Dokumen - Tips CDK 078 Penyakit Sendi
Dokumen - Tips CDK 078 Penyakit Sendi
Daftar Isi :
2. Editorial
4. English Summary
Karya Sriwidodo
Redaksi
1992
KETUA PENGARAH
Dr Oen L.H
KETUA PENYUNTING
Dr Budi Riyanto W
PELAKSANA
Sriwidodo WS
REDAKSI KEHORMATAN
Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro
Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
TATA USAHA
Sigit Hardiantoro
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran
P.O. Box 3105 Jakarta 10002
Telp. 4892808
Fax. 4893549, 4891502
NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
PENCETAK
PT Midas Surya Grafindo
Drg. I. Sadrach
Lembaga Penelitian Universitas Trisakti,
Jakarta
REDAKSI KEHORMATAN
DR. B. Setiawan
English Summary
PRINCIPLES OF MANAGEMENT IN
RHEUMATIC DISEASES
DEVELOPMENT OF CORONARY
HEART DISEASE IN CHILDREN
Harry Isbagio
AR Nasution
Artikel
Pendekatan Diagnostik
Penyakit Reumatik
Harry Isbagio
Subbagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
R.S. Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Hingga kini dikenal lebih dari 100 macam penyakit sendi
yang seringkali memberikan gejala yang hampir sama. Oleh
karena itu pendekatan diagnostik sangat diperlukan agar didapatkan diagnosis yang tepat, sehingg akhirnya penderita
memperoleh penatalaksanaan yang adekuat.
Perlu diingat pula bahwa gangguan reumatik dapat merupakan manifestasi artikuler dari berbagai penyakit dan sebaliknya beberapa penyakit reumatik mempunyai manifestasi
ekstra-artikuler pada berbagai organ.
Sebagaimana halnya dengan penyakit lain maim dalam
melakukan pendekatan diagnostik hams melalui tahap-tahap
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.
Pada makalah ini akan dibahas langkah-langkah pendekatan diagnostik tersebut dengan lebih menekankan pada kelainan
sendinya.
TERMINOLOGI
Sebelum melangkah lebih lanjut maka sebaiknya terlebih
dahulu mengenal berbagai terminologi yang sering digunakan
dalam bidang penyakit reumatik. Hal ini diperlukan untuk kesamaan pengertian agar kita tidak rancu dalam menggunakannya.
Berbagai istilah yang perlu diketahui ialah :
1. Artralgia : merupakan keluhan subyektif berupa rasa nyeri
di sekitar sendi, pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan.
2. Artritis : kelainan sendi obyektif, berupa inflamasi sendi
disertai tanda inflamasi yang komplit (tumor, rubor, kalor,
dolor, gangguan fungsi).
3. Monoartritis : artritis yang hanya mengenai satu sendi saja.
4. Oligoartritis/pausi-artikuler : artritis yang menyerang 2
sampai 4 sendi atau kelompok sendi kecil. Dalam hal ini sendi
RIWAYAT PENYAKIT
Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal
diagnosis semua penyakit, termasuk pula penyakit reumatik.
Sebagaimana biasanya diperlukan riwayat penyakit yang
deskriptif dan kronologis; ditanyakan pula faktor yang memperberat penyakit dan hasil pengobatan untuk mengurangi keluhan
penderita.
a. Umur
Penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapi
frekuensi dari setiap penyakit berbeda-beda pada berbagai kelompok umur. Misalnya osteoartrosis lebih sering ditemukan
pada penderita usia lanjut dibandingkan dengan usia muda. Sebaliknya lupus eritematosus sistemik lebih sering ditemukan
pada wanita usia muda dibandingkan dengan kelompok usia
lainnya.
Penyakit Still
Spondilitis ankilosis
Penyakit Reiter
Demam reumatik
Artritis pads kolitis ulseratif
Artritis septik
Gonokok
Stafilokok dan infeksi lainnya
Artritis Gout
Lupus erimatosus sistemik
Artritis reumatoid
Polimiositis
Skleroderma
SLE akibat obat
Penyakit Paget
Osteoartritis
Pfllimialgia reumatika
Penyakit deposit Kalsium pirofosfat
Osteopenia
Mestastasis karsinoma atau
mieloma multipel
Usia
muds
(225 thn)
Usia
pertengahan
(3050 thn)
Usia
IanJut
(65+)
+
++
++
++
+
+/
+
+
+
++
+/
++
+
+/
+++
++
+
+
+
+
++
++
++
++
++
++
+
+
+
+
+/
+/
+++
++
+
++
++
++
+++
++
+++
++
+++
+++
+++
Keterangan :
= Hampir tak pernah terjadi, +/ = sangat jarang, + = jarang,
++ = sering terjadi, + ++ = sangat sering terjadi
b. Jenis kelamin
Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin berbeda pada beberapa kelompok penyakit. Pada tabel 2 dapat
dilihat perbedaan tersebut.
Tabel 2.
Artritis reumatoid
Lupus eritematosus sistemik
Spondilitis ankilosis
Penyakit Reiter
Artritis psoriatik
Artropati intestinal
Artropati reaktif
Artritis Gout
Osteoartritis coxae
Osteoatrosis lutut & Langan
c.
Nyeri sendi
Nyeri sendi merupakan keluhan utama penderita reumatik.
Penderita sebaiknya diminta menjelaskan lokasi dari nyeri serta
punctum maximumnya, karena mungkin sekali nyeri tersebut
merupakan penjalaran dari tempat lain. Nyeri tajam yang menjalar ke tempat jauh merupakan keluhan karakteristik yang disebabkan oleh penekanan dari radiks saraf.
Penting untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanikal dengan nyeri yang disebabkan inflamasi.
Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang setelah istirahat
serta tidak timbul pada pagi hari merupakan tanda nyeri mekanik.
g.
PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan jasmani khusus pada sistem muskuloskeletal
meliputi : Inspeksi pada saat diam/istirahat
Inspeksi pada saat gerak
Palpasi
a. Sikap/postur badan
Perlu diperhatikan bagaimana cara penderita mengatur posisi dari bagian badan yang sakit. Sendi yang meradang
biasanya mempunyai tekanan intraartikuler yang tinggi, oleh
karena itu penderita akan berusaha menguranginyadengan
mengatur posisi sendi tersebut seenak mungkin, biasanya
dalam posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering diganjal
dengan bantal. Pada sendi bahu (glenohumeral) dengan cara
lengan diaduksi dan endorotasi, mirip dengan waktu
menggendong tangan dengan kain pada fraktur lengan.
Sebaliknya bila dilakukan abduksi dan eksorotasi maka
penderita akan merasa sangat kesakitan karena terjadi
peningkatan tekanan intraartikuler. Ditemukannya postur badan
yang membongkok ke depan disertai pergerakan vertebra yang
terbatas merupakan gambaran khas dari spondilitis ankilosis.
b. Deformitas
Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan
diam, tetapi akan lebih nyata pada keadaan gerak. Perlu dibedakan apakah deformitas tersebut dapat dikoreksi (misalnya
disebabkan gangguan jaringan lunak) atau tidak dapat dikoreksi
(misalnya restriksi kapsul sendi atau kerusakan sendi).
Berbagai dformitas di lutut dapat terjadi antara lain genu
varus, genu valgus, genu rekurvatum, subluksasi tibia posterior
dan deformitas fleksi. Demikian pula deformitas fleksi di siku.
Pada jari tangan antara lain boutonniere finger, swan neck
finger, ulnar deviation, subluksasi sendi metakarpal dan pergelangan tangan. Pada ibu jari tangan ditemukan unstable Zshaped thumbs.
Pada kaki ditemukan telapak kaki bagian depan melebar dan
miring ke samping disertai subluksasi ibujari kaki ke atas. Pada
pergelangan kaki terjadi valgus ankle.
c. Perubahan kulit
Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau
penyakit kulit sering pula disertai penyakit reumatik. Kelainan
kulit yang sering ditemukan antara psoriasis dan eritema nodo
e. Bengkak sendi
Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan lunak
atau tulang.
Cairan sendi yang terbentuk biasanya akan menumpuk di
sekitar daerah kapsul sendi yang resistensinya paling lemah dan
mengakibatkan bentuk yang khas pada tempat tersebut, misalnya :
1) Pada efusi lutut maka cairan akan mengisi cekungan medial
dan kantong suprapatelar mengakibatkan pembengkakan di atas
dan sekitar patela yang berbentuk seperti ladam kuda.
2) Pada sendi interfalang pembengkakan terjadi pada sisi
posterolateral di antara tendon ekstensor dan ligamentum kolateral bagian lateral.
3) Efusi sendi glenohumeral akan mengisi cekungan segitiga
di antara klavikula dan otot deltoid di alas otot pektoralis.
4) Pada efusi sendi pergelangan kaki akan terjadi pembengkakan pada sisi anterior.
Bulge sign ditemukan pada keadaan efusi sendi dengan
jumlah cairan yang sedikit dalam rongga yang terbatas. Misalnya
pada efusi sendi lutut bila dilakukan pijatan pada cekungan
medial maka cairan akan berpindah ke sisi lateral patela dan
kemudian berpindah sendiri ke sisi medial.
Balloon sign ditemukan pada keadaan efusi dengan jumlah
cairan yang banyak, bila dilakukan tekanan pada satu titik akan
menyebabkan penggelembungan di tempat lain. Keadaan ini
sangat spesifik pada efusi sendi.
Pembengkakan kapsul sendi merupakan tenth spesifik dari
sinovitis. Pada pembengkakan tergambar batas dari kapsul sendi
yang makin nyata pada pergerakan dan teraba pada pergerakan
pasif.
f.
Nyeri raba
Menentukan lokasi yang tepat dari nyeri raba merupakan
hal yang penting untuk menentukan penyebab dari keluhan
pasien.
Nyeri raba kapsuler/artikuler terbatas pada daerah sendi
merupakan tanda dari artropati atau penyakit kapsuler.
Nyeri raba periartikuler agak jauh dari bates daerah sendi
merupakan tanda dari bursitis atau entesopati.
g. Pergerakan
Pada pemeriksaan perlu dinilai luas gerak sendi pada keadaan pasif dan aktif dan dibandingkan kiri dan kanan.
Sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak sendi
pada semua arah. Tenosinovitis atau lesi periartikuler hanya
menyebabkan berkurangnya gerak sendi pada satu arah saja.
Artropati akan memberikan gangguan yang sama dengan sinovitis. Bila gerakan pasif lebih Iuas dibandingkan dengan gerak-
Bunyi lainnya
Ligamentous snaps merupakan suara tersendiri yang keras
tanpa rasa nyeri. Keadaan ini merupakan hal yang biasa terdengar sekitar femur bagian atas sebagai clicking hips.
Cracking merupakan bunyi yang diakibatkan tarikan pada
sendi, biasanya pada sendi jari tangan, kcadaan ini disebabkan
terbentuknya gelembung gas intraartikuler. Cracking tidak dapat
diulang selama bebcrapa menit scbelum gas tersebut habis discrap.
Cloncking merupakan suara yang ditimbulkan oleh permukaan- yang tidak teratur (irregular), suara ini ditemukan
Gangguan fungsi
Fungsi sendi dinilai dengan observasi pada penggunaan
normal; seperti bangkit dari kursi dan berjalan dapat digunakan
untuk menilai sendi coxae, lutut dan kaki. Kekuatan genggam
dan ketepatan menjepit benda halus untuk menilai tangan.
Sedangkan aktivitas hidup sehari-hari (Activities of daily
living = ADL) seperti menggosok gigi, buang air besar,
memasak dan sebagainya lebih tepat ditanyakan dengan
kuestioner daripada diperiksa langsung.
Selain pemeriksaan khusus pada sendi maka perlu dilakukan
pemeriksaan jasmani secara umum untuk mencari berbagai
manifestasi luar sendi.
a. Nodul
Nodul sering ditemukan pada berbagai artropati, umumnya
ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan, siku,
tumit belakang, sakrum). Nodul sering ditemukan pada artritis
gout (tofi) dan artritis reumatoid (nodul reumatoid).
b. Perubahan kuku
Perubahan kuku sering ditmukan pada penyakit reumatik,
antara lain :
1. Jari penabuh (clubbing finger) berhubungan dengan osteoartropati hipertrofik pulmoner dan alveolitis fibrotik.
2. Thimble pitting onycholysis (lisis kuku berbentuk lubang)
dan distrofi kuku berhubungan dengan artropati psoriatik dan
penyakit Reiter kronik.
3. Serpihan berdarah (splinter haemorrhages) pada vaskulitis
pembuluh darah kecil.
c. Lesi membrana mukosa
Keadaan ini sering tanpa gejala (pada penyakit Reiter atau
artropati reaktif) atau dengan gejala Oupus eritematosus sistemik, vaskulitis, Sindrom Behcet). Perlu diperhatikan adanya
ulkus pada oral, genital dan mukosa hidung dan telangiektasia.
d. Gangguan mata
Gangguan mata meliputi :
1) Episkleritis dan skleritis pada artritis reumatoid, vaskulitis
dan polikondritis.
2.
2)
3)
13) Artroskopi, terutama di lutut, dapat melihat penyakit intraartikuler, sekaligus dapat dilakukan biopsi.
14) Analisis cairan sendi sebagai pembantu diagnostik; dapat
dibagi dalam 3 kelompok.
a) Nilai diagnostik yang pasti :
1. Pewarnaan Gram dan kultur bakteriologik memastikan
septik artritis.
2. Kristal : menentukan pseudogout dan gout.
b) Nilai diagnostik kurang pasti : yaitu pemeriksaan jumlah dan
jenis dari sel, yang dapat membedakan antara keadaan normalinflamasi-septik, tetapi belum dapat menentukan jenis penyakit.
c) Nilai diagnostik masih dipertanyakan seperti viskositas,
test bekuan musin, kadar glukosa, faktor reumatoid dan
kompleks imun dalam cairan sendi.
15) Biopsi sinovia dapat mendiagnosis tumor, keadaan seperti
tumor (sinovitis vilonodular), tuberkulosis dan jamur.
16) Biopsi tulang dapat mendiagnosis stadium awal penyakit
metabolik tulang. Selain itu pada orang usia lanjut dengan nyeri
tulang generalisata dengan/tanpa kompresi fraktur vertebra,
biopsi tulang dapat membedakan antara osteoporosis, osteomalasia dan hiperparatiroid.
KESIMPULAN
Dengan mengkombinasikan antara umur, jenis kelamin,
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang maka kita dapat mempersempit diagnosis.
Pemeriksaan penunjang yang berlebihan tidak diperlukan
apabila dari riwayat penyakit, pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan laboratorium yang ditentukan sudah dapat dibuat
diagnosis.
Dengan diagnosis yang tepat kita dapat merencanakan
pengelolaan pasien dengan lebih baik.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
PENDAHULUAN
Dalam menegakkan diagnosis penyakit Reumatik sering ditemui kesulitan karena tidak adanya panduan yang jclas. Untuk
itu para pakar mencoba menyusun bcbcrapa kriteria untuk
menyeragamkan diagnosis penyakit Reumatik dari berbagai
pusat.
Pengertian kriteria sangat bervariasi. Beberapa istilah yang
digunakan adalah diagnostic criteria, criteria for guidance in
the diagnosis, dan preliminary criteria for the classification.
Sesungguhnya kriteria dibuat agar dapat digunakan sebagai
penuntun dalam mengklasifikasi gejala penyakit untuk memastikan diagnosis dan juga berperan dalam penemuan klinik
tidak hanya untuk mendiagnosis penyakit secara individu. Yang
hams diperhatikan adalah ketentuan-ketentuan dari berbagai
kriteria berdasarkan teknik analisis yang memerlukan sejumlah
variabel untuk mendapatkan suatu perbe0daan kelompok yang
baik. Jadi tidak hanya untuk menegakkan diagnosis penderita
tanpa memperhatikan jumlah informasi yang diperlukan.
Kriteria yang tercantum di bawah ini telah dikembangkan
sesuai dengan beberapa tujuan. Satu kelainan/pcnyakit mempunyai kriteria untuk :
1. Klasifikasi sekelompok penderita (misalnya dari survai
populasi, seleksi untuk studi pengobatan, atau analisis hasil
perbandingan penderita antar institusi).
2. Diagnosis penderita secara individu.
3. Perkiraan frekuensi penyakit dan/atau beratnya penyakit
(survai epidemiologi) termasuk remisi.
4. Alat bantu dalam menentukan prognosis.
Kriteria yang dibuat bersifat empirik dan tidak bertujuan
untuk memasukkan atau menyingkirkan suatu diagnosis yang
sesuai pada penderita tertentu. Kriteria ini sangat berarti untuk
menentukan standard dalam membandingkan kelompok penderita dari pusat yang berbeda termasuk penemuan klinik dan
percobaan pengobatan.
Kriteria yang ideal mutlak sensitif dan mutlak spesifik.
Mutlak sensitif yaitu : semua penderita yang mempunyai kelainan ditemukan pemeriksaan fisik dan test laboratorium yang
sama. Mutlak spesifik yaitu : kelainan yang ditemukan dan test
yang positif tidak pernah ditemukan pada penyakit lain. Biasanya, makin sensitif suatu pcnemuan, makin kurang spesifisitasnya dan sebaliknya. Pada kritcria yang tclah ditcgakkan,
dilakukan seleksi atas kemungkinan kombinasi antara sensitivitas dan spesifisitas. Diharapkan kriteria dapat dipakai untuk
menambah ilmu pengetahuan dan berguna untuk klasifikasi
penyakit serta sebagai konsep pada perubahan patofisiologi.
Di bawah ini dikemukakan beberapa kriteria diagnostik
yang disusun olch American Rheumatism Association (ARA)
yang telah direvisi sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran.
KRITERIA DIAGNOSTIK DAN KLASIFIKASI ARTRITIS REUMATOID
A. Kriteria Diagnostik (1958)
1) Kaku pagi hari
2) Nyeri pada pergerakan atau nyeri tekan paling sedikit pada
satu sendi yang diamati oleh pemeriksa.
3) Pembengkakan yang disebabkan karena penebalan jaringan
lunak atau cairan (bukan pembesaran tulang) paling sedikit pada
satu sendi yang diamati oleh pemeriksa.
4) Pembengkakan pada paling sedikit satu sendi lain yang
diamati oleh pemeriksa dan masa bebas gejala dari kedua sendi
yang terkena tidak lebih dari tiga bulan.
5) Pembcngkakan sendi yang simetris (diamati oleh pemeriksa) dan terkenanya sendi yang sama pada kedua sisi yang
timbulnya bersamaan. Bila yang terkena sendi proximal inter-
falangeal bilateral, metakarpofalangeal metatarsofalangeal bilateral, simetris mutlak tidak diperlukan. Sendi distal interfalangeal tidak termasuk dalam kriteria.
6) Nodul subkutan (diamati oleh pemeriksa) pada tonjolantonjolan tulang, permukaan extensor atau pada daerah juxtaartikuler.
7) Pemeriksaan radiologi menunjukkan perubahan khas dari
artritis reumatoid. Harus didapati dekalsifikasi pada atau dekat
dengan sendi yang terkena, tidak hanya perubahan degenerasi.
Perubahan-perubahan degenerasi tidak menyingkirkan adanya
artritis reumatoid.
8) Test aglutinasi faktor reumatoid positif.
9) Bekuan mucin yang buruk pada cairan sinovia (dengan
gumpalan seperti awan). Adanya inflamasi cairan sinovia disertai dengan 2000 sel darah putih/mm3 atau lebih tanpa
kristal, dapat dimasukkan dalam kriteria ini.
10) Perubahan histologi yang khas pada sinovia dengan tiga
atau lebih tanda berikut ini: sedikit hipertrofi villus, proliferasi
sel permukaan sinovial, sering disertai palisading, sedikit
infiltrasi sel inflamasi kronik (limfosit atau sel plasma) dengan
kecenderungan terbentuknya lymphoid nodules; terlepasnya
fibrin pada permukaan atau interstitial; nekrosis sentral.
11) Perubahan histologi yang khas pada nodul menunjukkan
fokus granulomatous dengan nekrosis scntral, dikelilingi olch
suatu palisade yang terdiri dari proliferasi mononuklear,
fibrosis perifer dan infiltrasi sel inflamasi kronis.
B. Klasifikasi Artritis Reumatoid
1) Reumatoid Klasik
Harus terdapat 7 dari kriteria tersebut di atas.
Kriteria 1 sampai 5 tanda dan gejala sendi harus berlangsung terus menerus paling sedikit selama 6 minggu. Jika
ditemukan salah satu tanda dari daftar yang tidak termasuk
artritis reumatoid, maka penderita tidak dapat digolongkan
dalam kelompok ini.
2) Reumatoid Definit
Harus terdapat 5 dari kriteria di atas.
Kriteria 1 sampai 5 tanda (Jan gejala sendi harus berlangsung terus menerus paling sedikit 6 minggu.
3) Probable Rheumatoid Arthritis
Kemungkinan artritis reumatoid
Hams terdapat 3 dari kriteria di atas. Paling sedikit satu dari
kriteria 1 sampai 5 tanda atau gejala sendi harus bcrlangsung
terus menerus paling sedikit 6 minggu.
4) Possible Rheumatoid Arthritis
Diduga artritis reumatoid
Harus terdapat 2 dari kriteria berikut ini, dan lamanya gejala
sendi paling sedikit 3 bulan.
1. Kaku pagi hari
2. Nyeri tekan atau nyeri gerak (diamati oleh pcmeriksa)
dengan riwayat rekurensi atau menetap selama 3 minggu.
3. Riwayat atau didapati adanya pembengkakan sendi.
4. Nodul subkutan (diamati oleh pcmeriksa).
5. Peningkatan Laju Endap Darah atau C-Reaktif Protein.
6. Iritis (diragukan sebagai kriteria l.oxuali pada Juvenile
Arthritis)
5) Yang tidak termasuk RA
1. Butterfly rash yang khas pada Lupus Eritematosus Sistemik.
2. Konsentrasi LE sel tinggi atau jelas mendcrita SLE.
3. Periartritis Nodosa yang jclas pada pemcriksaan terdapat
nekrosis arterial.
4. Kelemahan atau bengkak yang menetap pada leher, tubuh,
dan otot-otot faring (polimiositis atau dermatomiositis).
5. Skleroderma yang jelas (sklerosis sistemik) tidak hanya
terbatas pada jari jari.
6. Gambaran klinis khas dcmam reumatik disertai arlritis
migrasi dan adanya endokarditis.
7. Gambaran klinis khas artritis gout, bersifat akut, nycri dan
bengkak pada satu sendi atau lebih tcrutama bila membaik
dengan kolkhisin.
8. Toil gout.
9. Gambaran klinis khas artritis infektif yang disebabkan olch
bakteri atau virus disertai dcmam, menggigil dan artritis akut
yang biasanya berpindah-pindah (pada stadium awal).
10. Pemeriksaan baktcriologik dan histologik ditemukan tuberkulosis pada satu sendi.
11. Gambaran klinis khas Sindrom Reiter discrtai dengan
uretritis, konjungtivitis, dan artritis akut yang pada mulanya
berpindah-pindah.
12. Gambaran klinis khas shoulder hand syndrome (reflex
sympathetic dystrophy syndrome). Bahu dan tangan yang terkena unilateral, disertai pembengkakan difus pada tangan yang
diikuti dengan atrofi dan kontraktur.
13. Gambaran klinik khas hypertrophir, ostcoarthropathy disertai clubbing jari atau hipertrofi periostitis sepanjang tulangtulang panjang, terutama jika terdapat lesi intrapulmonal atau
gangguan lain yang berhubungan.
14. Gambaran klinik khas neuroarthropati (misal: Charcot
joint) discrtai kondensasi dan destruksi tulang termasuk sendi
dan didapati gangguan neurologik yang sesuai.
15. Asam homogentisik dalam urine (alkaptonuria), terdeteksi
jelas dengan alkalinisasi.
16. Gambaran histologik sarkoid atau test Kveim positif.
17. Mieloma multipel, dibuktikan dengan peningkatan plasma
sel dalam sumsum tulang atau dengan protein Bence Jones
dalam urine.
18. Gambaran kulit khas eritema nodosum.
19. Leukemia atau limfoma dengan sel yang khas dalam darah,
sumsum tulang, atau jaringan.
20. Agammaglobulinemia.
6 minggu.
3) Pembengkakan pergelangan tangan, sendi metakarpofalang, atau interfalang proksimal selama 6 minggu atau lebih.
4) Pembengkakan sendi yang simetris.
5) Pemeriksaan radiologi tangan menunjukkan perubahan
khas artritis reumatoid; harus didapati erosi atau dekalsifikasi
tulang yang nyata.
6) Nodul reumatoid.
7) Serum faktor Reumatoid positif.
KRITERIA REMISI PADA ARTRITIS REUMATOID
Lima atau lebih dari syarat di bawah ini hams dipenuhi dan
hams berlangsung paling sedikit 2 bulan.
1) Lamanya kaku pagi hari tidak lebih dari 15 menit.
2) Tidak ada kelelahan.
3) Menumt riwayat tidak ada nyeri sendi.
4) Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak.
5) Tidal( ada pembengkakan jaringan lunak pada sendi atau
sarung tendon.
6) Laju Endap Darah (Westergreen) kurang dari 30 mm/jam
untuk wanita atau 20 mm/jam untuk pria.
Kriteria ini dapat digunakan baik untuk remisi spontan atau
remisi karena obat. Kriteria ini digunakan pada penderita yang
telah memenuhi kriteria ARA dan termasuk dalam Artritis
Reumatoid definit atau klasik.
KRITERIA DIAGNOSTIK "JUVENILE RHEUMATOID
ARTHRITIS" (JRA)
Pandangan Umum
Team pcnyusun kriteria JRA pada tahun 1982 memperbaharui (revisi) kriteria tahun 1977 dan menetapkan bahwa
Juvelile Rheumatoid Arthritis adalah nama yang digunakan
untuk bentuk utama dari artritis kronis pada anak-anak dan
dibagi atas 3 onset subtipe yaitu: sistemik, poliartikuler, dan
pausiartikuler. Onset subtipe dibagi lagi menjadi beberapa kelompok.
Kriteria Umum untuk Diagnosis JRA
A. Artritis pada satu sendi atau lebih yang menetap paling
sedikit 6 mineeu.
B. Tidal( ditemukan pcnyebab artritis lain.
Onset subtipe JRA
Onset subtipe ditentukan oleh manifestasi penyakit selama
6 bulan dan tetap merupakan klasifikasi utama walaupun
manifestasi-manifestasi yang mirip dengan subtipe lain dapat
timbul kemudian.
A. JRA onset sistemik : subtipe ini adalah JRA yang disertai
dengan demam intermiten yang menetap (suhu intermiten
sepanjang hari dapat mcncapai 103F atnu lebih), disertai atau
tidak disertai adanya ruam reumatoid atau gangguan organ lain.
Jika ditemukan adanya demam dan ruam yang khas tanpa artritis
dapat dipikirkan kemungkinan JRA onset sistemik (probable
systemic onset JRA). Sebclum diagnosis pasti ditegakkan, harus
ditemukan adanya artritis.
Terminologi lain
Arthritis Kronik Juvenil (JCA) dan Artritis Juvenil (JA)
adalah istilah diagnosis baru yang digunakan untuk artritis pada
masa kanak-kanak. Diagnosis JCA dan JA tidak sama satu
dengan yang lain, demikian juga dengan JRA lama atau penyakit
Still.
KRITERIA MINOR
1. Demam
2. Artralgia
3. Pernah menderita demam
rematik atau penyakit jantung rematik
4. LED meningkat atau CRP
positif
5. PR interval memanjang
a)
KALENDER PERISTIWA
June 28 July 1, 1992
5th Asean Otorhinolaryngological Head and
Neck Congress
Jakarta, INDONESIA
Secr.: Damayanti Soetjipto MD
Rumah Sakit THT PERHATI
Jl. Proklamasi 42c
Jakarta 10320, INDONESIA
December 79, 1992
Third Western Pacific Congress on
Chemotherapy and Infectious Diseases
Nusa Dua, Bali, INDONESIA
Secr.: Clinical Pharmacology Unit
Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital/
University of Indonesia
Jalan Diponegoro 71
Jakarta 10002 INDONESIA
PENDAHULUAN
Walaupun dikenal lebih dari 100 macam penyakit reumatik,
secara umum penatalaksanaan untuk mengatasinya hampir sama.
Pada keadaan awal penderita dapat ditangani oleh dokter
umum, kecuali pada keadaan gawat darurat seperti pada artritis
septik. Konsultasi pada seorang ahli diperlukan untuk keadaan
inflamasi sendi yang tidak khas diagnosisnya, untuk mendapat
suatu second opinion pada keadaan artritis yang menetap lebih
dari 3 bulan dan pada keadaan kronik.
Umumnya insidens dari penyakit seperti artritis reumatoid,
spondiloartropati seronegatif dan penyakil. jaringan ikat Iainnya
tidaklah begitu besar, yang lebih sering ditemukan ialah osteoartritis, reumatik non-artikuler dan penyakit gout. Dengan
demikian pada sebagian besar kasus dapat diobati dengan
menggunakan prinsip pengobatan dasar.
LANGKAH PENATALAKSANAAN
Langkah penatalaksanaan gangguan reumatik dapat dibagi
dalam 3 tahap, (tabel 1) yaitu :
1) Lesi akut
2) Artritis persiten
3) Destruksi sendi
Sedangkan jenis pengobatan yang diberikan meliputi hal
sebagai berikut :
1) Pengobatan medikamentosa
2) Pengobatan bedah
3) Program rchabilitasi
Tujuan dalam pengobatan gangguan reumatik meliputi :
1) Mengurangi nyeri sendi
2) Memelihara fungsi sendi
3) Mencegah terjadinya cacad/disabilitas
Sedangkan pada tabel 2, dapat dilihat cara untuk mencapai
tujuan pengobatan gangguan reumatik.
Tabel 1.
Tahap
Lesi akut
Medik
Analgetik
Obatanti
inflamasi nonsteroid
Aspirasi cairan
sendi
Suntikan intraartikuler
Artritis persisten OAINS
Obat remitif
Suntikan
kortikosteroid
intraartikuler
Destruksi sendi Analgetik
Bedah
"Drainage"
Traksi
Rehabilitasi
Istirahat
Bidai,collar
Es
Latihan sedcrhana
Sinevcktomi
Alat hantu
Reparasi tendon Pcnyesuaian pola
Eksisi tulang
kerja
Bidai kerja
Proteksi sendi
Ganti sendi
Tongkat
(joint
Kursi rods
replacement)
Penyesuaian diri
Bantuan finansial.
Tabel 2.
1.
2.
3.
Mencegah cacad/disabilitas
Cara
Istirahat, traksi
Bidai, collar
Aspirasi cairan sendi
Suntikan kortikosteroid intraanikuler
Analgetik
OAINS
Ganti sendi
Es
Latihan sendi
Bidai, collar, korsct
Ilidroterapi
Kesegaran tubuh
Proteksi
Identifikasi, penilaian
Alat bantu
Penyesuaian diri
Iatihan kerja ulang
Bantuan finansial
Penggunaan bidai baku atau simple soft collar dapat dipertimbangkan, walaupun yang paling ideal ialah plaster dari Paris.
Traksi mungkin diperlukan bila ada gangguan panggul,
pinggang atau tengkuk.
Aspirasi Sendi dan Suntikan Intraartikuler
Aspirasi pada sendi yang membengkak akut sangat dianjurkan, selain dapat mengurangi rasa nyeri juga berguna untuk
diagnosis.
Suntikan kortikosteroid intraartikuler atau ke jaringan
lunak sangat bcrhasil mengurangi rasa nyeri.
Drainage surgikal terutama pada artritis septik sangat
membantu pengobatan.
Obat
Pada keadaan inflamasi maka obat antiinflamasi non steroid
lebih efektif dari analgetik. Adanya efek samping pada traktus
gastrointestinal, ginjal dan kulit perlu dijelaskan pada penderita
terutama yang usia lanjut.
Penggunaan obat lokal transdermal mungkin lebih cocok
untuk sejumlah penderita, selain itu dapat mengurangi risiko
perdarahan gastrointestinal.
Bedah
Bedah ortopedi, baik pada jaringan lunak atau rekonstruksi
pada awal artritis atau joint replacement memberikan hasil yang
sangat memuaskan dalam menghilangkan rasa nyeri.
beban ringan. Dokter dapat mengajarkan latihan ringan, sedangkan fisioterapist melakukan latihan yang lebih kompleks.
Untuk cedcra jaringan Iunak perlu sekali pengawasan sebelum kembali berolah raga atau bekerja, disertai dengan latihan
jangka panjang.
Pada keadaan kronik maka latihan untuk kesegaran jasmani
dan menjaga ukuran badan (penurunan berat badan) perlu dilakukan.
Hidroterapi
Latihan di dalam air sangat berguna untuk mengembalikan
kekuatan dan stamina. Latihan di bawah pengawasan fisiotcrapist dalam kolam dengan suhu antara 3436C sangat
ideal, terutama untuk anak dan usia lanjut. Di dalam kolam
renang, pengaruh gravitasi berkurang sehingga sangat baik
untuk menguatkan otot atau bila ada lesi tulang (fraktur atau
osteoporosis), serta sangat baik untuk mobilisasi coxae, bahu
dan tulang belakang.
Bidai
Bidai, collar dan korset dikombinasi dengan latihan dapat
mcncegah deformitas dan menjaga postur tubuh. Perlu dijelaskan pada penderita cara menggunakan bantal, kasur dan kursi
yang bcnar, dijelaskan pula tentang posisi badan waktu kerja dan
bagaimana cara mengangkat barang yang benar.
3. PENCEGAHAN DISABILITAS
Penyakit reumatik kronik dapat mengakibatkan disabilitas,
olch karena itu perlu dijaga agar tidak sampai terjadi handicap.
Pencatatan yang baik dari suatu penyakit kronis pada praktek
umum sangat membantu dalam mengidentifikasi masalah penderita.
Penilaian keadaan di rumah dan tempat kerja sangat panting.
Perubahan sederhana pada pola kerja dan perubahan jadwal
rutin dapat diberikan balk oleh seorang dokter, maupun oleh
fisioterapist dan occupational therapist.
Alat Bantu
Berbagai alat bantu untuk membantu pasien untuk mobilitas, kegiatan sehari-hari dan bekerja telah dikembangkan. Beberapa pasien kurang menghargai alat bantu tersebut sampai ia
mencoba sendiri penggunaan alat tersebut.
Problema Sosial
Disabilitas dapat mengakibatkan problema sosial-ekonomi
akibat handicap, berupa mobilitas yang tcrbatas, kontak sosial
yang terbatas, gizi yang jelek dan sebagainya. Sebaiknya seorang
dokter mengetahui instansi sosial yang dapat mcmbantu menangani masalah ini.
Fisioterapi
Bahaya dari istirahat jangka pendek terlalu dilebih-lebihkan; sendi tidak akan menjadi kaku dalam beberapa hari saja,
sebaliknya melakukan latihan otot pada keadaan cedera atau
inflamasi tidak dianjurkan.
Bila inflamasi sudah recta maka latihan penguat dan pergerakan sendi perlu segera dilakukan. Pada beberapa kasus maka
tcrapi dilakukan dengan menggunakan es, latihan ringan dan
gobatan dasar tidak diperolch kemajuan, barulah dirujuk pada
PENUTUP
Prinsip dasar penatalaksanaan gangguan reumatik sebaiknya
diketahui olch para doktcr umum. Dari sckian banyak pasien
maka prinsip pengobatannya adalah sama, tidak semua pasien
harus dirujuk kepada scorang dokter ahli. Bila dengan pendoktcr ahli.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
3: 3091, 1990.
Schumacher HR. Rehabilitative Therapies for Patients with Rheumatic
Disease. In: Primer on the Rheumatics Diseases, Schumacher et at (ed.).
Ninth ed. Atlanta GA: Arthritis Foundation. 1988, p. 301.
Fries IF. Assessment of the Patient with Rheumatics Disease. In: Textbook
of Rheumatology. Kelley WN et at (ed). Third ed. Philadelphia, London,
Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: WIi Saunders Co 1989, p. 420.
PENDAHULUAN
Pemeriksaan dan analisis cairan sendi dalam menegakkan
diagnosis penyakit sendi amatlah penting. Hal itu sama pentingnya dengan nilai pemeriksaan dan analisis urine pada penyakit
ginjal.
Bila dijumpai adanya cairan sendi, sebaiknya diperiksa
secara sistematis, walaupun jumlah cairan itu hanya sedikit
(setelah diaspirasi).Sebagai contoh, misalnya cairan yang berasal
dari sendi pangkal ibu jari kaki (metatarso phalangeal digiti I),
walau hanya satu atau dua tetes sudah cukup untuk melihat ada
atau tidaknya kristal asam urat dalam cairan tersebut. Demikian
pula dengan pemeriksaan terhadap adanya kristal kalsium pirofosfat atau diagnosis terhadap artritis septik,LES dan sebagainya.
Dengan memeriksa cairan sendi, diagnosis pasti dapat ditegakkan secara cepat. Memang, pada beberapa hal, diagnosis
sulit ditegakkan hanya dengan analisis cairan sendi saja, tapi
sekurang-kurangnya dapat dipakai sebagai diagnosis banding.
Pemeriksaan cairan sendi secara rutin dan hitung Ickosit misalnya, akan sangat bcrmanfaat untuk mempersempit diagnosis
(agar lebih tepat) pada penyakit-penyakit sendi non inllamasi
yang disertai dengan efusi, atau cairan sendi yang bersifat inflamatif, termasuk artritis septik dan hemartrosis. Bahkan pada
penderita-pcnderita artritis yang sudah ditegakkan diagnosisnya, pemeriksaan cairan sendi dapat dipakai untuk menilai
perkcmbangan pcnyakit-pcnyakit tcrsebut, misalnya pada LES,
AR, deposit Kalsium Pirofosfat pada osteoartritis atau crystal
induced synovitis (sinovitis yang timbul akibat endapan kristal
yang terjadi karena suntikan intraartikuler dengan steroid).
Tabel 1 dan 2 menggambarkan sendi yang non inflamatif
(lekosit kurang dari 2000 per mm3) dan yang inflamatif (jumlah
lekosit lebih dari 2000 per mm3) pada analisis cairan sendi.
Tabel 1.
Ostcoartritis
Traumatik artritis
Akromegali
Penyakit Gaucher
Hemokromatosis
Iliperparatiroidisme
Okronosis
Penyakit Paget
Mechanical derangement
Eritema nodosum
Sinovitis vilonodular
Nekrosis aseptik
Sindrom Ehlers-Danlos
Penyakit sickle cell
Amiloidosis
Osteoartropati pulmoner hipertropik
Pankreatitis
Osteochondritis dissecans
Sendi Charcot
Penyakit Wilson
Displasia epifiseal
Tabel 2.
Artritis Reumatoid
Artritis Psoriatik
Sindrom Reiter
Kolitis Ulkeratif
Enteritis Regional
Postileal bypass arthritis
Spondilitis Ankilosing
Artritis Rcumatoid Juvenil
Dcmam Reumatik
Collagen.yascular disease
Lupus Eritematosus Sistemik
Sklerodenma
Polimiositis
Polikondritis
Poliarteritis
Polimialgia reumatika
Giant cell arterttis
Sindrom Sjogren
Granulomatosis Wagener
Sindrom Goodpasture
Purpura Henoch-Schonlein
Familial Mediterranean fever
Penyakit Whipple
Sindrom Behcet
Eritema nodosum
Sarkoidosis
Retikulohistiositosis Multisentrik
Artritis Postsalmonella, shigella, yersinia
Artritis Infcktif
Parasitik
Viral (hepatitis, mumps, rubella, dll.)
Jamur
Mikoplasma
Bakteri (stafilokokus, gonokokus, tuberkulosis, dll.)
Treponemal
Karsinoid
Endokarditis bakteriel subakut
Crystal-induced arthritis
Gout
Pseudogout
Post-infra-articular steroid injection
Artritis Hidroksiapatit
Hiperlipoproteinemia
Serum sickness
Agamaglobulinemia
Leukemia
Angiitis Ilipersensitif
Rcumatisme Palindromi
Tabel 3.
Haemarthrosis
PEMERIKSAAN MIKROSKOPIK
Sediaan Basah :
Amat penting untuk segera memeriksa cairan sendi segar
secara mikroskopik dalam sediaan basah. Walau hanya satu tetes
yang didapatkan dari punksi, cairan ini tetap berguna untuk
melihat adanya lcristal dan konstituen lain. Kemudian dengan
cairan yang sama, bila diperlukan dapat diwarnai dengan gram
misalnya.
Teteskan cairan sendi sebanyak 13 tetes pada getas objek
yang bersih. Biasanya cairan tersebut tidal( diputar (centrifuge)
dulu, tapi bila diputar dulu, endapannya dapat lebih memperbanyak jumlah kristal yang jarang ditemukan, atau bagian cairan
yang jernih akan mempertegas penampilan sel yang dicari. Gelas
objek yang kotor sebaiknya dicuci dengan aseton dan dikeringkan, lalu dibersihkan dengan kertas busa, dipakai dengan
gelas penutup yang bersih pula.
Bila pemeriksaan akan ditunda, sedang cairan sudah diteteskan dan diberi gelas penutup, maka cairan yang dipakai
untuk cat kuku dapat dipoleskan di pinggir kaca penutup agar
tidak kering. Penundaan ini dapat dilakukan sampai beberapa
jam asalkan gelas objek tetap kering dan jangan sampai lewat 24
jam; sebab bahan cat kuku tersebut lama-lama dapat mcresap
dan memberi kesan birefringent pada pemeriksaan dengan
mikroskop polarisasi; jadi merupakan artefact.
cells atau sel monosit besar akan tampak pada penderita sindrom
Reiter.
Dark purple inclusions pada sel fagosit dapat berasal dari
serpihan sel, tapi juga dapat merupakan timbunankristal apatit.
Bakteri kadang-kadang juga kita jumpai dalam pewamaan
Wright. Demikian pula dengan kristal asam urat atau kalsium
pirofosfat, serta sel ganas dalam cairan sendi. Sel ganas tersebut
dapat juga diwarnai dengan Papanicolaou.
Pewarnaan Ziehl-Neelsen
Mungkin berguna untuk pemeriksaan terhadap tuberkulosis,
walau seringkali diperlukan kultur dan biopsi sinovial.
Pewarnaan terhadap lemak dan alcian blue-PAS untuk
proteoglikan (mukopolisakarid) akan tampak sebagai timbunan dari lemak atau proteoglikan tersebut dalam sel makrofag
di-sinovia. Sedang prussian blue dipakai untuk melihat adanya
zat besi pada synovial lining cells pada penderita sinovitis
vilonodular atau pada hemokromatosis.
Deposit amiloid dapat diwarnai dengan merah congo dari
akan tampak sebagai benda birefringence dengan warna hijau
apel (apple-green) bila diperiksa dengan mikroskop polarisasi
(dengan sediaan basah).
Pewarnaan dengan Von Kossa atau Alizarin Red S40 dipakai
untuk melihat kalsium atau fosfat (yang berisi kristal CPPD) atau
timbunan kristal apatit.
Pewarnaan Gram
Dengan pewannaan ini, bakteri akan segera tampak dalam
kelompok besar tapi dapat dikacaukan dengan artefak dari musin.
Dengan pewarnaan ini, artritis septik juga dapat ditegakkan.
PEMERIKSAAN KHUSUS
Mucin Clot Test
Beberapa tetes cairan sinovial ditambahkan pada 20 ml
larutan asam asetat 5%. Diamkan selama 1 menit agar terbentuk
endapan lalu kocoklah tabung beaker yang berisi larutan asam
asetat dan tetesan cairan sinovial tersebut. Maka akan terbentuk
endapan yang padat yang tidak pecah walau dikocok. Ini berarti
cairan tersebut normal atau osteoartritis.
Bila endapan "lemah" (poor clot) seperti misalnya pada
efusi akibat inflamasi, maka fragmen akan terbentuk dengan
mudah dan akan tampak serpihan, atau bentuk benang atau
tampak keruh pada cairan tersebut. Pada penderita LES atau
demam reumatik, maka cairan musin tersebut akan mengendap
dengan baik walau terjadi inflamasi ringan.
Cairan musin yang baik biasanya menggambarkan adanya
integritas normal dari hialuronat. Sedangkan cairan musin yang
lebih encer menandakan adanya destruksi atau pengenceran dari
protein hialuronat.
Sayangnya test musin dan kekentalan cairan sendi ini hanya
dapat memberikan gambaran kasar saja, tidak seperti hitung
lekosit, yang lebih dapat dipercaya.
Glukosa
Pemeriksaan terhadap kadar glukosa dalam cairan sendi
dapat dilakukan dengan Standard Somogyi-Nelson atau dengan
metode Ortho-toluidin. Dalam pemeriksaan tersebut, penderitanya harus dalam keadaan puasa, dan diperiksa sekaligus kadar
gula dalam darah dan cairan sendi untuk perbandingan.
Kadar glukosa dalam cairan sendi biasanya sedikit lebih
rendah bila dibandingkan dengan kadamya dalam darah; keseimbangan antara nilai dalam darah dan cairan sinovial sesudah
makan amat lambat dan tak dapat diramal. Oleh sebab itu,
pemeriksaan dalam keadaan puasa lebih dapat dipercaya.
Cairan efusi untuk uji glukosa sebaiknya ditempatkan pada
tabung yang berisi flouride agar glukosa tak dimetabolisir oleh
lekosit selama in vitro.Bila hal ini terjadi maka kadar glukosanya
akan lebih rendah. Memeriksa kadar glukosa dalam cairan sendi
memang bukan merupakan prioritas utama. Tapi bila kadar
glukosa dalam cairan sendi tersebut amat rendah, maka akan
memberi kesan adanya infeksi. Path R.A. kadar glukosa dalam
cairan sendi penderita akan 50% lebih rendah dari kadamya di
dalam darah, bahkan kadang-kadang dapat mendekati angka 0.
Komplemen
Jumlah komplemen yang mengalami hemolisis dapat diukur
dengan cara Kabat dan Mayer.
Kadar komplemen dalam cairan sendi lebih mempunyai
nilai bila dibandingkan dengan kadarnya dalam serum. Begitu
pula bila dibandingkan antara protein dalam serum dan cairan
sendi. Pada AR serum komplemen biasanya normal, sedang
pada sinovial seringkali 30% lebih rendah. Pada LES dan hepatitis balk kadar serum maupun cairan sinovial mungkin rendah.
Sedang pada artritis karena infeksi, gout dan sindrom Reiter
mungkin tinggi, tapi hal ini sebagian besar karena meningkatnya
kadar pada serum.
Beta 1 globulin dapat juga diperiksa dengan immuno difusi
dalam hal sebagai pengganti komplemen hemolitik. Penyimpanan pada suhu -70 dengan segera amat panting agar dapat dipakai untuk mengukur kadar protein serum atau cairan sinovial
serta kadar globulin saat menilai komplemen.
Hal tersebut karena komplemen dalam cairan sendi
mungkin rendah kadarnya pada keadaan normal atau non
inflamasi. Ini disebabkan karena ada sebagian komplemen atau
protein lain yang lari ke dalam rongga sendi.
Kultur
Memeriksa cairan sinovial secara hati-hati dan segera amat
panting bila kita curiga terhadap adanya infeksi.
Sebagian besar bakteri akan tumbuh dengan baik dalam
bulyon kedele tripsin atau agar darah domba. Menanam persemaian pada saat aspirasi mungkin amat berguna bila keadaan
memungkinkan (asal transportasi clan pelayanan tersedia). Yang
ideal, adalah menyiapkan keperluan laboratorium yang sesuai
dengan sebaik mungkin bila kita bermaksud menyemaikan,
sebab beberapa organisme memerlukan media yang khusus;
misalnya, bila diduga ada organisme yang bersifat anaerobik,
maka sebaiknya dalam semprit tidak masuk udara dan dibawa
dengan medium transport yang anaerobik atau bawa cairan
langsung ke laboratorium untuk ditanam dengan prosedur
anaerobically sterile blood agar atau suatu medium kultur yang
dapat dibandingkan.
Kuman gonokokus hanya dapat berhasil disemaikan sebanyak 2530% dari jumlah kasus yang menderita artritis karena
gonokokus. Bila ada penderita yang diduga artritis karena Go,
sebaiknya cairan sendi segera ditempatkan pada medium agar
coklat atau Thayer-Martin dan selama di laboratorium terusmenerus diberi CO2. Bila pengiriman ditunda, juga harus diberi
CO2 terus. Bila terjadi infeksi campuran, maka medium ThayerMartin akan terus menumbuhkan kuman lain tersebut dan bukan
gonokokus.
Bila diduga adanya infeksi oleh jamur maka cairan sebaiknya dikirim dalam keadaan steril (dalam tube steril) dan
kemudian nanti di laboratorium baru diproses dengan agar
Sabouraud dekstros.
Sedang medium Lowenstein-Jensen dipakai untuk infeksi
mikobakterium.
TEST LAIN
Sebenarnya ada test lain yang dapat dilakukan dari cairan
sinovial, misalnyaAntinuclearFactor (ANF),Reumatoid Faktor
(RF), imunoglobulin dan zat lain yang ikut atau terlibat dalam
reaksi immune. Tapi test tersebut berperan sedikit dalam pemeriksaan yang sederhana ini. ANF misalnya, dapat terjadi
pads bermacam keadaan di cairan sinovial tapi tidak terdapat
dalam serum. Juga Latex test untuk RF, kadang-kadang positif
pads cairan sendi, tapi negatif pads serum. Bahkan yang positif
bermakna pads cairan sinovialpun dapat saja tidak mantap.
Sebab, beberapa penyebab false positive untuk test R.F dalam
cairan sendi memang sudah dikenal. Pemeriksaan terhadap
kompleks imun dengan berbagai macam teknik telah dapat
dilakukan, tapi sebagian besar masih merupakan penelitian.
KEPUSTAKAAN
1. Katz WA. Rheumatic Disease, 1984.
2. Kelly WN. Text Book of Rheumatology, 1987.
3. McCarty DJ. Arthritis and Allied Condition. A Text Book of Rheumatology,
1985.
4. Moskowitz RW, Harris BK, Schwartz A, Marshall G. Chronic Synovitis as
a manifestation of calcium crystal deposition disease. Arthritis and
Rheumatism 1971; 14: 109.
5. Nienhuis RLF. Praktisch Leerboek Voor De Rheumatologie, 1980.
6. Schumacur HR, Somlyo AP, Tse RL, Maurer K. Apatite Crystal Associated
Arthritis. Ann Intern Med 1977; 87: 411.
PENDAHULUAN
Medikamentosa merupakan salah satu mata rantai penanggulangan penyakit rematik disamping pengobatan lain seperti
istirahat, proteksi sendi, fisioterapi/rehabilitasi, penggunaan alat
bantu, pembedahan dan psikoterapi. Penggunaan obat saja tanpa
disertai cara pengobatan lain kurang memberikan hasil yang
memuaskan. Oleh karena itu perlu diingatkan pada setiap dokter
yang menanggulangi penyakit rematik, hendaknya tidak selalu
terpaku pada penggunaan obat saja.
Inflamasi sendi merupakan suatu tanda bahwa organ yang
bersangkutan perlu diistirahatkan dan dicegah penggunaannya
secara berlebihan. Tetapi yang sering terjadi ialah bila penderita
telah diberi obat dan rasa nyeri sudah hilang maka ia cenderung
menggunakan sendi tersebut secara berlebihan. Hal ini tentu
saja merugikan mengingat hilangnya rasa nyeri bukan bcrarti
sendi yang sakit telah sembuh, karena pada sebagian penyakit
sendi proses kerusakan masih berlangsung terus menerus. Dalam hal ini nasehat tentang proteksi sendi perlu diberikan pada
penderita.
Selain itu jumlah obat anti rematik yang beredar di pasaran
saat ini sangat banyak jumlahnya, sehingga menyulitkan bagi
seorang dokter untuk memilihnya. Karen itu dituntut pengetahuan yang cukup mengenai berbagai jenis obat anti rematik
beserta indikasi, kontra indikasi dan efek sampingnya agar diperoleh hasil pengobatan yang optimal.
JENIS MEDIKAMENTOSA PADA PENYAKIT REMATIK
Obat yang diberikan pada penderita penyakit rematik
mempunyai dua tujuan :
1. Menghilangkan keluhan dan simptom inflamasi.
2. Bila mungkin menghentikan progresivitas penyakit.
Untuk memperoleh hasil pengobatan yang baik, maka obat
yang tepat dalam dosis yang tepat diberikan pada pasien yang
sesuai, pada saat perjalanan penyakit yang tepat dan diberikan
dalam jangka waktu yang optimal.
Perlu dibedakan antara obat yang bersifat nonspesifik atau
simptomatik saja dengan obat yang dapat mempengaruhi perjalanan penyakit. Obat yang dapat mempengaruhi perjalanan
penyakit harus diberikan pada penyakit yang tepat. Sebagai
contoh, penisilamin tidak efektif pada penyakit gout dan sebaliknya alopurinol tidak berguna pada artritis rematoid.
Obat penyakit rematik dapat disusun/dikelompokkan sebagai berikut :
I. Analgesik sederhana
II. Obat antiinflamasi non steroid (OAINS=NSAID)
III. Disease-modifying atau slow acting drugs
IV. Obat sitotoksik
V. Kortikosteroid (sistemik dan suntikan lokal)
VI. Obat pada kristal artropati (gout)
a. Colchicine
b. Obat urikosurik
c. Alopurinol
Analgesik sederhana dan obat antiinflamasi nonsteroid
hingga mat ini masih dianggap obat yang bersifat simptomatik
dan tidak mempengaruhi perjalanan penyakit. Kedua jenis obat
ini dapat diberikan pada semua jenis artritis dan rematik jaringan
lunak (reumatism non artikuler).
Disease-modifying atau slow acting drugs merupakan obat
yang dapat mempengaruhi perjalanan penyakit artritis rematoid,
sehingga penggunaannya terbatas pada penyakit ini saja.
Kortikosteroid sistemik dapat digunakan pada artritis rematoid yang berat, penyakit jaringan ikat dan beberapa penyakit
rematik lainnya. Suntikan kortikosteroid lokal (dalam sendi dan
jaringan lunak) sangat berguna pada reumatism non artikuler
dan artritis yang terutama terbatas pada satu/dua sendi (kecuali
artritis septik).
Obat sitotoksik diberikan pada penderita artritis rematoid
berat dan beberapa yang tergolong spondiloartropati seronegatif
(artritis psoriatik dan penyakit Reiter).
Alopurinol dan obat urikosurik sudah terbukti dapat menurunkan kadar asam urat sehingga digunakan pada penyakit
gout, sedangkan colchicine merupakan drug of choice pada
artritis gout balk untuk serangan akut maupun sebagai profilaksis.
Scbclum mclangkah lebih lanjut perlu dikenal beberapa
istilah yang scring digunakan dalam pengobatan penyakit rematik. Istilah ini terutama digunakan pada artritis rematoid
yaitu :
1) First line drugs (obat urutan pertama);yang dimaksud di sini
ialah obat anti inflamasi non steroid (OAINS), yang bersifat
simptomatik menghilangkan rasa nyeri dan inflamasi.
2) Second line drugs (obat urutan ke dua); yang dimaksud di
sini ialah obat yang disease modifying atau slow acting agent
yang dapat menghentikan aktifitas dan progresivitas artritis
rematoid.
3) Third line drugs (obat urutan ke tiga), termasuk di sini ialah
sitotoksik dan kortikosteroid. Obat ini digunakan pada keadaan
berat yaitu adanya komplikasi atau untuk penyelamatan jiwa.
4) Terapi eksperimental: Pengobatan di sini masih bersifat
percobaan, belum digunakan secara luas; misalnya plasmaferesis dan total limfoid radioterapi.
Anelgesik Sederhana
Analgesik sederhana (parasetamol, kodein dan dekstropropoksifen) diberikan pada penderita dengan keluhan nyeri ringan
atau intermiten. Obat ini tidak mempengaruhi proses inflamasi
sehingga tidak digunakan untuk pengobatan jangka panjang.
Dapat digunakan sebagai suplemen penggunaan obat lain, karena daya analgesiknya cepat dicapai dalam beberapa menit dan
bcrtahan selama 48 jam, sedangkan obat anti inflamasi nonsteroid baru efektif setelah diberikan selama beberapa hari.
Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS=NSAID)
Obat golongan ini banyak dijumpai di pasaran dengan berbagai nama dagang; hampir tiap tahun sejak dekade tahun 80an dihasilkan obat baru, baik yang merupakan derivat dari
suatu kelompok obat (misal dari kelompok fenamat atau asam
propionat) maupun yang merupakan derivat baru (misalnya kelompok piroksikam). Beberapa di antaranya telah ditarik dari
peredarankarena diduga mempunyai efek samping yang membahayakan misalnya indoprofen (Flosint, pernah beredar di
Indonesia).
OAINS hingga saat ini masih dianggap bersifat simptomatik; dapat menekan proses inflamasi, tetapi tidak dapat menghentikan proses penyakit. Hal ini perlu dipahami balk oleh
dokter maupun penderita agar tidak berharap terlalu besar terhadap hasil pengobatan dengan obat ini.
OAINS memang dapat digunakan pada semua keluhan
artritis dan reumatism non artikuler, tetapi hasil yang memuaskan terutama pada reumatism non artikuler dengan catatan perlu
dibantu fisioterapi dan/atau suntikan kortikosteroid intraarti
kuler.
Efikasi OAINS pada penderita artritis perlu dinilai dengan
beberapa parameter klinik. Parameter ini ada yang bersifat
subjektif karena terutama diperoleh dari keluhan penderita, dan
ada pula yang bersifat objektif karena langsung dinilai oleh
seorang dokter. Parameter ini merupakan standar untuk semua
uji klinik (drug clinical trial) OAINS, yang terdiri dari :
1) Derajat nyeri; menggunakan suatu skala (visual analogue
scale) atau dibagi dalam 4 tingkat (tidak nyeri, sedikit nyeri,
nyeri dan nyeri sekali).
2) Lama kaku pagi (duration of morning stiffness).
3) Ukuran lingkaran sendi proksimal interfalang (sendi PIP)
dengan menggunakan cincin.
4) Kekuatan menggenggam (grip strength) dengan menggunakan tensimeter.
5) Indeks artikuler (nilai standard untuk sendi yang meradang).
6) Waktu jalan (walking time); misalnya untuk jalan sejauh 15
meter berapa detik waktu yang ditempuh.
7) Pilihan penderita (patient preference).
No. 1, 2 dan 7 merupakan penilaian subjektif dan sisanya
merupakan penilaian objektif.
Sebagai seorang dokter, kita harus berhati-hati dalam menilai laporan suatu uji klinik obat, karena mungkin saja penelitian
yang dilakukan tidak memenuhi standar di atas. Pada Tabel 1
dapat dilihat berbagai OAINS menurut klasifikasi rumus kimianya. Yang menarik dari hasil laporan ialah bahwa respons
pengobatan sangat bervariasi walaupun obat-obatan tersebut
berasal dari suatu kelompok dengan rumus kimia yang hampir
sama. Berarti misalnya pada kegagalan pengobatan dengan
ibuprofen tidak berarti akan terjadi pula kegagalan dengan ketoprofen. Selain itu didapat pula variasi individual; artinya dua
penderita dengan diagnosis yang sama, mungkin yang satu cocok
dengan obat A tetapi tidak cocok dengan obat B dan sebaliknya
yang lain cocok dengan obat B tetapi tidak cocok dengan obat A.
Perlu diketahui pula bahwa setiap anggota dari suatu kelompok obat dengan rumus kimia yang hampir sama ternyata
efek klinisnya sangat berbeda; misalnya dari kelompok asam
propionat ada yang mempunyai masa paruh plasma (plasma half
life) pan jang, ada yang pendek (tabel II); ada yang menonjol
daya analgesiknya, sebaliknya ada yang menonjol daya antiinflamasinya; toleransi yang berbeda dan efek samping pada
kulit dan gaster yang berbeda pula.
Dengan demikian agak sukar mengelompokkan OAINS ini
berdasarkan efek klinisnya. Walaupun terdapat bermacam-macam
OAINS, hingga saat ini belum ada satupun yang paling ideal;
dengan demikian pemilihan suatu OAINS masih tergantung
berbagai faktor antara lain :
1. Efikasi Obat
Sebenarnya dari seluruh jenis OAINS tidak ada perbedaan
yang menyo)ok dalam efikasinya, tetapi seperti disebut di atas
variasi individual sangat berperan; oleh karena fenomena ini
maka perlu dicari obat yang sesuai untuk penderita.
2. Toleransi
Seperti halnya efikasi maka terjadinya efek samping ter-
Waktu
(jam)
23
18 (sulfide)
13
34
9
2
1215
3
4
135
45
812
membuat penderita patuh minum obat. Sebaliknya pada penderita dengan keluhan yang hilang timbul atau pada mereka yang
membutuhkan lebih banyak efek analgesik daripada efek antiinflamasi, pemberian dosis 23 kali per hari mungkin lebih
sesual.
5. Biaya (Cost)
Obat yang paling murah ialah aspirin, tetapi efek samping
sudah banyak dilaporkan. OAINS lainnya cukup mahal dan
harus diperhitungkan dengan kemampuan penderita.
6. Indikasi
Semua jenis OAINS cukup efektif untuk RA dan OA,
kecuali fenilbutason yang hanya boleh digunakan dalam jangka
pendek (sehingga sebaiknya dihindarkan penggunaannya).
Aspirin dosis tinggi cukup efektif pada RA (perlu dipertimbangkan sebagai salah satu altematif) tetapi kurang tepat untuk
OA, gout dan ankylosing spondilytis mengingat efek sampingnya. Pada penyakit gout dan ankylosing spondylitis pilihan jatuh
pada indometasin dan sebagai alternatif adalah naproxen atau
piroxicam. Derivat asam propionat merupakan salah satu pilihan
untuk cedera olah raga (sport injuries).
Keamanan (safety) merupakan salah satu pertimbangan
dalam penggunaan OAINS pada anak, sehingga lebih banyak
dianjurkan pcnggunaan aspirin.
7. Problem dengan OAINS
Problem utama ialah keluhan gastrointestinal; semua
OAINS :
a. Menyebabkan dispepsia.
b. Meningkatkan kemungkinan terjadinya ulkus peptikum.
Dosis OAINS
Obat
Dods
* Diklofenak
* Indometasin
* Sulindak
200 mg b.d.
* Tolmetin
400 mg q.d.s.
* Aloksiprin
1200 mg q.d.s.
* Aspirin
* Benorilat
10 ml b.d.
* Diflunisal
500 mg b.d.
* Salsalate
1000-1500 mg b.d.
* Fenbufen
* Fenoprofen
600 mg q.d.s.
* Flrbiprofen
100 mg t.d.s.
* Ibuprofen
400-800 mg t.d.s.
* Ketoprofen
* Naproksen
500 mg b.d.
* Asam Tiaprofenat
300 mg b.d.
* Asam Mefenamat
500 mg t.d.s.
* Azapropazon
600 mg b.d.
* Piroksikam
20 mg ekali sehari
* Tenoksikam
20 mg sekali sehari
KEPUSTAKAAN
1. Capell HA. Disease modifying therapy. Medicine International (Quarterly
ed). 1985; 2: 941.
2. Mowat AG. Non steroidal anti inflammatory drugs, Medicine International
(Quarterly ed). 1985; 2: 937.
3. Paulus HE, Furst DE. Aspirin and other nonsteroidal anti inflamatory drugs.
In: Arthritis and allied conditions. A textbook of Rheumatology. McCarthy
DJ (Ed). Tenth ed. Philadelphia: Lea & Febiger 1985. p. 453.
4. Paulus HE. Nonsteroid antiinflammatory drugs. In: Textbook of Rheumatology. Kelley et al (Eds). Third ed. Philadelphia, London, Toronto, Mexico
City, Rio de Janeiro, Sydney, Tokyo: WB. Saunders Co. 1989. p. 765.
5. Rosenbaum EE. Rheumatology New Direction in Therapy. Medical
Examination Publishing, 1979.
6. Schumacher HR. Clinical pharmacology of the anti rheumatic drugs. In:
Primer on the Rheumatic Disease. Ninth Edition. Atlanta: Arthritis Foundation. 1988. p. 282.
7. Soenarto : Pemakaian kortikosteroid yang rasional di bidang reumatologi.
Naskah lengkap KOPAPDI VI. Jakarta, 2428 Juli 1984 : 698.
8. St. Clair EW., Polisson RP. Therapeutic approaches to the treatment of
Rheumatoid disease. In: Advances in Rheumatology., Med. Clin. N. Am.
1986. p. 285.
Peranan Obat
Anti Inflamasi Non Steroid terhadap
Nyeri dan Inflamasi pada
Penyakit Reumatik
Harry Isbagio
Subbagian Reumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
R.S. Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Penggunaan medikamentosa hanya merupakan salah satu
mata rantai penanggulangan penyakit reumatik yang terdiri
dari :
1. Pendidikan dan Psikoterapi
2. Proteksi sendi
3. Medikamentosa
4. Rehabilitasi
5. Penggunaan alat bantu
6. Pembedahan
Nyeri dan inflamasi merupakan keluhan utama penderita
penyakit reumatik di samping keluhan lainnya. Berbagai usaha
dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan keluhan ini,
antara lain dengan menggunakan medikamentosa.
Penggunaan medikamentosa pada penyakit reumatik selain
bertujuan untuk menekan nyeri dan inflamasi, bila mungkin,
juga menghentikan perjalanan penyakit reumatik. Hingga saat
ini hanya pada artritis reumatoid dan gout yang telah ada obat
yang dapat mempengaruhi perjalanan penyakitnya. Sebagian
besar penyakit reumatik lainnya diobati dengan obat anti-inflamasi non-steroid yang telah terbukti dapat menekan rasa nyeri
dan inflamasi, tetapi tidak dapat menghentikan perjalanan
penyakit.
NYERI DAN INFLAMASI PADA PENYAKIT REUMATIK
Nyeri dan inflamasi merupakan tanda bahwa sendi tersebut
telah mengalami gangguan. Hampir semua gangguan reumatik
disertai dengan nyeri atau nyeri dan inflamasi. Perkecualian pada
sendi neuropatik (neuropathic joint), ialah suatu keadaan hilangnya rasa nyeri akibat keadaan tertentu seperti tabes dorsalis
atau siringomielia. Rasa nyeri ini penting karena menunjukkan
Keterangan :
LTB4 = leukotrien B4; 02 anion superoksid; IL1 = Interleukin1;
cAMP = siklik adenosin monofosfat
KESIMPULAN
Nyeri dan inflamasi merupakan gejala utama dari penyakit
reumatik. Beratnya rasa nyeri tergantung dari beratnya penyakit
dan ambang nyeri dari penderita. Dikenal nyeri mekanik yang
membutuhkan tindakan operatif dan nyeri inflamasi yang dapat
ditekan dengan OAINS. Analgetik hanya bekerja singkat dan
tidak punya efek terhadap nyeri inflamasi. OAINS bekerja
dengan menghambat enzim siklooksigenase dan lipooksigenase
untuk mencegah transformasi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan leukotrien yang
dianggap sebagai penyebab terjadinya gejala nyeri dan infla
KEPUSTAKAAN
1. Harry Isbagio. Medikamentosa pada osteoartritis: Peranan obat anti-inflamasi non-steroid, prostaglandin dan interleukin pads rawan sendi. Simposium Osteoartritis KOPAPDI VIII, Yogyakarta, 2430 Juni 1990.
2. Huskisson EC. Pain in rheumatic disorders and its medical control. Kumpulan
Naskah Lengkap Simposium Nyeri pads Penderita Reumatik. Biennial
Meeting IRA. Jakarta, 9 Mei 1981.
3. Paulus HE. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs. In: Kelley WN et al (ed).
Texbook of Rheumatology. Third edition. Philadelphia, London, Toronto,
Montreal, Sydney, Tokyo: W.B. Saunders Company. 1989, p. 765.
4. Weissmann G. Supression of Inflammation in Rheumatoid Arthritis : The
Role of Prostaglandin. In: New Frontiers in Prostaglandin Therapeutics.
Excerpta Medics. 1989, p. 1.
PENDAHULUAN
Dengan bertambah luasnya penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid, maka terjadinya efek samping tak dapat dihindarkan. Pada umumnya OAINS mempunyai spektrum yang
sama dalam toksisitas klinis, walaupun efek samping tertentu
bervariasi pada senyawa tersebut. Karen adanya efek samping
dan efek toksik (yang berkaitan dengan dosis), maka diperlukan
pengamatan yang teliti pada setiap penggunaan obat anti inflamasi non steroid untuk setiap kali membandingkan antara manfaat dan risikonya.
Efek samping yang penting terjadi pada traktus gastrointestinalis, sistim saraf pusat, sistim hematopoetik, ginjal, kulit
dan hati. Talc ada satupun OAINS yang sama sekali aman,
bahkan aspirin yang merupakan obat yang paling sering digunakan dan cukup efektif, mempunyai efek samping yang lebih
sering dan lebih berbahaya jika diberikan dalam dosis yang
berlebihan.
TRAKTUS GASTROINTESTINALIS
Oleh karena penekanan terhadap sintesis prostaglandin,
maka OAINS cenderung menyebabkan iritasi lambung dan
mengeksaserbasi ulkus peptikum.
Pada hewan percobaan terlihat bahwa prostaglandin mengakibatkan penekanan sekresi asam lambung dan membantu
pertahanan mukosa lambung, jadi prostaglandin bersifat sitoprotektif gastrointestinal.
Pada manusia pemberian prostaglandin dapat mengurangi
insiden kehilangan darah melalui tinja yang diakibatkan aspirin
dan secara endoskopis dapat terlihat adanya perbaikan dari
kerusakan mukosa lambung dan duodenum.
Gejala lain yang diakibatkan oleh OAINS antara lain
dispepsia, nyeri epigastrium, indigesti, heart burn (rasa seperti
terbakar), nausea dan vomitus.
aspirin.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Pada beberapa pasien dengan asma bronkial, terutama
yang mempunyai trias: rinitis vasomotor, poliposis nasal dan
asma akut sering mengalami reaksi ini. Hal ini disebabkan oleh
hambatan prostaglandin yang bersifat bronkodilator.
Hambatan terhadap jalur siklo-oksigenase akan mendorong
metabolisme asam arakidonat ke arah pembentukan produk
lipoksigenase seperti zat anafilaksis yang bereaksi lambat dan
leukotrien (C4 dan D4). Zat-zat ini dapat mencetuskan bronkospasme. Pasien yang mempunyai reaksi seperti ini umumnya
sensitif terhadap OAINS oleh karena itu harus dihindari.
Reaksi anafilaksis telah dilaporkan pada beberapa OAINS
terutama tolmetin dan zomepirac. Zomepirac telah ditarik dari
peredaran oleh karena efek sampingnya.
SISTEM HEMATOPOETIK
Anemia aplastik, agranulositosis dan trombositopeni jarang
dikaitkan dengan OAINS, tetapi menonjol sebagai penyebab
kematian yang dikaitkan dengan obat-obat ini. Didasarkan atas
perkiraan adanya 22 kematian akibat kelainan darah per 1 juta
penderita dan perkiraan FDA terdapat 16 kematian per 1 juta,
maka fenilbutason tidak dianjurkan untuk pengobatan pertama
pada keadaan apapun. Risiko ini meningkat lebih kurang 6 kali
pada wanita yang umurnya lebih dari 60 tahun. Berbagai laporan terpisah tentang kelainan darah yang berhubungan dengan
OAINS telah banyak dipublikasi. Suatu studi kasus kontrol
yang besar memperlihatkan adanya hubungan dengan
indometasin dan fenilbutason, dengan risiko sebesar 10,1/1 juta
dan 6,6/1 juta. Oleh karena jarangnya masalah ini dan
kejadiannya tidak dapat diduga maka perlu dilakukan
pengawasan dengan menghitung sel darah rutin. Perlu
pertimbangan matang jika akan memberikan fenilbutason atau
oxifenbutason pada wanita lebih dari 60 tahun.
OAINS mengganggu secara reversibel agregasi trombosit
dengan cara menghambat siklo-oksigenase trombosit, dan menghambat sintesis TxA2. Efek ini menetap hanya selama obat itu
ada, tetapi dapat meningkatkan beratnya perdarahan gastrointestinal. Pada keadaan preoperatif OAINS harus dihentikan
cukup lama sebelum pembedahan untuk memberi kesempatan
ekskresi obat yang lengkap, lebih kurang 45 kali waktu paruh
dari obat. Jadi obat-obat yang mempunyai waktu paruh pendek,
seperti tolmetin/ibuprofen, dapat dihentikan 1824 jam preoperatif, sementara obat-obat dengan waktu paruh panjang seperti piroksikam harus dihentikan 8 hari sebelum pembedahan.
SISTIM SARAF PUSAT
Nyeri kepala dan pusing terjadi pada pasien-pasien yang
memakai indometasin. Depresi, konvulsi, rasa lelah, halusinasi,
reaksi depersonalisasi, kejang, sinkop pernah dilaporkan. Penderita usia lan jut yang menggunakan naproxen/ibuprofen telah
dilaporkan mengalami disfungsi kognitif, kehilangan personalitas, pelupa, depresi, tidak dapat tidur, iritasi, rasa ringan kepala
hingga paranoid. Meningitis akut aseptik agaknya suatu tipe
pasien dengan SLE/MCTD yang diobati dengan ibuprofen,
sulindac, tolmetin.
EFEK SAMPING LAIN
Edema paru-paru telah dilaporkan sehubungan dengan penggunaan fenilbutazon dan infiltrat paru-paru dengan naproxen.
Ginekomastia dihubungkan dengan sulindac, alopesia dengan
ibuprofen clan pembesaran timid dengan oksifenobutason.
DOSIS BERLEBIH DARI OAINS
Dosis berlebih dari GAINS yang terjadi akut tidak setoksis
overdosis aspirin/salisilat. Kebanyakan pasien tidak menimbulkan gejala dan ada yang baru timbul 4 jam setelah makan that.
Gejala yang ada di samping kematian ialah gejala depresi SSP,
kejang-kejang, apnoe, nistagmus, penglihatan kabur, diplopia,
sakit kepala, tinitus, bradikardi, hipotensi, sakit perut, nausea,
vomitus, hematuri, fungsi ginjal abnormnal dan henti jantung.
Pengobatan antara lain membersihkan isi perut, observasi
dan pemberian cairan.
KESIMPULAN
Hingga saat ini belum ada GAINS yang aman dari efek
samping. Efek samping yang sering ditemukan terutama pada
sistem gastrointestinal. Efek samping lainnya yang penting ialah
pada ginjal karena dapat mengakibatkan gagal ginjal. Sebagian
besar efek samping terjadi akibat penkanan pembentukan
prostaglandin pada jalur siklo-oksigenase.
Mengingat efek sampingnya, setiap pemberian GAINS
harus dalam pengawasan dokter.
KEPUSTAKAAN
1. Mowat AG. Non steroidal anti inflamatory drugs, Medicine International
(Quarterly Ed. 1985; 2: 937.
2. Paulus HE, Furst DE. Aspirin and other nonsteroidal anti inflamatory drugs.
In: Arthritis and Allied conditions. A textbook of Rheumatology. McCarthy
DJ. Ed. Tenth ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1985, p. 453.
3. Paulus HE. Nonsteroid antiinflammatory drugs. In: Textbook of Rheumatology. Eds. Kelley et al. Third ed. Philadelphia, London, Toronto, Mexico
City, Rio de Janeiro, Sydney, Tokyo: W.B. Saunders Co. 1989, p. 765.
4. Schumacher HR. Clinical Pharmacology of the Anti Rheumatic drugs. In:
Primer on the Rheumatic Disease. Ninth ed. Atlanta G.A: Arthritis Foundation. 1988, p. 282.
Sindrom Dermatitis-Artritis
Gonoreal Diseminata
Djunaedl Hidayat, Farida Zubler, Ad hi Djuanda
Bagian/UPF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RS Ciptomangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Infeksi gonokokal diseminata (IGD) merupakan komplikasi
infeksi gonokokus yang dapat menimbulkan manifestasi klinis
bermacam-macam, yang paling sering berupa artritis danjesi
pada kulit, yang disebut juga sindrom dermatitis-artritis(1,2,3,4,5)
Sindrom klinis gonore telah dikenal lama, dan Vidal mengemukakan adanya artritis gonokokal dalam bukunya tahun 1854;
sejak awal tahun 1900 banyak dilaporkan kasus artritis gonokokal. Juga mulai dikenal dan dilaporkan lesi pada kulit sejak
tahun 1905 dan tenosinovitis sejak tahun 1934(1).
EPIDEMIOLOGI
IGD terjadi setelah infeksi mukosa gonokokal, dengan prevalensi 1% 5%(1,2,3). Insidens lebih tinggi pada populasi dengan
risiko tinggi akan infeksi mukosal dan pada dewasa muda daripada orang tua. Insidens juga bervariasi berdasarkan jenis kelamin. Pada era preantibiotik kebanyakan kasus infeksi gonokokal
diseminata terdapat pada pria; setelah adanya antimikroba dan
terapi infeksi simtomatik pada pia, maka infeksi gonokokal
diseminata lebih sering pada wanita dan mungkin pria homoseksual. Kira-kira separuh kasus infeksi gonokoknl diseminata
pada wanita terjadi antara 5 hari sebelum menstruasi sampai
selesainya menstruasi atau pada kehamilan(1,6).
Penyebabnya dinamakan DGI Strains of Neisseria gonorrhoeae, yang resisten terhadap serum manusia normal dan
suseptibel terhadap kebanyakan antibiotik serta sering, kebutuhan nutrisinya adalah arginin, hipoksantin dan urasil. Pada penelitian Armstrong dan kawan-kawan (1976) didapatkan bahwa
galur IGD merupakan hampir separuh isolat pada penderrta
infeksi gonokokal diseminata dan hanya 5% isolat pada penderita infeksi mukosal lokalisata(1).
Masainkubasi IGD mungkin dipengaruhi oleh faktorhospes
MANIFESTASI KLINIS
Sindrom dermatitis-artritis merupakan manifestasi klinis
IGD yang paling 'sering dan dapat dibagi menjadi 2 stadium,
yaitu(1,6,8) :
1. Stadium bakteremia dengan poliartralgia dan lesi kulit, dan
biasanya kultur darah positif.
2. Stadium sendi septik (artritis septik) dengan kultur cairan
sinovial positif dan dapat terjadi destruksi sendi.
Ad.1
Umumnya ditandai dengan demam, menggigil, anoreksia,
malaise, lesi kulit yang karakteristik, poliartralgia ataupun
tenosinovitis(1,6).
Lesi kulit mula-mula sebagai makula eritematosa dengan
diameter antara 1 5 mm. Kemudian banyak yang berubah cepat
menjadi lesi pustular, kadang-kadang hemoragik atau nekrotik
di bagian tengahnya. Lesi bula hemoragik jarang terlihat. Lesi
kulit biasanya timbul serentak di bagian akral tubuh, lebih sering
di ekstremitas atas daripada bawah dan jarang mengenai wajah
dan badan(1,2,6,9). Lesi kulit sering timbul dekat sendi kecil
tangan atau kaki yang disertai nyeri dan biasanya sembuh
spontan dalam 4 hari (1,6,10).
Gambaran histologis biasanya berupa respons inflamasi
akut atau subakut dengan leukosit polimorfonuklear yang mencolok. Pada lesi vesiko-pustular terlihat infiltrat neutrofil dengan
sedikit sel mononuklear dan sel darah merah, nekrosis fibrinoid
pada dinding pembuluh darah, bula/vesikel terletak subepidermal dan jarang terlihat bakteri(3). Sedangkan dengan pemeriksaan
imunofluoresen dapat terlihat bahan antigenik di sekitar pembuluh darah, intrasel dan ekstraserz">.
Tenosinovitis biasanya terjadi soliter atau hanya pada beberapa tempat dan cenderung pada bagian akral. Daerah yang
paling sering terkena adalah tendon ekstensor, fleksor dan
sarung tendon tangan dan kaki. Pada lesi terlihat eritema, edema,
serta nyeri tekan dan nyeri pada pergerakan tendon tersebut.
Aspirasi dari tendon dan sarungnya tidak produktif, jarang didapat pus dan jarang ditemukan gonokokus(1,6). Keterlibatan
sendi yang dini adalah poliartralgia migratoris, umumnya
dengan tanda radang yang tidak begitu jelas dan terjadi sementara. Biasanya mengenai pergelangan tangan, sendi-sendi
kecil tangan, siku, lutut, dan pergelangan kaki, tanpa efusi sendi
yang cukup untuk aspirasi(1,2,6).
Ad. 2
Biasanya ditandai dengan kelainan mono-artikular, kadangkadang mengenai dua sendi dan timbul lebih lambat daripada
lesi kulit, tenosinovitis dan poliartralgia. Oligoartritis septik juga
lebih jarang daripada poliartralgia, tetapi lebih sering menyebabkan penderita untuk mencari pengobatan medis. Walaupun
dapat mengenai sendi mana saja, ttapi sendi yang sering terkena
adalah lutut, siku, pergelangan tangan dan kaki serta sendi-sendi
kecil pada tangan. Sendi bahu dan panggul jarang terkena(1,6).
Tanda radang jelas, gejala lebih menetap dan dapat diperoleh
cairan efusi yang purulen(1,2,6). Dalam cairan sendi tersebut terdapat hitung leukosit yang tinggi (> 30.000 sel/mm3) dengan sel
polimorfonuklear yang mencolok(1,2).
MANIFESTASI KLINIS YANG LAIN
Manifestasi klinis yang lain jarang terjadi dan berupa
faringitis, hepatitis, perihepatitis, mioperikarditis, endokarditis,
meningitis, pneumonia dan osteomielitis(1,2,6).
DIAGNOSIS BANDING(1,10)
1. Meningokoksemia
Lesi kulit cenderung purpura, dan sering lebih luas daripada
IGD. Keterlibatan sendi dan tenosinovitis jarang terjadi.
2. Bakteremia oleh mikro-organisme lain
Batang negatif gram enterik dan Staphylococcus aureus
dapat menyebabkan lesi kulit dan artritis. Streptococcus
pneumoniae juga dapat menyebabkan artritis septik. Bakteribakteri tersebut mudah dikultur dari darah ataupun cairan sendi.
3. Sindrom Reiter
Sering terjadi pada pria muda yang seksual aktif. Dapat
terlihat artritis dan lesi kulit, tetapi biasanya terjadi oligoartritis
simetris (misalnya kedua lutut) dan lesi kulit jarang berupa
eritematosa pustular. Selain itu biasanya terdapat keratodermia
blenoragik dan balanitis sirsinata yang tidak terjadi pada IGD(1,6).
4. Artritis psoriatik.
5. Ankylosing spondylitis.
6. Sindrom Sweet.
7. SLE.
DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan(1,3)
1. Pemeriksaan fisik
Misalnya tenosinovitis dan lesi pustular akral adalah
khas(3):
2. Pemeriksaan laboratorik
a. Pewarnaan Gram dan kultur dari darah, lesi kulit, cairan
sendi, dan mukosa farings, uretra, serviks atau rektum.
b. Pemeriksaan imunofluoresen, terutama untuk lesi kulit.
c. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron.
d. Pemeriksaan serologik, terutama untuk skrining atau case
finding, karena kurang spesifik dan sensitif dibandingkan
dengan kultur(3).
e. Pemeriksaan kromatografi gas.
PENATALAKSANAAN
1. Kemoterapi
Obat antimikrobial merupakan terapi utama IGD(1,2,4,6),
antara lain :
a. Penisilin G akua i.v.: 100.000 U/kg bb/hari, minimal 1 hari,
tetapi biasanya sampai 10 14 hari.
b. Ampisilin oral : 3,5 gram + 1 gram probenesid atau 3 gram
amoksilin + 1 gram probenesid diikuti ampisilin 4 X 0,5 g/hari
selama 7 hari.
c. Tetrasiklin oral : 4 X 0,5 g/hari selama 7 had.
d. Eritromisin oral : 4 X 0,5 g/hari selama 7 hari.
e. Spektinomisin i.m. : 2 X 2 g/hari selama 3,hari.
f. Penisilin G kristal akua i.v. : 10 juta U/hari sampai terjadi
perbaikan, kemudian diikuti ampisilin oral : 4 X 0,5 g/hari
sampai 7 hari pengobatan.
g. Sefazolin i.m.lt.v. : 3 X 1,5 g/hari selama 7 hari.
h. Sefoksitin i.v. : 4 6 g/hari selama 7 hari.
i. Trimetoprim-sulfametoksazol : 9 tablet/hari selama 5 hari.
2. Istirahat
Penderita dengan artritis septik sebaiknya dirawat untuk
mencegah kerusakan sendi yang lebih parah serta untuk pemberian obat yang teratur, sedangkan penderita dengan tenosinovitis dan/atau lesi kulit dapat berobat jalan.
3. Analgetik
Kadang-kadang diperlukan, terutama bila timbul rasa nyeri.
4. Contact tracing
Perlu jugs mencari dan mengobati nara kontaknya.
KEPUSTAKAAN
1.
PENDAHULUAN
Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik
adalah suatu penyakit jantung yang timbul akibat penyempitan
arteri koronaria(1). Penyebab penyempitan arteri koronaria, antara
lain : aterosklerosis, sifilis, berbagai bentuk arteritis, emboli
koroner, kelainan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus dan
spasme. Karena aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak
(99%), maka uraian mengenai PJK umumnya hanya terbatas
pada penyebab tersebut.
Aterosklerosis pada dasamya adalah kelainan yang terdiri
dari pembentukan fibrolipid fokal dalam bentuk plak-plak yang
menonjol atau penebalan-penebalan yang disebut ateroma yang
terdapat di dalam tunika intima dan bagian dalam tunika media(2).
Bagian proksimal arteri koronaria desendens kiri merupakan bagian yang paling sering mengalami aterosklerosis(3).
Riwayat perkembangan PJK dapat dibagi dalam tiga periode
yaitu masa inkubasi, masa laten dan masa klinik. Masa inkubasi
berlangsung dari janin sampai dewasa muda. Masa laten biasanya asimtomatik dan masa klinik ditandai dengan adanya
gejala klinik(4). Membicarakan PJK pada anak berarti membahas
masalah proses perkembangan PJK khususnya ateroklerosis.
Makalah ini membahas epidemiologi, faktor risiko dan
aterosklerosis yang menjurus ke arah PJK, khususnya perubahan-perubahan yang ditemukan pada anak.
EPIDEMIOLOGI
Insidens penyakit jantung iskemik akut pada pria berumur
50-54 tahun pada populasi Eropa tertentu menurut catatan WHO
(1976) berkisar 2-14 per 1000. Sejak tahun 1965 angka kematian
PJK telah menurun di Amerika Serikat, Kanada, Australia,
Lesi mikroskopik
Dinding arteri normal terdiri dari tiga lapisan yaitu tunika
intima, tunika media dan tunika adventitia. Tunika intima terdiri
dari satu lapisan sel-sel endotel yang berhubungan langsung
dengan lumen arteri. Lapisan ini terletak di atas satu lapisan
5.
6.
7.
8.
9.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
10.
11.
12.
13.
14.
PENDAHULUAN
Prevalensi yang tinggi dan kegawatan yang ditimbulkan
oleh Penyakit Jantung Koroner (PJK) menjadi topik yang selalu
dibicarakan, namun masalah rehabilitasi penderita pasca serangan jantung masih belum mendapatkan perhatian seperti yang
diharapkan(1). Tujuan rehabilitasi jantung adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dengan mengupayakan penderita pada
tingkat optimal secara fisiologis, psikologis, emosional, vokasional dan kondisi sosioekonomi(1,2,3). Gangguan psikologis dapat membatasi upaya rehabilitasi tersebut. Kecemasan, depresi,
reaksi penolakan (denial) dan ketergantungan merupakan masalah psikologis yang biasanya ditemukan(3,4,5).
Penderita yang mengalami episode serangan jantung akan
sering dihadapkan pada kemungkinan terjadinya perubahan pola
kehidupan sehari-hari dan kondisi ini sangat dipengaruhi oleh
berat serta kompleksitas penyakitnya. Hal ini dapat diketahui
dengan mengenal perubahan aktifitas kerja, seksual, hubungan
suami-isteri dan keluarga, serta kehidupan bermasyarakat dari
penderita(6). Faktor kecemasan dan depresi akan mempengaruhi
atau memperberat perubahan-perubahan yang terjadi tersebut.
Kondisi seperti ini cenderung menjadi masalah psikologis yang
menetap apabila tidak dilakukan antisipasi dini dan tepat(1,3).
Jadi jelaslah bahwa pertimbangan psikososial sangat menentukan kualitas hidup para penderita pasca serangan jantung.
Dengan mempelajari serta mengenal perubahan psikologis yang
timbul pada berbagai fase penyakit ini akan memudahkan kita
untuk mencapai tujuan rehabilitasi yang optimal(2,7).
Berikut akan dibahas aspek psikologik pasca serangan jantung pada setiap fase dan rehabilitasinya.
HUBUNGAN ASPEK PSIKOLOGIS DAN FASE PJK
Secara skematis PJK dapat dibagi dalam 6 fase (tabel 1) :
Tabel 1.
Psychological Considerations
The phases of coronary heart disease and their psychological and physiologic
concomitants: I, Pre-illness. 2, Acute illness-before medical contact. 3, Acute
illness-initiating medical contact .4 ,Acute illness-Coronary Care Una. 5,Acute
illness-hospital convalescence. 6, Past-hospital convalescence.
1.
angka mortalitas ternyata menurun secara bermakna pada penderita yang juga ditangani oleh psikiater. Pada kelompok penderita
dengan reaksi denial, malah mempunyai nilai yang positif,
karena penderita dapat meniadakan afek yang secara umum
timbul dalam kondisi ini; ini merupakan mekanisme yang bermanfaat untuk penyesuaian diri di ICCU. Hal ini terbukti dari
hasil penelitian di mana morbiditasnya lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok penderita yang non denial(8).
Perlu diketahui bahwa kurangnya pemahaman terhadap
proses yang terjadi akan memberikan beraneka ragam reaksi
psikologis yang mungkin dapat menetap. Tingkah laku aneh
dapat timbul karena kekhawatiran yang berlebihan mengenai
ketergantungan hidup, kerusakan tubuh, kehilangan identitas
seksual, atau merasa penyakit yang diidapnya merupakan hukuman akibat kesalahannya di waktu lampau(7). Karena PJK
sering terjadi secara tiba-tiba, penderita tampak bingung, panik
dan kaku. Setelah serangan dapat timbul berbagai reaksi tingkah laku, terutama kecemasan, depresi dan perubahan karakter,
yang akhirnya menambah ketegangan pada jantungnya(4). Jadi
jelaslah di sini diperlukan suatu penyuluhan yang cepat dan tepat
untuk mencegah kejadian-kejadian seperti di atas.
Pada dasarnya penderita-penderita yang mengalami serangan jantung akan mengalami ketegangan-ketegangan psikologis
yang dapat dibagi menjadi 7 kelompok yaitu(7) :
a) Gangguan integritas dasan dari kepribadian.
b) Ketakutan akan orang baru (bagi mereka yang telah berkeluarga).
c) Ketakutan untuk ditinggalkan atau meninggalkan.
d) Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang dicintai atau peranannya dalam keluarga.
e) Ketakutan atas berkurangnya kemampuan kontrol dari
fungsi tubuh.
f) Khawatir kehilangan atau luka pada bahagian tubuh.
g) Adanya rasa malu dan bersalah, dan mungkin disertai
dengan kekhawatiran sebagai akibat kesalahan masa lalu.
Intervensi psikologis selama fase ini mempunyai tujuan
dasar untuk mencegah timbulnya gejala atau mengurangi
intensitasnya. Pada hakekatnya, keadaan ini dapat diselesaikan
dengan dua pendekatan :
psikofarmakologi, merupakan mekanisme pendekatan yang
cepat dan efisien.
psikologis, merupakan mekanisme pendkatan yang lambat,
ditujukan untuk mengurangi gejala dengan menghilangkan
sumbernya dan secara bersamaan meningkatkan kemampuan
penderita dalam menanggulanginya.
Fase "acute illness" (pemulihan di rumah sakit).
Pada stadium ini intervensi psikologis ditujukan untuk
mengatasi kekhawatiran penderita yang akan kembali ke rumah
dengan cara menumbuhkan rasa percaya diri dan selanjutnya
sebagai persiapan diri untuk bekerja seperti semula(7,8).
Dalam hal ini, dokter berkewajiban menelusuri kecemasan
penderita sebelumnya agar mudah kembali ke Iingkungan
keluanga, pekerjaan, kehidupan sosial. Konsultasi psikologis
sangat berperan terutama dalam menyiapkan penderita agar
5.
KEMBALI BEKERJA
Beberapa penelitian terhadap penderita pasca serangan jantung menunjukkan bahwa rata-rata 65% dapat kembali bekerja
pada 3 - 4 bulan pertama; 79% pada akhir 6 bulan pertama, dan
81% pada akhir tahun pertama. Mereka yang tidak kembali
FUNGSI SEKSUAL
Sebagian besar penderita memulai kembali fungsi seksual
dalam jangka pendek setelah serangan jantung. Hellerstain dan
Friedman menyatakan aktifitas seksual (jumlah orgasme/
minggu) pada tahun pertama setelah serangan jantung 80%
6.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Zahman LR, Kattus AA. Stuttgart: Georg Thieme Publ. 1979, p. 95.
14. Omish D et al. Effects of stress management training and dietary changes
in treating ischemic heart disease. JAMA 1983; 249(1): 54.
15. Rahe RH et al. Recent life changes, myocardial infarction, and abrupt
coronary death. Arch Intern Med. 1974; 133: 221.
16. Steptoe A, Vogele C. Methodology of mental stress testing in cardiovascular research. Circulation 1991; 83 (suppl II): 14.
17. Zotti AM et al. Psychophysiological stress testing in postinfarction pa-
PENDAHULUAN
Dengan semakin baiknya fasilitas kehidupan termasuk kesehatan, usia manusia cenderung lebih panjang. Jumlah penduduk usia lanjut (manula) saat ini demikian besar dibanding
dengan dekade tahun 1950 1960. Meskipun demikian kriteria
manula berbeda-beda antara negara satu dengan yang lain dan
antara negara berkembang dengan negara maju.
Di Indonesia umur 55 tahun sudah dianggap tua sehingga
dimasukkan pada usia pensiun. Sedangkan di beberapa negara
maju, usia pensiun berlaku pada umur 80 tahun. WHO akhirnya
menentukan bahwa umur 60 tahun merupakan batas seseorang
dimasukkan dalam kelompok manula(1,.2).
Semakin banyaknya jumlah manula, selain manfaatnya
ternyata juga mempunyai beberapa dampak yang kurang tnenggembirakan. Bagi mereka sendiri, usia lanjut menimbulkan
beberapa beban psikologis, yang disebabkan perbedaan kondisi
sosial dan budaya dengan masyarakat sekitarnya(3). Selain itu di
bidang kesehatan di Amerika, yang menjadi masalah adalah
tingginya insiden penyakit, meningkatnya prevalensi penyakit
kronik dan menurunnya kemampuan fungsional. Di antara 10
penyakit kronik yang terbanyak ialah penyakit kardiovaskular,
berupa darah tinggi pada 59% manula dan penyakit jantung yang
lain 25,7%(4). Kemudian WHO (1989) juga melaporkan bahwa
penyebab kematian terbesar pada usia 6574 tahun adalah penyakit kardiovaskular yaitu 50%; seperempatnya oleh karena
penyakit jantung koroner (PJK).
Mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas
akibat penyakit kardiovaskular tersebut, sudah sepatutnya dilakukan usaha promotif dan preventif untuk menanggulanginya.
Salah satu usaha promotif yang dianjurkan adalah membentuk
kelompok olah raga khusus bagi orang tua. Peranan olahraga
dalam pencegahan penyakit jantung sudah diakui oleh masyarakat karena itu perlu dipikirkan bentuk latihan yang tepat bagi
Jog-walk regimen
5. Trunk twister
Figure 2.
1
7
13
19
25
31
37
43
49
55
61
67
6. Toe pointer
Days
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
Run
Walk
50 steps
50 steps
50 steps
40 steps
50 steps
30 steps
50 steps
20 steps
50 steps
10 steps
75 steps
10 steps
100 steps
10 steps
125 steps
10 steps
150 steps
10 steps
175 steps
10 steps
200 steps
10 steps
Individualized program
Number of
5 10
5 10
5 10
5 10
5 10
5 10
5 10
5 10
5 10
5 10
5 10
dikemukakan oleh banyak ahli, di sini dilampirkan saw di antaranya yang dikemukakan oleh De Vries tahun 1971(12).
RINGKASAN
Dengan semakin baiknya fasilitas kehidupan termasuk kesehatan, jumlah penduduk usia di atas 60 tahun (manula) semakin
banyak. Masalah timbul karena angka kesakitan dan kematian
pada manula tersebut sangat tinggi, sehingga biaya perawatan
kesehatan yang diperlukan juga tinggi, selain masalah sosial
budaya yang ada.
Penyakit kardiovaskular ternyata merupakan penyebab yang
ter6anyak dan sebenarnya masih bisa dicegah. Kegiatan olah
raga diharapkan bisa menjadi salah satu altematif.
Meskipun telah terjadi banyak kemunduran pada fungsi
organ tubuh manula tennasuk sistim kardiovaskular, olah raga
masih mungkin mereka lakukan. Olah raga akan memperlambat
kemunduran fungsional, bahkan dapat meningkatkannya pada
penderita sedentary.
Olah raga yang tepat, aman, berkelanjutan dan menyenangkan perlu diprogram dengan teliti sesuai dengan kemampuan
perorangan.
Pada makalah ini di jelaskan pula contoh olah raga yang tepat
pada manula yaitu: walking, jogging, swintming, square dancing
dan cycling.
KEPUSTAKAAN
Figure 3. Stretching calisthenics for warm-up. (From deVries, H.A.:
Prescription of exercise for older men from telemetered exercise heart rate data. Geriatrics 26:102, 1971, with permission.)
1.
2.
Wongsokusumo B. Kesejahteraan lanjut usia di Indonesia. Bull Gerontologi & Geriatri 1990; 18: 28.
3. Semiawan CR. Aspek sosial gerontologi. Bull Gerontologi & Geriatri
1990; 14: 3.
4. AMA. Council on Scientific Affairs, White paper on elderly health, Arch
Intern Med 1990; 150: 2459.
5. Strasser T. How to prevent cardiovascular disease in old age, In: Cardio
vascular Care of the Elderly. Geneva: WHO 1987; p 145.
6. Widiastuti, Setiabudi T. Masalah usia lanjut dan pengelolaannya ditinjau
dari segi kesehatan. Bull Gerontologi & Geriatri 1990; 18: 36-40.
7. Bermann ND. Aging and the heart. In: Geriatric Cardiology. Lexington:
The Collamore Press 1982; p 11.
8. Fitzgerald PL. Exercise for the elderly. In: Medical aspect of exercise. Med
Clin N Am, 1985; 69: 189.
9. Boestan IN, Murtiningsih LM, Ismahun P. Peranan latihan fisik dalam
pencegahan penyakit jantung koroner. Simposium Nasional Pencegahan
Penyakit Kardiovaskular, Surabaya, 1990. hal 97.
10. Ellestad MH. Cardiovascular and pulmonary responses to exercise. In:
Stress Testing, principles and practice, 3rd. Philadelphia: FA Davis Coy.
1986; p 9.
11. Fox EL, Mathews OK. Blood flow and gas transport. In: The physiological
basis of physical education and athletics. Philadelphia: Saunders College
Publishing 1981; p 223.
12. Landin RJ, Linnemeier TJ, Rothbaum DA, Chappelear J, Moble RJ.
Exercise testing and training of the elderly patient. In: Exercise and the
heart. Wenger NK (ed.). Philadelphia: Davis Coy, 1985; p 201.
13. Johnson PV, Lipritz LA, Kelley M, Koestner J. Hypotensive response to
common daily activities in institutionalized elderly, a potential risk for
recurrent falls. Arch. Intern Med. 1990; 150: 1518.
14. AMA. Council on Scientific Affairs, Exercise program for the elderly.
JAMA 1984; 252: 549.
15. AMA. Council on Scientific Affairs, Societal effects and other factors
affecting health care for the elderly. Arch Intern Med 1990; 150: 1184.
16. Pauly J, Palmer JA, Wright JC, Pfeiffer GJ. The effect of a 14-week
employee fitness program on selected physiological and psychological
parameters, J Occup Med 1982; 24: 457.
17. Stem MJ, Cleary P. The National Exercise and Heart Disease Project: long
term psychosocialoutcome. Arch Intern Med 1982; 142: 1093-7.
18. Weisfeldt ML, Lakatta EG, GerstenblithG. Aging and cardiac disease. In:
Heart Disease. Philadelphia, 1988; p 1650.
PENDAHULUAN
Setelah diagnosis ditegakkan, seorang dokter akan melangkah untuk menentukan terapi yang cocok, bukan hanya untuk
diagnosis tersebut namun untuk orang tersebut secara keseluruhan. Terapi merupakan salah satu mats rantai dalam upaya
pencegahan atau penyembuhan pasien (pribadi ataupun masyarakat) dari suatu penyakit. Proses pengambilan keputusan terapi
adalah suatu urutan langkah yang logis, sistematis dan mengikuti
kaidah ilmiah pads umumnya, seperti definisi di bawah ini(1):
"The therapeutic decisions of clinical judgment require valid
evidence, logical analysis and demonstrable proof' dan "Their
scientific quality can be discerned, assessed and improved by
the same rational procedures used for any other act of experimental science". (Feinsten, 1967)
PROSES KEPUTUSAN TERAPI
Beberapa tahapan dalam pengambilan keputusan terapi yang
memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus diuraikan secara rinci seperti berikut :
1. Intervensi Farmakoterapi
Dalam hal penentuan perlunya terapi farmakologik atau
non-farmakologik, minimal ada lima kategori yang perlu diperhatikan(2):
Yang mutlak memerlukan obat, misalnya keadaan-keadaan
infeksi bakterial yang serius, hipertensi berat dan sedang, asma,
penyakit Parkinson, dan lain-lain.
Yang mungkin memerlukan obat; hal ini lebih sulit karena
seringkali terjadi karena kekurang-pastian diagnosis maupun
patofisiologinya yang masih belum jelas, misalnya rasa sakit di
dada yang timbul berulang-ulang dengan gambaran EKG yang
normal, hipertensi ringan, dan lain-lain.
Yang mungkin dapat ditolong dengan bantuan obat atau
dengan pendekatan non-farmakologik, misalnya obesitas.
Jalur
Intravena
Subkutan
Intramuskuler
Oral
Pula Absorpsi
Penggunaan
Tidak melalui
absorbsi
Efek cepat
Keadaan gawat
darurat
Dapat dititrasi
Cocok untuk
volume besar
atau zat iritatif
Cepat bila dengan Cocak untuk
larutan akua,
suspensi
Lambat bila
tidak larut dan
dengan preparat untuk implantasi
repository
pellet
Cepat, bila
Cocok untuk
dengan lanttan
volume sedang,
akua,
pelarut minyak
lambs bila
dan zat yang
dengan preparat iritatif
repository
Bervariasi tergantung pada
berbagai faktor
Menyenangkan,
mudah, murah
dan aman
Catatan
Risiko efek samping
meningkat
Tidak cocok untuk
larutan benninyak
atau zat yang sukar
larat
Tidak cocok untuk
volume besar
Dapat menimbulkan
iritasi dan nekrosis
Tidak dianjurkan
bila diterapi antikoagulan
Dapat mengganggu
interpretasi up
diagnostik (mis.
kreatin kinase)
Membutuhkan
kooperasi pasien
Availabilitas erratic,
tidak sempurna, karena obat sukar larut,
sukar diabsorpsi,
tidak stabil
mengalami first
pass effect, dli.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
LAMPIRAN
PROSES KEPUTUSAN TERAPI
HUMOR
ILMU KEDOKTERAN
GEGER OTAK
Seorang ibu membawa putranya yang
remaja berobat.
Ibu
: Tolong periksa dok,anak saya
mendapat kecelakaan jatuh
dan motor. Apakah geger
otak?.
Anak : (Langsung
protes)
mana
mungkin bisa geger otak!
Dokter : Kok tahu?
Anak : Dari
dulu
saya
selalu
dikatakan Tak punya otak.
Dokter : Oh.....................
Emiliana Tjitra
Jakarta
MEMANG BEDA
Seorang menceritakan tentang keampuhan obat penemuannya untuk menumbuhkan rambut yang rontok:
"Coba begitu hebatnya, sampai kalau
dioleskan ke mentimun, langsung
mentimun tumbuh rambut lebat lagi
panjang-panjang!"
Temannya merasa heran: "Lho tetapi
mengapa rambut di kepala anda botak?"
Merasa terpojok : "Memang..................
karena dia bukan mentimun tetapi........
.........kepala brilian !"
????????????
Juvelin
Jakarta
ABSTRAK
ANTIMALARIA
Arthemeter - suatu derivat artemisinin (qinghaosu) telah digunakan untuk
menanggulangi malaria di Cina.
Peneliti di Gambia telah menyelidiki
efektivitasnya pada anak-anak. Sejumlah 30 anak Gambia secara acak diberi
arthemeter intramuskular (4mg./kgbb.
dosis awal diikuti dengan 2 mg./kg/bb/
hari) atau klorokuin intramuskular (3,5
mg. basa/kg.bb tiap 6 jam). Kedua obat
tersebut ditoleransi dengan baik dan
cukup efektif.
Parasite clearance ternyata lebih
cepat tercapai di kalangan yang diterapi
dengan arthemeter (36,7 16,8 jam,
p < 0.05).
Penelitian kemudian dilanjutkan pada
43 anak dengan malaria berat. Pada
penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dalam hal respons
klinis, hematologis, biokimiawi maupun
parasitologis; demikian juga dalam hal
toksisitasnya.
Arthemeter merupakan salah satu
alternatif pengobatan malaria, terutama
di daerah-daerah yang telah resisten
terhadap klorokuin.
Lancet 1992; 339 : 317-21
Brw
RISIKO
ULTRASONOGRAFI
PADA WANITA HAMIL
Dengan meluasnya penggunaan ultrasonografi sebagai prosedur diagnostik di kalangan ibu hamil, muncul
kekuatiran mengenai pengaruhnya
terhadap janin, apalagi prosedur tersebut kebanyakan dilakukan pada usia
kehamilan 16 - 22 minggu, pada saat
perkembangan susunan saraf pusat janin
mencapai puncaknya.
Di Norwegia telah dilakukan penelitian was 2448 anak yang pada saat
di dalam kandungan (pada tahun 1979 1982), ibunya menjalani pemeriksaan
ultrasonografi. Anak-anak tersebut dinilai oleh para gurunya dalam hal
kemampuan membaca, mengeja, aritmetik dan penampilan umumnya.
Ternyata 21 di antara 309 anak yang
diteliti menderita disleksi, dibandingkan
dengan 26 di antara 294 anak kontrol;
hasil ini secara stastistik tidak bermakna.
Pada peneliti menyimpulkan bahwa
ultrasonografi tidak memperbesar
risiko bayi dalam hal gangguan kemampuan membaca dan menulis.
MANFAAT ASI
Penelitian ini merupakan lanjutan
penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa di kalangan bayi pre
ABSTRAK
mengetahui efek teratogeniknya, 148
wanita yang rata-rata berusia 30 tahun,
yang menggunakan lithium pada
kehamilan trimester pertamanya, diteliti dan diwawancarai dan dievaluasi.
Dosis rata-rata lithium yang digunakan
ialah 927 mg./hari.
Ternyata tidak didapatkan perbedaan
bermakna dalam hal kejadian malformasi kongenital di kalangan bayi yang
dilahirkan (2,8% di kalangan kelompok
lithium, 2,4% di kelompok kontrol). Satu
pasien di kelompok lithium, janinnya
menderita anomali Ebstein, sedangkan
defek septum ventrikel dideteksi pada
janin satu pasien kelompok kontrol).
Berat badan lahir janin di kelompok
lithium secara bermakna lebih besar
(3475660g. vs. 3383 566g. p=0,02),
padahal di kelompok lithium diketahui
lebih banyakyang jugamerokok (31,8%
vs. 15,5%, p=0,002); sehingga mungkin
hasil yang sebenarnya dapat lebih bermakna.
Penelitian ini tidak menemukan efek
teratogen lithium pada manusia.
Lancet 1992; 339 : 530-3
Brw
ANTIHEMOFILI
US FDA telah menyetujui penggunaan rekombinan factor VIII
Kogenate untuk pengobatan dan profilaksis hemofili A, baik untuk pasien
baru maupun yang telah pernah me-
NSAID TOPIKAL
UK Drug and Therapeutics Bulletin
baru-baru ini memuat artikel yang meragukan efektivitas NSAID topikal;
sampai saat ini belum ada penelitian
klinis yang membandingkan efektivitasnya dengan parasetamol pada kasus
nyeri, ataupun dengan NSAID oral pada
kasus yang lebih berat.
Lagipula, biaya pengobatan NSAID
topikal ternyata lebih mahal bila dibandingkan dengan penggunaan ibuprofen oral atau dikiofenak oral selama
7 hari.
Scrip 1991; 1679/80: 24
Brw