Anda di halaman 1dari 42

I.

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Terumbu karang (coral reefs) merupakan organisme yang

hidup di dasar perairan laut dangkal, terutama di daerah tropis.


Terumbu karang di susun oleh karang-karang anthozoa dari kelas
Scelaratinia, termasuk hermatypic coral atau jenis-jenis karang
yang

mampu

membangun

kerangka

karang

dari

kalsium

karbonat (Vaughan dan Wells, 1943). Terumbu karang merupakan


sumberdaya yang memiliki nilai konservasi yang tinggi karena
memiliki keanekaragaman biologis yang tinggi, keindahan, dan
menyediakan cadangan plasma nutfah (Sawyer, 1992). Secara
ekologis
(spawning

terumbu

karang

ground),

tempat

merupakan
pembesaran

tempat
(nursery

pemijahan
ground),

tempat mencari makan (feeding ground), serta terumbu karang


merupakan tempat perlindungan bagi berbagai macam biota
laut. Terumbu karang juga memiliki fungsi sebagai perlindungan
bagi wilayah pesisir, karena terumbu karang memiliki struktur
material yang padat dan kuat sehingga dapat melindungi pantai
dan pesisir dari hempasan gelombang (Supriharyono, 2000).
Kecamatan

Selat

Nasik

Provinsi

Bangka

Belitung

merupakan kepulauan, memiliki 26 pulau besar dan kecil.


Kecamatan ini mempunyai luas 133,50 km. Kecamatan Selat
Nasik diduga memiliki potensi terumbu karang yang sangat baik
(Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, 2007).

Sebaran terumbu karang disuatu daerah dapat diduga


melalui inventarisasi luasan dari distribusi terumbu karang yang
berguna untuk membantu kebijakan pemerintah setempat dalan
mengelola sumber daya laut dan pesisir. Salah satu teknik yang
dapat dilakukan dalam inventarisasi terumbu karang adalah
menggunakan teknik penginderaan jauh. Penginderaan jauh
adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu
obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan
obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kieffer,
1990).
Teknik penginderaan jauh yang dilakukan pada penelitian
pemetaan sebaran terumbu karang ini adalah menggunakan
citra Landsat-7. Landsat-7 ETM merupakan generasi satelit tipe
ini yang paling baru, mempunyai 7 band multispectral +1 band
pankromatik. Teknik penginderaan jauh ini sangat efektif dan
efesien

dalam

menyediakan

rekaman

data

spasialnya.

Selanjutnya, untuk meningkatkan kualitas dan menyempurnakan


data rekaman sensor-sensor terkait hingga produksi akhir data
spasial (hardcopy) dilakukan proses-proses pengolahan citra
digital. Perangkat lunak atau software ER Mapper adalah
perangkat lunak pengolahan citra digital (geografis). ER Mapper
memberikan kemudahan dalam pengolahan data sehingga kita

dapat mengkombinasikan berbagai operasi pengolahan citra


secara tepat.

1.2

Permasalahan
Permasalahan yang dibangun dari kegiatan ini adalah

bagaimana potensi luas terumbu karang di Selat Nasik Propinsi


Bangka Belitung melalui analisis ER Mapper.

1.3

Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui aplikasi

software ER Mapper

dalam menduga potensi luas terumbu

karang di Selat Nasik Propinsi Bangka Belitung.

II. STUDI PUSTAKA


2.1

Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh


Sistem informasi geografis adalah sistem yang berbasiskan

komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi


informasi-informasi

geografi.

Sistem

informasi

geografis

dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisa


objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan
karakteristik yang penting untuk dianalisis. Sistem informasi
geografis merupakan sistem komputer yang memiliki empat
kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi
geografi yaitu masukan, manajemen data (penyimpanan dan
pengambilan data), analisis dan manipulasi data, keluaran
(Prahasta, 2002).
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui
analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak
langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji
(Lillesand dan Kieffer, 1990). Proses utama dalam sistem
penginderaan jauh ada dua yaitu pengumpulan data dan analisis
data. Elemen proses pengumpulan data meliputi sumber energi,
penjalaran energi melalui atmosfer, interaksi antara energi
dengan kenampakan di muka bumi, sensor wahana berupa
satelit, dan hasil pembentukan data dalam bentuk piktorial
dan/atau numerik. Proses analisis data meliputi pengujian data,

dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan


untuk menganalisis data dalam bentuk piktorial dan komputer
untuk menganalisis data dalam bentuk numerik (Lillesand dan
Kieffer, 1990).
Sistem penginderaan jauh memiliki dua tipe yaitu pasif dan
aktif. Sistem penginderaan jauh pasif menggunakan gelombang
elektromagnetik pada gelombang pendek yang dipantulkan yang
berasal dari matahari, atau secara tidak langsung energi
matahari yang telah diserap oleh permukaan bumi kemudian
diemisikan pada panjang gelombang (Howard, 1996). Sistem
penginderaan jauh aktif adalah sumber tenaga utama yang
dibutuhkan oleh wahana menggunakan tenaga elektromagnetik
yang dibangkitkan oleh sensor radar (radio detecting and
ranging) yang terintegrasi pada wahana tersebut.
2.2

Software ER Mapper
ER Mapper adalah perangkat lunak pengolahan citra digital

(geografis),

dilengkapi

dengan

lingkungan

menggunakan pendekatan skema

pengembangan

sistem pemrosesan citra

digital non-tradisional dengan menciptakan konsep algorithm.


Dalam

menjalankan

menggunakan

berbagai

fungsionalitas,

komponen-komponennya

ER

yang

Mapper
saling

berhubungan diantaranya:
1.

Citra raster adalah data titik atau piksel dalam bentuk grid
atau

matriks

dua

dimensi.

Titik-titik

ini

tersusun

sebagaimana halnya sel-sel segi empat baris dan kolom


2.

yang memiliki nilai.


Vektor terbentuk dari unsur-unsur titik, garis, dan poligon

3.

seperti halnya peta-peta jalan dan topografi.


Algorithm digunakan untuk menyimpan informasi yang
diperlukan untuk menampilkan data sebagai citra akhir.
Informasi yang tersimpan didalamnya mencakup sumber
data, warna-warna yang akan digunakan untuk tampilan,

4.

detil pemrosesan dan informasi tampilan.


Produksi peta, mengkombinasikan simbol-simbol peta ke
dalam citranya sehingga dihasilkan tampilan dan hardcopy

5.

dengan kualitas kartografis.


GIS dan DBMS dynamic links, ER Mapper mempunyai
kemampuan

integrasi

memungkinkan

untuk

data

yang

menampilkan

lengkap
data

hingga

vector

berbagai format yang berbeda. Koneksi yang

dari

sebagai

dynamic link ini akan menyediakan fasilitas akses dan


display data secara langsung dari sistem lain, suatu
alternatif dalam menghilangkan kebutuhan import data.
2.3

Pengolahan Citra Digital


Citra adalah gambaran visual yang direkam dengan

menggunakan alat penginderaan jauh (Sutanto, 1994). Citra


merupakan representasi dua dimensi dari suatu objek di dunia
nyata. Citra dapat diimplementasikan kedalam dua bentuk umum
yaitu analog dan digital (Prahasta, 2008). Foto udara adalah
salah satu bentuk dari citra analog, sedangkan citra-citra satelit

merupakan data hasil rekaman sistem sensor-sensor. Citra digital


hasil pengamatan penginderaan jauh pada dasarnya merupakan
data rekaman sensor dalam bentuk raster, matriks, atau grid dua
dimensi. Setiap elemennya disebut sebagai piksel yang nilai
koordinatnya

diketahui

dan

nilai

intensitasnya

(radiasi

elektromagnetik) diwakili oleh suatu nilai atau bilangan bulat


(digital number atau DN) koordinat setiap piksel berikut nilai DN
terkait

dideskripsikan

walaupun

demikian,

dalam
data

terminologi
citra

digital

baris

dan

kolom,

softcopy

dapat

dikonversikan ke dalam bentuk gambar atau citra analog seperti


halnya foto atau peta hardcopy. Interpretasi citra merupakan
perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk
mengidentifikasikan obyek dan menilai arti penting obyek
tersebut (Prahasta, 2008).
2.3.1 Konsep Resolusi
Resolusi menurut Sulistyo (2010) adalah kemampuan suatu
sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi secara
spasial berdekatan atau secara spectral mempunyai kemiripan.
Pengertian ini akhirnya berkembang dengan menambahkan
aspek waktu (temporal) didalamnya. Resolusi adalah kerincian
informasi yang di ambil dari data penginderaa jauh. Menurut
Prahasta (2008) terdapat empat konsep resolusi yaitu:
1.

Resolusi spasial adalah merujuk pada ukuran objek terkecil


yang terdapat di permukaan bumi yang dapat dikenali.

Resolusi pada citra digital dibatasi oleh ukuran pikselnya.


Resolusi tinggi merupakan ukuran piksel relatif kecil
sehingga dapat menggambarkan bagian permukaan bumi
secara halus dan detail, sedangkan resolusi rendah adalah
ukuran pikselnya besar sehingga hasil penggambarannya
agak kasar.
2.

Resolusi radiometrik adalah perubahan tingkat intensitas


terkecil yang bias dideteksi oleh sistem sensor satelit yang
bersangkutan.

3.

Resolusi temporal adalah sistem satelit penginderaan jauh


saat melakukan pengambilan gambar bagian permukaan
bumi

yang

sama

secara

berurutan

(periode

waktu

pengambilan gambar)
4.

Resolusi spectral adalah batas-batas spektral, domain, atau


lebar band (radiasi elektromagnetik) yang direkam oleh
sensor satelit yang bersangkutan. Kemampuan resolusi ini
kemampuan sensor dalam mengidentifikasikan interval
panjang gelombang secara halus.

2.3.2 Koreksi geometrik


Koreksi

geometrik

adalah

proses

mengkoreksi

dan

mentransformasikan hasil perekaman citra satelit agar memiliki


sistem koordinat bumi (proyeksi) (Prahasta, 2008). Citra digital
hasil perekaman sensor-sensor satelit penginderaan jauh hadir
dalam bentuk-bentuk relatif yang sudah benar tetapi dengan

aspek geometri yang belum akurat atau memiliki kesalahan


geometri, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti arah
lintasan, gerakan lokal satelit, dan kelengkungan bumi itu sendiri.
Oleh karena itu perlu adanya koreksi geometrik. Proses koreksi
geometrik disebut sebagai geocoding citra. Beberapa proses dari
geocoding citra adalah:
1.

Rektifikasi citra
Retifikasi citra adalah proses transformasi koordinat citra

digital ke dalam sistem koodinat bumi dengan menggunakan


koordinat-koordinat unsur-unsur terkait di dalam peta dasar, hasil
pegukuran lapangan (misalkan pengamatan GPS), atau koordinat
referensi sebagai titik-titik kontrol tanah.
2.

Orto-rektifikasi
Orto-rektifikasi adalah proses tipe perektifikasi yang lebih

akurat

daripada

retifikasi

biasa

karena

prosedurnya

mempertimbangkan beberapa karakteristik sensor (kamera) dan


satelit yang digunakan
3.

Registrasi citra
Registrasi

citra

adalah

proses

mentransformasikan

geometri (unsur-unsur spasial) citra digital ke dalam sistem


koordinat citra digital lainnya yang dianggap telah memiliki
sistem koordinat bumi.
4.

Rotasi adalah proses memutar orientasi sebuah citra.

5.

Reprojection

Reprojection

adalah

proses

yang

dilakukan

untuk

mentransformasikan citra dari suatu datum dan sistem proyeksi


peta ke datum dan sistem proyeksi peta yang lain.
2.3.3 Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik adalah suatu koreksi yang perlu
diberikan akibat kesalahan atau distorsi yang bersifat radiometrik
pada data citra produk perekaman sensor. Tujuan dari Koreksi
radiometik adalah untuk merekonstruksikan kembali nilai-nilai
digital setiap piksel band citra sehingga terkalibrasi secara fisik.
Menurut Prahasta (2008) koreksi radiometik secara umum dapat
diklasifikasikan kedalam tiga tipe yaitu:
1.

koreksi radiometrik yang disebabkan oleh kondisi atmosfer


yang menyebabkan penyerapan dan hamburan radiasi
sinar matahari, oleh karena itu radiasi yang dipantulkan
atau dipancarkan oleh suatu objek hamburan atmosfer
perlu dikoreksi.

2.

koreksi radiometrik yang disebabkan oleh sudut (azimuth


dan ketinggian) matahari dan topografi. Radiasi sinar
matahari direfleksikan dan disebarkan ke permukaan bumi,
dengan adanya perbedaan sudut ini terdapat area-area
yang nampak lebih terang, sementara relief topografinya
akan menyebabkan shadding.

3.

Koreksi radiometrik yang disebabkan oleh sensitivitas


sensornya. Jika sensor yang digunakan dari jenis optis,

maka area-area yang terletak di pinggiran citra cenderung


bernuansa gelap jika dibandingkan dengan area-area yang
terletak di tengah citra.
2.3.4 Unsur Interpretrasi citra
Unsur Interpretasi citra adalah karakteristik obyek yang
tergambar pada citra dan digunakan untuk mengenali obyek
(Sutanto, 1994). Pengenalan obyek merupakan bagian vital
dalam interpretasi citra. Prinsip pengenalan obyek pada citra
berdasarkan pada karakteristik atau atributnya pada citra.
Menurut Sutanto (1994) unsur-unsur interpretasi meliputi 9 kunci
interpretasi, yaitu :
1.

Rona adalah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan

2.

obyek pada citra.


Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memeriksa
konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk merupakan
atribut yang jelas sehingga banyak obyek yang dapat

3.

dikenali berdasarkan bentuknya.


Ukuran adalah atribut obyek berupa jarak, luas, tinggi,
lereng

4.

dan

volume.

Obyek

pada

citra

harus

mempertimbangkan dengan skala.


Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra atau
pengulangan rona kelompok obyek yang terlalu kecil untuk

5.

dibedakan secara individual.


Pola adalah hubungan susunan spasial obyek. Pengulangan
bentuk

umum

tertentu

atau

hubungan

merupakan

karakteristik bagi banyak obyek alamiah, dan memberikan

suatu pola yang membantu penafsir untuk mengenali


6.

obyek tersebut.
Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau obyek

7.

yang berada di daerah gelap.


Situs adalah tempat kedudukan atau letak suatu daerah
atau wilayah terhadap sekitarnya. Situs ini berupa unit
terkecil

8.

dalam

suatu

dipengaruhi

oleh

kecuraman

lereng,

sistem

faktor

wilayah

situs

keterbukaan

morfologi

seperti

beda

terhadap

yang
tinggi,

angin,

dan

ketersediaan air permukaan dan air tanah


Asosiasi adalah keterkaitan antara obyek yang satu dengan
obyek lain. Adanya ketertarikan ini maka terlihat suatu
obyek pada citra sering merupakan petunjuk bagi adanya

9.

obyek lain
Konvergensi bukti adalah bukti-bukti yang mengarah ke
satu titik-titik simpul.
Perlu diperhatikan bahwa dalam mengenali obyek, tidak

semua

unsur

perlu

digunakan

secara

bersama-sama.

Ada

beberapa jenis fenomena atau obyek yang langsung dapat


dikenali hanya berdasarkan satu jenis unsur interpretasi saja.
2.4 Citra Landsat-7
Landsat

merupakan

salah

satu

satelit

teknologi

sumberdaya bumi yang pada awalnya bernama ERTS1 (Earth


Resources Tecnolgy Satelite) milik NASA (National Aeronautical
Space Administration) Amerika Serikat (Lillesand dan Kieffer,
1990). Satelit ini pertama kali diluncurkan pada tanggal 23 Juli
1972. Sejak saat diluncurkan hingga saat ini satelit Landsat telah

meluncurkan 7 satelit, yaitu landsat 1 MSS (1972-1978), Landsat


2 MMS (1975-1982), landsat 3 MMS (1978-1983), Landsat 4
MMS,TM

(1982-1987),

landsat

MMS,TM

(1985-preesent),

landsat 6 (1993, hilang pada saat peluncuran) dan landsat 7


ETM+ (1999-sekarang).
Satelit landsat-7 merupakan implementasi lanjutan dari
seri satelit-satelit sebelumnya. Satelit yang berorbit sirkular dan
melintasi garis ekuator setiap hari pada waktu local (jam) yang
sama diluncurkan oleh Amerika Serikat pada tanggal yang 15
April 1999 dengan sudut inklanasi antara 98,2 0 hingga 99,10,
ketinggian 705 km diatas ekuator, periode orbit setiap 99 menit,
dapat mencapai lokasi yang sama setiap 16 hari, dan beresolusi
radiometric 8-bit (Prahasta, 2008). Landsat-7 hanya dilengkapi
dengan sensor ETM+.
Tabel 1. Sensor Landsat-7 ETM+
Sensor
Saluran
Gelomban
(Band)
g
TM

1
2
3
4
5
6
7
Pankromati
k

Biru
Hijau
Merah
IR dekat
IR pendek
IR termal
IR pendek

Panjang
Gelombang
(m)
0,45-0,52
0,52-0,60
0,63-0,69
0,76-0,90
1,55-1,75
10,40-12,50
2,08-2,03
0,52-0,90

Resolusi
spasial (m)
30
30
30
30
30
60
30
15

Gambar 1. Satelit Landsat-7

2.4.1 Tampilan Citra Digital


Citra satelit memiliki beberapa sistem sensor secara
simultan, setiap sensornya menghasilkan beberapa band citra.
Setiap band ini merupakan hasil rekaman sensor dengan lebar
dan domain spektrum gelombang elektromagnetik tertentu.
Menurut Prahasta (2008) masing-masing band citra digital
memiliki ciri-ciri kepekaan tersendiri dalam mendeteksi unsurunsur spasial, diantaranya adalah:
1.
Band 1 (gelombang biru) merupakan band yang realtif
pendek tetapi memiliki daya penetrasi yang lebih baik dari
yang lainnya, digunakan untuk mengamati unsur-unsur
ekosistem perairan, mendeteksi sedimen di perairan,
2.

pemetaan terumbu karang, dan kedalaman air.


Band 2 (gelombang hijau) digunakan untuk mengamati
kehijauan vegetasi.

3.

Band 3 (gelombang merah) digunakan untuk mendeteksi


adsorpsi klorofil, membedakan vegetasi dan tanah, dan

4.

memonitor kesehatan vegetasi.


Band 4 (gelombang inframerah dekat) karena air akan
meyerap hampir semua radiasi elektromagnetik pada
domain ini, maka unsur (tubuh) air akan nampak sangat
gelap. Hal ini sangat berbeda dengan pantulan yang agak
cerah pada unsur tanah dan vegetasi. Oleh karena itu,
band ini sangat baik untuk mendefinisikan batas air-

5.

daratan dan tipe vegetasi.


Band 5 (gelombang inframerah pendek) band ini sensitif
terhadap kelembapan, karena itu dipakai untuk memonitor
kelembapan tanah dan vegetasi, membedakan unsur awan

6.

dan salju.
Band 6 (gelombang

inframerah

thermal)

band

ini

merupakan band thermal, artinya band ini digunakan untuk


mengukur suhu permukaan. Selain itu band ini digunakan
untuk mengukur tekanan suhu tumbuhan, membedakan
7.

unsur awan dan tanah yang kenampakannya cukup terang.


Band 7 (gelombang inframerah pendek) band ini digunakan
untuk pengamatan kelembapan vegetasi, pemetaan tanah
dan geologi (batuan).

2.5

Terumbu Karang
Terumbu karang (coral reefs) merupakan organisme yang

hidup di dasar perairan laut dangkal, terutama di daerah tropis.


Terumbu karang di susun oleh karang-karang anthozoa dari kelas

Scelaratinia, termasuk hermatypic coral atau jenis-jenis karang


yang mampu memubuat bangunan atau kerangka karang dari
kalsium karbonat. Struktur bangunan batuan kapur tersebut
(CaCO3) cukup kuat, sehingga koloni karang mampu menahan
gaya gelombang air laut (Vaughan dan Wells, 1943).
Terumbu karang dapat dibedakan berdasarkan kepada
kemampuan memproduksi kapur menjadi dua kelompok yaitu
karang hermartifik dan karang ahermatifik. Karang hermatifik
adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang yang
dikenal menghasilkan terumbu, sedangkan karang ahermatipik
tidak menghasilkan terumbu (Supriharyono, 2000). Kemampuan
hermatypic corals membentuk bangunan kapur tidak lepas dari
proses hidup aktivitas fotosintesis oleh zooxanthellae yang dapat
memacu pengapuran (kalsifikasi) kerangka karang terutama
pada ujung-ujung cabang karang yang aktif. Zooxanthellae
adalah sejenis alga yang hidup di jaringan-jaringan polip
binatang karang dan bersimbiosis dengan karang tersebut.
Simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa
organik

melalui fotosintesis

yang akan dimanfaatkan oleh

karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik


berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup
zooxanthellae (Nontji, 1984).

Berdasarkan

geomorfologinya

Supriharyono

(2000)

menyatakan bahwa, ekosistem terumbu karang dapat dibagi


menjadi tiga tipe, yaitu:
1.

Terumbu karang tepi (fringing reef) adalah karang yang


berkembang mengelilingi pulau, jarak dari pantai bervariasi
antara 3-300 m, tumbuh subur di daerah yang cukup ombak
dengan kedalaman kurang dari 40 m. Hamparan tipe terumbu ini
banyak ditemukan di perairan tropis.

Gambar 2. Tipe terumbu karang tepi (fringing reef) (Sukmara


et.al, 2001)
2.

Terumbu karang penghalang (barrier reef) adalah karang


yang terletak sejajar pantai, namun dipisahkan oleh laut. Lebar
laut pemisah tersebut dapat mencapai 6 km hingga lebih dari
1000 m. Pada umumnya barrier reefs ini tumbuh di sepanjang
paparan (continental coast). Umumnya barrier reefs ini tumbuh
mengikuti panjang pantai dengan beberapa lokasi terputus oleh
berbagai ukuran saluran.

Gambar 3. Tipe terumbu karang penghalang (barrier reef)


(Sukmara et.al, 2001)
3.

Terumbu

karang

cincin

(atoll)

adalah

karang

yang

membentuk pulau dengan bentuk cincin di tengah lingkarannya,


cincin karang terdapat di perairan yang disebut goba (lagoon),
yang muncul dari perairan dalam dan jauh dari daratan. Banyak
terdapat di Samudera Pasifik.

Gambar 4. Tipe terumbu karang cincin (atoll) (Sukmara et.al,


2001)
Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi
atas karang Acropora dan non Acropora (English et al., 1994).
Perbedaan Acropora dengan non-Acropora terletak pada struktur
skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit

dan radial koralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki radial


koralit. Bentuk pertumbuhan karang Acropora ada 5 macam,
yakni karang bercabang (Branching Acropora), Acropora meja
(Tabulate Acropora), Acropora merayap atau kerak (Encrusting
Acropora), Acropora semi padat (Submassive Acropora), dan
Acropora

berjari

(Digitate

Acropora).

Bentuk

pertumbuhan

karang Non Acropora ada 8 bentuk, yaitu bentuk Bercabang


(Branching), bentuk Padat (Massive), bentuk kerak (Encrusting),
bentuk lembaran (Foliose), bentuk Jamur (Mushroom), bentuk
submasif (Submassive), karang api (Millepora), dan karang biru
(Heliopora) (Supriharyono, 2000).

Gambar 5. Skeleton Karang Acropora dan Non Acropora (English


et al., 1994)
Sesuai

dengan

fungsinya

dalam

bangunan

karang

(hermatype-ahermatype) dan, kepemilikannya atas alga simbion


(symbiont-asymbiont), karang dapat dibagi

dalam kelompok

berikut (Sorokin, 1993):


1. Hermatype-symbiont

adalah

kelompok

ini

meliputi

sebagian besar karang scleractinia pembangun terumbu.

2. Hermatype-asymbiont adalah karang-karang yang tumbuh


lambat ini dapat membangun skeleton kapur massif tanpa
pertolongan zooxanthellae, dimana mereka dapat hidup
pada lingkungan gelap, dalam gua, terowongan, dan
bagian yang dalam dari kontinental slope. Diantara mereka
adalah

dari

Scleractinia

asymbiont

Tubastrea

dan

Dendrophyllia, dan Hydrocoral Stylaster rosacea.


3. Ahermatype-symbionts adalah alga simbion namun bukan
pembangun kerangka kapur. Seperti Heteropsammia dan
Diaseris, dan juga karang Leptoseris (family Agaricidae),
4. Ahermatypes-asymbionts
pertumbuhan

lambat

adalah

dan

tidak

karang

yang

bersimbiosis

dengan

zooxanthellae, dan bukan pembangun kerangka kapur


massif. Untuk kelompok ini ada diantara beberapa spesies
Scleractinia dari genera Dendrophylla dan Tubastrea yang
memiliki polip kecil. Termasuk juga Hexacoral dari ordo
Antipatharia

dan

Corallimorpharia,

dan

Asymbiotic

octocoral.
Berdasarkan

prosentase

penutupan

karang,

menurut

Sunarto (2006) ekosistem terumbu karang digolongkan menjadi


4 (empat ) kondisi yaitu:
1.

Sangat Baik, penutupan karang hidup sebanyak 75%


-100%

2.

Baik, penutupan karang hidup sebanyak 50% -74.9%

3.

Sedang, penutupan karang hidup sebanyak 24.9% - 49.9%

4.

Buruk, penutupan karang hidup sebanyak 0% - 24.9%

III. MATERI DAN METODA

3.1

Alat dan Bahan


Peralatan yang digunakan adalah software Er mapper,

sedangkan bahan yang digunakan melakukan survey dalam


pemetaan adalah citra satelit Landsat-7 tahun 2006, Peta Rupa
Bumi Indonesia (RBI), hasil survey lapangan Bakosurtanal tahun
2010.
3.2

Metoda

3.2.1 Variabel
Variabel yang diukur adalah luas terumbu karang di Selat
Nasik, Kabupaten Belitung.
3.2.2 Prosedur Kegiatan
Prosedur kegiatan dapat dilihat pada gambar 6.

Layout peta

Transformasi
Lyzenga :
Klasifikasi
citra
Y = ln B1 + ki/kj
* ln B2 321
Penajaman

Citra Inderaja

Koreksi Geometrik
Training areaBand 1 dan Band 2

Citra Terkoreksi

Peta Rup

1
2
3

Varian dan Kovarian


(Band1, Band2)
Perhitungan nilai a
Perhitungan ki/kj

Gambar 6. Diagram alir proses pemetaan ekosistem terumbu


karang
dengan
menggunakan
pendekatan
penginderaan jauh.

3.2.3 Prosedur Pengolahan Data


3.2.3.1

Pra Pengolahan

3.2.3.1.1 Membuka Software ER Mapper


1.

Data citra dibuka dengan menjalankan program ER


Mapper. Dari menu Start

, di klik all program,

kemudian di klik ER Mapper 6.4 sehingga akan muncul


toolbox seperti di bawah ini :

Gambar 7. ER Mapper 6.4


2.

Kemudian klik menu FileNew untuk memunculkan jendela


(window) baru. Hal ini bisa dilakukan juga dengan mengklik
tombol

Gambar 8. Jendela (window) baru


3.

Lalu tampilkan dialog algoritma dengan mengklik


maka dialog algoritma seperti dibawah akan muncul:

4.

Gambar 9. Dialog Algoritma


Untuk menampilkan data, pada dialog algorithm, klik

tombol

, dialog Raster Dataset akan muncul.

Gambar 10. Dialog raster dataset


5. Bukalah file yang akan diolah dengan membuka tipe file ER
Mapper raster (.ers).
3.2.3.1.2 Koreksi Geometrik

Koreksi

geometrik

dilakukan

dari

peta

ke

citra.

Menentukan citra yang akan dikoreksi dan citra yang telah


dikoreksi sebagai dasarnya.
1.

Pada menu process pilih rectification, kemudian pilih define


ground control point,

Gambar 11. Proses rectification


2.

maka akan tampil GCP setup.

Gambar 12. GCP Setup


3.

Beri tanda V pada manual entry, pada teks FROM


Algorithm, isikan dengan data yang akan kita koreksi, klik
ok. Pilih titik yang akan dijadikan GCP. Setelah klik ok, akan
muncul GCP setup information.

Gambar 13. Setup GCP information


4.

Pada teks box TO geodatic datum isikan datum citra,


dengan menekan tombol icon open, dan memilih datum
yang sesuai. Pada teks box TO geodatic datum isikan
proyeksi citra, dengan menekan tombol icon open, dan
memilih

proyeksi

citra

yang

sesuai.

Pada

teks

TO

coordinates pilih easting atau northing untuk koordinat


UTM, pilih latitude atau longtitude untuk koordinat lintang
atau bujur. Pada teks box type of rectification pilih nominal.
Pada teks box rectification polynomial. Pada teks box
rectification sampling pilih nearest neightbor. Isikan nama
dataset pada teks box load GCP form dataset jika kita ingin
memasukan titik GCP dari suatu dataset tertentu dengan
cara menekan icon open. Isikan teks file pada teks box load
GCP form dataset jika kita ingin memasukan titik GCP dari
suatu teks file tertentu dengan cara menekan icon open.
Isikan dengan nama teks file pada teks box save GCP to
teks file, jika kita ingin menyimpan GCP yang kita buat ke

dalam suatu teks file tertentu dengan cara menekan icon


open. Klik ok kemudian akan muncul GCP edit dialog box
dan window image.
5.

Pilihlah titik yang akan dijadikan GCP dengan cara melihat


lokasi

yang

sama

pada

citra

dan

peta

dengan

menggunakan pointer dan koordinatnya dimasukan dengan


cara di ketik. Usahakan agar GCP yan dipilih memiliki nilai
RMS yang lebih kecil dari 0,5. Tekan tombol add GCP untuk
menambah GCP dan tekan delete GCP untuk menghapus
GCP yang kita pilih. Setelah membuat GCP secukupnya,
tekan tombol save untuk menyimpan GCP yang kita buat,
lalu klik ok.
6.

Proses rektifikasi pada menu process pilih rectification


kemudian pilih rectification kemudian pilih rectify dataset
using ground control point, kemudian akan muncul rectify
dataset dialog box.

Gambar 14. Rectify dataset dialog box

7.

Kemudian di klik icon input dataset

untuk memasukkan

nama file yang akan direktifikasi. Kemudian di klik icon


output dataset

dan di tulis nama file baru pada direktori

yang digunakan. Tombol setup kemudian di klik, maka akan


muncul kotak rectification setup.

Gambar 15. Rectification Setup


7.

Pada kotak dialog tersebut output null value cukup


dikosongkan. Pada kotak dialog output cell width dan
output cell height di isikan dengan angka yang di sesuaikan
dengan

citra

yang

digunakan.

Pada

kotak

dialog

resampling sebaiknya di isikan nearest neighbor. Hal ini


dikarenakan nilai spektralnya tidak akan banyak berubah.
Pada kotak dialog rectification type di isikan polynomial.
Pada kotak dialog polynomial orde di isikan linear karena
digunakan untuk daerah yang datar. Kemudian di klik close
pada kotak rectification setup. Kemudian klik ok pada kotak
dialog rectify dataset untuk memulai proses rektifikasi
3.2.3.1.3 Koreksi Radiometrik

Tampilkan citra dalam bentuk pseudocolor, tampilkan


algorithm dialog box pilih menu view dan klik algorithm atau icon

Gambar 16. Dialog algorithm


Perbanyak warna pseudo sesuai jumlah band masingmasing citra (untuk citra Landsat-7 ada 6 band) dengan cara
menekan tombol duplicat. Ganti nama masing-masing warna
pseudo sesuai dengan nama masing-masing band, sehingga
algorithm dialog box akan tampil. Klik edit transform limits
sebelah kanan (selanjutnya kita sebut grafik II), ganti nilai yang
ada menjadi 0 sampai 255, kemudian enter. Lakukan langkah ini
sampai band terakhir.
Non aktifkan seluruh band dengan cara menekan tombol
turn on atau off. Aktifkan kembali band 1 kemudian klik edit
transform limits sebelah kiri (selanjutnya kita sebut grafik I)
tekan linear, lalu tekan go. Klik grafik II, ubah nilai actual limit
menjadi 0 sampai 255 dengan cara menggeser histogram pada
grafik I lalu tekan go. Klik grafik II dan lihat nilai actual limitnya,
jika sudah cocok non aktifkan band tersebut dan beralih ke band

selanjutnya. Jika belum cocok geser kembali histogram yang ada


pada grafik I hingga nilainya menjadi 0 sampai 255. Setelah
seluruh band memiliki nilai 0 sampai 255, aktifkan kembali
seluruh band, tekan go. Simpan file dengan cara memilih save as
dataset pada menu file. Hitung dan tampilkan nilai statistiknya.
3.2.3.1.4 Komposit warna
Menggunakan karekteristik band atau saluran dalam citra
yang digunakan untuk pemetaan terumbu karang. Buka file yang
akan dilakukan komposit warna. Klik kanan color mode, lalu pilih
red green blue. Buat RGB 542, klik go untuk menjalankan
perintah. Kemudian simpan file dengan tipe file ER Mapper
algorithm (.alg).

Gambar 17. Komposit warna


3.2.3.2

Pengolahan

3.2.3.2.1 Training Area


1.

Buka file RGB 542. Buat training area minimal 30 region


pada daerah yang diperkirakan merupakan terumbu karang
atau perairan dangkal dengan warna homogen.

region

yang dibuat tidak perlu luas tetapi harus menyebar. Klik

edit kemudian klik edit/create region. Setelah selesai


membuat 20 region dan di simpan.
Untuk menyimpan kedalam dataset

Untuk membuat poligon region-region

Untuk memberi.., dst nama region : r1, r2,

Gambar 18. Tools edit/create region


2.

Lakukan penghitungan statistik. Klik Process lalu klik


calculate statistics. Pada pesan dataset isikan file tipe ER
Mapper raster (.ers). Pada sub sampling interval tandai box
Force recalcuate stats.

Gambar 19. calculate statistics


3.

Tampilkan hasil perhitungan statistik dan simpan dalam file


berkode txt. Klik view lalu klik statistic, lalu klik mean
summary reports. Pada pesan input dataset pilih file yang
telah di calculate statistic file tipe ER Mapper raster (.ers).
Pada pesan band List : pilih band 1 dan 2 (tekan Ctrl utk
pilihan lebih dari 1). Klik Print/Save Klik File only. Ketik
nama file untuk menyimpan hasil perhitungan statistik file
tipe (.txt).

Gambar 20. Report setup dan report display


4.

Hitung nilai koefisien attenuasi (ki/kj). Aktifkan program


Microsoft Excel, buka file hasil calculate statistic, yang
berisi informasi nilai band 1 dan band 2 dari region yang
telah kita buat pilih file tipe (.txt). Lalu cari nilai-nilai berikut
ini :
-

Varian Band 1, Varian Band 2 dan Covarian Band1 dan


Band 2
- a
= (varian band1 varian band2)/(2 x covarian
band1 band 2)
- a2 + 1
ki/kj = SQRT(a2 + 1) + a
Simpan file ini menjadi nama dengan format .xls.
3.2.3.2.2 Membuat layout
1. Buka program Arc View dari start menu atau di dekstop
yang sudah ada maka di layar akan muncul jendela :

Gambar 21. Tampilan awal Arc View


2. pilih as blank project lalu klik ok.

Gambar 22. Tampilan as blank project


3. Aktifkan ekstensi register and transform tool, dan JPEG
(JFIF) Image support melalui: menu file kemudian klik
extension, beri tanda pada kedua box nama extension
tersebut, lalu klik ok.

Gambar 23. Kotak dialog extension

4. Project Windows, Klik 2x icon Layout

Gambar 24. Icon Layout


5. Klik icon View Frame
6. Tentukan ukuran besaran peta tersebut

Gambar 25. View frame properties


a.

7. Pada View Frame Properties:


Pilih tampilan yang diinginkan pada View

b.

Tentukan skala pada Scale Automatic

c.

Preserve View Scale : Manual

d.

User Specified Scale : Zoom All


8. Ok.
9. Untuk merubah View Legend:
a.
Klik Legend
b.
Graphics; Ungroup atau Ctrl + U
10.
Untuk merubah teks:
a. Klik 2x Teks pada Legenda

b. Ganti dengan Teks Lain pada Text Properties


c. Ok.
11. Menampilkan Skala :
a. klik icon scale bar frame
b. scale bar properties
c. pilih nama file pada view frame
d. pilih jenis skala pada style
e. pilih satuan pada unit
f. pilih interval skala pada interval (khusus untuk skala
batang)
g. pilih berapa banyak jumlah batang pada interval
h. pilih berapa banyak jumlah batang sebelah kiri angka
0 pada left divisions, lalu ok.
Menampilkan Arah Utara :
a. Klik icon north arrow
b. Pilih Arah Utara pada north arrow manager, lalu ok
Mengubah Ukuran Kertas :
a. menu layout
b. page setup

12.
13.

3.3

Analisis Data

3.3.1 Transformasi Lyzenga


Buka dataset citra yang akan diproses untuk terumbu
karang, klik formula editor (E = mc2). Lalu masukan formula
berikut:
If i3/i2<=1 then log(i1) + (ki/kj * log(i2)) else null

Gambar 26. Formula editor

Isikan nilai ki/kj berdasarkan hasil perhitungan pada microsoft


excel. Tekan apply changes. Pada pesan input 1, isi dengan band
1. Input 2 isi dengan band 2. Input 3 isi dengan band 4. Klik
refresh kemudian ganti color table menjadi rainbow. Tampilan
darat akan berubah menjadi hitam. Zoom pada daerah yang
terumbu karang yang paling jernih. Lalu atur stretching dengan
menggeser batas maksimum dan minimum pada histogram.
Sehingga banyak perubahan warna pada terumbu karang dan
pada laut sedikit perbedaan warnanya (bandingkan kondisinya
dengan menggunakan algoritma komposit 421 dan 542). Simpan
tampilan algoritma tersebut dalam file tipe ER Mapper algorithm
(.alg). Tampilkan seluruh dataset. Simpan dataset ini menjadi
nama baru dalam tipe file ER Mapper raster (.ers). Pada pesan
null value, hapus angka 0 (none).

3.3.2 Klasifikasi
Buka file hasil algoritma lyzenga,

yaitu file ER Mapper

raster (.ers). Klik process, lalu klik classification, klik isoclass


unsupervised. Isikan seperti dialog box berikut.

Gambar 27. Kotak dialog pada unsupervised classfication


Buka file hasil klasifikasi, RGB dan file hasil algoritma
lyzenga. Lalu lakukan klasifikasi/pengelompokan kelas. Klik edit
lalu klik edit clas/region color names. Lakukan pengeditan warna
kelas berpedoman pada file hasil lyzenga dan RGB.
3.3.3 Re-klas
Dilakukan

untuk

mengelompokkan

kelas-kelas

hasil

klasifikasi yang semula 20 kelas menjadi hanya 5 kelas saja,


yaitu karang, awan , pasir, daratan dan laut. Klik E=mc2, ketik
rumus sebagai berikut :
if (i1=1) then 4 else if (i1>=2 and i1<=10) then 5 else if
(i1>=11 and i1<=14) then 1 else if (i1>=15 and i1<=17) or
(i1>=19 and i1<=20) then 3 else if (i1=18) then 2 else null
Klik apply changes, simpan dengan nama file baru dengan
tipe file ER Mapper raster (.ers). Ganti warna kelas sesuai dengan
urutan kelas yang diinginkan, misal sbb :
Kelas
Kelas
Kelas
Kelas
Kelas

1
2
3
4
5

:
:
:
:
:

Karang
Awan
Pasir
Daratan
Laut

=
=
=
=

cyan
hijau
kuning
hitam
= biru tua.

Aktifkan software wordpad, lalu buka file yang sudah


dilakukan tahpa re-klas, kemudian hapus region info untuk kelas
ke 6 20 (karena kita hanya butuh 5 kelas saja). Kembali ke ER
Mapper, lalu buka file yang sudah dilakukan tahap re-klass,
sesuaikan warna kelima kelas, kemudian simpan.

DAFTAR PUSTAKA
English, S., C.Wikinson and V.Barker. 1994. Survey Manual For
Tropical Marine Resources. Australian Institute of marine
Science. Townsville, Australia.
Howard, J. 1996. Penginderaan Jauh Untuk Sumber Daya Hutan.
Gadjah Mada Unversity Press, Yogyakarta.
Khakhim, N. 2003. Pendekatan Sel Sedimen (Sediment Cell)
Sebagai
Acuan
Penataan
Ruang
Wilayah
Pesisir
manggunakan
Teknologi
Penginderaan
Jauh.
Nrl_khakim@yahoo.com.
Lillesand, Thomas M., dan Ralph W. Kieffer. 1990. Penginderaan
jauh dan Interpretasi Citra. Gadjah Mada Unversity Press,
Yogyakarta.
Prahasta, E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi
Geografis. Informatika. Bandung.
Prahasta, E. 2008. Remote Sensing: Praktis Penginderaan Jauh
Dan Pengolahan Citra Digital Dengan Perangkat LunakEr
Mapper. Informatika, Bandung.

Sorokin, I. 1993. Coral Reef Ecology. Springer-Verlag. Berln


Heidelberg.
Sulistyo, B. 2010. Analisis Spasial Perubahan Garis Pantai di
Pesisir Pemalang Melalui Pemanfaatan Teknologi Citra
Satelit. Skripsi. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
Sukmara, A., A.J. Siahainenia & C. Rotinsulu. 2002. Panduan
Pemantauan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat dengan
Metode Manta Tow. Departemen Kelautan dan Perikanan &
Coastal Resources Center University of Rhode Island,
Jakarta.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang.
Djambatan, Jakarta. Hal 118
Sutanto. 1994. Penginderaanjauh Jilid 1. Gadjah Mada Unversity
Press, Yogyakarta.
Wijaya, S. 2005. Aplikasi Penginderaan Jauh Dengan Citra Satelit
Quickbird
Untuk
Pemetaan
Mangrove
Di
Pulau
Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
PENGGUNAAN ARCVIEW GIS DAN ER MAPPER DALAM
PEMBUATAN PETA LAUT

NABIGH NABIYL
AKBAR RANGGA MAHISTA
DIDIK RYAN MAHRIBI

H1K011050
H1K010056
H1K010066

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
FAKULTAS SAINS SAIN DAN TEKNIK
JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
PURWOKERTO
2012

Anda mungkin juga menyukai