Anda di halaman 1dari 24

A.

DROP OUT

1.Pengertian Drop Out


Drop Out adalah keluar dari sekolah sebelum waktunya, atau sebelum lulus. Drop out demikian
ini perlu dicegah, oleh karena hal demikian dipandang sebagai pemborosan bagi biaya yang
sudah terlanjur dikeluarkan untuknya. Banyaknya peserta didik yang drop out adalah indikasi
rendahnya produktivitas pendidikan. Tinginya angka drop out juga bisa mengganggu angka
partisipasi pendidikan atau sekolah.
2.Faktor-faktor Terjadinya Drop Out
Pada umumnya di sekolah-sekolah sekarang ini dibedakan 3 hal sehubung dengan masalah
ketidak hadiran. Penyebab ketidak hadirn tersebut diantaranya adalah adanya ijin, sakit dan alpa.
Tetapi ketiga hal tersebut akan menyebabkan sebuah masalah jika dalam jumlah yang sering
dilakukan oleh peserta didik. Salah satu akibat yang akan diterima oleh peserta didik adalah
sebuah pilihan yang harus diterima yaitu sebuah pernyatan drop out dari sekolah.
Secara umum sebab-sebab terjadinya drop out yaitu peserta didik tidak mampu menyelesaikan
pendidikan, tidak mempunyai biaya sekolah, peserta didik dalam keadaan sakit dan tidak
kunjung sembuh. Jika dibedakan melalui beberapa sumber ketidak hadiran yang juga akan
menyebabkan terjadinya sebuah drop out dapat dilihat dari berbagai sumber, ysaitu sebagai
berikut: (Sahertian, 1987:75)
a. Dilihat dari peserta didik itu sendiri
b.Dilihat dari segi orang tua
c. Dilihat dari segi sekolah
1. Dilihat dari segi masyarakat
a)

Dilihat dari segi tanggung jawab murid itu sendiri

Murid yang sering sakit

Membolos karena pengaruh teman-teman sekelompok

Karena malas

Tidak mengerjakan pekerjaan rumah

Melanggar peraturan lalu dihukum

Berkelahi lalu tidak berani masuk sekolah

Lupa atau tidak mau minta ijin dari sekolah

Kebiasaan-kebiasaan buru yang telah dibawa sejak lama

b)

Dilihat dari segi rumah tangga

Orang tua yang selalu sibuk karena ayah dan ibu bekerja dan kurang memperhatikan anak

Latar elakang ekonomi orang ua yang terlalu buruk

Terlalu memanjakan anak

Keluarga yang berpindah-pindah tempat kerja

Tempat tinggal yang jauh

Karena tidak mempunyai pakaian yang layak untuk ke sekolah

Tuntutan orang tua yang harus bekerja

Orang tua mengajak anak untuk bepergian

c)

Dilihat dari segi sekolah

Suasana belajar yang kurang menyenangkan

Guru yang terlalu keras dan menyakitkan

Kurangnya pembinan dan bimbingan dari guru

Kebijaksanaan pimpinan sekolah yang kurang menguntungkan

Bangunan sekolah yang agak jauh

Biaya dan pungutan uang sekolah yang terlalu tinggi

Tuntutn peraturan yang menekan para siswa

Keadaan gedung yang tidak memenuhi syarat

Program sekolah yang kurang menarik

Sukarnya pengangkutan untuk datang ke sekolah

d)

Dilihat dari segi masyarakat

Musim panaen yang memaksa anak harus ikut kerja musiman

Bencana alam menimpa sehingga masyarakat kacau

Jalan yang terhalang

Dari uraian di atas dapat dirangkum hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa ada hubungan yang berarti antara ketidak hadiran seseorang siswa dari kemajuan
belajar dan pembentukan pribadi.
2. Bahwa ketidak hadiran ada yang disebut tardiness atau terlambat daang dan ada yag
disebut truency (terlambat datang).
3. Umumnya ketidak hadiran itu disebabkan dari faktor kesehatan atau faktor diluar
kesehatan.
4. Untuk mengatasi masalah ketidak hadiran itu diperlukan perhitungan yang lebh akurat
dan lebih teliti.
5. Mengatasi sumber sebab ketidak hadiran harus dilihat dari setiap segi, yaitu segi dari
murid sendiri, orang tua, sekolah, dan masyarakat.
Kerjasama dan pendekatan yang manusiawi akan dapat mengurangi ketidak hadiran di sekolah.
Seorang administrator dpat menciptakan sebuah suasana sekolah yang dapat membuat seseorang
siswa merasa nyaman. Sehingga seorang siswa dapat mengambil ilmu atau manfaat dengan
adnya sekolah tersebut. Olek karena itu Dr. P. Ely dalam Sahertian mengatakan para guru dan
administrator sebaiknya memilki tender, love and care. Berlakuah supel tetapi tegas dan
berwibawa. Jadi seorang murid tiadak akan merasa takut atau ketidaknyaman dalam belajar.
Iulah salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi sebab yang berasal dari segi
lingkugan sekolah yaitu melalui seorang guru ataupun administrator.
B.

Mutasi Peserta Didik

1. Pengertian Mutasi Peserta Didik


Mutasi yaitu perpindahan peserta didik dari kelas yang satu ke kelas yang lain yang sejajar atau
perpindahan peserta didi dari sekolah satu ke sekolah yang lain yang sejenis. Perpindahan siswa
bisa juga disebut istilah mutasi siswa. Perpindahan siswa mempunyai dua pengertian yaitu:
a). Perpindahan siswa dari suatu sekolah kesekolah lain yang sejenis.
b). Perpindahan siswa dari suatu jenis program ke jenis program yang lain.
Perpindahan siswa dari suatu sekolah kesekolah lain yang sejenis telah dibicarakan pada waktu
pembahasan siswa baru. Perpindahan ini ialah perpindahan wilayah atau suatu tempat. Jenis
sekolah, tingkat/kelas dan jurusan atau program studi disekolah baru sama dengan jenis sekolah,
kelas, dan jurusan pada sekolah asalnya. Perpindahan siswa yang ke dua adalah perpindahan
jenis program.
2. Macam-macam Mutasi
Mutasi atau perpindahan peserta didik dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (. . . .)
a. Mutasi Intern
Mutasi intern adalah mutasi yang dilakukan oleh peserta didik di dalam sekolahan itu sendiri.
Umumnya, peserta didik demikian hanyalah pindah kelas saja, dalam suatu kelas yang
tingkatannya sejajar. Mutasi intern ini, dilakukan oleh peserta didik yang sama jurusannya, atau
yang berbeda jurusannya.

b.Mutasi Ekstern
Mutasi ekstern adalah perpindahan peserta didik dari satu sekolah ke sekolah lain dalam satu
jenis, dan dalam satu tingkatan. Meskipun ada juga peserta didik yang pindah ke sekolah lain
dengan jenis sekolah yang berlainan. Pada sekolah-sekolah negeri hal demikian menjadi
persoalan, meskipun pada sekolah swasta, terutama yang kekurangan peserta didik, tidak pernah
menjadi persoalan.
Mengenai perpindahan siswa (mutasi siswa) dari seolah kesekolah lain ini biasanya ada
pedoman-pedomanperaturan yang harus diikuti pedoman-pedoman tersebut antara lain
menyangkut: (Soetopo, 1988:96)
(1). Pembatasan wilayah
Murid tidak diperkenankan pindah dari sekolah kesekolah lain dalam satu wilayah. Perpindahan
antar wilayah bisa dibenarkan apabila didasarkan pada alasan yang cukup mendasar misalnya
orang tua pindah tempat kerja dan anak ikut saudaranya dikota lain.
(2). Status sekolah
Murid dari sekolah swasta walaupun memiliki mutu yang lebih baik dari pada sekolah negeri,
tidak diperkenankan untuk pindah kesekolah negeri. Sekolah-sekolah negeri hanya
diperkenankan siswa pindahan dari sekolah negeri saja.
(3). Jenis sekolah
Sekolah negeri atau sekolah menengah dapat dibedakan dalam dua jenis sekolah, yaitu sekolahsekolah umum dan sekolah-sekolah kejuruan. Sekolah kejuruan ada beberapa jenis pula,
misalnya Sekolah Teknologi Menengah (STM), Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA),
Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas (SKKA), dll. Perpindahan siswa dari lain jenis sekolah
tidak diperbolehkan.
(4). Pindah sekolah tidak naik kelas
Suatu sekolah tidak boleh menaikkan kelas seorang siswa yang telah dinyatakan tidak naik kelas
oleh sekolah lain, walaupun sama-sama sebagai sekolah negeri. Menaikan kelas seorang murid
yang telah dinyatakan tidak naik kelas oleh suatu sekolah mungkin saja terjadi di sekolahsekolah swasta. Misalnya tidak naik kelas disekolah negeri kemudian pindah di sekolah swasta
sejenis dengan dinaikan kelasnya.
3. Sebab-sebab Mutasi
Ada banyak penyebab peserta didik mutasi. Adapun faktor penyebab tersebut, dapat bersumber
dari peserta didik sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan teman
sebaya.
a. Yang bersumber dari peserta didik sendiri adalah:
1)

Yang bersangkutan tidak kuat mengikuti pelajaran di sekolah tersebut.

2)

Tidak suka dengan sekolah tersebut, atau merasa tidak cocok.

3)

Malas.

4)

Ketinggalan dalam pelajaran.

5)

Bosan dengan sekolahnya.

b.Yang bersumber dari lingkungan keluarga adalah:


1)

Mengikuti orang tua pindah kerja.

2)
Dititipkan oleh orang tuanya di tempat nenek atau kakeknya, karena ditinggal tugas belajar
ke luar negeri.
3)

Mengikuti orang tua yang sedang tugas belajar.

4)

Disuruh oleh orang tuanya pindah.

5)

Orang tua merasa keberatan dengan biaya yang harus dikeluarkan di sekolah tersebut.

6)

Mengikuti orang tua pindah rumah.

7)

Mengikuti orang tua transmigrasi.

c. Yang bersumber dari lingkungan sekolah adalah:


1)

Lingkungan sekolah yang tidak menarik.

2)

Fasilitas sekolah yang tidak lengkap.

3)

Guru di sekolah tersebut sering kosong.

4)

Adanya kebijakan-kebijakan sekolah yang dirasakan berat oleh peserta didik.

5)

Sulitnya sekolah tersebut dijangkau, termasuk oleh transportasi yang ada.

6)

Sekolah tersebut dibubarkan, karena alasan-alasan, seperti kekurangan murid.

7)
Sekolah tersebut dirasakan peserta didik tidak bonafid, seperti rendahnya angka kelulusan
setiap tahun.
d. Yang bersumber dari lingkungan teman sebaya, yaitu:
1)

Bertengkar dengan teman.

2)

Merasa diancam oleh teman.

3)

Tidak cocok dengan teman.

4)

Merasa terlalu tua sendiri dibandingkan dengan teman-teman sebayanya.

5)
Semua teman yang ada di sekolah tersebut, berlainan jenis dengan dirinya, sehingga
merasa sendirian

6)

Semua teman yang ada di sekolah tersebut berlainan strata dengan dirinya.

Mutasi sangat perlu dicegah, agar terdapat kesinambungan pengetahuan peserta didik yang
diterima sebelumnya dengan kelanjutannya. Oleh karena itu, ijin mutasi hendaknya diberikan
jika disertai dengan alasan yang dapat diterima dan sangat baik bagi perkembangan peserta didik
itu sendiri. Seminimal mungkin, mutasi peserta didik yang bersifat ekstern haruslah dikurangi.
Pencegahan dan pengurangan tersebut, tentu bergantung kepada macam sumber faktor
penyebabnya
4.Teknik Pencegahan Mutasi
Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya mutasi, jika seseorang mau
melakukannya khususnya seorang guru dalam pengaturan peserta didik.
Jika sumber penyebab mutasi berasal dari diri peserta didik sendiri, maka langkah preventif yang
harus dilakukan adalah memberikan semacam jaminan kepada peserta didik, bahwa kalau dapat
menyelesaikan studi di sekolah tersebut, peserta didik nantinya akan mempunyai prospek
tertentu sebagaimana lulusan-lulusan lain dari sekolah tersebut, agar mereka yakin benar dengan
kebaikan sekolahnya.
Peserta didik juga perlu mendapatkan bimbingan yang baik di sekolah tersebut, agar dapat
menyesuaikan dirinya dengan baik, dan dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Penyesuaian diri
yang baik dan belajar dengan baik, ia tidak ketinggalan dengan teman-temannya yang lain.
Disamping itu, peserta didik perlu bimbingan dengan baik agar merencanakan belajarnya, dan
diupayakan konsisten dengan rencana tujuan belajar yang sudah disusun sebelumnya oleh
peserta didik tersebut. Oleh karena itu, dorongan dan atau motivasi yang terus menerus dari
sekolah, akan membantu peserta didik untuk giat belajar dan tidak malas.
Jika sumber penyebab mutasi tersebut berasal dari sekolah, tak ada alternatif lain kecuali
memperbaiki kondisi sekolah. Tentu saja tidak saja sarana dan prasarana fisik sekolah, melainkan
sekaligus kondisi sekolah secara keseluruhan. Disiplin guru perlu ditingkatkan, proses dan
metode belajar pembelajaran dibuat sevariatif mungkin, fasilitas dan sarana yang ada
difungsionalkan dengan baik. Demikian juga layanan-layanan yang ada di sekolah, diupayakan
dapat memuaskan peserta didiknya.
Jika sumber penyebab mutasi peserta didik tersebut berasal dari lingkungan keluarga, maka kerja
sama antara sekolah dengan keluarga memang perlu ditingkatkan. Jangan sampai, hanya karena
persoalan sepele saja kemudian anak tidak sekolah atau mutasi ke sekolah lain. Perlu ada
komunikasi yang intens antara sekolah dan keluarga, sehingga kedua pihk tidak mengalami
miscommunication.
Adapun, jika peserta didik memili alasan untuk mutasi maka hendaknya mereka diberi
keterangan sesuai dengan apa adanya. Tidak boleh dibaik-baikkan atau dijelek-jelekkan. Sebab,
bagaimanapun juga, mutasi ke sekolah lain adalah hak peserta didik sendiri. Keteranganketerangan yang lazim diberikan berkaitan
dengan peserta didik yang mutasi misalnya identitas anak, asal sekolah, prestasi
akademik di sekolah, kelakuan dan kerajinan dan alasan-alasan yang
bersangkutan mutasi. Dengan demikian, sekolah yang dituju oleh peserta

didik tersebut, mendapatkan gambaran yang senyatanya mengenai anak


tersebut.
Bagi sekolah yang akan menerima peserta didik yang akan mutasi,
hendaknya juga meneliti lebih lanjut terhadap mereka, sebelum menyatakan
menerima. Untuk itulah, sekolah harus meneliti mengenai identitas,
kelakuan/kerajinan, prestasi akademiknya, jurusan atau program asalnya, dan
alasan-alasan yang berangkutan mutasi. Peserta didik dapat diterima tidaknya sekolah tersebut,
juga harus didasarkan atas ketersediaan fasilitas dan kesejajaran sekolah tersebut. Ini sangat
penting, karena tidak mungkin sekolah dapat menerima peserta didik tanpa fasilitas dan
menerima peserta didik yang kemampuannya tidak sejajar dengan teman-teman yang ada di
sekolah tersebut. Sebab kalau ini terjadi, akan memberatkan peserta didik itu sendiri.
Tentang iklan-iklan ini
Posted on Mei 6, 2011, in Uncategorized. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.
manajemen sarana dan prasarana disekolah
JENIS-JENIS PERENCANAAN PENDIDIKAN

Tinggalkan komentar
Comments 0
Berikan Balasan

Drop Out Peserta Didik


Subliyanto Senin, 14 Februari 2011

Yang dimaksud dengan drop out adalah keluar dari sekolah sebelum waktunya, atau sebelum
lulus. Drop out demikian ini perlu dicegah, oleh karena hal demikian dipandang sebagai
pemborosan bagi biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan untuknya. Banyaknya peserta didik

yang drop out adalah indikasi rendahnya produktivitas pendidikan. Tinginya angka drop out juga
bisa
mengganggu
angka
partisipasi
pendidikan
atau
sekolah.
Penanganan drop out tentu tidak bisa dilaksanakan oleh sekolah sendiri, melainkan haruslah
terpadu dan bersama-sama dengan lingkungan lain: keluarga dan masyarakat. Pemerintah juga
perlu mengupayakan bagaimana agar drop out ini dapat ditekan. Sebab, kalau hanya satu
lembaga saja yang berusaha menekan angka drop out, maka tidak akan dapat berhasil
sebagaimana
yang
diharapkan.
Ada banyak sebab mengapa peserta didik drop out dan tidak menyelesaikan pendidikannya.
Rendahnya kemampuan yang dimiliki ini, menjadikan penyebab peserta didik merasa berat
untuk menyelesaikan pendidikannya. Oleh karena itu, peserta didik dengan kemampuan rendah
demikian, perlu mendapatkan perlakuan khusus yang berbeda dengan peserta didik kebanyakan.
Kedua, karena tidak punya biaya untuk sekolah. Ini terutama banyak terjadi di daerah-daerah
pedesaan dan kantong-kantong kemiskinan. Pada daerah demikian, jangankan untuk biaya
pendidikan, untuk kebutuhan sehari-hari saja peserta didik bersama keluarga merasa tidak
mencukupi. Pada hal, haruslah disadari, bahwa semakin tinggi tingkatan dan jenjang pendidikan
yang akan ditempuh oleh peserta didik, semakin banyak pula biaya pendidikan yang harus
dikeluarkan.
Ketiga, karena sakit yang tidak tahu kapan sembuhnya. Ini menjadikan penyebab siswa tidak
sekolah sampai dengan batas waktu yang dia sendiri tidak tahu. Lantaran sudah jauh tertinggal
dengan peserta didik lainnya, maka kemudian ia lebih memilih tidak bersekolah saja ketimbang
bersekolah, karena teman-teman sebayanya sudah hampir menyelesaikan sekolah.
Keempat, karena bekerja. Pekerja anak-anak, pada negara-negara sedang berkembang sangat
banyak jumlahnya. Tidak jarang, anak-anak ini juga bekerja pada sektor formal yang terikat oleh
waktu dan aturan. Waktu yang ditetapkan oleh perusahaan tempat bekerja bisa saja berbenturan
dengan waktu ia harus masuk sekolah. Oleh karena itu, lambat laun ia tidak dapat sekolah lagi,
karena
harus
bekerja.
Kelima, harus membantu orang tua di ladang. Di daerah agraris dan kantong-kantong
kemiskinan, putra laki-laki dipandang sebagai pembantu terpenting ayahnya untuk bekerja di
ladang. Untuk membantu di ladang, dibutuhkan waktu yang relatif banyak sehingga seringkali
menjadikan peserta didik tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Karena itu, tidak jarang
mereka tidak dapat mengikuti lagi pelajaran yang diberikan. Merasa tidak dapat mengikuti
tersebut,
kemudian
peserta
didik
drop
out.
Keenam, karena di-drop out oleh sekolah. Hal ini terjadi karena yang bersang-kutan memang
sudah tidak mungkin dapat dididik lagi. Tidak dapat dididik lagi ini, bisa disebabkan karena
memang kemampuannya rendah, atau dapat juga karena yang bersangkutan memang tidak mau
belajar.
Ketujuh, karena peserta didik itu sendiri yang ingin drop out dan tidak mau sekolah. Pada peserta
didik demikian, memang tidak dapat dipaksa untuk bersekolah, termasuk oleh orang tuanya

sendiri.
Kedelapan, terkena kasus pidana dengan kekuatan hukum yang sudah pasti. Pidana yang dialami
oleh peserta didik untuk beberapa tahun, bisa menjadikan yang bersangkutan akan drop out dari
sekolah. Karena tidak mungkin sambil dipidana dengan tetap bersekolah.
Kesembilan, karena sekolah dianggap tidak menarik bagi peserta didik. Karena tidak menarik,
mereka
memandang
lebih
baik
tidak
sekolah
saja.
Kasus-kasus drop out demikian, memang tidak selamanya dapat dipecahkan. Dalam pengertian,
ada beberapa kasus peserta didik drop out yang dapat dicegah dan yang tak dapat dicegah.
Pada peserta didik drop out karena alasan biaya, masih dapat dicarikan jalan keluarnya dengan
memberikan beasiswa, mencarikan orang tua asuh dan sebagainya. Sedangkan jika peserta didik
drop out karena tidak bersekolah, sangat sulit pemecahannya. Oleh karena itu, amanat wajib
belajar, dengan memberikan sangsi bagi orang tua peserta didik mereka yang tidak sekolah, bisa
dijadikan
sebagai
sarana
untuk
menekan
angka
drop
out.
Berdasarkan laporan teknis penelitian lapangan oleh Sweeting dan Muchlisoh pada tahun 1998,
beberapa penyebab murid keluar dari sekolah adalah: (1) banyak anak keluar dari sekolah
disebabkan oleh sulitnya ekonomi yang berakibat secara langsung pada biaya sekolah tidak dapat
dipenuhi. Keluarga dengan penghasilan rendah menghadapi kesulitan lebih besar dalam
mendapatkan sumbangan komite sekolah untuk anak-anak mereka di SD, untuk membeli dan
merawat pakaian seragam sekolah, dan dalam menyediakan makan dan berbagai keperluan yang
diperlukan di sekolah seperti pensil dan buku; (2) anak lebih mementingkan untuk membantu
menambah penghasilan orang tua. Anak-anak yang lebih tua dari keluarga berpenghasilan rendah
bisa juga keluar dari sekolah sebab mereka dibutuhkan untuk dapat menambah pendapatan
keluarga; (3) ada anak yang tidak dapat meneruskan sekolah karena sakit yang terus-menerus,
kondisi demikian ini karena asupan gizi yang kurang baik. Kembali lagi pada masalah ekonomi
keluarga yang sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi yang baik untuk anak-anaknya.
Banyak anak SD tidak mampu melanjutkan sekolahnya ke tingkat SLTP karena berbagai alasan,
yaitu: (1) terbatasnya tempat di sekolah, (2) tingginya biaya sekolah dan uang transpor dalam
hubungannya dengan rata-rata pendapatan keluarga, (3) pilihan anak itu sendiri untuk tidak
melanjutkan sekolah, (4) keputusan orang tua untuk tidak meneruskan membiayai anaknya di
jenjang SLTP, karena takut mereka akan keluar dari rumah untuk mencari penghidupan yang
lebih baik karena pengetahuan yang bertambah di tingkat SLTP
. Solusi untuk Mengatasi Drop Out
Penanganan drop out tentu tidak bisa dilaksanakan oleh sekolah sendiri, melainkan haruslah
terpadu dan bersama-sama dengan lingkungan lain: keluarga dan masyarakat. Pemerintah juga
perlu mengupayakan bagaimana agar drop out ini dapat ditekan. Sebab, kalau hanya satu
lembaga saja yang berusaha menekan angka drop out, maka tidak akan dapat berhasil
sebagaimana yang diharapkan.
Kasus-kasus drop out demikian, memang tidak selamanya dapat dipecahkan. Dalam pengertian,
ada beberapa kasus peserta didik drop out yang dapat dicegah dan tidak dapat di cegah.

Pada peserta didik drop out karena alasan biaya, masih dapat dicarikan jalan keluarnya dengan
memberikan beasiswa, mencarikan orang tua asuh dan sebagainya. Sedangkan jika peserta didik
drop out karena tidak bersekolah, sangat sulit pemecahannya. Oleh karena itu, amanat wajib
belajar, dengan memberikan sangsi bagi orang tua peserta didik mereka yang tidak sekolah, bisa
dijadikan sebagai sarana untuk menekan angka drop out.
Kirimkan Ini lewat Email

Karakteristik Siswa Putus Sekolah


Penelitian awal berfokus pada karakteristik individual siswa yang putus sekolah, termasuk
sejumlah faktor demografi dan sosial seperti status sosial ekonomi, ras dan etnis, jenis kelamin,
dan status cacat. Hidup dalam kemiskinan, saat sedang sekolah di SD, SMP dan SMA adalah
salah satu dari beberapa faktor yang secara signifikan berkorelasi dengan dropout (Hammond,
Linton, Smink, & Drew, 2007). Siswa berusia 16 sampai 24 dari latar belakang sosial ekonomi
tingkat atas tujuh kali lebih mungkin untuk lulus daripada yang dari kuartil sosial ekonomi
terendah. Meskipun karakteristik demografi terkait dengan kelurga yang dropout tidak bisa
diubah oleh sekolah, indikator ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok
siswa yang mungkin beresiko untuk dropout dan yang mungkin mendapatkan manfaat dari
layanan yang ditargetkan untuk meningkatkan tingkat kelulusan (Hammond et al. 2007).
Sementara studi awal difokuskan pada karakteristik individu dan kondisi yang dapat digunakan
untuk memprediksi mana siswa yang akan dropout (Shannon & Blysma, 2003), penelitian telah

diperluas untuk menyelidiki faktor tambahan berbasis rumah, masyarakat, dan sekolah, yang
sering mempengaruhi tingkat kelulusan. Faktor tersebut akan banyak dapat dipengaruhi oleh
upaya intervensi. Prestasi akademik siswa yang rendah, siswa yang mengulang atau kelebihan
usia, dan sering membolos, secara signifikan terkait dengan dropout, baik di SD, SMP, dan SMA
(Hammond et al, 2007.). Faktor-faktor ini mudah diidentifikasi dan mungkin menjadi sasaran
upaya pencegahan dropout.
Pengalaman siswa terkena dampak sekolah, apakah mereka akan lulus dari SMA, kinerja
akademik dan keterlibatan mereka di sekolah, merupakan indikator utama peluang dropout
(Hammond et al., 2007). Kinerja akademis yang buruk, yang diukur dengan nilai rendah, gagal
kursus, atau nilai tes rendah, merupakan salah satu indikator dropout. Sejumlah penelitian juga
menemukan kombinasi, antara kegagalan dalam pelajaran inti dalam kelas, kehadiran yang
buruk, dan pernah mendapat peringatan buruk dari para guru, berhubungan dengan dropout
(Balfanz, Herzog, & MacIver, 2007; Neild & Balfanz, 2006). Siswa juga dapat secara psikologis
melepaskan diri dari sekolah, tidak berharap untuk lulus, dan tidak memiliki rencana akademik
untuk lulus SMA. Selain itu, perilaku mengganggu di kelas dapat menunjukkan proses pelepasan
siswa. Perilaku yang mengganggu pengajaran dan pembelajaran siswa dapat mencakup tindakan
impulsif, menentang otoritas, berdebat dengan teman sebaya, dan / atau melanggar peraturan
sekolah (Bidell & Deacon, 2010; Powell & Newgent, 2008). Siswa yang menunjukkan perilaku
mengganggu di ruang kelas mengalami kesulitan baik akademik dan psikososial dan bisa
menghambat pelajaran di sekolah (Bidell & Deacon, 2010). Meningkatnya perilaku yang tidak
patut di ruang kelas, menyebabkan bertambah ketatnya tata tertib dan dan menurunkan prestasi
akademik (Lambert, Cartledge, & Heward, 2006). Selain itu, perilaku mengganggu kelas dropout
dan kenakalan, terutama ketika kegiatan tersebut dimulai di kelas SD (Vitaro, Brendgen,
Larosse, & Trembaly, 2005). Pelanggaran disiplin di sekolah dasar, SMP, dan SMA juga
berhubungan dengan dropout, karena memiliki perilaku antisosial termasuk mendapatkan
masalah dengan polisi, tindak kekerasan, dan penyalahgunaan bahan (Ekstrom, Goertz, Pollack,
& Rock, 1986). Bahkan setelah mengontrol karakteristik demografi siswa dan prestasi akademik,
Rumberger (2004) menemukan bahwa kurangnya keterlibatan siswa di sekolah secara signifikan
berhubungan dengan dropout. Owings dan Kaplan (2001) mengutip sejumlah studi yang
menghubungkan retensi untuk satu atau lebih tingkat kelas untuk kemudian dropout. Hasil
penelitian menunjukkan retensi tidak memiliki efek positif pada prestasi siswa dan siswa yang
ditunda, secara signifikan lebih mungkin mengalami masalah disiplin dan dropout (Owings &
Kaplan, 2001). Alexander, Entwistle dan Horsey (1997) melaporkan bahwa 63% siswa sekolah
menengah dan 64% siswa SD yang ditunda kenaikannya, kemudian gagal mendapatkan ijazah
SMA.
Tren dalam Memprediksi Putus Sekolah (dropout)
Mencoba untuk mengidentifikasi dan melacak lebih dari 40 faktor risiko yang berbeda terkait
dengan putus sekolah dapat menjadi tantangan yang mencemaskan dan membingungkan. Tren
yang dilaporkan, dalam meta analisis penelitian putus sekolah, membantu memahami masalah
yang kompleks ini. Menganalisis sekaligus beberapa faktor, daripada hanya mencoba untuk
melacak satu atau dua karakteristik, merupakan rekomendasi penting dan sekolah tidak boleh
hanya berfokus pada karakteristik siswa. Sebaiknya, mempertimbangkan juga faktor masyarakat,
keluarga, dan sekolah, terkait ketika mencoba untuk menentukan siapa yang mungkin paling
beresiko untuk gagal di sekolah.
Putus Sekolah adalah Proses, Bukan Satu Kejadian
Putus sekolah dapat digambarkan sebagai proses, bukan peristiwa tunggal, dan lebih sering
sebagai hasil akhir dari sebuah proses panjang (Alexander, Entwisle, & Horsey, 1997; Hammond
et al, 2007;. Jimerson, Egeland, Stroufe, & Carlson, 2000). Tantangan akademik, retensi kelas,
pelepasan dari sekolah, dan masalah dengan perilaku dan kehadiran sering telah bermula di
sekolah dasar, senyawa dari waktu ke waktu, dan dihubungkan dengan putus sekolah di masa

yang akan datang. Siswa yang putus sekolah, dilaporkan, adalah mereka yang sering membolos
dan merasa terasing dari sekolah untuk satu tahun atau lebih sebelum meninggalkan sekolah,
memberikan dukungan lebih lanjut untuk proses panjang sebuah pelepasan progresif
(Bridgeland, Dilulio, & Morison, 2006).
Analisis Berbagai Faktor
Meskipun berbagai faktor secara signifikan berhubungan dengan putus sekolah, tidak ada faktor
tunggal yang dapat diandalkan secara akurat meramalkan siapa yang akan ikut keluar. Selain itu,
karena banyak siswa yang mendapatkan ijazah sekolah menengah memiliki karakteristik mirip
dengan mereka yang gagal untuk lulus, siswa potensial putus sekolah tersebut sulit untuk
diidentifikasi. Pihak sekolah harus memantau beberapa faktor risiko di seluruh domain keluarga,
masyarakat, dan sekolah untuk meningkatkan kemungkinan mengidentifikasi siswa yang paling
berisiko untuk putus, daripada hanya mengandalkan pada karakteristik individu siswa (Bohanon,
Flannery, Mallory, & Fenning, 2009). Karena semua kasus putus sekolah tidaklah sama, penting
untuk menggunakan berbagai kombinasi faktor risiko untuk mengidentifikasi sub-kelompok
berbeda yang potensial menyebabkan putus sekolah(Hammond et al., 2007). Ada kesepakatan
umum bahwa siswa yang memiliki faktor resiko yang lebih banyak, akan lebih mungkin untuk
drop out, daripada siswa yang memiliki faktor risiko lebih sedikit (Ingels, Curtin, Kaufman, Alt,
& Wells, 2002), Sebagai contoh, Gleason dan Dynarski (2002) menemukan bahwa sekitar 25%
dari siswa yang memiliki 2 faktor risiko, putus sekolah dan sekitar 33% dari siswa dengan 3
faktor risiko, gagal lulus. Bahkan ketika menggunakan model regresi dari 40 faktor risiko untuk
mengidentifikasi siswa yang paling berisiko terhadap putus sekolah, hanya 60% dari siswa ini
yang berhasil lulus (Gleason & Dynarski).
Mengidentifikasi Subkelompok dari Siswa Putus Sekolah
Sub kelompok yang berbeda dari putus sekolah telah dijelaskan dalam literatur, masing-masing
diidentifikasi dengan rasi bintang yang berbeda dari faktor risiko. Sebagai contoh, beberapa
siswa yang dapat diidentifikasi sejak awal di sekolah dasar dan menunjukkan karakteristik,
kebanyakan berhubungan dengan dengan putus sekolah. Selain angka tes dan ranking yang
rendah, para siswa ini memiliki tingkat kehadiran yang buruk dan sering memiliki masalah
perilaku (Barrington & Hendricks, 1989). Banyaknya siswa yang berasal dari latar belakang
sosial ekonomi yang rendah, yang dropout dapat dijelaskan sebagai kategori putus sekolah
"tradisional" (Hammond et al., 2007).
Kelompok lain adalah siswa drop out karena alasan selain kegagalan akademis. Mereka "dapat"
putus sekolah walaupun memiliki nilai ujian rata-rata, tetapi mungkin meninggalkan sekolah
karena masalah disiplin, masalah perilaku, atau konflik dengan kebijakan sekolah. Orang lain
mungkin mengundurkan diri karena faktor dari luar sekolah, seperti hamil atau sudah menikah,
mendapatkan pekerjaan, atau karena tekanan sosial (Hammond et al., 2007). Barrington dan
Hendricks (1989) menggambarkan "siswa yang tidak lulus" sebagai siswa yang duduk di SMA
selama empat atau bahkan lima tahun, tetapi tidak pernah lulus. Di sekolah dasar siswa ini
secara akademis sukses dan bersekolah secara teratur. Mulai berubah, saat di sekolah menengah,
di mana mereka pertama kali mengalami kegagalan akademik, nilai rendah, kehadiran yang
buruk, dan masalah disiplin. Sekolah dan divisi sekolah mungkin perlu untuk melacak sejumlah
faktor dari waktu ke waktu, untuk menentukan berbagai kelompok siswa yang mungkin berada
pada risiko putus sekolah. Karena berbagai kelompok siswa putus sekolah disebabkan oleh
berbagai alasan, berbagai intervensi harus dirancang dan dilaksanakan untuk mengidentifikasi
dan mengatasi perilaku dan kebutuhan siswa.
Mengidentifikasi Faktor Penarik dan Faktor Pendorong
Cara lain untuk mengkonsep faktor-faktor kompleks yang mempengaruhi keputusan siswa untuk
putus sekolah adalah dengan mengidentifikasi faktor penarik dan pendorong. Faktor penarik
seperti pengalaman di luar sekolah yang mempengaruhi keputusan siswa untuk putus sekolah
dan mungkin termasuk keluarga, masyarakat dan pengaruh teman sebaya, selain karakteristik

siswa. Beberapa siswa menghadapi tanggung jawab keluarga yang meningkat, menuntut untuk
bekerja, hamil, atau menikah dan memutuskan untuk meninggalkan sekolah (Ross Epp & Epp,
2001). Faktor pendorong dari dalam sekolah yang mendorong beberapa siswa untuk
meninggalkan sekolah, seperti kebijakan dan prosedur, struktur sekolah, iklim sekolah, dan
masalah lingkungan yang mengasingkan siswa. Sebagai contoh, beberapa personil sekolah
mungkin merasa lebih praktis dan / atau nyaman untuk menghapus siswa yang menentang
sekolah bahkan jika mereka masih resmi terdaftar (Ross Epp & Epp, 2001). Siswa-siswa ini
biasanya dianggap putus sekolah, tapi kritikus menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang
didorong keluar dari sekolah karena kebijakan administrasi sekolah yang tidak fleksibel.
Mayoritas siswa yang meninggalkan sekolah sebelum lulus tidak menghilang tiba-tiba (Ross Epp
& Epp, 2001). Siswa menyadari proses pendorong dan lebih sering mengutip faktor-faktor
pendorong seperti tidak menyukai sekolah, gagal secara akademis, absensi yang berlebihan, atau
memiliki hubungan sulit dengan guru sebagai alasan utama mereka untuk meninggalkan sekolah
(Bridgeland et al, 2006.; Ekstrom et al, 1986.).
Satu kelompok siswa yang sering mengalami faktor penarik dan mungkin lebih berpotensi putus
sekolah adalah siswa yang lesbian, gay, biseksual, transgender, atau yang mempertanyakan
orientasi seksual mereka (LGBGTQ). Sering para siswa menjadi sasaran bullying dan
perpeloncoan di sekolah, dengan hampir 90% pelaporan dilecehkan dalam satu tahun terakhir
(Kosciw, Greytak, Diaz, & Bartkiewicz, 2010). Banyak siswa LGBTQ merasa tidak aman di
sekolah, dan lebih dari tiga kali berpotensi dari siswa lain, untuk membolos satu hari dari
sekolah karena merasa tidak aman atau tidak nyaman (Kosciw et al., 2010). Siswa LGBTQ
beresiko untuk membolos dan putus sekolah dan lebih sering terisolasi secara sosial, depresi, dan
bunuh diri (D'Augelli, 2002). Hanya sebagian kecil siswa LGBTQ berencana untuk
menyelesaikan sekolah menengah atau kuliah, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka (Studi
Pendidikan Longitudinal, 2005). Meskipun kurang dari setengah siswa LGBTQ melaporkan
bahwa sekolah mereka memiliki Aliansi Gay-Straight (GSA), mereka memiliki iklim sekolah
yang lebih positif, pelecehan yang kurang, dan dukungan sekolah yang lebih besar dibandingkan
dengan rekan-rekan LGBTQ di sekolah yang tidak memiliki GSA (Kosciw et al., 2010).
Konselor sekolah dapat menjadi pendukung membantu dalam membangun atau mensponsori
organisasi GSA dan juga dapat mendukung individu siswa LGBTQ maupun dalam dukungan
kelompok (Curry & Hayes, 2009; DePaul, Walsh, Dam, 2009). Mendorong pengembangan
profesional, mengenai isu-isu LBGTQ bagi taf sekolah dan advokasi untuk kebijakan sekolah,
yang mencakup orientasi seksual adalah cara lain konselor sekolah profesional untuk mendukung
siswa LGBTQ (Curry & Hayes, 2009;. DePaul et al, 2009).
Rekomendasi Pencegahan Putus Sekolah
Ada sejumlah rekomendasi untuk mengurangi tingkat putus sekolah dan memperbesar kelulusan,
yang disarankan dalam penelitian ini (lihat lampiran). Intervensi, termasuk strategi reformasi
sekolah untuk meningkatkan keterlibatan siswa, bantuan yang ditujukan kepada individu atau
kelompok siswa yang teridentifikasi beresiko untuk putus sekolah, memberikan dukungan bagi
siswa selama transisi, dan menggunakan sistem pelacakan diagnostik untuk mengidentifikasi
siswa dan faktor sekolah yang mempengaruhi tingkat putus sekolah ( Dynarski et al, 2008.).
Beberapa strategi yang paling umum dari program pencegahan putus sekolah yang menjanjikan
untuk dikaji.
Menerapkan Sistem Pelacakan
Meskipun saat ini hanya ada dukungan empiris untuk mengembangkan sistem pelacakan
longitudinal, para ahli merekomendasikan bahwa negara, sekolah, dan dinas pendidikan,
diharapkan mengembangkan dan memelihara sistem data lokal untuk membantu dalam
mengidentifikasi potensi putus sekolah (Dynarski et al, 2008;. Kennelly & Monrad, 2007).
Meskipun tidak mungkin untuk memprediksi dengan tingkat akurasi apakah siswa tertentu akan

putus sekolah, ada beberapa pola yang dapat diidentifikasi ketika sekolah dan divisi melacak
sejumlah indikator dari waktu ke waktu. Karena tingkat putus sekolah dipengaruhi oleh faktor
masyarakat, geografis dan demografis, penting untuk mengumpulkan data lokal untuk lebih
memprediksi siapa yang akan putus sekolah. Awalnya setiap sekolah atau dinas harus melacak
berbagai faktor dalam jumlah yang relative besar, untuk menentukan indikator terbaik putus
sekolah dalam komunitas mereka (Hammond et al., 2007).
Sistem pelacakan harus menggunakan pengidentifikasi unik siswa untuk memungkinkan
pelacakan komprehensif siswa secara individual. Sistem minimal harus mencakup riwayat
absensi siswa, retensi kelas, rendahnya tingkat prestasi akademik, dan pelepasan dari sekolah
sejak kelas empat. Karena faktor ini secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko putus
sekolah (Kennelly & Monrad, 2007). Sistem pelacakan juga dapat digunakan untuk memantau
keterlibatan sosial siswa dan prestasi akademis dan dapat menggunakan peringatan otomatis,
untuk mengidentifikasi siswa, yang mungkin mengalami masalah perilaku atau tantangan hidup,
yang membutuhkan bantuan agar tetap di jalur untuk lulus (Dynarski et al., 2008). Frekuensi dan
jenis perilaku mengganggu kelas juga harus dilacak dari waktu ke waktu sebagai cara untuk
mengidentifikasi siswa yang berpotensi mengalami kegagalan sekolah.
Siswa yang menunjukkan perilaku sering mengganggu kelas, dikeluarkan dari kelas atau sekolah
mereka, untuk penegakkan tata tertib yang mengakibatkan penahanan, penangguhan, atau
pengusiran (Bidell & Deacon, 2010). Siswa-siswa ini lebih mungkin untuk gagal secara
akademis dan berisiko lebih besar untuk kenakalan, penyalahgunaan obat, dan putus sekolah
(Ekstrom et al, 1986;. Wehlage & Rutter, 1986). Faktor lain untuk memonitor termasuk
pengunduran lebih dahulu dari sekolah, status sosial ekonomi, dan karakteristik lokal lain yang
telah dikaitkan dengan putus sekolah.
Agar sistem pelacakan efektif, data harus up-to-date dan mudah diakses oleh personil sekolah
yang akan memonitor dan kemudian diurusi dengan tepat. Meskipun informasi pada banyak
indikator yang dipilih sudah dapat dikumpulkan oleh sekolah, tantangan berikutnya adalah dalam
mengidentifikasi sumber daya keuangan dan personil tambahan, yang dibutuhkan untuk
membuat sistem pelacakan terpusat.
Melatih dan Menggunakan Pendukung (penganjur)
Terdapat dukungan empiris yang moderat, untuk program yang menggunakan pendukung
terlatih, untuk bekerja dengan siswa yang menjadi sasaran, di SMP dan SMA (Dynarski et al.,
2008). Pendukung dewasa bekerja melebihi mentor pada siswa yang berisiko, dan diharapkan
memberikan dukungan substansial seperti menyelaraskan layanan untuk mengatasi masalah
akademik dan sosial, mendampingi siswa, melakukan komunikasi dengan orang tua dan personil
sekolah, dan bertemu siswasecara teratur. Memiliki hubungan berkelanjutan dan bermakna
dengan orang dewasa yang peduli, adalah salah satu cara untuk mempromosikan keterlibatan
siswa di sekolah dan mentoring yang efektif, telah mengurangi perilaku berisiko dan
ketidakhadiran sembari mempromosikan komunikasi, sosial, dan keterampilan akademik
(Dynarski et al, 2008.). Hasil ini positif ditemukan, pada program di mana orang dewasa dilatih
dan bekerja sebagai pengelola kasus, yang secara intensif bertemu setiap hari dengan siswa, yang
dinilai beresiko. Tantangan mungkin termasuk kesulitan dalam mencari sumber daya masyarakat
dan sekolah yang cukup, mencocokkan siswa yang diidentifikasi dengan seorang mentor yang
tepat, menemukan waktu bagi pendukung untuk bekerja dengan sekolah dan siswa, dan
memberikan pengawasan yang memadai.
Memberikan Dukungan dan Pengayaan Akademik
Menggunakan strategi yang efektif untuk meningkatkan keberhasilan akademik dan melibatkan
para siswa, adalah saran lain, untuk mengurangi tingkat drop out (Dynarski et al., 2008).
Pendampingan siswa yang disarankan, difokuskan pada peningkatan prestasi siswa, dapat
ditawarkan melalui les; program bantuan pekerjaan rumah, atau dukungan akademis yang kuat,
baik sebagai bagian dari hari sekolah biasa, sepulang sekolah, selama musim panas, atau pada

akhir pekan. Strategi-strategi ini dapat meningkatkan keterlibatan siswa, meningkatkan


pengembangan keterampilan akademik, dan meningkatkan pembelajaran (Dynarski, et al., 2008).
Program yang lebih berhasil, menawarkan kelas tambahan bagi siswa yang sedang berusaha,
perbaikan dalam membaca, perbaikan nilai, atau pemberian les beberapa hari dalam seminggu.
Beberapa sekolah mungkin harus mempertimbangkan penjadwalan yang inovatif, dalam rangka
memberikan dukungan akademis dan pengayaan, dalam hubungannya dengan pembelajaran
biasa. Program-program lain, mungkin membutuhkan badan atau dana perlu mengembangkan
dana tambahan atau keterlibatan lembaga untuk mendukung program tutorial dan layanan
perbaikan.
Promosikan Pengembangan Keterampilan Sosial
Disarankan agar sekolah membantu siswa, dalam mengembangkan keterampilan sosial, seperti:
komunikasi yang efektif dan keterampilan pemecahan masalah; mengidentifikasi, pemahaman,
mengatur emosi; menetapkan tujuan, dan mengatasi konflik (Dynarski et al, 2008.). Penelitian
mendukung adanya hubungan antara perilaku mengganggu kelas dan putus sekolah (Rumberger
& Palardy, 2005). Mengajarkan perilaku yang benar, melalui pendidikan keterampilan sosial
dapat meningkatkan rasa memiliki dari siswa terhadap sekolah; dan memelihara keterlibatan
siswa juga berhubungan dengan kegigihan siswa di sekolah (Rumberger, 2004). Siswa yang
terlibat dalam pelatihan keterampilan sosial belajar untuk secara efektif mengelola maslah
pribadi, keluarga, dan sosial; membentuk hubungan yang lebih positif dengan guru dan teman
sebaya, dan lebih terlibat dalam kegiatan sekolah (Marsh & Kleitman, 2002). Guru,
bagaimanapun, mungkin tidak nyaman dengan mengajarkan keterampilan sosial dan mungkin
enggan untuk memberikan waktu pembelajaran kepada konselor sekolah untuk mempromosikan
pengembangan psikososial.
Membantu masa transisi bagi siswa baru
Siswa sering mengalami masa transisi, ketika mereka naik kelas, kembali ke sekolah setelah
sakit, setelah libur panjang, pindah sekolah. Karena siswa baru di SMA sering menunjukkan
penurunan prestasi akademik dan kehadiran, maka adalah penting untuk membantu siswa, agar
berhasil menyesuaikan dengan transisi ke SMA. "Kelas sembilan seringkali dianggap sebagai
tahun kritis - antara berhasil atau gagal - ketika siswa naik atau turun kinerjanya saat masuk
SMA" (Kennelly & Monrad, 2007, hal. 5). Siswa yang gagal di kelas sembilan, lebih banyak dari
di pada tingkat lebih tinggi di kelas SMA lainnya. Sejumlah siswa yang dibawah rata-rata - yang
kemudian putus sekolah, juga dipertahankan di kelas sembilan. Neild dan Balfanz (2006)
mencatat bahwa sekitar dua pertiga dari siswa yang putus sekolah di Philadelphia digolongkan
sebagai kelas sembilan, berdasarkan kredit yang masih harus ditempuh terhadap kelulusan,
meskipun sudah terdaftar di SMA selama beberapa tahun. Pendaftaran kelas Sembilan
mengalami lonjakan, karena banyak siswa yang kurang siap memenuhi tuntutan akademik
masuk SMA, dan gagal naik kelas tahun kedua. Di kota-kota dengan tingkat putus sekolah
tertinggi, Balfanz dan Ledger (2006) menemukan bahwa sampai 40% dari siswa baru harus
mengulangi tahun mereka, dan bahwa kurang dari 15% dari para siswa ini yang lulus dari SMA.
Allensworth dan Easton (2005) melaporkan bahwa keberhasilan akademis di kelas sembilan
adalah pertanda baik, untuk berhasil lulus, dibandingkan faktor demografi atau prestasi
akademik di kelas sebelumnya.

Melaksanakan Pendampingan Luas di Sekolah


Selain menerapkan sistem pelacakan diagnostik untuk mengidentifikasi siswa dengan faktor
risiko penyebab putus sekolah, dan memberikan dukungan akademis, sosial, dan transisi yang

ditargetkan untuk siswa yang diidentifikasi, pendampingan yang dilaksanakan di tingkat sekolah
dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan mengurangi tingkat putus sekolah. Seluruh upaya
sekolah harus fokus pada pembejaran, menciptakan harapan yang sesuai dan tinggi, untuk semua
siswa, dan memantau kemajuan di semua tingkatan (Sweet, 2004). Saran lain adalah, membuat
lingkungan pembelajaran yang berpusat pada siswa, budaya hubungan yang saling peduli dan
mendukung, dan koneksi yang kuat pada pasca belajar di sekolah menengah. Mengembangkan
iklim sekolah yang positif dan lingkungan yang mendukung adalah atribut penting sekolah
(Goldschmidt & Wang, 1999). Siswa cenderung tidak akan putus sekolah, jika hubungan antara
guru dan siswa secara konsisten positif, sehingga keterampilan interpersonal yang efektif dan
membangun hubungan yang kuat antara pihak sekolah dan siswa sangat penting.
Mengembangkan hubungan positif guru-murid tergantung pada struktur sekolah dan juga
organisasi yang efektif (Goldschmidt & Wang, 1999). Selain itu, penting untuk mengembangkan
dan menawarkan pendampingan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan yang telah
diidentifikasi dalam setiap sekolah, tidak semua strategi akan sesuai untuk setiap sekolah.
Implikasi Pencegahan Putus Sekolah bagi Konsuler Sekolah
ASCA menekankan dukungan konselor sekolah pada semua siswa dalam karir, psikososial, dan
pengembangan akademik (Asca, 2005). ASCA telah menjalin empat tema ke dalam kerangka
Model Nasional: (a) kepemimpinan, (b) advokasi, (c) kolaborasi dan kerja sama, dan (d)
perubahan sistemik. Jika dimanfaatkan secara efektif, bidang keahlian konselor ini dapat
melengkapi upaya lain dari sekolah, masyarakat, lembaga, dan keluarga untuk mengatasi tingkat
putus sekolah. Peran konselor sekolah Model Nasional ASCA yaitu kolaborasi, koordinasi, dan
konsultasi juga menyelaraskan dengan baik layanan koordinasi dan program untuk mengurangi
tingkat putus sekolah dan meningkatkan prestasi akademik di semua siswa. Akhirnya,
pentingnya menggunakan data untuk menunjukkan dampak pendampingan spesifik, pada jerat
siswa dengan rekomendasi-rekomendasi untuk upaya pencegahan putus sekolah.
Kepemimpinan

dan

Kolaborasi

Konselor sekolah diharapkan untuk melayani sebagai pemimpin di sekolah dan untuk
berkolaborasi dengan rekan-rekan pendidik serta dengan anggota masyarakat, lembaga lainnya,
orang tua dan keluarga dari anak usia sekolah (Asca, 2005). Upaya pencegahan putus sekolah
harus mencakup konselor dan membentuk kemitraan sekolah dengan lembaga lokal untuk lebih
efektif mendukung siswa (Dynarski et al., 2008). Upaya tersebut dapat mencakup konseling
keluarga atau lokakarya pendidikan orang tua; program masyarakat yang diberikan setelah
sekolah, pada akhir pekan, atau selama musim panas, dan upaya terkoordinasi untuk
menyediakan mentor, model peran, atau pendukung (Hammond et al, 2007). Konselor sekolah,
dengan pelatihan mereka dalam kolaborasi dan komunikasi yang efektif, dapat memainkan peran
penting dalam mengembangkan dan mengkoordinasikan program responsif untuk memenuhi
kebutuhan siswa. Inisiatitif kepemimpinan untuk konselor sekolah, mungkin termasuk melayani
di gugus tugas pencegahan putus sekolah, untuk mengatasi faktor individu, sekolah, atau
masyarakat yang berhubungan dengan putus sekolah. Konselor sekolah dapat merencanakan dan
memimpin, sesi pelatihan orang tua atau mendidik anggota dewan sekolah lokal dan pemangku
kepentingan lain, mengenai praktik pencegahan putus sekolah yang efektif atau mengenai
pengumpulan data minat siswa, yang dilaksanakan melalui penilaian seluruh kebutuhan sekolah.
Selain itu, konselor mungkin menawarkan kegiatan pengembangan profesional bagi guru dan
staf lain mengenai faktor-faktor risiko yang menyebabkan putus sekolah; strategi yang

menjanjikan, dan cara efektif untuk mengembangkan kelas dan lingkungan sekolah yang positif,
di mana siswa merasa disambut, terhubung, dan dikembangkan.
Konselor sekolah dapat mengambil inisiatif untuk memastikan administrator dan guru mengakui
peran sekolah dalam memberikan tantangan akademis yang sesuai dan mendorong rasa memiliki
untuk setiap siswa. Konselor sekolah juga mungkin memainkan peran kepemimpinan di sekolah,
secara luas, sebagai upaya untuk mengatasi perilaku mengganggu kelas melalui pemodelan yang
sesuai perilaku pro-sosial, membantu guru menghadapi siswa sulit, dan menggunakan
pendampingan konseling sebagai alternatif pemberian sanksi disipliner atau hukuman bagi siswa
yang bermasalah. Karena siswa yang sering mengganggu di sekolah, disimpulkan memiliki
konsep diri lebih rendah, konselor sekolah harus mempertimbangkan cara-cara untuk
meningkatkan perilaku dan konsep diri siswa yang tepat (Bidell & Deacon, 2010). Upaya
kolaboratif oleh konselor sekolah, guru, administrator, dan orang tua dapat mengurangi insiden
perilaku mengganggu di kelas dan membantu menjaga siswa terlibat secara positif di sekolah
(Bidell & Deacon, 2010). Selain memberikan konseling dan langkah-langkah pencegahan untuk
mengurangi perilaku yang mengganggu di kelas, konselor sekolah harus bekerjasama dengan
administrator mengenai pelaksanaan aturan dan tata tertib. Hari-Vines dan Terriquez (2008)
menemukan bahwa meniadakan ketidakadilan dan memperjelas prosedur disiplin, ketika
digabungkan dengan pendekatan kekuatan berbasis kepada siswa, menurunkan tingkat
skorsing terhadap siswa hingga 75%. Cara ini dan yang sejenisnya mengenai kepemimpinan,
kerjasama, dan konsultasi terkait erat dengan peran yang direkomendasikan dalam Model
Nasional ASCA.

Advokasi

dan

Perubahan

Sistemik

Peran advokasi konseling ini juga penting untuk upaya pencegahan putus sekolah di sejumlah
arena. Selain bekerja dengan siswa untuk menetapkan rencana akademik dan karir individu,
konselor harus mengadvokasi di tingkat administratif sekolah untuk program-program yang
mendukung bagi resiko yang dihadapi remaja (Svec, 1987). Di tingkat distrik, konselor harus
bekerja untuk perubahan sistemik demi mengurangi faktor-faktor pendorong keluar, seperti
toleransi nol terhadap kehadiran dan aturan tata tertib. Upaya advokasi dan perubahan sistemik,
mungkin termasuk upaya konseling sekolah untuk melaksanakan program sekolah dalam
pencegahan bullying, memperbaiki lingkungan sekolah, menetapkan kebijakan untuk
memberikan konseling dan dukungan, daripada pengusiran untuk siswa yang ditemukan dengan
obat-obatan, atau pertemuan dengan guru untuk mendiskusikan alternative, selain sanksi
kegagalan bagi siswa dengan kesulitan akademik. Melakukan pendampingan setelah waktu
sekolah, pada akhir pekan, atau program musim panas, dengan memberikan kesempatan
tambahan untuk membantu siswa meningkatkan keterampilan akademik, meningkatkan
keterlibatan mereka, atau menyediakan kursus yang diperlukan dan alternative penting bagi
siswa yang mengalami kesulitan (Dynarski et al., 2008).
Sistem penyelenggaraan
Konselor sekolah seharusnya memasukkan kegiatan pencegahan putus sekolah ke dalam
kurikulum bimbingan yang sedang berlangsung. Sesi bimbingan kelas, harus dipresentasikan
kepada semua siswa, untuk membantu dalam penyesuaian ke sekolah, memperjelas persyaratan
kelulusan dan harapan akademis, atau memberikan informasi karir yang mempromosikan

pemahaman tentang hubungan antara sekolah dan kerja (Suh, Suh, & Houston, 2007). Sesi
kelompok kecil mungkin ditawarkan kepada siswa yang ditargetkan untuk mengatasi masalah
dengan masalah kehadiran atau perilaku, mempromosikan citra diri positif, atau untuk
mengembangkan kemampuan efektif dalam komunikasi atau mediasi konflik (Suh, Suh, &
Houston, 2007). Menawarkan sesi pendampingan yang fokus pada kelompok kecil atau individu,
menegnai kemampuan belajar, pengembangan akademik tertentu, dan strategi penentuan tes,
bagi siswa yang sedang memperbaiki masalah akademisnya juga penting. Selain itu, konselor
dapat membentuk kemitraan dengan organisasi masyarakat, perguruan atau bisnis lokal, atau
menggunakan staf pengajar sekolah, untuk memenuhi kebutuhan para pengajar ekstra.
Menawarkan program untuk mendukung keberhasilan dalam masa transisi akademik dan sosial,
dari SD ke SMP dan dari SMP ke SMA, bermanfaat bagi semua siswa, sementara kelompok
dukungan terus menerus bisa dibentuk, bagi siswa baru untuk divisi sekolah atau mereka yang
baru pindah pada pertengahan tahun (Suh , Suh, & Houston, 2007).
Mengembangkan mentoring, dukungan les, atau program penasehat guru adalah peluang lain
bagi konselor sekolah untuk mengembangkan program konseling yang efektif sambil tetap
menanggapi kebutuhan siswa (White & Kelly, 2010). Program-program tersebut dapat
memberikan dukungan sosial dan akademik yang positif untuk semua siswa dengan layanan
lebih khusus bagi siswa yang ditargetkan pada-risiko untuk putus sekolah (Putih & Kelly, 2010).
Pendamping senior, mungkin dilatih untuk membantu siswa dalam menetapkan tujuan akademik
dan sosial / perilaku yang realistis dan dapat dicapai. Pemecahan masalah dan pembelajaran
keterampilan hidup dapat dimasukkan ke dalam kurikulum yang ada, ditawarkan kepada
kelompok kecil siswa, atau diterapkan melalui program penasihat guru atau program
pendampingan (Dynarski et al., 2008).
Perencanaan individu siswa, mungkin juga digunakan untuk menyusun program akademik yang
menantang bagi siswa dan yang sesuai dengan minat siswa dengan kurikulum yang tepat atau
pilihan. Selain itu, layanan responsif dapat membantu individu atau kelompok kecil siswa tetap
bersekolah ketika menghadapi krisis seperti penyalahgunaan alkohol atau obat, masalah
kesehatan mental, kehamilan, atau tunawisma. Karena kehadiran yang buruk sangat berhubungan
dengan kegagalan akademis dan kemudian putus sekolah, maka perlu dilakukan pemantauan dan
pendampingan segera, kepada siswa yang sering kali absen (Kennelly & Monrad, 2007).
Keterbatasan dan Arah Masa Depan
Berurusan dengan potensi putus sekolah memang menantang bagi guru, administrator, dan
konselor, sehingga sangat penting untuk membangun konsensus dan dukungan sebelum
menerapkan strategi untuk mengatasi kelemahan akademis, sosial, atau emosional siswa.
(Cholewa, Smith-Adcock, & Amatea, 2010). Guru mungkin enggan untuk menggunakan waktu
kelasnya, untuk mempromosikan pengembangan keterampilan sosial. Sementara, administrator
dihadapkan dengan keputusan sulit yaitu mengenai program pencegahan sampai soal
pembiayaan. Dihadapkan dengan keterbatasan anggaran, menjadi penting untuk berhati-hati
mencocokkan layanan pencegahan dengan siswa - yang akan paling diuntungkan dari berbagai
program pencegahan putus sekolah, agar hemat biaya.
Juga, meskipun ada peningkatan pemahaman mengenai pentingnya intervensi awal di tingkat
sekolah dasar, untuk siswa beresiko yang kemudian akan putus sekolah, banyak penelitian saat
ini, justru berfokus pada strategi di tingkat sekunder, ketika siswa benar-benar meninggalkan
sekolah. Hal ini penting, yaitu untuk mengidentifikasi siswa dan menerapkan strategi sedini

mungkin. Sebab, sering membutuhkan usaha yang intensif untuk membalikkan tahun kegagalan
akademis atau pelepasan, saat pendampingan tidak dimulai, sampai siswa di SMA.
Meskipun banyak upaya pencegahan putus sekolah, fokus pada pendampingan yang ditargetkan
baik dengan siswa secara individual atau lebih komprehensif yaitu melalui reformasi sekolah,
penelitian menunjukkan bahwa penting untuk menggabungkan strategi yang efektif dari kedua
pendekatan (MacIver & MacIver, 2009). "Fokus reformasi komprehensif pada praktek sekolah,
perlu mengatasi masalah ketidakhadiran, masalah perilaku, dan kegagalan mata pelajaran bagi
mayoritas siswa. Selanjutnya, upaya yang fokus pada individu akan dibutuhkan bagi siswa yang
memiliki kebutuhan lebih intensif (MacIver & MacIver, 2009, p 10). Praktek-praktek ini
bertautan secara baik, dengan upaya konseling sekolah, yang memberikan layanan di seluruh
tingkatan: dengan kelompok, individu kecil, dan sekolah. Selain itu, pemantauan, evaluasi, dan
modifikasi strategi pencegahan putus sekolah, melengkapi kebutuhan konselor sekolah untuk
menggunakan data, untuk menunjukkan efektivitas pelayanan mereka dan pada akhirnya dapat
menyebabkan penurunan jumlah siswa putus sekolah.
Lampiran
Strategi dan Intervensi Pencegahan Putus Sekolah
Intervensi

Strategi

Intervensi akademik

Bimbingan Belajar, dukungan akademik, penyelenggaraan


kegiatan setelah jam sekolah, layanan pembelajaran,
akumulasi kredit yang dipercepat, kelas-kelas tambahan

Dukungan psiko-sosial

Intervensi perilaku, kegiatan ekstrakurikuler terstruktur,


pengembangan keterampilan kehidupan, konseling,
pengelolaan amarah, resolusi konflik, penanganan transisi

Intervensi keluarga

Mengaktifkan siswa, memperkuat dan / atau konseling


dengan keluarga

Menangani perilaku yang Masa Percobaan, memantau pembolosan dan kehadiran,


beresiko tinggi
kehamilan,
remaja
yg
menjadi
orangtua,
intervensi/pencegahan penyalahgunaan obat
Bantuan orang dewasa

Mentoring, manajemen kasus,


pengadilan, layanan koordinasi

pendampingan

di

Pembuatan program dan Lingkungan sekolah, suasana ruang kelas, reorganisasi


struktur sekolah
sekolah, tahun ajaran baru, pengembangan profesional
pengembangan, pembaruan sistemik / kebijakan
Kurikulum sekolah

Pembedaan pembelajaran, pembelajaran yang fokus pada


siswa, pembelajaran interaktif, pembelajaran budaya atau
linguistik yang relevan, standar akademik dan kurikulum
yang tinggi dan ketat untuk semua siswa, link dengan
pengembangan karir, pelatihan kerja, penyiapan sebagai
angkatan kerja.

Sumber: Diringkas dari Program Keteladanan dan Faktor-faktor yang Berisiko Dropout oleh C.
Hammond, D. Linton, J. Smink, J., dan S. Drew, 2007, Pusat Pencegahan Dropout Nasional /
Jaringan dan Komunitas di Sekolah, Clemson, SC, Lima belas Strategi Efektif untuk
Meningkatkan Kehadiran Siswa dan Pencegahan pembolosan oleh J.Smink dan M. Reimer,
2005, Jaringan/Pusat Pencegahan Dropout Nasional, dan "Peran Konselor Sekolah dalam
Pencegahan Putus Sekolah

A.

Pengertian Pendidikan, Anak, Putus Sekolah


Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memilikin kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No. 20
Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional). Menurut Ki Hajar Dewantara, Pendidikan
adalah segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat dapatlah mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tinnginya
(Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962). Menurut John Dewey, Pendidikan adalah
tuntutan terhadap proses pertumbuhan dan proses sosialisasi anak. Dalam proses pe5rtumbuhan
ini anak mengembangkan dirinya ke tingkat yang makin lama makin sempurna, sesuai dengan
teori evolusi Darwin (Soemadi Tj. 1981: 24)
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, (Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23
Tahun 2002). anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan
yang berasal dari lingkungan, (Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 1986). menurut Augustinus
(dalam Suryabrata, 1987), yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak,

mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan
untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan
dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh
yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa. Sehingga dapat di simpulkan bahwa
anak adalah manusia yang belum dewasa yang umumnya berumur di bawah 18 tahun dan masih
rentan terhadap kesalahan sehingga perlu pengawasan dari manusia dewasa.
Sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat
menerima dan memberi pelajaran menurut tingkatan yang ada menurut kamus besar bahasa
indonesia.
Anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami keterlantaran karena sikap
dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh
kembang anak tanpa memperhatikan hak hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Undang Undang nomor 4 tahun 1979, anak terlantar diartikan sebagai anak yang orang
tuanya karena suatu sebab, tidak mampu memenuhi kebutuhan anak sehingga anak menjadi
terlantar.
Menurut Departemen Pendidikan di Amerika Serikat (MC Millen Kaufman, dan
Whitener, 1996) mendefinisikan bahwa anak putus sekolah adalah murid yang tidak dapat
menyelesaikan program belajarnya sebelum waktunya selesai atau murid yang tidak tamat
menyelesaikan program belajarnya. Anak putus sekolah (drop out) adalah anak yang karena
suatu hal tidak mampu menamatkan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar maupun
menengah secara formal (Depag RI, 2003:4)

B.

FAKTOR PENYEBAB ANAK PUTUS SEKOLAH


Sesuai dengan hasil wawancara yang pernah saya lakukan, ada beberapa faktor yang

a.
b.
c.
d.

menyebabkan anak putus sekolah yaitu :


Kondisi ekonomi keluarga
Pengaruh teman yang sudah tidak sekolah
Sering membolos
Kurangnya minat untuk meraih pendidikan/ mengenyam pendidikan dari anak didik itu sendiri
Disamping itu ada faktor internal dan faktor eksternal
Faktor internal :
a)

Dari dalam diri anak putus sekolah disebabkan malas untuk pergi sekolah karena merasa

minder, tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekolahnya, sering dicemoohkan karena
tidak mampu membayar kewajiban biaya sekola.ak dipengaruhi oleh berbagai faktor

b)

Karena pengaruh teman sehingga ikut-ikutan diajak bermain seperti play stasion sampai

akhirnya sering membolos dan tidak naik kelas , prestasi di sekolah menurun dan malu pergi
kembali ke sekolah.
c)

Anak yang kena sanksi karena mangkir sekolah sehingga kena Droup Out.

Faktor Eksternal
a)

Keadaan status ekonomi keluarga.

b)

Kurang Perhatian orang tua

c)

Hubungan orang tua kurang harmonis


Selain Permasalahan diatas ada factor penting dalam keluarga yang bisa mengakibatkan

anak putus sekolah yaitu :


1)

Keadaan ekonomi keluarga.

2)

Latar belakang pendidikan ayah dan ibu.

3)

Status ayah dalam masyarakat dan dalam pekerjaan.

4)

Hubungan sosial psikologis antara orang tua dan antara anak dengan orang tua.

5)

Aspirasi orang tua tentang pendidikan anak, serta perhatiannya terhadap

kegiatan belajar

anak.
6)

C.

Besarnya keluarga serta orang orang yang berperan dalam keluarga.

KEGIATAN SEHARI-HARI
Dari hasil wawancara antara si A dan L memiliki kegiatan yang berbeda. Si A
menghabiskan hari-harinya untuk bermain, berangkat sore pulang pagi. Biasanya dia bermain
balap motor dengan temannya.
Sedangkan si L menghabiskan hari-harinya untuk menjaga warung kecil yang
dibuatkan dari orang tuanya.
Selain contoh diatas kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh anak yang putus sekolah
adalah menjadi pemulung, mengamen, mencuri dll.
D.

USAHA MENGATASI ANAK PUTUS SEKOLAH


Dalam mengatasi terjadinya anak putus sekolah harus adanya berbagai usaha

pencegahannya sejak dini, baik yang dilakukan oleh orang tua, sekolah (pemerintah) maupun
oleh masyarakat. Sehingga anak putus sekolah dapat dibatasi sekecil mungkin.
Usaha-usaha untuk mengatasi terjadinya anak putus sekolah di antaranya dapat di tempuh
dengan cara:
1. Membangkitkan kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan anak

2. Memberikan dorongan dan bantuan kepada anak dalam belajar


3. Mengadakan pengawasan terhadap di rumah serta memberikan motivasi kepada anak
sehingga anak rajin dalam belajar dan tidak membuat si anak bosan dalam mengerjakan
pekerjaan rumah yang diberikan di sekolah.
4. Tidak membiarkan anak bekerja mencari uang dalam masa belajar.
5. Tidak memanjakan anak dengan memberikan uang jajan yang terlalu banyak.

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami keterlantaran karena sikap

dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh
kembang anak tanpa memperhatikan hak hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak
Pendidikan merupakan hak yang sangat fundamental bagi anak. Hak wajib dipenuhi
dengan kerjasama paling tidak dari orang tua siswa, lembaga pendidikan dan pemerintah.
Pendidikan akan mampu terealisasi jika semua komponen yaitu orang tua, lembaga masyarakat,
pendidikan dan pemerintah bersedia menunjang jalannya pendidikan
Akibat yang disebabkan anak putus sekolah adalah kenakalan remaja, tawuran, kebutkebutan di jalan raya , minum minuman dan perkelahian, akibat lainnya juga adalah perasaan
minder dan rendah diri.

B.

Saran
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami dari penyusun berharap agar

pembaca dapat memanfaatkan makalah ini dengan baik.

Segala kritikan maupun saran dari pembaca akan kami terima dengan lapang dada untuk
menambah wawasan serta perbaikan penyusunan yang lebih baik lagi.

Anda mungkin juga menyukai