oleh:
Emil Yunia Susanti
Masda Simanjuntak
Ulfa Faila Sulfa
Luthfia Indra Fitriani
Juli Septianggreini
Nurul Istiqomah
22030113120013
22030113120033
22030113120039
22030113120043
22030113130069
22030113140083
22030113130091
22030113140123
22030113130119
22030113140133
22030113130139
2010.1
Mencapai pendidikan untuk semua (angka putus sekolah di tingkat Sekolah Dasar
Pemberian Makanan Tambahan - Anak Sekolah (PMT-AS) memiliki tujuan sebagai berikut:
Selama tahun 2010 dan 2011, program tersebut dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag). Pada tahun 2010, sasaran
penerima dibatasi pada murid sekolah dasar umum/madrasah ibtidaiyah (SD/MI) kelas 1-6, dan
pada tahun 2011,anak prasekolah (TK/RA) ditambahkan ke dalam program tersebut. Pada tahun
2011, program tersebut dilaksanakan di 27 kabupaten dalam 27 provinsi, yang meliputi 1,2 juta
anak TK/SD dan 180.000 murid SD/MI.3 Pengalokasian dana untuk makanan tambahan bagi
sekolah umum (TK/SD) di wilayah barat adalah Rp 2.500 per porsi dan Rp 2.650 per porsi di
wilayah timur. Biaya satuan untuk madrasah (MI/SD) adalah Rp 2.250 untuk wilayah barat dan
Rp 2.600 untuk wilayah timur. Anggaran keseluruhan PMTAS pada tahun 2011 adalah sekitar Rp
300 miliar (US$34 juta dolar). Sasaran yang dijadwalkan pada tahun 2010 dan 2011 adalah 108
hari pemberian makan kepada anak (CFD). Program ini dimaksudkan untuk memberikan 15
persen Asupan Gizi Harian yang Dianjurkan (RDA) dari kalori (300 kalori) dan 10 persen RDA
dari protein (5 gram) melalui makanan tambahan yang disiapkan oleh petugas sekolah dan
anggota masyarakat setempat.
Kriteria yang diutamakan dalam memilih kabupaten di setiap provinsi adalah daerah tertinggal,
terpencil, dan kepulauan, kabupaten yang tinggi tingkat kemiskinannya dan kabupaten yang
tinggi persentase anak yang terhambat pertumbuhan fisiknya. Keputusan Presiden No. 1 tahun
2010 adalah dasar hukum dari PMT-AS.
Penilaian terhadap Indikator Kinerja Evaluasi4
Evaluasi atas efektivitas dan dampak program PMT-AS dilakukan dengan menilai
keberhasilan program dalam memenuhi enam belas indikator yang telah ditetapkan untuk
keperluan evaluasi. Efektivitas program diukur dengan menilai indikator yang
dikelompokkan berdasarkan masukan, proses, dan keluaran. Dampak program dinilai
melalui seperangkat indikator dampak yang mengukur sejauh mana program telah
meningkatkan kesehatan secara umum dan gizi murid, pengetahuan, sikap, dan perilaku
mereka mengenai hidup sehat, dan sejauh mana keadaan ini telah mempengaruhi prestasi
sekolah dan kehadiran murid di sekolah maupun pengaruh program terhadap masyarakat
secara keseluruhan.
1
Keadaan Gizi
Hasil telaah data kualitatif memerlihatkan adanya perbaikan dalam hal rata-rata
penurunan kelebihan dan kekurangan berat badan pada anak laki-laki maupun
perempuan di sembilan sampel kabupaten peserta program PMT-AS. Akan tetapi,
terdapat perbaikan besar dalam hal penurunan jumlah murid yang berberat badan
kurang di kabupaten pembanding dibandingkan dengan rata-rata pencapaian di sembilan
kabupaten sampel peserta program; penurunan dalam hal kelebihan berat badan kirakira sama pada laki-laki meskipun rata-rata perbaikan pada perempuan di sembilan
kabupaten peserta program sekitar 8 persen lebih tinggi dibandingkan pada perempuan
di kabupaten pembanding. Hasil telaah berbagai jenis data untuk mengukur perbaikan
status gizi menunjukkan bahwa sampai sekarang, program PMT-AS belum berdampak
nyata terhadap perbaikan keadaan gizi dan kesehatan anak sekolah secara umum.
perencanaan, pelatihan, dan pengawasan yang ditetapkan guna mencapai target UKS dalam
pembinaan kesehatan lingkungan di sekolah. Diharapkan peningkatan perilaku akan dapat
memengaruhi kegiatankegiatan bina lingkungan di sekolah dasar.
Pelaksanaan Program UKS
Program UKS yang dilakukan saat ini belum tersedianya waktu yang khusus,
sehingga masih menjadi kendala tersendiri bagi para guru maupun petugas dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan UKS maupun melakukan pembinaan kesehatan lingkungan
yang hanya dilaksanakan ala kadarnya karena tidak sesuai petugas puskesmas dengan
jumlah sekolah dimana petugas yang bertugas bukan yang berlatar belakang penyuluh atau
bukan kesehatan masyarakat tetapi bidan. Kondisi tersebut semakin jelas dengan tidak
tersedianya sarana dan prasarana UKS yang tidak memadai ini dapat dilihat bahwa sekolah,
utamanya sekolah dasar masih banyak yang tidak memiliki ruang UKS. Pencatatan dan
pelaporan yang masih/ kurang terpenuhi turut juga mendasari permasalahan dalam
pembinaan dan pengembangan UKS.
dan edukasi bagi komunitas sekolah termasuk guru, murid, orangtua murid, pengelola kantin
sekolah, dan penjaja PJAS, meningkatkan pengetahuan dan k'eterampilan dalam pengolahan
dan penyajian PIAS yang benar, peningkatan pengawasan keamanan pangan yang
dilaksanakan secara mandiri oleh komunitas sekolah, dan pemberdayaan masyarakat
termasuk penerapan sanksi social (social enforcement).
Pelaksanaan Program dan Capaian terhadap IKU7
Hasil pengujian 10.429 sampel PJAS yang diambil di seluruh Indonesia menunjukkan
76,18% sampel memenuhi syarat dan 23,82% sampel tidak memenuhi syarat. Dari tahun
2010-2013 persentase PJAS yang memenuhi syarat mengalami peningkatan dari 55,52%
menjadi 80,79%. Sedangkan pada tahun 2014 terjadi penurunan persentase PJAS yang
memenuhi syarat, yaitu sebesar 76,18%.
Bila dilihat gambar di bawah ini maka diketahui bahwa untuk tahun 2011, 2012 dan 2013
capaian IKU sudah tercapai yaitu 64,54%, 76,11% dan 80,79%. Sedangkan pada tahun
2014 capaian IKU tidak tercapai, yaitu 76,18% sementara targetnya 90%.
Pada tahun 2014 ini, Aksi Nasional PJAS dengan tema Sehat Duniaku Menuju
Generasi Emas yang Sehat dan Berkualitas untuk memperluas cakupan. Aksi Nasional PJAS
tahun 2014 bekerja sama dengan beberapa pihak yang terkait guna memperluas cakupannya,
seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
dan Menengah, serta pihak swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).8
sekolah sesuai dengan standar kesehatan dan untuk terus memonitor dan mengevaluasi
pelaksanaan kantin sehat di sekolah. (Kemenkes RI, 2011)
95%)
Kepadatan yang tinggi di puskesmas dan tenaga kesehatan
Cakupan imunisasi bayi yang tinggi
Vaksin dan perlengkapan lainnya 9jarum suntik auto-disable dan kotak pengaman)
dibiayai 100% oleh Depkes.
BIAS dikelola, disediakan dan dilaksanakan tanpa keterlibatan teknis atau keuangan dari
lembaga mitra multilateral atau bilateral. Depkes bangga karena kemandirian ini dan apa
yang dilakukan secara rutin setiap tahun dengan BIAS. Menurut rancangan komprehensif
Rencana Multi-Tahun (CMP), melaporkan cakupan vaksinasi di sekolah-sekolah melalui
BIAS mulai tahun 2003 telah sekitar 95% setiap tahun.
Kegiatan imunisasi di sekolah diseluruh Indonesia dilaksanakan dengan pemberian
imunisasi DT (Difteri Tetanus) pada anak kelas 1 SD/MI dan TT (Tetanus Toksoid) pada
anak kelas 2 s/d 6 SD/MI. Masih terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan
menyerang ank usia yang lebih tua, maka pemberian imunisasi campak pada awal masa
sekolah diharapkan dapat mengendalikan penyakit campak yang penularannya sangat
potensial terjadi dilingkungan sekolah serta memutuskan mata rantai penularan kepada
Balita. Maka tahun 2003 mulai diberikan imunisasi campak pada anak sekolah dengan dosis
awal diberikan pada anak kelas 1 s/d 6 SD/MI dan tahun berikutnya diteruskan pada anak
kelas 1 saja.10
Mengapa BIAS DT/TT Diimplementasikan?
a. Imunisasi dasar (DPT 3x) menghasilkan imunitas sampai usia anak-anak <5 tahun
b. Institut Kesehatan nasional dan Penelitian Pengembagan (Badan Litbangkes) melakukan
studi serologi antara usia 4-5 tahun pada tahun 1996 di Papua dan Kalimantan Tengah,
c.
d.
e.
f.
c. Pada 1998-2000 data pengawasan menunjukkan 40% kasus campak secara nasional
berapa pada anak-anak di atas usia 5 tahun.
d. Sebagai strategi pengendalaian campak: dengan vaksin campak 2 dosis.
Pemberian imunisasi Campak dilaksanakan pada bulan Agustus sedangkan imunisasi
DT dan TT pada bulan November. Dalam perkembangannya terjadi perubahan jadwal
dan jenis imunisasi dalm program BIAS dari tahun ke tahun, sebagai berikut:11
Evolusi Bias
BIAS terus berkembang dan berinovasi. Mulai tahun 2000, merupakan suatu
strategi transisi, semua siswa sekolah dasar (kelas satu-enam) sekitar 6-12 tahun bersama
dengan anak-anak seumuran namun tidak terdaftar, menerima satu dosis vaksin campak.
Hal ini disebut kampanye campak untuk kesempatan kedua. Sekolah digunakan untuk
mencapai siswa, anak-anak yang tidak terdaftar 6-12 tahun dan anak-anak berusia 6-59
bulan divaksinasi di puskesmas atau posyandu.
Kampanye ini diperkenalkan provinsi secara bergulir, dengan 3 provinsi pada
tahun 2000, 4 provinsi tahun 2003, 8 tahun 2004, 2 tahun 2005, 8 tahun 2006 dan 8 tahun
2007. Setelah kampanye selesai dari provinsi ke provinsi, dengan cakupan kampanye
berkisar antara 90%-98% d isemua kelas, imunisasi campak rutin dengan 2 dosis telah
bertahap dilakukan selama bulan Agustus pada saat sekolah pada saat sekolah masuk ke
kelas 1 dalam rangka mempertahankan kekebalan.
6. Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah
Kegemukan dan obesitas terjadi akibat asupan energi lebih tinggi daripada energi yang
dikeluarkan. Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan sumber energi dan
lemak tinggi, sedangkan pengeluaran energi yang rendah disebabkan karena kurangnya
aktivitas fisik dan sedentary life style. Hasil RISKESDAS tahun 2010 menunjukkan
prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak sekolah (6-12 tahun) sebesar 9,2%. Hasil
penelitian di beberapa kota menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan prevalensi
kegemukan dan obesitas. Hasil penelitian di Yogyakarta menunjukkan adanya peningkatan
prevalensi hampir dua kali lipat dalam waktu lima tahun.
Pencegahan dan Penanggulangan kegemukan dan obesitas pada anak sekolah merupakan
suatu upaya komprehensif yang melibatkan stakeholder yang ada di wilayah. Stakeholders
mempunyai peran sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangan, melalui koordinasi
dengan kepala Puskesmas. Kegiatan Pencegahan dan Penanggulangan kegemukan dan
obesitas pada anak sekolah meliputi promosi, penemuan dan tatalaksana kasus yang dalam
pelaksanaannya melibatkan anak, orangtua, guru, komite sekolah dan stakeholder.12
A. Persiapan
1 Pertemuan Koordinasi lintas sektor terkait
2 Penyiapan tim tenaga pelaksana
3 Pertemuan pembahasan perencanaan kegiatan
4 Penentuan jumlah sasaran
5 Perhitungan kebutuhan logistik : Timbangan, Microtoise, Formulir, Tabel IMT,
6
7
B. Pelaksanaan
1 Pencegahan
Pencegahan dilakukan melalui pendekatan kepada anak sekolah beserta orang-orang
terdekatnya (orang tua, guru, teman, dll) untuk mempromosikan gaya hidup sehat
meliputi pola dan perilaku makan serta aktivitas fisik. Usaha pencegahan dimulai dari
lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan.
Lingkungan sekolah merupakan tempat yang baik untuk pendidikan kesehatan yang
dapat memberikan pengetahuan, keterampilan serta dukungan sosial dari warga
sekolah. Pengetahuan, keterampilan serta dukungan sosial ini memberikan perubahan
perilaku makan sehat yang dapat diterapkan dalam jangka waktu lama. Tujuan
2
Penemuan kasus
Dilaksanakan setiap tahun melalui kegiatan ppenjaringan kesehatan sekolah.
Langkah-langkah kegiatan:
1 Pengukuran antropometri
Meliputi BB, TB, data yang diperoleh dilaporkan ke Puskesmas, untuk
2
dan lain-lain), maka dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.
Bila hasil assesment menunjukkan anak mengalami dan obesitas tanpa
komorbiditas maka dapat dilakukan tatalaksana kegemukan dan obesitas di
4
5
Puskesmas.
Melakukan konseling gizi kepada anak dan keluarga agar melaksanakan pola
hidup sehat selama 3 bulan.
Lakukan evaluasi pada 3 bulan pertama.
- Bila berat badan anak turun atau tetap maka dianjurkan untuk
meneruskan pola hidup sehat dan dilakukan evaluasi kembali setiap 3
bulan.
Bila berat badan anak naik , maka dilakukan kegiatan pengaturan berat
badan yang terstruktur di puskesmas. Seperti menyusun menu diet
khusus, melakukan latihan fisik terprogram, membuat catatan kegiatan
harian yang berisi: asupan makan di rumah atau di luar rumah, aktifitas
II.
1
pada tahun 2007 menjadi 43,3 % di tahun 2010. Hal ini menempatkan perokok pemula usia
remaja menempati urutan tertinggi di antara semua rentang usia. Kecanduan merokok tidak
jarang menghantarkan remaja menuju bentuk penyalahgunaan narkoba. Survei Badan
Narkotika Nasional (2009) bahwa dalam rentang tahun 2003-2009, penyalahgunaan narkoba
terbanyak yaitu pada tingkat SLTA sebanyak 63,14%.14
2
letaknya terpencil. Sekolah-sekolah ini rawan tidak mengetahui informasi tersebut, walau
beberapa sekolah sudah dijadikan sebagai sekolah percontohan kantin sehat. Pelaksanaan
program kantin sehat.
Saat ini, pelaksanaan kantin sehat di sekolah belum dilaksanakan oleh seluruh sekolah
yang ada di Indonesia. Banyak sekolah yang belum menerapkan program ini. Program tidak
dilaksanakan bisa jadi karena sekolah yang tidak mengetahui adanya program kantin sehat.
Selain itu, keterbatasan sumber daya guna membangun kantin sehat itu sendiri masih kurang
untuk beberapa sekolah yang memiliki keterbatasan dana. Pada daerah terpencil saja masih
banyak sekolah yang belum memiliki kantin, sehingga pelaksanaan kantin sehat jelas belum
bisa dilakukan. Kedepannya pemerintah yang dibantu oleh pemerintah daerah perlu
memperhatikan lagi sekolah-sekolah supaya dapat membangun kantin sehat. Dan
ketersediaan makanan untuk anak-anak sekolah pun dapat lebih terjamin kesehatan dan
keamanan pangannya.
5
kegemukan dan obesitas. Pada anak sekolah di wilayah Surakarta diperoleh hasil prevalensi
anak dengan kegemukan 12,4% dan obese 11,2%. Hasil penelitian di Yogyakarta
menunjukkan adanya peningkatan prevalensi hampir dua kali lipat dalam waktu lima tahun.19
Masalah obesitas pada anak adalah masalah yang kompleks. Banyak faktor yang
berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak. Upaya penanganan obesitas pada anak
merupakan isu yang masih penting sampai saat ini, karena obesitas yang terjadi pada masa
anak ataupun remaja memiliki risiko tinggi terhadap angka kesakitan berbagai macam
penyakit sebagaimana terjadi pada orang dewasa. Suatu studi yang pernah dilakukan
menunjukkan adanya peningkatan secara signifikan kadar gula darah puasa, insulin, dan
trigliserida serta peningkatan prevalensi gangguan toleransi glukosa dan hypertensi systolik
pada anak yang mengalami obesitas (BMI 95th percentile).20 Berdasarkan hal tersebut,
masalah kegemukan dan oobesitas di Indonesia menjadi hal yang serius dan perlu dilakukan
intervensi secara komprehensif.
III.
KETERCAPAIAN PROGRAM
1
PMT-AS
Tujuan umum dilakukan pengkajian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas program
PMT-AS dan dampaknya terhadap kesehatan secara umum dan gizi murid, dan sejauh
mana keadaan ini mempengaruhi prestasi sekolah dan kehadiran murid di sekolah.
Tujuan khusus studi evaluasi PMT-AS ini adalah untuk:
a Menilai asupan gizi guna menentukan seberapa banyak untuk menutupi kekurangan
gizi
b Mengevaluasi sikap dan perilaku dalam menghargai makanan setempat
c Menilai perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
d Memperkirakan ketahanan fisik
e Mengevaluasi motivasi belajar
f Memperkirakan tingkat ketidakhadiran murid karena sakit
g Menilai prestasi belajar
h
Menentukan pemberdayaan masyarakat setempat
i Menentukan perubahan perekonomian setempat.
Kerangka pemikiran digunakan sebagai dasar untuk menyusun metodologi evaluasi.
Dengan metodologi ini, enam belas indikator khusus ditetapkan untuk menilai
keseluruhan kinerja program PMT-AS. Indikator ini dikelompokkan menurut masukan,
proses, keluaran, dan hasil/dampak. Baik data kuantitatif maupun kualitatif dikumpulkan
dan ditelaah. Data kualitatif dikumpulkan dari wawancara dan diskusi kelompok terarah
Proses
a Pengelolaan dan Pemantauan Program
Telaah data kualitatif menunjukkan kurangnya koordinasi program antar
jenjang, pemantauan dan pelaporan, dan jaminan mutu, terutama karena
kurangnya dana yang secara khusus diperuntukkan keperluan ini. Sebagian
pejabat program tingkat provinsi dan kabupaten tidak mengetahui adanya
petunjuk teknis yang seharusnya merupakan hal yang mutlak diperlukan
dalam program pelatihan. Kurang memadainya pengelolaan program secara
b
Hasil
a Pembagian Obat Cacing
Pembagian obat cacing telah dihapuskan dari program PMT-AS. Hasil telaah
menunjukkan bahwa sebagian besar sekolah di kabupaten sampel tidak
b
Hasil telaah atas nilai gizi makanan tambahan di sekolah sampel menunjukkan
bahwa nilai gizi makanan tambahan PMT-AS dalam hal kalori, protein,
kalsium, dan zat besi masih jauh di bawah standar rekomendasi PMT-AS.
Rata-rata lebih dari 74 persen makanan tambahan di sekolah sampel memiliki
jumlah kalori lebih rendah daripada standar yang telah ditetapkan untuk
program tersebut, dan makanan tambahan yang disediakan di lebih dari 62
persen sekolah sampel memiliki jumlah rata-rata protein di bawah standar 5
gram. Baik kandungan kalsium dan zat besi jauh di bawah Angka Kecukupan
Gizi (AKG). Wawancara dan Diskusi Kelompok Terarah memberikan
informasi bahwa sekolah kerap mengubah jenis makanan tambahan dengan
berbagai alasan, diantaranya : kesukaan murid dan ketersediaan bahan di pasar
setempat. Tetapi, murid pada umumnya paling menyukai makanan tambahan
c
diharapkan dengan adanya programUKS, akan tetapi jumlah permasalahan yang terjadi
belum mengalami penrunan secara signifikan dikarenakan jumlah pengelolah dan dana
yang kurang. Hal yang belum tercapai dengan baik adanya UKS di sekolahan sebagai
berikut :
a PAUD memang diluar program UKS untuk saat ini, namun Puskesmas sudah
mulai dilaksanakan pembinaan dan pemeriksaan kesehatan atas dasar permohonan
b
murid.
Tingkat SMP peruadanya perbaikan dalam hal kualitas makanannya dan gizinya
karena anak remaja seusia SMP masuk fase Growth Spurt (atau pertumbuhan
badan yang sangat cepat). Sehingga membutuhkan asupan gizi ekstra. Yang kedua
mungkin agar lebih difokuskan masalah reproduksi dan sex yang sehat serta
penyuluhan tentang rokok dan narkoba.
cairan anti serangga) yang terpisah dari tempat penyimpanan bahan pangan.
Tempat yang bersih dan tertutup untuk pengolahan dan persiapan penyajian
makanan.
Kasir berada di tempat khusus, minimal orang yang bertugas di kasir tidak
bertugas menyiapkan makanan karena kuman penyakit dapat tersebar ke makanan
vaksin DT dan vaksin TT mulai diberikan pada anak sekolah dasar sebagai bentuk
strategi jangka panjang pengendalian TN. Tahun 1998 imunisasi pada anak sekolah dasar
ini kemudian dikembangkan menjadi Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Sejak tahun
2011, dalam rangka penanggulangan kejadian luar biasa Difteri di Indonesia, maka
vaksin TT untuk anak sekolah dasar diganti menjadi vaksin Td.10
Pemantauan dan evaluasi dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi
dan pemerintah daerah kabupaten/kota dilaksanakan dengan menggunakan instrumen
Pemantauan Wilayah Setempat (PWS), Data Quality Self Assessment (DQS), Effective
Vaccine Management (EVM), Supervisi Suportif, KIPI, dan Recording and Reporting
(RR).
Tujuan dari evaluasi adalah untuk mengetahui hasil ataupun proses kegiatan bila
dibandingkan dengan target atau yang diharapkan. Beberapa macam kegiatan evaluasi
dilakukan secara berkala dalam imunisasi. Berdasarkan sumber data, ada dua macam
evaluasi :
a
penting
Cakupan per Tahun
Untuk setiap antigen grafik cakupan per tahun dapat memberikan gambaran
secara keseluruhan tentang adanya kecenderungan :
Tingkat pencapaian cakupan imunisasi
Indikasi adanya masalah
Acuan untuk memperbaiki kebijaksanaan atau strategi yang perlu diambil
Bulan imunisasi anak sekolah atau terkenal dengan sebutan BIAS yang berlangsung
pada bulan September sampai dengan November optimistis bisa mencapai target.
6
yang terjadi pada anak sekolah pada tahun 2012, serta modul buku pelatihan
penanggulangan gizi lebih pada anak sekolah pada thaun 2013, dan pelatihan
pencegahandan penanggulangan obeistas pada anak sekolah untuk petugas puskesmas
maupun Pembina Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan pihak-pihak lainnya yang terkait
dengan UKS pada tahun 2014. Akan tetapi, pada tahun 2010 jumlah prevalensi anak
sekolah usia 6 hingga 12 tahun sebesar 9,20 % yang terdapat diatas prevalensi nasional.
Belum adanya penanggulangan yang serius yang dilakukan oleh pemerintah untuk
IV.
1
Secara umum UKS bertujuan meningkatkan mutu pendidikan dan prestasi belajar peserta
didik dengan meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat serta derajat kesehatan peserta
didik. Program UKS di sekolah-sekolah sudah berjalan dengan baik terbukti dengan adanya
lomba UKS antar sekolah dimana tiap-tiap sekolah berlomba-lomba untuk membuat UKS
mereka masing-masing dengan melibatkan para siswa untuk menjadi UKS terbaik. Namun
saat ini, masih banyak anak usia sekolah yang belum mengerti dan belum dapat
mempraktikan perilaku hidup sehat, seperti lebih suka mengkonsumsi makanan tidak sehat
yang tinggi lemak, gula, garam, rendah serat, meningkatkan risiko hipertensi, diabetes
melitus dan obesitas, dan sebagainya. Perilaku hidup yang tidak sehat, seperti tidak mencuci
tangan terlebih dahulu sebelum makan yang memungkinkan masuknya bibit penyakit ke
dalam tubuh. Perilaku tidak sehat lainnya yang mengkhawatirkan adalah melakukan
pergaulan bebas, penggunaan narkoba, serta meningkatnya perokok pada usia anak sekolah.
Selain itu, perilaku kurang menjaga kesehatan lingkungan akan menimbulkan resiko mudah
terkena infeksi penyakit. Oleh karena itu, diperlukan fasilitas dan program pendidikan
perilaku hidup sehat dan pembinaan lingkungan sehat yang memadai dan terprogram dengan
baik, di sekolah dan di lingkungan masyarakat sekitar. Peranan UKS di sekolah seharusnya
lebih dioptimalkan untuk membantu mempromosikan kesehatan kepada peserta didik. Salah
satu faktor penting pembinaan promosi kesehatan di sekolah adalah peran serta Guru UKS.
Pembinaan kesehatan yang dilakukan oleh Guru UKS berada dibawah pengawasan
puskesmas. Oleh karena itu, puskesmas perlu turut serta dalam melakukan perencanaan,
pelatihan dan pengawasan dalam pelaksanaan program UKS. Pemerintah setempat juga perlu
menyediakan sarana dan prasarana UKS yang memadai, karena masih banyak sekolah yang
tidak memiliki ruang UKS. Selain itu, UKS dikenal pula sebagai program dari anak, oleh
anak, dan untuk anak sehingga perlu ditingkatkan juga peran serta peserta didik sebagai
subjek dan bukan hanya objek sehingga diharapkan peserta didik mampu menanamkan sikap
dan perilaku hidup sehat pada dirinya sendiri dan orang lain.
3
Dalam UU nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan diamanatkan bahwa pangan merupakan
kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia
dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan
pembangunan nasional. Oleh karena itu pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan
tersedia secara cukup merupakan prasyarat utama dalam upaya terselenggaranya suatu sistem
pangan yang memberikan perlindungan bagi kesehatan konsumen, kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Untuk memperoleh pangan yang bergizi dan aman tersebut, pemerintah
melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP) menyebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana dan prasarana
antara lain ruang kantin atau kantin sekolah. Hasil penelitian tentang sekolah sehat yang
dilakukan oleh Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani Depdiknas tahun 2007 pada 640 SD di
20 provinsi yang diteliti, sebanyak 40% belum memiliki kantin. Sementara dari yang telah
memiliki kantin (60%) sebanyak 84.3% kantinnya belum memenuhi syarat kesehatan. Selain
itu masih banyak ditemukan pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan
mutu kebersihan, kesehatan dan keamanan, sehingga dapat menimbulkan dampak yang tidak
baik bagi gizi dan kesehatan anak. Hasil pemantauan BPOM tahun 2011 menunjukkan ada
35.5% makanan jajanan anak sekolah tidak memenuhi syarat keamanan (Suratmono 2011).
Laporan surveilan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan BPOM
menunjukkan selama tahun 2004 di seluruh Indonesia telah terjadi kejadian luar biasa (KLB)
keracunan makanan sebanyak 164 kejadian di 25 provinsi yang mencakup 7.366 kasus dan
51 diantaranya meninggal dunia.22
Data pengawasan PJAS yang dilakukan Badan POM RI Direktorat Inspeksi dan
Sertifikasi Pangan bersama 26 Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia pada tahun 2007
menunjukkan bahwa 45% PJAS tidak memenuhi syarat karena mengandung bahan kimia
berbahaya seperti formalin, boraks, rhodamin, mengandung Bahan Tambahan Pangan (BTP),
seperti siklamat dan benzoat melebihi batas aman, serta akibat cemaran mikrobiologi. Data
KLB keracunan pangan Badan POM RI menunjukkan bahwa 19% kejadian keracunan terjadi
di lingkungan sekolah dan dari kejadian tersebut kelompok siswa Sekolah Dasar (SD) paling
sering (78,57%) mengalami keracunan PJAS.23 Dapat disimpulkan bahwa program ini masih
banyak masalah baik dari pihak sekolah dan dari pihak produsen makanan. Karena dari data
yang ada menyatakan bahwa masih banyak kantin sekolah yang belum memenuhi syarat
kesehatan bahkan masih ada sekolah yang tidak memiliki kantin sekolah. Dari pihak
produsen dan penjaja juga masih terdapat masalah karena masih terdapat makanan jajanan
anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan, seperti adanya kandungan bahan kimia
berbahaya, bahan tambahan pangan yang melebihi ambang batas aman pemakaian.
Tingginya konsumsi Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) oleh anak sekolah yang tidak
diikuti dengan penerapan cara produksi pangan yang baik (CPPB) oleh para penjaja pangan
berpotensi menyebabkan masalah keamanan pangan berupa bahaya fisik, bahaya kimia,
maupun bahaya mikrobiologi.
4
melindungi dari penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) sampai
usia anak sekolah dan sejak anak mulai memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan
terhadap tingkat kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika bayi. BIAS diselenggarakan
melalui Tim Pembina Usaha Kesehatan Sekolah (TP UKS), dimana imunisasi merupakan
salah satu komponen kegiatan UKS. Upaya imunisasi perlu terus ditingkatkan untuk
mencapai tingkat kekebalan masyarakat yang tinggi sehingga dapat memutuskan rantai
penularan PD3I.
6
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
-School-immunization.pdf
10. Eliminasi Tetanus Maternal & Neonatal. Buletin Jendela Data & Informasi
Kesehatan.2012;1.
11. Pusat Data dan Informasi kementerian kesehatan RI. Situasi dan analisis imunisasi.
Available
from
URL:
http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatinimunisasi.pdf
12. Kementerian Kesehatan
Republik
Indonesia.
Pedoman
pencegahan
dan
penanggulangan kegemukan dan obesitas pada anak sekolah. 2012. Available from
URL: http://www.gizi.depkes.go.id/download/Pedoman%20Gizi/Obesitas.pdf
13. Departemen Kesehatan, 2008, Riset Kesehatan Dasar 2007, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Jakarta. Departemen Kesehatan, 2009, Profil Kesehatan
Indonesia 2010
14. Badan Narkotika Nasional. Hasil penelitian penyalahgunaan narkoba pada kelompok
rumah tangga tahun 2006.
15. Musaiger 2011, Kemenkes RI 2011 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia .
2011. Jejaring Informasi Pangan dan Gizi. Volume XVII No.2 tahun2011
16. Musaiger 2011, Kemenkes RI 2011 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia .
2011. Jejaring Informasi Pangan dan Gizi. Volume XVII No.2 tahun2011
17. BPOM RI 2006 Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah
18. BPOM RI 2013 Laporan Tahunan BPOM, Kemenkes 2011. Pedoman keamanan
pangan di sekolah dasar