa dan bila disertai oleh fibrosis pasca peradangan, terjadi
pemendekan kolon serta mengakibatkan terjadinya megakolon.
7. Pemeriksaan Penunjang
Kolitis ulseratif bisa sulit untuk didiagnosis karena gejala yang mirip dengan
gangguan usus lainnya dan penyakit Crohn. Perbedaan penyakit Crohn dan kolitis
ulseratif bahwa pada penyakit Crohn menyebabkan peradangan lebih dalam di dinding
usus dan dapat terjadi di bagian lain dari sistem pencernaan, termasuk usus halus,
mulut, kerongkongan.
Pasien yang diduga kolitis ulseratif dapat dilakukan pemeriksaan fisik dan
riwayat medis pada angkah pertama dalam mendiagnosis, selanjutnya diikuti oleh satu
atau lebih tes dan prosedur.
3.7.1
Riwayat medis
Perjalanan tanda
kemungkinan

pemicu

dan

gejala,

flare up

onset

yang

usia,

diperoleh.

keparahan
Riwayat

gejala,
keluarga

dimungkinkan adanya faktor herediter dari anggota keluarga yang pernah


3.7.2

mengalami kolitis ulseratif.


Pemeriksaan fisik
Langkah selanjutnya adalah pemeriksaan fisik pasien. Kesehatan
umum, tanda-tanda kekurangan gizi sangat penting untuk diagnosis dan
manajemen dari kolitis ulseratif. Pasien diperiksa apabila terjadi anemia dan

3.7.3

nyeri abdomen.
Tes darah
Dilakukan untuk mendeteksi kelainan dan adanya inflamasi. Tes darah
rutin membantu untuk mendeteksi anemia yang dapat menjadi indikasi
adanya perdarahan di kolon atau rektum, atau untuk mengetahui jumlah sel
darah putih yang tinggi (tanda peradangan di suatu tempat di tubuh). Ada dua
tes darah khusus yang dikenal sebagai tes Erythrocyte Sedimentation Rate
(ESR) dan tes C Reactive Protein (CRP). Diperiksa dalam kasus dugaan
peradangan, merupakan tes non spesifik namun dan dapat memberikan hasil

3.7.4

positif jika ada infeksi dalam tubuh.


Antibody markers and in-depth blood tests
30

Tes darah untuk mencari antibodi yang diproduksi oleh sistem


kekebalan tubuh sebagai bagian dari proses peradangan. Pengujian meliputi
Perinuklear Anti-neutrofil Antibodies (pANCA) dan Anti-Saccharomyces
Cerevisiae Antibodi (ASCA). Antibodi ini disebut biomarker. Banyak pasien
dengan kolitis ulseratif memiliki antibodi pANCA dalam darah mereka
sementara pasien dengan penyakit Crohn lebih mungkin untuk memiliki
ASCA dalam darah mereka. Namun, tes antibodi ini tidak mutlak. Dalam
beberapa kasus, pasien memiliki kedua antibodi tersebut sementara antibodi
mungkin positif pada pasien tanpa penyakit kolitis ulseratif.
3.7.5 Tes tinja
Petugas medis akan memberikan pasien wadah untuk menampung dan
menyimpan tinja. Sampel dikirim ke laboratorium untuk analisis. Sampel
juga memungkinkan petugas medis untuk mendeteksi perdarahan atau infeksi
3.7.6

pada kolon atau rektum yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit.
Sinar X barium enema
Suatu larutan Barium diberikan kepada pasien untuk diminum sebelum
sinar X abdomen dilakukan. Senyawa radio-opak akan muncul di sinar-X,
garis-garis besar dinding usus dapat terlihat dengan jelas. Barium enema
dapat dilakukan dengan aman dalam kasus ringan. Dengan barium enema
dapat dilihat adalanya mengakolon toksik, kondisi ulkus, dan penyempitan
kolon. Selain itu, enema barium akan menunjukan iregulasi mucosal,
pemendekan kolon, dan dilatasi lekung usus. Hal ini dapat membantu dalam

diagnosis.
3.7.7 Sigmoidoskopi dan Kolonoskopi
Ini adalah tes yang lebih konfirmasi yang mendeteksi dan diagnosa
kolitis ulseratif. Sigmoidoskopi atau Kolonoskopi mendeteksi tingkat dan
luasnya peradangan usus. Kolonoskopi digunakan untuk melihat ke dalam
rektum dan seluruh usus besar, sementara sigmoidoskopi fleksibel digunakan
untuk melihat ke dalam rektum dan usus besar yang lebih rendah. Ini
melibatkan penyisipan sebuah tabung fleksibel yang berisi cahaya dan
kamera pada ujungnya melalui anus ke dalam usus. Ini bukan prosedur yang
menyakitkan dan dilakukan dengan sedasi . Biasanya diperlukan waktu
sekitar 15 menit sampai setengah jam untuk menyelesaikan.
Gambar-gambar dari dinding usus ditransmisikan ke komputer, dokter
bisa melihat bagian dalam dinding usus. Sigmoidoscope ini hanya mampu
melihat rektum dan bagian bawah usus besar sementara kolonoskopi meliputi
31

seluruh usus sampai persimpangan ileocecal. Tes ini melayani tujuan lain
mengesampingkan kondisi usus lain dengan gejala serupa termasuk kanker
usus.
Tes lain yang serupa adalah EGD (Esophagogastroduodenoscopy)
yang

menggunakan

prinsip

yang

sama

untuk

memeriksa

lapisan

kerongkongan, lambung, dan duodenum. Hal ini membantu dalam


mengesampingkan penyakit Crohn karena kondisi ini dapat mempengaruhi
saluran pencernaan bagian atas juga. Kapsul enteroscopy menggunakan
kapsul kecil dengan sensor dan kamera yang diambil sebagai pil dan yang
mentransmisikan gambar dari dalam usus.
ERCP (Endoscopic retrograde cholangiopancreatography) adalah tes
lain yang meneliti saluran empedu di hati dan saluran pankreas. Hal ini
membantu untuk menyingkirkan primary sclerosing cholangitis (PSC) yang
terlihat pada beberapa pasien dengan kolitis ulseratif.
3.7.8 CT scan
CT scan dapat digunakan untuk mendeteksi komplikasi kolitis ulseratif
termasuk abses, fistula, dan penyumbatan usus. Ini juga dapat membantu
mendiagnosa kanker usus.
Temuan-temuan kolitis ulseratif dapat diperoleh dari pemeriksaan endoskopi
atau radiologi kolon, pemeriksaan sigmoidoskopi atau kolonoskopi lebih sensitif
untuk penyakit ringan dan memberikan peluang untuk sekaligus melakukan biopsy.
Evaluasi ultrasonografi ketebalan usus merupakan pemeriksaan yang dapat
diandalkan, merupakan modalitas pencitraan non invasif untuk diagnostik dan followup klinis pasien IBD. Penggunaan kombinasi kalprotectin feses, ASCA/PANCA, dan
pengukuran ultrasonografi dinding adalah strategi pengambilan keputusan klinis yang
berguna. Jika hasil tes positif, pasien kemudian akan menjalani evalusai lengkap.
Derajat kolitis ulseratif berdasarkan pemeriksaan endoskopi.
1. Tahap 0: kapal mukosa sedikit tertekuk, pucat
2. Tahap 1: eritema, sedikit granularitas
3. Tahap 2: individu ulserasi, tidak ada kapal terlihat, perdarahan spontan
4. Tahap 3: ulserasi lebih besar, perdarahan spontan, edema mukosa
Pada tahap awal, edema dan inflamasi infiltrasi menyebabkan perataan dari
haustras; pada tahap aktif ada sebuah koreng yang meluas dan hilangnya haustra.
32

Lebih dalam borok dapat merusak mukosa, yang menyebabkan pengembangan


ulserasi khas. Evaluasi dengan kolonoskopi harus dilakukan untuk mendiagnosis
kolitis ulseratif dan untuk menentukan luas dan beratnya persentasi kolitis ulseratif.
Prosedur pemeriksaan sigmoidoskopi dapat membantu untuk menemukan
adanya hiperemik, serta rapuh dan berdarah pada rektum dan kolon, saat disentuh
dapat juga terlihat ulkus dan pseudopolip. Pemeriksaan barium enema pada stadium
dini memperlihatkan iritabilitas kolon kemudian dapat terlihat adanya ulkus yang
berisi barium berbulu.

Gambar jenis Sigmoidoscopy


8. Penatalaksanaan Medis
Terapi obat
Pengobatan untuk kolitis ulseratif tergantung pada beratnya penyakit.
Masing-masing individu memiliki pengalaman kolitis ulseratif yang berbeda,
sehingga pengobatan disesuaikan untuk setiap individu. Tujuan dari terapi obat
adalah untuk mendorong dan mempertahankan remisi, serta meningkatkan
kualitas hidup pasien kolitis ulseratif. Beberapa jenis obat-obatan yang tersedia.
a. Aminosalicylates
Kelas obat yang mengandung Asam 5-aminosalicyclic (5-ASA),
membantu mengontrol peradangan. Sulfasalazine adalah kombinasi dari
sulfapyridine dan 5-ASA. Komponen sulfapyridine membawa antiinflamasi 5ASA ke usus. Namun, sulfapyridine dapat menyebabkan efek samping seperti
mual, muntah, mulas, diare, dan sakit kepala. Agen yang lain dari 5-ASA
seperti olsalazine, mesalamine, dan balsalazide, memiliki pembawa yang
berbeda, efek samping yang lebih sedikit, dan dapat digunakan oleh orangorang yang tidak bisa mengkonsumsi sulfasalazine. 5-ASAs diberikan secara
oral, melalui enema, atau supositoria, tergantung lokasi inflamasi pada kolon.
33

Kebanyakan pasien kolitis ulseratif tingkat mild atau moderate diberikan


kelompok obat ini. Kelas obat ini juga digunakan dalam kasus kekambuhan.
b. Kortikosteroid
Kelas obat seperti prednisone, methylprednisone dan hidrokortisone juga
mengurangi peradangan. Kelas obat ini digunakan pada kasus kolitis ulseratif
yang memiliki tingkat moderate sampai severe yang tidak merespon obat 5ASA. Kortikosteroid juga dikenal sebagai steroid, dapat diberikan secara oral ,
intravena, melalui enema, atau dalam supositoria tergantung pada lokasi
peradangan. Obat ini menimbulkan efek samping seperti kenaikan berat badan,
jerawat, rambut wajah, hipertensi, perubahan suasana hati, kehilangan massa
tulang dan resiko infeksi. Kelas obat ini tidak direkomendasikan untuk
penggunaan jangka panjang, meskipun sangat efektif bila diresepkan untuk
penggunaan jangka pendek.
c. Immunomodulators
Kelas obat seperti azathioprine dan 6-mercapto-purine (6-MP)
mengurangi peradangan dengan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Obat
ini digunakan untuk pasien yang tidak merespon 5-ASAs atau kortikosteroid
atau ketergantungan pada kortikosteroid. Imunomodulator diberikan secara
oral, namun bereaksi secara lambat sehingga bisa memakan waktu hingga 6
bulan sebelum merasakan manfaat penuh. Pasien yang memakai obat ini harus
dimonitor untuk komplikasi seperti pankreatitis, hepatitis, berkurangnya
jumlah sel darah putih, dan peningkatan risiko infeksi. Siklosporin A dapat
digunakan dengan 6-MP atau azathioprine untuk pengobatan aktif, severe
kolitis ulseratif pada pasien yang tidak lagi merespon kortikosteroid intravena.
Obat lainnya bisa diberikan untuk menimbulkan efek rileks pasien atau
untuk menghilangkan rasa sakit, diare, atau infeksi. Beberapa orang memiliki
remisi (periode ketika gejala hilang) selama berbulan-bulan atau bahkan
bertahun-tahun. Namun, sebagian sesar gejala pasien kembali.

Tabel obat yang dapat membantu meringankan gejala.

34

35

Pembedahan
Gejala kolitis ulseratif yang cukup parah mengakibatkan seseorang harus
dirawat di rumah sakit. Misalnya, seseorang mengalami perdarahan berat atau
diare berat sehingga dehidrasi. Dalam kasus tersebut harus ditangani untuk
menghentikan diare dan kehilangan darah, cairan, dan garam mineral. Pasien
mungkin perlu diet khusus, makan melalui pembuluh darah, obat-obatan, atau
pembedahan.
Sekitar 25-40% pasien kolitis ulseratif akhirnya harus merelakan untuk
dilakukan pemotongan atau pengangkatan kolon karena pendarahan masif,
penyakit parah, pecahnya kolon, atau risiko kanker. Terkadang dokter akan
merekomendasikan pemotongan kolon jika penatalaksanaan medis gagal atau jika
efek samping kortikosteroid atau obat lain mengancam kesehatan pasien.
Pembedahan

untuk

mengangkat

kolon

dan

rektum,

dikenal

sebagai

proctocolektomy, diantaranya sebagai berikut:


a. Ileostomy
Ahli bedah membuat lubang kecil di perut, yang disebut stoma, dan menempel
di ileum. Feses dalam usus akan melewati usus kecil dan keluar melalui stoma.
Stroma terletak di bagian abdomen dekstra bawah.
b. Ileoanal Anastomosis
Pull-through operation yang memungkinkan pasien untuk memiliki gerakan
usus normal karena mempertahankan bagian anus. Dalam operasi ini, ahli
bedah mengangkat kolon dan rektum bagian dalam, meninggalkan otot luar
rektum. Ahli bedah kemudian menempelkan ileum ke dalam rektum dan anus,
36

menciptakan sebuah kantong. Feses atau kotoran disimpan dalam kantong dan
melewati melalui anus dengan cara biasa. Frekuensi buang air besar mungkin
lebih sering dan berair dibandingkan prosedur sebelumnya. Peradangan
kantong (pouchitis) merupakan komplikasi yang mungkin terjadi.
Tindakan operasi dilakukan sesuai tingkat keparahan penyakit dan
kebutuhan pasien, harapan, dan gaya hidup. Pasien dihadapkan pada
keputusan ini sehingga sebelumnya harus mendapatkan informasi sebanyak
mungkin dengan berbicara dengan dokter, kepada perawat menangani pasien
operasi usus besar (enterostomal therapists).
9. Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi: perforasi usus yang
terlibat, terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik (terutama
pada kolitis ulseratif), perdarahan, dan degenerasi maligna. Diperkirakan resiko
terjadinya kanker karena Inflammatory Bowel Disease lebih kurang 13%
(Djojoningrat, 2006).
Kolitis ulseratif dapat menyebabkan masalah di luar usus. Beberapa penderita
mendapatkan kondisi lain, terutama yang mempengaruhi sendi, mata dan kulit. Kolitis
ulseratif juga dapat mempengaruhi tulang, mulut, ginjal, hati, dan sirkulasi darah.

10. WOC Kolitis Ulseratif

Faktor

imunitas, faktor predisposisi genetik, faktor

lingkungan, faktor infeksi, faktor psikologik

Kolitis ulseratif

Lesi pada mukosa usus

Infeksi kuman

Pembentukan abses

Mengeluarkan
toksin

Abses pecah
Iritasi pada mukosa

Tukak tersebar

Merangsang reseptor
nyeri
Pengeluaran
neurotransmitter

Adanya gangguan
fungsi mukosa
Gangguan
keseimbangan
floral usus

Permeabilitas
usus
meningkat
Absorbsi
berkurang
37
Gangguan
metabolisme
cairan dan
elektrolit

Stadium lanjut
Tahap kronik
Cemas, takut,
gelisah
Ansietas

Intoleransi aktivitas

Bakteri usus
meningkat

Persepsi nyeri
Nyeri
Perubahan nutrisi
kurang dari
kebutuhan

Asam lambung
meningkat
Mual muntah tidak nafsu
makan penurunan berat
badan

Badan Lemas (5L)


Resiko gangguan
BAB III
Integritas
kulit
PENUTUP

Frekuensi
BAB
meningkat
Diare
Perdarahan

Anemia

Kekurangan
volume
cairan
Rasa perih di daerah
anus ketika BAB

3.1 Kesimpulan
Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi kambuhan
yang terutama menyerang usus besar. Lesinya bersifat kontinu dan menyerang
mukosa superfisial, yang menyebabkan kongesti vaskular, dilatasi kapiler, edema,
hemoragi, dan ulserasi. Hal ini menimbulkan hipertrofi muskular dan deposisi
jaringan fibrosa dan lemak, yang memberi tampilan usus pipa timah akibat
penyempitan usus itu sendiri.
Penyakit Crohn adalah penyakit inflamasi dan ulseratif yang menyerang
sembarang bagian saluran cerna dari mulut sampai anus. Penyakit ini menyerang
dinding usus bagian dalam. Lesinya bersifat diskontinu, yang menimbulkan efek
melompat-lompat, yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh jaringan yang
normal. Timbul fisura, fistula, dan penebalan dinding usus. Granuloma terdapat pada
kira-kira 50% kasus.
3.2 Saran
Menurut kelompok kami, untuk menurunkan resiko gangguan pada usus, pasien
yang menderita gangguan sistem pencernaan seperti enteritis regional dan kolitis
ulseratif hendaknya melakukan terapi medis maupun non-medis secara kontinyu,
melakukan pola gaya hidup sehat seperti olahraga teratur, diet teratur sesuai dengan
kebutuhan, menjaga kestabilan emosional dan lain-lain.

38

DAFTAR PUSTAKA

Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Betz, Cecily Lynn. 2009. Buku saku keperawatan pediatri. Jakarta: EGC
Doenges, Marylinn E. 1999. Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan
dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC
Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan medikal-bedah : buku saku untuk Brunner dan
Suddarth. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : buku saku. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif & Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Inayah, Iin. 2004. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pencernaan.
Jakarta: Salemba Medika
Kliegman, Robert M., dkk. 1999. Nelson textbook of pediatrics. Jakarta: EGC
Patel, Pradip R. 2007. Lecture Notes: Radiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Graber, Mark A. 2006. Buku saku dokter keluarga. Jakarta: EGC
Rubenstein, David., dkk. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Jakarta: Penerbit Erlangga
Gibson, John. 2002. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta: EGC
Ariestine, Dina Aprillia. 2008. Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi, Klinik, dan
Patogenesa
Sodikin. 2011. Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier (hal.252-255, hal.260263). Jakarta: Salemba Medika
Schwartz, M. William. 2005. Pedoman Klinis Pediatri (hal. 279-280). Jakarta: EGC.
39

Ulcerative Colitis Edition 7. National Association for Colitis and Crohns Disease (NACC).
2011

40

Anda mungkin juga menyukai