Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang
Kusta, lepra atau morbus hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan
penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Epidemiologi belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti hanya
berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.
Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari
dalam droplet.
Masa inkubasi sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara
penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan
dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir diluar
manusia.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas.
Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa.
Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.
Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat akhir tahun 2008 adalah 22.359 orang
dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 16.668 orang. Distribusi tidak merata, yang tertinggi
antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan papua.
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi
ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya
saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf
besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya
kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi otot.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Terapi pengobatan lepra
Terapi pengobatan lepra ada dua cara yaitu terapi kombinasi dan terapi obat tunggal
dengan obat yang terpilih adalah Dapson atau DDS, klofamizin, dan rifampisin. Terapi obat
kombinasi yang dianjurkan di Indonesia sesuai dengan yang diajarkan oleh WHO.
Pada terapi kombinasi, paduan obat untuk kelompok pausibasiler adalah DDS
100mg/hari selama 6-9 bulan dan rifampisin 600mg sebulan sekali untuk 6 bulan. Pada
pemberian rifampisin harus dibawah pengawasan dokter demi menjamin kepatuhan.
Paduan obat untuk kelompok multibasiler adalah DDS 100g/hari, rifampisin 600mg
sebulan sekali, klofamizin 50mg/hari, dan klofazimin 300mg setiap bulan. Rifampisin dan
klofazimin diberikan sebulan sekali dan juga harus diawasi pada saat pemberiannya. Terapi
kombinasi untuk lepra lama pengobatannya paling sedikit 2 tahun dan paling baik adalah
sampai hasil pemeriksaan BTA ditemukan negatif.
Pada terapi obat tunggal, paduan obat untuk kelompok pausibasiler diberikan DDS
100mg/hari selama paling sedikit 2-3 tahun, sedangkan untuk multibasiler lama pengobatan
tidak ditentukan.
Reaksi Lepra adalah kejadian atau episode dalam perjalanan penyakit lepra yang
merupakan manifestasi reaksi imun seluler maupun humural. Reaksi ini dapat terjadi
sebelum, selama, atau sesudah pengobatan. Paling sering terjadi reaksi lepra adalah ketika
dalam pengobatan, biasanya Antara 6 bulan 1 tahun pertama. Jenis reaksi lepra ada 2
yaitu reaksi reversal dan reaksi eritema nodosum leprosum (ENL)
Reaksi tipe 1 atau tipe reversal yang terjadi pada tipe tuberkuloid biasanya dalam 6
bulan pertama pengobatan. Gejala yang menonjol adalah neuritis sampai kehilangan
sensorimotor, kulit menjadi kemerahan dan berluka. Pada reaksi yang ringan diberikan
klorokuin 3x 1 tablet selama 3 -5 hari.
Reaksi tipe 2 atau ENL timbul lebih lambat dari reaksi reversal. Gejalanya adalah
timbulnya benjol2 kecil kemerahan di kulit. Pengobatan tipe 2 sama dengan tipe 1 tetapi
diberikan klorokuin selama 1 minggu. Pada reaksi yang berat dapat diberikan
kortikosteroid dan dosis klofamazin dinaikan menjadi 3x100mg/hari selama 1 minggu.

II.2 Obat Lepra


II.2.1

Sulfon
Golongan sulfon merupakan derivate 4.4 diamino difenil sulfon (DDS,
dapson). Obat ini bersifat bakteriostatik terhadap basil tuberkulosis. Mekanisme
kerja sulfon sama dengan sulfonamide yaitu menghambat PABA (p-aminobenzoic
acid).
Pada farmakokinetiknya, dapson dapat diserap lambat di saluran cerna,
kadar puncak tercapai setelah 1 3 jam dengan waktu paruh eliminasi berkisar
Antara 10 50 jam dengan rata rata 28 jam. Sulfon mengalami metabolisme di
hati dan diekskresikan melalui urin
Efek samping pada sulfon yang paling sering terlihat adalah hemolisis.
Hemolisis terjadi banyak pada pasien yang mendapat dosis 200 300mg dapson
sehari. Gejala mual, muntah, anoreksia juga dapat terjadi pada pemberian sulfon
Kontraindikasi pada pemakaian dapson adalah bila pasien mempunyai alergi
terhadap dapson dan pada pasien ibu menyusui.
Dapson diberikan dalam bentuk tablet 25 dan 100 mg oral, pada pemakaian
terapi kombinasi berikan 100 mg/hari selama 6 9 bulan
Pemberian dapson tidak di rekomendasikan diberikan bersama clozapine.
Pemebrian bersama obat ini dapat menyebabkan peningkatan efek samping
hemolisis dan menyebabkan gangguan sumsum tulang.

II.2.2 Rifampisin
Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram positif dan gram
negatif. Rifampisin bekerja menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari
mikrobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya
rantai dalam sintesis RNA. Rifampisin meruapakan obat utama dalam pengobatan
bakteri mycobacterium seperti TBC dan lepra
Pemberian rifampisin per oral menghasilkan kadar puncak dalam plasma
setelah 2-4 jam. Masa paruh eliminasi rifampisin bervariasi antara 1,5 sampai 5
jam dan akan memanjang bila ada kelainan fungsi hepar. Rifampisin dieksesi
melalui empedu.

Efek samping rifampisin biasanya terjadi ruam kulit, demam, muntah, dan
sering terjadi urin menjadi berwarna kemerahan. Pada pemberian berselang
dengan dosis besar sering terjadi flu like syndrome, nekrosis tubular akut, dan
trombositopenia
Rifampisin tak boleh digunakan pada orang yang alergi rifampsisin, dan pada
ibu dengan kehamilan minggu minggu terakhir karena dapat menyebabkan
perdarahan pada ibu atau bayi.
Dosis pemberian rifampisin pada penderita lepra adalah 600 mg sebulan
sekali, dan pemberiannya harus diawasi oleh dokternya sendiri.
Pemberian rifampisin bersama dengan pengobatan HIV atau AIDS dapat
menyebabkan pengobatan HIV tersebut menjadi kurang efektif, dan pemberian
rifampisin bersama PAS akan menghambat absorbsi rifampisin sehingga kadar
dalam darah menjadi tidak cukup
II.2.3 Klofazimin
Klofazimin merupakan turunan fenazin yang efektif dalam pengobatan basil
lepra. Obat ini biasanya dipakai sebagai pengganti dalam kombinasi rifampisin
bila basil lepra sudah resisten terhadap dapson. Obat ini juga memiliki efek anti
radang sehingga dapat mencegah terjadinya eritema nodosum.
Pada pemberian oral, obat ini diserap dan ditimbun dalam jaringan tubuh, hal
ini memungkinkan pemberian obat secaara berkala dengan jarak waktu antar dosis
2 minggu atau lebih. Efek bakterisid dari klofazimin baru terlihat setelah 50 hari
terapi.
Efek samping klofazimin dapat berupa diare, anorexia, mual muntah, kulit
kemerahan dan gatal dan dapat mengalami pigmentasi menjadi kehitaman.
Klofazimin tak boleh diberikan pada orang yang menunukan tanda tanda
alergi pada klofazimin
Dosis pemberian klofazimin untuk segala bentuk lepra adalah 100 mg sehari.
Klofamizin tersedia dalam sediaan kapsul 100 mg.
Pemberian klofamazin bersamaan dengan bedaquiline dapat meningkatkan
resiko aritmia jantung, dan pemberian klofamazin dengan fenitoin dapat
menyebabkan peningkatan efek samping.

BAB III
PEMBAHASAN
Kusta

Anda mungkin juga menyukai