Anda di halaman 1dari 65

1992

International Standard Serial Number: 0125 913X

Daftar Isi :
2. Editorial
4. English Summary

Karya Sriwidodo

5. Pendekatan Diagnostik Penyakit Reumatik Harry Isbagio


10. Kriteria Diagnostik Penyakit Reumatik Caecilia R. Padang, AR
Nasution, Harry Isbagio
15. Prinsip Dasar Penatalaksanaan Gangguan Reumatik Harry
Isbagio
18. Peranan Analisis Cairan Sendi dalam Diagnosis Penyakit Sendi
HM Adnan
25. Strategi Pengobatan Medikamentosa Penyakit Reumatik Harry
Isbagio
32. Peranan Obat Antiinflamasi Non Steroid terhadap Nyeri dan Inflamasi pada Penyakit Reumatik Harry Isbagio
36. Efek Samping Obat Antiinflamasi Non Steroid AR Nasution
40. Sindrom Dermatitis-Artritis Gonoreal Diseminata Djunaedi
Hidajat, Farida Zubier, Adhi Djuanda
43. Perkembangan Penyakit Jantung Koroner pada Anak Effendy
Salim, JMCh Pelupessy
47. Aspek Psikologi Pasca Serangan Jantung Ratna Dewi S., Iwan N.
Boestan
52. Manula dan Olahraga ditinjau dari Sistem Kardiovaskular
Hadi Hartono, Iwan N. Boestan
57. Proses Keputusan Terapi dan Masalah dalam Pemakaian Obat
Abraham Simatupang
61. Humor
62. Abstrak
64. RPPIK

Dengan makin meningkatnya harapan hidup manusia, penyakit-penyakit


degeneratif akan bertambah penting peranannya dalam usaha mempertahankan
kualitas hidup.
Salah satu penyakit yang sangat berpengaruh terhadap mobilitas manusia
ialah penyakit sendi; penyakit ini, kendati dapat ditimbulkan oleh bermacammacam penyebab, gejala dan keluhan yang diderita tidak banyak berbeda; selain
itu kadang-kadang menimbulkan pula gejala/manifestasi ekstraartikuler berupa
kelainan di organ-organ lain. Oleh karena itu, pendekatan diagnostik penyakit
sendi tidak selalu mudah; riwayat penyakit, sendi (-sendi) yang terkena, perjalanan penyakitnya harus diketahui dengan tepat, ditunjang dengan pemeriksaan
tambahan yang tepat.
Hal-hal itulah yang dibahas oleh para pakar reumatologi dalam Cermin
Dunia Kedokteran edisi ini; mulai dari pendekatan klinis dan laboratorium,
sampai pada pemilihan obat-obat antiinflamasi yang tepat dengan selalu
mempertimbangkan efek samping yang mungkin timbul.
Artikel lain yang juga penting untuk dibaca ialah mengenai Penyakit
Jantung Koroner; tiga artikel yang berasal dari Ujungpandang dan Surabaya
akan membahas hal tersebut, termasuk efek psikologik yang mungkin timbul.
Sebagai penutup adalah artikel mengenai pengambilan keputusan terapi
dan masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat.
Selamat membaca.

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

1992

International Standard Serial Number: 0125 913X

KETUA PENGARAH
Dr Oen L.H
KETUA PENYUNTING
Dr Budi Riyanto W
PELAKSANA
Sriwidodo WS

REDAKSI KEHORMATAN
Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro
Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

Prof. Dr. R.P. Sidabutar

TATA USAHA
Sigit Hardiantoro
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran
P.O. Box 3105 Jakarta 10002
Telp. 4892808
Fax. 4893549, 4891502

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam


Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo


Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
PENCETAK
PT Midas Surya Grafindo

Prof. DR. B. Chandra


Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Surabaya.

Prof. Dr. R. Budhi Darmojo


Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang.

Drg. I. Sadrach
Lembaga Penelitian Universitas Trisakti,
Jakarta

DR. Arini Setiawati


Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta,

REDAKSI KEHORMATAN
DR. B. Setiawan

Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSe.

Drs. Oka Wangsaputra

Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

DR. Ranti Atmodjo

DR. Susy Tejayadi

PETUNJUK UNTUK PENULIS


Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut.
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau
dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan


yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted
to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
William and Wilkins, 1984; Hal 1749.
Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran
P.O. Box 3105
Jakarta 10002
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan
amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis.
Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

English Summary
PRINCIPLES OF MANAGEMENT IN
RHEUMATIC DISEASES

SIDE EFFECTS OF NOSTEROIDAL


ANTI INFLAMMATORY DRUGS

DEVELOPMENT OF CORONARY
HEART DISEASE IN CHILDREN

Harry Isbagio

AR Nasution

Effendy Salim, J.M. Ch. Pelupessy

Rheumatology Subdivision, Department


of Internal Medicine, Faculty of Medicine,
University of Indonesia/Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia.

Rheumatology Subdivision, Department


of Internal Medicine, Faculty of Medicine,
University of Indonesia/Cipto Mangunkusumo General Hospffal, Jakarta, Indonesia

Department of Child Health, Faculty of


Medicine, Hasanuddin University, Ujung
Pandang, Indonesia.

Although there were more than


100 different joint diseases, the
general management in acute
phase is basically similar.
In early stages, the principles
of management are to obtain
pain relief, to preserve joint
functions and to prevent disabilities. Pain relief can be obtained
through rest, splinting, intraarticular injections and oral medications; while physiotherapy and/
or hydrotherapy should prevent
disabilities.
Referral tothe rheumatologist
should be considered when the
disease persists for more than
three months, or become chronically disabling.

The use of nonsteroidal anti


inflammatory drugs becomes
increasingly more common.
While the efficiency of different drugs is comparable,the side
effects could be variable. Those
side effects mainly affect the
gastrointestinal tracts, haemopoetic system, urinary tracts, skin
and the liver.
Since particularly there is no
absolutely safe nonsteroidal anti
inflammatory drugs, it is important to select the most appropriate drugs for each patient, and
to monitor closely the signs of
side effects.

Cermin Dunia Kedokt. 1992; 78 :15- 7


brw

Cermin Dunia Kedokt. 1992 ; 78 : 36-9


brw

Coronary heart disease is a


disease due to the narrowing of
the coronary artery by atherosclerosis. The pathological
changes which lead to atherosclerosis begin in infancy and
progress during childhood. The
main risk factors leading to
atherosclerosis include hyperlipidemia, hypertension and
cigarette smoking. Atherosclerosis is characterized by thickening of the intima. At postmortem
examination, the earliest macroscopic lesion is the presence of
the fatty streak, which is an accumulation of lipid - predominantly cholesterol, both extracellulariy in the intima and intracellularly in the foam cells.
This fatty streak will develop to
atheromatous plaque which can
narrow the coronary artery. The
major hypothesis proposed as
the pathogenesis of atherosclerosis are the lipid infiltration and
the endothelial injury theory.
Cermin Dunia Kedokt. 1992; 78:43-6
ef/jmp

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Artikel
Pendekatan Diagnostik
Penyakit Reumatik
Harry Isbagio
Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
R.S. Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Hingga kini dikenal lebih dari 100 macam penyakit sendi
yang seringkali memberikan gejala yang hampir sama. Oleh
karena itu pendekatan diagnostik sangat diperlukan agar didapatkan diagnosis yang tepat, sehingg akhirnya penderita
memperoleh penatalaksanaan yang adekuat.
Perlu diingat pula bahwa gangguan reumatik dapat merupakan manifestasi artikuler dari berbagai penyakit dan sebaliknya beberapa penyakit reumatik mempunyai manifestasi
ekstra-artikuler pada berbagai organ.
Sebagaimana halnya dengan penyakit lain maim dalam
melakukan pendekatan diagnostik hams melalui tahap-tahap
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Pada makalah ini akan dibahas langkah-langkah pendekatan diagnostik tersebut dengan lebih menekankan pada kelainan
sendinya.

interfalang distal = DIP, sendi interfalang proksimal = PIP, sendi


metakarpofalangeal = MCP, sendi karpalis, sendi metatarsofalangeal = MTP dan sendi tarsalis merupakan kelompok sendi
kecil yang dihitung sebagai satu sendi walaupun yang terserang
beberapa sendi. Contoh : bila yang diserang sendi PIP II, PIP
III, PIP IV dan PIP V baik secara serentak atau berurutan maka
dihitung hanya sebagai 1 sendi yang terserang.
5. Poliartritis : artritis yang menyerang lebih dari 4 sendi atau
kelompok sendi kecil.
6. Sinovitis : inflamasi sinovia sendi yang klinis nyata.
7. Tenosinovitis : inflamasi sarung tendon.
8. Tendinitis : inflamasi tendon.
9. Bursitis: inflamasi bursa.
10. Entesopati : inflamasi atau kelainan dari entesis (tempat
melekatnya ligamen, tendon, atau kapsul sendi ke periosteum
tulang).

TERMINOLOGI
Sebelum melangkah lebih lanjut maka sebaiknya terlebih
dahulu mengenal berbagai terminologi yang sering digunakan
dalam bidang penyakit reumatik. Hal ini diperlukan untuk kesamaan pengertian agar kita tidak rancu dalam menggunakannya.
Berbagai istilah yang perlu diketahui ialah :
1. Artralgia : merupakan keluhan subyektif berupa rasa nyeri
di sekitar sendi, pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan.
2. Artritis : kelainan sendi obyektif, berupa inflamasi sendi
disertai tanda inflamasi yang komplit (tumor, rubor, kalor,
dolor, gangguan fungsi).
3. Monoartritis : artritis yang hanya mengenai satu sendi saja.
4. Oligoartritis/pausi-artikuler : artritis yang menyerang 2
sampai 4 sendi atau kelompok sendi kecil. Dalam hal ini sendi

RIWAYAT PENYAKIT
Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal
diagnosis semua penyakit, termasuk pula penyakit reumatik.
Sebagaimana biasanya diperlukan riwayat penyakit yang
deskriptif dan kronologis; ditanyakan pula faktor yang memperberat penyakit dan hasil pengobatan untuk mengurangi keluhan
penderita.
a. Umur
Penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapi
frekuensi dari setiap penyakit berbeda-beda pada berbagai kelompok umur. Misalnya osteoartrosis lebih sering ditemukan
pada penderita usia lanjut dibandingkan dengan usia muda. Sebaliknya lupus eritematosus sistemik lebih sering ditemukan
pada wanita usia muda dibandingkan dengan kelompok usia
lainnya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Pada tabel 1 dapat dilihat berbagai penyakit reumatik yang


sering ditemukan pada berbagai kelompok umur.
Tabel 1.

Frekuensi penyakit reumatik pads berbagai kelompok umur

Penyakit Still
Spondilitis ankilosis
Penyakit Reiter
Demam reumatik
Artritis pads kolitis ulseratif
Artritis septik
Gonokok
Stafilokok dan infeksi lainnya
Artritis Gout
Lupus erimatosus sistemik
Artritis reumatoid
Polimiositis
Skleroderma
SLE akibat obat
Penyakit Paget
Osteoartritis
Pfllimialgia reumatika
Penyakit deposit Kalsium pirofosfat
Osteopenia
Mestastasis karsinoma atau
mieloma multipel

Usia
muds
(225 thn)

Usia
pertengahan
(3050 thn)

Usia
IanJut
(65+)

+
++
++
++
+

+/
+
+
+
++

+/

++
+
+/
+++
++
+
+
+

+
++
++
++
++
++
++
+
+
+

+
+/

+/
+++
++
+
++
++
++
+++
++
+++
++
+++
+++

+++

Keterangan :
= Hampir tak pernah terjadi, +/ = sangat jarang, + = jarang,
++ = sering terjadi, + ++ = sangat sering terjadi

b. Jenis kelamin
Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin berbeda pada beberapa kelompok penyakit. Pada tabel 2 dapat
dilihat perbedaan tersebut.
Tabel 2.

Perbedaan Jenis kelamin pads penyakit reumatik

Artritis reumatoid
Lupus eritematosus sistemik
Spondilitis ankilosis
Penyakit Reiter
Artritis psoriatik
Artropati intestinal
Artropati reaktif
Artritis Gout
Osteoartritis coxae
Osteoatrosis lutut & Langan

Pria < Wanita (1 : 3)


Pria < Wanita
Pria > Wanita
Pria > Wanita
Pria < Wanita
Pria = Wanita
Pria = Wanita
Pria > Wanita
Pria = Wanita
Pria < Wanita

c.

Nyeri sendi
Nyeri sendi merupakan keluhan utama penderita reumatik.
Penderita sebaiknya diminta menjelaskan lokasi dari nyeri serta
punctum maximumnya, karena mungkin sekali nyeri tersebut
merupakan penjalaran dari tempat lain. Nyeri tajam yang menjalar ke tempat jauh merupakan keluhan karakteristik yang disebabkan oleh penekanan dari radiks saraf.
Penting untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanikal dengan nyeri yang disebabkan inflamasi.
Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang setelah istirahat
serta tidak timbul pada pagi hari merupakan tanda nyeri mekanik.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Sebaliknya nyeri inflamasi akan bertambah berat pada pagi hari


saat bangun tidur dan disertai kaku sendi atau nyeri yang hebat
pada awal gerak dan berkurang setelah melakukan aktivitas.
Pada artritis reumatoid nyeri paling berat biasanya pada
pagi hari, membaik pada siang hari dan sedikit lebih berat pada
malam hari. Sebaliknya pada osteoartritis nyeri paling berat pada
malam hari, pagi hari terasa lebih ringan dan membaik pada siang
hari. Pada artritis gout nyeri yang terjadi biasanya berupa serangan yang hebat pada waktu bangun pagi hari, sedangkan
malam hari sebelumnya penderita tidak merasakan apa-apa,
rasa nyeri ini biasanya self limiting dan sangat responsif dengan
pengobatan.
Nyeri malam hari terutama bila dirasakan seperti suatu
regangan merupakan nyeri akibat peninggian tekanan intraartikuler akibat dari suatu nekrosis avaskuler atau kolaps tulang
akibat artritis yang berat.
Nyeri yang menetap sepanjang hari (siang dan malam)
pada tulang merupakan tanda dari proses keganasan.
d. Kaku sendi
Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa
sukar untuk menggerakkan sendi (worn off). Keadaan ini biasanya akibat desakan cairan yang berada di sekitar jaringan yang
mengalami inflamasi (kapsul sendi, sinovia atau bursa).
Kaku sendi makin nyata pada pagi hari atau setelah
istirahat. Setelah digerak-gerakkan maka cairan akan menyebar
dari jaringan yang mengalami inflamasi dan pasien merasa
terlepas dari ikatan (wears off).
Lama dan beratnya kaku sendi pagi hari atau setelah
istirahat biasanya sejajar dengan beratnya inflamasi sendi (kaku
sendi pada artritis reumatoid lebih lama dari osteoartritis; kaku
sendi pada artritis reumatoid berat lebih lama daripada artritis
reumatoid ringan).
e.

Bengkak sendi dan deformitas


Pasien sering mengalami bengkak sendi, perubahan wama,
perubahan bentuk atau perubahan posisi dari struktur ekstremitas. Biasanya yang dimaksud pasien dengan deformitas ialah
posisi yang salah, dislokasi atau subluksasi.
f.

Disabilitas dan handicap


Disabilitas terjadi apabila suatu jaringan, organ atau sistem
tidak dapat berfungsi secara adekuat.
Handicap terjadi bila disabilitasmengganggu aktivitas
seharihari, aktivitas sosial atau mengganggu pekerjaan/jabatan
si penderita. Disabilitas yang nyata belum tentu menyebabkan
handicap (seorang yang diamputasi kakinya di atas lutut mungkin tidak akan mengalami kesukaran bila pekerjaan yang bersangkutan dapat dilakukan sambil duduk saja). Sebaliknya
disabilitas ringan justru dapat mengakibatkan handicap.
Gejala sistemik
Penyakit sendi inflamatif baik disertai maupun tidak disertai
keterlibatan multisistem lainnya akan mengakibatkan peningkatan fase akut reaktan seperti peninggian LED atau CRP. Selain
itu akan disertai gejala sistemik seperti panas, penurunan berat
badan, kelelahan, lesu dan mudah terangsang. Kadang-kadang

g.

pasien mengeluh hal yang tidak spesifik, seperti merasa tidak


enak badan. Pada orang usia lanjut sering disertai gejala
kekacauan mental.

sum. Kemerahan disertai deskuamasi pada kulit di sekitar sendi


menunjukkan adanya inflamasi periartikuler, yang sering pula
merupakan tanda dari artritis septik atau artritis kristal.

h. Gangguan tidur dan depresi


Faktor yang beiperan dalam gangguan pola tidur antara
lain : nyerikronik, terbentuknya fase akut reaktan, obat antiinflamasi nonsteroid (indometasin). Pada artropati berat terutama pada coxae dan lutut akan berakibat gangguan aktifitas
seksual yang akhirnya menimbulkan problem perkawinan dan
sosial.
Perlu diperhatikan pula adanya gejala depresi terselubung
seperti retardasi psikomotor, konstipasi, mudah menangis dan
sebagainya.

d. Kenaikan suhu sekitar sendi


Pada perabaan dengan menggunakan punggung tangan
akan dirasakan adanya kenaikan suhu di sekitar sendi yang
mengalami inflamasi.

PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan jasmani khusus pada sistem muskuloskeletal
meliputi : Inspeksi pada saat diam/istirahat
Inspeksi pada saat gerak
Palpasi
a. Sikap/postur badan
Perlu diperhatikan bagaimana cara penderita mengatur posisi dari bagian badan yang sakit. Sendi yang meradang
biasanya mempunyai tekanan intraartikuler yang tinggi, oleh
karena itu penderita akan berusaha menguranginyadengan
mengatur posisi sendi tersebut seenak mungkin, biasanya
dalam posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering diganjal
dengan bantal. Pada sendi bahu (glenohumeral) dengan cara
lengan diaduksi dan endorotasi, mirip dengan waktu
menggendong tangan dengan kain pada fraktur lengan.
Sebaliknya bila dilakukan abduksi dan eksorotasi maka
penderita akan merasa sangat kesakitan karena terjadi
peningkatan tekanan intraartikuler. Ditemukannya postur badan
yang membongkok ke depan disertai pergerakan vertebra yang
terbatas merupakan gambaran khas dari spondilitis ankilosis.
b. Deformitas
Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan
diam, tetapi akan lebih nyata pada keadaan gerak. Perlu dibedakan apakah deformitas tersebut dapat dikoreksi (misalnya
disebabkan gangguan jaringan lunak) atau tidak dapat dikoreksi
(misalnya restriksi kapsul sendi atau kerusakan sendi).
Berbagai dformitas di lutut dapat terjadi antara lain genu
varus, genu valgus, genu rekurvatum, subluksasi tibia posterior
dan deformitas fleksi. Demikian pula deformitas fleksi di siku.
Pada jari tangan antara lain boutonniere finger, swan neck
finger, ulnar deviation, subluksasi sendi metakarpal dan pergelangan tangan. Pada ibu jari tangan ditemukan unstable Zshaped thumbs.
Pada kaki ditemukan telapak kaki bagian depan melebar dan
miring ke samping disertai subluksasi ibujari kaki ke atas. Pada
pergelangan kaki terjadi valgus ankle.
c. Perubahan kulit
Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau
penyakit kulit sering pula disertai penyakit reumatik. Kelainan
kulit yang sering ditemukan antara psoriasis dan eritema nodo

e. Bengkak sendi
Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan lunak
atau tulang.
Cairan sendi yang terbentuk biasanya akan menumpuk di
sekitar daerah kapsul sendi yang resistensinya paling lemah dan
mengakibatkan bentuk yang khas pada tempat tersebut, misalnya :
1) Pada efusi lutut maka cairan akan mengisi cekungan medial
dan kantong suprapatelar mengakibatkan pembengkakan di atas
dan sekitar patela yang berbentuk seperti ladam kuda.
2) Pada sendi interfalang pembengkakan terjadi pada sisi
posterolateral di antara tendon ekstensor dan ligamentum kolateral bagian lateral.
3) Efusi sendi glenohumeral akan mengisi cekungan segitiga
di antara klavikula dan otot deltoid di alas otot pektoralis.
4) Pada efusi sendi pergelangan kaki akan terjadi pembengkakan pada sisi anterior.
Bulge sign ditemukan pada keadaan efusi sendi dengan
jumlah cairan yang sedikit dalam rongga yang terbatas. Misalnya
pada efusi sendi lutut bila dilakukan pijatan pada cekungan
medial maka cairan akan berpindah ke sisi lateral patela dan
kemudian berpindah sendiri ke sisi medial.
Balloon sign ditemukan pada keadaan efusi dengan jumlah
cairan yang banyak, bila dilakukan tekanan pada satu titik akan
menyebabkan penggelembungan di tempat lain. Keadaan ini
sangat spesifik pada efusi sendi.
Pembengkakan kapsul sendi merupakan tenth spesifik dari
sinovitis. Pada pembengkakan tergambar batas dari kapsul sendi
yang makin nyata pada pergerakan dan teraba pada pergerakan
pasif.
f.

Nyeri raba
Menentukan lokasi yang tepat dari nyeri raba merupakan
hal yang penting untuk menentukan penyebab dari keluhan
pasien.
Nyeri raba kapsuler/artikuler terbatas pada daerah sendi
merupakan tanda dari artropati atau penyakit kapsuler.
Nyeri raba periartikuler agak jauh dari bates daerah sendi
merupakan tanda dari bursitis atau entesopati.
g. Pergerakan
Pada pemeriksaan perlu dinilai luas gerak sendi pada keadaan pasif dan aktif dan dibandingkan kiri dan kanan.
Sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak sendi
pada semua arah. Tenosinovitis atau lesi periartikuler hanya
menyebabkan berkurangnya gerak sendi pada satu arah saja.
Artropati akan memberikan gangguan yang sama dengan sinovitis. Bila gerakan pasif lebih Iuas dibandingkan dengan gerak-

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

an aktif maka kemungkinan ada gangguan pula pada otot atau


tendon.
Nyeri gerak merupakan tanda diagnostik yang bermakna.
Nyeri ringan hingga sedang yang meningkat tajam bila dilakukan
gerakan semaksimal mungkin sampai terasa tahanan disebut
sebagai stress pain. Bila didapatkan stress pain pada semua arah
gerak, maka keadaan tersebut merupakan tanda khas untuk
sinovitis. Stress pain terbatas pada satu arah saja merupakan
tanda khas untuk gangguan yang berasal dari luar sendi (tenosinovitis). Nyeri yang dirasakan sama kualitasnya pada semua arah
gerak sendi, lebih menunjukkan gangguan mekanik dari nyeri
inflamasi.
Resisted active movement merupakan suatu cara pemeriksaan untuk menemukan adanya gangguan periartikuler. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan cara pasien melawan gerakan yang
dilakukan oleh tangan pemeriksa, akibatnya terjadi kontraksi
otot tanpa disertai gerakan sendi. Bila timbul rasa nyeri maka hal
tersebut berasal dari otot, tendOn atau insersi tendon, misalnya
pada :
1) Tahanan pada aduksi sendi coxae yang mengakibatkan
timbulnya rasa nyeri pangkal paha merupakan tanda tendititis
aduktor.
2) Tahanan pada abduksi glenohumeral yang mengakibatkan
timbulnya rasa nyeri pada lengan atas merupakan tanda gangguan otot supraspinatus dan lesi pada tendon.
3) Tahanan pada ekstensi siku yang menyebabkan nyeri pada
epikondilus lateralis merupakan tanda dari tennis elbow.
Sama halnya dengan di atas maka pada passive stress test,
bila pasien mengikuti gerakan dari tangan pemeriksa akan
timbul rasa nyeri sebagai akibat dari regangan ligamen atau
tendon, misalnya uji Finkelstein pada tenosinovitis De Quervain
(passive stress dari otot abduktor policis longus dan ekstensor
policis brevis menimbulkan rasa nyeri).
h. Krepitus
Krepitus merupakan bunyi berderak yang dapat diraba
sepanjang gerakan dari struktur yang terserang.
Fine crepitus (krepitus halus) yang dapat didengar dengan
menggunakan stetoskop dan tidak dihantarkan ke tulang di
sekitarnya. Keadaan ini ditemukan pada radang sarung tendon,
bursa atau sinovia.
Coarse crepitus (krepitus kasar) dapat terdengar dari jauh
tanpa bantuan stetoskop dan dapat diraba sepanjang tulang.
Keadaan ini disebabkan kerusakan rawan sendi atau tulang.
i.

Bunyi lainnya
Ligamentous snaps merupakan suara tersendiri yang keras
tanpa rasa nyeri. Keadaan ini merupakan hal yang biasa terdengar sekitar femur bagian atas sebagai clicking hips.
Cracking merupakan bunyi yang diakibatkan tarikan pada
sendi, biasanya pada sendi jari tangan, kcadaan ini disebabkan
terbentuknya gelembung gas intraartikuler. Cracking tidak dapat
diulang selama bebcrapa menit scbelum gas tersebut habis discrap.
Cloncking merupakan suara yang ditimbulkan oleh permukaan- yang tidak teratur (irregular), suara ini ditemukan

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

misalnya pada gesekan antara skapula dengan iga.


j.

Atrofi dan penurunan kekuatan otot


Atrofi otot merupakan tanda yang sering ditemukan. Path
sinovitis segera terjadi hambatan reflex spinal lokal terhadap
otot yang bekerja untuk sendi tersebut. Pada artropati berat
dapat terjadi atrofi periartrikuler yang luas. Sedangkan pada
jepitan saraf, gangguan tendon atau otot terjadi atrofi lokal.
Perlu dinilai kekuatan otot, karena ini lebih penting dari
besar otot.
k. Ketidak stabilan/goyah
Sendi yang tidak stabil/goyah dapat terjadi karena proses
trauma atau radang pada ligamen atau kapsul sendi. Pada artropati dapat terjadi sendi goyah sebagai akibat kerusakan rawan
sendi atau inflamasi kapsul atau ruptur ligamen. Perlu dibandingkan sendi yang goyah dengan sendi sisi lainnya.
l.

Gangguan fungsi
Fungsi sendi dinilai dengan observasi pada penggunaan
normal; seperti bangkit dari kursi dan berjalan dapat digunakan
untuk menilai sendi coxae, lutut dan kaki. Kekuatan genggam
dan ketepatan menjepit benda halus untuk menilai tangan.
Sedangkan aktivitas hidup sehari-hari (Activities of daily
living = ADL) seperti menggosok gigi, buang air besar,
memasak dan sebagainya lebih tepat ditanyakan dengan
kuestioner daripada diperiksa langsung.
Selain pemeriksaan khusus pada sendi maka perlu dilakukan
pemeriksaan jasmani secara umum untuk mencari berbagai
manifestasi luar sendi.
a. Nodul
Nodul sering ditemukan pada berbagai artropati, umumnya
ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan, siku,
tumit belakang, sakrum). Nodul sering ditemukan pada artritis
gout (tofi) dan artritis reumatoid (nodul reumatoid).
b. Perubahan kuku
Perubahan kuku sering ditmukan pada penyakit reumatik,
antara lain :
1. Jari penabuh (clubbing finger) berhubungan dengan osteoartropati hipertrofik pulmoner dan alveolitis fibrotik.
2. Thimble pitting onycholysis (lisis kuku berbentuk lubang)
dan distrofi kuku berhubungan dengan artropati psoriatik dan
penyakit Reiter kronik.
3. Serpihan berdarah (splinter haemorrhages) pada vaskulitis
pembuluh darah kecil.
c. Lesi membrana mukosa
Keadaan ini sering tanpa gejala (pada penyakit Reiter atau
artropati reaktif) atau dengan gejala Oupus eritematosus sistemik, vaskulitis, Sindrom Behcet). Perlu diperhatikan adanya
ulkus pada oral, genital dan mukosa hidung dan telangiektasia.
d. Gangguan mata
Gangguan mata meliputi :
1) Episkleritis dan skleritis pada artritis reumatoid, vaskulitis
dan polikondritis.

2.
2)
3)

Iritis pada spondilitis ankilosis dan penyakit Reiter kronik.


Iridosiklitis pada artritis juvenil kronik jenis pauciartikuler.
Konjungtivitis pada penyakit Reiter akut dan sindrom sika.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PROSEDUR


DIAGNOSTIK
Dalam tabel 3 dapat dilihat pemeriksaan yang perlu dilakukan pada penderita dengan gejala rematik generalisata.
Tabel 3.

Pemeriksaan laboratorium dan prosedur diagnostik pada


penyakit muskuloskeletal

A. Selalu atau hampir selalu dikerjakan


1. Pemeriksaan Darah Tepi lengkap.
2. Endap Darah.
3. Kalsium, Fosfor, Fosfatase Alkali serum
4. Aram urat dan kreatinin serum
5. Protein return atau elektroforesis protein.
6. Foto sinar X Langan atau sendi lain, sesuai gambaran klinik.
B. Dikerjakan bits diperlukan
1. Faktor reumatoid
2. ANA
3. Triiodotironin (T3) dan Tiroksin (T4)
4. Analisis cairan sendi
5. Prosedur diagnostik lainnya, seperti artrogram.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan :


1) Laju endap darah meningkat dengan bertambahnya usia,
sehingga nilai sekitar 4050 mm/jam masih dapat ditemukan
pada orang usia lanjutyang masih sehat.
2) Kadar fosfatase asam perlu diperiksa pada penderita pria
dengan keluhan nyeri pinggang (metastasis karsinoma prostat).
3) Kadar Ca, P dan Fosfatase Alkali untuk membedakan
hiperparatiroid dengan artritis generalisata.
4) Elektroforesisprotein untukmembedakandengan mieloma
multipel.
5) Kadar asam urat serum untuk mencari kemungkinan penyakit gout, sedangkan kreatinin untuk menilai fungsi ginjal.
6) Kadar T3 dan T4 untuk mencari kemungkinan kelainan
tiroid.
7) ANA diperiksa pada penderita dengan artritis generalisata
yang menyerang sendi kecil disertai nram kulit, gangguan
hematologik dan ginjal.
8) Pada pemeriksaan Faktor Reumatoid penderita AR perlu
diingat bahwa frekuensi RF (+) meningkat pula dengan bertambahnya usia.
9) Foto sinar X dapat membedakan kelainan sistemik atau
lokal. Untuk mencegah pemeriksaan yang berlebihan, usahakan/pilihlah sendi yang paling perlu dilakukan pemeriksaan
tersebut.
10) CT Scan terutama untuk kelainan di vertebra seperti
fraktur, kelainan diskus, spinal stenosis dan sebagainya.
11) Scanning tulang (Bone Scan) dengan Technetium dikerjakan bila ada kecurigaan keganasan tulang primer atau metastasis.
12) Artrografi, terutama pada lutut, dapat menentukan adanya
robekan meniskus, nodul sinovia dan kista poplitea. Pada bahu
dapat menentukan robekan rotator cuff.

13) Artroskopi, terutama di lutut, dapat melihat penyakit intraartikuler, sekaligus dapat dilakukan biopsi.
14) Analisis cairan sendi sebagai pembantu diagnostik; dapat
dibagi dalam 3 kelompok.
a) Nilai diagnostik yang pasti :
1. Pewarnaan Gram dan kultur bakteriologik memastikan
septik artritis.
2. Kristal : menentukan pseudogout dan gout.
b) Nilai diagnostik kurang pasti : yaitu pemeriksaan jumlah dan
jenis dari sel, yang dapat membedakan antara keadaan normalinflamasi-septik, tetapi belum dapat menentukan jenis penyakit.
c) Nilai diagnostik masih dipertanyakan seperti viskositas,
test bekuan musin, kadar glukosa, faktor reumatoid dan
kompleks imun dalam cairan sendi.
15) Biopsi sinovia dapat mendiagnosis tumor, keadaan seperti
tumor (sinovitis vilonodular), tuberkulosis dan jamur.
16) Biopsi tulang dapat mendiagnosis stadium awal penyakit
metabolik tulang. Selain itu pada orang usia lanjut dengan nyeri
tulang generalisata dengan/tanpa kompresi fraktur vertebra,
biopsi tulang dapat membedakan antara osteoporosis, osteomalasia dan hiperparatiroid.
KESIMPULAN
Dengan mengkombinasikan antara umur, jenis kelamin,
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang maka kita dapat mempersempit diagnosis.
Pemeriksaan penunjang yang berlebihan tidak diperlukan
apabila dari riwayat penyakit, pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan laboratorium yang ditentukan sudah dapat dibuat
diagnosis.
Dengan diagnosis yang tepat kita dapat merencanakan
pengelolaan pasien dengan lebih baik.

KEPUSTAKAAN
1.
2.

3.
4.
5.
6.

Bossingham D, Dun N. Examination and treatment in rheumatic disease.


Medicine International 1985; 8: 933.
Calkins E, Papademetriou T et al. Muskuloskeletal diseases in the elderly.
In: The practice of the geriatrics. Calkins E et al. (eds.). Philadelphia,
London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo, Hongkong: WB. Saunders
Co. 1989. p. 386.
Doherty M, Bax DE. Principle of the examination of a patient with rheumatic
disease. Medicine International 1990; 3: 3085.
Mc. Carty DJ. Differential diagnosis of arthritis; Analysis of signs and
symptoms. In: Arthritis and Allied Conditions. McCarty DJ et al (eds.).
Tenth ed. Philadelphia: Lea & Febiger 1985, p. 40.
Michet CJ, Hunder GG. Examination of the joints. In: Textbook of Rheumatology. Kelley WN et al. (eds.). Third ed. Philadelphia, London, Toronto,
Montreal, Sydney, Tokyo: WB. Saunders Co. 1989, p. 425.
Schumacher HR. Evaluation of the patient with symptoms of rheumatic
disease. In: Primer of the Rheumatic Disease. Schumacher HR et al. (eds.).
Ninth ed. Atlanta GA: Arthritis Foundation. 1988, p. 51.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Kriteria Diagnostik Penyakit Reumatik


Cecilia R Padang, A R Nasution, Harry Isbagio
Subbagian Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
R.S. Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Dalam menegakkan diagnosis penyakit Reumatik sering ditemui kesulitan karena tidak adanya panduan yang jclas. Untuk
itu para pakar mencoba menyusun bcbcrapa kriteria untuk
menyeragamkan diagnosis penyakit Reumatik dari berbagai
pusat.
Pengertian kriteria sangat bervariasi. Beberapa istilah yang
digunakan adalah diagnostic criteria, criteria for guidance in
the diagnosis, dan preliminary criteria for the classification.
Sesungguhnya kriteria dibuat agar dapat digunakan sebagai
penuntun dalam mengklasifikasi gejala penyakit untuk memastikan diagnosis dan juga berperan dalam penemuan klinik
tidak hanya untuk mendiagnosis penyakit secara individu. Yang
hams diperhatikan adalah ketentuan-ketentuan dari berbagai
kriteria berdasarkan teknik analisis yang memerlukan sejumlah
variabel untuk mendapatkan suatu perbe0daan kelompok yang
baik. Jadi tidak hanya untuk menegakkan diagnosis penderita
tanpa memperhatikan jumlah informasi yang diperlukan.
Kriteria yang tercantum di bawah ini telah dikembangkan
sesuai dengan beberapa tujuan. Satu kelainan/pcnyakit mempunyai kriteria untuk :
1. Klasifikasi sekelompok penderita (misalnya dari survai
populasi, seleksi untuk studi pengobatan, atau analisis hasil
perbandingan penderita antar institusi).
2. Diagnosis penderita secara individu.
3. Perkiraan frekuensi penyakit dan/atau beratnya penyakit
(survai epidemiologi) termasuk remisi.
4. Alat bantu dalam menentukan prognosis.
Kriteria yang dibuat bersifat empirik dan tidak bertujuan
untuk memasukkan atau menyingkirkan suatu diagnosis yang
sesuai pada penderita tertentu. Kriteria ini sangat berarti untuk
menentukan standard dalam membandingkan kelompok penderita dari pusat yang berbeda termasuk penemuan klinik dan

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

percobaan pengobatan.
Kriteria yang ideal mutlak sensitif dan mutlak spesifik.
Mutlak sensitif yaitu : semua penderita yang mempunyai kelainan ditemukan pemeriksaan fisik dan test laboratorium yang
sama. Mutlak spesifik yaitu : kelainan yang ditemukan dan test
yang positif tidak pernah ditemukan pada penyakit lain. Biasanya, makin sensitif suatu pcnemuan, makin kurang spesifisitasnya dan sebaliknya. Pada kritcria yang tclah ditcgakkan,
dilakukan seleksi atas kemungkinan kombinasi antara sensitivitas dan spesifisitas. Diharapkan kriteria dapat dipakai untuk
menambah ilmu pengetahuan dan berguna untuk klasifikasi
penyakit serta sebagai konsep pada perubahan patofisiologi.
Di bawah ini dikemukakan beberapa kriteria diagnostik
yang disusun olch American Rheumatism Association (ARA)
yang telah direvisi sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran.
KRITERIA DIAGNOSTIK DAN KLASIFIKASI ARTRITIS REUMATOID
A. Kriteria Diagnostik (1958)
1) Kaku pagi hari
2) Nyeri pada pergerakan atau nyeri tekan paling sedikit pada
satu sendi yang diamati oleh pemeriksa.
3) Pembengkakan yang disebabkan karena penebalan jaringan
lunak atau cairan (bukan pembesaran tulang) paling sedikit pada
satu sendi yang diamati oleh pemeriksa.
4) Pembengkakan pada paling sedikit satu sendi lain yang
diamati oleh pemeriksa dan masa bebas gejala dari kedua sendi
yang terkena tidak lebih dari tiga bulan.
5) Pembcngkakan sendi yang simetris (diamati oleh pemeriksa) dan terkenanya sendi yang sama pada kedua sisi yang
timbulnya bersamaan. Bila yang terkena sendi proximal inter-

falangeal bilateral, metakarpofalangeal metatarsofalangeal bilateral, simetris mutlak tidak diperlukan. Sendi distal interfalangeal tidak termasuk dalam kriteria.
6) Nodul subkutan (diamati oleh pemeriksa) pada tonjolantonjolan tulang, permukaan extensor atau pada daerah juxtaartikuler.
7) Pemeriksaan radiologi menunjukkan perubahan khas dari
artritis reumatoid. Harus didapati dekalsifikasi pada atau dekat
dengan sendi yang terkena, tidak hanya perubahan degenerasi.
Perubahan-perubahan degenerasi tidak menyingkirkan adanya
artritis reumatoid.
8) Test aglutinasi faktor reumatoid positif.
9) Bekuan mucin yang buruk pada cairan sinovia (dengan
gumpalan seperti awan). Adanya inflamasi cairan sinovia disertai dengan 2000 sel darah putih/mm3 atau lebih tanpa
kristal, dapat dimasukkan dalam kriteria ini.
10) Perubahan histologi yang khas pada sinovia dengan tiga
atau lebih tanda berikut ini: sedikit hipertrofi villus, proliferasi
sel permukaan sinovial, sering disertai palisading, sedikit
infiltrasi sel inflamasi kronik (limfosit atau sel plasma) dengan
kecenderungan terbentuknya lymphoid nodules; terlepasnya
fibrin pada permukaan atau interstitial; nekrosis sentral.
11) Perubahan histologi yang khas pada nodul menunjukkan
fokus granulomatous dengan nekrosis scntral, dikelilingi olch
suatu palisade yang terdiri dari proliferasi mononuklear,
fibrosis perifer dan infiltrasi sel inflamasi kronis.
B. Klasifikasi Artritis Reumatoid
1) Reumatoid Klasik
Harus terdapat 7 dari kriteria tersebut di atas.
Kriteria 1 sampai 5 tanda dan gejala sendi harus berlangsung terus menerus paling sedikit selama 6 minggu. Jika
ditemukan salah satu tanda dari daftar yang tidak termasuk
artritis reumatoid, maka penderita tidak dapat digolongkan
dalam kelompok ini.
2) Reumatoid Definit
Harus terdapat 5 dari kriteria di atas.
Kriteria 1 sampai 5 tanda (Jan gejala sendi harus berlangsung terus menerus paling sedikit 6 minggu.
3) Probable Rheumatoid Arthritis
Kemungkinan artritis reumatoid
Hams terdapat 3 dari kriteria di atas. Paling sedikit satu dari
kriteria 1 sampai 5 tanda atau gejala sendi harus bcrlangsung
terus menerus paling sedikit 6 minggu.
4) Possible Rheumatoid Arthritis
Diduga artritis reumatoid
Harus terdapat 2 dari kriteria berikut ini, dan lamanya gejala
sendi paling sedikit 3 bulan.
1. Kaku pagi hari
2. Nyeri tekan atau nyeri gerak (diamati oleh pcmeriksa)
dengan riwayat rekurensi atau menetap selama 3 minggu.
3. Riwayat atau didapati adanya pembengkakan sendi.
4. Nodul subkutan (diamati oleh pcmeriksa).
5. Peningkatan Laju Endap Darah atau C-Reaktif Protein.
6. Iritis (diragukan sebagai kriteria l.oxuali pada Juvenile

Arthritis)
5) Yang tidak termasuk RA
1. Butterfly rash yang khas pada Lupus Eritematosus Sistemik.
2. Konsentrasi LE sel tinggi atau jelas mendcrita SLE.
3. Periartritis Nodosa yang jclas pada pemcriksaan terdapat
nekrosis arterial.
4. Kelemahan atau bengkak yang menetap pada leher, tubuh,
dan otot-otot faring (polimiositis atau dermatomiositis).
5. Skleroderma yang jelas (sklerosis sistemik) tidak hanya
terbatas pada jari jari.
6. Gambaran klinis khas dcmam reumatik disertai arlritis
migrasi dan adanya endokarditis.
7. Gambaran klinis khas artritis gout, bersifat akut, nycri dan
bengkak pada satu sendi atau lebih tcrutama bila membaik
dengan kolkhisin.
8. Toil gout.
9. Gambaran klinis khas artritis infektif yang disebabkan olch
bakteri atau virus disertai dcmam, menggigil dan artritis akut
yang biasanya berpindah-pindah (pada stadium awal).
10. Pemeriksaan baktcriologik dan histologik ditemukan tuberkulosis pada satu sendi.
11. Gambaran klinis khas Sindrom Reiter discrtai dengan
uretritis, konjungtivitis, dan artritis akut yang pada mulanya
berpindah-pindah.
12. Gambaran klinis khas shoulder hand syndrome (reflex
sympathetic dystrophy syndrome). Bahu dan tangan yang terkena unilateral, disertai pembengkakan difus pada tangan yang
diikuti dengan atrofi dan kontraktur.
13. Gambaran klinik khas hypertrophir, ostcoarthropathy disertai clubbing jari atau hipertrofi periostitis sepanjang tulangtulang panjang, terutama jika terdapat lesi intrapulmonal atau
gangguan lain yang berhubungan.
14. Gambaran klinik khas neuroarthropati (misal: Charcot
joint) discrtai kondensasi dan destruksi tulang termasuk sendi
dan didapati gangguan neurologik yang sesuai.
15. Asam homogentisik dalam urine (alkaptonuria), terdeteksi
jelas dengan alkalinisasi.
16. Gambaran histologik sarkoid atau test Kveim positif.
17. Mieloma multipel, dibuktikan dengan peningkatan plasma
sel dalam sumsum tulang atau dengan protein Bence Jones
dalam urine.
18. Gambaran kulit khas eritema nodosum.
19. Leukemia atau limfoma dengan sel yang khas dalam darah,
sumsum tulang, atau jaringan.
20. Agammaglobulinemia.

KRITERIA DIAGNOSTIK ARTRITIS REUMATOID


MENURUT "AMERICAN RHEUMATISM ASSOCIATION" (REVISED, 1987)
Untuk mcnegakkan diagnosis Artritis Reumatoid harus
didapati 4 atau lebih kriteria berikut ini :
1) Kaku pagi hari selama paling sedikit I jam dan sudah
bcrlangsung paling sedikit 6 minggu.
2) Pembengkakan pada 3 sendi atau lebih selama paling sedikit

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 11

6 minggu.
3) Pembengkakan pergelangan tangan, sendi metakarpofalang, atau interfalang proksimal selama 6 minggu atau lebih.
4) Pembengkakan sendi yang simetris.
5) Pemeriksaan radiologi tangan menunjukkan perubahan
khas artritis reumatoid; harus didapati erosi atau dekalsifikasi
tulang yang nyata.
6) Nodul reumatoid.
7) Serum faktor Reumatoid positif.
KRITERIA REMISI PADA ARTRITIS REUMATOID
Lima atau lebih dari syarat di bawah ini hams dipenuhi dan
hams berlangsung paling sedikit 2 bulan.
1) Lamanya kaku pagi hari tidak lebih dari 15 menit.
2) Tidak ada kelelahan.
3) Menumt riwayat tidak ada nyeri sendi.
4) Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak.
5) Tidal( ada pembengkakan jaringan lunak pada sendi atau
sarung tendon.
6) Laju Endap Darah (Westergreen) kurang dari 30 mm/jam
untuk wanita atau 20 mm/jam untuk pria.
Kriteria ini dapat digunakan baik untuk remisi spontan atau
remisi karena obat. Kriteria ini digunakan pada penderita yang
telah memenuhi kriteria ARA dan termasuk dalam Artritis
Reumatoid definit atau klasik.
KRITERIA DIAGNOSTIK "JUVENILE RHEUMATOID
ARTHRITIS" (JRA)
Pandangan Umum
Team pcnyusun kriteria JRA pada tahun 1982 memperbaharui (revisi) kriteria tahun 1977 dan menetapkan bahwa
Juvelile Rheumatoid Arthritis adalah nama yang digunakan
untuk bentuk utama dari artritis kronis pada anak-anak dan
dibagi atas 3 onset subtipe yaitu: sistemik, poliartikuler, dan
pausiartikuler. Onset subtipe dibagi lagi menjadi beberapa kelompok.
Kriteria Umum untuk Diagnosis JRA
A. Artritis pada satu sendi atau lebih yang menetap paling
sedikit 6 mineeu.
B. Tidal( ditemukan pcnyebab artritis lain.
Onset subtipe JRA
Onset subtipe ditentukan oleh manifestasi penyakit selama
6 bulan dan tetap merupakan klasifikasi utama walaupun
manifestasi-manifestasi yang mirip dengan subtipe lain dapat
timbul kemudian.
A. JRA onset sistemik : subtipe ini adalah JRA yang disertai
dengan demam intermiten yang menetap (suhu intermiten
sepanjang hari dapat mcncapai 103F atnu lebih), disertai atau
tidak disertai adanya ruam reumatoid atau gangguan organ lain.
Jika ditemukan adanya demam dan ruam yang khas tanpa artritis
dapat dipikirkan kemungkinan JRA onset sistemik (probable
systemic onset JRA). Sebclum diagnosis pasti ditegakkan, harus
ditemukan adanya artritis.

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

B. JRA onset pausiartikuler : Subtipe ini adalah JRA dengan


artritis pada 4 sendi atau kurang selama 6 bulan pertama sakit.
Penderita dengan systemic onset JRA tidak termasuk dalam
subtipe ini.
C. Poliartikuler JRA : Subtipe ini adalah JRA disertai artritis
pada 5 sendi atau lebih selama 6 bulan pertama sakit. Penderita
dengan systemic onset JRA tidak termasuk dalam subtipe ini.
D. Yang termasuk dalam onset subtipe :
1) Systemic onset (SO)
a. poliartritis
b. oligoartritis
2) Oligoartritis (00) (pausiartikuler onset)
a. anti.-nuklear antibodi (ANA) positif, uveitis kronik.
b. faktor reumatoid positif.
c. HLA B-27 positif.
d. tidak termasuk klasifikasi lain.
3) Poliartritis (PO)
a. faktor reumatoid positif.
b. tidak termasuk klasifikasi lain.
Tidak termasuk (Exclusion)
A. Penyakit rematik lain
1. Demam Rematik
2. Lupus Eritematosus Sistemik
3. Spondilitis Ankilosis
4. Polimiositis dan dermatomiositis
5. Sindrom Vaskulitik
6. Sklerodcrma
7. Artritis Psoriatik
8. Sindrom Reiter
9. Sindrom Sjogren
10. Mixed Connective Tissue Diseases (MCTD)
11. Sindrom Behcet
B. Artritis Infeksi
C. Inflamasi gastrointestinal (inflammatory bowel disease)
D. Penyakit neoplasma termasuk leukemik
E. Kelainan non-rematik pada tulang dan sendi
F. Penyakit hematologi
G. Artralgia psikogenik
H. Lain-lain :
1. Sarkoidosis
2. Hypertrophic osteoarthropathy
3. Sinovitis Vilonodulcr
4. Hepatitis kronik aktif
5. Familial Mediterranean Fever

Terminologi lain
Arthritis Kronik Juvenil (JCA) dan Artritis Juvenil (JA)
adalah istilah diagnosis baru yang digunakan untuk artritis pada
masa kanak-kanak. Diagnosis JCA dan JA tidak sama satu
dengan yang lain, demikian juga dengan JRA lama atau penyakit
Still.

KRITERIA JONES SEBAGAI PENUNTUN DIAGNOSIS


DEMAM REUMATIK (REVISED)
KRITERIA MAJOR
1. Karditis
2. Poliartritis
3. Chorea
4. Eritema marginatum
5. Nodul subkutan

KRITERIA MINOR
1. Demam
2. Artralgia
3. Pernah menderita demam
rematik atau penyakit jantung rematik
4. LED meningkat atau CRP
positif
5. PR interval memanjang

Dalam menegakkan diagnosis demam rematik harus


ditemukan 2 kriteria major atau 1 kriteria major ditambah 2
kriteria minor, yang masing-masing disokong oleh meningkatnya kadar ASTO. Pada anamnesis biasanya ada riwayat sakit
tenggorokan berulang.
KRITERIA UNTUK KLASIFIKASI SLE (REVISED)
1) Malar rash, berupa eritema yang jelas, datar atau
menonjol, pada eminentia malar, cenderung menyebar ke
lipatan nasolabial.
2) Discoid rash, bercak-bercak eritema yang menonjol
dengan sisik keratotik yang berlapis, dan sumbatan folikel.
Parut atrofi dapat terjadi pada lesi lama.
3) Fotosensitivitas, adanya ruam kulit akibat reaksi terhadap
sinar matahari yang dilihat oleh pemeriksa atau berdasarkan
anamnesa.
4) Ulkus Oral, ulkus yang terdapat di oral atau nasofaring,
biasanya tidak terlalu sakit dan terlihat oleh pemeriksa.
5) Artritis, artritis tanpa erosi mengenai 2 atau lebih sendi
perifer, ditandai dengan adanya nyeri tekan, bengkak atau adanya cairan dalam sendi.
6) Serositis
a) Pleuritis; jelas dalam anamnesis adanya riwayat nyeri
pleuritik atau ronkhi yang terdengar oleh pemeriksa atau adanya
efusi pleura
atau
b) Perikarditis berdasarkan pemeriksaan EKG atau rub atau
adanya pericardial effusion.
7) Gangguan ginjal
a) Proteinuria yang menetap lebih dari 0,5 gram/hari atau
lebih dari 3+ pada pemeriksaan kwalitatif
atau
b) Sedimen, dapat bcrupa sel darah merah, hemoglobin,
granuler, tubuler atau campuran.
8) Gangguan Neurologis
a) Kejang yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau kelainan metabolik seperti : uremia, ketoasidosis, gangguan
elektrolit
atau
b) Psikosis, yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau
kelainan metabolik.
9) Gangguan Hematologis

a)

Anemia hemolitik dengan retikulositosis


atau
b) Leukopenia kurang dari 4000/mm3 total pada 2 atau lebih
pemeriksaan
atau
c) Limfopenia kurang dari 1500/mm3 pada 2 atau lebih
pemeriksaan
atau
d) Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3 pada 2 atau
lebih pemeriksaan.
10) Gangguan Imunologis
a) LE sel positif
atau
b) Anti-DNA: abnormal
atau
c) Anti-Sm: terdapat antibodi terhadap Sm nuklear antigen
atau
d) false positive terhadap test scrologi syphilis selama 6 bulan
dan dikonfirmasi dengan Triponema pallidum Immobilization
atau Fluorescent treponemal antibody absorption test.
11) Antibodi Anti Nuklear
Titer abnormal pada pemeriksaan sewaktu dengan immunofluoresens atau metode yang secara dan pada saat pemeriksaan
tidak mendapat pengobatan dengan ohat yang menginduksi
terjadinya sindrom lupus.
Klasifikasi berdasarkan 11 kriteria. Dalam studi klinik,
untuk menegakkan diagnosis SLE harus didapati 4 atau lebih
dari 11 kriteria di atas yang timbulnya berurutan atau serentak
selama periode observasi.

KALENDER PERISTIWA
June 28 July 1, 1992
5th Asean Otorhinolaryngological Head and
Neck Congress
Jakarta, INDONESIA
Secr.: Damayanti Soetjipto MD
Rumah Sakit THT PERHATI
Jl. Proklamasi 42c
Jakarta 10320, INDONESIA
December 79, 1992
Third Western Pacific Congress on
Chemotherapy and Infectious Diseases
Nusa Dua, Bali, INDONESIA
Secr.: Clinical Pharmacology Unit
Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital/
University of Indonesia
Jalan Diponegoro 71
Jakarta 10002 INDONESIA

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 13

KRITERIA KLf1SIFIKASI ARTRITIS GOUT


A. Adanya kristal urat yang khas dalam cairan sendi.
B. Tofi yang mengandung kristal urat yang dibuktikan dengan
pemeriksaan kimiawi atau mikroskop polarisasi.
C. Ditemukan 6 dari 12 fenomena klinik, laboratorium, dan
sinar X yang tercantum di bawah ini :
1) Lebih dari satu kali serangan artritis akut
2) Inflamasi maksimal terjadi dalam s:.ttu hari
3) Serangan artritis pada saw sendi (monoartritis)
4) Terlihat kemerahan pada sendi
5) Sandi Metatarsofalang I nycri dan bc:ngkak
6) Serangan satu sisi termasuk MTP I
7) Serangan satu sisi termasuk sendi tarsal
8) Kecurigaan adanya tofi
9) Hiperurisemia
10) Pembengkakan asimetrik pada satu sendi (dengan sinar X)
11) Kista subkortikal tanpa erosi (sinar X)
12) Tidak ditemukan kuman pada saat serangan dan inflamasi.
Dengan adanya berbagai kriteria tersebut diharapkan para
dokter dapat mengurangi penyimpangan diagnosis dari berbagai
penyakit reumatik sehingga pengobatan dan pencegahan ter-

hadap disabilitas dapat lebih terarah.


KEPUSTAKAAN
1. Ropes MW, Bennett GA, Cobb Set al. 1958 Revision of diagnostic criteria
for rheumatoid arthritis. Bull Rheum Dis 1958; 9: 175-6.
2. Blumberg B, Bunim JJ, Calkins et al. ARA nomenclature and classification
of arthritis and rheumatism (tentative). Arthritis Rheum 1964; 7: 93-7.
3. Amett FC, Edworthy S, Block DA et al. The 1987 revised ARA criteria for
rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1987; 30: S17.
4. JRA Criteria Subcommittee of the Diagnostic and Therapeutic Criteria
Committee of the American Rheumatism Association. Current proposed
revisions of the IRA criteria. Arthritis Rheum 1977; 20 (suppl): 195-9.
5. Ansell BW. Chronic arthritis in childhood. Ann Rheum Dis 1978; 37:
107-20.
6. Fink CW. Keynote address: Arhtritis in childhood, Report of the 80th Ross
Conference in Pediatric Research. Columbus, Ross Laboratories, 1979, pp
1-2.
7. Stollerman GH, Markowitz M, Taranta A, et al. Jones criteria (revised) for
guidance in the diagnosis of rheumatic fever. Circulation 1965; 32: 664-8.
8. Tan EM, Cohen AS, Fries IF, et al. The 1982 revised criteria for the
classification of systemic lupus erythematosus (SLE). Arthritis Rheum
1982; 25: 1271-7.
9. Wallace SL, Robinson H, Masi AT, et al. Preliminary criteria for the
classification of the acute arthritis of primary gout. Arthritis Rheum 1977;
20: 895-900.

I don't know who my grandfather was,


I am much more concerned to know what hisgrandson wade
(Abraham Lincoln)
14 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Prinsip Dasar Penatalaksanaan


Gangguan Reumatik
Harry Isbagio
Subbagian Reumatologi Bagian Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
R.S. Dr. Ciplomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Walaupun dikenal lebih dari 100 macam penyakit reumatik,
secara umum penatalaksanaan untuk mengatasinya hampir sama.
Pada keadaan awal penderita dapat ditangani oleh dokter
umum, kecuali pada keadaan gawat darurat seperti pada artritis
septik. Konsultasi pada seorang ahli diperlukan untuk keadaan
inflamasi sendi yang tidak khas diagnosisnya, untuk mendapat
suatu second opinion pada keadaan artritis yang menetap lebih
dari 3 bulan dan pada keadaan kronik.
Umumnya insidens dari penyakit seperti artritis reumatoid,
spondiloartropati seronegatif dan penyakil. jaringan ikat Iainnya
tidaklah begitu besar, yang lebih sering ditemukan ialah osteoartritis, reumatik non-artikuler dan penyakit gout. Dengan
demikian pada sebagian besar kasus dapat diobati dengan
menggunakan prinsip pengobatan dasar.
LANGKAH PENATALAKSANAAN
Langkah penatalaksanaan gangguan reumatik dapat dibagi
dalam 3 tahap, (tabel 1) yaitu :
1) Lesi akut
2) Artritis persiten
3) Destruksi sendi
Sedangkan jenis pengobatan yang diberikan meliputi hal
sebagai berikut :
1) Pengobatan medikamentosa
2) Pengobatan bedah
3) Program rchabilitasi
Tujuan dalam pengobatan gangguan reumatik meliputi :
1) Mengurangi nyeri sendi
2) Memelihara fungsi sendi
3) Mencegah terjadinya cacad/disabilitas
Sedangkan pada tabel 2, dapat dilihat cara untuk mencapai
tujuan pengobatan gangguan reumatik.

Tabel 1.

Langkah Penatalaksanaan Gangguan Reumatik

Tahap
Lesi akut

Medik

Analgetik
Obatanti
inflamasi nonsteroid
Aspirasi cairan
sendi
Suntikan intraartikuler
Artritis persisten OAINS
Obat remitif
Suntikan
kortikosteroid
intraartikuler
Destruksi sendi Analgetik

Bedah
"Drainage"
Traksi

Rehabilitasi
Istirahat
Bidai,collar
Es
Latihan sedcrhana

Sinevcktomi
Alat hantu
Reparasi tendon Pcnyesuaian pola
Eksisi tulang
kerja
Bidai kerja
Proteksi sendi
Ganti sendi
Tongkat
(joint
Kursi rods
replacement)
Penyesuaian diri
Bantuan finansial.

1. MENGURANGI NYERI SENDI


Istirahat
Makna istirahat tidak boleh dilupakan. Penderita dengan lesi
akut harus istirahat total di tempat tidur. Pendcrita dengan lesi
kronik hams melakukan penyesuaian diri dalam pekerjaannya
sehingga tidak terlalu lelah, cukup istirahat dan tidur nyenyak
pada malam hari.
Umumnya penderita patuh selama dirawat di rumah sakit,
tetapi mereka perlu mendapat dorongan untuk mempertahankan
hal tersebut bila sudah kembali ke masyarakat.
Bidai
Bidai pada keadaan akut sangat membantu mengurangi
rasa nyeri dan mencegah deformitas, terutama pada wadi lutut,
tangan, pergelangan tangan dan siku.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 15

Tabel 2.

Cara Mcncapai Tujuan Pengobatan Cangguan Reumatik


Tujuan

1.

Menghilangkan rasa nyeri

2.

Memelihara fungsi sendi

3.

Mencegah cacad/disabilitas

Cara
Istirahat, traksi
Bidai, collar
Aspirasi cairan sendi
Suntikan kortikosteroid intraanikuler
Analgetik
OAINS
Ganti sendi
Es
Latihan sendi
Bidai, collar, korsct
Ilidroterapi
Kesegaran tubuh
Proteksi
Identifikasi, penilaian
Alat bantu
Penyesuaian diri
Iatihan kerja ulang
Bantuan finansial

Penggunaan bidai baku atau simple soft collar dapat dipertimbangkan, walaupun yang paling ideal ialah plaster dari Paris.
Traksi mungkin diperlukan bila ada gangguan panggul,
pinggang atau tengkuk.
Aspirasi Sendi dan Suntikan Intraartikuler
Aspirasi pada sendi yang membengkak akut sangat dianjurkan, selain dapat mengurangi rasa nyeri juga berguna untuk
diagnosis.
Suntikan kortikosteroid intraartikuler atau ke jaringan
lunak sangat bcrhasil mengurangi rasa nyeri.
Drainage surgikal terutama pada artritis septik sangat
membantu pengobatan.
Obat
Pada keadaan inflamasi maka obat antiinflamasi non steroid
lebih efektif dari analgetik. Adanya efek samping pada traktus
gastrointestinal, ginjal dan kulit perlu dijelaskan pada penderita
terutama yang usia lanjut.
Penggunaan obat lokal transdermal mungkin lebih cocok
untuk sejumlah penderita, selain itu dapat mengurangi risiko
perdarahan gastrointestinal.
Bedah
Bedah ortopedi, baik pada jaringan lunak atau rekonstruksi
pada awal artritis atau joint replacement memberikan hasil yang
sangat memuaskan dalam menghilangkan rasa nyeri.

beban ringan. Dokter dapat mengajarkan latihan ringan, sedangkan fisioterapist melakukan latihan yang lebih kompleks.
Untuk cedcra jaringan Iunak perlu sekali pengawasan sebelum kembali berolah raga atau bekerja, disertai dengan latihan
jangka panjang.
Pada keadaan kronik maka latihan untuk kesegaran jasmani
dan menjaga ukuran badan (penurunan berat badan) perlu dilakukan.
Hidroterapi
Latihan di dalam air sangat berguna untuk mengembalikan
kekuatan dan stamina. Latihan di bawah pengawasan fisiotcrapist dalam kolam dengan suhu antara 3436C sangat
ideal, terutama untuk anak dan usia lanjut. Di dalam kolam
renang, pengaruh gravitasi berkurang sehingga sangat baik
untuk menguatkan otot atau bila ada lesi tulang (fraktur atau
osteoporosis), serta sangat baik untuk mobilisasi coxae, bahu
dan tulang belakang.
Bidai
Bidai, collar dan korset dikombinasi dengan latihan dapat
mcncegah deformitas dan menjaga postur tubuh. Perlu dijelaskan pada penderita cara menggunakan bantal, kasur dan kursi
yang bcnar, dijelaskan pula tentang posisi badan waktu kerja dan
bagaimana cara mengangkat barang yang benar.
3. PENCEGAHAN DISABILITAS
Penyakit reumatik kronik dapat mengakibatkan disabilitas,
olch karena itu perlu dijaga agar tidak sampai terjadi handicap.
Pencatatan yang baik dari suatu penyakit kronis pada praktek
umum sangat membantu dalam mengidentifikasi masalah penderita.
Penilaian keadaan di rumah dan tempat kerja sangat panting.
Perubahan sederhana pada pola kerja dan perubahan jadwal
rutin dapat diberikan balk oleh seorang dokter, maupun oleh
fisioterapist dan occupational therapist.
Alat Bantu
Berbagai alat bantu untuk membantu pasien untuk mobilitas, kegiatan sehari-hari dan bekerja telah dikembangkan. Beberapa pasien kurang menghargai alat bantu tersebut sampai ia
mencoba sendiri penggunaan alat tersebut.

2. MELIHARAAN FUNGSI SENDI

Problema Sosial
Disabilitas dapat mengakibatkan problema sosial-ekonomi
akibat handicap, berupa mobilitas yang tcrbatas, kontak sosial
yang terbatas, gizi yang jelek dan sebagainya. Sebaiknya seorang
dokter mengetahui instansi sosial yang dapat mcmbantu menangani masalah ini.

Fisioterapi
Bahaya dari istirahat jangka pendek terlalu dilebih-lebihkan; sendi tidak akan menjadi kaku dalam beberapa hari saja,
sebaliknya melakukan latihan otot pada keadaan cedera atau
inflamasi tidak dianjurkan.
Bila inflamasi sudah recta maka latihan penguat dan pergerakan sendi perlu segera dilakukan. Pada beberapa kasus maka
tcrapi dilakukan dengan menggunakan es, latihan ringan dan
gobatan dasar tidak diperolch kemajuan, barulah dirujuk pada

PENUTUP
Prinsip dasar penatalaksanaan gangguan reumatik sebaiknya
diketahui olch para doktcr umum. Dari sckian banyak pasien
maka prinsip pengobatannya adalah sama, tidak semua pasien
harus dirujuk kepada scorang dokter ahli. Bila dengan pendoktcr ahli.

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

KEPUSTAKAAN
1.

Mowat AG. Management Principles of Rheumatics Disorder. Medicine

2.
3.

3: 3091, 1990.
Schumacher HR. Rehabilitative Therapies for Patients with Rheumatic
Disease. In: Primer on the Rheumatics Diseases, Schumacher et at (ed.).
Ninth ed. Atlanta GA: Arthritis Foundation. 1988, p. 301.
Fries IF. Assessment of the Patient with Rheumatics Disease. In: Textbook
of Rheumatology. Kelley WN et at (ed). Third ed. Philadelphia, London,
Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: WIi Saunders Co 1989, p. 420.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 17

Peranan Analisis Cairan Sendi


dalam Diagnosis Penyakit Sendi
H. M. Adnan
Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RS Dr Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Pemeriksaan dan analisis cairan sendi dalam menegakkan
diagnosis penyakit sendi amatlah penting. Hal itu sama pentingnya dengan nilai pemeriksaan dan analisis urine pada penyakit
ginjal.
Bila dijumpai adanya cairan sendi, sebaiknya diperiksa
secara sistematis, walaupun jumlah cairan itu hanya sedikit
(setelah diaspirasi).Sebagai contoh, misalnya cairan yang berasal
dari sendi pangkal ibu jari kaki (metatarso phalangeal digiti I),
walau hanya satu atau dua tetes sudah cukup untuk melihat ada
atau tidaknya kristal asam urat dalam cairan tersebut. Demikian
pula dengan pemeriksaan terhadap adanya kristal kalsium pirofosfat atau diagnosis terhadap artritis septik,LES dan sebagainya.
Dengan memeriksa cairan sendi, diagnosis pasti dapat ditegakkan secara cepat. Memang, pada beberapa hal, diagnosis
sulit ditegakkan hanya dengan analisis cairan sendi saja, tapi
sekurang-kurangnya dapat dipakai sebagai diagnosis banding.
Pemeriksaan cairan sendi secara rutin dan hitung Ickosit misalnya, akan sangat bcrmanfaat untuk mempersempit diagnosis
(agar lebih tepat) pada penyakit-penyakit sendi non inllamasi
yang disertai dengan efusi, atau cairan sendi yang bersifat inflamatif, termasuk artritis septik dan hemartrosis. Bahkan pada
penderita-pcnderita artritis yang sudah ditegakkan diagnosisnya, pemeriksaan cairan sendi dapat dipakai untuk menilai
perkcmbangan pcnyakit-pcnyakit tcrsebut, misalnya pada LES,
AR, deposit Kalsium Pirofosfat pada osteoartritis atau crystal
induced synovitis (sinovitis yang timbul akibat endapan kristal
yang terjadi karena suntikan intraartikuler dengan steroid).
Tabel 1 dan 2 menggambarkan sendi yang non inflamatif
(lekosit kurang dari 2000 per mm3) dan yang inflamatif (jumlah
lekosit lebih dari 2000 per mm3) pada analisis cairan sendi.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Tabel 1.

Efusi sendi yang non innatnatif

Ostcoartritis
Traumatik artritis
Akromegali
Penyakit Gaucher
Hemokromatosis
Iliperparatiroidisme
Okronosis
Penyakit Paget
Mechanical derangement
Eritema nodosum
Sinovitis vilonodular
Nekrosis aseptik
Sindrom Ehlers-Danlos
Penyakit sickle cell
Amiloidosis
Osteoartropati pulmoner hipertropik
Pankreatitis
Osteochondritis dissecans
Sendi Charcot
Penyakit Wilson
Displasia epifiseal
Tabel 2.

Efusi sendi yang Inflamatif

Artritis Reumatoid
Artritis Psoriatik
Sindrom Reiter
Kolitis Ulkeratif
Enteritis Regional
Postileal bypass arthritis
Spondilitis Ankilosing
Artritis Rcumatoid Juvenil
Dcmam Reumatik
Collagen.yascular disease
Lupus Eritematosus Sistemik

Sklerodenma
Polimiositis
Polikondritis
Poliarteritis
Polimialgia reumatika
Giant cell arterttis
Sindrom Sjogren
Granulomatosis Wagener
Sindrom Goodpasture
Purpura Henoch-Schonlein
Familial Mediterranean fever
Penyakit Whipple
Sindrom Behcet
Eritema nodosum
Sarkoidosis
Retikulohistiositosis Multisentrik
Artritis Postsalmonella, shigella, yersinia
Artritis Infcktif
Parasitik
Viral (hepatitis, mumps, rubella, dll.)
Jamur
Mikoplasma
Bakteri (stafilokokus, gonokokus, tuberkulosis, dll.)
Treponemal
Karsinoid
Endokarditis bakteriel subakut
Crystal-induced arthritis
Gout
Pseudogout
Post-infra-articular steroid injection
Artritis Hidroksiapatit
Hiperlipoproteinemia
Serum sickness
Agamaglobulinemia
Leukemia
Angiitis Ilipersensitif
Rcumatisme Palindromi
Tabel 3.

Haemarthrosis

Trauma with or without fractures


Pigmented villonodular synovitis
Synovioma, other tumors
Hemangioma
Charcot joint or other severe joint destruction
hemophilia or other bleeding disorders
Von Willebrand's disease
Anticoagulant therapy
Myeloproliferative disease with thrombocytosis
Thrombocytopenia
Scurvy
Ruptured aneurysm
Art eriovenous fistula
Idiophatic
Jadi, hanya dengan pemeriksaan cairan sendi, dapat diperoleh
banyak informasi tentang apa yang terjadi pada sendi tersebut
(inflamasi, infeksi, deposit kristal dan sebagainya). Sedangkan
dengan pemeriksaan RF, antibodi antinuklir (ANA), asam urat
dan ASTO kita mungkin dapat terkecoh oleh hasil-hasilnya dan
diagnosis pun kadang-kadang masih belum dapat ditegakkan.
Sebenarnya cairan sinovial itu adalah suatu ultra filtrat dari
plasma yang disertai dengan sejumlah kecil protein dengan berat

molekul yang lebih besar, misalnya fibrinogen,beta 1 C globulin,


serta globulin lain dan protein hialuronat yang dibcntuk dalam
membran sinovial.
TEKNIK ARTROSENTESIS
Cara ini dilakukan dengan hati-hati dan steril, serta di
tempat yang benar.
Bila setelah dilakukan aspirasi ternyata tak didapati adanya
cairan, doronglah penghisap semprit agar darah dan jaringan
yang terhisap dapat dikeluarkan dari jarum. Kita dapat melakukan pemeriksaan untuk kristal meskipun yang didapat hanya satu
tetes, atau untuk pemeriksaan gram maupun kultur(persemaian).
Bila diduga suatu artritis karena infeksi, sedangkan cairan
tak didapat, cucilah rongga sendi tersebut dengan larutan garam
faal dan kemudian dibuat pemeriksaan kultur (pembiakan atau
persemaian kuman) dari cairan pencuci tersebut.
Bila dikehendaki pemeriksaan kadar gula yang akan dibandingkan dengan kadar gula serum penderita, maka pcnderita
sebaiknya puasa dulu.
Sebaiknya direncanakan dulu pemeriksaan apa yang akan
dilakukan; belum tentu pemeriksaan-pcmeriksaan cairan yang
telah disebutkan di atas, semuanya diperlukan.
PEMERIKSAAN GROSS ("GROSS EXAMINATION")
Sulit memilih kata yang tepat untuk gross examination tapi
yang dimaksud di sini adalah pemeriksaan tentang volume,
viskositas, warna dan kejernihan cairan sinovial yang mungkin
bila disebut pemeriksaan makroskopik lebih mudah dipahami,
walau makroskopik juga bahasa asing. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan langsung dan dapat segera diperoleh kesan secara
kasar, misalnya bila jernih, tanda tak ada infeksi, bila kcruh
berarti ada infeksi dan sebagainya.
Volume
Jumlah cairan sendi ini dapat dipakai untuk membantu
menilai berat ringannya artritis. Juga dapat untuk.membandingkan jumlah cairan yang kita punksi sekarang lebih kecil jumlahnya dari yang sebenamya, yang berarti ada perbaikan.
Cairan sendi kadang-kadang sulit diaspirasi karena kental.
Misalnya karena mengandung fibrin, rice-bodies, atau serpihanserpihan yang lain.
Viskositas (kekentalan)
Cara penilaian kekentalan ini dapat dilakukan dengan
meneteskan cairan dari semprit (split), apakah tetesannya lambat jatuh dan membentuk seperti benang dulu, atau langsung
menetes seperti air yang berarti lebih cair. Tapi dapat juga
dipegang dengan ibu jari dan tclunjuk, lalu direntangkan. Akan
tampak benang dan terasa agak lengket pada jari. Sebelum putus,
rentangan cairan tersebut bila diukur lebih kurang 2 3 cm. Ini
berarti normal, tak ada inflamasi. Bila ada inflamasi, cairan akan
menetes seperti air, yang berarti viskositasnya rendah. Bila amat
kental biasanya karena adanya hipotiroidi dan pada ganglia.
Viskositas biasanya rendah bila ada inflamasi atau edema.
Viskositas, cenderung sejajar terhadap konsentrasi hialuronat,
yang seringkali diukur kadar asam uroniknya scbagai alat pene-

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 19

litian. Pada cairan yang purulen, kekentalan yang timbul dapat


disebabkan oleh banyaknya jumlah Iekosit yang ada dalam
cairan tersebut makin banyak jumlah, makin kentallah cairan
sinovial itu.
Hialuronidase dapat dipakai untuk mengencerkan cairan
sinovial sebelum dipakai untuk test-test lain.
Warna dan Kejernihan
Bila kertas yang ada tulisannya diletakkan di belakang
tabung yang berisi cairan sinovial, lalu huruf-huruf yang tertera
pada tulisan itu masih tetap dapat dibaca, maka berarti cairan
tersebut jernih. Dan berarti talc ada inflamasi.
Tapi bila bcrkabut (cloudy), bcrarti ada proses inflamasi.
Jadi main keruh, berarti makin banyak set.
Plastik dapat memberi kesan cairan berkabut; oleh sebab itu
sebaiknya cairan diletakkan dalam tabung galas agar tidak terjadi
kesan yang salah.
Tidak semua cairan yang berkabut atau .opaque berarti
inflamasi. Pemeriksaan mikroskopik masih diperlukan agar
dapat diyakinkan bahwa kekeruhan, bahkan kepckatan itu
bukan discbabkan olch banyaknya jumlah kristal, trigliscid,
fibrin, amiloid atau serpihan tulang rawan.
Kadang-kadang akibat menahunnya sendi yang inflamatif,
cairan sendi dapat berisi rice bodies (merupakan hasil akhir dari
proliferasi sinovia dan proses degenerasi, yang berisi collagen,
serpihan sel dan fibrin), yang dapat sukar dibedakan dari nanah.
Cairan sendi akibat Okronosis dapat berisi partikel gelap atau
keruh yang menyerupai wama mcrica yang biasanya disebut
Ground pepper sign. Serpihan hitam atau abu yang berasal dari
metal atau serpihan plastik setelah dilakukan atroplasti prostetik,
dapat juga memberi warna pada cairan sendi.
Efusi karena AR atau artritis kronik yang lain akan berwarna kehijauan. Warna merah darah atau oranye kecoklatan
dapat disebabkan olch karena pigmented villonodular synovites.
Sedang cairan akibat penyakit gout akan berwarna putih kental
seperti kapur yang berisi kristal.
Kadang-kadang dalam cairan yang kita punksi, keluar sepercik darah. Hal itu lazim akibat pcmbuluh darah kccil yang
tcrtusuk saat punksi.
Pada pengobatan yang tidak sempuma, pada sendi yang
mengalami infeksi dapat memberi kcsan seperti suatu inflamasi
yang scdang dan tidak purulen. Bila inflamasi tersebut amat
ringan atau cairannya jemih, maka selain inflamasi, dapat pula
disebabkan oleh SLE, demam reumatik, polimiositis atau skleroderma.
Pada pcnderita gout dan pseudogout, pada saat tidak dalam
serangan (gout intcrkritikal), cairan juga dapat jernih.
Hitung sel darah putih (lekosit)
Jumlah sel lckosit dalam pemcriksaan cairan sendi amat
penting maknanya, karena merupakan dasar pedoman kita
untuk mcnetapkan apakah suatu efusi bersifat inflamasi, non
inflamasi atau septik.
Cara pemeriksaan sel lekosit tersebut sama dengan cara kita
memeriksa darah tepi dengan memakai kamar hitung yang biasa;
tapi ditambahkan larutan NaCl 0,3%. Larutan NaCl ini akan

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

mcmbuat critrosit hancur.


Bila kita memakai asam, maka akan menyebabkan cairan
sinovial menggumpal dan penghitungan sel lekosit tidak akurat
lagi.
Cairan sinovial dituang dalam tabung yang diberi heparin
lalu dikocok. Pcnghitungan hams dilakukan segcra agar tidak
menggumpal atau rusak. Selanjutnya bcrikan biru metilen
untuk memudahkan mengenal lekosit; untuk Artritis Reumatoid
biasanya lekositnya antara 2.000 75.000; bila jumlah lekosit
lebih dari 60.000, dicurigai adanya infeksi.
Sebaiknya diingat pula bahwa suatu infeksi yang telah diobati sebagian, atau infeksi derajat rendah (low grade infection)
dengan gonokokus, mikobakteria dan jamur, lekositnya seringkali rendah. Penderita AR sindrom Reiter dan artritis akelat
kristal, jumlah lekositnya dapat mencapai lebih dari 100.000 per
mm3. Bila jumlah Ickosit antara 200 2000 per mm3 dapat kita
golongkan dalam kelompok non inflamasi.
Sebenarnya, jumlah lekosit dalam cairan sendi hanya sekitar
50 per mm3. Bila dalam penghitungan, jumlah lekosit mencapai
200, jelas merupakan suatu inflamasi derajat rendah yang
seringkali dijumpai pada pendcrita osteoartritis.
Pada penderita yang penyakit degeneratifnya dominan,
misalnya pada hemokhromatosis, dapat pula mempunyai efusi
dengan jumlah lekosit yang tinggi bila disertai dengan adanya
kondrokalsinosis akibat artritis akelat kristal.
Adanya sel darah merah yang bersifat "sementara" biasanya
diabaikan, sebab seringkali akibat artrosentesis, kecuali bila jelas
hemoragis.

PEMERIKSAAN MIKROSKOPIK
Sediaan Basah :
Amat penting untuk segera memeriksa cairan sendi segar
secara mikroskopik dalam sediaan basah. Walau hanya satu tetes
yang didapatkan dari punksi, cairan ini tetap berguna untuk
melihat adanya lcristal dan konstituen lain. Kemudian dengan
cairan yang sama, bila diperlukan dapat diwarnai dengan gram
misalnya.
Teteskan cairan sendi sebanyak 13 tetes pada getas objek
yang bersih. Biasanya cairan tersebut tidal( diputar (centrifuge)
dulu, tapi bila diputar dulu, endapannya dapat lebih memperbanyak jumlah kristal yang jarang ditemukan, atau bagian cairan
yang jernih akan mempertegas penampilan sel yang dicari. Gelas
objek yang kotor sebaiknya dicuci dengan aseton dan dikeringkan, lalu dibersihkan dengan kertas busa, dipakai dengan
gelas penutup yang bersih pula.
Bila pemeriksaan akan ditunda, sedang cairan sudah diteteskan dan diberi gelas penutup, maka cairan yang dipakai
untuk cat kuku dapat dipoleskan di pinggir kaca penutup agar
tidak kering. Penundaan ini dapat dilakukan sampai beberapa
jam asalkan gelas objek tetap kering dan jangan sampai lewat 24
jam; sebab bahan cat kuku tersebut lama-lama dapat mcresap
dan memberi kesan birefringent pada pemeriksaan dengan
mikroskop polarisasi; jadi merupakan artefact.

MIKROSKOP CAHAYA BIASA


Pertama-tama periksalah caiian sendi tersebut dengan
mikroskop biasa, lalu hitung sel darah merah dan sel darah putih.
Serpihan tulang rawan akan tampak juga. Bila telah dianggap
cukup, pekatkanlah cairan dengan cara memusingnya, dan
wamai untuk pemeriksaan biopsi. Pada pemeriksaan ini beberapa sel lekosit akan tampak berisi cytoplasmic-inclusion, yang
menggambarkan suatu distended phagosome dan/atau butiran
lemak. Sel lekosit ini disebut Ragosit yang pada awalnya didapatkan pada penderita AR; tapi selain itu, juga dijumpai pada
inflamasi artropati yang lain. Pewarnaan dengan fluoresceinconjugated antibodies terhadap immuno-globulin dan komplemen telah memperlihatkan benda tersebut dalam vakuola-vakuola
yang terdapat pada sel penderita AR dan penyakit lain.
Eritrosit akan tampak menjadi sickled pada penderita
dengan sickle cell disease atau trait, tapi tidak menjamin bahwa
cairan yang ada saat ini disebabkan oleh penyakit sickle cell.
Berbagai macam serpihan dapat tampak pada cairan sendi,
antara lain fibrin, serpihan kolagen atau serpihan tulang rawan.
Untuk dapat melihat serpihan fibrin dan kristal dengan baik,
kondensor mikroskop dapat direndahkan atau dengan cara
menutup diafragma. Serpihan fibrin dan kolagen keduanya berrefringent.
Ferografi juga dipakai untuk mengkonsentrir dan menganalisis fragmen tulang rawan.
Pada penderita dengan implant arthroplasty, akan dapat
dijumpai adanya fragmen logam yang- bentuknya tidak teratur
dan gelap. Fragmen polimer mungkin juga dapat terlihat.
Sedangkan tulang rawan yang okronotik walau jarang, akan
tampak sebagai fragmen kuning.
Bila tampak banyak sekali butir lemak kecil, maka hal
merupakan tanda suatu artritis traumatik, atau efusi akibat berbagai jenis inflamasi, termasuk yang tidak dapat dijelaskan, dan
pancreatic fat necrosis. Dan bila butiran lemak tersebut sedikit
sekali, maka mungkin akibat artrosentesis. Butiran lemak biasanya berada pada bagian atas dari spesimen dan dapat diwarnai
dengan Oil red 0 yang memberi wama merah. Asal dari butiran
lemak ini sebenarnya masih belum jelas. Pada amiloidosis biasanya dapat dijumpai adanya globulin yang amorf dan benda yang
regular yang bersifat tidak birefringence. Hal yang demikian itu
didapati pula pada mieloma multipel dan makroglobulinemia
Waldenstorm. Bahkan pewarnaannya adalah merah Congo yang
akan memberikan warna merah atau jingga pada sediaan basah.
Suatu globulin lain atau gumpalan yang mirip maw uang logam
(coin like clump) dapat dijumpai akibat adanya endapan hidroksiapatit pada sendi dan bursa.
Kristal hidroksiapatit dapat menimbulkan pembengkakan
pada sendi dan bursa. Kristal dapat diperiksa dengan mikroskop
biasa dan dapat dilihat lebih jelas lagi dengan iluminasi rendah.
Kristal asam urat seringkali tampak sebagai batang yang tumpul.
Sedangkan kristal kalsium pirofosfat berbentuk batang atau
rhomboid. Kristal lain kadang juga dapat dijumpai pada cairan
sendi, dan semuanya itu dapardibedakan bila kita menggunakar
mikroskop polarisasi (compensated polarizing microscope).

COMPENSATED POLARIZED LIGHT MICROSCOPE


Pada mikroskop jenis ini, yang menjadi dasar pengenalan
jenis kristal adalah daya pantulan sinar yang memijar yang
biasanya kita sebut polarisasi. Dengan cara pantul silang dua
polarisator akan saling membentuk sudut 90 derajat. Teknik
dan cara bagaimana membuat, agar terbentuk sinar tersebut,
tidak akan dibicarakan di sini, karena hal tersebut lebih bersifat
teknis dari ilmu fisika.
Yang akan dilihat dari hasil silang dua sumber cahaya tersebut adalah perpendaran cahaya yang berwarna, dengan latar
belakang lapangan pandang mikroskop yang gelap dengan
wama merah jambu, hingga kristal tersebut tampak lebih jelas.
Kristal tersebut akan berbirefringent. Maka dikenal istilah
birefringent positif dan birefringent negatif. Untuk kristal yang
ber-birefringent negatif akan berwarna kuning. Kristal asam urat
(monosodium) adalah kristal yang ber-birefringent negatif, jadi
berwarna kuning. Sedang kristal kalsium pirofosfat dihidrat
(CPPD) ber-birefringent positif, jadi berwarna biru.
Berbagai benda yang bersifat birefringent akan tampak pada
pemeriksaan dengan cahaya polarisasi ini. Misalnya kristal yang
timbul akibat suntikan steroid. Kristal ini akan difagositosis
dan kadang akan menimbulkan inflamasi selama beberapa jam
setelah suntikan steroid intra artikuler. Kristal kortikosteroid ini
dapat ber-birefringent positif atau negatif yang berukuran sama
dengan kristal asam urat atau CPPD, dapat sebagai granula, atau
serpihan yang bentuknya talc beraturan.
Sebagian besar benda yang bentuknya tak beraturan dan
berpendar birefringent adalah artefak, misalnya debu atau kotoran gelas penutup. Begitu pula bedak sarung tangan yang
berbentuk salib malta. Penggunaan yang salah dari oksalat atau
antikoagulan litium heparin dapat pula menimbulkan kristal
(anti coagulant derived crystals). Beberapa kristal dapat difago;
sitosis oleh lekosit secara invitro dan kemudian dalam sediaan,
kristal tersebut akan tampak dalam sel (intraseluler). Kristal
oksalat dan litium heparin tersebut ber-birefringent positif.
Kristal kolesterol akan tampak pada efusi sendi yang kronik,
terutama pada penderita AR. Kristal tersebut biasanya tampak
seperti piring dengan sebuah lekuk pada sudutnya dan tampak
lebih besar dari sebuah sel. Tapi kristal bermuatan kolesterol,
kadang juga bersifat birefringent negatif serta berbentuk jarum.
Akhir-akhir ini kristal oksalat katanya dapat ditemukan pada
cairan sendi dari penderita dengan gagal ginjal kronik dan akan
tampak pleomorfik, tapi yang khas adalah bersamaan dengan
bentuk bipiramidal yang besar.
Kristal kalsium hidrogen fosfat dihidrat adalah birefringent
positif terang dan dapat ditemukan pada cairan sendi dan
jaringan. Hal ini dapat dikacaukan dengan CPPD. Dan bila itu
yang terjadi maka cara membedakannya adalah dengan sinar X
difraksi. Gumpalan kristal apatit kadang-kadang dapat berbirefringent.
PULASAN KERING UNTUK PEWARNAAN
Pulasan sinovial dibuat dengan cara meneteskan 12 tetes
cairan yang sudah diberi heparin pada permukaan slide atau

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 21

penutupnya, sama dengan cara pembuatan sediaan darah tepi


biasa.
Bila jumlah lekosit lebih besar dari 5000, maim biasanya
akan didapatkan pulasan yang bagus. Bila jumlah lekosit kurang
dari 5000, malts cairan dapat di-sentrifus terlebih dahulu dan
endapannya dapat dipulaskan dengan sedikit meneteskan cairan
supernatant lalu dibiarkan kering di udara terbuka.
Pewarnaan, biasanya dapat dilakukan dengan zat pewarna
Wright, Gram, Ziehl-Neelsen, pewarnaan lemak, Alcian bluePAS, Prussian blue, Merah congo dan von Kossa atau alizarin
merah Teknik pengecatan ini juga tidak akan dibahas di sini,
karena sudah lazim dikerjakan.

cells atau sel monosit besar akan tampak pada penderita sindrom
Reiter.
Dark purple inclusions pada sel fagosit dapat berasal dari
serpihan sel, tapi juga dapat merupakan timbunankristal apatit.
Bakteri kadang-kadang juga kita jumpai dalam pewamaan
Wright. Demikian pula dengan kristal asam urat atau kalsium
pirofosfat, serta sel ganas dalam cairan sendi. Sel ganas tersebut
dapat juga diwarnai dengan Papanicolaou.

Pewarnaan dengan Wright :


Jenis pewarnaan ini harus segera dilakukan bila yang dimaksud untuk mencari sel L.E. Sel L.E. ini akan didapati pada
penderita-penderita Lupus Eritematosus sistemik dan juga pada
AR walau amat jarang sekali. Namun, bila secara klinis sudah
jelas, sebaiknya pemeriksaan ini tak dilakukan, sebab sulit sekali
mencari sel L.E. tersebut dan memerlukan waktu yang lama.
Lapangan demi lapangan dalam ruang pandang mikroskop harus
kita telusuri dengan tekun. Bila didapati hematoksilin yang
homogen dan bulat, akan merupakan ciri sel L.E. juga, kendatipun kekhasannya di dalam cairan sinovial masih belum dapat
dinilai.
Serpihan tulang rawan dan fragmen sinovium akan tampak
juga pada sediaan ini. Kumpulan zat besi dalam kondrosit pada
serpihan tulang rawan juga dapat dijumpai pada penderita
dengan hemokromatosis. Sedang pada okronosis, pigmen biru
sampai warna coklat pada serpihan atau granula sitoplasmik
yang berwarna coklat akan dapat terlihat juga. Juga bagian dari
sumsum tulang dengan sel lemaknya dapat terlihat pada sediaan
ini.
Pemeriksaan selanjutnya terhadap pulasan tersebut adalah
terhadap polimorfonuklir, lekosit, monosit, limfosit, dan sel
mononuklear yang besar.
Bahkan kadang diperiksa juga adanya sel transform limfosit,
monosit dan synovial lining cells. Walau memang sulit mengklasifikasi dan mengenal sel mononuklear-besar, tapi kadang sangat
diperlukan karena transform limfosit menandakan adanya AR
dan tidak ditemukan pada artritis gout akut atau pseudogout.
Synovial lining cells khas dengan diameter 2040 m serta inti
yang eksentrik yang menempati kurang dari 50% dari sitoplasma
dapat dibedakan terhadap monosit besar yang lain karena intinya
lebih besar walau diameternya sama.
Kedua sel ini dapat dibedakan dengan esterase yang non
spesifik atau dengan pewarnaan sudah hitam.Pada pewarnaan ini
sel monosit akan positif sedang sel lining sebagian besar tidak
(negatif). Sel mononuklear pada cairan sendi, saat ini juga dapat
diklasifikasikan dengan antibodi monoklonal.
Jumlah persentase PMN amat menolong dalam menegakkan
diagnosis berbagai jenis artritis. Misalnya : bila PMN rendah
maka penderita tersebut adalah penderita AR tingkat dini atau
LES, atau demam rematik, atau penyakit infeksi menahun yang
lain, misalnya : skleroderma atau tuberkulosis. Sedangkan lining

Pewarnaan Ziehl-Neelsen
Mungkin berguna untuk pemeriksaan terhadap tuberkulosis,
walau seringkali diperlukan kultur dan biopsi sinovial.
Pewarnaan terhadap lemak dan alcian blue-PAS untuk
proteoglikan (mukopolisakarid) akan tampak sebagai timbunan dari lemak atau proteoglikan tersebut dalam sel makrofag
di-sinovia. Sedang prussian blue dipakai untuk melihat adanya
zat besi pada synovial lining cells pada penderita sinovitis
vilonodular atau pada hemokromatosis.
Deposit amiloid dapat diwarnai dengan merah congo dari
akan tampak sebagai benda birefringence dengan warna hijau
apel (apple-green) bila diperiksa dengan mikroskop polarisasi
(dengan sediaan basah).
Pewarnaan dengan Von Kossa atau Alizarin Red S40 dipakai
untuk melihat kalsium atau fosfat (yang berisi kristal CPPD) atau
timbunan kristal apatit.

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Pewarnaan Gram
Dengan pewannaan ini, bakteri akan segera tampak dalam
kelompok besar tapi dapat dikacaukan dengan artefak dari musin.
Dengan pewarnaan ini, artritis septik juga dapat ditegakkan.

PEMERIKSAAN KHUSUS
Mucin Clot Test
Beberapa tetes cairan sinovial ditambahkan pada 20 ml
larutan asam asetat 5%. Diamkan selama 1 menit agar terbentuk
endapan lalu kocoklah tabung beaker yang berisi larutan asam
asetat dan tetesan cairan sinovial tersebut. Maka akan terbentuk
endapan yang padat yang tidak pecah walau dikocok. Ini berarti
cairan tersebut normal atau osteoartritis.
Bila endapan "lemah" (poor clot) seperti misalnya pada
efusi akibat inflamasi, maka fragmen akan terbentuk dengan
mudah dan akan tampak serpihan, atau bentuk benang atau
tampak keruh pada cairan tersebut. Pada penderita LES atau
demam reumatik, maka cairan musin tersebut akan mengendap
dengan baik walau terjadi inflamasi ringan.
Cairan musin yang baik biasanya menggambarkan adanya
integritas normal dari hialuronat. Sedangkan cairan musin yang
lebih encer menandakan adanya destruksi atau pengenceran dari
protein hialuronat.
Sayangnya test musin dan kekentalan cairan sendi ini hanya
dapat memberikan gambaran kasar saja, tidak seperti hitung
lekosit, yang lebih dapat dipercaya.
Glukosa
Pemeriksaan terhadap kadar glukosa dalam cairan sendi
dapat dilakukan dengan Standard Somogyi-Nelson atau dengan

metode Ortho-toluidin. Dalam pemeriksaan tersebut, penderitanya harus dalam keadaan puasa, dan diperiksa sekaligus kadar
gula dalam darah dan cairan sendi untuk perbandingan.
Kadar glukosa dalam cairan sendi biasanya sedikit lebih
rendah bila dibandingkan dengan kadamya dalam darah; keseimbangan antara nilai dalam darah dan cairan sinovial sesudah
makan amat lambat dan tak dapat diramal. Oleh sebab itu,
pemeriksaan dalam keadaan puasa lebih dapat dipercaya.
Cairan efusi untuk uji glukosa sebaiknya ditempatkan pada
tabung yang berisi flouride agar glukosa tak dimetabolisir oleh
lekosit selama in vitro.Bila hal ini terjadi maka kadar glukosanya
akan lebih rendah. Memeriksa kadar glukosa dalam cairan sendi
memang bukan merupakan prioritas utama. Tapi bila kadar
glukosa dalam cairan sendi tersebut amat rendah, maka akan
memberi kesan adanya infeksi. Path R.A. kadar glukosa dalam
cairan sendi penderita akan 50% lebih rendah dari kadamya di
dalam darah, bahkan kadang-kadang dapat mendekati angka 0.
Komplemen
Jumlah komplemen yang mengalami hemolisis dapat diukur
dengan cara Kabat dan Mayer.
Kadar komplemen dalam cairan sendi lebih mempunyai
nilai bila dibandingkan dengan kadarnya dalam serum. Begitu
pula bila dibandingkan antara protein dalam serum dan cairan
sendi. Pada AR serum komplemen biasanya normal, sedang
pada sinovial seringkali 30% lebih rendah. Pada LES dan hepatitis balk kadar serum maupun cairan sinovial mungkin rendah.
Sedang pada artritis karena infeksi, gout dan sindrom Reiter
mungkin tinggi, tapi hal ini sebagian besar karena meningkatnya
kadar pada serum.
Beta 1 globulin dapat juga diperiksa dengan immuno difusi
dalam hal sebagai pengganti komplemen hemolitik. Penyimpanan pada suhu -70 dengan segera amat panting agar dapat dipakai untuk mengukur kadar protein serum atau cairan sinovial
serta kadar globulin saat menilai komplemen.
Hal tersebut karena komplemen dalam cairan sendi
mungkin rendah kadarnya pada keadaan normal atau non
inflamasi. Ini disebabkan karena ada sebagian komplemen atau
protein lain yang lari ke dalam rongga sendi.
Kultur
Memeriksa cairan sinovial secara hati-hati dan segera amat
panting bila kita curiga terhadap adanya infeksi.
Sebagian besar bakteri akan tumbuh dengan baik dalam
bulyon kedele tripsin atau agar darah domba. Menanam persemaian pada saat aspirasi mungkin amat berguna bila keadaan
memungkinkan (asal transportasi clan pelayanan tersedia). Yang
ideal, adalah menyiapkan keperluan laboratorium yang sesuai
dengan sebaik mungkin bila kita bermaksud menyemaikan,
sebab beberapa organisme memerlukan media yang khusus;
misalnya, bila diduga ada organisme yang bersifat anaerobik,
maka sebaiknya dalam semprit tidak masuk udara dan dibawa
dengan medium transport yang anaerobik atau bawa cairan
langsung ke laboratorium untuk ditanam dengan prosedur
anaerobically sterile blood agar atau suatu medium kultur yang
dapat dibandingkan.

Kuman gonokokus hanya dapat berhasil disemaikan sebanyak 2530% dari jumlah kasus yang menderita artritis karena
gonokokus. Bila ada penderita yang diduga artritis karena Go,
sebaiknya cairan sendi segera ditempatkan pada medium agar
coklat atau Thayer-Martin dan selama di laboratorium terusmenerus diberi CO2. Bila pengiriman ditunda, juga harus diberi
CO2 terus. Bila terjadi infeksi campuran, maka medium ThayerMartin akan terus menumbuhkan kuman lain tersebut dan bukan
gonokokus.
Bila diduga adanya infeksi oleh jamur maka cairan sebaiknya dikirim dalam keadaan steril (dalam tube steril) dan
kemudian nanti di laboratorium baru diproses dengan agar
Sabouraud dekstros.
Sedang medium Lowenstein-Jensen dipakai untuk infeksi
mikobakterium.
TEST LAIN
Sebenarnya ada test lain yang dapat dilakukan dari cairan
sinovial, misalnyaAntinuclearFactor (ANF),Reumatoid Faktor
(RF), imunoglobulin dan zat lain yang ikut atau terlibat dalam
reaksi immune. Tapi test tersebut berperan sedikit dalam pemeriksaan yang sederhana ini. ANF misalnya, dapat terjadi
pads bermacam keadaan di cairan sinovial tapi tidak terdapat
dalam serum. Juga Latex test untuk RF, kadang-kadang positif
pads cairan sendi, tapi negatif pads serum. Bahkan yang positif
bermakna pads cairan sinovialpun dapat saja tidak mantap.
Sebab, beberapa penyebab false positive untuk test R.F dalam
cairan sendi memang sudah dikenal. Pemeriksaan terhadap
kompleks imun dengan berbagai macam teknik telah dapat
dilakukan, tapi sebagian besar masih merupakan penelitian.

Untuk segala surat-menyurat,


pergunakan Alamat lengkap Anda
dengan mencantumkan Kode Pos
ke alamat kami :

CERMIN DUNIA KEDOKTERAN


P.O. Box 3105, JAKARTA 10002

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 23

Ada juga pemeriksaan yang agak kurang nilainya dari segi


diagnostik, misalnya pH cairan sendi yang normalnya 7,4, bila
ada inflamasi akan sedikit lebih rendah. Juga dalam pO2 pada
cairan sendi, akan turun nilainya dalam berbagai jenis keadaan
inflamasi. Hal ini cenderung mempunyai hubungan dengan berat
ringannya lekositosis dan juga dengan jumlah volume cairan
sinovial yang dapat lebih rendah pOi nya akibat pengaruh aliran
darah pada sendi. Total protein normalnya rata-rata hanya 1,7 gr
per dl, tapi bila ada inflamasi akan naik. Asam urat, elektrolit dan
urea nitrogen cenderung menggambarkan nilainya dalam serum.
Sedangkan fibrinogen dan produknya biasanya tidak didapati,
sehingga cairan sendi tidak akan mengendap bila didiamkan.
Rantai cahaya Bence Jones Kappa dapat dijumpai pada artropati
amiloid yang bersifat sekunder pada mieloma multipel.
Untuk penelitian terhadap limfokin, fibronektin, proteinase
dan prostaglandin, dapat pub dilakukan pada cairan sendi.
Pemeriksaan Gas Kromatografi pada cairan sendi, dapat
dipakai untuk memeriksa adanya produk bakteri, bila pada biakan untuk infeksi hasilnya negatif. Pada artritis septik yang disebabkan oleh kuman non gonokokus yang talc diobati, akan me

nyebabkan meningkatnya nilai asam laktat dalam cairan sendi.


Kadar asam suksinat juga akan meningkat pada penderita artritis
septik, dan cenderung untuk menetap walau telah diobati.
Walaupun asam laktat dan asam suksinat tidak khas untuk test
adanya infeksi, namun dapat dipakai untuk test lain sebagai
diagnosis awal terhadap adanya artritis karena infeksi.
Antigen bakteri dapat juga diperiksa pada cairan sendi
dengan cara counter immuno electrophoresis.

KEPUSTAKAAN
1. Katz WA. Rheumatic Disease, 1984.
2. Kelly WN. Text Book of Rheumatology, 1987.
3. McCarty DJ. Arthritis and Allied Condition. A Text Book of Rheumatology,
1985.
4. Moskowitz RW, Harris BK, Schwartz A, Marshall G. Chronic Synovitis as
a manifestation of calcium crystal deposition disease. Arthritis and
Rheumatism 1971; 14: 109.
5. Nienhuis RLF. Praktisch Leerboek Voor De Rheumatologie, 1980.
6. Schumacur HR, Somlyo AP, Tse RL, Maurer K. Apatite Crystal Associated
Arthritis. Ann Intern Med 1977; 87: 411.

How awful to reflect that what people say of us is true !

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Strategi Pengobatan Medikamentosa


Penyakit Reumatik
Harry Isbagio
Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/RS Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Medikamentosa merupakan salah satu mata rantai penanggulangan penyakit rematik disamping pengobatan lain seperti
istirahat, proteksi sendi, fisioterapi/rehabilitasi, penggunaan alat
bantu, pembedahan dan psikoterapi. Penggunaan obat saja tanpa
disertai cara pengobatan lain kurang memberikan hasil yang
memuaskan. Oleh karena itu perlu diingatkan pada setiap dokter
yang menanggulangi penyakit rematik, hendaknya tidak selalu
terpaku pada penggunaan obat saja.
Inflamasi sendi merupakan suatu tanda bahwa organ yang
bersangkutan perlu diistirahatkan dan dicegah penggunaannya
secara berlebihan. Tetapi yang sering terjadi ialah bila penderita
telah diberi obat dan rasa nyeri sudah hilang maka ia cenderung
menggunakan sendi tersebut secara berlebihan. Hal ini tentu
saja merugikan mengingat hilangnya rasa nyeri bukan bcrarti
sendi yang sakit telah sembuh, karena pada sebagian penyakit
sendi proses kerusakan masih berlangsung terus menerus. Dalam hal ini nasehat tentang proteksi sendi perlu diberikan pada
penderita.
Selain itu jumlah obat anti rematik yang beredar di pasaran
saat ini sangat banyak jumlahnya, sehingga menyulitkan bagi
seorang dokter untuk memilihnya. Karen itu dituntut pengetahuan yang cukup mengenai berbagai jenis obat anti rematik
beserta indikasi, kontra indikasi dan efek sampingnya agar diperoleh hasil pengobatan yang optimal.
JENIS MEDIKAMENTOSA PADA PENYAKIT REMATIK
Obat yang diberikan pada penderita penyakit rematik
mempunyai dua tujuan :
1. Menghilangkan keluhan dan simptom inflamasi.
2. Bila mungkin menghentikan progresivitas penyakit.
Untuk memperoleh hasil pengobatan yang baik, maka obat

yang tepat dalam dosis yang tepat diberikan pada pasien yang
sesuai, pada saat perjalanan penyakit yang tepat dan diberikan
dalam jangka waktu yang optimal.
Perlu dibedakan antara obat yang bersifat nonspesifik atau
simptomatik saja dengan obat yang dapat mempengaruhi perjalanan penyakit. Obat yang dapat mempengaruhi perjalanan
penyakit harus diberikan pada penyakit yang tepat. Sebagai
contoh, penisilamin tidak efektif pada penyakit gout dan sebaliknya alopurinol tidak berguna pada artritis rematoid.
Obat penyakit rematik dapat disusun/dikelompokkan sebagai berikut :
I. Analgesik sederhana
II. Obat antiinflamasi non steroid (OAINS=NSAID)
III. Disease-modifying atau slow acting drugs
IV. Obat sitotoksik
V. Kortikosteroid (sistemik dan suntikan lokal)
VI. Obat pada kristal artropati (gout)
a. Colchicine
b. Obat urikosurik
c. Alopurinol
Analgesik sederhana dan obat antiinflamasi nonsteroid
hingga mat ini masih dianggap obat yang bersifat simptomatik
dan tidak mempengaruhi perjalanan penyakit. Kedua jenis obat
ini dapat diberikan pada semua jenis artritis dan rematik jaringan
lunak (reumatism non artikuler).
Disease-modifying atau slow acting drugs merupakan obat
yang dapat mempengaruhi perjalanan penyakit artritis rematoid,
sehingga penggunaannya terbatas pada penyakit ini saja.
Kortikosteroid sistemik dapat digunakan pada artritis rematoid yang berat, penyakit jaringan ikat dan beberapa penyakit
rematik lainnya. Suntikan kortikosteroid lokal (dalam sendi dan
jaringan lunak) sangat berguna pada reumatism non artikuler
dan artritis yang terutama terbatas pada satu/dua sendi (kecuali

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 25

artritis septik).
Obat sitotoksik diberikan pada penderita artritis rematoid
berat dan beberapa yang tergolong spondiloartropati seronegatif
(artritis psoriatik dan penyakit Reiter).
Alopurinol dan obat urikosurik sudah terbukti dapat menurunkan kadar asam urat sehingga digunakan pada penyakit
gout, sedangkan colchicine merupakan drug of choice pada
artritis gout balk untuk serangan akut maupun sebagai profilaksis.
Scbclum mclangkah lebih lanjut perlu dikenal beberapa
istilah yang scring digunakan dalam pengobatan penyakit rematik. Istilah ini terutama digunakan pada artritis rematoid
yaitu :
1) First line drugs (obat urutan pertama);yang dimaksud di sini
ialah obat anti inflamasi non steroid (OAINS), yang bersifat
simptomatik menghilangkan rasa nyeri dan inflamasi.
2) Second line drugs (obat urutan ke dua); yang dimaksud di
sini ialah obat yang disease modifying atau slow acting agent
yang dapat menghentikan aktifitas dan progresivitas artritis
rematoid.
3) Third line drugs (obat urutan ke tiga), termasuk di sini ialah
sitotoksik dan kortikosteroid. Obat ini digunakan pada keadaan
berat yaitu adanya komplikasi atau untuk penyelamatan jiwa.
4) Terapi eksperimental: Pengobatan di sini masih bersifat
percobaan, belum digunakan secara luas; misalnya plasmaferesis dan total limfoid radioterapi.
Anelgesik Sederhana
Analgesik sederhana (parasetamol, kodein dan dekstropropoksifen) diberikan pada penderita dengan keluhan nyeri ringan
atau intermiten. Obat ini tidak mempengaruhi proses inflamasi
sehingga tidak digunakan untuk pengobatan jangka panjang.
Dapat digunakan sebagai suplemen penggunaan obat lain, karena daya analgesiknya cepat dicapai dalam beberapa menit dan
bcrtahan selama 48 jam, sedangkan obat anti inflamasi nonsteroid baru efektif setelah diberikan selama beberapa hari.
Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS=NSAID)
Obat golongan ini banyak dijumpai di pasaran dengan berbagai nama dagang; hampir tiap tahun sejak dekade tahun 80an dihasilkan obat baru, baik yang merupakan derivat dari
suatu kelompok obat (misal dari kelompok fenamat atau asam
propionat) maupun yang merupakan derivat baru (misalnya kelompok piroksikam). Beberapa di antaranya telah ditarik dari
peredarankarena diduga mempunyai efek samping yang membahayakan misalnya indoprofen (Flosint, pernah beredar di
Indonesia).
OAINS hingga saat ini masih dianggap bersifat simptomatik; dapat menekan proses inflamasi, tetapi tidak dapat menghentikan proses penyakit. Hal ini perlu dipahami balk oleh
dokter maupun penderita agar tidak berharap terlalu besar terhadap hasil pengobatan dengan obat ini.
OAINS memang dapat digunakan pada semua keluhan
artritis dan reumatism non artikuler, tetapi hasil yang memuaskan terutama pada reumatism non artikuler dengan catatan perlu
dibantu fisioterapi dan/atau suntikan kortikosteroid intraarti

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

kuler.
Efikasi OAINS pada penderita artritis perlu dinilai dengan
beberapa parameter klinik. Parameter ini ada yang bersifat
subjektif karena terutama diperoleh dari keluhan penderita, dan
ada pula yang bersifat objektif karena langsung dinilai oleh
seorang dokter. Parameter ini merupakan standar untuk semua
uji klinik (drug clinical trial) OAINS, yang terdiri dari :
1) Derajat nyeri; menggunakan suatu skala (visual analogue
scale) atau dibagi dalam 4 tingkat (tidak nyeri, sedikit nyeri,
nyeri dan nyeri sekali).
2) Lama kaku pagi (duration of morning stiffness).
3) Ukuran lingkaran sendi proksimal interfalang (sendi PIP)
dengan menggunakan cincin.
4) Kekuatan menggenggam (grip strength) dengan menggunakan tensimeter.
5) Indeks artikuler (nilai standard untuk sendi yang meradang).
6) Waktu jalan (walking time); misalnya untuk jalan sejauh 15
meter berapa detik waktu yang ditempuh.
7) Pilihan penderita (patient preference).
No. 1, 2 dan 7 merupakan penilaian subjektif dan sisanya
merupakan penilaian objektif.
Sebagai seorang dokter, kita harus berhati-hati dalam menilai laporan suatu uji klinik obat, karena mungkin saja penelitian
yang dilakukan tidak memenuhi standar di atas. Pada Tabel 1
dapat dilihat berbagai OAINS menurut klasifikasi rumus kimianya. Yang menarik dari hasil laporan ialah bahwa respons
pengobatan sangat bervariasi walaupun obat-obatan tersebut
berasal dari suatu kelompok dengan rumus kimia yang hampir
sama. Berarti misalnya pada kegagalan pengobatan dengan
ibuprofen tidak berarti akan terjadi pula kegagalan dengan ketoprofen. Selain itu didapat pula variasi individual; artinya dua
penderita dengan diagnosis yang sama, mungkin yang satu cocok
dengan obat A tetapi tidak cocok dengan obat B dan sebaliknya
yang lain cocok dengan obat B tetapi tidak cocok dengan obat A.
Perlu diketahui pula bahwa setiap anggota dari suatu kelompok obat dengan rumus kimia yang hampir sama ternyata
efek klinisnya sangat berbeda; misalnya dari kelompok asam
propionat ada yang mempunyai masa paruh plasma (plasma half
life) pan jang, ada yang pendek (tabel II); ada yang menonjol
daya analgesiknya, sebaliknya ada yang menonjol daya antiinflamasinya; toleransi yang berbeda dan efek samping pada
kulit dan gaster yang berbeda pula.
Dengan demikian agak sukar mengelompokkan OAINS ini
berdasarkan efek klinisnya. Walaupun terdapat bermacam-macam
OAINS, hingga saat ini belum ada satupun yang paling ideal;
dengan demikian pemilihan suatu OAINS masih tergantung
berbagai faktor antara lain :
1. Efikasi Obat
Sebenarnya dari seluruh jenis OAINS tidak ada perbedaan
yang menyo)ok dalam efikasinya, tetapi seperti disebut di atas
variasi individual sangat berperan; oleh karena fenomena ini
maka perlu dicari obat yang sesuai untuk penderita.
2. Toleransi
Seperti halnya efikasi maka terjadinya efek samping ter-

Tabel 1. Kiasiflkasi Obat Anti Inflamasi Non Steroid

Tabel II. Waktu paruh Obat Antiinflamasi Non Steroid


Komponen
Indometasin
Sulindak
Tolmetin
Asam Mefenamat
Asam Flufenamat
Ibuprofen
Naproxen
Kalsium Fenoprofen
Flurbiprofen
Ketoprofen
Piroksikam
Diflunisal

Waktu
(jam)
23
18 (sulfide)
13
34
9
2
1215
3
4
135
45
812

nyata juga mempunyai variasi individual. Efek samping yang


tersering ialah masalah gaster. Efek samping yang lain jarang
dijumpai tapi dapat timbul sebagai akibat penggunaan jangka
panjang.
3. Keamanan (safety)
Kematian langsung akibat OAINS jarang terjadi; tetapi
kematian dapat terjadi akibat hematemesis melena atau anemia
aplastik.
Penggunaan pada orang tua perlu pertimbangan apalagi
bila kcluhannya hanya nycri ringan saja; obat dengan waktu
paruh panjang sebaiknya dihindarkan.
4. Kenyamanan (convenience)
Dosis tunggal harian cukup menyenangkan dan dapat

membuat penderita patuh minum obat. Sebaliknya pada penderita dengan keluhan yang hilang timbul atau pada mereka yang
membutuhkan lebih banyak efek analgesik daripada efek antiinflamasi, pemberian dosis 23 kali per hari mungkin lebih
sesual.
5. Biaya (Cost)
Obat yang paling murah ialah aspirin, tetapi efek samping
sudah banyak dilaporkan. OAINS lainnya cukup mahal dan
harus diperhitungkan dengan kemampuan penderita.
6. Indikasi
Semua jenis OAINS cukup efektif untuk RA dan OA,
kecuali fenilbutason yang hanya boleh digunakan dalam jangka
pendek (sehingga sebaiknya dihindarkan penggunaannya).
Aspirin dosis tinggi cukup efektif pada RA (perlu dipertimbangkan sebagai salah satu altematif) tetapi kurang tepat untuk
OA, gout dan ankylosing spondilytis mengingat efek sampingnya. Pada penyakit gout dan ankylosing spondylitis pilihan jatuh
pada indometasin dan sebagai alternatif adalah naproxen atau
piroxicam. Derivat asam propionat merupakan salah satu pilihan
untuk cedera olah raga (sport injuries).
Keamanan (safety) merupakan salah satu pertimbangan
dalam penggunaan OAINS pada anak, sehingga lebih banyak
dianjurkan pcnggunaan aspirin.
7. Problem dengan OAINS
Problem utama ialah keluhan gastrointestinal; semua
OAINS :
a. Menyebabkan dispepsia.
b. Meningkatkan kemungkinan terjadinya ulkus peptikum.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 27

c. Meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan saluran


cerna bagian atas.
Belum ada satupun OAINS yang aman pada penderita ulkus
peptikum, oleh karena efek samping yang terjadi tidak hanya
akibat iritasi langsung, tetapi juga melalui cara sistemik. Sehingga penggunaan preparat supposutoria, slow release, enteric
coated, pro drug hanya memecahkan sebagian problem saja;
kombinasi dengan antagonis reseptor H2 (seperti ranitidin atau
simetidin) dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan efek
samping tersebut.
Efek samping yang lain jarang dijumpai meliputi :
a. Retensi air pada penderita usia lanjut.
b. Tinnitus terutama pada penggunaan aspirin.
c. Efek samping pada SSP (dizzines, nyeri kepala, nyeri),
biasanya akibat indometasin.
d. Serangan asma pada penggunaan aspirin.
e. Ruam kulit, sering ditemukan pada penggunaan fenbufen.
8. Interaksi dengan obat lain
Aspirin dan fenilbutason dapat meningkatkan kerja anti
koagulan dan sulfonil urea (anti diabetik), sedangkan OAINS
yang lain umumnya cukup aman. OAINS dapat dikombinasikan
dengan analgesik sederhana, preparat emas dan penisilamin.
9. Kombinasi OAINS
Kombinasi satu jenis OAINS dengan jenis lain tidak dianjurkan, karena selain tidak banyak berguna juga meningkatkan
biaya pengobatan. Kombinasi hanya diberikan untuk mengurangi rasa nyeri malam hari (night pain) dan kaku pagi; sebagai
contoh secara reguler diberikan satu jenis OAINS dan pada
malam hari diberikan indometasin suposutoria.
Di bawah ini adalah anjuran yang perlu dipertimbangkan
pada waktu menulis reseptzl.
1. Pilihlah sekelompok kecil dari obat-obat di atas yang telah
diketahui benar efektifitas dan efek sampingnya untuk digunakan secara reguler.
2. Tulislah dahulu obat dengan harga termurah dan sudah nyata
khasiatnya sebelum menulis obat baru atau obat yang kurang
dikenal terutama untuk kasus rematik non artikuler yang self
limiting.
3. Tulislah hanya satu jenis obat untuk satu saat karena sudah
terbukti tidak ada sinergisme atau menurunnya toksisitas bila
digunakan dua atau tiga jenis OAINS sekaligus.
4. Tulislah dalam dosis yang adekuat (lihat tabel III).
5. Tingkatkan kepatuhan penderita dengan dosis yang tleksibel.
6. Tulislah untuk jangka waktu terbatas.
Obat dengan waktu paruh pendek membutuhkan waktu 1
(satu) minggu untuk mencapai efek klinis, sPdangkan obat
dengan waktu paruh panjang membutuhkan waktu 2 (dua)
minggu untuk mencapai efek klinis (lihat tabel II untuk waktu
paruh). Sehingga bila ingin mengubah obat, tunggulah sampai
waktu efek klinis tercpai ditambah 1 (satu) minggu.
Disease Modifying Drugs/Slow Acting Drugs. (Obat Remitif
= S.A.A.R.D.)
Obat kelompok ini merupakan obat Urutan Kedua (second

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

line drugs) untuk artritis reumatoid. Memang hanya pada artritis


reumatoid saja obat ini digunakan. Disebut urutan ke dua karena
hanya digunakan bilaobat urutan pertama (first line drugs), yaitu
OAINS, gagal menghilangkan gejala penyakit. Nama disease
modifying dan slow acting menunjukkan bahwa obat ini dapat
mempengaruhi/menghentikan perjalanan penyakit, walaupun
dibutuhkan waktu selama beberapa minggu atau bulan untuk
tercapainya efek pengobatan.
Nama lain ialah remission inducing agent (obat remitif),
karena obat ini dapat menghentikan perjalanan artritis reumatoid
sampai mencapai tingkat remisi, walaupun beberapa penulis
berkeberatan dengan nama tersebut mengingat sukar sekali
menentukan kriteria.remisi pada artritis reumatoid.
Efek obat ini ialah :
1. Menurunkan derajat nyeri, kaku pagi dan bengkak sendi
setelah penggunaan terus menerus antara 6 (enam) minggu
sampai 6 (enam) bulan.
2. Meningkatkan kekuatan genggaman tangan (grip strength)
dan meningkatkan rasa nyaman badan.
3. Menurunkan Laju Endap Darah dan Protein C-reaktif (CRP)
walaupun tidak sampai ke tingkat yang normal dan meningkatkan
kadar hemoglobin.
Tabel III.

Dosis OAINS

Obat

Dods

* Diklofenak

50 mg b.d. atau Ld.s. atau 100 mg (slow release)


sekali sehari

* Indometasin

25 mg td.s., atau 75 mg atau 100 mg malam, atau


100 mg (suposutoria) malam, atau 75 mg (slow
release) b.d.

* Sulindak

200 mg b.d.

* Tolmetin

400 mg q.d.s.

* Aloksiprin

1200 mg q.d.s.

* Aspirin

400-600 mg dalam 4-6 dosis/hari

* Benorilat

10 ml b.d.

* Diflunisal

500 mg b.d.

* Salsalate

1000-1500 mg b.d.

* Fenbufen

300 mg pagi dan 600 mg malam

* Fenoprofen

600 mg q.d.s.

* Flrbiprofen

100 mg t.d.s.

* Ibuprofen

400-800 mg t.d.s.

* Ketoprofen

100 mg b.d. or t.d.s., 100 mg (slow release) sekali


sehari atau b.d.

* Naproksen

500 mg b.d.

* Asam Tiaprofenat

300 mg b.d.

* Asam Mefenamat

500 mg t.d.s.

* Azapropazon

600 mg b.d.

* Piroksikam

20 mg ekali sehari

* Tenoksikam

20 mg sekali sehari

4. Jumlah trombosit kembali normal bila sebelumnya ada


reaktif trombosis.
5. Menurunkan titer Faktor Reumatoid (R.F.)
6. Memperlambat erosi tulang yang nampak pada radiografi.
Untuk mencapai hasil yang memuaskan pengobatan dilanjutkan selama 6 (enam) bulan, selanjutnya untuk mempertahankannya maka obat diteruskan sesuai dengan kondisi klinik.
Walaupun obat ini sudah nyata bermanfaat pada artritis
reumatoid,.tetapi potensial sangat toksik. Pada awal pemberian
Obat Urutan Kedua ini, maka OAINS diberikan secara bersamaan. Ini dimaksudkan agar pasien tidak terlalu menderita,
karena slow acting drugs baru memberikan efek setelah beberapa minggu atau bulan. Bila respons terhadap slow acting
drugs berhasil dengan baik, maka OAINS dapat dikurangi atau
bahkan dihentikan.
Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah :
1. D-Pennicilamine
2. Suntikan garam emas
3. Sulphasalazine
4. Obat anti malaria
Pilihan obat yang digunakan terlebih dahulu tergantung dari
fasilitas (ada/tidaknya obat), kemampuan melakukan pengawasan (monitor) dan pengalaman dokter yang bersangkutan. Cara
kerja, dosis dan cara monitor dari masing-masing obat di atas
tidak diterangkan dalam makalah ini.
Perlu ditekankan di sini bahwa semua obat di atas sangat
toksik apalagi bila digunakan dalam jangka waktu lama, karena
itu diperlukan pengawasan yang ketat dan terus menerus selama
pengobatan.
Yang penting diketahui ialah saat yang paling tepat unluk
memulai penggunaan obat tersebut; dalam hal ini penderita
dapat dibagi dalam beberapa kelompok yaitu :
1) Penderita dengan artritis (inflamasi nyata) yang mengenai
banyak sendi atau hampir seluruh sendi, dan telah menggunakan
OAINS dalam dosis maksimum dalam jangka waktu lama tetapi
belum menunjukkan perbaikan, bahkan cenderung progresif,
maka penggunaan slow acting drugs merupakan pilihan terbaik.
2) Pada penderita seperti di atas tetapi belum menggunakan
OAINS secara adekuat karena mempunyai keluhan ulkus
peptikum atau keluhan gastrointestial yang berat, maka dapat
diberikan slow acting drugs lebih awal.
3) Penderita dengan artritis inflamasi hanya pada 23 sendi
saja, tidak memerlukan slow acting drugs tetapi mungkin
cukup diberikan suntikan kortikosteroid lokal atau dilakukan
pembedahan.
4) Penderita artritis reumatoid yang lanjut dengan banyak
sndi sudah rusak/cacat, sedangkan tanda inflamasi tidak nyata
lagi, tidak perlu diberi slow acting drugs; pengobatan lebih tepat
dengan pembedahan dan rehabilitasi.
5) Penderita dengan banyak keluhan nyeri, tetapi tanda inflamasi tidak nyata, mungkin faktor psikis lebih banyak berperanan; tidak perlu diberi slow acting drugs.
Obat Sitotoksik
Obat kelompok ini merupakan Obat Urutan Ketiga (third

line drug); hanya digunakan pada penderita artritis reumatoid.


Yang termasuk kelompok ini ialah azathioprine, cyclophosphamide dan ehlorambusil.
Penggunaannya sangat terbatas karena efek toksiknya dan
sering terjadi pula efek toksik lambat (late toxicity). Efek toksik
lambat terjadi bila digunakan dalam jangka waktu lama.
Selain itu ada pula otiat yang dapat diberikan pada artritis
psoriatik atau penyakit Reiter yang berat dan tidak terkontrol
dengan OAINS, yaitu methotrexate. Penggunaan sangat selektif
mengingat efek toksiknya.
Kortikosteroid
Di bidang reumatologi digunakan 2 (dua) sediaan kortikosteroid yang masing-masing mempunyai indikasi berbeda
yaitu .
A. Kortikosteroid sistemik.
B. Suntikan kortikosteroid lokal (intraartikuler).
A. Kortikosteroid Sistemik
Pada masa lalu kortikosteroid merupakan obat urutan pertama (first line drug) dalam pengobatan penyakit rematik. Tetapi
terbukti kemudian bahwa obat ini tidak mempengaruhi perjalanan penyakit rematik dan pada penggunaan lama menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan baik pada organ lain
maupun pada tulang atau sendi (avascular necrosis,osteoporosis
dan kolaps vertebra). Terbukti pula obat ini menimbulkan ketergantungan (dependency), sehingga penderita tidak bisa lepas
dari obat ini, karena tanpa kortikosteroid keluhannya akan
meningkat.
Sejak ditemukannya obat antiinflamasi nonsteroid, penggunaan kortikosteroid sebagai obat pilihan pertama telah tergeser, dan hanya digunakan sebagai tindakan penyelamatan atau
bila obat lain tidak menolong. Karena itu sangat disayangkan
beredarnya obat kombinasi fenilbutason dengan kortikosteroid
secara luas di Indonesia, karena kombinasi obat tersebut sangat
tidak rasional, mengingat efek samping dari kedua preparat
tersebut cukup besar.
Kortikosteroid dapat digunakan pada keadaan sebagai
berikut :
1. Polimialgia Rematika.
2. Artritis Temporal.
3. Lupus Eritematosus Sistemik.
4. Polimiositis.
5. Dermatomiositis.
6. Artritis Reumatoid yang berat.
7. Deman Reumatik yang berat.
8. Shoulder-hand Syndrome.
Untuk ad 1 dan ad 2 pada awal diberikan dosis tertentu yang
kemudian berangsur-angsur diturunkan selama 24 bulan. Untuk
ad 3 sld 6 diberikan dosis tinggi (60 mg/hari) yang kemudian
berangsur-angsur diturunkan sampai tercapai dosis pemeliharaan 515 mg/hari. Pada artritis reumatoid, kortikosteroid saat ini
dimasukkan dalam obat urutan ke tiga (third line drug) dan baru
diberikan bilam ada komplikasi seperti vaskulitis sistemik,
neuropati, perikarditis, pleuritis dan pada keadaan di mana obat
lain sudah tidak berhasil. Takaran yang diberikan tidak lebih dari

7,5 mg prednisolon perhari.


Pada demam rematik yang berat dengan komplikasi karditis
dan kardiomegali dapat diberikan prednison dengan dosis 40-80
IU, diberikan dua kali seminggu.
Dalam memilih jenis kortikosteroid sebaiknya jangan digunakan yang bersifat long-acting yang dapat menekan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal atau golongan mineral kortikoid
seperti kortisol atau kortison. Sebaiknya digunakan prednison
atau prednisolon.
B. Suntikan Kortikosteroid Lokal
Suntikan kortikosteroid lokal dapat dikerjakan dengan dua
cara yaitu :
1) Suntikan intraartikuler; dilakukan penyuntikan langsung ke
dalam sendi.
2) Suntikan non artikuler - dilakukan penyuntikan ke dalam
sarung tendon.
Indikasi suntikan intraartikuler ialah keadaan terdapatnya
artritis yang terbatas pada 2-3 sendi, tetapi sangat mengganggu
aktifitas penderita.
Artritis tersebut ialah :
1. Artritis Reumatoid
2. Gout
3. Pseudogout
4. Artritis traumatik akut
5. Osteoartritis
6. Artritis Reumatoid Juvenil
7. Berbagai keadaan artritis inflamasi sendi perifer misal
spondilitis ankilosa, artritis psoriatik, penyakit Reiter, artritis
pada penyakit inflamasi intestinal.
Sedangkan indikasi suntikan non artikuler terutama pada
keadaan rematik luar sendi (rematism non artikuler) seperti
bicipital tendinitis, tennis elbow, trigger finger dan sebagainya.
Pada keadaan ini suntikan kortikosteroid dapat menyembuhkan
sama sekali keluhan penderita.
Kontra indikasi suntikan ialah :
1. Sepsis periartikuler
2. Bakteremia
3. Unstable joint (sendi goyah)
4. Sendi spinal
5. Fraktur intra artikuler
6. Artritis septik, termasuk TBC
7. Sendi non diathrodial, misalnya : simfisis pubis
8. Osteoporosis juxta artikuler yang nyata
9. Gagal dengan suntikan terdahulu
10. Gangguan hemostasis.
Komplikasi yang sering terjadi ialah :
1. Infeksi
2. Atrofi jaringan lokal
3. Sinovitis kristal akut
4. Absorbsi sistemis
5. Kerusakan rawan sendi
6. Ruptur tendon
7. Kerusakan saraf
Suntikan sebaiknya tidal( terlalu sering dan dianjurkan

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

ulangan suntikan baru dilakukan setelah 2-3 bulan.


Obat pada Artritis Gout
Dalam penatalaksanaan artritis gout umumnya digunakan
tiga jenis obat yaitu :
1) AINS untuk menekan inflamasi; hampir semua jenis AINS
dapat digunakan pada dosis yang adekuat dengan hasil memuaskan.
2) Colchicine merupakan drug of choice pada keadaan akut.
Biasanya diberikan satu tablet (0,6 mg) tiap jam sampai
rasa nyeri berkurang, maksimal 12 tablet/24 jam. Efek samping
bila dosis terlalu banyak ialah nausea dan diare.
3) Obat yang menurunkan kadar asam urat; ada dua jenis
yaitu :
a) Obat urikosurik, yang bekerja dengan jalan meningkatkan
ekskresi asam urat melalui ginjal. Dengan demikian digunakan
pada penderita dengan ekskresi asam urat dalam urine di bawah
normal (under excretion).
Ada dua jenis yaitu probenesid dan sulfinpirazon.
b) Alopurinol, yang bekerja dengan jalan menghambat produksi asam urat melalui rantai hipoxantin-xantin-asam urat.
Indikasi pemberian alopurinol ialah pada penderita gout
dengan :
1. Respons kurang nyata dengan obat urikosurik, misalnya
penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
2. Alcrgi terhadap obat urikosurik.
3. Batu asam urat di ginjal atau saluran kemih.
4. Tofi yang masif.
5. Hiperurikemia sekunder oleh karena gangguan mieloproliferatif.
KESIMPULAN
Dalam penatalaksanaan penyakit rematik, obat hanya merupakan salah satu mata rantai pengobatan. Pengetahuan tentang
obat rernatik perlu diperdalam agar dicapai hasil pengobatan
yang memuaskan. Dikenal berbagai jenis obat rematik yang
masing-masing mempunyai kekhususannya balk dalam indikasi,
cara penggunaan maupun efek sampingnya.
Kortikosteroid sebaiknya digunakan secara terbatas mengingat obat ini hanya bersifat simptomatik, banyak efek sampingnya dan menyebabkan ketergantungan. Obat anti inflamasi nonsteroid dapat menekan proses inflamasi tetapi tidak dapat menghentikan perjalanan penyakit; problema utamanya ialah efek
samping pada gaster.
Obat slow acting atau disease modifying dapat menghentikan perjalanan penyakit artritis reumatoid, tetapi sangat toksik
dan membutuhkan waktu beberapa minggu sampai beberapa
bulan untuk tercapainya khasiat nyata. Suntikan kortikosteroid
lokal dapat menyembuhkan sama sekali keadaan rematism non
artikuler tetapi penggunaannya tidak boleh terlalu sering.
Colchicine merupakan drug of choice pada penyakit gout,
sedangkan obat penurun kadar asam urat ada dua jenis dengan
indikasi pemberian yang berbeda.
Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa semua obat rematik
tidak ada yang aman, oleh karena itu pengawasan oleh seorang
dokter mutlak harus dilakukan.

KEPUSTAKAAN
1. Capell HA. Disease modifying therapy. Medicine International (Quarterly
ed). 1985; 2: 941.
2. Mowat AG. Non steroidal anti inflammatory drugs, Medicine International
(Quarterly ed). 1985; 2: 937.
3. Paulus HE, Furst DE. Aspirin and other nonsteroidal anti inflamatory drugs.
In: Arthritis and allied conditions. A textbook of Rheumatology. McCarthy
DJ (Ed). Tenth ed. Philadelphia: Lea & Febiger 1985. p. 453.
4. Paulus HE. Nonsteroid antiinflammatory drugs. In: Textbook of Rheumatology. Kelley et al (Eds). Third ed. Philadelphia, London, Toronto, Mexico

City, Rio de Janeiro, Sydney, Tokyo: WB. Saunders Co. 1989. p. 765.
5. Rosenbaum EE. Rheumatology New Direction in Therapy. Medical
Examination Publishing, 1979.
6. Schumacher HR. Clinical pharmacology of the anti rheumatic drugs. In:
Primer on the Rheumatic Disease. Ninth Edition. Atlanta: Arthritis Foundation. 1988. p. 282.
7. Soenarto : Pemakaian kortikosteroid yang rasional di bidang reumatologi.
Naskah lengkap KOPAPDI VI. Jakarta, 2428 Juli 1984 : 698.
8. St. Clair EW., Polisson RP. Therapeutic approaches to the treatment of
Rheumatoid disease. In: Advances in Rheumatology., Med. Clin. N. Am.
1986. p. 285.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 31

Peranan Obat
Anti Inflamasi Non Steroid terhadap
Nyeri dan Inflamasi pada
Penyakit Reumatik
Harry Isbagio
Subbagian Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
R.S. Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Penggunaan medikamentosa hanya merupakan salah satu
mata rantai penanggulangan penyakit reumatik yang terdiri
dari :
1. Pendidikan dan Psikoterapi
2. Proteksi sendi
3. Medikamentosa
4. Rehabilitasi
5. Penggunaan alat bantu
6. Pembedahan
Nyeri dan inflamasi merupakan keluhan utama penderita
penyakit reumatik di samping keluhan lainnya. Berbagai usaha
dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan keluhan ini,
antara lain dengan menggunakan medikamentosa.
Penggunaan medikamentosa pada penyakit reumatik selain
bertujuan untuk menekan nyeri dan inflamasi, bila mungkin,
juga menghentikan perjalanan penyakit reumatik. Hingga saat
ini hanya pada artritis reumatoid dan gout yang telah ada obat
yang dapat mempengaruhi perjalanan penyakitnya. Sebagian
besar penyakit reumatik lainnya diobati dengan obat anti-inflamasi non-steroid yang telah terbukti dapat menekan rasa nyeri
dan inflamasi, tetapi tidak dapat menghentikan perjalanan
penyakit.
NYERI DAN INFLAMASI PADA PENYAKIT REUMATIK
Nyeri dan inflamasi merupakan tanda bahwa sendi tersebut
telah mengalami gangguan. Hampir semua gangguan reumatik
disertai dengan nyeri atau nyeri dan inflamasi. Perkecualian pada
sendi neuropatik (neuropathic joint), ialah suatu keadaan hilangnya rasa nyeri akibat keadaan tertentu seperti tabes dorsalis
atau siringomielia. Rasa nyeri ini penting karena menunjukkan

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

adanya mekanisme proteksi dari badan. Adanya rasa nyeri


menunjukkan bahwa si penderita harus mengurangi penggunaan
yang berlebihan dari sendi tersebut, sedangkan adanya inflamasi
menunjukkan bahwa si penderita harus mengistirahatkan sendi
tersebut. Pada sendi neuropatik, di mana si penderita tidak
merasa nyeri, telah terbukti akan terjadi kerusakan sendi yang
lebih cepat; selain itu gangguan fungsi baru terjadi setelah ada
kerusakan mekanikal yang nyata. Sebaliknya pada artritis jenis
lainnya gangguan fungsi sudah mulai tampak pada awal penyakit
bersamaan dengan timbulnya rasa nyeri.
Nyeri pada penyakit reumatik terutama disebabkan oleh
adanya inflamasi yang mengakibatkan dilepaskannya mediatormediator kimiawi. Kinin dan mediator kimiawi lainnya dapat
merangsang timbulnya rasa nyeri. Prostaglandin berperan dalam
meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri yang disebabkan
oleh suatu rangsangan/stimulus (lihat kaskade inflamasi gambar 1).
Pada artritis reumatoid nyeri dan inflamasi disebabkan oleh
terjadinya proses imunologik pada sinovia yang mengakibatkan
terjadinya sinovitis dan pembentukan pannus yang akhirnya
menyebabkan kerusakan sendi (gambar 2). Pada artritis gout
adanya deposit kristal asam urat pada sinovia/rongga sendi
akan mengakibatkan terjadinya inflamasi. Pada osteoartritis
tidak selalu ditemukan adanya inflamasi, hanya pada kira-kira
40% kasus yang disertai inflamasi yang disebabkan oleh lepasnya kristal kalsium-pirofosfat atau serpihan rawan sendi ke
dalam rongga sendi. Osteoartritis ialah penyakit yang bermula
dari gangguan rawan sendi, sedangkan diketahui bahwa rawan
sendi tidak mempunyai persyarafan. Dengan demikian timbul
pertanyaan darimasa asal rasa nyeri pada osteoartritis bila tidak
ada inflamasi? Ternyata nyeri pada osteoartritis dapat discbabkan antara lain oleh : 1. Terjadinya mikrofraktur di antara

trabekulae tulang subkondral, 2. Terjadinya bendungan vena


akibat perubahan bentuk trabekulae. tulang subkondral, 3. Regangan dari syaraf periosteal yang berakhir pada osteofit, 4.
Regangan ligamen akibat deformitas atau akibat efusi sendi dan
5. Karena regangan otot.
Hal yang penting ialah membedakan antara nyeri yang
disebabkan perubahan mekanikal dengan nyeri yang disebabkan
inflamasi. Perubahan mekanikal disebabkan oleh perubahan
anatomis yang lanjut akibat beratnya penyakit. Nyeri mekanikal
timbul setelah penderita melakukan aktivitas dan tidak timbul
pada pagi hari atau setelah penderita beristirahat serta tidak
disertai dengan kaku sendi (joint stiffness). Perubahan mekanikal
ini memerlukan pula pengobatan mekanikal seperti artroplasti
(joint replacement) atau artrodesis (joint fusion). Sebaliknya
nyeri inflamasi alcan bertambah berat pada pagi hari saat bangun
tidur dan disertai kaku sendi pagi hari atau setelah duduk lama.
Nyeri inflamasi ini akan berkurang bila diberikan latihan atau
obat anti-inflamasi non-steroid. Pada artritis reumatoid nyeri
paling berat biasanya pada pagi hari, membaik pada siang hari
dan sedikit lebih berat pada malam hari. Sebaliknya pada osteoartritis nyeri paling berat pada malam hari, pagi hari terasa lebih
ringan dan membaik pada siang hari.
Ada 2 faktor yang berperanan dalam beratnya rasa nyeri
pada penderita penyakit reumatik, yaitu beratnya penyakit dan
ambang nyeri dari si penderita. Makin bertambah berat penyakit
makin bertambah pula rasa nyen dan bila perjalanan penyakit
dapat dihentikan (remisi) seperti pada artritis reumatoid, maka
rasa nyeri akan pula berkurang. Pasien dengan ambang nyeri
yang tinggi akan merasa sedikit nyeri dan hanya membutuhkan
sedikit obat serta dapat tetap bekerja seperti biasa. Semula dianggap bahwa pasien dengan ambang nyeri yang tinggi akan
mengalami kerusakan sendi yang lebih cepat karena penderita
tetap akan menggunakan sendi yang sakit tersebut terus menerus. Hal tersebut didasarkan pada penemuan bahwa pada sendi
neurepatik terjadi kerusakan sendi yang lebih cepat. Tetapi
hingga sekarang belum ada bukti penelitian bahwa pendapat
tersebut benar.
Pada penyakit gout nyeri yang terjadi karakteristik, yaitu
berupa serangan akut yang hebat timbul pada waktu bangun pagi
hari, padahal malam hari sebelumnya penderita tidak merasakan
apa-apa, rasa nyeri dan inflamasi ini biasanya self-limiting dan
sangat responsif dengan pengobatan. Pada artritis reumatoid
dan osteoartritis rasa nyeri timbul sesuai dengan beratnya penyakit. Pada artritis reumatoid sifat nyerinya tajam (sharp pain),
sedangkan pada osteoartritis lebih ringan (dull pain). Pada
spondilitis ankilosis rasa nyeri biasanya tidak terlalu hebat, dan
justru pada penyakit ini penderita harus tetap aktif bergerak,
sebagai bagian dari pengobatan untuk mencegah terjadinya
kekakuan.
Pada anak terdapat perbedaan, suatu penelitian pada artritis
kronik juvenil mendapatkan bahwa sebagian besar penderita
hanya merasa nyeri ringan dan tidak ada korelasi antara beratnya penyakit dengan rasa nyeri.
Rasa nyeri mengakibatkan gangguan fungsi dan rasa putus

asa dari si penderita, sehingga diperlukan pengobatan untuk


mengatasinya.
PERANAN OBAT ANTI INFLAMASI NON STEROID
Sebagai telah disebut di atas maka obat hanya merupakan
sebagian dari pengelolaan penyakit reumatik, tetapi karena obat
relatif mudah didapat dan cepat memberikan respons, maka
biasanya penderita segera meminta obat kepada dokter, bahkan
sebagai pertolongan pertama banyak yang telah minum obat
sebelum pergi ke dokter. Memang benar bahwa obat dapat
menekan rasa nyeri dan inflamasi, tetapi perlu diingatkan
bahwa di lain pihak dengan hilangnya rasa nyeri tersebut akan
ada kecenderungan dari penderita untuk menggitnakan sendi
tersebut secara berlebihan.
Ada 3 golongan obat utama yang digunakan pada artritis
yaitu analgesik, obat anti-inflamasi non-steroid dan obat spesifik
untuk penyakit tertentu. Pada setiap golongan terdapat lagi berbagai jenis obat yang berbeda. Keberhasilan pengobatan tergantung dari keahlian untuk memilih obat yang tepat dalam dosis
yang tepat untuk pasien yang tepat pada penyakit yang tepat dan
saat yang tepat dari perjalanan penyakit.
Analgesik terdiri dari yang bekerja sentral seperti dihidrokodein atau dkstropropoksifen dan yang bekerja perifer seperti
parasetamol, aspirin dan obat anti-inflamasi non steroid. Analgesik hanya dapat menghilangkan rasa nyeri saja, bekerja cepat
setelah beberapa menit dan hilang setelah beberapa jam, pemberian dosis kedua memberikan hasil yang sama. Tidak ada
gunanya untuk memberikan analgesik secara reguler, sebaiknya
diberikan apabila penderita memerlukannya. Analgesik sangat
ideal untuk nyeri yang ringan dan intenniten. Analgesik mempunyai 2 hambatan penting. Yang pertama ialah tidak adanya
efek anti-inflamasi sehingga tidak dapat diberikan pada keadaan nyeri yang disebabkan inflamasi. Yang kedua ialah pada
penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan kematian;
aspirin dapat menyebabkan asidosis-metabolik dan parasetamol
dapat menyebabkan nekrosis hati. Obat yang bekerja sentral
seperti dekstropropoksifen dapat menyebabkan depresi pernafasan, terutama bila dikombinasi dengan depresan SSP seperti
alkohol.
Pada tahun 1971, Sir John Vane membuat hipotesis bahwa
produksi prostaglandin lokal sangat penting dalam proses inflamasi. Proses inflamasi atau kaskade inflamasi Mb. 1), dimulai
dari suatu stimulus yang akan mengakibatkan kerusakan sel.
Sebagai reaksi terhadap kerusakan maka sel tersebut akan melepaskan beberapa fosfolipid yang di antaranya ialah asam
arakhidonat. Setelah asam arakhidonat tersebut bebas akan segera diaktifkan oleh beberapa enzim, diantaranya lipoksigenase
dan siklooksigenase. Enzim tersebut merubah asam arakhidonat
ke dalam bentuk yang tidak stabil (hidroperoksid dan endoperoksid) yang selanjutnya dimetabolisir menjadi leukotrien,
prostaglandin, prostasiklin dan tromboksan.
Sebagian besar OAINS dapat mengurangi inflamasi dengan
cara menghambat kerja enzim siklooksigenase sehingga mencegah transformasi asam arakhidonat menjadi prostaglandin

Gambar 1. Kaskade inflamasi

Keterangan :
LTB4 = leukotrien B4; 02 anion superoksid; IL1 = Interleukin1;
cAMP = siklik adenosin monofosfat

yang stabil (PGE2dan PGIz/Prostasiklin). Selain itu OAINS juga


menghambat kerja prostaglandin pada tempat reseptor.
Beberapa GAINS dapat pula menghambat kerja enzim lipooksigenase dan mencegah transformasi asam arakhidonat menjadi leukotrien, di antaranya yang cukup poten ialah sodium
meklofenamat dan benoksaprofen, yang kerjanya moderat ialah
sodium dikiofenak dan ketoprofen, sedangkan ibuprofen, naproksen, piroksikam dan indometasin tidak punya daya kerja
menghambat enzim lipooksigenase,
Saat ini inflamasi dianggap sebagai akibat dari proses multifaktor yang melibatkan proses lokal dan sistemik. Pada artritis
reumatoid dan juga pada osteoartritis, proses inflamasi diawali
dengan suatu stimulus yang merupakan kombinasi dari pencetus
tak dikenal (unknown trigger) dan predisposisi genetik. Terjadilah akumulasi limfosit pada sinovia sendi yang akan memproduksi faktor reumatoid (Gambar 2). Faktor ini berperan dalam
pembentukan kompleks imun yang akan mengaktifkan komplemen,yang mempunyai efek khemotaktik pada neutrofil dan
makrofag. Neutrofil dan makrofag akan bermigrasi ke dalam
sendi di mana kemudian diproduksi anion superoksid, kolagenase,
elastase dan enzim degeneratif lainnya seperti prostaglandin.
Akhir dari proses ini ialah timbulnya nyeri, inflamasi dan proses
destruksi.

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Gambar 2. Proses inflamasi pada artritis reumatoid(4)

Jadi dari berbagai penelitian yang ada, berbagai hipotesis


telah disusun untuk menjelaskan peranan OAINS pada inflamasi, dan masing-masing hipotesa menjelaskan sebagian dari
mekanisme kerja dari OAINS. Tetapi bagaimana kerja yang
pasti dari OAINS terhadap inflamasi belumlah seluruhnya
diketahui.
Di lain pihak penelitian klinik telah membuktikan bahwa
penggunaan OAINS dapat menekan rasa nyeri dan inflamasi.
Dari sekian banyak GAINS yang telah beredar, Huskisson dkk.
menemukan bahwa walaupun di antara OAINS tersebut tidak
ditemukan perbedaan efektifitas, tetapi terdapat perbedaan individuil di antara penderita; jadi ada penderita yang merasa cocok
dengan salah satu obat, tetapi tidak cocok dengan obat yang lain
dan sebaliknya. Misalnya penderita A merasa cocok dengan obat
X tetapi tidak cocok dengan obat Y, sebaliknya penderita B
merasa cocok dengan obat Y dan tidak cocok dengan obat X,
walaupun kedua penderita tersebut mempunyai diagnosis dan
gejala klinik yang sama. Implikasi dari penelitian ini ialah
beberapapasien mungkin lebih dahulu perlu mencoba berbagai
OAINS yang berbeda sebelum ditemukan salah satu obat yang
dirasa penderita paling optimal menghilangkan rasa nyeri. Yang
perlu diperhatikan pada waktu mencoba obat tersebut ialah saat
aksi kerja obat tersebut; beberapa obat memerlukan waktu beberapa hari sedangkan obat yaeg lainnya memerlukan beberapa
waktu beberapa minggu sebelum diperoleh efek yang diinginkan.
OAINS memang dapat menghilangkan rasa nyeri dan inflamasi, tetapi bukan menyembuhkan. Pengobatan yang paling
tepat tentunya dengan menggunakan obat yang dapat menghentikan perjalanan penyakit. Walaupun demikian OAINS
untuk sementara masih diperlukan sebelum obat tersebut ditemukan.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah rasa takut terhadap
penyakit. Penjelasan dan pemberian pengertian mungkin akan
mengurangi rasa nyeri karena rasa nyeri akan bertambah apabila

penderita merasa takut akan penyakitnya.


Seperti telah disebut pada awal dari makalah ini, obat
hanyalah sebagian saja dari penanggulangan nyeri pada penyakit
reumatik; masih ada berbagai tindakan seperti program rehabilitasi dan penggunaan alat bantu yang secara bersama dapat
membantu penderita dalam memerangi nyeri dan inflamasi pada
penyakit reumatik, dan akhirnya mungkin penderita memerlukan tindakan pembedahan untuk menanggulangi penyakitnya.

masi, walaupun ada pendapat bahwa prostaglandin mempunyai


efek positif terhadap inflamasi.
Mekanisme pasti dari aksi kerja OAINS terhadap inflamasi
belum sepenuhnya diketahui dengan pasti. Secara klinis walaupun
berbagai OAINS mempunyai efektifitas yang sama, terdapat
perbedaan respon individuil di antara penderita. Medikamentosa
hanyalah sebagian dari program dalam mengelola penyakit
reumatik.

KESIMPULAN
Nyeri dan inflamasi merupakan gejala utama dari penyakit
reumatik. Beratnya rasa nyeri tergantung dari beratnya penyakit
dan ambang nyeri dari penderita. Dikenal nyeri mekanik yang
membutuhkan tindakan operatif dan nyeri inflamasi yang dapat
ditekan dengan OAINS. Analgetik hanya bekerja singkat dan
tidak punya efek terhadap nyeri inflamasi. OAINS bekerja
dengan menghambat enzim siklooksigenase dan lipooksigenase
untuk mencegah transformasi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan leukotrien yang
dianggap sebagai penyebab terjadinya gejala nyeri dan infla

KEPUSTAKAAN
1. Harry Isbagio. Medikamentosa pada osteoartritis: Peranan obat anti-inflamasi non-steroid, prostaglandin dan interleukin pads rawan sendi. Simposium Osteoartritis KOPAPDI VIII, Yogyakarta, 2430 Juni 1990.
2. Huskisson EC. Pain in rheumatic disorders and its medical control. Kumpulan
Naskah Lengkap Simposium Nyeri pads Penderita Reumatik. Biennial
Meeting IRA. Jakarta, 9 Mei 1981.
3. Paulus HE. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs. In: Kelley WN et al (ed).
Texbook of Rheumatology. Third edition. Philadelphia, London, Toronto,
Montreal, Sydney, Tokyo: W.B. Saunders Company. 1989, p. 765.
4. Weissmann G. Supression of Inflammation in Rheumatoid Arthritis : The
Role of Prostaglandin. In: New Frontiers in Prostaglandin Therapeutics.
Excerpta Medics. 1989, p. 1.

Idleness is only a refuge of weak,mind


(Philip DS Chesterfield)

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 35

Efek Samping Obat Anti Inflamasi


Non Steroid
A.R. Nasutlon
Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
R.S. Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Dengan bertambah luasnya penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid, maka terjadinya efek samping tak dapat dihindarkan. Pada umumnya OAINS mempunyai spektrum yang
sama dalam toksisitas klinis, walaupun efek samping tertentu
bervariasi pada senyawa tersebut. Karen adanya efek samping
dan efek toksik (yang berkaitan dengan dosis), maka diperlukan
pengamatan yang teliti pada setiap penggunaan obat anti inflamasi non steroid untuk setiap kali membandingkan antara manfaat dan risikonya.
Efek samping yang penting terjadi pada traktus gastrointestinalis, sistim saraf pusat, sistim hematopoetik, ginjal, kulit
dan hati. Talc ada satupun OAINS yang sama sekali aman,
bahkan aspirin yang merupakan obat yang paling sering digunakan dan cukup efektif, mempunyai efek samping yang lebih
sering dan lebih berbahaya jika diberikan dalam dosis yang
berlebihan.
TRAKTUS GASTROINTESTINALIS
Oleh karena penekanan terhadap sintesis prostaglandin,
maka OAINS cenderung menyebabkan iritasi lambung dan
mengeksaserbasi ulkus peptikum.
Pada hewan percobaan terlihat bahwa prostaglandin mengakibatkan penekanan sekresi asam lambung dan membantu
pertahanan mukosa lambung, jadi prostaglandin bersifat sitoprotektif gastrointestinal.
Pada manusia pemberian prostaglandin dapat mengurangi
insiden kehilangan darah melalui tinja yang diakibatkan aspirin
dan secara endoskopis dapat terlihat adanya perbaikan dari
kerusakan mukosa lambung dan duodenum.
Gejala lain yang diakibatkan oleh OAINS antara lain
dispepsia, nyeri epigastrium, indigesti, heart burn (rasa seperti
terbakar), nausea dan vomitus.

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Telah terbukti bahwa obat-obat tersebut menyebabkan lesi


mukosa yang dapat bervariasi dari hiperemia sampai gastritis
difus, erosi superfisiil atau ulkus. Kehilangan darah samar dapat
terjadi terutama pada penggunaan aspirin atau OAINS lainnya
bahkan dapat pula terjadi perdarahan gastrointestinal yang
masif.
Indometasin, sulindak dan natrium mefenamat mempunyai
resirkulasi enterohepatik yang luas, yang menambah pemaparan
obat-obat ini dan meningkatkan toksisitas gastrointestinalnya.
Indometasin dilaporkan dapat mengakibatkan iritasi setempat
langsung yang dapat menimbulkan perforasi.
Caruso dkk. meneliti secara gastroskopis efek 12 OAINS
yang diberikan tunggal atau secara kombinasi pada 164 pasien
dengan Artritis Reumatoid dan 84 pasien dengan Osteoartritis.
Selama 1 tahun pengobatan, temyata 31 pasien secara endoskopis dipastikan mengalami lesi gaster. Lesi terdapat pada 51%
pasien yang mendapat pengobatan OAINS multipel. Semua
OAINS menyebabkan kerusakan gaster, yang terbesar adalah
yang disebabkan oleh aspirin dan yang paling kurang adalah
sulindak dan diflunisal.
Laporan lain menunjukkan bahwa yang paling minimal
merusak mukosa adalah sulindak, aspirin enteric coated dan
ibuprofen 1200 mg/hr. Tidak terdapat korelasi antara gejala
subyektif dengan hasil endoskopi. Berbeda dengan aspirin, maka
salisilat yang non asetilasi tidak berhubungan langsung dengan
peningkatan kehilangan darah akibat lesi gastrointestinal.
Perdarahan gastrointestinal yang dicetuskan oleh aspirin
dan OAINS cenderung lebih berat, oleh karena obit ini dapat
menunmkan agregasi trombosit dengan mekanisme.penekanan
pda siklo-oksigenase. Jadi efek antikoagulan trombosit yang
memanjang pada penggunaan aspirin, disebabkan oleh adanya
asetilasi siklooksigenase trombosit yang irreversibel. Hal ini
terdapat pula pada penggunaan OAINS lain dan tergantung pula

pada konsentrasinya. Proses ini menetap selama trombosit


masih terpapar dalam konsentrasi yang cukup tinggi dengan
obat tersebut.
Diperkirakan ulkus gastrointestinal, perdarahan dan perforasi terjadi kurang lebih 12% dari seluruh pasien yang
menggunakan GAINS selama 3 bulan dan 25% pads mereka
yang menggunakannya selama 1 tahun. Risiko kumulatif dari
keadaan yang serius ini, tampaknya meningkat dengan lamanya
pengobatan dan lebih meningkat lagi pada penderita yang sebelumnya menderita ulkus peptik.
Kematian sering terjadi pada penderita usia lanjut atau pada
mereka yang keadaan umumnya lemah. Dosis yang tinggi,
memberi risiko yang lebih tinggi. Penyakit yang diderita pasien,
umur dan derajat inflamasi perlu dipertimbangkan dalam menentukan dosis optimal dan setiap awal terapi dimulai dengan
dosis serendah mungkin yang masih cukup adekuat untuk menekan gejala. Efek samping gastrointestinal yang lain ialah
stomatitis, diare, ulserasi oesofagus, perforasi divertikulum
kolon dan pankreas.
HATI DAN LIMPA
Pada penelitian dari FDA terlihat bahwa pada 5,4% pasien
Artritis Reumatoid yang diobati dengan aspirin, ditemukan peningkatan persisten lebih dari 1 test fungsi hati, dan hal yang
sama ditemui juga pada 2,9% pasien yang diobati dengan OAINS
lainnya. Keadaan ini biasanya tanpa gejala dan penghentian atau
penurunan dosis umumnya dapat menormalkan kembali nilai
transaminase. Usia lanjut, fungsi ginjal yang menurun, penggunaan obat multipel, dosis yang tinggi, terapi jangka lama
merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko toksisitas
hati. Pemanjangan masa protrombin dan hiperbilirubinemia
merupakan tanda prognostik yang buruk dan merupakan pula
tanda awal dari penyakit hati yang progresif yang dapat mengakibatkan nekrosis hati yang fatal.
GINJAL
Prostaglandin Vasodilator E2 dan I1 meningkatkan aliran
darah ginjal, meningkatkan ekskresi air, meningkatkan ekskresi
natrium klorida dan merangsang sekresi renin. Sedang PGF2a
dan TxA2 yang vasokonstriktor dapat menurunkan fungsi ginjal
pada keadaan glomerulonefritis akibat rejeksi transplantasi.
PGE2 dan PGI2 yang dibentuk di dalam glomerolus mempunyai
pengaruh terutama pada aliran darah dan tingkat filtrasi glomerulus; PGI1 yang diproduksi pada arteriol ginjal juga mengatur
aliran darah gin jai. PGE2 yang disintesis oleh sel interstitial
medula, membantu mengatur aliran darah ginjal ke medula;
PGE2 juga disintesis di dalam duktus koligentes, dapat mengubah permeabilitas duktus terhadap air dan reaksinya terhadap
hormon antidiuretik.
Pada hewan percobaan (anjing), dapat diperlihatkan adanya
penurunan aliran darah ginjal dengan memberikan infus Angiotensin II atau dengan menjepit arteri ginjal utama. Hal ini diikuti
dengan peningkatan sintesis PGE2 dan peningkatan kompensasi
peredaran darah. Bila diberikan OAINS pada keadaan tersebut,

terjadi penurunan aliran darah ginjal yang makin hebat akibat


terhambatnya sintesis PGE2 vasodilator.
Pada orang sehat, dengan hidrasi yang cukup dan ginjal yang
normal, PGE2 dan Prostasiklin (PGI2) tidak memegang peranan
dalam pengendalian fungsi ginjal. Tetapi pada keadaan tertentu
dengan sires sirkulasi yang Fling disertai dengan peningkatan
Angiotensin II dart Katekolamin, maka Prostaglandin vasodilator yang dibentuk lokal menjadi panting untuk mempertahankan
fungsi ginjal yang cukup. Pada tikus yang diinduksi menjadi
glomerulonefritis imun secara eksperimental, maka penyumbatan ureter dan penyumbatan vena ginjal akan diikuti dengan
produksi yang meningkat dari vasokonstriksi ginjal kronik.
Dengan meningkatnya pengetahuan tentang peran jalur
siklooksigenase dalam metabolisme asam arakidonat dan hemodinamika ginjal, maka pengaruh OAINS terhadap ginjal dapat
dimengerti. Pengaruh zat ini terhadap ginjal langsung berhubungan dengan potensinya dalam menghambat produksi
prostaglandin ginjal, seperti yang terlihat dengan hambatan
ekskresi prostaglandin urin. Pada orang yang mempunyai
faktor prdisposisi, penekanan produksi prostaglandin kompensatorik dapat mengakibatkan pengurangan aliran darah
ginjal dan filtrasi glomerulus disertai retensi caftan, edema dan
peningkatan kadar kreatinin serum. Yang paling mempunyai
risiko ialah penderita gagal jantung, SLE, glomerulonefritis
kronik,.kegagalan hati dengan mites, bayi prematur dan mereka
yang menggunakan diuretika. Penurunan aliran darah meduler
yang mencolok dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis kapiler. Penghambatan siklo-oksigenase dapat menyebabkan terjadinya hiperkalemi, hal ini sering sekali terjadi pada penderita
diabetes melitus, penderita insufisiensi ginjal ringan hingga sedang dan penderita yang menggunakan penyekat beta, inhibitor
enzim yang mengubah angiotensin, atau diuretika yang menjaga
kalium (potassium sparing). Penghambat siklo-oksigenase ternyata juga menurunkan daya kerja obat anti hipertensi dan daya
kerja obat diuretik.
Dengan luasnya penggunaan aspirin dan OAINS, sedangkan laporan yang dipublikasi mengenai nefrotoksisitas relatif
sedikit maka laporan tentang insufisiensi ginjal iskemik yang
diinduksi oleh OAINS lebih sering terjadi pada pasien yang
dirawat dibandingkan dengan pasien yang berobat jalan, dan
hiperkalemia yang disebabkan OAINS lebih sering ditemukan
daripada insufisiensi ginjal akut.
Beberapa studi menemukan bahwa pada penggunaan sulindak, maka metabolitnya berupa sulfide sulindak aktif akan
dioksidasi oleh ginjal menjadi metabolit sulfon yang inaktif
atau menjadi produk sulindak yang relatif tidak aktif. Hal ini
dapat mencegah terjadinya insufisiensi ginjal. Akan tetapi
peneliti lain menemukan kerusakan fungsi ginjal atau hambatan
prostaglandin yang disintesis ginjal akibat sulindak, terutama
pada pasien-pasien yang mempunyai hemodinamik buruk dan
dengan dosis sulindak yang tinggi. Oleh karena itu kita hams
berhati-hati sekali mengobati pasien berisiko tinggi dengan
OAINS tersebut, walaupun sulindak atau salisilat yang non
asetilasi (yang hambatan siklo-oksigenasenya lemah) lebih di-

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 37

sukai daripada inhibitor-inhibitor siklo-oksigenase yang kuat


seperti indometasin.
Tipe ke dua dari gangguan ginjal oleh OAINS yaitu reaksi
idiosinkrasi yang disertai dengan proteinurea yang masif dan
nefritis interstitial yang akut. Kadang ditemukan pula fenomena
hipersensiti_fi_tas seperti demam, ruam kulit dan eosinofili.
Biopsi ginjal memperlihatkan nefritis interstitial difus yang
didominasi oleh infiltrasi limfosit. Sindrom ini telah ditemukan
praktis pada semua OAINS, tapi yang terbanyak didapati pada
penggunaan fenoprofen. Setelah penghentian OAINS penyembuhan sempurna dari fungsi ginjal terjadi walaupun kadangkadang diperlukan dialisa atau kortikosteroid dosis tinggi atau
kombinasi keduanya untuk memperbaiki fungsi ginjal.
Mekanisme yang ketiga, ialah toksisitas ginjal oleh OAINS
disebabkan oleh pengendapan asam urat intratubuler oleh obat
suprofen atau dengan metabolit dari obat benoxaprofen. Nyeri
hebat tiba-tiba daerah pinggang kanan-kiri dapat timbul 23 jam
setelah dosis pertama atau kedua dari suprofen, biasanya disertai
dengan peningkatan kadar kreatinin serum, hematuri mikroskopik, proteinuri ringan dan poliuri. Yang sering terkena adalah
pria usia muda. Pada semua kasus, nyeri akan hilang dan fungsi
ginjal kembali normal dalam beberapa hari hingga beberapa
minggu. Pada beberapa keadaan, sindrom ini ditemukan pula
pada penggunaan urikosurik yang kuat; karena waktu paruhnya
sangat pendek, maka gangguan tersebut ini hanya timbul selama
beberapa jam. Secara teoritis pada penderita hiperurikosemi
dengan win yang asam dan aliran win yang kurang adekuat
akan terjadi peningkatan kristal asam urat yang mengakibatkan
obstruksi tubuli temporer. Sindrom ini dapat dicegah dengan
memastikan bahwa pasien cukup hidrasinya sebelum menggunakan OAINS. Sementara itu pabrik yang membuat suprofen
telah menariknya dari pasaran karena pengaruh ini; sedangkan
gagal ginjal yang berhubungan dengan benaxoprofen mungkin
berkaitan dengan penumpukan intratubuler metabolit benaxoprofen, sama dengan benda globuler yang telah ditemukan secara
mikroskopik Mutt win.
Umumnya gagal ginjal kronik dianggap bukan akibat
pengobatan OAINS.
Penderita yang mempunyai penyakit yang termasuk faktor
predisposisi atau sedang menggunakan obat tertentu harus diobati dengan dosis serendah mungkin tetapi yang masih cukup
efektif, dengan obat penghambat sildo-oksigenase ginjal yang
lemah dan harus diobservasi dengan ketat. Dianjurkan pengukuran kreatinin serum dan elektrolit berkala setiap 57 hari.
KULIT
Suatu spektrum yang luas dari reaksi kulit telah dikaitkan
dengan OAINS. Menurut laporan Akademi Dermatologi di
Amerika tahun 1984, reaksi kulit paling sedikit dilaporkan pada
penggunaan piroksikam, zomepirac, sulindak, sodium meclofenamat, benaxoprofen. Erupsi morbiliform yang ringan, reaksireaksi obat yang menetap, reaksi-reaksi fotosensitifitas, erupsierupsi vesikobulosa, serum sickness dan eritroderma exfoliatif
semuanya pernah dilaporkan. Hampir semua OAINS dapat menyebabkan urtikaria terutama pada pasien yang sensitif dengan
yang luar biasa dari reaksi hipersensitifitas, dapat terjadi path

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

aspirin.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Pada beberapa pasien dengan asma bronkial, terutama
yang mempunyai trias: rinitis vasomotor, poliposis nasal dan
asma akut sering mengalami reaksi ini. Hal ini disebabkan oleh
hambatan prostaglandin yang bersifat bronkodilator.
Hambatan terhadap jalur siklo-oksigenase akan mendorong
metabolisme asam arakidonat ke arah pembentukan produk
lipoksigenase seperti zat anafilaksis yang bereaksi lambat dan
leukotrien (C4 dan D4). Zat-zat ini dapat mencetuskan bronkospasme. Pasien yang mempunyai reaksi seperti ini umumnya
sensitif terhadap OAINS oleh karena itu harus dihindari.
Reaksi anafilaksis telah dilaporkan pada beberapa OAINS
terutama tolmetin dan zomepirac. Zomepirac telah ditarik dari
peredaran oleh karena efek sampingnya.
SISTEM HEMATOPOETIK
Anemia aplastik, agranulositosis dan trombositopeni jarang
dikaitkan dengan OAINS, tetapi menonjol sebagai penyebab
kematian yang dikaitkan dengan obat-obat ini. Didasarkan atas
perkiraan adanya 22 kematian akibat kelainan darah per 1 juta
penderita dan perkiraan FDA terdapat 16 kematian per 1 juta,
maka fenilbutason tidak dianjurkan untuk pengobatan pertama
pada keadaan apapun. Risiko ini meningkat lebih kurang 6 kali
pada wanita yang umurnya lebih dari 60 tahun. Berbagai laporan terpisah tentang kelainan darah yang berhubungan dengan
OAINS telah banyak dipublikasi. Suatu studi kasus kontrol
yang besar memperlihatkan adanya hubungan dengan
indometasin dan fenilbutason, dengan risiko sebesar 10,1/1 juta
dan 6,6/1 juta. Oleh karena jarangnya masalah ini dan
kejadiannya tidak dapat diduga maka perlu dilakukan
pengawasan dengan menghitung sel darah rutin. Perlu
pertimbangan matang jika akan memberikan fenilbutason atau
oxifenbutason pada wanita lebih dari 60 tahun.
OAINS mengganggu secara reversibel agregasi trombosit
dengan cara menghambat siklo-oksigenase trombosit, dan menghambat sintesis TxA2. Efek ini menetap hanya selama obat itu
ada, tetapi dapat meningkatkan beratnya perdarahan gastrointestinal. Pada keadaan preoperatif OAINS harus dihentikan
cukup lama sebelum pembedahan untuk memberi kesempatan
ekskresi obat yang lengkap, lebih kurang 45 kali waktu paruh
dari obat. Jadi obat-obat yang mempunyai waktu paruh pendek,
seperti tolmetin/ibuprofen, dapat dihentikan 1824 jam preoperatif, sementara obat-obat dengan waktu paruh panjang seperti piroksikam harus dihentikan 8 hari sebelum pembedahan.
SISTIM SARAF PUSAT
Nyeri kepala dan pusing terjadi pada pasien-pasien yang
memakai indometasin. Depresi, konvulsi, rasa lelah, halusinasi,
reaksi depersonalisasi, kejang, sinkop pernah dilaporkan. Penderita usia lan jut yang menggunakan naproxen/ibuprofen telah
dilaporkan mengalami disfungsi kognitif, kehilangan personalitas, pelupa, depresi, tidak dapat tidur, iritasi, rasa ringan kepala
hingga paranoid. Meningitis akut aseptik agaknya suatu tipe
pasien dengan SLE/MCTD yang diobati dengan ibuprofen,

sulindac, tolmetin.
EFEK SAMPING LAIN
Edema paru-paru telah dilaporkan sehubungan dengan penggunaan fenilbutazon dan infiltrat paru-paru dengan naproxen.
Ginekomastia dihubungkan dengan sulindac, alopesia dengan
ibuprofen clan pembesaran timid dengan oksifenobutason.
DOSIS BERLEBIH DARI OAINS
Dosis berlebih dari GAINS yang terjadi akut tidak setoksis
overdosis aspirin/salisilat. Kebanyakan pasien tidak menimbulkan gejala dan ada yang baru timbul 4 jam setelah makan that.
Gejala yang ada di samping kematian ialah gejala depresi SSP,
kejang-kejang, apnoe, nistagmus, penglihatan kabur, diplopia,
sakit kepala, tinitus, bradikardi, hipotensi, sakit perut, nausea,
vomitus, hematuri, fungsi ginjal abnormnal dan henti jantung.
Pengobatan antara lain membersihkan isi perut, observasi
dan pemberian cairan.

KESIMPULAN
Hingga saat ini belum ada GAINS yang aman dari efek
samping. Efek samping yang sering ditemukan terutama pada
sistem gastrointestinal. Efek samping lainnya yang penting ialah
pada ginjal karena dapat mengakibatkan gagal ginjal. Sebagian
besar efek samping terjadi akibat penkanan pembentukan
prostaglandin pada jalur siklo-oksigenase.
Mengingat efek sampingnya, setiap pemberian GAINS
harus dalam pengawasan dokter.
KEPUSTAKAAN
1. Mowat AG. Non steroidal anti inflamatory drugs, Medicine International
(Quarterly Ed. 1985; 2: 937.
2. Paulus HE, Furst DE. Aspirin and other nonsteroidal anti inflamatory drugs.
In: Arthritis and Allied conditions. A textbook of Rheumatology. McCarthy
DJ. Ed. Tenth ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1985, p. 453.
3. Paulus HE. Nonsteroid antiinflammatory drugs. In: Textbook of Rheumatology. Eds. Kelley et al. Third ed. Philadelphia, London, Toronto, Mexico
City, Rio de Janeiro, Sydney, Tokyo: W.B. Saunders Co. 1989, p. 765.
4. Schumacher HR. Clinical Pharmacology of the Anti Rheumatic drugs. In:
Primer on the Rheumatic Disease. Ninth ed. Atlanta G.A: Arthritis Foundation. 1988, p. 282.

I do not pray for a lighter toad, but for a stronger back,


(Philips Brook)

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 39

Sindrom Dermatitis-Artritis
Gonoreal Diseminata
Djunaedl Hidayat, Farida Zubler, Ad hi Djuanda
Bagian/UPF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RS Ciptomangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Infeksi gonokokal diseminata (IGD) merupakan komplikasi
infeksi gonokokus yang dapat menimbulkan manifestasi klinis
bermacam-macam, yang paling sering berupa artritis danjesi
pada kulit, yang disebut juga sindrom dermatitis-artritis(1,2,3,4,5)
Sindrom klinis gonore telah dikenal lama, dan Vidal mengemukakan adanya artritis gonokokal dalam bukunya tahun 1854;
sejak awal tahun 1900 banyak dilaporkan kasus artritis gonokokal. Juga mulai dikenal dan dilaporkan lesi pada kulit sejak
tahun 1905 dan tenosinovitis sejak tahun 1934(1).
EPIDEMIOLOGI
IGD terjadi setelah infeksi mukosa gonokokal, dengan prevalensi 1% 5%(1,2,3). Insidens lebih tinggi pada populasi dengan
risiko tinggi akan infeksi mukosal dan pada dewasa muda daripada orang tua. Insidens juga bervariasi berdasarkan jenis kelamin. Pada era preantibiotik kebanyakan kasus infeksi gonokokal
diseminata terdapat pada pria; setelah adanya antimikroba dan
terapi infeksi simtomatik pada pia, maka infeksi gonokokal
diseminata lebih sering pada wanita dan mungkin pria homoseksual. Kira-kira separuh kasus infeksi gonokoknl diseminata
pada wanita terjadi antara 5 hari sebelum menstruasi sampai
selesainya menstruasi atau pada kehamilan(1,6).
Penyebabnya dinamakan DGI Strains of Neisseria gonorrhoeae, yang resisten terhadap serum manusia normal dan
suseptibel terhadap kebanyakan antibiotik serta sering, kebutuhan nutrisinya adalah arginin, hipoksantin dan urasil. Pada penelitian Armstrong dan kawan-kawan (1976) didapatkan bahwa
galur IGD merupakan hampir separuh isolat pada penderrta
infeksi gonokokal diseminata dan hanya 5% isolat pada penderita infeksi mukosal lokalisata(1).
Masainkubasi IGD mungkin dipengaruhi oleh faktorhospes

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

dan sifat invasif bakteri. Kasus-kasus IGD yang didata terjadi


beberapa hari setelah infeksi mukosal, tetapi umumnya masa
inkubasi antara 7 30 hari. Path wanita IGD sering terjadi path
menstruasi pertama setelah infeksi mukosal(1,2).
PATOGENESIS
IGD terjadi bilamana gonokokus mukosal menginvasi
aliran darah. Diseminasi dapat terjadi dari saluran urogenital,
anorektal ataupun farings").
Faktor yang berpengaruh terjadinya diseminasi :
a. Faktor bakterial
Gonokokus yang didapat dari darah, cairan sendi, mukosa
uretral pria asimtomatik, serviks uteri wanita waktu menstruasi,
ataupun bahan peritoneal biasanya membentuk koloni transparan. Sebaliknya gonokokus yang diambil dari uretra pria
dengan uretritis simtomatik dan serviks wanita waktu pertengahan sildus biasanya membentuk koloni opak. Oleh karena
itu nampaknya koloni transparan merupakan bentuk invasif
gonokokus; tetapi mekanisme perubahan sifat. invasif dari
koloni tersebut belum diketahui0>. Umumnya galur IGD sangat
suseptibel terhadap penisilin G, kecuali yang mampu memproduksi B laktamase. Selain itu kebutuhan nutrisinya akan
arginin, hipoksantin dan urasil, yang dikenal dengan oksotipe
Arg-, Hyx-, Ura-, wring dihubungkan dengan infeksi mukosal
asimtomatik0,'). Galur IGD biasanya resisten terhadap aksi
bakteriolisis serum manusia norma1(1,2,3,6).
b. Daya tahan hospes
Faktor hospes yang panting dalam perkembangan IGD
adalah defisiensi atau kelainan salah satu komponen komplemen
C 5, 6, 7, atau 8, karena komponen tersebut panting untuk aksi
bakteriolisis serum(1,2,3,6).
Faktor hormonal pada wanitamungkin memegang peranan

yang penting karena kebanyakan kasus IGD terjadi pada masa


menstruasi atau kehamilan(1,2,6).
Sehubungan dengan manifestasi klinis artritis septik, meningitis dan endokarditis, patogenesisnya lebih berkenaan dengan
invasi aktif gonokokus. Sedangkan pack mioperikarditis, hepatitis dan artritis steril, patogenesisnya masih belum jelas. Terdapat dugaan terlibatnya mekanisme hipersensitivitas melalui
pembentukan kompleks imun(3,6). Selain itu, mungkin efek
toksik endotoksin gonokokus pada jaringan dapat menimbulkan
manifestasi klinis tersebuto>.

MANIFESTASI KLINIS
Sindrom dermatitis-artritis merupakan manifestasi klinis
IGD yang paling 'sering dan dapat dibagi menjadi 2 stadium,
yaitu(1,6,8) :
1. Stadium bakteremia dengan poliartralgia dan lesi kulit, dan
biasanya kultur darah positif.
2. Stadium sendi septik (artritis septik) dengan kultur cairan
sinovial positif dan dapat terjadi destruksi sendi.
Ad.1
Umumnya ditandai dengan demam, menggigil, anoreksia,
malaise, lesi kulit yang karakteristik, poliartralgia ataupun
tenosinovitis(1,6).
Lesi kulit mula-mula sebagai makula eritematosa dengan
diameter antara 1 5 mm. Kemudian banyak yang berubah cepat
menjadi lesi pustular, kadang-kadang hemoragik atau nekrotik
di bagian tengahnya. Lesi bula hemoragik jarang terlihat. Lesi
kulit biasanya timbul serentak di bagian akral tubuh, lebih sering
di ekstremitas atas daripada bawah dan jarang mengenai wajah
dan badan(1,2,6,9). Lesi kulit sering timbul dekat sendi kecil
tangan atau kaki yang disertai nyeri dan biasanya sembuh
spontan dalam 4 hari (1,6,10).
Gambaran histologis biasanya berupa respons inflamasi
akut atau subakut dengan leukosit polimorfonuklear yang mencolok. Pada lesi vesiko-pustular terlihat infiltrat neutrofil dengan
sedikit sel mononuklear dan sel darah merah, nekrosis fibrinoid
pada dinding pembuluh darah, bula/vesikel terletak subepidermal dan jarang terlihat bakteri(3). Sedangkan dengan pemeriksaan
imunofluoresen dapat terlihat bahan antigenik di sekitar pembuluh darah, intrasel dan ekstraserz">.
Tenosinovitis biasanya terjadi soliter atau hanya pada beberapa tempat dan cenderung pada bagian akral. Daerah yang
paling sering terkena adalah tendon ekstensor, fleksor dan
sarung tendon tangan dan kaki. Pada lesi terlihat eritema, edema,
serta nyeri tekan dan nyeri pada pergerakan tendon tersebut.
Aspirasi dari tendon dan sarungnya tidak produktif, jarang didapat pus dan jarang ditemukan gonokokus(1,6). Keterlibatan
sendi yang dini adalah poliartralgia migratoris, umumnya
dengan tanda radang yang tidak begitu jelas dan terjadi sementara. Biasanya mengenai pergelangan tangan, sendi-sendi
kecil tangan, siku, lutut, dan pergelangan kaki, tanpa efusi sendi
yang cukup untuk aspirasi(1,2,6).

Ad. 2
Biasanya ditandai dengan kelainan mono-artikular, kadangkadang mengenai dua sendi dan timbul lebih lambat daripada
lesi kulit, tenosinovitis dan poliartralgia. Oligoartritis septik juga
lebih jarang daripada poliartralgia, tetapi lebih sering menyebabkan penderita untuk mencari pengobatan medis. Walaupun
dapat mengenai sendi mana saja, ttapi sendi yang sering terkena
adalah lutut, siku, pergelangan tangan dan kaki serta sendi-sendi
kecil pada tangan. Sendi bahu dan panggul jarang terkena(1,6).
Tanda radang jelas, gejala lebih menetap dan dapat diperoleh
cairan efusi yang purulen(1,2,6). Dalam cairan sendi tersebut terdapat hitung leukosit yang tinggi (> 30.000 sel/mm3) dengan sel
polimorfonuklear yang mencolok(1,2).
MANIFESTASI KLINIS YANG LAIN
Manifestasi klinis yang lain jarang terjadi dan berupa
faringitis, hepatitis, perihepatitis, mioperikarditis, endokarditis,
meningitis, pneumonia dan osteomielitis(1,2,6).
DIAGNOSIS BANDING(1,10)
1. Meningokoksemia
Lesi kulit cenderung purpura, dan sering lebih luas daripada
IGD. Keterlibatan sendi dan tenosinovitis jarang terjadi.
2. Bakteremia oleh mikro-organisme lain
Batang negatif gram enterik dan Staphylococcus aureus
dapat menyebabkan lesi kulit dan artritis. Streptococcus
pneumoniae juga dapat menyebabkan artritis septik. Bakteribakteri tersebut mudah dikultur dari darah ataupun cairan sendi.
3. Sindrom Reiter
Sering terjadi pada pria muda yang seksual aktif. Dapat
terlihat artritis dan lesi kulit, tetapi biasanya terjadi oligoartritis
simetris (misalnya kedua lutut) dan lesi kulit jarang berupa
eritematosa pustular. Selain itu biasanya terdapat keratodermia
blenoragik dan balanitis sirsinata yang tidak terjadi pada IGD(1,6).
4. Artritis psoriatik.
5. Ankylosing spondylitis.
6. Sindrom Sweet.
7. SLE.

DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan(1,3)
1. Pemeriksaan fisik
Misalnya tenosinovitis dan lesi pustular akral adalah
khas(3):
2. Pemeriksaan laboratorik
a. Pewarnaan Gram dan kultur dari darah, lesi kulit, cairan
sendi, dan mukosa farings, uretra, serviks atau rektum.
b. Pemeriksaan imunofluoresen, terutama untuk lesi kulit.
c. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron.
d. Pemeriksaan serologik, terutama untuk skrining atau case
finding, karena kurang spesifik dan sensitif dibandingkan
dengan kultur(3).
e. Pemeriksaan kromatografi gas.

PENATALAKSANAAN
1. Kemoterapi
Obat antimikrobial merupakan terapi utama IGD(1,2,4,6),
antara lain :
a. Penisilin G akua i.v.: 100.000 U/kg bb/hari, minimal 1 hari,
tetapi biasanya sampai 10 14 hari.
b. Ampisilin oral : 3,5 gram + 1 gram probenesid atau 3 gram
amoksilin + 1 gram probenesid diikuti ampisilin 4 X 0,5 g/hari
selama 7 hari.
c. Tetrasiklin oral : 4 X 0,5 g/hari selama 7 had.
d. Eritromisin oral : 4 X 0,5 g/hari selama 7 hari.
e. Spektinomisin i.m. : 2 X 2 g/hari selama 3,hari.
f. Penisilin G kristal akua i.v. : 10 juta U/hari sampai terjadi
perbaikan, kemudian diikuti ampisilin oral : 4 X 0,5 g/hari
sampai 7 hari pengobatan.
g. Sefazolin i.m.lt.v. : 3 X 1,5 g/hari selama 7 hari.
h. Sefoksitin i.v. : 4 6 g/hari selama 7 hari.
i. Trimetoprim-sulfametoksazol : 9 tablet/hari selama 5 hari.
2. Istirahat
Penderita dengan artritis septik sebaiknya dirawat untuk
mencegah kerusakan sendi yang lebih parah serta untuk pemberian obat yang teratur, sedangkan penderita dengan tenosinovitis dan/atau lesi kulit dapat berobat jalan.
3. Analgetik
Kadang-kadang diperlukan, terutama bila timbul rasa nyeri.

4. Contact tracing
Perlu jugs mencari dan mengobati nara kontaknya.
KEPUSTAKAAN
1.

Mills I, Brooks GF. Disseminated Gonococcal Infec4ion. In: Holmes,


Mardh, Spading, Wisner (eds). Sexually Transmitted Diseases. New York:
Mc Graw-Hill Book Co, 1984 : 229-37.
2. Baughman R. Systemic Bacterial and Nonvenereal Spirochetal Infections.
In: Moschella and Hurley (eds). Dermatology. Philadelphia: WB Saunders
Co, 1985 : 649-51.
3. Feingold DS. Gonorrhea. In: Fitzpatrick, Eisen, Wolff, Freedberg, Austen
(eds). Dermatology in General Medicine, 3rd ed. New York: Mc GrawHill Book Co, 1987 : 2463-7.
4. Handsfield HH, Wiesner PJ, Holmes KK. Treatment of the Gonococcal
Arthritis-Dermatitis Syndrome. Ann Intern Med 1976; 84: 661-7.
5. Holmes KK et al. The Gonoc 9l Arthritis-Dermatitis Syndrome. Ann
Intern Med 1971; 75: 470-1.
6. Holmes KK et al. Disseminated Gonococcal Infection. Ann Intern Med
1971; 74: 979-93.
7. Knapp IS, Holmes KK. Disseminated Gonococcal Infections caused by
Nesseria gonorrhoeae with unique nutritional requirements. J Infect Dis
1975; 132: 204-8.
8. Keiser H et al. Clinical form of Gonococcal Arthritis N Engl J Med 1977;
279: 234-40.
9. Barr J , Danielsson D. Septic Gonococcal Dermatitis Br Med J 1971; 1:
482-5.
10. Domonkos AN, Arnold. HL, Odom RB. Gonococcal Dermatitis. In:
Andrew's Diseases of the Skin, 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Co,
1982 : 313-4.

It is a poor heart that never rejoices

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Perkembangan Penyakit Jantung


Koroner pada Anak
Effendy Salim, J.M.Ch. Pelupessy
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/
RSU Ujung Pandang

PENDAHULUAN
Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik
adalah suatu penyakit jantung yang timbul akibat penyempitan
arteri koronaria(1). Penyebab penyempitan arteri koronaria, antara
lain : aterosklerosis, sifilis, berbagai bentuk arteritis, emboli
koroner, kelainan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus dan
spasme. Karena aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak
(99%), maka uraian mengenai PJK umumnya hanya terbatas
pada penyebab tersebut.
Aterosklerosis pada dasamya adalah kelainan yang terdiri
dari pembentukan fibrolipid fokal dalam bentuk plak-plak yang
menonjol atau penebalan-penebalan yang disebut ateroma yang
terdapat di dalam tunika intima dan bagian dalam tunika media(2).
Bagian proksimal arteri koronaria desendens kiri merupakan bagian yang paling sering mengalami aterosklerosis(3).
Riwayat perkembangan PJK dapat dibagi dalam tiga periode
yaitu masa inkubasi, masa laten dan masa klinik. Masa inkubasi
berlangsung dari janin sampai dewasa muda. Masa laten biasanya asimtomatik dan masa klinik ditandai dengan adanya
gejala klinik(4). Membicarakan PJK pada anak berarti membahas
masalah proses perkembangan PJK khususnya ateroklerosis.
Makalah ini membahas epidemiologi, faktor risiko dan
aterosklerosis yang menjurus ke arah PJK, khususnya perubahan-perubahan yang ditemukan pada anak.

EPIDEMIOLOGI
Insidens penyakit jantung iskemik akut pada pria berumur
50-54 tahun pada populasi Eropa tertentu menurut catatan WHO
(1976) berkisar 2-14 per 1000. Sejak tahun 1965 angka kematian
PJK telah menurun di Amerika Serikat, Kanada, Australia,

Selandia Baru, Israel, Belgia, Finlandia, Belanda dan beberapa


negara lain. Ternyata dalam waktu yang sama terjadi peninggian
angka kematian PJK di banyak negara lain, termasuk beberapa
negara Eropa Barat dan Selatan. Pada beberapa negara tidak
terlihat ada perubahan. Walaupun alasan terjadinya perubahanperubahan tersebut tidak jelas, tetapi penurunan insidens atau
angka kematian PJK dianggap ikut bertanggung jawab. Penurunan
insidens tersebut mungkun disebabkan oleh perubahan dalam
faktor risiko dan perubahan pola makanan. Penurunan angka
kematian PJK dapat disebabkan oleh perbaikan dalam intervensi
medis dan pembedahan.
Di negara berkembang prevalensi PJK adalah jarang. Di
Ujung Pandang data perawatan dari satu rumah sakit swasta pada
tahun 1981-1986, menunjukkan rata-rata 0,3 per 1000 penderita.
Di Rumah Sakit Umum Pusat Ujung Pandang pada tahun 1986
tercatat 0,06 per seribu penderita(1). Pada dekade-dekade terakhir
rumah sakit-rumah sakit umum pusat di Indonesia telah
melaporkan bahwa PJK merupakan penyakit kardiovaskular
yang menonjol. Kecenderungan ini juga terlihat pada negaranegara Asia Tenggara dan Afrika. Di Singapura dan Kualalumpur, angka kematian PJK telah meningkat dari yang tadinya tidak
bermakna menjadi paling kurang 10% dari semua kematian.
Bagaimanapun juga penyakit ini temp rendah di kalangan penduduk pedesaan(1).
Karena PJK merupakan penyakit orang dewasa, maka data
epidemiologik pada anak umumnya terbatas pada faktor-faktor
risiko saja. Hal ini telah diteliti negara Barai, sedangkan di
negara berkembang masih kurang.
FAKTOR RISIKO
Perkembangan ateroklerosis dipengaruhi oleh beberapa
faktorkonstitusi dan faktor-faktor yang menjadikebiasaan hidup
anak. Faktor-faktor yang menjadi kebiasaan hidup anak sering

Dibacakandi BagianIlmu Kesehatan AnakFK- Unhas/RSU Ujung Pandang, 31


Agustus 1991.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 43

disebut juga sebagai faktor lingkungan. Dengan mengontrol


secara dini faktor-faktor lingkungan tersebut diharapkan dapat
menekan normalitas dan morbiditas penyakit jantung koronero).
Faktor-faktor yang telah diketahui mempengaruhi pembentukan aterosklerosis termasuk : merokok sigaret, hiperlipidemia,
hipertensi, riwayat aterosklemsis dalam keluarga, diabetes melitus, obesitas, diit kaya asam lemak jenuh, kolesterol dan sukrose,
aktifitas fisik yang kurang dan infeksi virus(6,10). Laki-laki
tampaknya lebih cenderung menderita dibandingkan perempuan. Semua faktor-faktor tersebut sampai tingkat tertentu sudah
berpengaruh sejak masa anak.
Pada masa anak diabetes dan hipertensi dapat dikendalikan,
sedangkan obesitas dapat dicegah. Umumnya aktifitas fisik sampai
umur 20 tahun masih baik. Merokok sigaret telah menjadi
masalah pada kelompok umur tertentu di beberapa negara.
Terdapat juga faktor-faktor yang dapat menyebabkan
aterosklerosis tetapi pada masa anak belum berperan aktif
misalnya : faktor genetik dinding arteri; perubahan dinding
pembuluh darah dengan bertambahnya umur; efek testosteron;
hipotiroidisme; penyakit hati obstruktif; obat-obat tertentu; stres
psikis; pekerjaan; kebudayaan dan traume(8).
ATEROSKLEROSIS
1. Lesi makroskopik
Secara makroskopik ada tiga bentuk lesi ateroskierotik,
yaitu fatty streak, plak fibrous dan lesi yang berkomplikasi. Fatty
streak pada aorta sudah dapat ditemukan pada anak yang berumur
di bawah 3 tahun. Pada arteri koronaria jarang ditemukan fatty
streak di bawah umur 10 tahun, akan tetapi dengan cepat dapat
berkembang pada dekade berikutnya dan sesudah umur 20 tahun
ditemukan pada hampir semua kasus. Fatty streak ini mungkin
merupakan prekursor lesi aterosklerotik yang lebih parah(11).
Telah diteliti penyempitan arteri koronaria oleh karena
aterosklerosis pada anak sehat yang berumur kurang dari 15
tahun pada populasi yang mempunyai insidens PJK yang tinggi
(Finlandia); ternyata 53% menunjukkan penebalan tunika intima. Kelainan ini sudah dapat ditemukan pada kasus berumur
di bawah 5 tahun dan frekuensinya meningkat lebih dari 50%
setelah melewati umur 6 tahun. Penebalan tersebut mengisi 10 50% dari lumen arteri koronaria. Lapisan ini berkembang
sangat lamban dan sering kali belum sampai membentuk cincin
yang sempurna ketika anak berumur 10 tahun(3).
Pemeriksaan post mortem terhadap tentara Amerika berumur 22 tahun yang meninggal semasa perang Korea dan
Vietnam memperlihatkan pelbagai derajat aterosklerosis. Di
Korea 77,3% menunjukkan aterosklerosis pada percabangan
pembuluh darah. Pada otopsi kasus di Vietnam terlihat 45%
menunjukkan aterosklerosis koroner dan 25% yang mempunyai
lebih dari satu pembuluh darah yang terlibat(" )
2.

Lesi mikroskopik
Dinding arteri normal terdiri dari tiga lapisan yaitu tunika
intima, tunika media dan tunika adventitia. Tunika intima terdiri
dari satu lapisan sel-sel endotel yang berhubungan langsung
dengan lumen arteri. Lapisan ini terletak di atas satu lapisan

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

serat elastik yang disebut lamina elastika interna. Selama


tahapan perkembangan janin terjadi perubahan histologik arteri
koronaria. Pada janin tunika intima belum berkembang dan
hanya terdiri dari satu lapisan sel-sel endotel yang sangat tipis.
Antara sel-sel endotel dan serat-serat elastik terdapat sejumlah
matriks jaringan ikat ekstraseluler dan kelompok sel-sel otot
polos. Segera setelah lahir dapat terjadi perubahan-perubahan
berupa fragmentasi dan retaknya membrana elastika interna. Di
daerah tersebut fibroblast berproliferasi. Pada umur beberapa
bulan keretakan yang telah ada menjadi lebih jelas. Sel-sel otot
polos tunika media akan bermigrasi ke tunika intima dan
mengalami perubahan bentuk dan posisi. Terjadi multiplikasi
lamina elastika intema dan proliferasi sel-sel otot polos
sehingga terbentuk sebuah lapisan yang disebut lapisan muskuloelastik.
Perubahan-perubahan ini dapat ditemukan pada populasi
yang mempunyai insidens PJK tinggi misalnya pada kelompok
etnik Yahudi Askenazi dan tidak jelas terlihat pada populasi yang
mempunyai insidens PJK yang rendah misalnya kelompok etnik
Yahudi Yaman dan Badui. Perubahan-perubahan ini bukan
karena pengaruh etnik karena kedua populasi ini berasal dari
kelompok etnik yang sama.
Komposisi muskuloelastik berubah menurut umur. Sel-sel
otot polos dan seratelastik lebih dominan pada orang lebih muda.
Pada umur yang lebih tua lebih banyak ditemukan serat kolagen.
Tunika media atau lapisan tengah terdiri terutama atas sel-sel otot
polos yang tersusun secara diagonal dikelilingi oleh sejumlah
kolagen, serat elastik kecil dan proteoglikan. Morfologi tunika
media umumnya tidak berubah dengan pertambahan umur. Tunika
adventitia atau lapisan paling luar arteri terdiri terutama atas
fibroblast, beberapa sel-sel otot polos dan berkas-berkas kolagen
yang dikelilingi proteoglikan. Fatty streak pada anak di bawah
umur 10 tahun walaupun secara makroskopik belum dapat
ditemukan, tetapi secara mikroskopik sudah dapat ditunjukkan
adanya kelompok-kelompok monosit dan sel-sel busa makrofag
pada tunika intima yang menebal. Demikian pula plak fibrous
secara makroskopik belum terlihat pada anak yang berumur
lebih 10 tahun tetapi secara mikroskopik slidah terlihat tandatandanya berupa kelompok monosit, makrofag dan sel-sel otot
polos yang mengandung lemak. Pada umur 15 tahun mulai
tampak foki nekrosis pada tunika intima. Setelah umur 20 tahun
daerah-daerah nekrosis yang disertai timbunan sel-sel otot polos
yang mengandung lemak dan sel-sel busa makrofag menjadi
lebih luas dan lebih banyak. Secara makroskopik beberapa lesi
ini mirip dengan fattystreak yang tidak berkomplikasi, sedangkan
yang lainnya mempunyai gambaran khas plak fibrous. Perubahan-perubahan mikroskopik pada tunika intima arteri
koronaria ini sangat menyokong dugaan bahwa aterosklerosis
mulai berkembang pada masa anak. Infiltrasi monosit dan
makrofag dianggap sebagai awal proses, sedangkan akumulasi
lemak sel-sel otot polos dan nekrosis tunika intima adalah proses
yang terjadi kemudian.
Walaupun pada aorta lesi aterosklerotik awal tampaknya
identik dengan yang ada pada arteri koronaria tetapi sulit menelusuri proses perkembangan fatty streak menjadi plak fibrous.

Pada aorta tidak ada tempat predileksi anatomik tertentu untuk


aterosklerosis. Demikian juga distribusi plak fibrous aorta
menurut jenis kelamin, ras dan letak anatomik pada orang dewasa
tidak ada hubungannya dengan distribusifatty streak pada umur
yang lebih muda.
Ringkasnya, lesi aterosklerotik koroner mulai berkembang
pada masa anak dan berlangsung terus sampai dewasa sedangkan pada aorta mulai pada masa anak tetapi tidak dapat ditunjukkan secara pasti bahwa akan berkembang menjadi aterosklerosis
yang lebih parah(11).
3. Analisis lemak
Hasil analisis lemak pada tunika intima dan media menunjukkan bahwa ester kolesterol mulai berakumulasi di arteri
koronaria pada anak berumur di bawah 10 tahun. Ester kolesterol
tersebut meningkat sesuai dengan pertambahan umur. Ester
kolesterol inilah yang bertanggung jawab untuk pembentukan
aterosklerosis(3).
4. Patogenesis
Terdapat banyak hipotesis mengenai patogenesis aterosklerosis, di antaranya :
1) Teori lemak
Dengan meningkatnya kadar LDL plasma, maka pengangkutan lipoproterin plasma melalui endotel juga meningkat.
Hal ini akan meningkatkan ambilan lemak oleh sel-sel otot
polos, endotel atau makrofag. Apabila kemampuan sel-sel untuk
mengambil lemak sudah terlampaui, maka kolesterol dan lemak
lain akan berakumulasi.
2) Teori trauma endotel
Pada teori trauma endotel, respons terhadap trauma pada
permukaan endotel diduga merupakan awal kejadian aterosklerosis. Faktor-faktor seperti hiperlipidemia, peninggian tekanan
darah, disfungsi hormonal atau yang lainnya dapat menyebabkan
trauma pada endotel. Jaringan ikat subendotelial setempat akan
terlibat dengan trombosit dan elemen lain dalam sirkulasi dan
membentuk mirkrotrombi. Trombosit akan melepaskan isi granulanya. Sel-sel otot polos arteri berm igrasi dari tunika media
ke tunika intima, kemudian berproliferasi dan menghasilkan
banyak matriks jaringan ikat sekitarnya.
Perbaikan permukaan endotel akan terjadi dan lesi akan
mengalami regresi apabila sumber trauma endoteldihilangkan.
Bagaimanapun juga apabila trauma tersebut berlangsung terus
atau berulang-ulang, maka proliferasi sel-sel otot polos dan
akumulasi lemak pada jaringan ikat akan berlangsung terus dan
akhirnya menghasilkan lesi aterosklerotik. Jadi terdapat keseimbangan antara trauma dan proses penyembuhan endotel.
Faktor-faktor risiko dapat mempengaruhi keseimbangan tersebut dengan akibat terbentuknya lesi aterosklerotik,
3) Teori monoclonal
Diduga tiap lesi aterosklerosis berasal dari satu sel otot polos
tunggal yang berfungsi sebagai sumber proliferasi sel-sel lainnya. Lesi aterosklerotik dapat dianggap sebagai suatu neoplasma
jinak yang berasal dari satu sel yang sudah mengalami transformasi dan dapat diregulasi oleh faktor-faktor lain.
4) Teori clonal senescence
Teori ini berdasarkan adanya hubungan antara pertam-

bahan umur dengan berkurangnya aktivitas replikatif sel-sel


pada bialcan. Fungsi paradoksal dari aktivitas sel stem yang
berkurang pada tunika media arteri diduga mendasari mekanisme kejadian aterosklerosis. Tunika intima dan media
mengandung sel stem dalam jumlah yang relatif kecil. Sel stem
tersebut bereplikasi membentuk sel-sel otot polos yang kemudian mengsekresi chalones. Chalones tersebut menghambat
replikasi lebih lanjut sel stem. Dengan bertambahnya umur maka
konsentrasi chalones dalam tunika intima berkurang. Hal ini
disebabkan oleh karena berkurangnya fungsi replikasi sel-sel
otot polos tunika media dan berkurangnya difusi chalones ke
dalam tunika intima. Dengan berkurangnya chalones maka tidak
terjadi hambatan replikasi sel-sel otot polos. Akibatnya terjadi
akumulasi sel otot polos pada plak aterosklerotik. Sel-sel stem
endotel juga dapat terlibat dengan cam yang sama. Hilangnya
aktivitas sel-sel ini mungkin mempengaruhi permukaan endotel
dan menimbulkan sekuele.
Teori-teori tersebut di atas dalam menerangkan patogenesis
aterosklerosis sering kali dikombinasi, misalnya kombinasi teori
infiltrasi lemak dan teori trauma endotel. Peneliti lain mencoba
menerangkan lebih terinci mengenai peranan endotel, otot polos,
makrofag atau sel-sel monosit dan cara kerjanya sehingga terbentuk plak aterosklerotik.
Akhir-akhir ini diduga monosit berperan sebagai pemula
lesi aterosklerotik. Apabila pada binatang percobaan diberi
makanan kaya lemak, kaya kolesterol, ternyata terjadi pengelompokan monosit pada endotel, yang kemudian bermigrasi ke
subendotel, menimbun lemak dan berubah menjadi sel-sel busa.
Perubahan-perubahan ini merupakan tahap awal fatty streak
pada binatang percobaan yang serupa dengan fatty streak pada
manusia. Fatty streak tersebut akan membesar karena adanya
penimbunan lemak dan sel-sel otot polos yang bermigrasi dari
tunika media ke tunika intima. Diduga bahwa pengelompokan
monosit pada endotel tersebut di atas adalah akibat perubahanperubahan pada monosit, sel-sel endotel atau sel-sel otot polos
yang di bawahnya. Setelah beberapa bulan endotel mengadakan
retraksi path fatty streak terutama pada percabangan pembuluh
darah dengan akibat makrofag dan jaringan ikat terbuka terhadap
sirkulasi. Cara ini akan memberikan kesempatan trombosit untuk
melekat, beragregasi dan melepaskan lisis granulanya. Proses
migrasi dan proliferasi sel-sel otot polos berlangsung melalui
rangsangan PDGF (platelet derived growth factor). Faktor-faktor
seperti PDGF juga dapat diproduksi oleh endotel, makrofag
dan sel-sel otot polos sendiri(").
RINGKASAN
Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit jantung
yang timbul akibat penyempitan arteri koronaria. Perubahanperubahan patologik yang menjurus ke arah aterosklerosis dimulai sejak masa bayi dan berkembang pada masa anak. Faktorfaktor risiko utama yang dapat menyebabkan aterosklerosis
antara lain hiperlipidemia, hipertensi dan merokok sigaret.
Aterosklerosis ditandai dengan adanya penebalan tunika intima.
Pada pemeriksaan postmortem, lesi makroskopik yang paling
awal ditemukan adalah fatty streak yang merupakan penimbunan

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 45

lemak terutama kolesterol baik ekstraseluler pada tunika intima


maupun intraseluler dalam sel-sel bus& Fatty streak ini kemudian berkembang menjadi plak ateromatous yang dapat menyempitkan arteri koronaria. Hipotesisutamayangdikemukakan
sebagai patogenesis aterosklerosis adalah teori infiltcasi lemak
dan trauma endotel.

5.
6.
7.
8.
9.

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.

Pelupessy JMCh. Profile of some coronary risk factors in Ujung Pandang


schoolchildren. Ujung Pandang, Indonesia : Hasanuddin University,
1988 : 3.6. Dissertation.
Sokolow M, Mcllrcy MB. Overview of coronary heart disease. Clinical
Cardiology, 4th ed. Los Altos : Lange Med. Publ. 1986: 132-41.
Hirvonen J,Yla Herttuala S, Laaksonen H, et al. Coronary intimal thickenings and lipids in Finnish children who died violently. Acts PediatrScand.
1985; 318: 221-4.
Neufeld HN, Blieden LC. Coronary artery disease in children. Postgrad
Med J. 1978; 54 : 163-9.

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

10.
11.
12.
13.
14.

Kannel WB, Dawber Th R. Atherosclerosis as a pediatric problem. J.


Pediatr. 1972; 80 : 544-54.
Blumenthal S, Jesse MI, Hennekens CH, et al Risk factor for coronary
artery disease in children of affected families.J. Pediatr. 1975; 87:1187-91.
Cunningham MI, Pasternak RC. The potential role of viruses in the
pathogenesis of atherosclerosis. Circulation 1988; 77 : 964-6.
Keith JD. Atherosclerosis in childhood. In : McMillan (ed). Heart disease
in infancy and childhood, 3rd ed. New York : McMillan Publ. Co, 1978 :
1024-9.
Shigenaga H, Joshii 0, Togoe T et. al. Serum lipid and lipoproteins
concentrations in obese children as atherogenic risk factors. Acta Paediatr
J. 1986; 28 : 38-45.
Woolf N. The pathology of atherosclerosis with particular reference to the
effects of hyperlipidemia. Eur. Heart J, 1987; 8 (suppl. E) : 4-12.
Van Stiphout WAHJ : Serum lipids in the young. An epidemiological view
of early atherogenesis. Rotterdam : Erasmus University, 1986 : 58-64.
Dissertation.
Peter M. Atherosclerosis and the pediatrics. Military Med, 1976 : 771-6.
Lee J, Lawer RM. Pediatric aspects of atherosclerosis and hypertension.
Pediatr Clin North Am. 1978; 25 : 909-29.
Loyd JK,WolffOM.A pediatric approach to the prevention of atherosclerosis. J Atherosclerosis, Res. 1969; 10 : 135-8.

Aspek Psikologi Pasca Serangan


Jantung
Ratna Dewl S, Iwan N Boestan
Laboratorium/UPF Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/
RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

PENDAHULUAN
Prevalensi yang tinggi dan kegawatan yang ditimbulkan
oleh Penyakit Jantung Koroner (PJK) menjadi topik yang selalu
dibicarakan, namun masalah rehabilitasi penderita pasca serangan jantung masih belum mendapatkan perhatian seperti yang
diharapkan(1). Tujuan rehabilitasi jantung adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dengan mengupayakan penderita pada
tingkat optimal secara fisiologis, psikologis, emosional, vokasional dan kondisi sosioekonomi(1,2,3). Gangguan psikologis dapat membatasi upaya rehabilitasi tersebut. Kecemasan, depresi,
reaksi penolakan (denial) dan ketergantungan merupakan masalah psikologis yang biasanya ditemukan(3,4,5).
Penderita yang mengalami episode serangan jantung akan
sering dihadapkan pada kemungkinan terjadinya perubahan pola
kehidupan sehari-hari dan kondisi ini sangat dipengaruhi oleh
berat serta kompleksitas penyakitnya. Hal ini dapat diketahui
dengan mengenal perubahan aktifitas kerja, seksual, hubungan
suami-isteri dan keluarga, serta kehidupan bermasyarakat dari
penderita(6). Faktor kecemasan dan depresi akan mempengaruhi
atau memperberat perubahan-perubahan yang terjadi tersebut.
Kondisi seperti ini cenderung menjadi masalah psikologis yang
menetap apabila tidak dilakukan antisipasi dini dan tepat(1,3).
Jadi jelaslah bahwa pertimbangan psikososial sangat menentukan kualitas hidup para penderita pasca serangan jantung.
Dengan mempelajari serta mengenal perubahan psikologis yang
timbul pada berbagai fase penyakit ini akan memudahkan kita
untuk mencapai tujuan rehabilitasi yang optimal(2,7).
Berikut akan dibahas aspek psikologik pasca serangan jantung pada setiap fase dan rehabilitasinya.
HUBUNGAN ASPEK PSIKOLOGIS DAN FASE PJK
Secara skematis PJK dapat dibagi dalam 6 fase (tabel 1) :

Tabel 1.

Psychological Considerations

The phases of coronary heart disease and their psychological and physiologic
concomitants: I, Pre-illness. 2, Acute illness-before medical contact. 3, Acute
illness-initiating medical contact .4 ,Acute illness-Coronary Care Una. 5,Acute
illness-hospital convalescence. 6, Past-hospital convalescence.

Fase "pre illness" (fase sebelum terdapat gejala yang khas


atau belum ada bukti subjektif penyakit).
Pada fase ini dicari faktor pre.disposisi PJK misalnya pola
perilaku serta faktor risiko PJK lainnya('s). Reissei engusulkan
supaya faktor-faktor tersebut (faktor non psikologis) diteliti
secara longitudinal, kemudian dibandingkan dan dikaitkan

1.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 47

dengan faktor risiko psikologis seperti pola perilaku tipe A,


untuk memperjelas hubungannya dengan terjadinya PJK(1).
Dari hasil penelitian klinis dapat disimpulkan bahwa pemberian nasihat/saran dari seorang yang ahli (psikolog) dan latihan
fisik secara teratur dapat mempengaruhi pola perilaku penderita
tersebut dan selanjutnya terbukti pula mempengaruhi angka
kesakitan dan kematian dari penderita pasca serangan jantung(3,9,10,11). Jadi pada dasamya pencegahan fase pre illness
dapat dicapai dengan meminimalkan faktor predisposisi tersebut.
Fase "acute illness" (sebelum mendapatkan pertolongan
medis).
Penyuluhan kesehatan yang baik akan mampu memberikan
bekal pada seseorang untuk bereaksi positif apabila terkena
serangan jantung. Hackett menyatakan bahwa penderita yang
tidak mampu bereaksi sewaktu mengalami serangan jantung,
mempunyai kaitan yang erat dengan mekanisme psikologis dari
penderita itu sendiri. Tetapi adanya kaitan ini disanggah oleh
Green yang berpendapat bahwa pada dasarnya penderita-penderita ini biasanya cukup waspada terhadap gejala kardiak oleh
karena menyangkut ancaman terhadap kehidupannya(3,7).
Reisser mempunyai kesan bahwa reaksi seseorang akan
sangat mempengaruhi eksaserbasi penyakit ini. Reaksi ketegangan dari seorang penderita sewaktu mengalami serangan
jantung, dapat menyebabkan perubahan EKG serta penurunan
status fungsional tenaga cadangan jantungnya sendiri (cardiac
reserve). Sedangkan Brod menyatakan adanya ketegangan mental akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, cardiac output, aliran darah otot dan vasokonstriksi splanchnic. Dengan
mengetahui dan mengenal perubahan-perubahan yang akan terjadi, seseorang penderita akan bereaksi secara optimal dan positif sehingga tingkat ketegangan ini akan berkurang sementara
menunggu pertolongan medis yang diharapkan.
Pada fase ini diperlukan penelitian tidak hanya untuk mengetahui bagaimana cara terbaik mendidik penderita tetapi
bagaimana cara terbaik menetapkan sistem perawatan yang
mencakup bidang medis dan psikologis(7,11).
2.

Fase "acute illness" (kontak medis awal).


Kontak medis awal biasanya dimulai dengan suatu tindakan
manipulasi farmakologis terutama ditujukan untuk mengatasi
pengaruh otonom, kardiovaskular yang ditimbulkan sebagai
akibat reaksi kecemasan penderita pada serangan jantung tersebut. Manipulasi farmakologis ini secara tidak langsung juga
akan mempengaruhi aspek psikologis serta lingkungan penderita.
Kesemuanya ini dilakukan setelah diagnosis infark miokard
ditcgakkan di ICCU(7,11).
3.

Fase "acute illness" (di unit perawatan intensif).


Reaksi seseorang terhadap penyakitnya dapat memberikan
kesan tertentu yang terutama ditampilkan dalam raut wajahnya.
Hal ini diteliti oleh Stein dan hasilnya menunjukkan adanya
peningkatan morbiditas padapenderita yang bermuka muram di
ICCU. Penelitian dari Hackett dan Cassen menunjukkan bahwa
4.

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

angka mortalitas ternyata menurun secara bermakna pada penderita yang juga ditangani oleh psikiater. Pada kelompok penderita
dengan reaksi denial, malah mempunyai nilai yang positif,
karena penderita dapat meniadakan afek yang secara umum
timbul dalam kondisi ini; ini merupakan mekanisme yang bermanfaat untuk penyesuaian diri di ICCU. Hal ini terbukti dari
hasil penelitian di mana morbiditasnya lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok penderita yang non denial(8).
Perlu diketahui bahwa kurangnya pemahaman terhadap
proses yang terjadi akan memberikan beraneka ragam reaksi
psikologis yang mungkin dapat menetap. Tingkah laku aneh
dapat timbul karena kekhawatiran yang berlebihan mengenai
ketergantungan hidup, kerusakan tubuh, kehilangan identitas
seksual, atau merasa penyakit yang diidapnya merupakan hukuman akibat kesalahannya di waktu lampau(7). Karena PJK
sering terjadi secara tiba-tiba, penderita tampak bingung, panik
dan kaku. Setelah serangan dapat timbul berbagai reaksi tingkah laku, terutama kecemasan, depresi dan perubahan karakter,
yang akhirnya menambah ketegangan pada jantungnya(4). Jadi
jelaslah di sini diperlukan suatu penyuluhan yang cepat dan tepat
untuk mencegah kejadian-kejadian seperti di atas.
Pada dasarnya penderita-penderita yang mengalami serangan jantung akan mengalami ketegangan-ketegangan psikologis
yang dapat dibagi menjadi 7 kelompok yaitu(7) :
a) Gangguan integritas dasan dari kepribadian.
b) Ketakutan akan orang baru (bagi mereka yang telah berkeluarga).
c) Ketakutan untuk ditinggalkan atau meninggalkan.
d) Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang dicintai atau peranannya dalam keluarga.
e) Ketakutan atas berkurangnya kemampuan kontrol dari
fungsi tubuh.
f) Khawatir kehilangan atau luka pada bahagian tubuh.
g) Adanya rasa malu dan bersalah, dan mungkin disertai
dengan kekhawatiran sebagai akibat kesalahan masa lalu.
Intervensi psikologis selama fase ini mempunyai tujuan
dasar untuk mencegah timbulnya gejala atau mengurangi
intensitasnya. Pada hakekatnya, keadaan ini dapat diselesaikan
dengan dua pendekatan :
psikofarmakologi, merupakan mekanisme pendekatan yang
cepat dan efisien.
psikologis, merupakan mekanisme pendkatan yang lambat,
ditujukan untuk mengurangi gejala dengan menghilangkan
sumbernya dan secara bersamaan meningkatkan kemampuan
penderita dalam menanggulanginya.
Fase "acute illness" (pemulihan di rumah sakit).
Pada stadium ini intervensi psikologis ditujukan untuk
mengatasi kekhawatiran penderita yang akan kembali ke rumah
dengan cara menumbuhkan rasa percaya diri dan selanjutnya
sebagai persiapan diri untuk bekerja seperti semula(7,8).
Dalam hal ini, dokter berkewajiban menelusuri kecemasan
penderita sebelumnya agar mudah kembali ke Iingkungan
keluanga, pekerjaan, kehidupan sosial. Konsultasi psikologis
sangat berperan terutama dalam menyiapkan penderita agar
5.

mampu mengatasi setiap pengaruh psikologis yang mungkin


timbul. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan "uji kenyataan"
secara berkala sehingga kesalahpahaman penderita dapat dihindari dan memberikan petunjuk/pendidikan dalam memecahkan
setiap masalah psikologis yang mungkin terjadi(7,12).
Fase Pemulihan
Pada fase ini, intervensi psikologis dilakukan dengan pencegahan menurut konsep Strain dan Grossman(7) yaitu :
a) Membantu penderita menyesuaikan diri dengan keadaan
fisiologis dan psikologisnya.
b) Mencegah timbulnya gangguan fungsi psikologis dengan
menangani hambatan-hambatan yang terdapat di sekitar pekerjaan dan sex, dan juga gejala psikologis pasca serangan jantung
seperti depresi dan kecemasan somatik.
c) Mencegah kekambuhan dengan mengurangi ketegangan.
Latihan relaksasi dan pengendalian stres ternyata mampu
memperbaiki keadaan psikis dan penyakit penderita(2.13.14). Cay
menyimpulkan metode pengobatan dengan cara(2,7) :
Menjelaskan riwayat penyakit dan kelanjutannya pada
penderita.
Pengobatan yang rasionil.
Memberi ketenteraman hati dan dorongan semangat.
Membantu memecahkan masalah yang konkrit.
Memberi petunjuk yang tidak bersifat perintah.
Secara bertahap meningkatkan latihan fisik.
Hal ini dapat dilakukan secara individu maupun kelompok.
Pembahasan per kelompok memungkinkan pertukaran informasi mengenai perasaan dan cara pemecahannya serta memperoleh dukungan sosial.
Juga perlu penyuluhan terhadap keluarga, untuk memberikan informasi tentang penyakit koroner dan penatalaksanaannya, yang memungkinkan penderita dan keluarganya mengambil
tanggung jawab untuk perawatan kesehatan di rumah. Dimulai
dari fase akut dan diteruskan hingga perawatan di poliklinik,
misalnya mengenai cara/gaya hidup selama fase pemulihan dan
menjelaskan kerugian pembatasan aktifitas yang berlebihan(2,3,12,13).
Untuk mengetahui kelainankardiovaskular akibat perubahan psikologis, dilakukan uji beban mental yang terdiri dari(16):
Problem-solving tasks
Information-processing tasks
Psychomotor tasks
Affective conditions
Aversive or painful conditions.
Setelah dilakukan uji beban psikofisiologis pada beberapa
penderita pasca serangan jantung, ternyata ditemukan kelainan
EKG berupa iskemi atau aritmi pada mereka yang mempunyai
derajat gangguan psikologis yang lebih rendah(17).

bekerja pada 6 bulan pertama, lebih kecil kemungkinan untuk


mampu bekerja seperti semula.
Hal kembali bekerja dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya(6,18) :
1. Usia.
Dari penelitian diperoleh data :
usia kurang dari 45 tahun, 100% dapat kembali bekerja
usia 45 - 60 tahun, 88% dapat kembali bekerja
usia 60 - 65 tahun, 85% dapat kembali bekerja
usia di atas 65 tahun, 67% dapat kembali bekerja.
2. Beratnya penyakit.
Weinblatt dkk mendapatkan :
penyakit yang berat :
10% kembali bekerja pada akhir 3 bulan pertama.
54% kembali bekerja pada akhir tahun pertama.
penyakit yang ringan :
30% kembali bekerja pada akhir 3 bulan pertama.
86% kembali bekerja padaakhir tahun pertama.
3. Aktifitas fisik sebelum sakit.
Penderita yang sebelumnya aktif berolahraga kemungkinan
akan kembali dapat bekerja 3 kali lebih besar dari penderita yang
tidak aktif pada akhir 3 bulan pertama, 2 kali lebih besar pada
akhir tahun pertama.
4. Emosi.
5. Penyakit fisik yang menyertai.
6. Keuangan.
7. Dorongan semangat dari keluarga dan kenalan.
8. Tingkat pendidikan.
9. Beratnya pekerjaan.
Jelaslah di sini bahwa ternyata bukan hanya faktor psikologis saja yang berperan untuk kembali bekerja setelah serangan
jantung(3,4,6,8). Diperoleh data bahwa kecemasan dapat juga timbul sebagai akibat dari :
peringatan dokter yang berlebihan mengenai mati mendadak dan kekambuhan penyakit
obat-obatan yang diberikan
Kedua hal tersebut menyebabkan kegagalan untuk kembali bekerja pada 3 12% penderita. Sedang keadaan depresi dapat
timbul karena proteksi yang berlebihan dari keluarga. Gejalanya
hampir menyerupai kelainan organik, dengan keluhan perasaan
lelah, tidak bisa tidur, gangguan daya ingat, sakit kepala dan
nyeri dada(3.4). Sejumlah penderita juga gagal kembali bekerja
oleh karena pembatasan medik yang tidak beralasan, atau lebih
sering lagi karena kurangnya perasaan aman bila kembali bekerja. Dalam halini uji latih beban, di samping memberi penilaian fungsi jantung, lebih tepat juga untuk membantu menghilangkan kecemasan penderita, keluarga, dokter maupun atasan
penderita untuk kembali bekerja(3).

KEMBALI BEKERJA
Beberapa penelitian terhadap penderita pasca serangan jantung menunjukkan bahwa rata-rata 65% dapat kembali bekerja
pada 3 - 4 bulan pertama; 79% pada akhir 6 bulan pertama, dan
81% pada akhir tahun pertama. Mereka yang tidak kembali

FUNGSI SEKSUAL
Sebagian besar penderita memulai kembali fungsi seksual
dalam jangka pendek setelah serangan jantung. Hellerstain dan
Friedman menyatakan aktifitas seksual (jumlah orgasme/
minggu) pada tahun pertama setelah serangan jantung 80%

6.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 49

dari sebelumnya(6). Frekuensinya berkurang dibanding dengan


pria tanpa PJK pada periode yang sama.
Penyebab penurunan fungsi seksualttm :
penurunan nafsu seks (39%)
keengganan suami/isteri karena takut akan kambuhnya
penyakit atau kematian (25%)
depresi patologis (21%)
penderita takut akan kambuhnya penyakit atau kematian
(18%)
gejala kardiovaskular yang menyertai aktifitas scksual, seperti nyeri dada atau takikardi (21%)
obat-obatan (antihipertensi, hipnotik, tranquilizer, antidepresan) dapat menyebabkan impotensi, kegagalan ejakulasi,
menurunkan libido dan kegagalan ereksi.
Penyebab primer penurunan aktifitas seksual adalah perasaan cemas dan depresi pada penderita dan pasangannya(3.6).
REKREASI
Aktifitas sosial dan rekreasi dipandang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Upaya rehabilitasi jantung juga harus
memikirkan pula segi kemasyarakatan yang dibutuhkan penderita(6).
MANFAAT PSIKOSOSIAL REHABILITASI JANTUNG
Beberapa peneliti melakukan penilaian terhadap pengaruh
program psikoterapi pada penderita pasca serangan jantung
selama rehabilitasi. Rahe dick melaporkan perubahan tingkah
laku, termasuk pantang merokok dapat menyebabkan kurangnya episode angina yang dilaporllan, dan lamanya rawat inap(6).
Peneliti lain mencatatbahwa terapi kelompokcenderung mengurangi depresi dan hipokhondriasis (kesedihan).
Tujuan utamanya lebih dititikberatkan pada unsur pendidikan daripada psikoterapi. Pertemuan dilakukan secara teratur setiap minggu selama 12 minggu dan dipimpin oleh dokter/
perawat, dengan tujuan pertukaran informasi dan berbagi
pengalaman. Aktifitas kelompok yang dibentuk untuk mengubah pola perilaku tipe A juga dapat berhasil dan membantu
menurunkan insiden kekambuhan infark miokard(8).
Ibrahim dkk meneliti manfaat terapi kelompok pada 118
penderita pasca serangan jantung dalam 18 bulan, hasilnya :
Sebahagian besar penderita patuh dan angka ketaatan
dalam mengikuti program 70%
16% menolak
15% keluar (drop out).
Di samping itu hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
mereka yang menerima psikoterapi menjadi bersifat lebih terbuka/sosial dari penderita yang tidak menerima terapi.
Green menyatakan program psikoterapi individu akan
sangat efektif dalam mengubah status psikologis penderita pada
fase rawat akut sebelum upaya rehabilitasi. Dibanding dengan
yang tidak memperoleh terapi, penderita yang mendapat psikoterapi setiap hari menunjukkan(6,19) :
lamanya rawat inap lebih singkat (ICCU dan Rumah Sakit)
lebih sedikit mengalami aritmi dan gagal jantung
rasa lemah dan depresi berkurang

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

pergaulan lebih luas dan rasa cemas berkurang


dapat kembali ke aktifitas normal pada akhir bulan keempat
dengan residu yang minimal.
KESIMPULAN
Telah dijelaskan peranan faktor psikososial pada rehabilitasi jantung, seperti peranan cemas akan kekambuhan dan kematian, penurunan libido dan sebagainya. Masalah psikologis
merupakan masalah utama yang terbesar selama proses akut
dan rehabilitasi, meskipun pada kenyataannya dapat juga dipengaruhi oleh beberapa keadaan seperti usia, hubungan suamiisteri, obat-obatan, penyakit lain yang menyertai dan sebagainya. Sebagian besar penderita pasca serangan jantung dapat
kembali ke aktifitas normal sebelumnya (dalam lingkungan
pekerjaan, seks, rekreasi).
Faktor psikologis (misalnya depresi, kecemasan) dapat
menghambat proses rehabilitasi pasca serangan jantung. Diperlukan intervensi yang dini, tepat dan berkesinambungan balk
pada fase akut dan rehabilitasi. Ternyata perbaikan psikologis
merupakan salah satu aspek utama program rehabilitasi yang
sering dilupakan.

KEPUSTAKAAN
1.
2.

3.
4.
5.
6.

7.
8.

9.
10.
11.
12.
13.

McLane M, Krop H, Mehra J. Psychosexual adjustment and counseling


after myocardial infarction. Ann Intern Med. 1980; 92: 514.
Oberman A. Rehabilitation of patients with coronary artery disease. In:
Heart Disease, a textbook of cardiovascular medicine. Braunwald E. Ed.
3rd ed. Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: WB
Saunders Co. 1988, p. 1401.
Wenger NK, Fletcher GF. Rehabilitation of the patients with atherosclerotic coronary heart disease. In: The Heart Arteries and Veins. Eds: Hurst
JW et al., 7th ed. Intemat Ed McGraw Hill. 1990, p. 1103.
Schleifer Si et al. The nature and course of depression following myocardial infarction. Arch Intern Med. 1989; 149: 1785.
Wishnie HA, Hackett TP, Cassem NH. Psychological hazards of convalescence following myocardial infarction. JAMA 1971; 251(8): 1292.
Gentry WD. Psychosocial Concerns and Benefits in Cardiac Rehabilitation. In: Heart Disease and Rehabilitation. Eds: Pollock ML, Schmidt DH,
Mason DT. 1st ed. Boston: Houghton Mifflin Professional Publishers
Medical Division. 1979, p. 690.
Strain JJ. Psychological considerations in various phase of coronary heart
disease. In: Cardiac Rehabilitation for the Practicing Physician. Eds:
Zahman LR, Kattus AA. Stuttgart: Georg Thieme Publishers. 1979, p. 14.
Hackett TP, Rosenbaum JF, Tesar GE. Emotion, psychiatric disorders, and
the heart. In: Heart Disease, a textbook of cardiovascular medicine.
Braunwald E. (Ed) 3rd ed. Philadelphia, London, Toronto, Montreal,
Sydney, Tokyo: WB Saunders Co. 1988, p. 1883.
Fricchione GL, Vlay SC. Psychiatric aspects of patients with malignant
ventricular arrhythmias. Am J Psychiatr 1986; 143(12): 1515.
Friedman M. et al. Alteration of type A behavior and reduction in cardiac
recurrences in postmyocardial infarction patients. Am Heart J 1984;
108(2): 237.
Suwono HT. Profil psikologik dan penyakit jantung koroner. Perpustakaan
IImu Kedokteran Jiwa, 1989.
Sala L et at. Health education after myocardial infarction. Hospimedica
1991; 9(4): 36.
Benson H. The Relaxation Response and Behavior Modification for Heart
Patients. In: Cardiac Rehabilitation for the Practicing Physician. Eds:

Zahman LR, Kattus AA. Stuttgart: Georg Thieme Publ. 1979, p. 95.
14. Omish D et al. Effects of stress management training and dietary changes
in treating ischemic heart disease. JAMA 1983; 249(1): 54.
15. Rahe RH et al. Recent life changes, myocardial infarction, and abrupt
coronary death. Arch Intern Med. 1974; 133: 221.
16. Steptoe A, Vogele C. Methodology of mental stress testing in cardiovascular research. Circulation 1991; 83 (suppl II): 14.
17. Zotti AM et al. Psychophysiological stress testing in postinfarction pa-

tients. Circulation 1991; 83 (suppl II): 25.


18. Rubennan W, Weinblatt E, Goldberg JD, Chaudhary BS. Psychosocial
influences on mortality after myocardial infarction. N Engl J Med 1984;
30: 552.
19. Wenger NK, Hellerstein HK, Blackburn H, Castranova SJ. Physician
practice in the management of patients with uncomplicated myocardial
infarction: Changes in the past decade. Circulation 1982; 65(3): 421.

Manula dan Olahraga


Ditinjau dari Sistem Kardiovaskular
Nadi Hartono, Iwan N. Boestan
Laboratorium/UPF Kardiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlanggal
RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

PENDAHULUAN
Dengan semakin baiknya fasilitas kehidupan termasuk kesehatan, usia manusia cenderung lebih panjang. Jumlah penduduk usia lanjut (manula) saat ini demikian besar dibanding
dengan dekade tahun 1950 1960. Meskipun demikian kriteria
manula berbeda-beda antara negara satu dengan yang lain dan
antara negara berkembang dengan negara maju.
Di Indonesia umur 55 tahun sudah dianggap tua sehingga
dimasukkan pada usia pensiun. Sedangkan di beberapa negara
maju, usia pensiun berlaku pada umur 80 tahun. WHO akhirnya
menentukan bahwa umur 60 tahun merupakan batas seseorang
dimasukkan dalam kelompok manula(1,.2).
Semakin banyaknya jumlah manula, selain manfaatnya
ternyata juga mempunyai beberapa dampak yang kurang tnenggembirakan. Bagi mereka sendiri, usia lanjut menimbulkan
beberapa beban psikologis, yang disebabkan perbedaan kondisi
sosial dan budaya dengan masyarakat sekitarnya(3). Selain itu di
bidang kesehatan di Amerika, yang menjadi masalah adalah
tingginya insiden penyakit, meningkatnya prevalensi penyakit
kronik dan menurunnya kemampuan fungsional. Di antara 10
penyakit kronik yang terbanyak ialah penyakit kardiovaskular,
berupa darah tinggi pada 59% manula dan penyakit jantung yang
lain 25,7%(4). Kemudian WHO (1989) juga melaporkan bahwa
penyebab kematian terbesar pada usia 6574 tahun adalah penyakit kardiovaskular yaitu 50%; seperempatnya oleh karena
penyakit jantung koroner (PJK).
Mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas
akibat penyakit kardiovaskular tersebut, sudah sepatutnya dilakukan usaha promotif dan preventif untuk menanggulanginya.
Salah satu usaha promotif yang dianjurkan adalah membentuk
kelompok olah raga khusus bagi orang tua. Peranan olahraga
dalam pencegahan penyakit jantung sudah diakui oleh masyarakat karena itu perlu dipikirkan bentuk latihan yang tepat bagi

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

para manula tersebut(s.o.


DEMOGRAFI
Masalah manula semakin menarik perhatian para pakar
kependudukan karena jumlahnya demikian cepat membengkak.
Pada tahun 2000 nanti diperkirakan akan berjumlah 600 juta
orang dengan distribusi 2/3 di antaranya hidup di negaraberkembang. Indonesia, Brazil, Cina dan India disebut sebagai negara
berkembang yang akan mempunyai jumlah terbesar manula.
Di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan 7,4% penduduk
berusia di atas 60 tahun, yang jumlahnya sekitar 20 juta jiwa
(WHO, Expert Committe, 1989, BPS, 1982)(2). Sedangkan di
India dan Cina, jumlah manula pada tahun 2020 akan mencapai
270 juta lebih.
Di bawah ini disajikan proyeksi jumlah manula di beberapa
benua (Fig. 1).

PERUBAHAN PADA SISTEM KARDIOVASKULAR


Perubahan akibat bertambahnya usia pada jantung dan
pembuluh darah sulit dipisahkan dengan perubahan akibat
proses patologis karena begitu banyak penyakit yang timbul
selaras dengan meningkatnya usia. Di tingkat molekul, yang
penting adalah perubahan yang berhubungan dengan jaringan
kolagen. Jaringan ini merupakan 3,5% dari bcrat jantung pada
orang normal dan merupakan komponen terbesar dari jaringan
katup, endokardium, epikardium dan juga bcrada di scla-sela
sel miokard. Perubahan yang terjadi lebih bersifat kualitatif dibanding kuantitatif. Jaringan kolagen menjadi lebih insoluble,
lebih stabil secara kimia dan kaku; akibatnya kemampuan
kontraksi dan distensi jantung akan menurun. Perubahan yang
sama juga terjadi pada organ tubuh yang lain sesuai dengan
peningkatan usia. Beberapa penelitian mclaporkan adanya

Fig. 1. Population aged 60 years and over, by major world regions,


19602020*

Source: United Nations Population Division


* Reproduced from: WHO, World health statistics annual, 1987. Geneva,
World Health Organization, 1987.

perubahan enzim, akan tetapi masih belum ada kesepakatan


mengenai fungsinya. Dilaporkan bahwa perubahan terjadi pada
organel di dalam sel. Perubahan spesifik yang lain mengenai
lipofusin yang mengendap bagaikan kumpulan granula di dekat
nucleus pole. Asal lipofusin ini masih belum jelas, beberapa
teori menyatakan lipofusin bertambah selaras dengan bertambahnya umur, yaitu 0,03% dari volume jantung per tahun. Yang
penting bahan ini tak mempengaruhi fungsi miokardium.
Pengendapan bahan amiloid sering terjadi pada jantung
yang menua, yaitu pada 92% manula. Endapan ini diduga lebih
banyak disebabkan oleh proses patologis daripada proses menua.
Gambaran patchy fibrosis sering ditemukan pada miokardium
yang bila luasnya lebih dari 2 cm merupakan akibat dari penyumbatan pembuluh darah koroner. Bila kurang dari 2 cm,
jarang karena penyakit jantung koroner dan lebih sering disebabkan oleh miokarditis.
Perubahan pada katup jantung berupa penurunan jumlah
nukleus, akumulasi lemak, degenerasi kolagen dan kalsifikasi.
Bentukan ini disebut fibrous stroma yang akan mengganggu
gerakan katup dan terjadi lebih sering pada katup aorta. Keadaan ini terjadi pada salah satu katup dari 1/3 individu yang
berumur 70 tahun dan menyebabkan gangguan hemodinamik.
Arteria koronaria mengalami atherosklerosis pada hampir
semua manula. Pada laporan otopsi didapatkan atherosklerosis

pada sebagian besar manula, walaupun penyebab kematiannya


bukan penyakit jantung koroner. Perubahan di alas juga
mengenai pembuluh darah perifer termasuk di antaranya aorta.
Dinding pembuluh darah menjdi tebal dan kaku, sehingga
untuk peningkatan volume tertentu terjadi peningkatan tekanan
yang lebih tinggi daripada orang yang muda.
Sistem konduksi jantung jugamengalami perubahan berupa
pengurangan jumlah sel pace maker pada simpul atrium. Pada
umur pertengahan proses di atas sudah dimulai dan pada umur
60 tahun berjalan lebih progresif sehingga pada umur 75 tahun
sel yang aktif tinggal 10%. Simpul AV dan common bundle of
His tidak mengalami perubahan, tapi sejak percabangan terjadi
proses fibrosis sehingga beberapa sarjana menghubungkan
dengan terjadinya blok konduksi.
Perubahan pada sistim saraf otonom berupa penurunan
sensitivitas baroreseptor yang berada pada aorta dan sinus karotikus. Penurunan tersebut akibat berkurangnya elastisitas dan
deformasi dinding pembuluh darah. Selain itu sensitivitas reseptor beta terhadap obat-obatan baik yang agonis ataupun
antagonis menurun.
Seluruh perubahan di atas akhirnya berpengaruh juga pada
fungsi jantung. Penurunan fungsi jantung pada manula selain
disebabkan oleh proses menua biasanya juga dipengaruhi oleh
banyak faktor sehingga sulit dibedakan. Pada usia 70 tahun,
curah jantung menurun 25% dibanding waktu usia 20 tahun.
Perubahan ini disebabkan menurunnya frekuensi denyut jantung dan penurunan isi sekuncup. Tetapi Rodekiffer (1989),
menyangkal adanya penurunan isi sekuncup dan curet jantung.
Beliau membuktikan bahwa ternyata isi sekuncup justru meningkat untuk mengimbangi penurunan denyut jantung. Walaupun demikian harus diakui bahwa respon kardiovaskular manula
pada latihan fisik tidak sebaik orang muda.
Secara garis besar, perubahan fungsi jantung dipengaruhi 4
faktor yaitu :
a) Penurunan sensitifitas reaksi simpatis akan mempengaruhi
reaksi jantung terhadap latihan.
b) Peningkatan impedance pembuluh darah akibat berkurangnya jaringan elastis akan meningkatkan beban jantung dan
kebutuhan oksigen.
c) Siklus jantung yang memanjang, terutama waktu relaksasi
(26-35%), akan merugikan karena pada waktu latihan justru
waktu diastolik menjadi lebih pendek. Akibatnya fase pengisian
akan terganggu dan mengganggu peningkatan curah jantung.
d) Peningkatan jaringan kolagen, akan meningkatkan compliance jantung yang mengakibatkan tingginya tekanan akhir
diastolik.
PENGARUH OLAH RAGA(1,7,8)
Pada prinsipnya olah raga diharapkan dapat meningkatkan
kapasitas fungsional individu dan menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung yang diperlukan pada tingkatan latihan fisik,
baik pada orang sehat maupun orang sakit(8,9). Pada latihan fisik
akan terjadi dua perubahan pada sistim kardiovaskular, yaitu

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 53

peningkatan curah jantung dan redistribusi aliran darah dari


organ yang kurang aktif ke organ yang aktif(10,11). Peningkatan
curah jantung dilakukan dengan meningkatkan isi sekuncup dan
denyut jantung.
Pada manula, seperti telah dijelaskan, mempunyai keterbatasan pada kedua usaha tersebut. Karena itu pada latihan fisik
dengan beban tertentu akan terjadi hambatan dalam meningkatkan
curah jantung. Mekanisme redistribusi juga mengalami hambatan karena sistim saraf otonom yang kurang sensitif, sehingga
pada beban tertentu atau pada permulaan latihan akan terjadi
gangguan pengaturan tekanan darah. Gangguan juga bisa disebabkan karena elastisitas dinding pembuluh darah yang menurun. Kelemahan tersebut menurut Weisfeld masih mungkin
bisa diatasi pada manula normal kecuali memang ada penyakit
lain. Tetapi pada umumnya akibat proses menua tadi kapasitas
maksimal oxygen uptake memang menurun. Menurut penelitian
pada umur 65 s/d 75 tahun masih bisa mencapai 5-7 mets, sedang
pada 75 tahun ke atas hanya 2-4 mets. Keadaan ini tidak berlaku
pada seorang atlit yang tetap mempertahankan kondisinya sehingga kapasitasnya masih sekitar 10 mets pada umur 75 tahun.
Pada manula sedentary (tidak latihan), kapasitas fungsional
masih bisa ditingkatkan dengan latihan fisik yang teratur(4,8,18).
Disimpulkan juga bahwa olahraga teratur akan menurunkan
tekanan darah sistolik, menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadar kolesterol dan lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein, memperbaiki sirkulasi koroner
dan meningkatkan rasa percaya diri(4,9,17,18).

PERSIAPAN OLAH RAGA


Tujuan dari olahraga pada manula adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, mempertinggi kapasitas kerja, rekreasi dan
menghambat penurunan kemampuan fungsional. Kemunduran
biologis dari proses menua sangat dipengaruhi oleh kurangnya
aktifitas fisik. Meskipun begitu, untuk memulai suatu program
latihan hendaknya dilakukan persiapan yang teliti, antara lain
mengenai lingkungan dan fasilitasnya, keamanannya, apakah
cukup efektif dan apakah tidak akan memicu timbulnya penyakit-penyakit baru atau lama. Evaluasi terhadap penderita harus
teliti menyangkut, diet sebelumnya, obat-obatan yang digunakan
kemampuan organ muskuloskeletal, fungsi sensoris dan status
kardiovaskular. Diet yang sempurna diperlukan untuk antisipasi
diperlukannya kalori yang tinggi waktu latihan kebutuhan kalsium untuk pertumbuhan tulang. Adanya neuropati perifer dan
gangguan sensoris, gait, gangguan keseimbangan, hipotensi
ortostatis dan kelainan muskuloskeletal memudahkan terjadinya
kecelakaan, karena itu diperlukan modifikasi lingkungan agar
aman bagi penderita.
Beberapa macam obat, akan mempengaruhi kemampuan
fisik penderita, misalnya beta bloker dan obat penenang. Diuretika akan menyebabkan hipokalemi yang memudahkan terjadinya aritmi jantung dan dehidrasi. Preparat antidiabetik akan
memudahkan terjadinya hipoglikemi, sehingga harus diatur
kembali dosisnya.

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

Untuk menentukan status kardiovaskular, harus dilakukan


uji latih beban jantung dengan treadmill atau ergocycle. Ergocycle digunakan untuk penderita dengan gangguan keseimbangan. Sebelum tes dilakukan sebaiknya dilakukan pengenalan alat
dan pemanasan sehingga hasilnya lebih optimal. Treadmill memakai protokol dengan kecepatan rendah (1.7 - 3.5 mph) dan
penambahan beban dilakukan dengan meningkatkan grade(8,12,13).

PENATALAKSANAAN LATIHAN OLAHRAGA


Pemilihan jenis olah raga sangat penting bagi manula. Sebaiknya dipilih olah raga yang sesuai kemampuan masingmasing individu, aman, berkesinambungan dan ada nilai
rekreasinya. Target latihan juga harus jelas, terutama yang
menyangkut kapasitas fungsional dan fungsi psikososial(5,8,9).
Pada umumnya dikenal 2 macam jenis latihan fisik yaitu :
a) Latihan Isometrik
Latihan ini mengutamakan peningkatan tekanan otot dibanding dengan gerakan, seperti halnya angkat besi. Latihan
jenis ini tidak bermanfaat untuk sistem kardiovaskular, tapi
diperlukan untuk memperkuat otot-otot.
b) Latihan Isotonik
Mengutamakan gerakan aktif dari sendi dan otot-otot dengan hanya sedikit meningkatkan tekanan. Latihan sangat bermanfaat bagi sistem kardiovaskular, karena akan meningkatkan
curah jantung(14).
Dengan demikian, olahraga yang baik adalah yang menggunakan banyak otot besar dan bersifat ritmik. Sebagai contohnya yaitu walking, jogging, dancing dan berenang. Penggunaan
otot besar lebih baik karena tekanan darah tidak meningkat
setinggi penggunaan otot-otot kecil(5,8).
Olah raga dalam kelompok biasanya berguna untuk kesinambungan latihan dan sosialisasi. Tapi hares tetap diingat
bahwa masing-masing individu hams tetap mempunyai program
tersendiri, sesuai dengan spesifikasinya(8). Untuk sedentary dosis
latihan hams dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan
secara bertahap sesuai dengan kemampuan. Pada permulaan diberikan latihan selama 10 - 20 menit dan baru meningkat menjadi 30 menit bila kondisinya mengijinkan. Sebelum latihan sebenarnya, hendaknya dilakukan pemanasan dan peregangan
selama 5 menit dan latihan diakhiri dengan pendinginan untuk
beberapa menit. Frekuensi latihan dilakukan minimal 3x/minggu
dan interval tidak boleh melebihi 2 hari. Intensitas latihan dapat
dipantau dengan menghitung denyut jantung yang tidak boleh
melebihi 80-85% denyut jantung maksimal atau kurang lebih 30
kali lebih banyak dari denyut awal latihan. Keadaan lingkungan
yang panas dan lembab sebaiknya dihindari karena pada manula
fungsi perspirasi sudah tidak sempurna. Bila berenang sebaiknya
suhu air berkisar 30C dan denyut jantung jangan melebihi
latihan di darat karena beban jantung lebih berat(5,8,14) Walking
dengan kecepatan 3.0 - 3.3 mph, nilai aerobiknya sama dengan
jogging dengan risiko trauma ortopedik yang lebih ringan.
Bersepeda dan square dancing juga mempunyai nilai yang sama.
Hindari bentuk latihan yang bersifat kompetitif karena akan sulit
mengendalikan emosi peserta. Beberapa bentuk latihan telah

Jog-walk regimen

5. Trunk twister
Figure 2.

1
7
13
19
25
31
37
43
49
55
61
67

6. Toe pointer

Stretching calisthenics for warm-up. (From deVries, H.A.:


Prescription of exercise for older men from telemetered
exercise heart rate data. Geriatrics 20:102, 1971, with permis
sion.)

Days

6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66

Run
Walk
50 steps
50 steps
50 steps
40 steps
50 steps
30 steps
50 steps
20 steps
50 steps
10 steps
75 steps
10 steps
100 steps
10 steps
125 steps
10 steps
150 steps
10 steps
175 steps
10 steps
200 steps
10 steps
Individualized program

Number of
5 10
5 10
5 10
5 10
5 10
5 10
5 10
5 10
5 10
5 10
5 10

Figure 4. Jog-walk regimen (From deVries, H.A.: Tips on prescribing


exercise regimen for your older patient. Geriatrics 34:75,
1979, with permission.)

dikemukakan oleh banyak ahli, di sini dilampirkan saw di antaranya yang dikemukakan oleh De Vries tahun 1971(12).

RINGKASAN
Dengan semakin baiknya fasilitas kehidupan termasuk kesehatan, jumlah penduduk usia di atas 60 tahun (manula) semakin
banyak. Masalah timbul karena angka kesakitan dan kematian
pada manula tersebut sangat tinggi, sehingga biaya perawatan
kesehatan yang diperlukan juga tinggi, selain masalah sosial
budaya yang ada.
Penyakit kardiovaskular ternyata merupakan penyebab yang
ter6anyak dan sebenarnya masih bisa dicegah. Kegiatan olah
raga diharapkan bisa menjadi salah satu altematif.
Meskipun telah terjadi banyak kemunduran pada fungsi
organ tubuh manula tennasuk sistim kardiovaskular, olah raga
masih mungkin mereka lakukan. Olah raga akan memperlambat
kemunduran fungsional, bahkan dapat meningkatkannya pada
penderita sedentary.
Olah raga yang tepat, aman, berkelanjutan dan menyenangkan perlu diprogram dengan teliti sesuai dengan kemampuan
perorangan.
Pada makalah ini di jelaskan pula contoh olah raga yang tepat
pada manula yaitu: walking, jogging, swintming, square dancing
dan cycling.
KEPUSTAKAAN
Figure 3. Stretching calisthenics for warm-up. (From deVries, H.A.:
Prescription of exercise for older men from telemetered exercise heart rate data. Geriatrics 26:102, 1971, with permission.)

1.

WHO Expert Committee Report. Introduction, Health and functional


status. In: Health of the elderly, Geneva: WHO 1989; p 7.

2.

Wongsokusumo B. Kesejahteraan lanjut usia di Indonesia. Bull Gerontologi & Geriatri 1990; 18: 28.
3. Semiawan CR. Aspek sosial gerontologi. Bull Gerontologi & Geriatri
1990; 14: 3.
4. AMA. Council on Scientific Affairs, White paper on elderly health, Arch
Intern Med 1990; 150: 2459.
5. Strasser T. How to prevent cardiovascular disease in old age, In: Cardio
vascular Care of the Elderly. Geneva: WHO 1987; p 145.
6. Widiastuti, Setiabudi T. Masalah usia lanjut dan pengelolaannya ditinjau
dari segi kesehatan. Bull Gerontologi & Geriatri 1990; 18: 36-40.
7. Bermann ND. Aging and the heart. In: Geriatric Cardiology. Lexington:
The Collamore Press 1982; p 11.
8. Fitzgerald PL. Exercise for the elderly. In: Medical aspect of exercise. Med
Clin N Am, 1985; 69: 189.
9. Boestan IN, Murtiningsih LM, Ismahun P. Peranan latihan fisik dalam
pencegahan penyakit jantung koroner. Simposium Nasional Pencegahan
Penyakit Kardiovaskular, Surabaya, 1990. hal 97.
10. Ellestad MH. Cardiovascular and pulmonary responses to exercise. In:
Stress Testing, principles and practice, 3rd. Philadelphia: FA Davis Coy.
1986; p 9.

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

11. Fox EL, Mathews OK. Blood flow and gas transport. In: The physiological
basis of physical education and athletics. Philadelphia: Saunders College
Publishing 1981; p 223.
12. Landin RJ, Linnemeier TJ, Rothbaum DA, Chappelear J, Moble RJ.
Exercise testing and training of the elderly patient. In: Exercise and the
heart. Wenger NK (ed.). Philadelphia: Davis Coy, 1985; p 201.
13. Johnson PV, Lipritz LA, Kelley M, Koestner J. Hypotensive response to
common daily activities in institutionalized elderly, a potential risk for
recurrent falls. Arch. Intern Med. 1990; 150: 1518.
14. AMA. Council on Scientific Affairs, Exercise program for the elderly.
JAMA 1984; 252: 549.
15. AMA. Council on Scientific Affairs, Societal effects and other factors
affecting health care for the elderly. Arch Intern Med 1990; 150: 1184.
16. Pauly J, Palmer JA, Wright JC, Pfeiffer GJ. The effect of a 14-week
employee fitness program on selected physiological and psychological
parameters, J Occup Med 1982; 24: 457.
17. Stem MJ, Cleary P. The National Exercise and Heart Disease Project: long
term psychosocialoutcome. Arch Intern Med 1982; 142: 1093-7.
18. Weisfeldt ML, Lakatta EG, GerstenblithG. Aging and cardiac disease. In:
Heart Disease. Philadelphia, 1988; p 1650.

Proses Keputusan Terapi


dan Masalah dalam Pemakaian Obat
Abraham Simatupang
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta,
Peserta Program S-2 Ilmu Kedokteran Dasar, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta

PENDAHULUAN
Setelah diagnosis ditegakkan, seorang dokter akan melangkah untuk menentukan terapi yang cocok, bukan hanya untuk
diagnosis tersebut namun untuk orang tersebut secara keseluruhan. Terapi merupakan salah satu mats rantai dalam upaya
pencegahan atau penyembuhan pasien (pribadi ataupun masyarakat) dari suatu penyakit. Proses pengambilan keputusan terapi
adalah suatu urutan langkah yang logis, sistematis dan mengikuti
kaidah ilmiah pads umumnya, seperti definisi di bawah ini(1):
"The therapeutic decisions of clinical judgment require valid
evidence, logical analysis and demonstrable proof' dan "Their
scientific quality can be discerned, assessed and improved by
the same rational procedures used for any other act of experimental science". (Feinsten, 1967)
PROSES KEPUTUSAN TERAPI
Beberapa tahapan dalam pengambilan keputusan terapi yang
memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus diuraikan secara rinci seperti berikut :
1. Intervensi Farmakoterapi
Dalam hal penentuan perlunya terapi farmakologik atau
non-farmakologik, minimal ada lima kategori yang perlu diperhatikan(2):
Yang mutlak memerlukan obat, misalnya keadaan-keadaan
infeksi bakterial yang serius, hipertensi berat dan sedang, asma,
penyakit Parkinson, dan lain-lain.
Yang mungkin memerlukan obat; hal ini lebih sulit karena
seringkali terjadi karena kekurang-pastian diagnosis maupun
patofisiologinya yang masih belum jelas, misalnya rasa sakit di
dada yang timbul berulang-ulang dengan gambaran EKG yang
normal, hipertensi ringan, dan lain-lain.
Yang mungkin dapat ditolong dengan bantuan obat atau
dengan pendekatan non-farmakologik, misalnya obesitas.

Yang tidak memerlukan obat, misalnya psikosomatis.


Yang tidak dapat tertolong lagi, misalnya stadium akhir
keganasan, koma akibat perdarahan intrakranial yang masif, dan
lain-lain.
Sebagai patokan pertama dalam penentuan perlunya tindakan intervensi, perlu adanya suatu diagnosis pasti; diagnosis kerja
atau sementara yang tidak hanya dilihat sebagai diagnosis per se
namun mencakup keadaan pasien secara menyeluruh yang
menyangkut faktor patofisiologi dan prognosis yang dinamis
dari penyakit tersebut. Misalkan perlu dipertimbangkan secara
seksama pemberian rifampisin pada penderita tuberkulosis paru
disertai hepatitis kronik persisten. Tidak semua keadaan harus
diintervensi secara fannakologik; misalnyapada keadaan psikosomatis atau reaksi konversi intervensi yang lebih diperlukan
adalah pendekatan psilcologis daripada farmakologis.
2.

Efek Farmakologik yang Diharapkan


Pada langkah ini telah terpikirkan bahwa efek farmakologi
obat yang akan diberikan diharapkan dapat mengubah keadaan
pasien ke arah yang lebih baik atau kesembuhan. Misalkan
pemberian nitrogliserin pada nyeri dada akibat serangan akut
angina pektoris diharapkan memberikan efek terapi berdasarkan patofisiologi penyakit dan efek farmakologi obat tersebut
yang bersifat melebarkan pembuluh darah koronaria, sedangkan
pemberian analgesia narkotik pada stadium akhir keganasan bersifat paliatif-suportif terhadap rasa nyeri yang diderita pasien.
3.

Pemilihan Jenis Obat


Obat yang diberikan untuk memenuhi harapan di atas merupakan hasil pilihan yang terbaik berdasarkan faktor-faktor
kemanfaatan, keamanan, biaya dan mutu obat.
Manfaat (benefit) :
Faktor manfaat menyangkut segi keterandalan atas bukti
ilmiah bahwa obat yang diberikan jelas diperlukan untuk ke-

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 57

adaan atau penyakit yang diderita. Pemberian antibiotika pada


kasus diare akut pada anak yang biasanya disebabkan oleh virus
jelas tidak mempertimbangkan hal ini, bahkan bisa membuat
penderita suatu saat menjadi resisten.
Aman (safety) :
Sebenarnya setiap obat adalah racun dan tidak ada satu
tindakan pengobatan apapun yang tanpa risiko; sehingga perlu
dipertimbangkan serta dipilih obat yang mempunyai tingkat
keamanan yang tinggi, terutama dalam memilih di antara sekian
banyak obat sejenis yang tersedia. Terdapat banyak preparat
antiinflamasi golongan non-steroid yang masing-masing mempunyai bates keamanan untuk situasi dan kondisi tertentu dari
pasien. Umpamanya, pemberian asam mefenamat relatif lebih
aman daripada asam salisilat untuk inflamasi yang disertai tukak
lambung.
Biaya (cost) :
Untuk kondisi negara berkembang dengan sistim penatalayanan kesehatan masyarakat yang belum balk serta tingkat
pendapatan per kapita penduduk yang masih rendah dan sebagian besar biaya pelayanan kesehatan masih ditanggung oleh
masyarakat sendiri, maka faktor harga perlu dipikirkan, apalagi
untuk penyakit kronis yang memerlukan terapi jangka panjang
seperti diabetes atau epilepsi. Perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa tidak benar kalau obat murah adalah
obat yang tidak berhasilguna atau sebaliknya bahwa obat yang
mahal pasti manjur.
Mute (quality) :
Menyangkut soal bioekuivalen dari suatu obat; meskipun
mengandung zat berkhasiat sama namun dua atau lebih obat dari
buatan pabrik yang berbeda dapat memberikan efek yang berbeda. Hal ini menyangkut perlakuan dan tata-cara proses pembuatan obat tersebut yang tidak selalu sama pada tiap produsen
obat.
Dengan diberlakukannya peraturan Cara Pembuatan Obat
yang Baik (CPOB) bagi setiap produsen obat maka diharapkan
bahwa obat yang dihasilkan dan dipasarkan telah memenuhi
kriteria-kriteria yang digariskan dalam CPOB tersebut.
4. Dosis dan Cara Pemberian
Setelah memilih jenis obat yang paling tepat untuk diagnosis serta memperhitungkan faktor-faktor di atas, maka hal-hal
berikut tidak kalah pentingnya karena mencakup keberadaan
dan ketersediaan obat dalam kadar yang adekuat (dalam active
site atau sel sasaran) agar memberikan efek farmakologis yang
optimal. Hal ini menyangkut beberapa segi yaitu :
Bentuk sediaan :
Tersedianya berbagai macam bentuk sediaan obat berhubungan dengan cara pemberian, jalur pemberian, sifat fisiko
kimia dan keadaan penyakit serta kemudahan-kenyamanan
(convenience) baik dari segi dokter maupun pasien.
Obat-obat yang digunakan untuk keadaan gawat-darurat
(mis. epinefrin, dopamin) biasanya dibuat dalam bentuk cairan
untuk suntik atau infus. Obat-obat untuk anak-anak biasanya
dalam bentuk sirup atau untuk menghindari reaksi antara obat
dengan asam lambung dibuat tablet dengan salut enterik (lihat

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

juga Tabel 1).


Tabel 1.

Jalur Pemberian Obat dan Penggunaannya (dari Goodman &


Gilman, 1991, hal 6)

Jalur
Intravena

Subkutan

Intramuskuler

Oral

Pula Absorpsi

Penggunaan

Tidak melalui
absorbsi
Efek cepat

Keadaan gawat
darurat
Dapat dititrasi
Cocok untuk
volume besar
atau zat iritatif
Cepat bila dengan Cocak untuk
larutan akua,
suspensi
Lambat bila
tidak larut dan
dengan preparat untuk implantasi
repository
pellet
Cepat, bila
Cocok untuk
dengan lanttan
volume sedang,
akua,
pelarut minyak
lambs bila
dan zat yang
dengan preparat iritatif
repository
Bervariasi tergantung pada
berbagai faktor

Menyenangkan,
mudah, murah
dan aman

Catatan
Risiko efek samping
meningkat
Tidak cocok untuk
larutan benninyak
atau zat yang sukar
larat
Tidak cocok untuk
volume besar
Dapat menimbulkan
iritasi dan nekrosis
Tidak dianjurkan
bila diterapi antikoagulan
Dapat mengganggu
interpretasi up
diagnostik (mis.
kreatin kinase)
Membutuhkan
kooperasi pasien
Availabilitas erratic,
tidak sempurna, karena obat sukar larut,
sukar diabsorpsi,
tidak stabil
mengalami first
pass effect, dli.

Dosis dan frekuensi pemberian :


Hal ini menyangkut berapa banyak dan berapa kali obat
akan diberikan agar tercapai kadar yang adekuat untuk efek
terapi yang optimal. Keputusan berapa besarnya dosis yang
akan diberikan tergantung path :
Besarnya obat yang akan diberikan pada waktu tertentu
Jalur pemberian
Waktu antara tiap dosis
Waktu di mana pemberian obat akan diteruskan
Pola pemberian berdasarkan prinsip farmakokinetik terbagi
atas : (a) terus-menerus lewat cairan infus (atau cara lain yang
menyebabkan pelepasan obat dengan kecepatan yang tetap,
misal sediaan lepas lambat) dan (b) secara seri dengan jangka
waktu pemberian tertentu dan dosis yang sama.
Beberapa macam dosis(3) :
Loading dose : dosis ini diberikan bila diinginkan kadar
tunak yang cepat terutama untuk obat-obat dengan waktu paruh
yang panjang. Secara teori jumlah obat yang dibutuhkan untuk
mencapai kadar tunak di plasma adalah jumlah obat yang harus
ada di tubuh pada waktu keadaan kadar tunak tercapai (path
pemberian secara berseri jumlahnya adalah nilai rata-rata dari
konsentrasi).
Loading dose = jumlah obat di tubuh pada keadaan tunak
= Cp,ss x Vd

Keterangan : Cp,ss = Kadar obat tunak dalam plasma


Vd = volume distribusi
Dosis penunjang (Maintenance dose) : merupakan dosis
yang diberikan agar keadaan tunak terpelihara. Untuk memelihara kadar tunak ini harus diketahui kecepatan ekskresi obat
sehingga ada keseimbangan antara obat yang masuk dan obat
yang keluar.
Lama pemberian :
Lamanya pemberian suatu obat tergantung patofisiologi
dan perjalanan penyakit serta tujuan pengobatan itu sendiri.
Lamanya pengobatan untuk tifus abdominalis minimal dua
minggu, untuk epilepsi minimal sampai dua tahun penderita
bebas kejang, antibiotika minimal lima hari. Pengobatan untuk
profilaksi berbeda dengan eradikasi.
5. Komunikasi, Informasi dan Edukasi
Meskipun diagnosis dan rencana terapi serta obat yang
dipilih sudah tepat namun seringkali pengobatan gagal karena
faktor komunikasi antara dokter dan pasien tidak terbina dengan
baik. Dokter harus menjelaskan kepada pasien tentang penyakit
yang dideritanya, prognosis maupun langkah terapi yang akan
diambil dengan sebijaksana mungkin, dengan melihat situasi
dan kondisi mental psikologis penderita maupun keluarganya.
la juga harus bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh pasien berkenaan dengan penyakit dan terapi yang
akan dijalaninya.
Hal-hal yang perlu diinformasikan yang berkenaan dengan
pengobatan ialah :
Cara pemakaian dan dosis obat, termasuk hal-hal seperti
obat diminum sebelum atau sesudah makan, dihisap (chew),
dioleskan dengan tipis, dan lain-lain.
Efek samping yang mungkin timbul, misalnya mengantuk,
mual, gatal atau timbul kemerahan (skin rash), dan lain-lain.
Perlu juga diberitahukan tindakan terhadap efek samping yang
timbul, kalau perlu cepat melapor ke pada dokter atau fasilitas
kesehatan terdekat.
Pasien perlu diberitahu bahwa obat tidak boleh diberikan
kepada orang lain (anak, keluarga atau tetangga) meskipun
mungkin gejala atau penyakitnya mirip dengan penderita.
Obat harus disimpan dengan baik agar terhindar dari pemakaian talc sengaja atau sengaja oleh orang lain.
6. Evaluasi
Efek terapi :
Tindakan ini merupakan hal yang penting dalam rangka
menilai keberhasilan atau kegagalan tindakan terapi yang diberikan; yang perlu dinilai pertama-tama apakah ada perubahan
keadaan penyakit atau kelainan yang bermakna pada penderita
baik secara klinis maupun laboratoris. Kalau ada, apakah pengobatan diteruskan atau dihentikan?
Efek samping :
Apakah ada efek samping yang timbul, dan bila timbul
apakah berbahaya? Apakah perlu dipikirkan penghentian atau
penggantian obat?
Dengan mengetahui efek-efek lain selain dari efek terapi
dari obat yang diberikan, kita dapat mengantisipasi apabila efek

efek tersebut membahayakan pasien; misalnya efek


hipokalemia yang disebabkan oleh diuretik dapat
mempengaruhi kerja listrik jantung terlebih bila bersamaan
pemakaiannya dengan digitalis.
Pemantauan Kadar Obat (Therapeutic Drug Monitoring) :
Untuk obat dengan Indeks Terapeutik yang sempit, pemakaian yang lama, adanya gangguan organ-organ pemetabolisme
dan ekskresi, kadar optimal hams tetap dipertahankan agar
terhindar dari gejala keracunan dan agar ada korelasi yang kuat
antara konsentrasi obat dalam darah dengan respons terapi yang
terjadi.
Menghentikan pemberian :
Kapan dan bagaimana cara penghentian obat juga merupakan salah satu hal yang penting untuk menghindarkan pasien
dari bahaya keracunan akibat pemaparan tubuh dengan obat serta
dari pengeluaran biaya pengobatan yang berlebihan; misalnya
penghentian kortikosteroid dilakukan secara berangsur-angsur
(tapering-off), antibiotika minimal diberikan selama lima hari,
dan lain-lain.
Penggantian terapi :
Biasanya dilakukan bila efek terapi yang diharapkan tidak
terjadi atau terjadi reaksi efek samping obat yang tidak dapat
ditoleransi lagi oleh pasien. Keputusan penggantian terapi ini
tidak sederhana karena mempertimbangkan berbagai faktor,
a.l. wash-out period dari obat yang akan diganti, adanya fenomena resistensi silang, toleransi silang, (cross-resistance, crosstolerance) dari obat yang sejenis atau sekelas.
Selain pertanyaan-pertanyaan di atas, pengetahuan (knowledge), penilaian (judgement), keahlian (skill), kebijaksanaan
(wisdom) dan rasa tanggung jawab (responsibility) juga harus
menyertai setiap keputusan terapi yang akan diambil oleh seorang dokter.
PEMILIHAN PENGOBATAN SECARA RASIONAL
Dasar ideal dalam pemilihan obat adalah rasional serta
efeknya yang telah teruji secara klinis, namun dalam kenyataan
hal ini tidak selamanya mudah dilaksanakan. Pemilihan pengobatan secara rasional didasarkan pada :
1. Diagnosis yang tepat.
2. Data (anamnesis, gejala dan tanda klinis, pemeriksaan penunjang lainnya dan laboratorium) yang cukup dan akurat
dihubungkan dengan patofisiologi penyakit.
3. Pengetahuan tentang farmakologi dan biokimiawi dari obat
dan metabolitnya serta sifat farmakokinetik bat tersebut baik
pada orang sehat atau sakit.
4. Kemampuan untuk menterjemahkan pengetahuan di atas
dengan situasi klinis yang dihadapi.
5. Prakiraan efek obat yang terjadi berhubungan dengan
patofisiologi dan farmakologi obat.
6. Perencanaan melakukan pengukuran-pengukuran untuk
memantau efikasi dan efek samping yang mungkin terjadi.
Meskipun langkah-langkah di atas tampaknya bertele-tele
namun apabila prinsip-prinsip ini telah dipahami dan dipraktekkan secara terus menerus maka proses tersebut akan berjalan
dengan sendirinya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 59

MASALAH-MASALAH DALAM PEMAKAIAN OBAT


Setelah mempertimbangkan faktor-faktor di atas masalahmasalah lain yang turut mempengaruhi keberhasilan terapi ialah
faktor psiko-sosial-ekonomi dari pasien. Pada pasien-pasien
psikiatrik atau lanjut usia dan pemakaian yang lama, masalah
compliance yaitu kepatuhan dan keajegan pemakaian obat oleh
pasien merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan
kegagalan maupun keberhasilan terapi. Faktor non-compliance
dapat terjadi karena(4) :
1. Penyakit : psikiatrik atau depresi
2. Dosis dan aturan pemakaian :
rumit, lebih dari dua macam obat dan pemakaian misalnya ada yang dimakan 3 kali 1/2 tablet, ada yang dihisap,
dioleskan, dan lain-lain.
pemakaian yang lama, misalnya antihipertensi, antiepilepsi.
3. Pengadaan obat yang sulit didapat karena jarang, mahal, dan
lain-lain.
4. Hubungan dokter-pasien yang tidak harmonis sehingga
pasien tidak mengacuhkan petunjuk pengobatan dari dokter.
5. Pasien :
ketidakpercayaan pasien pada upaya pengobatan
lingkungan dan suasana yang tidak mendukung
6. Efek samping obat, misalnya efek sedasi karena antihistamin atau efek nausea karena sulfas ferosus, dan lain-lain.
Dari segi ekonomi, pembelian obat yang tidak lengkap
karena harga yang tidak terjangkau dapat juga mempengaruhi
keberhasilan terapi. Di daerah perifer seringkali ketersediaan
baik dari segi jumlah maupun ragam obat sangat terbatas sehingga dokter terpaksa memberikan pengobatan yang kurang
adekuat.
Masalah lain ialah interaksi obat, lebih-lebih bila dokter
terpaksa memberikan , polifarmasi dan reaksi idiosinkrasi yang
dapat terjadi secara tak terduga. Meskipun pemilihan dari setiap
jenis obat telah dilakukan secara rasional namun bila diberikan
secara bersama-sama dapat saja timbul interaksi yang bisa
mengurangi efek farmakologis obat atau bahkan berakibat fatal
bagi penderita.
PENUTUP
Penyakit merupakan suatu keadaan yang dinamis, ia bukan
hanya suatu diagnosis yang berasal dari sekian banyak kumpulan gejala dan tanda namun suatu hasil interaksi dari berbagai hal
yang kompleks sehingga perlu pendekatan yang tidak terpaku
hanya pada diagnosis saja. Setiap saat perlu dilakukan penilaian
ulang atas perubahan-perubahan yang terjadi (hasil laboratorium, perjalanan penyakit, tanda-tanda klinis) serta trhadap
terapi yang diberikan. Proses keputusan terapi merupakan
bagian dari proses problem solving cycle, sehingga setiap hasil
atau efek atau masalah yang terjadi akibat keputusan tersebut
harus dikaji ulang kembali dan dibuat keputusan-keputusan
baru guna mendapatkan hasil yang maksimal.

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.

4.
5.

Peck CC. Qualitative Aspects of Therapeutic Decision Making in Clinical


Pharmacology, 2nd ed., Memun LK, Morelli HE (Eds.). New York: Macmillan Publ Co., Inc., 1978, 1063-83.
Reid LJ, Rubin PC, Whiting B. Lecture Notes on Clinical Pharmacology
2nd ed., Oxford: Blackwell Scient Publ, 1985, 27985.
Benet LZ, Mitchell JR, Sheiner LB. Pharmacolrinetics: The dynamics of
drug absorption, distribution and elimination. Dalam: Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis of Therapeutics, Gilman, A.G. dick,
(Eds.) edisi 8, New York: Maxwell Macmillan International Ed. 1991.
Laurence DR, Bennet PM. Clinical Pharmacology, 6th ed., Edinburgh:
Churchill-Livingstone, 1987, 129.
Benet LZ. Phannacokinetics: L absorption, distribution, and excretion.
Dalam: Basic & Clinical Pharmacology, Katzung BG. (Ed.) edisi 3,
Norwalk: Appleton Lange, 1987, hal 2335.

LAMPIRAN
PROSES KEPUTUSAN TERAPI

HUMOR
ILMU KEDOKTERAN

GEGER OTAK
Seorang ibu membawa putranya yang
remaja berobat.
Ibu
: Tolong periksa dok,anak saya
mendapat kecelakaan jatuh
dan motor. Apakah geger
otak?.
Anak : (Langsung
protes)
mana
mungkin bisa geger otak!
Dokter : Kok tahu?
Anak : Dari
dulu
saya
selalu
dikatakan Tak punya otak.
Dokter : Oh.....................
Emiliana Tjitra
Jakarta

MEMANG BEDA
Seorang menceritakan tentang keampuhan obat penemuannya untuk menumbuhkan rambut yang rontok:
"Coba begitu hebatnya, sampai kalau
dioleskan ke mentimun, langsung
mentimun tumbuh rambut lebat lagi
panjang-panjang!"
Temannya merasa heran: "Lho tetapi
mengapa rambut di kepala anda botak?"
Merasa terpojok : "Memang..................
karena dia bukan mentimun tetapi........
.........kepala brilian !"
????????????

Juvelin
Jakarta

PENAMPILAN SAYA SEPERTI UMUR BERAPA??????


Inilah percakapan antara sepasang suami istri manula
Istri : "Pap, menurut engkau penampilan saya ini seperti seorang wanita umur
berapa? (sambil dengan genitnya berputar-putar di depan suaminya)
Suami (sambil mengamati gerak-gerik istrinya) : "Nah, seperti umur 20 tahun, kalau
melihat rambutmu
Sembilan belas tahun, kalau menilai kulitmu
Delapan belas tahun untuk cara pembawaanmu
Tujuh belas tahun untuk potongan tubuhmu."
Istri (senang sekali dan makin bergoyang genit) : "Benar nih ?"
Suami : "Ya, benar! Nah, saya sekarang akan menjumlahkan semuanya tadi 20
tambah 19 tambah 18 tambah 17................"
Istri : Lo, kok dijumlahkan ????
OLH
SOAL KEBIASAAN
Seorang laid-laid korban kecelakaan yang putus sebelah kakinya datang ke dokter
ahli bedah tulang. Konon kabarnya dokter tersebut ahli dalam menyambungkan kaki
yang putus dengan kaki donor sehingga dapat berfungsi secara normal kembali.
Pada saat akan dilakukan operasi, dokter tersebut baru sadar bahwa cadangan kaki untuk
transplantasi tinggal kaki donor wanita. Namun karena penderita tak keberatan, operasi
transplantasi kaki dilakukan juga.
Beberapa bulan kemudian penderita tersebut datang lagi ke dokternya. Sambil menunjukkan kakinya yang telah disambung, ia berkata: "Dok, repot juga saya dengan kaki yang
satu ini, sebab sewaktu buang air kecil, maunya ditekuk saja, alias jongkok !!"
Metta SSW
Jakarta
DISORIENTASI
Seorang pelajar tertangkap basah sedang teler berat di suatu diskotik dalam suatu
razia anak sekolah. Oleh polisi ia dikirim ke psikiater untuk diperiksa.
Mengapa saudara sampai dibawa ke sini ? tanya dokter.
Saya menyesal terlalu banyak minum kopi. Tolong berikan saya wiski banyak-banyak
untuk penawar. Besok saya mau ke Kantor Pos untuk bertobat dan mohon ampun dari
Tuhan. Saya bersumpah setelah itu mau kembali ke disko dan belajar. Saya tidak akan
pernah lagi menyia-nyiakan waktu saya untuk pergi ke sekolah katanya.
R. Setiabudy
Jakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 61

ABSTRAK
ANTIMALARIA
Arthemeter - suatu derivat artemisinin (qinghaosu) telah digunakan untuk
menanggulangi malaria di Cina.
Peneliti di Gambia telah menyelidiki
efektivitasnya pada anak-anak. Sejumlah 30 anak Gambia secara acak diberi
arthemeter intramuskular (4mg./kgbb.
dosis awal diikuti dengan 2 mg./kg/bb/
hari) atau klorokuin intramuskular (3,5
mg. basa/kg.bb tiap 6 jam). Kedua obat
tersebut ditoleransi dengan baik dan
cukup efektif.
Parasite clearance ternyata lebih
cepat tercapai di kalangan yang diterapi
dengan arthemeter (36,7 16,8 jam,
p < 0.05).
Penelitian kemudian dilanjutkan pada
43 anak dengan malaria berat. Pada
penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dalam hal respons
klinis, hematologis, biokimiawi maupun
parasitologis; demikian juga dalam hal
toksisitasnya.
Arthemeter merupakan salah satu
alternatif pengobatan malaria, terutama
di daerah-daerah yang telah resisten
terhadap klorokuin.
Lancet 1992; 339 : 317-21
Brw

PIRIMETAMIN UNTUK ENSEFALITIS TOKSOPLASMA


Suatu penelitian buta-ganda telah
dilakukan untuk menilai efektivitas
profilaksis ldindamisin dan pirimetamin
terhadap ensefalitis toksoplasma di
kalangan pasien HIV positif.
Hasil awal menunjukkan bahwa
kelompok klindamisin mempunyai
risiko 4,4 kali (95% CI-1, 3-15, 2) lebih
besar untuk mengalami efek samping
dibandingkan dengan kelompok plasebo.
Diare dan rash dilaporkan pada masing-masing 16 (31%) dan 11 (21%)
penderita di antara 52 pasien yang

62 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

mendapat 2 dd 300 mg. klindamisin,


dibandingkan dengan 2 (6%) kasus diare dan tidak ada kasus rash di antara
32 pasien yang menerima plasebo.
Karena hasil di atas, penggunaan
klindamisin untuk sementara dihentikan, sementara penggunaan pirimetamin
masih terus dievaluasi.
Lancet 1992; 319 : 333-4
Brw

RISIKO
ULTRASONOGRAFI
PADA WANITA HAMIL
Dengan meluasnya penggunaan ultrasonografi sebagai prosedur diagnostik di kalangan ibu hamil, muncul
kekuatiran mengenai pengaruhnya
terhadap janin, apalagi prosedur tersebut kebanyakan dilakukan pada usia
kehamilan 16 - 22 minggu, pada saat
perkembangan susunan saraf pusat janin
mencapai puncaknya.
Di Norwegia telah dilakukan penelitian was 2448 anak yang pada saat
di dalam kandungan (pada tahun 1979 1982), ibunya menjalani pemeriksaan
ultrasonografi. Anak-anak tersebut dinilai oleh para gurunya dalam hal
kemampuan membaca, mengeja, aritmetik dan penampilan umumnya.
Ternyata 21 di antara 309 anak yang
diteliti menderita disleksi, dibandingkan
dengan 26 di antara 294 anak kontrol;
hasil ini secara stastistik tidak bermakna.
Pada peneliti menyimpulkan bahwa
ultrasonografi tidak memperbesar
risiko bayi dalam hal gangguan kemampuan membaca dan menulis.

matur, pemberian air susu ibu (ASI)


menghasilkan perkembangan yang
lebih baik pada usia 18 bulan.
Anak-anak yang sama saat ini telah
berusia 71/2 - 8 tahun; dan setelah dinilai dengan WIS-C, anak-anak yang
menerima ASI rata-rata nilai IQ-nya 8,3
lebih tinggi daripada anak-anak yang
tidal( diberi ASI; bahkan setelah dikoreksi menurut tingkat pendidikan dan
tingkat sosial ibunya.
Meskipun mungkindipengaruhi oleh
perbedaan potensi genetik dan pola
pendidikan keluarga, hasil penelitian ini
menunjukkan pentingnya ASI terhadap
perkembangan saraf anak.
Lancet 1992; 339 : 261-4
Brw

INDOMETASIN UNTUK BATU


EMPEDU
Pasien dengan batu empedu umumnya mempunyai gangguan/kelambatan
pengosongan kandung empedu. Untuk
memperbaikinya, telah dicoba pemberian indometasin 3 dd. 25 mg./hari
selama seminggu, disusul dengan pemberian plasebopada minggu berikutnya.
Percobaan ini melibatkan 7 pasien batu
empedu dan 7 orang sehat.
Ternyata kecepatan pengosongan
kandung empedu meningkat pada
orang-orang yang menerima indometasin; penemuan ini mungkin disebabkan oleh efek prokinetik NSAID,
karena sampai saat ini NSAID tidak
diketahui mempunyai efek pada mekanisme pembentukan kristal kolesterol.

Lancet 1992; 339 : 385-9


Brw

Lancet 1992; 339 : 269-71


Brw

MANFAAT ASI
Penelitian ini merupakan lanjutan
penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa di kalangan bayi pre

EFEK TERATOGEMK LITHIUM


KARBONAT
Lithium karbonat diketahui efektif
terhadap gangguan afektif. Untuk

ABSTRAK
mengetahui efek teratogeniknya, 148
wanita yang rata-rata berusia 30 tahun,
yang menggunakan lithium pada
kehamilan trimester pertamanya, diteliti dan diwawancarai dan dievaluasi.
Dosis rata-rata lithium yang digunakan
ialah 927 mg./hari.
Ternyata tidak didapatkan perbedaan
bermakna dalam hal kejadian malformasi kongenital di kalangan bayi yang
dilahirkan (2,8% di kalangan kelompok
lithium, 2,4% di kelompok kontrol). Satu
pasien di kelompok lithium, janinnya
menderita anomali Ebstein, sedangkan
defek septum ventrikel dideteksi pada
janin satu pasien kelompok kontrol).
Berat badan lahir janin di kelompok
lithium secara bermakna lebih besar
(3475660g. vs. 3383 566g. p=0,02),
padahal di kelompok lithium diketahui
lebih banyakyang jugamerokok (31,8%
vs. 15,5%, p=0,002); sehingga mungkin
hasil yang sebenarnya dapat lebih bermakna.
Penelitian ini tidak menemukan efek
teratogen lithium pada manusia.
Lancet 1992; 339 : 530-3
Brw

EFEK SAMPING PIMOZIDE


Semenjak tahun 1971, di Inggris telah tercatat 29 kasus. aritmi jantung
yang dihubungkan dengan penggunaan
Orap (pimozide) suatu obat antipsikotik; dan 14 di antaranya fatal. Untuk
mencegah kasus berikutnya, pihak pembuat obat telafi memberi pemberitahuan
kepada para dokter agar berhati-hati dan
sebaiknya jangan diberikan lebih dari
20 mg/hari.
Scrip 1991; 1679/80: 26
Brw

ANTIHEMOFILI
US FDA telah menyetujui penggunaan rekombinan factor VIII
Kogenate untuk pengobatan dan profilaksis hemofili A, baik untuk pasien
baru maupun yang telah pernah me-

nerima produk darah lain.


Pada suatu penelitian, dosis tunggal
obat ini sudah cukup untuk mencegah
399 (73,9%) dari 540 perdarahan yang
terjadi pada 56 pasien hemofili.
Produk ini memberikan alternatif baru
bagi para pasien hemofili, dan praktis
tidak mengandung risiko transmisi
penyakit seperti pada penggunaan produk plasma.
Scrip 1991; 1679/80: 25
Brw

FAKTOR RISIKO GOUT


Sejumlah 1337 mahasiswa kedokteran kulit putih di Johns Hopkins
telah diikutsertakan dalam penelitian
longitudinal untuk mengetahui faktorfaktor risiko dari gout.
Dari kelompok mahasiswa tersebut,
1271 (95%) dapat diperiksa dan menjawab kuesioner yang dibagikan; dari.
responden tersebut, 91% pria, 97% berkulit putih dan muda usia (median 22
tahun). Kelompok ini diamati selama
rata-rata (median) 29 tahun).
Selama masa tersebut ditemukan 60
kasus gout (47 kasus primer, 13 kasus
sekunder) di kalangan pria dan tidak
ditemukan kasus gout di kalangan wanita; angkakejadian untuk kalanganpria
ialah 8,6% (96% CI: 5,9 11,3%).
Penelitian atas faktor risiko menunjukkan adanya kaitan dengan body mass
index pada usia 35 tahun (p = 0,01);
kelebihan berat badan (> 1,88 km/m2
p = 0,007) dan adanya hipertensi (p =
0,004). Relative risk pada body mass
index ialah sebesar 1,12 (p = 0,02);
untuk kelebihan berat badan adalah sebesar 2,07 (p = 0,02) dan untuk hipertensi adalah sebesar 3,26 (p = 0,002).
Pencegahan obesitas dan hipertensi
sejak usia muda dapat mengurangi risiko
gout.
JAMA 1991; 266: 3004-7
Hk

RISIKO DIURETIK PADA DIABETES MELLITUS


Pengobatan hipertensi pada pasien
diabetes mellitus merupakan problem
yang tersendiri.
Suatu penelitian dilakukan atas 759
pasien kulit putih berusia 35 69 tahun
dengan kadar kneatinin serum normal;
pasien tersebut dibagi atas lima golongan: normotensif (tekanan diastolik
90 mmHg), hipertensif tidak diobati,
hipertensif diobati hanya dengan diuretik, hipertedsif diobati dengan antihipertensif lain, dan hipertensif yang diobati dengan diuretik + antihipertensif
lain.
Kematian akibat kardiovaskuler lebih
sering dijumpai di kalangan hipertensif
yang diobati daripada di kalangan hipertensif yang tidak diobati; peninggian
mortalitas ini terutama dijumpai di kalangan yang diobati hanya dengan
diuretik, meskipun tekanan darah rataratanya paling rendah (relative risk 3,8;
p < 0,001).
Para peneliti menganjurkan agar
penggunaan diuretik pada pasien diabetes yang disertai hipertensi hendaknya
dipertimbangkan kembali.
Arch. Intern. Med. 1991; 151: 1350-6
Hk

NSAID TOPIKAL
UK Drug and Therapeutics Bulletin
baru-baru ini memuat artikel yang meragukan efektivitas NSAID topikal;
sampai saat ini belum ada penelitian
klinis yang membandingkan efektivitasnya dengan parasetamol pada kasus
nyeri, ataupun dengan NSAID oral pada
kasus yang lebih berat.
Lagipula, biaya pengobatan NSAID
topikal ternyata lebih mahal bila dibandingkan dengan penggunaan ibuprofen oral atau dikiofenak oral selama
7 hari.
Scrip 1991; 1679/80: 24
Brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992 63

Ruang Penyegar dan


Penambah Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Penyakit reumatik yang terutama mengenai pasien usia
muda :
a) Spondilitis ankilosis
b) Artritis gout
c) Lupus eritematosus sistemik
d) Artritis reumatoid
e) Polimiositis
2. Penyakit reumatik yang praktis tidak pernah muncul pada
usia tua :
a) Spondilitis ankilosis
b) Artritis gout
c) Artritis reumatoid
d) Osteoartritis
e) Polimiositis
3. Nodul sering ditemukan pada :
a) Spondilitis ankilosis
b) Artritis gout
c) Osteoartritis
d) Polimiositis
e) Penyakit Paget
4. Yang tidak termasuk gejala major demam reumatik :
a) Karditis
b) Poliartritis
c) Artralgia
d) Chorea
e) Nodul subkutan
5. Cairan sendi yang berdarah umumnya menyingkirkan
diagnosis :
a) Lupus eritematosus sistemik
b) Hemofili
c) Charcot joint
d) Tumor
e) Semua masih mungkin

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 78, 1992

6. Proses infeksi dicurigai bila hitung leukosit cairan sinovia


lebih dari :
a) 2000
b) 5000
c) 10000
d) 30000
e) 60000
7. Obat-obat di bawah ini digunakan pada penyakit reumatik,
kecuali :
a) OAINS
b) Alopurinol
c) Relaksan otot
d) Kortikosteroid
e) Garam emas
8. OAINS yang mempunyai waktu paruh terpanjang :
a) Ibuprofen
b) Naproxen
c) Indometasin
d) Asam mefenamat
e) Piroksikam
9. Suntikan kortikosteroid intraartikular tidak dilakukan
pada keadaan :
a) Artritis reumatoid
b) Osteoartritis
c) Fraktur intraartikular
d) Gout
e) Pseudogout
10. Obat pilihan pertama pada artritis gout akut :
a) Colchichine
b) Alopurinol
c) Metotreksat
d) Garam emas
e) OAINS

Anda mungkin juga menyukai