Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien
RM
Jenis Kelamin
Usia
Pekerjaan
Alamat
: Ny. Y
: 444021
: Perempuan
: 67 tahun
: Ibu rumah tangga
: KP Bugis Jl. Swadaya IV RT 10/04 Cempaka baru
Kemayoran Jak-Pus
Status
: Menikah
Suku Bangsa : Jawa
Agama
: Islam
Tanggal perawatan : 10 Juni 2015
Jam masuk
: 08:53
Tanggal pemeriksaan: 10 Juni 2015 29 Oktober 2014
1.1 DATA DASAR
A. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 10 Juni 2015 pukul 09.00
WIB di Bangsal Perawatan Umum lantai 5 RSPAD Gatot Soebroto
Keluhan Utama
:
Nyeri pada telapak kiri sejak 1 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan nyeri dan bengkak pada telapak kaki kiri
sejak 1 minggu SMRS. Terdapat luka pada telapak kaki kiri yang awalnya berupa
lepuhan dan makin lama menjadi bengkak, kemerahan, terasa nyeri dan keluar
nanah sejak 3 hari SMRS. Kaki terasa nyeri dan sulit digerakkan. Pasien juga
mengeluh demam yang naik perlahan dan tidak turun, namun tidak sampai
mengigil. Sebelumnya 1 minggu yang lalu pasien sedang mengadakan pesta
hajatan dan menggunakan sendal jepit sebagai alas kaki, selama seharian pasien
berdiri dan sempat tersendung dua kali namun tidak merasakan adanya luka pada
kakinya. Pasien memanggil perawat dari RSI untuk merawat luka di kakinya dan
menolak kemauan keluarganya untuk dibawa ke rumah sakit untuk perawatan
lebih lanjut. Setelah pasien mengeluh demam akhirnya pasien setuju untuk dibawa
ke RSPAD untuk perawatan lukanya. Keluhan luka pada kaki ini diakui pasien
pernah terjadi dua kali, yang pertama pada tahun 2008 dan yang kedua pada
tahun 2012. Pada tahun 2008 luka terdapat di telapak kaki bawah jempol, dan
pasien dirawat dirumah sakit untuk lukanya. Pada tahun 2012 pasien dirawat lagi
karena luka pada telapak kaki bagian belakang.
10 tahun yang lalu pasien didiagnosis menderita diabetes melitus dokter
penyakit dalam melalui hasil lab darah gula darah sewaktu yang tinggi namun
pasien lupa persisnya berapa. Pasien diberi obat diabetes metformin dan
dikonsumsi hanya selama 6 tahun. Pasien berhenti mengkonsumsi karena merasa
perutnya kembung dan perih setiap memakan obat tersebut, sehingga diganti
insulin suntik sebanyak 15 unit oleh dokter penyakit dalam. Pasien sudah
menggunakan insulin suntik selama 4 tahun ini dan tidak rajin kontrol lagi ke
dokter penyakit dalam. Namun pasien mengaku masih sering merasa haus, lapar,
dan sering kencing di malam hari. Pasien juga mengaku bila berjalan jauh kaki
terasa nyeri dan nyeri akan menghilang bila beristirahat sebentar. Pasien
menyangkal keluhan sesak nafas, rasa lapar yang sangat, keringat dingin, dan rasa
ingin pingsan. Pasien mengaku pengelihatannya agak berkurang, dan sebelumnya
pernah menjalani operasi katarak pada tahun 2014. Keluhan lain dikemukakan
pasien adalah nyeri ulu hati yang sering dirasakan, rasa tidak enak seperti begah,
dan mual setiap telat makan. Keluhan ini sudah dirasakan sejak lama dan pasien
diberi obat maag oleh dokter. Keluhan rasa pahit dipangkal tenggorok, rasa dada
terbakar disangkal pasien. BAB tidak ada keluhan, BAK tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengaku luka ini pernah terjadi dua kali, yang pertama pada tahun
2008 dan yang kedua pada tahun 2012. Pada tahun 2008 luka terdapat di telapak
kaki bawah jempol, dan pasien dirawat dirumah sakit untuk lukanya. Pada tahun
2012 pasien dirawat lagi karena luka pada telapak kaki bagian belakang. Pasien
pernah menderita katarak OD dan sudah dioperasi. Hipertensi disangkal, Asma
disangkal, Sakit Jantung disangkal, Stroke disangkal, Gagal ginjal atau Penyakit
Ginjal lainnya disangkal, Hepatitis B, C disangkal.
Riwayat Penyakit Keluaga :
: Compos Mentis
Keadaan Umum
Berat badan
: 74 kg
Tinggi badan
:165cm
IMT
: 27.18 kg/m2(Overwetight)
2. Vital Sign
Tekanan darah
: 150/80mmHg
Frekuensi nadi
Frekuensi nafas
Suhu
3. Status Generalis
Kepala
Mata
Hidung
Mulut
Telinga
Leher
Palpasi:
:taktil
fremitus
kedua
paru
simetris,
chest
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Batas kanan
Batas kiri
Batas atas
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
Pinggang
Ekstremitas
Status lokalis :
P
: a. femoralis
++
a. poplieta
++
a. tibials posterior
++
a. dorsalis pedis
++
berwarna kemerahan.
D
: tendon
: infeksi (+)
: present
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah
Jenis Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
KIMIA KLINIK
Ureum
Kreatinin
GDS
Natrium (Na)
Kalium (K)
Klorida (Cl)
HASIL
10/06
10.5
31
3.9
31700
250.000
78
27
34
Nilai Rujukan
12-16 g/dL
40-52%
4.3-6 juta/L
4.800-10.800/L
150.000-400.000/L
80-96 fL
27-32 pg
32-36 g/dL
32
1.1
264
138
3.5
108
20 - 50 mg/dL
0.5 - 1.5 mg/dL
<140 mg/dL
135 - 147 mmol/L
3.5 - 5.0 mmol/L
95 - 105 mmol/L
Aseton
+/Positif
-/Negatif
pH
7.360
7.37 - 7.45
pCO2
pO2
Bikarbonat
Kelebihan basa (BE)
Saturasi O2s
29.5
73.2
16.8
-6.9
94.2
33 - 44 mgHg
71 -104 mmHg
22 - 29 mmol/L
(-2) - 3 mmol/L
94 - 98%
interphalang proksimal.
Celah sendi tarso menyempit dengan multipel kista subchondral.
Penebalan jaringan lunak sublentis regio pedis.
3. X-foto thorax:
Kesan:
Jantung dan paru dalam batas normal
4. EKG
1.2 RESUME
Pasien perempuan berusia 67 tahun datang dengan keluhan nyeri dan
bengkak pada telapak kaki kiri sejak 1 minggu SMRS. Terdapat luka pada telapak
kaki kiri yang terasa nyeri dan keluar nanah. Keluhan disertai dengan demam
sejak 3 hari SMRS. Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak 10 tahun yang
lalu dan mengkonsumsi metformin selama 6 tahun lalu diganti insullin suntik
selama 4 tahun ini. Pasien juga mengeluh sering nyeri ulu hati dan perut begah
saat telat makan.
insulin injeksi
Ulkus diabetikum pedis sinistra
Charcoat foot
Hipertensi grade II
Sindrom dispepsia
6.
Sindrom dispepsia
B. Rencana Terapeutik
O2 nasal 3L/menit
Terapi cairan
- IVFD: NS 500cc/8 jam
TE 500 cc/24 jam
Drip insulin 1 unit/jam (06.00-22.00) dilanjutkan 0,5 cc/jam
(22.00-06.00)
Inj. Meropenem 3x1 gram
Inj. Ranitin 2 x 50 mg
Domperidon 3 x 10 mg
Inpepsa syr 3 CC
Paracetamol 3 x 1000 mg IV bila suhu > 38.5
GV luka setiap hari
Raber Bedah ortophedi
Diet DM rendah garam 1700 kkal/hari
Pasang NGT blended 6 x 200 cc
demam
sudah
turun.Nafsu
makan
mulai
10
11
29/10/2014
12
1.7 PROGNOSIS
13
Ad vitam
: Ad malam
Ad fungsional : Ad malam
Ad sanamtionam
: Ad malam
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SEPSIS
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan
biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak harus
positif. Systemic Inflamatory Respons Syndrome adalah pasien yang memiliki dua
atau lebih kriteria sebagai berikut ini:
1. Suhu > 380C atau < 360C.
2. Denyut jantung > 90x/menit.
3. Respirasi >20/menit atau Pa CO2 < 32 mmHg.
4. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur (band)
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan
hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi tidak terbatas)
pada: 1. Asidosis laktat; 2. Oliguria; 3. Atau perubahan akut pada status mental.
Berdasarkan konferensi internasional pada tahun 2001, terdapat tambahan
terhadap kriteria sebelumnya. Dimana pada konferensi tahun 2001 menambahkan
beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Bagian yang terpenting adalah
dengan memasukkan petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan Creactive protein (CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis.
Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan
Predisposition, insul Infection, Response, and Organ disfunction (PIRO) unuk
menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien
dengan stratifikasi gejala dan resiko yang individual.
Etiologi sepsis
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60
sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel
imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk
yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau
endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar
15
dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok
pada penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab
terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphylococci, Pneumococci, Strepcocci
dan bakteri gram positif lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka
kejadian 20 sampai 40% dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur oportunistik,
virus atau protozoa dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang.
Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman,
pemberian infus substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip
pemberian endotoksin. Peptidoglikan diketahui dapat menyebabkan agregasi
trombosit.
Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman, misalnya ahemolisin (S.Aureus), E. Coli haemolisin (E. Coli) dapat merusak integritas
membran sel imun secara langsung.
Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS
endotoksin gram negatif dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS
dapat langsung sebagai penyabab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung
mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan
perkembangan gejala septikemia. LPS sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi
merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap
sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang disebut faktor nekrosis tumor
(TNF) dan interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci
dan sering meningkat sangat tinggi pada penderita immunocompromise yang
mengalami sepsis.
Patogenesis sepsis
Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan fokus infeksi jaringan sebagai
sumber bakteriemia, hal ini disebut sebagai bakteriaemia sekunder. Sepsis gram
negatif merupakan komensal normal dalam saluran gastrointestinal, yang
kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan, seperti pada peritonitis setelah
perforasi apendikal, atau bisa berpindah dari perineum ke urethra atau kandun
kemih. Selain itu sepsis gram negatif fokus primernya dapat berasal dari saluran
genitourinarium, saluran empedu dan saluran gastrointestinum. Sepsis gram
16
positif biasanya timbul dari infeksi kulit, saluran respirasi dan juga bisa berasal
dari luka terbuka, misalnya pada luka bakar. Inflamasi sebagai tanggapan imunitas
tubuh terhadap berbagai macam stimulasi imunogen dari luar. Inflamasi
sesungguhnya merupakan upaya tubuh untuk menghilangkan dan eradikasi
organisme penyebab. Berbagai jenis sel akan teraktivasi dan memproduksi
berbagai jenis mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Mediator inflamasi
sangat komplek karena melibatkan banyak sel dan mediator yang dapat
mempengaruhi satu sama lain.
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis.
Masih banyak faktor lain yang sangat berperan dalam menentukan perjalanan
suatu penyakit. Respon tubuh terhadap suatu patogen melibatkan bermacammacam komponen sistem imun dan antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi
dan antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1, Interferon
yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang
menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1 reseptor
antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau
represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila keseimbangan kerja antara proinflamasi dan anti-inflamasi mediator ini tidak tercapai dengan sempurna maka
dapat memberikan kerugian bagi tubuh.
Penyebab sepsis dan syok septik yang paling banyak berasal dari stimulasi
toksin, baik dari endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Endotoksin
dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama dengna antibodi dalam
serum darah penderita membentuk LPSab (Lipo PoliSakarida Antibodi). LPSab
yang berada dalam darah penderita akan bereaksi dengan makrofag melalui
TLRs4 (Toll Like Receptors 4) sebagai reseptor transmembran dengan perantaraan
reseptor CD 14+ dan makrofag mengekspresikan imuno modulator, hal ini hanya
dapat terjadi pada bakteri gram negatif yang mempunyai LPS dalam dindingnya.
Pada bakteri gram positif eksotoksin dapat merangsang langsung terhadap
makrofag dengan melalui TLRs2 (Toll Like Receptors 2) tetapi ada juga
eksotoksin sebagai superantigen.
Padahal sepsis dapat terjadi pada rangsangan endotoksin, eksotoksin, virus
dan parasit, maka mekanisme tersebut diatas masih kurang lengkap dan tidak
17
dapat menerangkan patogenesis sepsis dalam arti keseluruhan, oleh karena konsep
tersebut tidak melibatkan peran limfosit T dalam keadaan sepsis dan kejadian
syok septik.
Di Indonesia dan negara berkembang sepsis tidak hanya disebabkan oleh
gram negatif saja, tetapi juga disebabkan oleh gram positif yang mengeluarkan
eksotoksin. Eksotoksin, virus dan parasit yang dapat berperan sebagai Antigen
Processing Cell dan kemudian ditampilkan dalam Antigen Presenting Cell (APC).
Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major
Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan peptida MHC kelas
II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR
(T Cell Receptor).
Sebagai usaha tubuh untuk beraksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu:
IFN-, IL-2 dan M-CSF (Macrophage colony stimulating factor). Limfosit Th2
akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. IFN- merangsang makrofag
mengeluarkan IL-1b dan TNF-. IFN-, IL-1 dan TNF- merupakan sitokin
proinflamatori, sehingga pada keadaan sepsis terjadi peningkatan kadar IL-1 dan
TNF- serum penderita. Pada beberapa kajian biasanya selama terjadi sepsis
tingkat IL-1 dan TNF- berkorelasi dengan keparahan penyakit dalam kematian,
tetapi ternyata sitokin IL-2 dan TNF- selain merupakan reaksi terhadap sepsis
dapat pula merusakkan endotel pembuluh darah yang mekanismenya sampai
dengan saat ini belum jelas. IL-1 sebagai imunoregulator utama juga mempunyai
efek pada sel endotelial termasuk di dalamnya pembentukan prostaglandin E2
(PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1).
Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitisasi oleh
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah
mengadakan adhesi. Interaksi endotel dengan neutrofil terdiri dari tiga langkah,
yaitu:
1. Bergulirnya neutrofil, P dan E-selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan
L-selektin neutrofil dalam mengikat ligan respektif.
18
19
infeksi yang paling sering: paru, traktus digestivus, traktus urinarius, kulit,
jaringan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksimerupakan diterminan penting
untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut
akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker,
gagal organ utama, dan pasien dengan gnralusitopenia. Yang sering diikuti gejala
MODS sampai dengan terjadinya syok sepsis.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:
Koagulasi intravaskular
Perdarahan akut
Gagal hati
Gagal jantung
Kematian
Diagnosis
Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis
yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut
status hemodinamik.
Pemeriksaan fisik
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua pasien
neutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan fisik harus
meliputi pemeriksaan rektum, pelvis dan genital. Pemeriksaan tersebut akan
mengungkap abses rektal, periretkal, dan/atau perineal, penyakit dan/atau abses
inflamasi pelvis, atau prostatitis.
Data laboratorium
Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung
diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen,
20
kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, EKG, dan
ronsen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus
dilakukan. Lakukan Gram stain di tempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan
artikular, ruang pleura) dengan aspirasi. Minimal 2 set (ada yang menganggap 3)
biakan darah harus diperoleh dalam periode 24 jam. Volume sampel sering
terdapat kurang dari 1 bakterium/ml opada dewasa (pada anak lebih tinggi). Ambil
10-20 ml per sampling pada dewasa (1-5 ml pada anak) dan inokulasikan dengan
trypticase soy broth dan thioglycolate soy broth. Waktu sampel untuk spike. Jika
terapi antibiotik sudah dimulai, beberapa macam antibiotik dapat dideaktivasi di
laboratorium klinis.
Temuan laboratorium lain:
Sepsis awal. Leukositosis dengah shitf kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia
dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Neutrofil mengandung granulasi
toksikm badan Dohle, atau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan
alkalosis respirator. Hipoksemia dapat diokreksi dengan oksigen. Penderita
diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
Selanjutnya. Trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin,
penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC.
Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver)
meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis
metabolik (peningkatan gap anion) terjadi setelah alkalosis respirator. Hipoksemia
tidak dapat dikoreksi bahkan dengan oksigen 100%. Hiperglikemia diabetik dapat
menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.
Komplikasi
Perdarahan usus
Gagal hati
21
Gagal jantung
Kematian
Terapi sepsis
Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu:
1. Stabilisasi Pasien Langsung
Masalah mendesak yang diharapi pasien dengan sepsis berat adalah pemulihan
abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC: airway, breathing, circulation).
Pemberian resusitasi awal sangat penting pada penderita sepsis, dapat diberikan
kristaloid atau koloid untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik. Perubahan
status mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan
perlindungan langsung terhadap jalan napas pasien. Intubasi diperlukan juga
untuk memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu
menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan peningkatan ketersediaan
oksigen untuk jaringan lain. Peredaran darah terancam, dan penurunan bermakna
pada tekanan darah memerlukan terapi empirik gabungan yang agresif dengan
cairan (ditambah kristaloid atau koloid) dan inotrop/vasopresor (dopamin,
dobutamin, fenilefrin, epinefrin, atau norepinefrin). Pada sepsis berat diperlukan
pemantauan peredaran darah. CVP 8-12 mmHg; Mean arterial pressure
65mmHg; Urine output 0.5 mL/kg/jam; Central venous (superior vena cava)
oxygen saturation 70% atau mixed venous 65%. (Sepsis Campaign, 2008).
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital
pasien (tekanan darah, denyut jantung, laju napas, dan suhu badan) harus
dipantau. Frekuensinya tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah jantung
dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu
fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat
vasoakfif, misal, dopamin, dobutamin, atau norepinefrin.
2. Pemberian antibiotik yang adekuat
Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini bahwa
antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga
22
Pemberian
antimikrobial
secara
dini
diketahui
menurunkan
perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah hasil kultur dan sensitivitas
didapatkan maka terapi empirik dirubah menjadi terapi rasional sesuai dengan
hasil kultur dan sensivitas, pengobatan tersebut akan mengurangi jumlah
antibiotika yang diberikan sebelumnya (dieskalasi). Diperlukan regimen
antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas sesuai dengan hasil kultur. Hal ini
karena terapi antimikrobial hampir selalu diberikan sebelum organisme yang
menyebabkan sepsis diidentifikasi. Obat yang digunakan tergantung sumber
sepsis
1. Untuk pneumonia dapatan komunitas biasanya digunakan 2 regimen obat.
Biasanya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepim)
diberikan dengan aminoglikosida (biasanya gentamisin).
2. Pneumonia
nosokomial:
Sefipim
atau
iminem-silastatin
dan
aminoglikosida.
3. Infeksi abdomen: imipenem-silastatin dan aminoglikosida atau pipersilintazobaktam dan amfoterisin B.
4. Infeksi abdomen nosokomial: imipenem-silastatin dan aminoglikosida atau
pipersilin-tazobaktam dan amfoterisin B.
5. Kulit/jaringan lunak: vankomisin dan imipenem-silastatin atau piperasilintazobaktam.
6. Kulit/jaringan lunak nosokomial: vankomisin dan sefipim.
7. Infeksi traktus urinaris: siprofloksasin dan aminoglikosida.
8. Infeksi traktus urinaris nosokomial: vankomisin dan sefipim.
9. Infeksi CNS: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau
meropenem.
10. Infeksi CNS nosokomial: meropenem dan vankomisin.
23
setelah
terjadi
septic
shock.
Penggunaan
kortikosteroid
24
Glukosa kontrol
Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula darah yang tidak mengalami
dan yang mengalami diabetes mellitus. Sebaiknya kadar gula darah dipertahankan
sampai dengan < 150 mg/dL. Dengan melakukan monitoring pada gula darah
setiap 1-2 jam dan dipertahankan minimal sampai dengah 4 hari.
Mencegah terjadinya stress ulcer dapat diberikan profilaksis dengan
menggunakan H2 broker protonpan inhibitor. Apabila terjadi kesulitan pernafasan
penderita memerlukan ventilator dimana tersida di ICU.
Pencegahan
Untuk melindungi neonatus dari sepsis strep Grup B ambil apusan (swab)
vagina/rektum pada kehamilan 35 hingga 37 minggu. Biakkan untuk
Streptococcus agalatiae (penyebab utama sepsis pada neonatus). Jika
positif untuk strep Grup B, berikan penisilin intrapartum pada ibu hamil.
Hal ini akan menurunkan infeksi Grup B sebesar 78%.
25
KETOASIDOSIS DIABETIK
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik
yang diandai oleh trias hipergllikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan
oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan
kompilkasi akut diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan
pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami
dehidrasi berat dan bahkan sampai menyebabkan syok.
Faktor pencetus
Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui penderita DM untuk pertama
kali. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali
adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan
dan pencegahan ketoasidosis berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk
terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard akut, pankreatisis akut,
penggunaan obat golongan steroid, menghetikan atau mengurangi dosis insulin.
Sementara itu 20% pasien KAD tidak didapatkan faktor pencetus.
Menghentikan atau mengurangi dosis insulin merupakan salah satu
pencetus terjadinya KAD. Data seri kasus KAD tahun 1998-99 di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo menunjukkan 5% kasus menyuntik dosis insulin kurang. Musey
et al melaporkan 56 kasus KAD negro Amerika yang tinggal di daerah perkotaan.
Di antara 56 kasus tersebut, 75% telah diketahui DM sebelumnya dan 67% faktor
pencetusnya adalah menghetikan dosis insulin. Adapun alasannya adalah sebagai
berikut 50% tidak mempunyai uang untuk membeli, 21% nafsu makan menurun,
14% masalah psikologis, 14% tidak paham mengatasi masa-masa sakit akut. Pada
seri kasus di atas 55% menyadari adanya gejala hiperglikemia, walaupun
demikian hanya 5% yang menghubungi klinik diabetes untuk mengatasi masalah
tersebut.
Patofisiologi
KAD adalah suatu keadaan di mana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif
dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan
hormon pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati
26
meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir
hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan
berat ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu:
Akibat hiperglikemia
Akibat ketosis
yang
berlebihan
(glukagon,
epinefrin,
kortisol,
dan
hormon
27
suplai insulin endogen atau eksogen yang berkurang. Defisiensi aktivitas insulin
tersebut, menyebabkan 3 proses patofisiologi yang nyata pada 3 organ, yaitu selsel lemak, hati, dan otot. Perubahan terjadi terutama melibatkan metabolisme
lemak dan karbohidrat.
Peranan glukagon
Di antara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang paling berperan dalam
patogenesis KAD. Glukagon menghambat proses glikolisis dan menghambat
pembentukan malonyl CoA. Malonyl CoA adalah suatu penghambat carnitin acyl
transferases (CPT1 dan 2) yang bekerja pada transfer asam lemak bebas ke dalam
mitokondria. Dengan demikian peningkatan glukagon akan merangsang oksidasi
beta asam lemak dan ketogenesis.
Pada pasien DM tipe 1, konsentrasi glukagon darah tidak teregulasi
dengan baik. Bila konsentrasi insulin rendah maka konsentrasi glukagon darah
sangat meningkat serta mengakibatkan reaksi kebalikan respons insulin pada selsel lemak dan hati.
Hormon Kontra Regulator Insulin Lain
Konsentrasi epinefrin dan kortisol darah meningkat pada KAD. Hormon
pertumbuhan (GH) pada awal terapi KAD konsentrasinya kadang-kadang
meningkat dan lebih meningkat lagi dengan pemberian insulin.
Keadaan stress sendiri meningkatkan hormon kontra regulasi yang pada
akhirnya akan menstimulasi pembentukan benda-benta keton, glukoneogenesis
serta potensial sebagai pencetus KAD. Sekali proses KAD terjadi maka akan
terjadi stress yang berkepanjangan.
Gejala klinis KAD
Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan ini
tentunya sangat membantu untuk menganali KAD akan lebih cepat sebagai
komplikasi akut DM dan segera mengatasinya.
Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai
pernapasan cepat ddan dalam (kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit
28
patensi
jalan
napas,
status
mental,
status
ginjal
dan
29
DAFTAR PUSTAKA
AVERT, 2011. What is AIDS. Available from: http://www.avert.org/aids.htm.
Brooks, S., 2009. What is HIV/AIDS?.Voices AIDS, 6.
Centers for Disease Control and Prevention, 2006.HIV/AIDS Basics. Available
from: http://www.cdc.gov/hiv/resources/qa/definitions.htm.
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia,
2008.Pedoman
Tatalaksana
30
Fauci, S.A. & Lane, C.H., 2008.Human Immunodefeficiency Virus Disease: AIDS
and Related Disorders. In: Fauci, S.A., Braunwald, E., Kasper, L.D.,
Hauser, L.S., Longo, L.D., Jameson, L.J. & Loscatzo, J., Harrisons
Principles of Internal Medicine, USA: The McGraw-Hill Companies,
1164-1169.
Finch, R.G., Moss, P., Jeffries, D.J., & Anderson, J., 2007.Infectious diseases,
tropical medicine and sexually transmitted diseases.In: Kumar, P. &Clark,
M., Clinical Medicine. Philadelphia: Elsevier, 129-133.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.Tatalaksana Klinis Infeksi HIV
dan Terapi Antiretroviral pada orang dewasa.Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Levinson, W., 2006.Human Immunodeficiency Virus.In: Weitz, M. & Naglieri, C.,
Review of Medical Microbiology and Immunology, USA: The McGraw
Hill Companies, 322-330. Levy, J.A, 2007. Discovery, Structure,
Heterogeneity and Origins of HIV 1 In: HIV and the Pathogenesis of
AIDS. Washington: ASM Press, 7-12.
MacCann, J.A.S., 2008. Blood Tests.In: Catagnus, J.M. & Hager, L., Deciphering
diagnostic tests. USA: Lippincott Williams & Wilkins, 215-216.
Mesquita, F., Winarso, I., Atmosukarto, I., Eka, B., Nevendorff, L., Rahmah, A.,
Handoyo, P., Anastasia, P., and Angela, R., 2007.Public health the leading
force of the Indonesian response to the HIV/AIDS crisis among people
who inject drugs. Harm Reduction Journal, 1-6.
Pontali, E., Vareldzis, B., Perriens, J., & Lo, Y.R., 2004.Antiretroviral Treatment
in Resource-limited Settings.In: Narain, J.P., AIDS in Asia: the challenge
ahead. New Delhi: Sage Publication India Pvt Ltd, 287- 299.
31
32