Anda di halaman 1dari 34

PROGRAM GIZI PADA ANAK SEKOLAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Program Gizi


Dosen Pengampu :
Nuryanto, S.Gz., M.Gizi
Hartanti Sandi W., S.Gz.

oleh:
Emil Yunia Susanti
Masda Simanjuntak
Ulfa Faila Sulfa
Luthfia Indra Fitriani
Juli Septianggreini
Nurul Istiqomah

22030113120013
22030113120033
22030113120039
22030113120043
22030113130069
22030113140083

Magnalia Morena Ruth


Maria Dolorosa
Yulia Puspitasari
Annisa Dinah Nurbaity
Sylvia Rahmi Putri

22030113130091
22030113140123
22030113130119
22030113140133
22030113130139

PROGRAM STUDI S1 ILMU GIZI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016
I.

PROGRAM GIZI PADA ANAK SEKOLAH

1. Program PMT-AS (Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah)


Program PMTAS diluncurkan dalam rangka percepatan pencapaian tujuan pembangunan

nasional yang terkait dengan:


Pengentasan gizi buruk (Insiden terhambatnya pertumbuhan fisik pada anak usia 6-14
tahun terjadi pada 13.3 persen anak laki-laki dan 10.9 persen anak perempuan di tahun

2010.1
Mencapai pendidikan untuk semua (angka putus sekolah di tingkat Sekolah Dasar

dibeberapa Provinsi melebihi 3 persen.2


Pengentasan kemiskinan (30 juta orang Indonesia berada di bawah angka garis
kemiskinan nasional

Pemberian Makanan Tambahan - Anak Sekolah (PMT-AS) memiliki tujuan sebagai berikut:

Memperbaiki asupan gizi


Memperbaiki ketahanan fisik
Meningkatkan kehadiran dan minat belajar
Meningkatkan kesukaan akan makanan daerah yang bergizi
Memperbaiki perilaku bersih dan sehat, termasuk kebiasaan makan yang sehat
Meningkatkan partisipasi masyarakat
Menambah pendapatan masyarakat melalui peningkatan penggunaan produksi setempat.

Selama tahun 2010 dan 2011, program tersebut dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag). Pada tahun 2010, sasaran
penerima dibatasi pada murid sekolah dasar umum/madrasah ibtidaiyah (SD/MI) kelas 1-6, dan
pada tahun 2011,anak prasekolah (TK/RA) ditambahkan ke dalam program tersebut. Pada tahun
2011, program tersebut dilaksanakan di 27 kabupaten dalam 27 provinsi, yang meliputi 1,2 juta
anak TK/SD dan 180.000 murid SD/MI.3 Pengalokasian dana untuk makanan tambahan bagi
sekolah umum (TK/SD) di wilayah barat adalah Rp 2.500 per porsi dan Rp 2.650 per porsi di
wilayah timur. Biaya satuan untuk madrasah (MI/SD) adalah Rp 2.250 untuk wilayah barat dan

Rp 2.600 untuk wilayah timur. Anggaran keseluruhan PMTAS pada tahun 2011 adalah sekitar Rp
300 miliar (US$34 juta dolar). Sasaran yang dijadwalkan pada tahun 2010 dan 2011 adalah 108
hari pemberian makan kepada anak (CFD). Program ini dimaksudkan untuk memberikan 15
persen Asupan Gizi Harian yang Dianjurkan (RDA) dari kalori (300 kalori) dan 10 persen RDA
dari protein (5 gram) melalui makanan tambahan yang disiapkan oleh petugas sekolah dan
anggota masyarakat setempat.
Kriteria yang diutamakan dalam memilih kabupaten di setiap provinsi adalah daerah tertinggal,
terpencil, dan kepulauan, kabupaten yang tinggi tingkat kemiskinannya dan kabupaten yang
tinggi persentase anak yang terhambat pertumbuhan fisiknya. Keputusan Presiden No. 1 tahun
2010 adalah dasar hukum dari PMT-AS.
Penilaian terhadap Indikator Kinerja Evaluasi4
Evaluasi atas efektivitas dan dampak program PMT-AS dilakukan dengan menilai
keberhasilan program dalam memenuhi enam belas indikator yang telah ditetapkan untuk
keperluan evaluasi. Efektivitas program diukur dengan menilai indikator yang
dikelompokkan berdasarkan masukan, proses, dan keluaran. Dampak program dinilai
melalui seperangkat indikator dampak yang mengukur sejauh mana program telah
meningkatkan kesehatan secara umum dan gizi murid, pengetahuan, sikap, dan perilaku
mereka mengenai hidup sehat, dan sejauh mana keadaan ini telah mempengaruhi prestasi
sekolah dan kehadiran murid di sekolah maupun pengaruh program terhadap masyarakat
secara keseluruhan.
1

Keadaan Gizi
Hasil telaah data kualitatif memerlihatkan adanya perbaikan dalam hal rata-rata
penurunan kelebihan dan kekurangan berat badan pada anak laki-laki maupun
perempuan di sembilan sampel kabupaten peserta program PMT-AS. Akan tetapi,
terdapat perbaikan besar dalam hal penurunan jumlah murid yang berberat badan
kurang di kabupaten pembanding dibandingkan dengan rata-rata pencapaian di sembilan
kabupaten sampel peserta program; penurunan dalam hal kelebihan berat badan kirakira sama pada laki-laki meskipun rata-rata perbaikan pada perempuan di sembilan
kabupaten peserta program sekitar 8 persen lebih tinggi dibandingkan pada perempuan
di kabupaten pembanding. Hasil telaah berbagai jenis data untuk mengukur perbaikan
status gizi menunjukkan bahwa sampai sekarang, program PMT-AS belum berdampak
nyata terhadap perbaikan keadaan gizi dan kesehatan anak sekolah secara umum.

Ketidakhadiran, Motivasi, dan Rentang Perhatian terhadap Pembelajaran


Data kuantitatif yang diambil dari rapor sekolah memerlihatkan bahwa rata-rata
kehadiran murid membaik di sembilan kabupaten peserta program pada akhir tahun
kedua program dibandingkan dengan data dasar yang berupa data kehadiran di 182
sekolah sampel pada semester sebelum program dimulai. Hasil telaah data kualitatif
yang diambil dari jawaban murid atas pertanyaan tertentu yang mengindikasikan bahwa
murid merasa lebih bersemangat untuk masuk sekolah dan belajar lebih giat serta
mereka merasa lebih mampu memahami pelajaran. Hasil telaah data menunjukkan
bahwa program PMT-AS berdampak positif terhadap semangat murid untuk masuk

sekolah lebih teratur dan lebih memperhatikan pelajaran.


Prestasi Akademis
Hasil telaah data kuantitatif menunjukkan bahwa program PMT-AS berdampak positif
terhadap prestasi sekolah murid. Pengaruh ini boleh jadi terkait dengan bertambahnya

semangat dan kehadiran murid yang disebabkan oleh program PMT-AS.


Pemberdayaan Masyarakat
Data kualitatif yang dihimpun di sampel daerah perserta program menunjukkan bahwa
program PMTAS telah memberdayakan anggota masyarakat tertentu melalui pembelian
dan pembagian bahan baku dan produk setempat, dan sampai tahap tertentu,
menghidupkan kembali PKK desa. Meskipun program PMT-AS hanya dilaksanakan
selama dua tahun (2010 dan 2011), namun terdapat cukup bukti bahwa program tersebut
memiliki nilai potensi yang besar. Tetapi, kegagalan dalam mematuhi jadwal pemberian
makanan pada hakikatnya mengakibatkan rendahnya pencapaian tujuan program. Hasil
telaah tersebut secara jelas menunjukkan bahwa program tersebut belum dilaksanakan
sepenuhnya sebagaimana diharapkan, terutama dikarenakan oleh keterlambatan
diterimanya dana di tempat sasaran, seperti sekolah, dan bahwa dalam banyak kasus,
jumlah dana yang diterima oleh sekolah tidak cukup untuk menyediakan makanan
tambahan yang sesuai dengan jadwal pemberian makanan tambahan serta dalam jumlah
yang diharapkan karena sasaran telah ditetapkan sebelum mulai tahun ajaran dan
sebelum diketahuinya jumlah tepat murid yang mendaftar sekolah. Pengalokasian dana
juga tidak mempertimbangkan adanya variasi dalam hal biaya dan ketersediaan produk
dan bahan baku yang diperoleh di daerah setempat. Bukti juga mengindikasikan masih

kurangnya pemahaman mengenai gizi di kalangan sebagian pelaksana program di


sekolah yang kemungkinan terutama disebabkan oleh tidak cukupnya pelatihan.
Kurangnya pelatihan juga menyebabkan tidak siapnya pelaksana dan pengelola program
untuk mempertimbangkan alternatif yang tepat apabila petunjuk teknis program tidak
dapat diikuti karena berbagai alasan yang bersifat lokal. Ketidaktersediaan dana yang
khusus diperuntukkan bagi pengelolaan pengram menyebabkan kurangnya koordinasi,
pemantauan, dan pelaporan. Semua hal ini berkontribusi pada kurangnya dampak yang
diharapkan terhadap perbaikan gizi.
2. Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) merupakan program kesehatan anak pada usia sekolah.
Anak pada usia sekolah adalah anak yang berusia 6 sampai dengan 21 tahun, yang sesuai
dengan proses tumbuh kembang peserta didik dibagi menjadi 2 sub kelompok, yakni pra
remaja (6-9) tahun dan remaja (10-19 tahun). Program UKS ini dilakukan secara lintas
sektoral maupun lintas program karena UKS merupakan salah satu upaya kesehatan
pengembangan di Puskesmas (Depkes, 2004). Hal ini sesuai dengan program kesehatan di
sekolah sebagai kesehatan masyarakat yang telah berkembang, dimana sekolah telah
memperluas perspektif kesehatannya secara keseluruhan yang telah menjadi perhatian utama
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 79 Ayat 1 menjelaskan
bahwa kesehatan sekolah diselenggara-kan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat
peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh,
dan berkembang secara harmonis dan setinggi-tingginya menjadi sumber daya manusia yang
berkualitas. Ayat 2 juga menjelaskan bahwa, kesehatan sekolah sebagaimana pada ayat (1)
diselenggarakan melalui sekolah formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain.
Terkait dengan surat keputusan bersama 4 menteri, yaitu menteri kesehatan, menteri
pendidikan,menteri agama, dan menteri dalam negeri Republik Indonesia Nomor :
1/U/SKB/2003, Nomor : 1067/Menkes/SKB/VII/ 2003, Nomor : MA/230 A/2003, Nomor :
26 Tahun 2003 tentang pembinaan dan pengembangan usaha kesehatan sekolah.
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) merupakan upaya membina dan mengembangkan
kebiasaan hidup sehat yang dilakukan secara terpadu melalui tiga program pokok yang
meliputi: pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan, dan pembinaan lingkungan kehidupan
sekolah sehat. Dalam mendukung pelaksanaan program pokok UKS di sekolah ataupun

pendidikan luar sekolah diperlukan program pendukung yaitu : ketenagaan, pendanaan,


sarana prasarana serta penelitian dan pengembangan, pembinaan serta pengembangan UKS
dilaksanakan oleh tim UK yang terdiri atas : tim pembina UKS pusat, tim pembina UKS
propinsi, tim pembina UKS kabupaten/kota, tim pembina UKS kecamatan, tim pembina
UKS di sekolah.5 UKS memiliki manfaat langsung terhadap peningkatan kesehatan anak
sekolah, dan memiliki potensi besar dalam penyuksesan program peningkatan derajat
kesehatan secara lebih luas. Hal ini disebabkan karena ana-anak usia sekolah merupakan
kelompok umur yang sangat rawan terhadap masalah gizi dan kesehatan seperti kebiasaan
cuci tangan pakai sabun, potong kuku, gosok gigi, dan membuang sampah sembarangan.
Kegiatan program UKS yang dilaksanakan antara pihak puskesmas dengan pengelola
sekolah melalui kegiatan: (a) Memberikan penyuluhan di sekolah, (b) Pemeriksaan
kesehatan (seperti mengukur TB, BB, Pemeriksaan gigi dan telinga), (c) Pemberian
Imunisasi DT untuk murid SD kelas 1 dan Imunisasi TT untuk murid kelas VI, (d) Bila
ditemukan anak yang sakit, anak tersebut dibawa berobat ke Puskesmas, (e)
Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berperan aktif dalam pelayanan kesehatan
(Kader Kesehatan Sekolah/ Dokter kecil) dan (f) Pengawasan sanitasi sekolah dan status gizi
anak sekolah. (Depkes, 1993)
Sekolah merupakan lembaga yang terorganisir dengan baik untuk membina dan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik fisik, mental, moral, maupun intelektual
sehingga mudah dijangkau dalam rangka pelaksanaan usaha kesehatan masyarakat. Bahkan
tak jarang, sekolah melalui anak didiknya mampu memengaruhi perilaku hidup sehat orang
tua anak didik tersebut. Penyelenggaraan Pembangunan kesehatan yang meliputi pelayanan
kesehatan tersebut perlu didukung antara lain oleh sumber daya tenaga kesehatan yang
memadai dari masyarakat dan pemerintah. Kebijakan Pengembangan Tenaga Kesehatan
adalah pedoman umum bagi perencanaan dan penyelenggaraan Pengembangan Tenaga
Kesehatan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan dengan lancar dan terpadu.
Pembinaan kesehatan lingkungan di sekolah adalah kegiatan yang digalakkan oleh guru
UKS dibawah pengawasan petugas puskesmas yang bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kesempatan, kemauan dan kemampuan siswa untuk meningkatkan derajat
kesehatannya menjadi lebih baik melalui program-program UKS. Salah satu faktor penting
pembinaan adalah peran serta Guru UKS. Kemampuan Guru UKS dipengaruhi oleh

perencanaan, pelatihan, dan pengawasan yang ditetapkan guna mencapai target UKS dalam
pembinaan kesehatan lingkungan di sekolah. Diharapkan peningkatan perilaku akan dapat
memengaruhi kegiatankegiatan bina lingkungan di sekolah dasar.
Pelaksanaan Program UKS
Program UKS yang dilakukan saat ini belum tersedianya waktu yang khusus,
sehingga masih menjadi kendala tersendiri bagi para guru maupun petugas dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan UKS maupun melakukan pembinaan kesehatan lingkungan
yang hanya dilaksanakan ala kadarnya karena tidak sesuai petugas puskesmas dengan
jumlah sekolah dimana petugas yang bertugas bukan yang berlatar belakang penyuluh atau
bukan kesehatan masyarakat tetapi bidan. Kondisi tersebut semakin jelas dengan tidak
tersedianya sarana dan prasarana UKS yang tidak memadai ini dapat dilihat bahwa sekolah,
utamanya sekolah dasar masih banyak yang tidak memiliki ruang UKS. Pencatatan dan
pelaporan yang masih/ kurang terpenuhi turut juga mendasari permasalahan dalam
pembinaan dan pengembangan UKS.

3. Program Gerakan Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)


Badan POM RI pada tahun 2008 melaksanakan Kegiatan Monitoring dan Verifikasi Profil
Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional. Survei dilaksanakan pada 4.500
SD di 79 Kab/Kota di 18 propinsi di Indonesia dan hasilnya menunjukkan ada 35.5%
makanan jajanan anak sekolah tidak memenuhi syarat keamanan. Bersamaan dengan
pencanangan PJAS secara nasional, Badan POM telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional
Gerakan menuju PJAS yang aman, bermutu dan bergizi yang terintegrasi dan komprehensif
melalui pencanangan oleh Bapak Wakil Presiden RI pada tanggal 31 Januari 2011. Tujuan
dari rencana aksi ini adalah peningkatan keamanan, mutu dan gizi PJAS melalui kemandirian
komunitas sekolah dalam mengawasi PJAS dilingkungannya. Salah satu bentuk AN PJAS
adalah program pengawasan PJAS berupa sampling dan analisis sampel PJAS dari kantin dan
penjaja makanan di lingkungan sekolah.6 Indikator Kinerja Utama (IKU) aksi nasional ini
adalah persentase PJAS yang memenuhi syarat keamanan pada tahun 2012, 2013 dan 2014
masing-masing 70, 80, 90% di SD/ MI.7
Rencana Aksi Nasional Gerakan menuju PJAS yang aman, bermutu dan bergizi ini
dilaksanakan melalui promosi keamanan pangan melalui komunikasi, penyebaran informasi,

dan edukasi bagi komunitas sekolah termasuk guru, murid, orangtua murid, pengelola kantin
sekolah, dan penjaja PJAS, meningkatkan pengetahuan dan k'eterampilan dalam pengolahan
dan penyajian PIAS yang benar, peningkatan pengawasan keamanan pangan yang
dilaksanakan secara mandiri oleh komunitas sekolah, dan pemberdayaan masyarakat
termasuk penerapan sanksi social (social enforcement).
Pelaksanaan Program dan Capaian terhadap IKU7
Hasil pengujian 10.429 sampel PJAS yang diambil di seluruh Indonesia menunjukkan
76,18% sampel memenuhi syarat dan 23,82% sampel tidak memenuhi syarat. Dari tahun
2010-2013 persentase PJAS yang memenuhi syarat mengalami peningkatan dari 55,52%
menjadi 80,79%. Sedangkan pada tahun 2014 terjadi penurunan persentase PJAS yang
memenuhi syarat, yaitu sebesar 76,18%.
Bila dilihat gambar di bawah ini maka diketahui bahwa untuk tahun 2011, 2012 dan 2013
capaian IKU sudah tercapai yaitu 64,54%, 76,11% dan 80,79%. Sedangkan pada tahun
2014 capaian IKU tidak tercapai, yaitu 76,18% sementara targetnya 90%.

Pada tahun 2014 ini, Aksi Nasional PJAS dengan tema Sehat Duniaku Menuju
Generasi Emas yang Sehat dan Berkualitas untuk memperluas cakupan. Aksi Nasional PJAS
tahun 2014 bekerja sama dengan beberapa pihak yang terkait guna memperluas cakupannya,
seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
dan Menengah, serta pihak swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).8

4. Program Pembinaan Kantin Sekolah Sehat


Hasil penelitian tentang sekolah sehat yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan Kualitas
Jasmani Depdiknas tahun 2007 pada 640 SD di 20 provinsi yang diteliti, sebanyak 40%
belum memiliki kantin. Sementara dari yang telah memiliki kantin (60%) sebanyak 84.3%
kantinnya belum memenuhi syarat kesehatan. Pada tahun 2009 Direktorat Pusat
Pengembangan Kualitas Jasmani Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) melalui
Permendiknas Nomor 57 Tahun 2009 mengembangkan program sekolah sehat melalui
pemberian bantuan pengembangan sekolah sehat yang salah satu cirinya memiliki kantin
sehat pada sekolah-sekolah di Indonesia. (Kemenkes RI, 2011) Progam kantin sehat adalah
program yang diadakan untuk mengintervensi kasus jajanan yang tidak memenuhi syarat dan
berbahaya pada anak sekolah, dengan cara merevitalisasi kantin sesuai dengan syarat
keamanan pangan dan mensosialisasikan makanan yang sehat dan bergizi. Dan di tahun 2009
program kantin sehat dilaksanakan kepada 288 sekolah pada 7 provinsi dan pada 2010
program kantin sehat dikembangkan pada setiap provinsi di Indonesia serta dijalinnya
kerjasama antara Kemendiknas dan BPOM. Kemendiknas dan BPOM memberikan
bimbingan kepada guru dan pengelola kantin mengenai makanan yang sehat dan bergizi,
serta memberi bantuan dana sebesar 30 juta rupiah untuk memperbaiki kantin agar memenuhi
syarat kantin sehat.2
Menurut Kemendiknas (2009), kantin sehat secarafisik memiliki persyaratan sarana
dan prasarana seperti sumber air bersih, tempat penyimpanan, tempat pengolahan, tempat
penyajian dan ruang makan, fasilitas sanitasi, perlengkapan kerja dan tempat pembuangan
limbah. Pengawasan teratur pada kantin sehat merupakan salah satu syarat lain yang harus
dilakukan oleh semua pihak sekolah. Kantin sehat juga diadakan untuk memberi
pengetahuan kepada seluuruh warga sekolah mengenai pemilihan makanan yang sehat dan
bergizi. Kemendiknas, BPOM, dan perguruan tinggi memberi bimbingan teknis kepada guru
dan pengelola kantin sekolah dalam memilih dan mengolah makanan yang sehat dan bergizi
bagi anak. Sosialisasi kantin sehat terhadap anak untuk memberi pengetahuan kepada anak
mengenai jajanan yang baik dan tidak.2
Tujuan dari diadakannya program ini adalah untuk memberdayakan masyarakat
sekolah untuk menjaga keamanan makanan jajanan anak sekolah, menata kantin sehat di

sekolah sesuai dengan standar kesehatan dan untuk terus memonitor dan mengevaluasi
pelaksanaan kantin sehat di sekolah. (Kemenkes RI, 2011)

5. BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah)


Pada tahun 1998, Departemen Kesehatan, Pendidikan, Departemen Agama dan Negara
meluncurkan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Ketika diperkenalkan pada tahun 1998,
tujuan BIAS dinyatakan sebagai kontrol jangka panjang tetanus, untuk memeberikan
kekebalan secara khusus seumur hidup terhadap tetanus kepada semua anak SD serta untuk
mendukung difteri. BIAS dirancang menjadi kegiatan rutin berkelanjutan untuk
mengeliminasi tetanus.9 Terdapat kebijakan resmi, pedoman operasional dari tingkat nasional
untuk tenaga kesehatan dan guru, agar berpartisipasi dan bertanggung jawab kepada
Kementerian, anggaran dari pusat kesehatan dan tingkat kabupaten, perlengkapan vaksin
yang disediakan dari Jakarta.
BIAS diperkenalkan di semua sekolah dasar negeri dan swasta tanpa adanya proses
pentahapan. Depkes diberi tanggung jawab untuk kebijakan, pelayanan dan evaluasi.
Departemen Pendidikan dan Departemen Agama menangani mobilisasi sosial. Kementerian
Dalam Negeri, melalui pemerintah dan kota kantor lokal, bertanggung jawab untuk menutupi
biaya operasional. Pemimpin tim UKS pada setiap tingkat untuk mengkoordinasikan dan
memantau pelaksanaan program kesehatan sekolah terpadu secara keseluruhan, termasuk
BIAS.
Di dalam Departemen Kesehatan, staf bertanggung jawab atas promosi kesehatan pada
setiap tingkat setelah UKS. Namun Expanded Program on Imunization (EPI) diberikan
tanggung jawab pada setiap tingkat untuk melaksanakan BIAS. Walaupun BIAS terintegrasi
dalam struktur UKS yang ada, mayoritas responden ditingkat bawah menunjukkan
keberadaan struktur UKS membantu, tapi sebenarnya tidak diperlukan untuk adopsi BIAS,
karena petugas kesehatan merasa mereka mampu menjalin hubungan baik dengan pihak lokal
sendiri.
Faktor-faktor pemungkin adanya BIAS di Indonesia, yaitu:
- Adanya pendidikan wajib, gratis di sekolah umum
- Pendaftaran yang tinggi anak perempuan dan laki-laki di sekolah dasar awal (sekitar
-

95%)
Kepadatan yang tinggi di puskesmas dan tenaga kesehatan
Cakupan imunisasi bayi yang tinggi

Vaksin dan perlengkapan lainnya 9jarum suntik auto-disable dan kotak pengaman)
dibiayai 100% oleh Depkes.
BIAS dikelola, disediakan dan dilaksanakan tanpa keterlibatan teknis atau keuangan dari

lembaga mitra multilateral atau bilateral. Depkes bangga karena kemandirian ini dan apa
yang dilakukan secara rutin setiap tahun dengan BIAS. Menurut rancangan komprehensif
Rencana Multi-Tahun (CMP), melaporkan cakupan vaksinasi di sekolah-sekolah melalui
BIAS mulai tahun 2003 telah sekitar 95% setiap tahun.
Kegiatan imunisasi di sekolah diseluruh Indonesia dilaksanakan dengan pemberian
imunisasi DT (Difteri Tetanus) pada anak kelas 1 SD/MI dan TT (Tetanus Toksoid) pada
anak kelas 2 s/d 6 SD/MI. Masih terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan
menyerang ank usia yang lebih tua, maka pemberian imunisasi campak pada awal masa
sekolah diharapkan dapat mengendalikan penyakit campak yang penularannya sangat
potensial terjadi dilingkungan sekolah serta memutuskan mata rantai penularan kepada
Balita. Maka tahun 2003 mulai diberikan imunisasi campak pada anak sekolah dengan dosis
awal diberikan pada anak kelas 1 s/d 6 SD/MI dan tahun berikutnya diteruskan pada anak
kelas 1 saja.10
Mengapa BIAS DT/TT Diimplementasikan?
a. Imunisasi dasar (DPT 3x) menghasilkan imunitas sampai usia anak-anak <5 tahun
b. Institut Kesehatan nasional dan Penelitian Pengembagan (Badan Litbangkes) melakukan
studi serologi antara usia 4-5 tahun pada tahun 1996 di Papua dan Kalimantan Tengah,
c.
d.
e.
f.

mengungkapkan bahwa tingkat kekebalan terhadap difteri menurun (74-77%)


Membutuhkan dosis booster untuk difteri
TT2 rendah + cakupan antara CBAW
Sebagai bagian dari Program Kesehatan Sekolah (UKS) yang ada sejak 1956
Tingkat paertipasi sekolah >95% (laki-laki dan perempuan)

Mengapa BIAS untuk Campak Diimplementasikan ?


a. Badan Litbangkes tudi serologi anak-anak sekolah pada tahun 1997 di Yogyakarta,
Ambon, Palu, menunjukkan hanya 72% dari anak-anak terlindungi dari campak
b. Data survey menunjukkan proporsi yang tinggi (52-79%) kasus campak di Jawa Timur
pada tahun 1996 antara anak-anak sekolah (5-14 tahun).

c. Pada 1998-2000 data pengawasan menunjukkan 40% kasus campak secara nasional
berapa pada anak-anak di atas usia 5 tahun.
d. Sebagai strategi pengendalaian campak: dengan vaksin campak 2 dosis.
Pemberian imunisasi Campak dilaksanakan pada bulan Agustus sedangkan imunisasi
DT dan TT pada bulan November. Dalam perkembangannya terjadi perubahan jadwal
dan jenis imunisasi dalm program BIAS dari tahun ke tahun, sebagai berikut:11

Evolusi Bias
BIAS terus berkembang dan berinovasi. Mulai tahun 2000, merupakan suatu
strategi transisi, semua siswa sekolah dasar (kelas satu-enam) sekitar 6-12 tahun bersama
dengan anak-anak seumuran namun tidak terdaftar, menerima satu dosis vaksin campak.
Hal ini disebut kampanye campak untuk kesempatan kedua. Sekolah digunakan untuk
mencapai siswa, anak-anak yang tidak terdaftar 6-12 tahun dan anak-anak berusia 6-59
bulan divaksinasi di puskesmas atau posyandu.
Kampanye ini diperkenalkan provinsi secara bergulir, dengan 3 provinsi pada
tahun 2000, 4 provinsi tahun 2003, 8 tahun 2004, 2 tahun 2005, 8 tahun 2006 dan 8 tahun
2007. Setelah kampanye selesai dari provinsi ke provinsi, dengan cakupan kampanye
berkisar antara 90%-98% d isemua kelas, imunisasi campak rutin dengan 2 dosis telah
bertahap dilakukan selama bulan Agustus pada saat sekolah pada saat sekolah masuk ke
kelas 1 dalam rangka mempertahankan kekebalan.
6. Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah
Kegemukan dan obesitas terjadi akibat asupan energi lebih tinggi daripada energi yang
dikeluarkan. Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan sumber energi dan
lemak tinggi, sedangkan pengeluaran energi yang rendah disebabkan karena kurangnya

aktivitas fisik dan sedentary life style. Hasil RISKESDAS tahun 2010 menunjukkan
prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak sekolah (6-12 tahun) sebesar 9,2%. Hasil
penelitian di beberapa kota menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan prevalensi
kegemukan dan obesitas. Hasil penelitian di Yogyakarta menunjukkan adanya peningkatan
prevalensi hampir dua kali lipat dalam waktu lima tahun.
Pencegahan dan Penanggulangan kegemukan dan obesitas pada anak sekolah merupakan
suatu upaya komprehensif yang melibatkan stakeholder yang ada di wilayah. Stakeholders
mempunyai peran sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangan, melalui koordinasi
dengan kepala Puskesmas. Kegiatan Pencegahan dan Penanggulangan kegemukan dan
obesitas pada anak sekolah meliputi promosi, penemuan dan tatalaksana kasus yang dalam
pelaksanaannya melibatkan anak, orangtua, guru, komite sekolah dan stakeholder.12
A. Persiapan
1 Pertemuan Koordinasi lintas sektor terkait
2 Penyiapan tim tenaga pelaksana
3 Pertemuan pembahasan perencanaan kegiatan
4 Penentuan jumlah sasaran
5 Perhitungan kebutuhan logistik : Timbangan, Microtoise, Formulir, Tabel IMT,
6
7

food model, materi KIE, pencatatan dan pelaporan,dll


Penyusunan jadwal kegiatan
Penyusunan Mekanisme kerja dan pembagian tugas serta tanggungjawab masingmasing sektor terkait.

B. Pelaksanaan
1 Pencegahan
Pencegahan dilakukan melalui pendekatan kepada anak sekolah beserta orang-orang
terdekatnya (orang tua, guru, teman, dll) untuk mempromosikan gaya hidup sehat
meliputi pola dan perilaku makan serta aktivitas fisik. Usaha pencegahan dimulai dari
lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan.
Lingkungan sekolah merupakan tempat yang baik untuk pendidikan kesehatan yang
dapat memberikan pengetahuan, keterampilan serta dukungan sosial dari warga
sekolah. Pengetahuan, keterampilan serta dukungan sosial ini memberikan perubahan
perilaku makan sehat yang dapat diterapkan dalam jangka waktu lama. Tujuan
2

pencegahan ini adalah terjadinya perubahan pola dan perilaku makan.


Penemuan dan Tata Laksana Kasus

Penemuan kasus
Dilaksanakan setiap tahun melalui kegiatan ppenjaringan kesehatan sekolah.
Langkah-langkah kegiatan:
1 Pengukuran antropometri
Meliputi BB, TB, data yang diperoleh dilaporkan ke Puskesmas, untuk
2

ditentukan status gizinya dan tindak lanjut.


Penentuan status gizi (di Puskesmas)
Seperti menghitung IMT dan membandingkan nilai IMT dengan grafik IMT/U
berdasarkan standar WHO 2005.
Tindak lanjut
Kesimpulan hasil penjaringan kesehatan di sekolah termasuk
hasil pemeriksaan status gizi disampaikan kepada orang tua
dalam amplop tertutup melalui sekolah dengan ketentuan
sebagai berikut:
a Jika ditemukan anak sekolah dengan status gizi kurus, maka anak
b

dirujuk ke Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.


Jika ditemukan anak sekolah dengan status gizi normal, maka

dianjurkan untuk melanjutkan pola hidup sehat.


Jika ditemukan anak sekolah dengan status gizi gemuk atau obesitas,

maka anak dirujuk ke puskesmas untuk pemeriksaan lebih lanjut.


Tata Laksana kasus Kegemukan dan Obesitas di Puskesmas
Tatalaksana kasus kegemukan dan obesitas ditujukan bagi anak sekolah yang
tergolong gemuk atau obesitas . Langkah-langkah kegiatan tata laksana :
1 Melakukan assesment (anamnesa riwayat penyakit dan penyakit keluarga,
pengukuran antropomentri dan status gizi, pemeriksaan fisik, laboratorium
2

sederhana, anamnesa riwayat diet).


Bila hasil assesment menunjukkan anak mengalami kegemukan dan obesitas
dengan komorbiditas (hipertensi, diabetes melitus, sleep apnea, Blount disease

dan lain-lain), maka dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut.
Bila hasil assesment menunjukkan anak mengalami dan obesitas tanpa
komorbiditas maka dapat dilakukan tatalaksana kegemukan dan obesitas di

4
5

Puskesmas.
Melakukan konseling gizi kepada anak dan keluarga agar melaksanakan pola
hidup sehat selama 3 bulan.
Lakukan evaluasi pada 3 bulan pertama.
- Bila berat badan anak turun atau tetap maka dianjurkan untuk
meneruskan pola hidup sehat dan dilakukan evaluasi kembali setiap 3
bulan.

Bila berat badan anak naik , maka dilakukan kegiatan pengaturan berat
badan yang terstruktur di puskesmas. Seperti menyusun menu diet
khusus, melakukan latihan fisik terprogram, membuat catatan kegiatan
harian yang berisi: asupan makan di rumah atau di luar rumah, aktifitas

fisik, aktifitas nonton TV, bermain dan lain-lain.


6 Lakukan evaluasi setelah 3 bulan
C. Monitoring dan Evaluasi
Aspek yang dipantau
1 Input
Aspek yang dipantau dalam hal ini adalah : jumlah tenaga pelaksana
terlatih,kelengkapan alat, materi dan metode pemantauan yang
digunakan.
2 Proses
Aspek proses yang perlu dipantau adalah : jenis kegiatan, target
kegiatan,frekuensi kegiatan, umpan balik.
3 Output
Terlaksananya kegiatan penanggulangan kegemukan dan obesitas pada anak sekolah.
Pelaksana pemantauan
1 Dinas Kesehatan dan Puskesmas
2 TP-UKS
3 Komite Sekolah
Waktu pemantauan
1 Satu kali setahun oleh petugaspuskesmas
2 1 bulan sekali oleh petugas UKS yang terlatih penanggulangan gizi lebih.
3 Pencatatan dan pelaporan hasil pemantauan terintegrasi dengan kegiatan penjaringan
kesehatan anak sekolah.
Instrument pemantauan
Dalam pelaksanaan pemantauan kegiatan monitoring dan evaluasi
dipergunakan instrument pemantauan sebagai berikut :

II.
1

PELAKSANAAN PROGRAM SAAT INI


Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
UKS berperan penting dalam tercapainya pendidikan kesehatan dalam meningkatkan
kesadaran peserta didik akan budaya hidup sehat. Salah satunya dengan penanaman dan
penerapan perilaku hidup sehat. PHBS di sekolah bermanfaat untuk menciptakan lingkungan
sekolah yang bersih dan sehat agar terhindar dari ancaman penyakit dan meningkatkan
semangat belajar agar tercapai prestasi belajar yang baik. Namun saat ini, masih banyak anak
usia sekolah yang belum mengerti dan dapat mempraktikan PHBS. Padahal masalah
kesehatan yang dihadapi oleh anak usia sekolah dan remaja sangat kompleks dan bervariasi.
Pada anak usia TK dan SD biasanya berkaitan dengan kebersihan perorangan dan
lingkungan seperti gosok gigi yang baik dan benar, kebiasaan cuci tangan pakai sabun,
kebersihan diri. Menurut hasil riskesdas 2007 status kesehatan gigi pada anak usia 12 tahun
masih belum memuaskan. Prevalensi karies gigi dalam 12 bulan terakhir di Indonesia adalah
46,5% dan yang mempunyai pengalaman karies sebesar 72,1%. Kemudian adanya penyakit
kulit dan pencernaan yang terjadi masih cukup besar. Kasus diare pada anak terjadi 50,89%,
penyakit dermatitis 41,50%, penyakit cacingan 56,80%.13 Pada anak usia remaja masalah
PHBS berkaitan dengan kebiasaan merokok dan penyalah gunaan narkoba.Menurut data
Riskesdas (2010) terdapat peningkatan jumlah perokok pemula usia remaja sebesar 33,1 %

pada tahun 2007 menjadi 43,3 % di tahun 2010. Hal ini menempatkan perokok pemula usia
remaja menempati urutan tertinggi di antara semua rentang usia. Kecanduan merokok tidak
jarang menghantarkan remaja menuju bentuk penyalahgunaan narkoba. Survei Badan
Narkotika Nasional (2009) bahwa dalam rentang tahun 2003-2009, penyalahgunaan narkoba
terbanyak yaitu pada tingkat SLTA sebanyak 63,14%.14
2

PJAS (Pangan Jajanan Anak Sekolah)


Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) memegang peranan strategis sebagai salah satu sumber
penyumbang asupan gizi bagi anak di sekolah. Selain itu seiring dengan perkembangan
zaman, siswa lebih cenderung senang dengan makanan jajanan di luar rumah dan sudah
menjadi kebutuhan primer bagi anak sekolah.15
Makanan jajanan cenderung mempunyai kandungan yang lebih tinggi dalam energi total,
lemak total, kolesterol, lemak jenuh, dan sodium, tetapi memiliki kandungan calcium dan
serat yang rendah. Berdasarkan hasil Kegiatan Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan
Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional yang dilakukan BPOM tahun 2008 diketahui
total konsumsi pangan jajanan sekolah para siswa menyumbang sebesar 31 % energi dan 27.
4% protein dari konsumsi pangan harian.16
Namun masih banyak PJAS yang belum memenuhi standar keamanan pangan. Masalah
keamanan pangan yang terjadi dapat disebabkan karena adanya bahan berbahaya dan syarat
higienitas pangan jajanan belum terpenuhi. Terjadinya masalah tersebut dikarenakan banyak
penjual yang mengabaikan kaidah-kaidah keamanan pangan dalam berbagia aspek
penanganan pangan baik itu mulai dari bahan baku, produksi, penyimpanan, penyajian
sampai distribusi. Faktor lainnya adalah karena ketidaktahuan konsumen dalam hal ini anak
sekolah mengenai tingkat keamanan pangan jajanan yang mereka beli.17
Menurut hasi pengawasan kualitas PJAS nasional yang dilakukan BPOM pada tahun
2013 menunjukkan bahwa sebanyak 19,21 % PJAS dari 15.917 sampel yang diuji tidak
memenuhi syarat (TMS). Penyebab sampel yang tidak memenuhi syarat dikarenakan
menggunakan bahan berbahaya yang dilarang untuk pangan, menggunakan BTP melebihi
batas maksimal, mengandung cemaran logam berat melebihi batas maksimal dan kualitas

mikrobiologis yang tidak memenuhi syarat. 18


Program Pembinaan Kantin Sekolah Sehat
Meskipun pemerintah sudah mensosialisasikan program ini, tetap saja belum semua sekolah
menerapkan kantin sehat. Sosialisasi dari pemerintah masih perlu digalakkan lagi, karena
menegingat banyaknya sekolah yang dimiliki Indonesia. Terutama sekolah-sekolah yang

letaknya terpencil. Sekolah-sekolah ini rawan tidak mengetahui informasi tersebut, walau
beberapa sekolah sudah dijadikan sebagai sekolah percontohan kantin sehat. Pelaksanaan
program kantin sehat.
Saat ini, pelaksanaan kantin sehat di sekolah belum dilaksanakan oleh seluruh sekolah
yang ada di Indonesia. Banyak sekolah yang belum menerapkan program ini. Program tidak
dilaksanakan bisa jadi karena sekolah yang tidak mengetahui adanya program kantin sehat.
Selain itu, keterbatasan sumber daya guna membangun kantin sehat itu sendiri masih kurang
untuk beberapa sekolah yang memiliki keterbatasan dana. Pada daerah terpencil saja masih
banyak sekolah yang belum memiliki kantin, sehingga pelaksanaan kantin sehat jelas belum
bisa dilakukan. Kedepannya pemerintah yang dibantu oleh pemerintah daerah perlu
memperhatikan lagi sekolah-sekolah supaya dapat membangun kantin sehat. Dan
ketersediaan makanan untuk anak-anak sekolah pun dapat lebih terjamin kesehatan dan
keamanan pangannya.
5

BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah)


Pelaksanaan imunisasi yang dilakukan pada anak Sekolah Dasar sudah baik pelaksanaanya.
Hampir semua anak usia usia 6-12 tahun, baik yang di sekolah maupun tidak telah
mendapatkan imunisasi DT/TT dan campak. Hanya sebagian anak saja yang belum atau tidak
mendapatkan imunisasi ini. Bisa jadi orang tuanya yang enggan memberikan imunisasi
kepada anaknya karena kepercayaan tertentu, atau bisa jadi karena orang tua/wali sama sekali
tidak mendapatkan informasi mengenai imunisasi ini, sehingga pemberian imunisasi kepada
si anak menjadi terlewat. Pemerintah sudah menyebarluaskan informasi kepada masyarakat
untuk memberikan imunisasi kepada anak mereka. Untuk kedepannya, pemerintah tetap
perlu memberikan informasi kepada masyarakat melalui media masa mengenai imunisasi.
Informasi yang diberikan bisa menjadi pengingat kepada masyarakat untuk tidak melewatkan
imunissasi, sehingga penyakit-penyakit tersebut dapat dicegah kejadiannya.

Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah


Kegemukan dan obesitas pada anak telah menjadi salah satu masalah kesehatan di banyak
negara. Prevalensi obesitas di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya mencapai
tingkat yang membahayakan. Menurut data Riskesdas 2013 prevalensi anak gemuk dan
obesitas usia 5-12 tahun 18,8%, usia 13-15 tahun 10,8 %, dan usia 16-18 tahun 7,3 %. Hasil
penelitian di beberapa kota menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan prevalensi

kegemukan dan obesitas. Pada anak sekolah di wilayah Surakarta diperoleh hasil prevalensi
anak dengan kegemukan 12,4% dan obese 11,2%. Hasil penelitian di Yogyakarta
menunjukkan adanya peningkatan prevalensi hampir dua kali lipat dalam waktu lima tahun.19
Masalah obesitas pada anak adalah masalah yang kompleks. Banyak faktor yang
berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak. Upaya penanganan obesitas pada anak
merupakan isu yang masih penting sampai saat ini, karena obesitas yang terjadi pada masa
anak ataupun remaja memiliki risiko tinggi terhadap angka kesakitan berbagai macam
penyakit sebagaimana terjadi pada orang dewasa. Suatu studi yang pernah dilakukan
menunjukkan adanya peningkatan secara signifikan kadar gula darah puasa, insulin, dan
trigliserida serta peningkatan prevalensi gangguan toleransi glukosa dan hypertensi systolik
pada anak yang mengalami obesitas (BMI 95th percentile).20 Berdasarkan hal tersebut,
masalah kegemukan dan oobesitas di Indonesia menjadi hal yang serius dan perlu dilakukan
intervensi secara komprehensif.
III.

KETERCAPAIAN PROGRAM
1

PMT-AS
Tujuan umum dilakukan pengkajian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas program
PMT-AS dan dampaknya terhadap kesehatan secara umum dan gizi murid, dan sejauh
mana keadaan ini mempengaruhi prestasi sekolah dan kehadiran murid di sekolah.
Tujuan khusus studi evaluasi PMT-AS ini adalah untuk:
a Menilai asupan gizi guna menentukan seberapa banyak untuk menutupi kekurangan
gizi
b Mengevaluasi sikap dan perilaku dalam menghargai makanan setempat
c Menilai perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
d Memperkirakan ketahanan fisik
e Mengevaluasi motivasi belajar
f Memperkirakan tingkat ketidakhadiran murid karena sakit
g Menilai prestasi belajar
h
Menentukan pemberdayaan masyarakat setempat
i Menentukan perubahan perekonomian setempat.
Kerangka pemikiran digunakan sebagai dasar untuk menyusun metodologi evaluasi.
Dengan metodologi ini, enam belas indikator khusus ditetapkan untuk menilai
keseluruhan kinerja program PMT-AS. Indikator ini dikelompokkan menurut masukan,
proses, keluaran, dan hasil/dampak. Baik data kuantitatif maupun kualitatif dikumpulkan
dan ditelaah. Data kualitatif dikumpulkan dari wawancara dan diskusi kelompok terarah

dengan pengelola, pelaksana, dan penerima manfaat program. Data kuantitatif


dikumpulkan dari rapor sekolah, berbagai dokumen pemerintah, dan basis data statistik
lainnya. Survei ini dilakukan di 246 sekolah di sembilan kabupaten di beberapa provinsi
sebagai berikut: Bengkulu; Kepulauan Bangka-Belitung; Jawa Barat; Kalimantan
Tengah; Nusa Tenggara Timur; Sulawesi Tengah; Sulawesi Barat; Maluku Utara; dan
Papua Barat. Dampak program dinilai melalui seperangkat indikator dampak yang
mengukur sejauh mana program telah meningkatkan kesehatan secara umum dan gizi
murid, pengetahuan, sikap, dan perilaku mereka mengenai hidup sehat, dan sejauh mana
keadaan ini telah mempengaruhi prestasi sekolah dan kehadiran murid di sekolah maupun
pengaruh program terhadap masyarakat secara keseluruhan.
1 Masukan
a Administrasi Pendanaan dan Penetapan
Sasaran Hasil telaah memperlihatkan bahwa karena keterlambatan sekolah dalam
menerima dana dan karena peraturan pelaporan keuangan dari Kementerian
Keuangan, tidak satu pun sekolah sampel mampu mengikuti pedoman program, yang
mensyaratkan agar setiap anak menerima makanan tambahan tiga kali per minggu
selama 108 hari dalam kurun waktu dua semester. Dalam banyak kasus, jumlah dana
yang diterima oleh sekolah tidak mencukupi untuk penyediaan makanan tambahan
sesuai dengan jadwal pemberian makanan dan dalam jumlah yang diharapkan karena
sasaran ditetapkan sebelum tahun ajaran dimulai dan jumlah tepat murid yang
mendaftar sekolah belum diketahui. Sebagian sekolah di daerah terpencil menemui
kesulitan untuk mengambil dana dari kantor pos. Akibatnya, program tidak dapat
dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan sehingga berdampak negatif terhadap
peningkatan kesehatan dan gizi anak sebagaimana diinginkan. Sebagai perbandingan
dengan program Makanan untuk Pendidikan di negara lain, sasaran biaya satuan
dalam PMT-AS tidak tepat karena pendanaan jauh lebih banyak daripada yang
diperlukan untuk program biskuit siap makan yang diperkaya dengan nutrisi
tambahan, tetapi mungkin terlalu sedikit untuk makan sehat yang disiapkan di
langsung sekolah dalam program Makanan untuk Pendidikan - model PMT-AS.
b Petunjuk Pelaksanaan
Pada tahun 2011, program ini menerbitkan lima petunjuk teknis. Tidak ada tandatanda bahwa petunjuk tersebut digunakan atau bahkan dibagikan ke seluruh
tingkat: provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, sekolah. Kurangnya petunjuk

pelaksanaan akan membawa pengaruh negatif pada pengelolaan dan administrasi


program.
2

Proses
a Pengelolaan dan Pemantauan Program
Telaah data kualitatif menunjukkan kurangnya koordinasi program antar
jenjang, pemantauan dan pelaporan, dan jaminan mutu, terutama karena
kurangnya dana yang secara khusus diperuntukkan keperluan ini. Sebagian
pejabat program tingkat provinsi dan kabupaten tidak mengetahui adanya
petunjuk teknis yang seharusnya merupakan hal yang mutlak diperlukan
dalam program pelatihan. Kurang memadainya pengelolaan program secara
b

keseluruhan berpengaruh negatif pada pelaksanaan program.


Administrasi Program
Keterlambatan dalam penyerapan dana menyebabkan administrasi program
menjadi tidak memadai. Dana diterima mendekati akhir tahun sehingga
terpaksa digunakan dengan cara yang tidak sesuai dengan petunjuk teknis agar
laporan keuangan pada akhir tahun anggaran dapat disusun sebagaimana

disyaratkan oleh Kementerian Keuangan.


Pelatihan
Pengelola dan pelaksana program di tingkat desa/sekolah melaporkan bahwa
program pelatihan tidak tertata dengan baik dan materi tidak disampaikan
dengan jelas dan lengkap; sehingga, mereka tidak dapat sepenuhnya
memahami petunjuk teknis serta peran dan tanggung jawabnya masingmasing dalam melaksanakan program tersebut. Tidak memadainya program
pelatihan menyebabkan ketidakberhasilan pelaksanaan aspek-aspek penting
dalam program PMT-AS seperti kurangnya pemahaman tentang nilai gizi dari
makanan tambahan.

Hasil
a Pembagian Obat Cacing
Pembagian obat cacing telah dihapuskan dari program PMT-AS. Hasil telaah
menunjukkan bahwa sebagian besar sekolah di kabupaten sampel tidak
b

menerima obat tersebut secara rutin.


Nilai Gizi Makanan Tambahan

Hasil telaah atas nilai gizi makanan tambahan di sekolah sampel menunjukkan
bahwa nilai gizi makanan tambahan PMT-AS dalam hal kalori, protein,
kalsium, dan zat besi masih jauh di bawah standar rekomendasi PMT-AS.
Rata-rata lebih dari 74 persen makanan tambahan di sekolah sampel memiliki
jumlah kalori lebih rendah daripada standar yang telah ditetapkan untuk
program tersebut, dan makanan tambahan yang disediakan di lebih dari 62
persen sekolah sampel memiliki jumlah rata-rata protein di bawah standar 5
gram. Baik kandungan kalsium dan zat besi jauh di bawah Angka Kecukupan
Gizi (AKG). Wawancara dan Diskusi Kelompok Terarah memberikan
informasi bahwa sekolah kerap mengubah jenis makanan tambahan dengan
berbagai alasan, diantaranya : kesukaan murid dan ketersediaan bahan di pasar
setempat. Tetapi, murid pada umumnya paling menyukai makanan tambahan
c

dengan nilai gizi tertinggi.


Frekuensi Pembagian Makanan Tambahan
Petunjuk pelaksanaan mensyaratkan pemberian makanan tambahan tiga kali
seminggu selama 108 hari dalam dua semester. Karena dana diserap
mendekati akhir tahun anggaran, persyaratan pembagian makanan tambahan

tidak selalu dapat terpenuhi.21


Dampak
Dampak program dinilai melalui seperangkat indikator dampak yang mengukur
sejauh mana program telah meningkatkan kesehatan secara umum dan gizi murid,
pengetahuan, sikap, dan perilaku mereka mengenai hidup sehat, dan sejauh mana
keadaan ini telah mempengaruhi prestasi sekolah dan kehadiran murid di sekolah
maupun pengaruh program terhadap masyarakat secara keseluruhan.

UKS (Usaha Kesehatan Sekolah)


Tujuan diadakannya Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) secara umum sebagai peningkatan
kemampuan hidup sehat dan derajat kesehatan peserta didik sedini mungkin serta
menciptakan lingkungan sekolah yang sehat, sehingga memugkinkan pertumbuhan dan
perkembangan anak yang harmonis dan optimal dalam rangka pembentukan manusia
Indonesia yang berkualitas. Keadaannya semua sekolah dari jenjang TK sampai dengan
SMP sudah dilaksanakan penjaringan kesehatan untuk siswa dan pemeriksaan berkala
setiap 6 bulan sekali. Pelakanaan program sudah berjalan sesuai dengan tujuan yang

diharapkan dengan adanya programUKS, akan tetapi jumlah permasalahan yang terjadi
belum mengalami penrunan secara signifikan dikarenakan jumlah pengelolah dan dana
yang kurang. Hal yang belum tercapai dengan baik adanya UKS di sekolahan sebagai
berikut :
a PAUD memang diluar program UKS untuk saat ini, namun Puskesmas sudah
mulai dilaksanakan pembinaan dan pemeriksaan kesehatan atas dasar permohonan
b

dari masing masing sekolah.


Dari tingkat TK yang sudah tercover dapat disimpulkan bahwa dari aspek
lingkungan sekolah hampir semua (80,34%) tidak mempunyai sarana sanitasi
kakus dan tempat CPTS yang memadai disamping tidak adanya pojok UKS, jadi
masih perlu dilaksanakan pembinaan lingkungan lebih lanjut. Untuk personal
hygiene seperti menggosok gigi dan penyakit kesehatan yang berkaitan tentang
kebersihan masih berada pada tingkat yang kurang, karena usia TK masih
tergantung orang tua/wali maka lebih banyak dianjurkan kepada mereka untuk

menjaga kebersihan putra putrinya.


Tingkat siswa SD, belum optimalnya kesadaran untuk menjaga kebersihan badan.
Sedangkan yang menjadi prioritas untuk aspek lingkungan adalah jumlah WC
yang tidak sebanding dengan jumlah siswa belum terealisasi di semua SD/MI.
Selain itu masalah dan nasehat perlu mendapat sorotan karena yang menjadi
kambing hitam adalah keterbatasan dana. Terkait hal ini mungkin perlu
dilaksanakan advokasi lebih lanjut terhadap komite sekolah yang notabene orang

murid.
Tingkat SMP peruadanya perbaikan dalam hal kualitas makanannya dan gizinya
karena anak remaja seusia SMP masuk fase Growth Spurt (atau pertumbuhan
badan yang sangat cepat). Sehingga membutuhkan asupan gizi ekstra. Yang kedua
mungkin agar lebih difokuskan masalah reproduksi dan sex yang sehat serta
penyuluhan tentang rokok dan narkoba.

PJAS (Pangan Jajanan Anak Sekolah)


Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang
dilakukan bersama badan pengawasan obat dan makanan (BPOM) masih jauh dari target.
Dari 180.000 sekolah dasar, hanya 16.990 yang menerapkan program PJAS. Beberapa
strategy yang disipakan BPOM diantaranya penguatan program PJAS di sekolah yang

kemudian peningkatan perhatian terhadap komunitas PJAS serta meningkatan kapasitas


sumber daya PJAS, modeling dan replika kantin sekolah dan optimalisasi manajemen
Aksi Nasional PJAS.
Terdapat sejumlah hal yang telah dicapai dari program PJAS diantaranya
intensifikasi advokasi dan kerja sama yang di lakukan antara lintas sector di pusat dan
daerah. Kemudian adanya peningkatan komitmen komunitas sekolah untuk kemanadirian
pengawasan pangan serta jajanan maupun infrastruktur sarana dan prasarana sekolah
antara lain air bersih dan sanitasi kesehatan kantin sekolah.
4

Program Pembinaan Kantin Sekolah Sehat


Menurut Prof Siti Madanijah, dosen Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi
Manusia IPB, berdasarkan hasil penellitian tentang sekolah sehat yang dilakukan Pusat
Pengembangan Kualitas Jasmani Depdiknas pada tahun 2007, didapatkan sekitar 84,30
persen kantin dari 640 sekolah di 20 provinsi di Indonesia belum memenuhi syarat
kesehatan.
Adapun syarat kantin sekolah sehat memiliki adalah sebagai berikut :
Memiliki persediaan air bersih untuk mengolah makanan, mencuci tangan dan

mencuci peralatan makan.


Memiliki tempat penyimpanan bahan makanan dan peralatan makan yang bebas

dari serangga dan hewan pengerat.


Memiliki tempat khusus penyimpanan bahan bukan pangan (sabun cuci piring,

cairan anti serangga) yang terpisah dari tempat penyimpanan bahan pangan.
Tempat yang bersih dan tertutup untuk pengolahan dan persiapan penyajian

makanan.
Kasir berada di tempat khusus, minimal orang yang bertugas di kasir tidak
bertugas menyiapkan makanan karena kuman penyakit dapat tersebar ke makanan

melalui tangan yang memegang uang.


Memiliki tempat pembuangan sampah padat, cair dan gas.
Jajanan kemasan yang dijual di kantin belum kadaluarsa dan sudah lolos
sertifikasi BPOM

BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah)


Upaya sistematis untuk menghilangkan TN dimulai dengan imunisasi TT ibu hamil dan
calon pengantin dengan melalui Program Pengembangan Imunisasi (EPI), yang
diperkenalkan pada tahun 1979. Kemudian tahun 1984 imunisasi tetanus dalam bentuk

vaksin DT dan vaksin TT mulai diberikan pada anak sekolah dasar sebagai bentuk
strategi jangka panjang pengendalian TN. Tahun 1998 imunisasi pada anak sekolah dasar
ini kemudian dikembangkan menjadi Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Sejak tahun
2011, dalam rangka penanggulangan kejadian luar biasa Difteri di Indonesia, maka
vaksin TT untuk anak sekolah dasar diganti menjadi vaksin Td.10
Pemantauan dan evaluasi dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi
dan pemerintah daerah kabupaten/kota dilaksanakan dengan menggunakan instrumen
Pemantauan Wilayah Setempat (PWS), Data Quality Self Assessment (DQS), Effective
Vaccine Management (EVM), Supervisi Suportif, KIPI, dan Recording and Reporting
(RR).
Tujuan dari evaluasi adalah untuk mengetahui hasil ataupun proses kegiatan bila
dibandingkan dengan target atau yang diharapkan. Beberapa macam kegiatan evaluasi
dilakukan secara berkala dalam imunisasi. Berdasarkan sumber data, ada dua macam
evaluasi :
a

Evaluasi Dengan Data Sekunder


Dari angka-angka yang dikumpulkan oleh puskesmas selain dilaporkan perlu
dianalisis. Bila cara menganalisisnya baik dan teratur, akan memberikan banyak
informasi penting yang dapat menentukan kebijaksanaan program.
1 Stok Vaksin
Stok vaksin dilaporkan oleh petugas puskesmas, kabupaten dan provinsi ke
tingkat yang di atasnya untuk pengambilan atau distribusi vaksin. Grafik
dibuat menurut waktu, dapat dibandingkan dengan cakupan dan batas stok
maksimum dan minimum untuk menilai kesiapan stok vaksin menghadapi
2

kegiatan program. Data stok vaksin diambil dari kartu stok


Indeks Pemakaian
Vaksin Dari pencatatan stok vaksin setiap bulan diperoleh jumlah vial/ampul
vaksin yang digunakan. Untuk mengetahui berapa ratarata jumlah dosis
diberikan untuk setiap vial/ampul, yang disebut indeks pemakaian vaksin (IP).
Perhitungan IP dilakukan untuk setiap jenis vaksin. Nilai IP biasanya lebih
kecil dari jumlah dosis per vial/ampul. Hasil perhitungan IP menentukan
berapa jumlah vaksin yang harus disediakan untuk tahun berikutnya. Bila
hasil perhitungan IP dari tahun ke tahun untuk masing-masing vaksin

divisualisasikan, pengelola program akan lebih mudah menilai apakah strategi


operasional yang diterapkan di puskesmas sudah memperhatikan masalah
3

efisiensi program tanpa mengurangi cakupan dan mutu pelayanan


Suhu Lemari Es
Pencatatan suhu lemari es atau freezer dilakukan setiap hari pada grafik suhu
yang tersedia untuk masing-masing unit. Pencatatan suhu dilakukan 2 kali
setiap hari pagi dan sore hari. Dengan menambah catatan saat terjadinya
peristiwa penting pada grafik tersebut, seperti sweeping, KLB, KIPI,
penggantian suku cadang, grafik suhu ini akan menjadi sumber informasi

penting
Cakupan per Tahun
Untuk setiap antigen grafik cakupan per tahun dapat memberikan gambaran
secara keseluruhan tentang adanya kecenderungan :
Tingkat pencapaian cakupan imunisasi
Indikasi adanya masalah
Acuan untuk memperbaiki kebijaksanaan atau strategi yang perlu diambil

untuk tahun berikutnya


Evaluasi dengan data primer
1 Survei Cakupan (coverage survey)
Tujuan utama adalah untuk mengetahui tingkat cakupan imunisasi dan tujuan
lainnya adalah untuk memperoleh informasi tentang distribusi umur saat
diimunisasi, mutu pencatatan dan pelaporan, sebab kegagalan imunisasi dan
2

tempat memperoleh imunisasi.


Survei Dampak
Tujuan utama adalah untuk menilai keberhasilan imunisasi terhadap
penurunan morbiditas penyakit tertentu
Uji Potensi Vaksin Tujuan utama adalah untuk mengetahui potensi dan
keamanan dari vaksin serta untuk mengetahui kualitas cold chain/pengelolaan
vaksin.

Bulan imunisasi anak sekolah atau terkenal dengan sebutan BIAS yang berlangsung
pada bulan September sampai dengan November optimistis bisa mencapai target.
6

Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah


Focus perhatian yang dipusatkan saat ini yaitu penanggulangan dan pencegahan
kegemukan dan obesitas yang terjadi pada anak sekolah. Direktorat Bina Gizi telah
menerbitkan buku pedoman pencegahan dan penanggulangan kegeumukan dan obesitas

yang terjadi pada anak sekolah pada tahun 2012, serta modul buku pelatihan
penanggulangan gizi lebih pada anak sekolah pada thaun 2013, dan pelatihan
pencegahandan penanggulangan obeistas pada anak sekolah untuk petugas puskesmas
maupun Pembina Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan pihak-pihak lainnya yang terkait
dengan UKS pada tahun 2014. Akan tetapi, pada tahun 2010 jumlah prevalensi anak
sekolah usia 6 hingga 12 tahun sebesar 9,20 % yang terdapat diatas prevalensi nasional.
Belum adanya penanggulangan yang serius yang dilakukan oleh pemerintah untuk
IV.
1

menanggulangi permasalahan kegemukan maupun obesitas di Indonesia.


PROGRAM YANG PERLU DITINGKATKAN
Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS)
Tujuan utama PMT-AS adalah untuk memperbaiki asupan gizi anak sekolah meningkatkan
ketahanan fisik, minat dan kemampuan belajar dalam rangka menghasilkan insan Indonesia
cerdas dan kompetitif. Namun, tujuan utama dari PMT-AS ini masih belum tercapai
sepenuhnya. Berdasarkan hasil telaah berbagai jenis data untuk mengukur perbaikan status
gizi menunjukkan bahwa program PMT-AS belum berdampak nyata terhadap perbaikan
keadaan gizi dan kesehatan anak sekolah secara umum, maka program PMT-AS sebaiknya
terus dilaksanakan dan perlu ditingkatkan. Dinas Kesehatan hendaknya lebih meningkatkan
peran UKS dalam penyuluhan gizi dan pembinaan/pengawasan tumbuh kembang anak
sekolah serta membantu agar diadakannya program PMT-AS secara rutin untuk membantu
meningkatkan status gizi anak sekolah. Selain itu, perlu juga dilakukan penyuluhan kepada
pihak sekolah mengenai nilai gizi makanan tambahan PMT-AS dalam hal kalori, protein,
kalsium, dan zat besi agar makanan tambahan yang diberikan sesuai dengan standar
rekomendasi PMT-AS. Pemerintah setempat juga perlu turut serta dalam mengalokasikan
dana untuk melaksanakan program ini dan melakukan sosialisasi PMT-AS dengan
menjangkau daerah-daerah tertinggal, serta memberikan arahan dan bimbingan yang intensif
kepada pihak sekolah agar semua alokasi dana PMT-AS diperuntukkan dalam peningkatan
gizi siswa sekolah dasar. Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring dan evaluasi secara
berkala/berjenjang untuk memntau pelaksanaan PMT-AS di tingkat sekolah, sehingga jika
pelaksanaan program kurang tepat sasaran mampu segera ditangani.

Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)

Secara umum UKS bertujuan meningkatkan mutu pendidikan dan prestasi belajar peserta
didik dengan meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat serta derajat kesehatan peserta
didik. Program UKS di sekolah-sekolah sudah berjalan dengan baik terbukti dengan adanya
lomba UKS antar sekolah dimana tiap-tiap sekolah berlomba-lomba untuk membuat UKS
mereka masing-masing dengan melibatkan para siswa untuk menjadi UKS terbaik. Namun
saat ini, masih banyak anak usia sekolah yang belum mengerti dan belum dapat
mempraktikan perilaku hidup sehat, seperti lebih suka mengkonsumsi makanan tidak sehat
yang tinggi lemak, gula, garam, rendah serat, meningkatkan risiko hipertensi, diabetes
melitus dan obesitas, dan sebagainya. Perilaku hidup yang tidak sehat, seperti tidak mencuci
tangan terlebih dahulu sebelum makan yang memungkinkan masuknya bibit penyakit ke
dalam tubuh. Perilaku tidak sehat lainnya yang mengkhawatirkan adalah melakukan
pergaulan bebas, penggunaan narkoba, serta meningkatnya perokok pada usia anak sekolah.
Selain itu, perilaku kurang menjaga kesehatan lingkungan akan menimbulkan resiko mudah
terkena infeksi penyakit. Oleh karena itu, diperlukan fasilitas dan program pendidikan
perilaku hidup sehat dan pembinaan lingkungan sehat yang memadai dan terprogram dengan
baik, di sekolah dan di lingkungan masyarakat sekitar. Peranan UKS di sekolah seharusnya
lebih dioptimalkan untuk membantu mempromosikan kesehatan kepada peserta didik. Salah
satu faktor penting pembinaan promosi kesehatan di sekolah adalah peran serta Guru UKS.
Pembinaan kesehatan yang dilakukan oleh Guru UKS berada dibawah pengawasan
puskesmas. Oleh karena itu, puskesmas perlu turut serta dalam melakukan perencanaan,
pelatihan dan pengawasan dalam pelaksanaan program UKS. Pemerintah setempat juga perlu
menyediakan sarana dan prasarana UKS yang memadai, karena masih banyak sekolah yang
tidak memiliki ruang UKS. Selain itu, UKS dikenal pula sebagai program dari anak, oleh
anak, dan untuk anak sehingga perlu ditingkatkan juga peran serta peserta didik sebagai
subjek dan bukan hanya objek sehingga diharapkan peserta didik mampu menanamkan sikap
dan perilaku hidup sehat pada dirinya sendiri dan orang lain.
3

Program Gerakan Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)


Pangan yang sehat mencakup pangan yang bergizi dan aman dikonsumsi. Tanpa menghindari
pangan yang tidak aman tidak mungkin manfaat gizi terwujud pada pertumbuhan,
perkembangan dan kesehatan seseorang. Oleh karena itu keamanan pangan merupakan salah
satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemenuhan pangan yang sehat untuk dikonsumsi.

Dalam UU nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan diamanatkan bahwa pangan merupakan
kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia
dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan
pembangunan nasional. Oleh karena itu pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan
tersedia secara cukup merupakan prasyarat utama dalam upaya terselenggaranya suatu sistem
pangan yang memberikan perlindungan bagi kesehatan konsumen, kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Untuk memperoleh pangan yang bergizi dan aman tersebut, pemerintah
melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP) menyebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana dan prasarana
antara lain ruang kantin atau kantin sekolah. Hasil penelitian tentang sekolah sehat yang
dilakukan oleh Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani Depdiknas tahun 2007 pada 640 SD di
20 provinsi yang diteliti, sebanyak 40% belum memiliki kantin. Sementara dari yang telah
memiliki kantin (60%) sebanyak 84.3% kantinnya belum memenuhi syarat kesehatan. Selain
itu masih banyak ditemukan pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan
mutu kebersihan, kesehatan dan keamanan, sehingga dapat menimbulkan dampak yang tidak
baik bagi gizi dan kesehatan anak. Hasil pemantauan BPOM tahun 2011 menunjukkan ada
35.5% makanan jajanan anak sekolah tidak memenuhi syarat keamanan (Suratmono 2011).
Laporan surveilan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan BPOM
menunjukkan selama tahun 2004 di seluruh Indonesia telah terjadi kejadian luar biasa (KLB)
keracunan makanan sebanyak 164 kejadian di 25 provinsi yang mencakup 7.366 kasus dan
51 diantaranya meninggal dunia.22
Data pengawasan PJAS yang dilakukan Badan POM RI Direktorat Inspeksi dan
Sertifikasi Pangan bersama 26 Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia pada tahun 2007
menunjukkan bahwa 45% PJAS tidak memenuhi syarat karena mengandung bahan kimia
berbahaya seperti formalin, boraks, rhodamin, mengandung Bahan Tambahan Pangan (BTP),
seperti siklamat dan benzoat melebihi batas aman, serta akibat cemaran mikrobiologi. Data
KLB keracunan pangan Badan POM RI menunjukkan bahwa 19% kejadian keracunan terjadi
di lingkungan sekolah dan dari kejadian tersebut kelompok siswa Sekolah Dasar (SD) paling
sering (78,57%) mengalami keracunan PJAS.23 Dapat disimpulkan bahwa program ini masih
banyak masalah baik dari pihak sekolah dan dari pihak produsen makanan. Karena dari data
yang ada menyatakan bahwa masih banyak kantin sekolah yang belum memenuhi syarat

kesehatan bahkan masih ada sekolah yang tidak memiliki kantin sekolah. Dari pihak
produsen dan penjaja juga masih terdapat masalah karena masih terdapat makanan jajanan
anak sekolah yang tidak memenuhi persyaratan, seperti adanya kandungan bahan kimia
berbahaya, bahan tambahan pangan yang melebihi ambang batas aman pemakaian.
Tingginya konsumsi Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) oleh anak sekolah yang tidak
diikuti dengan penerapan cara produksi pangan yang baik (CPPB) oleh para penjaja pangan
berpotensi menyebabkan masalah keamanan pangan berupa bahaya fisik, bahaya kimia,
maupun bahaya mikrobiologi.
4

Program Pembinaan Kantin Sekolah Sehat


Kantin menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya penyediaan pangan yang sehat dan
bergizi untuk anak Sekolah khususnya Sekolah Dasar, hal ini sejalan dengan Program Aksi
Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah yang sudah menjadi Program Nasional mulai dari
Pusat sampai ke daerah. Dalam realitanya belum semua Sekolah Dasar memiliki kantin yang
memenuhi syarat kesehatan bahkan masih ada sekolah yang tidak memiliki kantin, sehinggga
anak sekolah dasar lebih memiliki untuk makanan jajanan diluar sekolah yang bahakan tidak
memiiki nilai gizi yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.24 Oleh karena itu, pembinaan
kantin sekolah sehat seharusnya ditekankan untuk menetapkan kebijakan pemerintah
mengenai pengadaan kantin sehat dan bimbingan kepada guru dan pengelola kantin
mengenai prasyarat kantin yang memenuhi standar kebersihan dan kesehatan.

Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS)


BIAS adalah salah satu bentuk kegiatan operasional dari imunisasi lanjutan pada anak
sekolah yang dilaksanakan pada bulan tertentu setiap tahunnya dengan sasaran seluruh anakanak usia Sekolah Dasar atau sederajat kelas 1, 2, dan 3 di seluruh Indonesia. Imunisasi
lanjutan sendiri adalah imunisasi ulangan yang ditujukan untuk mempertahankan tingkat
kekebalan diatas ambang perlindungan atau memperpanjang masa perlindungan. Pemberian
imunisasi ini sebagai booster untuk mengantisipasi terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB).
Oleh karena itu, program BIAS harus dilakukan sebagai upaya mengurangi angka morbiditas
dan mortalitas. Selain itu, BIAS juga merupakan imunisasi ulangan terhadap imunisasi yang
telah diperoleh pada waktu bayi, karena imunisasi dasar pada waktu bayi belum cukup untuk

melindungi dari penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) sampai
usia anak sekolah dan sejak anak mulai memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan
terhadap tingkat kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika bayi. BIAS diselenggarakan
melalui Tim Pembina Usaha Kesehatan Sekolah (TP UKS), dimana imunisasi merupakan
salah satu komponen kegiatan UKS. Upaya imunisasi perlu terus ditingkatkan untuk
mencapai tingkat kekebalan masyarakat yang tinggi sehingga dapat memutuskan rantai
penularan PD3I.
6

Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah


Berdasarkan data yang ditemukan pada Riskesdas 2013 , beberapa penelitian yang telah
dilakukan mengenai prevalensi anak dan remaja obes serta komorbiditas yang menyertai di
Indonesia, dan kecenderungan anak obes menjadi dewasa obes yang diperberat dengan
kejadian obesitas pada orangtua.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 didapatkan prevalensi obesitas
pada (1) anak anak sekolah di tahun 2007, 2010, dan 2013 berdasarkan berat badan menurut
tinggi badan lebih dari Z score 2 menggunakan baku antropometri WHO 2005 anak berusia
5-12, 13-15, dan 16-18 tahun berturut-turut 8,8%, 2,5%, dan 1,6% berdasarkan indeks massa
tubuh menurut umur lebih dari Z score 2 menggunakan baku antropometri WHO 2007 untuk
anak berumur 5-18 tahun. Beberapa penelitian mengenai prevalensi obesitas pada anak dan
remaja telah dilakukan di Jakarta dan Semarang, yaitu mendapatkan prevalensi anak obes di
dua sekolah dasar negeri di Jakarta Pusat 9,6% dari 488 anak, didapatkan hasil bahwa
prevalensi anak obes di tiga sekolah dasar swasta di Jakarta Timur 27,5% dari 2292 anak,
prevalensi obesitas pada anak sekolah dasar usia 10-12 tahun di lima wilayah DKI Jakarta
15,3% dari 600 anak dan prevalensi obesitas 10,6% dari 1157 anak usia 6-7 tahun di kota
Semarang. Penelitian Multisenter 10 PPDSA di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi
obesitas pada anak usia sekolah dasar rata-rata 12,3%.25
Program ini masih belum dapat berjalan dengan baik karena dari data yang didapatkan
masih banyak prevalensi obesitas pada anak sekolah dasar. Setiap tahun prevalensi ini akan
terus bertambah karena belum ada nya kebijakan yang pasti dari pemerintah untuk
melakukan program ini di sekolah dasar setiap provinsi. Belum adanya penanggulangan
serius yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan kegemukan
maupun obesitas anak sekolah dasar di Indonesia saat ini.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.

Riset Kesehatan Dasar. Dinas Kesehatan. 2010.


Kementrian Pendidikan Nasional. 2009.
Survey Ekonomi Nasional. 2009.
Program Kemitraan Pengembangan Kapasitas dan Analisis Pendidikan (ACPD),
Badan Penelitian dan Pengembangan (BALITBANG), Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan. Evaluasi Peran Program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah

5.
6.
7.
8.
9.

(PMT-AS). Jakarta: 2013


Surat Keputusan Bersama 4 Menteri. 2003
(Syah, Dahrul. Dkk. Akar Masalah Keamanan Pangan Jajajanan Anak Sekolah. 2015)
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Informasi dan Data. 2015
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Diakses dari www.depkes.go.id
WHO. School Imunization Programme in Indonesia. Available from URL:
http://www.who.int/immunization/programmes_systems/policies_strategies/Indonesia

-School-immunization.pdf
10. Eliminasi Tetanus Maternal & Neonatal. Buletin Jendela Data & Informasi
Kesehatan.2012;1.
11. Pusat Data dan Informasi kementerian kesehatan RI. Situasi dan analisis imunisasi.
Available

from

URL:

http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatinimunisasi.pdf
12. Kementerian Kesehatan

Republik

Indonesia.

Pedoman

pencegahan

dan

penanggulangan kegemukan dan obesitas pada anak sekolah. 2012. Available from
URL: http://www.gizi.depkes.go.id/download/Pedoman%20Gizi/Obesitas.pdf
13. Departemen Kesehatan, 2008, Riset Kesehatan Dasar 2007, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Jakarta. Departemen Kesehatan, 2009, Profil Kesehatan
Indonesia 2010
14. Badan Narkotika Nasional. Hasil penelitian penyalahgunaan narkoba pada kelompok
rumah tangga tahun 2006.
15. Musaiger 2011, Kemenkes RI 2011 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia .
2011. Jejaring Informasi Pangan dan Gizi. Volume XVII No.2 tahun2011
16. Musaiger 2011, Kemenkes RI 2011 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia .
2011. Jejaring Informasi Pangan dan Gizi. Volume XVII No.2 tahun2011
17. BPOM RI 2006 Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah
18. BPOM RI 2013 Laporan Tahunan BPOM, Kemenkes 2011. Pedoman keamanan
pangan di sekolah dasar

19. Hastuti W, Praboawo A. Efektifitas Pembelajaran Gizi Seimbang Berbasis Sekolah


Terhadap Perbaikan Perilaku Gizi dan Berat Badan Siswa Obesitas.2015.
20. Spear, et al. 2007. Recommendations for Treatment of Child and Adolescent
Overweight and Obesity. Pediatrics 2007
21. (Program Kemitraan untuk Pengembangan Kapasitas dan Analisis Pendidikan
(ACDP). Evaluasi Program Pemberian Makanan Tambahan bagi Anak Sekolah
(PMT-AS) Ringkasan Eksekutif. 2013)
22. Direktorat Bina Gizi Ditjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian
Kesehatan 2011. Pedoman Keamanan Pangan di Sekolah Dasar
23. BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM. Food Watch Vol I Tahun 2009 Pangan
Jajanan Anak Sekolah.
24. BPOM RI. 2012. Pembinaan Kantin Sehat Sekolah.
25. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis, Tata Laksana dan Pencegahan Obesitas
pada Anak dan Remaja. Jakarta:2014

Anda mungkin juga menyukai