Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif
Makalah Enteritis Regional & Kolitis Ulseratif
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Inflammatory bowel disease (IBD) adalah kondisi intestinal kronik yang
dimediasi oleh sistem imun. Tipe utama dari IBD adalah penyakit crohn (crohn disease)
dan kolitis ulseratif (ulcerative colitis).
Penyakit Crohn adalah gangguan peradangan yang terus menerus dan melibatkan
semua lokasi pada traktus gastrointestinal. Penyakit ini dapat didefinisikan berdasarkan
lokasi seperti ileum terminal, kolonik, ileokolik, dan gastrointestinal atas. Selain
berdasarkan lokasi, penyakit ini juga dapat didefinisikan berdasarkan bentuk penyakit
seperti inflamasi, fistula, atau striktura). Penyakit crohn ini umumnya mengenai bagian
akhir usus halus yaitu ileum sehingga sering disebut ileitis atau enteritis.
Penyakit kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada kolon (usus
besar) terutama mengenai bagian mukosa kolon. Penyakit ini termasuk salah satu
inflammatory bowel diseases (IBD) yang hingga saat ini belum diketahui penyebabnya
secara jelas (Ardizzone, 2003).
Penyebab IBD memang masih belum jelas, namun berhubungan dengan faktor
genetik dan faktor lingkungan sebagai pemicunya hal ini terbukti dari 10-20% penderita
pasti memiliki anggota keluarga yang terkena penyakit yang sama (Collins, 2006).
Insiden IBD beragam dan bergantung area geografiknya. Penyakit crohn dan
kolitis ulseratif memiliki insiden tertinggi di Eropa, USA, dan Amerika Utara. Puncak
usia untuk penyakit crohn dan kolitis ulseratif adalah antara 15 dan 30 tahun. Puncak
kedua muncul diantara usia 60 dan 80 tahun. Rasio pria dan wanita untuk penyakit crohn
1,1-1,8 : 1 dan untuk kolitis ulseratif 1 : 1.
Angka penderita IBD khususnya diusia produktif sangat merugikan. Oleh karena
itu penting bagi kita sebagai perawat untuk meminimalisir angka kejadian tersebut
khususnya pada usia produktif. Angka kejadian di usia lanjut juga tidak kalah penting
untuk diminimalisir sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di usia
lanjut. Peran kita yaitu kita harus mampu memahami secara teori mengenai kolitis
ulseratif,
mampu
melakukan
tindakan
asuhan
keperawatannya
dan
mampu
1.2.5
1.2.6
1.2.7
1.2.8
1.2.9
1.2.10
1.2.11
1.2.12
1.2.13
1.2.14
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi pada klien dengan
penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.1.2.1 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi penyakit
enteritis regional dan kolitis ulseratif
1.1.2.2 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi penyakit
enteritis regional dan kolitis ulseratif
1.1.2.3 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinis
penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif
1.1.2.4 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan epidemiologi penyakit
kolitis ulseratif
1.1.2.5 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan klasifikasi penyakit
kolitis ulseratif
1.1.2.6 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi penyakit
enteritis regional dan kolitis ulseratif
1.1.2.7 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan penunjang
terhadap pasien dengan penyakit kolitis ulseratif
1.1.2.8 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan medis
terhadap pasien dengan penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif
1.1.2.9 Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan komplikasi penyakit
enteritis regional dan kolitis ulseratif
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teori
Mengetahui definisi
etiologi,
manifestasi
klinis,
patofisiologi,
dan
kolitis ulseratif.
Manfaat Praktis
Sebagai calon perawat mampu memahami patofisiologi pada pasien dengan
penyakit enteritis regional dan kolitis ulseratif.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sistem Pencernaan
2.1.1 Mulut
Mulut adalah jalan masuk menuju sistem pencernaan dan berisi organ
aksesori yang berfungsi dalam proses awal pencernaan. Rongga vestibulum (bukal)
terletak di antara gigi dan, bibir dan pipi sebagai batas luarnya.
Batas-batas mulut adalah:
Atas
: palatum durum dan molle,
Bawah
: mandibula, lidah dan struktur lain pada dasar mulut,
Lateral
: pipi,
Depan
: bibir,
Belakang : lubang menuju faring.
2.1.2 Faring
Faring adalah tabung fibromuskular yang melekat pada dasar tengkorak di
atas dan berhubungan dengan esofagus di bagian bawah. Faring terdiri dari tiga
bagian, nasofaring dan orofaring. Laringofaring ada di belakang epiglotis dan
laring dan berhubungan dengan esofagus di bagian bawah. Makanan melewati
orofaring dan laringofaring masuk ke dalam esofagus.
2.1.3 Esofagus
Esofagus adalah tabung muskular dengan panjang sekitar 25 cm dan
berdiameter 0,5 cm.
Esofagus dimulai di leher sebagai sambungan faring, berjalan ke bawah leher
dan toraks dan kemudian melalui crus sinistra diafragma memasuki lambung.
Di bagian depannya adalah:
Trakea dan kelenjar tiroid,
3
Jantung,
Diafragma.
Di bagian belakangnya:
Columna vertebralis.
Pada setiap sisi adalah:
Paru dan pleura.
Arcus aorta terletak pada sisi kiri esofagus dan aorta descendens awalnya
terletak pada sisi kiri dan kemudian lewat di belakangnya, sehingga terletak di
antara esofagus dan columna vertebralis.
Esofagus sedikit menyempit pada:
a. Ujung atas esofagus
b. Tempat bronkus menyilang esofagus
c. Tempat esofagus melewati diafragma
Komposisi
a. Lapisan dalam membran mukosa
b. Lapisan submukosa yang tebal, mengandung kelenjar mukus
c. Lapisan otot serat longitudinal dan sirkular
d. Lapisan fibrosa di bagian luar
Bolus memasuki sepertiga bagian atas esofagus kurang dari satu detik dan di
dorong ke bawah melewati sisanya oleh kontraksi seperti cincin otot esofagus.
Bolus yang lembab dan lunak mencapai pintu masuk lambung dalam beberapa
detik, tetapi bolus yang kering mungkin harus didorong oleh gelombang sekunder,
yang dapat terasa nyeri.
2.1.4 Lambung
Lambung bervariasi dalam bentuk tergantung dari jumlah makanan di
dalamnya, adanya gelombang peristaltik, tekanan dari organ lain, respirasi, dan
postur tubuh. Posisi, bentuk, dan mobilitas lambung sangat bervariasi.
Lambung biasanya memiliki bentuk J dan terletak di kuadran kiri atas
abdomen.
Lambung memiliki:
a. Permukaan anterior dan posterior
b. Curvatura minor pada sisi kanan
c. Curvatura mayor pada sisi kiri
d. Orificium cardia tempat esofagus bergabung
e. Fundus: kubah di atas tingkat orificium cardia, normal diisi oleh gelembung
udara
f. Corpus: bagian terbesar lambung
g. Canalis pyloricus: tabung sempit di bawah corpus
h. Lubang pylorus: ke dalam bagian pertama duodenum
2.1.5 Usus Halus
Duodenum
Merupakan bagian pertama usus halus yang memiliki panjang 25 cm,
bentuknya seperti sepatu kuda, dan kepalanya mengelilingi kepala pankreas.
Isisnya adalah alkali. Saluran empedu dan saluran pankreas masuk ke dalam
duodenum pada suatu lubang yang disebut ampula hepatopankreatika, atau
ampula Vateri, 10 cm dari pilorus.
2.
Yeyenum
Letaknya 2/5 sebelah atas dari usus halus yang selebihnya
3.
Ileum
Letaknya 3/5 akhir.
Gerakan segemental
Adalah gerakan yang memisahkan beberapa segmen usus karea
diikat dengan gerakan konstriksi serabut sirkuler. Hal ini memungkinkan
isi yang cair ini sementara bersentuhan dengan dinding usus untuk
digesti dan absorpsi. Kemudian segmen yang berisis itu hilang untuk
timbul lebih jauh lagi dalam usus tadi.
2.
Gb. 3. Bagian-bagian usus halus. (A) Bagian duodenum dan jejenum. (B) Vili. (C)
Potongan pada villus memperlihatkan jaring-jaring kapilar, lakteal, dan hubungan
antar kelenjar usus.
4. Colon transversum
Pada flexura colica dextra colon membelok ke kiri dengan tajam dan
menyilang abdomen sebagai colon transversum dalam lengkungan yang dapat
menggantung lebih rendah daripada umbilikus, dan naik pada sisi kiri berakhir
pada flexura colica sinistra di bawah lien.
5. Colon descendens
Pada flexura colica sinistra, colon membelok kembali berjalan ke bawah
pada sisi kiri abdomen sampai tepi pelvis, tempat colon berlanjut sebagai
colon sigmoid.
6. Colon sigmoid (pelvicus)
Colon sigmoid memiliki beberapa lengkungan di dalam pelvis dan
berakhir pada sisi yang berlawanan dengan pertengahan sacrum tempatnya
berhubungan dengan rectum.
7. Rectum
Rectum memiliki panjang sekitar 12 cm dan mendapat namanya karena
berbentuk lurus atau hampir lurus. Rectum dimulai pada pertengahan sacrum
dan berakhir pada canalis analis.
dan 25 tahun, 15% dari semua kasus terjadi pada usia 15 tahun atau lebih muda.
Prognosis penyakit ini bergantung pada faktor-faktor berikut:
1. Usia pada saat awitan dan kecepatan awitannya
2. Respons terhadap pengobatan
3. Tingkat keparahan
Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi kambuhan yang
terutama menyerang usus besar. Lesinya bersifat kontinu dan menyerang mukosa
superfisial, yang menyebabkan kongesti vaskular, dilatasi kapiler, edema, hemoragi, dan
ulserasi. Hal ini menimbulkan hipertrofi muskular dan deposisi jaringan fibrosa dan
lemak, yang memberi tampilan usus pipa timah akibat penyempitan usus itu sendiri.
Penyakit Crohn adalah penyakit inflamasi dan ulseratif yang menyerang sembarang
bagian saluran cerna dari mulut sampai anus. Penyakit ini menyerang dinding usus
bagian dalam. Lesinya bersifat diskontinu, yang menimbulkan efek melompat-lompat,
yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh jaringan yang normal. Timbul fisura, fistula,
dan penebalan dinding usus. Granuloma terdapat pada kira-kira 50% kasus.
2.2.1. Enteritis Regional (Crohns Disease)
1. Definisi Enteritis Regional
Penyakit Crohn adalah suatu gangguan radang kronis usus idiopatik
yang melibatkan bagian saluran pencernaan yang mana saja. Ditemukan pada
bagian saluran pencernaan dari mulut sampai anus paling umum ditemukan
pada usus halus (ileum terminal) (Marilynn, 1999). Penyakit ini menyerang
dinding usus bagian dalam. Lesinya bersifat diskontinu, yang menimbulkan
efek melompat-lompat, yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh
jaringan yang normal. Timbul fistura, fistula, dan penebalan dinding usus.
Walaupun banyak persamaan antara kolitis ulserativa dan penyakit Crohn, ada
juga perbedaan-perbedaan besar dalam perjalanan klinis dan distribusi
penyakit di dalam saluran pencernaan. Proses radangnya cenderung eksentris
dan segmental, sering dengan daerah antara (yaitu daerah normal usus di
antara daerah-daerah radang). Sedangkan radang pada kolitis ulserativa
terbatas pada mukosa (kecuali pada megakolon toksik), keterlibatan saluran
pencernaan pada penyakit Crohn adalah transmural (Cecily Lynn Betz, 2009).
Inflamasi pada penyakit Crohn timbul sebagai lesi granulomatosa
berbatas tegas dengan pola terpisah-pisah yang tersebar di seluruh bagian usus
yang terkena. Di antara daerah inflamasi terdapat jaringan usus yang normal.
Pada inflamasi kronis, timbul jaringan ikat dan fibrosis sehingga usus menjadi
kaku atau tidak fleksibel. Apabila fibrosis terjadi di usus halus, penyerapan zat
12
Gb. 4.
Penyakit
Crohn pada
ileum
dengan
penyempitan
segmen yang
iregular
(tanda panah)
2. Etiologi
Penyebab dari enteritis regional masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa predisposisi seperti genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, penyakit
vaskular, dan faktor psikososial, termasuk merokok, kontrasepsi oral, serta
13
serosa,
mikroperforasi,
pembentukan
abses,
adhesi,
dan
gizi.
Keterlibatan
ileum
terminal
dapat
mengakibatkan
dengan penangkap
kalsium,
dapat
hipokalsemia,
2. Pemeriksaan radiografik
a. Studi kontras barium
Studi ini sangat berguna dalam mendefinisikan sifat, distribusi, dan
tingkat keparahan enteritis regional (Chen, 2007). Setelah psien dapat
menoleransi prosedur, barium enema mungkin dapat membantu dalam
evaluasi lesi kolon. Studi kontras barium berguna dalam mengevaluasi
fitur seperti kekakuan, pseudodivertikula, fistula, dan edema
submukosa. Edema dan ulkus dari mukosa di usus kecil mungkin
tampak sebagai penebalan dan distorsi. Fistula juga dapat dideteksi
oleh studi barium saluran pencernaan atau melalui suntikan ke dalam
pembukaan fistula yang dicurigai (Mackalski, 2006).
b. Computed tomography scan
CT scan yang membantu dalam penilaian di luar komplikasi seperti
fistula dan abses, serta hepatobiliary dan komplikasi ginjal
(Mackalski, 2006).
c. Magnetic resonance imaging
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat lebih unggul daripada CT
scan dalam menunjukkan lesi panggul. Oleh karena kadar air
diferensial, MRI dapat membedakan peradangan aktif dari fibrosis
darn dapat membedakan antara inflamasi serta lesi fibrostenosis
enteritis regional (Chen, 2007).
3. Pemeriksaan Ultrasonography
Ultrasonography (USG) dapat membantu dalam membedakan kelainan
tubo-ovarium. Namun, modalitas ini dapat juga mendeteksi pembesaran
kelenjar getah bening, abses, stenoses, dan bahkan fistula. USG dianggap
sebagai cara yang cepat dan murah metode penyaringan untuk membantu
dalam diagnosis IBD atau berulang-ulang mengevaluasi pasien untuk
komplikasi (Wu, 2009).
4. Pemeriksaan Kolonoskopi
Kolonoskopi (Colonoscopy) dapat membantu ketika barium enema satu
kontras belum informatif dalam mengevaluasi sebuah lesi kolon.
Kolonoskopi berguna dalam memperoleh jaringan biopsi, yang membantu
dalam diferensiasi penyakit lain, dalam evaluasi lesi massa, dan dalam
pelaksanaan surveilans
sangat
gagal, bedah reseksi dari usus yang meradang dengan pemulihan secara
berlanjut. Pembedahan dengan segera mungkin diperlukan dalam kasus
diare yang berkelanjutan atau berulang kondisi pendarahan atau kondisi
fistula
enterovesicular,
enterocutaneous,
cologastric,
dan
fistula
coloduodenal.
Pembedahan akhirnya perlu dilakukan pada sekitar 30% kasus.
Reseksi usus halus yang terkena penyakit dan operasi pintas mungkin perlu
dilakukan dalam keadaan umum yang sakit berat dan kronis, namun
tindakan ini tidak bertujuan kuratif.
5. Diet
Diet harus seimbang pada pasien dengan enteritis regional. Suplemen
serat dikatakan bermanfaat bagi pasien dengan penyakit kolon karena fakta
menyatakan bahwa serat makanan dapat diubah menjadi rantai pendek
asam lemak, yang menyediakan bahan bakar untuk penyembuhan mukosa
kolon, sedangkan diet rendah serat biasanya diindikasikan untuk pasien
dengan gejala obstruksi.
Pasien dengan enteritis regional usus kecil sering memiliki intoleransi
laktosa sehingga perlu menghindari produk susu. Namun, suplemen
kalsium mungkin diperlukan.
Enteral terapi dengan diet elemental telah disarankan untuk
merangsang remisi pada enteritis regional akut, konsumsi minimal 1.200
kkal/hari dikaitkan dengan tingkat lebih rendah penyakit kambuh, tetapi
pasien kondisi sering kambuh setelah memulai diet normal.
Indikasi untuk Total Parenteral Therapy (TPN) adalah sebagai berikut :
a. Penggunaan jangka pendek : pasien dengan inflamasi aktif dan
kekurangan gizi, serta mereka dengan fistula (diberikan sejak
preoperatif).
b. Penggunaan jangka panjang : pasien yang telah mengalami reseksi
usus luas, mengakibatkan sindrom usus pendek.
7. Komplikasi
a. Megakolon toksik (lebih lazim pada kolitis ulseratif)
b. Dehidrasi dan malnutrisi akibat diare dan malabsorpsi. Vitamin yang larut
dalam lemak dan vitamin B12 yang terutama cenderung terpengaruh
c. Perforasi usus dan pembentukan abses
d. Kanker usus (lima kali lipat dari kontrol yang sama usianya)
20
Enteritis regional
Respons
psikologis
Kecemasan
Pemenuhan
Informasi
Pascaoperatif
Penyempitan lumen
intestinal
Kram
abdomen
Gangguan transportasi
makanan
Kekuatan
jaringan
Nyeri
pascabedah
Gangguan
gastrointestinal
Mual, muntah,
kembung,
diare, anoreksia
Asupan nutrisi tidak
adekuat. Penurunan
berat badan. Output
cairan berlebih
Penurunan
absorpsi
nutrisi dan
asam folat
Gangguan
metabolisme
cairan dan
elektrolit
Frekuensi
BAB
meningkat
21
Respons
psikologis
Misinterpreta
si perawatan
dan
penatalaksana
an
pengobatan
Kecemasan
Pemenuhan
Informasi
Port de
entree
pascabedah
Risiko
infeksi
Resiko gangguan
Integritas kulit
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan
Ketidakseimbangan
cairan dan
elektrolit
Diare
Perdarahan
Kekurangan
volume
cairan
Aktual/risiko ketidakefektifan
bersihan jalan napas
dari dua penyakit utama Inflammatory Bowel Disease (IBD) dan dideskripsikan
sebagai kondisi kronis.
2. Epidemiologi
Prevalensi Jenis Kelamin
Kolitis ulseratif mempengaruhi laki-laki dan perempuan sama besar, dari
sumber lain menyebutkan laki-laki sedikit lebih besar berisiko terkena daripada
wanita.
Onset Usia
Kolitis ulseratif bisa terjadi pada usia berapapun. Namun, sangat jarang pada
anak-anak di bawah usia 5 tahun. Dalam kebanyakan kasus gejala mulai muncul
ketika orang berusia antara 10-40 tahun, dari sumber lain menyebutkan terjadi
antara usia 15-40 tahun tahun.
Prevalensi Geografis dan Ras
Kolitis ulseratif paling sering terjadi pada orang kulit putih keturunan Eropa
(Ras Kaukasia), terutama yang berasal dari Yahudi Ashkenazi. Hal ini terlihat lebih
umum di antara orang-orang yang telah tinggal selama beberapa generasi di Eropa
Timur dan Rusia. Kondisi ini juga umum pada orang kulit hitam tetapi jarang pada
keturunan Asia. Alasan untuk prevalensi yang lebih tinggi di daerah perkotaan dan
di negara-negara maju di Utara Eropa Barat dan Amerika dibandingkan dengan
daerah pedesaan tidak diketahui. Namun telah terlihat bahwa prevalensi dan
insidensi mulai meningkat di negara berkembang.
3. Klasifikasi Kolitis Ulseratif
Kolitis ulseratif diklasifikasikan berdasarkan pada keterlibatan bagian kolon
dan beratnya peradangan. Jenis yang paling terbatas melibatkan hanya rektum yaitu
proctitis, untuk yang paling luas melibatkan seluruh usus besar yaitu pancolitis.
Sekitar dua orang dari sepuluh penderita kolitis ulseratif mengalami perluasan
sampai usus besar setelah 10 tahun.
1. Proctitis
Merupakan inflamasi yang terbatas pada rektum. Pada penderita proctitis
cenderung ditemukan gejala utama lebih ringan yaitu perdarahan merah terang
yang bisa bercampur dengan lendir. Penderita mungkin mengalami diare, atau
memiliki tinja yang normal dan bahkan mungkin mendapatkan sembelit. Jika
pada peradangan parah, akan terasa nyeri rektum dan perasaan mendesak untuk
23
buru-buru ke toilet, tetapi yang keluar hanya angin. Selain itu, kulit di sekitar
anus juga bisa mengalami iritasi.
2. Proctosigmoiditis
Jenis kolitis ulseratif yang mempengaruhi rektum dan kolon sigmoid. Seperti
proctitis, gejala yang ditemukan yaitu perdarahan dan rasa urgensi.
3. Kolitis Distal (Left-side Colitis)
Pada kolitis distal terjadi peradangan dimulai di rektum dan terus ke sisi
kiri usus besar, kolon sigmoid, kolon desendens sampai dengan lentur lienalis.
Gejala termasuk diare dengan darah dan lendir, kehilangan nafsu makan,
penurunan berat badan dan sakit parah di sisi kiri perut. Frekuensi diare
cenderung lebih sedikit yaitu kurang dari 6 kali sehari.
4. Extensive dan Pancolitis (Total Colitis)
Pankolitis merupakan inflamasi dari proksimal ke lentur lienalis, biasanya
sampai dengan usus buntu. Ketika kolitis ulseratif mempengaruhi sebagian
besar kolon, akan menyebabkan frekuensi diare yang sangat sering dengan
darah dan lendir. Jika peradangan parah penderita bisa mengalami diare 20 kali
sehari, dan bisa mengarah pada dehidrasi. Gejala lain yang dijumpai seperti
sakit perut (parah), kram, demam, dan penurunan berat badan. Sangat jarang
ketika peradangan parah, gas dapat terjebak dalam usus besar menyebabkan
bengkak, dikenal sebagai megakolon toksik. Megakolon toksik menyebabkan
demam tinggi, rasa sakit dan nyeri di perut.
untuk mempertahankan tubuh terhadap infeksi dan infasi mikroba. Pada gangguan
autoimun, sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel tubuhnya sendiri. Ada
miliaran bakteri berbahaya terdapat di usus. Pada penyakit radang usus seperti
penyakit Crohn dan kolitis ulseratif, sistem kekebalan tubuh menyerang bakteri
berbahaya di dalam usus besar dan berbalik menyerang jaringan usus besar,
sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi atau radang.
Faktor yang berkontribusi pada patogenesis kolitis ulseratif yaitu faktor
genetik, interaksi dengan lingkungan, faktor-faktor lain seperti hubungan dengan
paparan untuk infeksi pada periode perinatal atau kehidupan awal, kebalikannya
hubungan dengan menyusui, administrasi non steroid anti-inflamasi obat, dan
inversi hubungan dengan usus buntu sebelum usia 20 tahun.
Penyebab mengapa sistem kekebalan tubuh bertindak seperti itu masih belum
jelas. Beberapa hipotesis mengenai penyebab kolitis ulseratif meliputi:
1. Sistem Imunologik
Setelah menyerang virus dan bakteri, sistem kekebalan tubuh tidak lantas
menjadi nonaktif. Sistem kekebalan tubuh terus waspada dan aktif mengarah ke
peradangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh
sebenarnya tidak dipicu oleh serangan bakteri berbahaya tetapi oleh miliaran
bakteri ramah dan tidak berbahaya dalam usus. Hal ini merupakan manifestasi
dari hipotesis autoimun dibalik penyebab kolitis ulseratif.
Pada 60-70% pasien dengan kolitis ulseratif ditemukan adanya p-ANCA
(perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA
tidak terlibat dalam pathogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan
dengan alel HLA-DR2, pasien dengan p-ANCA negative lebih cenderung
menjadi HLA-DR4 positif.
2. Faktor Genetik
Terdapat studi populasi yang mengungkapkan bahwa setidaknya 1 dari 6
orang dengan kolitis ulseratif memiliki hubungan darah yang memiliki kondisi
seperti ini. Hipotesis genetik juga diperkuat oleh fakta bahwa sebagian
masyarakat dengan riwayat keluarga kolitis ulseratif lebih berisiko terkena.
Faktor resiko pada orang kulit putih keturunan Eropa terutama yang berasal dari
komunitas Yahudi Ashkenazi lebih tinggi, jarang terjadi di antara orang kulit
hitam dan orang keturunan Asia. Hal ini menunjukkan bahwa ada predisposisi
genetik terhadap perkembangan penyakit. Para peneliti telah mengidentifikasi
25
beberapa gen yang tampaknya bisa memprediksi apakah seseorang akan terkena
kolitis ulseratif, tetapi mekanisme secara tepat belum diketahui.
3. Faktor Lingkungan
Kolitis ulseratif lebih umum terjadi di daerah perkotaan terutama di
bagian utara Eropa Barat dan Amerika. Ada penelitian yang menunjukkan
hubungan kolitis ulseratif dengan beberapa faktor lingkungan termasuk polusi
udara, diet dan kebersihan. Diet khas Barat tinggi karbohidrat dan lemak. Ini
sangat berbeda dari diet Asia yang lebih rendah karbohidrat dan lemak. Metode
diet kebarat-baratan bisa menjadi kunci untuk penyebab dari kolitis ulseratif.
Selain itu, anak-anak dibesarkan dalam lingkungan yang semakin bebas
kuman gagal terkena mikroba yang diperlukan yang membantu dalam
memperkuat sistem kekebalan tubuh. Ini disebut hipotesis kebersihan dan
menunjukkan mengapa mereka yang tinggal di negara berkembang dan negara
miskin dengan standar kebersihan yang lebih rendah relatif lebih kecil
kemungkinannya untuk mengembangkan kolitis ulseratif. Bersama dengan
hipotesis lain seperti penggunaan kontrasepsi oral, infeksi mikobakteri atipikal
dll belum terbukti meningkatkan risiko khususnya kolitis ulseratif.
Merokok adalah faktor lingkungan yang penting. Kolitis ulseratif lebih
umum di kalangan mantan perokok dan non perokok, sementara penyakit Crohn
lebih umum di kalangan perokok. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan
resiko penyakit kolitis ulseratif diantara perokok dibandingkan dengan bukan
perokok. Analisis meta menunjukkan resiko penyakit kolitis ulseratif pada
perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan bukan perokok.
4. Faktor Infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus
menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usaha untuk
menemukan agen bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang sedemikian jauh
diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel Pseudomonas atau agen yang
dapat ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih
harus dikonfirmasi.
5. Faktor Psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan.
Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang,
sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor misalnya kehilangan seorang
anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus
26
memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi rentan terhadap
stres emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya.
5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis kolitis ulseratif dapat diamati dari berbagai gangguan
yang diakibatkan dari penyakit tersebut. Gejala utama adalah diare dan
ditemukan darah yang berwarna merah terang pada feses dengan frekuensi
sering (antara 4 sampai 24 kali). Peristaltik usus mungkin lemah, akibat adanya
iritasi rektum yang meradang. Gejala lain meliputi nyeri perut atau rektum
berhubungan dengan buang air besar, demam, dan penurunan berat badan.
Proktitis ditandai dengan gejala tenesmu, urgensi dan feses lembek
bercampur darah serta lendir. Hal sebaliknya terjadi pada kolitis sisi kiri atau
pankolitis, pada kondisi tersebut dapat ditemukan diare berdarah dan sakit perut
secara bermakna. Sebagian besar pasien akan datang dengan riwayat gejala
selama beberapa minggu, dan maka dari itu kegagalan pertumbuhan jauh lebih
sedikit terjadi dibandingkan dengan penyakit Crohn. Tingkat keterlibatan
mukosa kolon dan tingkat keparahan penyakit berhubungan dengan manifestasi
klinis dari kolitis ulseratif.
Tanda dan gejala kolitis ulseratif
Kolon
Perdarahan rektum
Diare
Tenesmus
Inkontinensia fekal
Kram perut bagian bawah
Nyeri pada saat defekasi nyeri
hilang setelah defekasi
Iritasi peritoneum
Sistemik
Kelelahan
Demam
Anoreksia
Ketidakseimbangan elektrolit
Penurunan berat badan (kehilangan
berat badan 5-10 kg dalam 2 bulan)
Takikardia
Anemia
Peningkatan LED
Leukositosis
Flatulensi
Retardasi pertumbuhan
Sedang-berat
Fulminan
(moderate/severe)
Buang air besar 5
per hari
tiap hari
27
sistemik
gangguan sistemik
Klitif Ulseratif
Umum, ringan sampai berat
Penyakit Crohn
Tidak umum, ringan sampai
Diare
Sering berat
berat
Nyeri abdomen
Jarang
Anoreksia
Umum
Mungkin berat
Retardasi pertumbuhan
Biasanya ringan
Mungkin berat
Jarang
Umum
Jarang
Umum
yang lainnya. Proses penyakit mulai pada rektum dan akhirnya dapat mengenai
seluruh kolon. Akhirnya usus menyempit, memendek, dan menebal akibat hipertrofi
muscular dan deposit lemak.
Proses radang mulai di rektum sebagai radang yang difus, naik ke bagian
proksimal dan seluruh kolon dapat terkena. Ada infiltrasi sel-sel polimorf, sel plasma
dan eosinofil ke lamina propria, ada edema dan pelebaran vaskuler, kelenjar-kelanjar
ikut meradang dan terjadi abses-abses di kripta-kripta Lieberkuhn.
Kemudian terdapat destruksi kelenjar-kelenjar dan ulserasi pada epitel.
Makroskopis mukosa kelihatan hiperemis secara difus pada keadaan yang ringan dan
kelihatan ulserasi pada keadaan yang sedang dan berat. Dinding usus bisa menjadi
tipis dan tidak jarang ini menyebabkan perforasi.
Pada waktu penyembuhan terjadi proses granulasi yang sering berlebihan
sehingga menyerupai suatu polip disebut pseudopolip. Pada kasus yang menahun,
usus akan menjadi lebih pendek, sering timbul penyempitan lumen, walaupun
striktura jarang terjadi. Pada sebagian kecil penderita, proses radang hanya terdapat
pada rektum.
Kolitis ulseratif merupakan penyakit primer yang didapatkan pada kolon, yang
merupakan perluasan dari rektum. Kelainan pada rektum yang menyebar kebagian
kolon yang lain dengan gambaran mukosa yang normal tidak dijumpai. Kelainan ini
akan behenti pada daerah ileosekal, namun pada keadaan yang berat kelainan dapat
tejadi pada ileum terminalis dan appendiks. Pada daerah ileosekal akan terjadi
kerusakan sfingter dan terjadi inkompetensi. Panjang kolon akan menjadi 2/3 normal,
pemendekan ini disebakan terjadinya kelainan muskuler terutama pada koln distal dan
rektum. Terjadinya striktur tidak selalu didapatkan pada penyakit ini, melainkan dapat
terjadi hipertrofi lokal lapisan muskularis yang akan berakibat stenosis yang
reversible.
Lesi patologik awal hanya terbatas pada lapisan mukosa, berupa pembentukan
abses pada kriptus, yang jelas berbeda dengan lesi pada penyakit crohn yang
menyerang seluruh tebal dinding usus. Pada permulaan penyakit, timbul edema dan
kongesti mukosa. Edema dapat menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi
perdarahan pada trauma yang hanya ringan, seperti gesekan ringan pada permukaan.
Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kriptus pecah menembus dinding
kriptus dan menyebar dalam lapisan submukosa, menimbulkan terowongan dalam
mukosa. Mukosa kemudian terlepas menyisakan daerah yang tidak bermukosa
(tukak). Tukak mula- mula tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium yang lebih
29
lanjut, permukaan mukosa yang hilang menjadi lebih luas sekali sehingga
menyebabkan banyak kehilangan jaringan, protein dan darah.
Proses alteratif ulseratif superfisialis dan granulasi yang diikuti oleh reepitelisasi
bisa menyebabkan tonjolan yang membentuk polip peradangan (pseudopolip), yang
tidak neoplastik. penyakit yang berlangsung lama menyebabkan hiperplasia lamina
muskularis mukosa dan bila disertai oleh fibrosis pasca peradangan, terjadi
pemendekan kolon serta mengakibatkan terjadinya megakolon.
7. Pemeriksaan Penunjang
Kolitis ulseratif bisa sulit untuk didiagnosis karena gejala yang mirip dengan
gangguan usus lainnya dan penyakit Crohn. Perbedaan penyakit Crohn dan kolitis
ulseratif bahwa pada penyakit Crohn menyebabkan peradangan lebih dalam di dinding
usus dan dapat terjadi di bagian lain dari sistem pencernaan, termasuk usus halus,
mulut, kerongkongan.
Pasien yang diduga kolitis ulseratif dapat dilakukan pemeriksaan fisik dan
riwayat medis pada angkah pertama dalam mendiagnosis, selanjutnya diikuti oleh satu
atau lebih tes dan prosedur.
3.7.1
Riwayat medis
Perjalanan tanda
kemungkinan
pemicu
dan
gejala,
flare up
onset
yang
usia,
diperoleh.
keparahan
Riwayat
gejala,
keluarga
3.7.3
nyeri abdomen.
Tes darah
Dilakukan untuk mendeteksi kelainan dan adanya inflamasi. Tes darah
rutin membantu untuk mendeteksi anemia yang dapat menjadi indikasi
adanya perdarahan di kolon atau rektum, atau untuk mengetahui jumlah sel
darah putih yang tinggi (tanda peradangan di suatu tempat di tubuh). Ada dua
tes darah khusus yang dikenal sebagai tes Erythrocyte Sedimentation Rate
(ESR) dan tes C Reactive Protein (CRP). Diperiksa dalam kasus dugaan
peradangan, merupakan tes non spesifik namun dan dapat memberikan hasil
3.7.4
pada kolon atau rektum yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit.
Sinar X barium enema
Suatu larutan Barium diberikan kepada pasien untuk diminum sebelum
sinar X abdomen dilakukan. Senyawa radio-opak akan muncul di sinar-X,
garis-garis besar dinding usus dapat terlihat dengan jelas. Barium enema
dapat dilakukan dengan aman dalam kasus ringan. Dengan barium enema
dapat dilihat adalanya mengakolon toksik, kondisi ulkus, dan penyempitan
kolon. Selain itu, enema barium akan menunjukan iregulasi mucosal,
pemendekan kolon, dan dilatasi lekung usus. Hal ini dapat membantu dalam
diagnosis.
3.7.7 Sigmoidoskopi dan Kolonoskopi
Ini adalah tes yang lebih konfirmasi yang mendeteksi dan diagnosa
kolitis ulseratif. Sigmoidoskopi atau Kolonoskopi mendeteksi tingkat dan
luasnya peradangan usus. Kolonoskopi digunakan untuk melihat ke dalam
rektum dan seluruh usus besar, sementara sigmoidoskopi fleksibel digunakan
untuk melihat ke dalam rektum dan usus besar yang lebih rendah. Ini
melibatkan penyisipan sebuah tabung fleksibel yang berisi cahaya dan
kamera pada ujungnya melalui anus ke dalam usus. Ini bukan prosedur yang
menyakitkan dan dilakukan dengan sedasi . Biasanya diperlukan waktu
sekitar 15 menit sampai setengah jam untuk menyelesaikan.
Gambar-gambar dari dinding usus ditransmisikan ke komputer, dokter
bisa melihat bagian dalam dinding usus. Sigmoidoscope ini hanya mampu
melihat rektum dan bagian bawah usus besar sementara kolonoskopi meliputi
31
seluruh usus sampai persimpangan ileocecal. Tes ini melayani tujuan lain
mengesampingkan kondisi usus lain dengan gejala serupa termasuk kanker
usus.
Tes lain yang serupa adalah EGD (Esophagogastroduodenoscopy)
yang
menggunakan
prinsip
yang
sama
untuk
memeriksa
lapisan
34
35
Pembedahan
Gejala kolitis ulseratif yang cukup parah mengakibatkan seseorang harus
dirawat di rumah sakit. Misalnya, seseorang mengalami perdarahan berat atau
diare berat sehingga dehidrasi. Dalam kasus tersebut harus ditangani untuk
menghentikan diare dan kehilangan darah, cairan, dan garam mineral. Pasien
mungkin perlu diet khusus, makan melalui pembuluh darah, obat-obatan, atau
pembedahan.
Sekitar 25-40% pasien kolitis ulseratif akhirnya harus merelakan untuk
dilakukan pemotongan atau pengangkatan kolon karena pendarahan masif,
penyakit parah, pecahnya kolon, atau risiko kanker. Terkadang dokter akan
merekomendasikan pemotongan kolon jika penatalaksanaan medis gagal atau jika
efek samping kortikosteroid atau obat lain mengancam kesehatan pasien.
Pembedahan
untuk
mengangkat
kolon
dan
rektum,
dikenal
sebagai
menciptakan sebuah kantong. Feses atau kotoran disimpan dalam kantong dan
melewati melalui anus dengan cara biasa. Frekuensi buang air besar mungkin
lebih sering dan berair dibandingkan prosedur sebelumnya. Peradangan
kantong (pouchitis) merupakan komplikasi yang mungkin terjadi.
Tindakan operasi dilakukan sesuai tingkat keparahan penyakit dan
kebutuhan pasien, harapan, dan gaya hidup. Pasien dihadapkan pada
keputusan ini sehingga sebelumnya harus mendapatkan informasi sebanyak
mungkin dengan berbicara dengan dokter, kepada perawat menangani pasien
operasi usus besar (enterostomal therapists).
9. Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi: perforasi usus yang
terlibat, terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik (terutama
pada kolitis ulseratif), perdarahan, dan degenerasi maligna. Diperkirakan resiko
terjadinya kanker karena Inflammatory Bowel Disease lebih kurang 13%
(Djojoningrat, 2006).
Kolitis ulseratif dapat menyebabkan masalah di luar usus. Beberapa penderita
mendapatkan kondisi lain, terutama yang mempengaruhi sendi, mata dan kulit. Kolitis
ulseratif juga dapat mempengaruhi tulang, mulut, ginjal, hati, dan sirkulasi darah.
Faktor
Kolitis ulseratif
Infeksi kuman
Pembentukan abses
Mengeluarkan
toksin
Abses pecah
Iritasi pada mukosa
Tukak tersebar
Merangsang reseptor
nyeri
Pengeluaran
neurotransmitter
Adanya gangguan
fungsi mukosa
Gangguan
keseimbangan
floral usus
Permeabilitas
usus
meningkat
Absorbsi
berkurang
37
Gangguan
metabolisme
cairan dan
elektrolit
Stadium lanjut
Tahap kronik
Cemas, takut,
gelisah
Ansietas
Intoleransi aktivitas
Bakteri usus
meningkat
Persepsi nyeri
Nyeri
Perubahan nutrisi
kurang dari
kebutuhan
Asam lambung
meningkat
Mual muntah tidak nafsu
makan penurunan berat
badan
Frekuensi
BAB
meningkat
Diare
Perdarahan
Anemia
Kekurangan
volume
cairan
Rasa perih di daerah
anus ketika BAB
3.1 Kesimpulan
Kolitis ulseratif adalah penyakit ulseratif dan penyakit inflamasi kambuhan
yang terutama menyerang usus besar. Lesinya bersifat kontinu dan menyerang
mukosa superfisial, yang menyebabkan kongesti vaskular, dilatasi kapiler, edema,
hemoragi, dan ulserasi. Hal ini menimbulkan hipertrofi muskular dan deposisi
jaringan fibrosa dan lemak, yang memberi tampilan usus pipa timah akibat
penyempitan usus itu sendiri.
Penyakit Crohn adalah penyakit inflamasi dan ulseratif yang menyerang
sembarang bagian saluran cerna dari mulut sampai anus. Penyakit ini menyerang
dinding usus bagian dalam. Lesinya bersifat diskontinu, yang menimbulkan efek
melompat-lompat, yaitu bagian usus yang sakit dipisahkan oleh jaringan yang
normal. Timbul fisura, fistula, dan penebalan dinding usus. Granuloma terdapat pada
kira-kira 50% kasus.
3.2 Saran
Menurut kelompok kami, untuk menurunkan resiko gangguan pada usus, pasien
yang menderita gangguan sistem pencernaan seperti enteritis regional dan kolitis
ulseratif hendaknya melakukan terapi medis maupun non-medis secara kontinyu,
melakukan pola gaya hidup sehat seperti olahraga teratur, diet teratur sesuai dengan
kebutuhan, menjaga kestabilan emosional dan lain-lain.
38
DAFTAR PUSTAKA
Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Betz, Cecily Lynn. 2009. Buku saku keperawatan pediatri. Jakarta: EGC
Doenges, Marylinn E. 1999. Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan
dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC
Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan medikal-bedah : buku saku untuk Brunner dan
Suddarth. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : buku saku. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif & Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Inayah, Iin. 2004. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pencernaan.
Jakarta: Salemba Medika
Kliegman, Robert M., dkk. 1999. Nelson textbook of pediatrics. Jakarta: EGC
Patel, Pradip R. 2007. Lecture Notes: Radiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Graber, Mark A. 2006. Buku saku dokter keluarga. Jakarta: EGC
Rubenstein, David., dkk. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Jakarta: Penerbit Erlangga
Gibson, John. 2002. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta: EGC
Ariestine, Dina Aprillia. 2008. Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi, Klinik, dan
Patogenesa
Sodikin. 2011. Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier (hal.252-255, hal.260263). Jakarta: Salemba Medika
Schwartz, M. William. 2005. Pedoman Klinis Pediatri (hal. 279-280). Jakarta: EGC.
39
Ulcerative Colitis Edition 7. National Association for Colitis and Crohns Disease (NACC).
2011
40