Disusun oleh:
Kelompok 11, Kelas 3D
1. Fika Nahdliyana
11310153
2. Ika Sulistyarini
11310166
3. Ahmad Maruf
11310181
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan dan
kesehatan kepada penulis karena berkat usaha, kerja keras dan ketekunan serta keridhaan Allah
SWT, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Model Pembelajaran
Realistik dengan baik. Penulisan makalah ini bertujuan guna memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Inovasi Pembelajaran Matematika.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data yang penulis peroleh dari buku
panduan yang berkaitan dengan metode-metode pembelajaran yang berkembang di Indonesia,
serta infomasi dari media massa yang berhubungan dengan metode-metode pembelajaran. Tak
lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar mata kuliah Inovasi Pembelajaran
Matematika atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan
mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah berikutnya. Semoga makalah ini mampu memberikan manfaat dan
mampu memberikan segi positif bagi para pembaca.
Semarang,
Oktober 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masalah pendidikan senantiasa menjadi topic perbincangan yang menarik, baik di
kalangan guru, orang tua, lebih lagi di kalangan para pakar pendidikan. Hal ini merupakan
sesuatu yang wajar karena setiap orang berkepentingan dan menginginkan pendidikan yang
terbaik bagi siswa, anak atau generasi penerus bangsa ini. Terlebih lagi masalah pendidikan
matematika selalu menjadi sorotan karena masih rendahnya prestasi belajar siswa pada bidang
studi tersebut. Usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika di Indonesia telah lama
dilaksanakan, namun keluhan tentang kesulitan belajar matematika masih saja terus dijumpai.
Rendahnya hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika bukan semata-mata
karena materi yang sulit, tetapi juga bisa disebabkan oleh proses pembelajaran yang
dilaksanakan. Pentingnya proses pembelajaran ini ditegaskan oleh Soedjadi (1989) yang
menyatakan bahwa: Betapapun tepat dan baiknya bahan ajar matematika yang ditetapkan
belumlah menjamin akan tercapainya tujuan pendidikan matematika yang diinginkan. Salah satu
faktor penting untuk mencapai tujuan pendidikan adalah proses belajar yang dilaksanakan.
Upaya peningkatan kualitas proses pembelajaran telah diupayakan dengan melaksanakan
pendekatan pembelajaran keterampilan proses dan CBSA, namun masih banyak permasalahan
yang belum dapat diselesaikan, khususnya masalah pembelajaran di kelas. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya masih terpusat pada
guru, bukan pada siswa.
Ratumanan (2000) menyatakan bahwa dalam pengajaran matematika guru cenderung
mentransfer pengetahuan yang mereka miliki ke dalam pikiran siswa. Siswa sering diposisikan
sebagai orang yang tidak tahu apa-apa yang hanya menunggu apa yang guru berikan.
Sementara itu Soedjadi (2001a) menyatakan bahwa dalam kurikulum matematika sekolah di
Indonesia dan dalam pembelajarannya selama ini terpateri kebiasaan dengan urutan sajian
pembelajaran sebagai berikut: (1) diajarkan teori/teorema/definisi (2) diberikan contoh-contoh
dan (3) diberikan latihan soal-soal.
Kebiasaan pembelajaran semacam ini menyebabkan guru mendominasi kegiatan belajar
mengajar, sementara siswa hanya menjadi pendengar dan pencatat yang baik. Hasilnya adalah
siswa
yang kurang mandiri tidak berani mengemukakan pendapat sendiri, selalu meminta
bimbingan guru dan kurang gigih melakukan ujicoba dalam menyelesaikan masalah matematika,
sehingga pengetahuan yang dipahami siswa hanya sebatas apa yang diberikan guru.
Pada hakekatnya dalam kegiatan belajar mengajar, yang belajar adalah siswa secara
mandiri. Oleh karena itu hendaknya dalam proses pembelajaran guru memberikan arahan kepada
siswa tentang bagaimana siswa harus belajar. Seperti yang diungkapkan oleh Weinstein dan
Meyer (dalam Arends, 1997: 243) yang menyatakan bahwa: good teaching includes teaching
students how to learn, how to remember, how to think, and how to motivate themselves.
Maksudnya pengajaran yang baik meliputi mengajar siswa tentang bagaimana belajar,
bagaimana mengingat, bagaimana berpikir, dan bagaimana memotivasi diri sendiri. Hal ini juga
sejalan dengan pendapat Sumani (2000: 29) yang menyatakan bahwa salah satu kemampuan
yang harus dimiliki guru adalah memotivasi siswanya untuk belajar sendiri, artinya bagaimana
guru mampu menumbuhkan motivasi intrinsic (dari dalam) siswa untuk belajar.
Peran guru dalam kegiatan belajar mengajar adalah sebagai fasilitator dan motivator
untuk mengoptimalkan belajar siswa. Guru seharusnya tidak hanya memberikan pengetahuan
jadi, tetapi siswa secara aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri.
Ratumanan (2000) menyarankan agar seharusnya guru berpandangan bahwa matematika
merupakan proses, sehingga pengajaran matematika merupakan suatu usaha membantu siswa
untuk mengkontruksi pengetahuan dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi
sehingga pengetahuan tersebut terkontruksi kembali. Dengan demikian pembelajaran matematika
bukanlah suatu transfer pengetahuan, tetapi lebih menekankan bagaimana siswa membangun
pemahamannya dengan membantu guru.
Selanjutnya Burril (1997: 604) mengemukakan bahwa: Good teaching is not making
learning easy!, is not making hard either. Students, teachers, parents, and administrators should
understand that good teaching means that students are actively engaged in the learning process.
Students are involved with problems, they struggle with ideas, and they take part in the
dialogue. Maksudnya pengajaran yang baik adalah siswa terlibat aktif dalam proses
pembelajaran. Siswa dilibatkan dalam masalah, mengemukakan ide-idenya, dan terlibat dalam
dialog.
Dari kedua pendapat tersebut, suatu pembelajaran yang baik adalah yang melibatkan
siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Untuk itu orientasi proses pembelajaran
hendaknya diubah, peranan guru yang selama ini mendominasi kegiatan pembelajarn hendaknya
dikurangi dan member peluang yang lebih besar kepada siswa untuk aktif berpartisipasi dalam
proses pembelajaran. Pembelajaran yang terpusat pada guru sudah sewajarnya diubah menjadi
terpusat pada siswa.
Model pembelajaran hendaknya dipilih dan dirancang sedemikian sehingga lebih
menekankan pada aktivitas siswa, sehingga perlu diupayakan mendesain suatu pengajaran yang
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk belajar dengan membangun
pengetahuannya sendiri. Dengan pembelajaran tersebut diharapkan dapat diperoleh prestasi
belajar yang lebih baik.
Model pembelajaran matematika realistik atau yang biasa dikenal denga Realistic
Mathematics Education (RME) merupakan salah satu alternative pembelajaran yang tepat karena
dengan model pembelajaran ini siswa dituntut untuk mengkontruksi pengetahuan dengan
kemampuannya sendiri melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kegiatan
pembelajaran. Ide utama pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran RME adalah
siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvention) konsep matematika
dengan bimbingan orang dewasa. Prinsip menemukan kembali berarti siswa diberi kesempatan
menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual yang
diberikan pada awal pembelajaran. Berdasarkan soal siswa membangun model dari (model of)
situasi soal kemudian menyusun model matematika untuk (model for) menyelesaikan hingga
mendapatkan pengetahuan formal matematika (Gravemeijer, 1994: 100). Selain itu dalam
pandangan ini, matematika dipandang sebagai suatu kegiatan manusia. Oleh karena itu
pembelajaran matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika sebagau bagian dari
kegiatan manusia. Oleh karena itu pembelajaran matematika harus dikaitkan dengan realita dan
matematika sebagai bagian dari kegiatan manusia.
Dalam pembelajaran ini, guru berfungsi sebagai pembimbing dalam menyeleksi
kontribusi-kontribusi yang diberikan siswa melalui pemecahan masalah kontekstual. Dalam
memecahkan masalah kontekstual tersebut siswa dengan caranya sendiri mencoba memecahkan
sehingga sangat mungkin dilakukan melalui langkah-langkah informal sebelum sampai kepada
materi matematika yang lebih forma (Soedjadi 2001b:2). Dengan demikian pembelajaran tidak
lagi terpusat pada guru tetapi lebih terpusat pada siswa, dengan kata lain pembelajaran
berlangsung secara aktif yaitu pengajar dan pelajar sama-sama aktif.
Model pembelajaran RME telah dikembangkan di Belanda selama kurang lebih 30 tahun
menunjukkan hasil yang baik. RME juga dikembangkan di beberapa Negara lain seperti USA
(yang dikenal dengan Mathematics in Context), Afrika Selatan, Malaysia, Inggris, Brazil, dan
lain-lain (Fauzan, 2001:1). Laporan dari TIMSS (Third International Mathematics and Science
Study) menyebutkan bahwa berdasarkan penilaian TIMSS, siswa di Belanda memperoleh hasil
yang memuaskan baik dalam keterampilan komputasi maupun kemampuan pemecahan masalah
(dalam Yuwono, 2001:1). Model pembelajaran ini akan menjadi fokus dalam tulisan ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
2.
3.
4.
C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian pembelajaran matematika realistik, sehingga para guru/calon guru dapat
melakukan kegiatan belajar mengajar dengan baik dan benar.
2. Mengetahun prinsip dan karakteristik pembelajaran matematika realistik.
3. Mengetahui ciri-ciri model pembelajaran matematika realistik.
4. Mengetahui langkah-langkah pembelajaran matematika realistik, sehingga kegiatan belajar
mengajar dapat berlangsung secara efektik.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN REALISTIK
Menurut logika masyarakat pada umunya, seseorang berminat mempelajari sesuatu
dengan tekun bila melihat manfaat dari yang dipelajarinya itu dalam hidupnya. Manfaat itu bisa
berupa kemungkinan meningkatkan kesejahteraannya, harga dirinya, kepuasannya dan
sebagainya. Dengan perkataan lain persepsi seseorang tentang sesuatu itu ikut mempengaruhi
sikapnya terhadap sesuatu itu (Marpuang, 2001). Demikian pula dengan pembelajaran
matematika, seseorang anak akan berminat belajar matematika bila anak tersebut mengetahui
manfaat matematika bila anak tersebut mengetahui manfaat matematika bagi diri dan
kehidupannya, karena itu mengaitkan pembelajaran matematika dengan realita dan kegiatan
manusia merupakan salah satu cara untuk membuat anak tertarik belajar matematika.
Pembelajaran matematika dengan mengaitkan matematika dengan realita dan kegiatan manusia
ini dikenal dengan Pembelajaran Matematika Realistik atau Realistic Mathematics Education
(RME) (Freudenthal dalam Gravermeijer, 1994).
Ide utama dari model pembelajaran RME adalah manusia harus diberikan kesempatan
untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang
dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika ini
dilakukan dengan memanfaatkan realita dan lingkungan yang dekat dengan anak. Soedjadi
(2001a:2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika realistic pada dasarnya adalah
pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses
pembelajaran matematika secara lebih baik daripada masa yang lalu (Soedjadi, 2001a:2). Lebih
lanjut Soedjadi menjelaskan yang dimaksud dengan realita yaitu hal-hal yang nyata atau konkrit
yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud
dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah,
keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan ini disebut juga
kehidupan sehari-hari.
Treffers (1991: 32) memformulasikan dua konsep matematisasi yaitu matematisasi
horizontal dan matematisasi vertikal. Dalam matematisasi horizontal siswa dengan pengetahuan
yang dimilikinya dapat mengorganisasikan dan memecahkan masalah nyata dalam kehidupan
sehari-hari atau dengan kata lain matematisasi horizontal bergerak dari dunia nyata ke dunia
symbol.
Contoh
matematisasi
horizontal
adalah
pengidentifikasian,
perumusan
dan
penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, pentransformasi masalah dunia nyata ke
masalah matematika.
Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses pengorganisasian kembali dengan
menggunakan matematika itu sendiri, jadi dalam matematisasi vertikal bergerak dari dunia
symbol. Contoh matematisasi vertikal adalah perepresentasian hubungan-hubungan dalam
rumus, menghaluskan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang
berbeda, perumusan model matematik dan penggenerelisasian.
Proses pembelajaran matematika dengan RME menggunakan masalah kontekstual
(contextual problems) sebagai titik awal dalam belajar matematika. Dalam hal ini siswa
melakukan aktivitas matematisasi horizontal, yaitu siswa mengorganisasikan masalah dan
mencoba mengidentifikasi aspek matematika yang ada pada masalah tersebut. Siswa bebas
mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual dengan caranya
sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki. Kemudian siswa dengan bantuan atau tanpa
bantuan guru, menggunakan matematisasi vertikal (melalui abstraksi maupun formalisasi) tiba
pada tahap pembentukan konsep. Setelah dicapai pembentukan konsep, siswa dapat
mengalikasikan konsep-konsep matematika tersebut kembali pada masalah kontekstual, sehingga
memperkuat pemahaman konsep.
Gravermeijer (1994:91) mengemukakan bahwa terdapat tiga prinsip kunci dalam model
pemebelajaran RME yakni:
a.
penemuan kembali bentuk dan model matematika dari soal kontekstual tersebut.
Mengembangkan model sendiri (Self developed models)
Dalam menyelesaikan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan
model mereka sendiri, sehingga dimungkinkan muncul berbagai model buatan siswa. Modelmodel tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada bentuk yang lebih baik menuju
arah pengetahuan matematika formal, sehingga diharapkan terjadi urutan pembelajaran seperti
berikut masalah kontekstual
kea rah formal
model
Didactical Phenomenology
Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Dalam hal ini fenomena
pembelajaran menekankan pentingnya masalah kontekstual memperkenalkan topik-topik
matematika kepada siswa. Masalah kontekstual ini dipilih dengan pertimbangan: (1) aspek
kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam pengajaran; dan (2) kecocokan dampak dalam
proses re-invention, artinya rposedur, aturan dan model matematika yang harus dipelajari oleh
siswa tidaklah disediakan oelh guru, tetapi siswa harus berusaha menemukannya dari masalah
kontekstual tersebut.
Self Developed Models
Prinsip yang ketiga adalah pengembangan model sendiri. Prinsip ini berfungsi
menjembatani jurang antara pengetahuan informal dengan matematika formal. Siswa
mengembangkan model sendiri sewaktu memecahkan soal-soal kontekstual.
b. Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik
Menggunakan masalah kontekstual (Use of Context)
Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual, tidak dimulai dari
sistem formal. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal pembelajaran harus
merupakan masalah sederhana yang dikenali oleh siswa.
Menggunakan model (Use of Models, Bridging by Vertical Instruments)
Dengan menggunakan masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal
pembelajaran dapat mendorong siswa untuk membentuk model dasar matematika yang
dikembangkan sendiri oleh siswa, sebagai jembatan antara level pemahaman yang satu ke level
pemahaman yang lain dengan menggunakan instrument-instrumen vertikal seperti, skemaskema, diagram-diagram, symbol-simbol dan sebagainya.
Menggunakan kontribusi siswa (Students Contribution)
Kontribusi yang besar pada proses mengajar belajar dating dari siswa, artinya semua
pikiran (kontruksi dan produksi) siswa diperhatikan. Kontribusi dapat berupa aneka jawab, aneka
cara, atau aneka pendapat dari siswa. Misalnya pada pengertian skala, pada awalnya siswa diberi
kebebasan penuh untuk mengidentifikasi pengertian skala dengan kalimat mereka sendri,
kemudian dari beragam jawaban siswa dikompromikan dan dipakai salah satu pendapat yang
benar. Jika tidak ada yang benar, guru hanya membimbing kea rah pengertian yang benar.
Interaktivitas (Interactivity)
Mengoptimalkan proses mengajar belajar melalui interaksi siswa dengan siswa, siswa
dengan guru dan siswa dengan sarana prasarana merupakan hal yang penting dalam
pembelajaran matematika realistik. Interaksi terus dioptimalkan samapi kontruksi yang
diinginkan diperoleh, sehingga interaksi tersebut dimanfaatkan.
Terkait dengan Topik Lainnya (Intertwining)
Struktur dan konsep matematika saling berkaitan. Oleh karena itu, keterkaitan dan
keterintegrasian antar topik (unit pembelajaran) harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya
proses belajar mengajar yang lebih bermakna.
3. CIRI-CIRI PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK
Berdasarkan prinsip dan karakteristik model pembelajaran RME maka ada beberapa hal yang
menjadi ciri-ciri dari model pembelajaran ini (Nur, 2000: 8), yakni:
a.
Pembelajaran dirancang berawal dari pemecahan masalah yang ada di sekitar siswa dan berbasis
pada pengalaman yang telah dimiliki siswa, sehingga mereka dengan segera tertarik secara
b.
c.
notasi informal.
Pembelajaran matematika tidak semata-mata memberi penekanan pada komputasi dan hanya
dugaan/spekulasi hasil.
h. Terdapat interaksi yang kuat antara siswa yang satu dengan siswa lainnya.
i. Memberikan perhatian yang seimbang antara matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal.
4. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK
Berdasarkan pengertian, prinsip utama dan karakteristik PMR uraian di atas, maka
langkah-langkah kegiatan inti pembelajaran matematika realistik dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
matematika yang terkait dengan masalah kontekstual yang baru diselesaikan. Karakteristik PMR
yang muncul pada langkah ini adalah menggunakan interaksi antara guru dengan siswa.
5. KALEBIHAN DAN KESULITAN METODE PEMBELAJARAN REALISTIK
Kelebihan pembelajaran matematika realistik
Menurut Suwarsono : (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari
matematika realistik, yaitu :
a.
b.
oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
c. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa
cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama
antara yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau
menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal
atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang
satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang
d.
2.
3.
4.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Salah satu cara untuk mencoba membuat seorang anak berminat belajar matematika adalah
dengan menginformasikan kemanfaatan matematika bagi diri dan kehidupannya, karena itu
mengaitkan pembelajaran matematika dengan realita dan kegiatan manusia merupakan salah satu
cara untuk membuat anak tertarik belajar matematika. Pembelajaran matematika dengan
mengaitkan matematika dengan realita dan kegiatan manusia ini dikenal dengan Pembelajaran
Matematika Realistik atau Realistic Mathematics Education (RME). Beberapa prinsip dan
karakterritik pembelajaran realistic diantaranya : prinsip Guided Reinvention and Progressive
Mathematizing, Didactical Phenomenology, Self Developed Models dan karakteristik
Menggunakan masalah kontekstual (Use of Context), Menggunakan model (Use of Models,
Bridging by Vertical Instruments), Menggunakan kontribusi siswa (Students Contribution),
Interaktivitas (Interactivity), Terkait dengan Topik Lainnya (Intertwining). Disamping itu
ada beberapa langkah dalam pembelajaran realistic yaitu memahami masalah kontekstual,
menyelesaikan masalah kontekstual,membandingkan dan mendiskusikan jawaban dan menarik
kesimpulan.
2. Saran
Tidak semua metode pembelajaran dapat di gunakan untuk materi pelajaran, maka dari
itu dalam memilih metode pembelajaran harus dapat disesuaikan dengan materi pelajaran yang
dipilih.
Dengan metode pembelajaran realistic, diharapkan siswa mampu mengkontruksi dan
menemukan sendiri pengetahuan konsep melalui bantuan guru yang bersifat terbatas dan juga
dengan pembelajaran realistic ini dapat meningkatkan serta memperbaiki kualitas pembelajaran
matematika.
Daftar Pustaka
Arikunto,S.2001. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta : Bumi Aksara.
Barnes, Heyley.2004. Realistic Mathematics Education : Eliciting Alternative Mathematical
Conceptual Conceptions of Learners. African journal of Reasearch in SMT Education.
Fadillah, Syarifa. 2006. Pengenalan Pembelajaran Realistik dan Contoh Penerapannya dalam
Pembelajaran Matematika . Jurnal Pendidikan.
Nasution, Hamidah. 2006. Pembelajrn Matematika Realistik Topik Pembagian di Sekolah Dasar.
Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains ISSN:1907-7157.
Suherman, Erman dkk.2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontenporer. Bandung : Upi
press.
Widjaja, Yeni.2003. Howa Realistic Mathematics Education Approach and MicroromputerBased Laboratory Worked in Lessons on Graphing at an Indonesia Junior High School. Journal
of science and mathematics Education in Southeast Asia.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Nama Sekolah
Kelas/ Semester
: IX
Mata pelajaran
: Matematika
Alokasi Waktu
: 1 x pertemuan
A. Standar Kompetensi
Memahami kesebangunan bangun datar dan penggunaannya dalam pemecahan
masalah
B.
1.
2.
3.
Kompetensi Dasar
Mengidentifikasi bangun-bangun datar yang sebangun
Mengidentifikasi sifat-sifat dua segitiga sebangun
Menggunakan konsep kesebangunan segitiga dalam pemecahan masalah
C.
1.
2.
3.
Indikator
Menentukan dua buah bangun datar yang sebangun
Menentukan sifat-sifat kesebangunan
Menyelesaikan masalah dengan konsep kesebangunan
D.
1.
2.
3.
Tujuan Pembelajaran
Melalui diskusi siswa dapat menentukan dua buah bangun datar yang sebangun
Melalui diskusi siswa dapat menentukan sifat-sifat kesebangunan
Melalui diskusi siswa dapat menyelesaikan masalah dengan konsep kesebangunan
E. Materi Pembelajaran
Lampiran
F. Metode pembelajaran : Metode Realistik
G. Pendekatan : Pendekatan Ketrampilan Proses (PKP)
H.
1.
Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan Awal (15 menit)
Guru bersama siswa mengucapkan salam pembuka.
Kegiatan apersepsi (anak-anak perhatikan ubin yang ada dibawah kalian! Bagaimanakah
bentuknya?)
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
2.
a.
b.
c.
3.