Anda di halaman 1dari 17

ALOPESIA AREATA

Abstrak
Alopecia areata (AA) adalah hilangnya rambut secara autoimun, non-scar, pada
kulit kepala dan/atau tubuh. Etiologi dan patogenesisnya masih belum diketahui.
Daerah yang paling sering terkena adalah kulit kepala dalam bentuk patch
alopecia soliter atau multipel. Histopatologi ditandai dengan peningkatan jumlah
folikel telogen dan keberadaan infiltrar limfositik inflamasi pada daerah
peribulbar. Kortikosteroid adalah obat yang paling populer untuk pengobatan
penyakit ini. Review ini menitikberatkan pada etiologi dan mekanisme patogenik,
gambaran klinis, diagnosis dan manajemen dari alopecia areata
Kata kunci : alopecia areata, etiologi, patogenesis, manajemen
1.

PENDAHULUAN

Alopecia areata (AA) adalah penyebab umum dari alopecia non-scar yang terjadi
dalam pola patchy, konfluen atau difus. Penyakit ini melibatkan hilangnya rambut
dari beberapa atau semua area tubuh, biasanya dari kulit kepala (Odom, 2006).
Pada 1-2 % kasus, kondisi ini dapat menyebar ke seluruh kulit kepala (Alopecia
totalis) atau seluruh epidermis (alopecia universalis). AA memiliki insiden 0,1-0,2
% dengan risiko seumur hidup sebesar 1,7 % dengan laki-laki dan perempuan
memiliki prevalensi yang sama (Safavi et al., 1995). Sharma et al dalam studi
prospektif satu dekade mereka mengamati insidensi sebesar 0,7 % di antara pasien
rawat jalan dermatologi baru (Sharma et al., 1996). Etiologi AA telah luput dari
penelitian selama bertahun-tahun dan karena itu banyak asosiasi telah diusulkan
oleh para peneliti di bidang Trichology. Salah satu asosiasi terkuat adalah dengan
autoimunitas (McDonagh dan Tazi - Ahnini, 2002; Hordinsky dan Ericson, 2004).
Pandangan ini didukung oleh terjadinya AA dalam hubungannya dengan
gangguan autoimun lainnya seperti vitiligo, lichen planus, morphea, dermatitis
atopik, tiroiditis Hashimoto, anemia perinicious dan diabetes mellitus (Brenner,
1979). Baru-baru ini, telah dilaporkan bahwa ada prevalensi tinggi untuk
gangguan mood, penyesuaian, depresi dan kecemasan pada pasien dengan AA

(Ruiz - Doblado et al., 2003). Unsur morbiditas psikiatri secara luas telah diakui
baik menjadi penyebab dan akibat dari AA. Oleh karenanya diperlukan
pendekatan

multidisiplin

dalam

pengelolaan

pasien

tersebut.

Meskipun

kortikosteroid telah menjadi terapi andalan, beragam terapi berbasis bukti telah
muncul dalam pengelolaan AA. Penelitian ini bertujuan mengkaji secara
sistematis berbagai aspek dalam sifat alamiah alopesia areata serta pro dan kontra
dalam modalitas pengobatan yang berbeda.
2.

DINAMIKA HILANGNYA RAMBUT

Pertumbuhan folikel rambut terjadi dalam siklus (Gambar 1). Setiap siklus terdiri
dari fase pertumbuhan lama (anagen), fase transisi pendek (catagen) dan fase
istirahat pendek (telogen). Pada akhir fase istirahat, rambut akan rontok (eksogen)
dan rambut baru mulai tumbuh dalam folikel yang memulai siklus lagi. Ada
variasi yang cukup besar dalam lamanya tiga fase tersebut, dengan durasi anagen
menentukan jenis rambut yang dihasilkan, terutama panjangnya. Biasanya sekitar
100 helai rambut mencapai akhir fase istirahat mereka setiap hari dan akan rontok
(Trueb 2010). Rambut rontok pada alopecia non-scar, termasuk alopecia areata
pada dasarnya merupakan gangguan siklus folikel rambut (Paus, 1996). Hal ini
diyakini bahwa pada AA, semacam pemicu yang belum teridentifikasi akan
menstimulasi serangan limfositik autoimun pada bulbus rambut. Inflamasi ini
spesifik untuk rambut anagen dan menyebabkan terhentinya anagen. Suatu
gangguan fase pertumbuhan, yaitu terhentinya anagen, menyebabkan hilangnya
rambut anagen secara abnormal (anagen effluvium), yang secara klinis dikenal
sebagai rambut anagen distrofi dengan ujung proksimal yang meruncing dan
kurangnya selubung akar. Sebuah entitas yang terkait tetapi berbeda yang sangat
sering diamati pada wanita adalah telogen effluvium. Ini merupakan istilah
umum untuk kondisi dimana rambut yang terkena mengalami konversi mendadak
dari anagen ke telogen (pelepasan anagen), yang secara klinis terlihat sebagai
kerontokan lokal rambut pada telogen dan secara morfologis diidentifikasi sebagai
rambut dengan bulbus yang terdepigmentasi (Wasserman et al., 2007).

3.

ETIOPATOGENESIS

Etiologi AA telah mengalami pergeseran yang cukup besar selama bertahun-tahun


dan berbagai institusi pendidikan yang berbeda telah menetapkan etiologi yang
bervariasi terhadap kondisi ini (Gambar 2). Suatu etiologi virus diusulkan pada
akhir 1970-an tapi artikel berikutnya telah menunjukkan tidak adanya hubungan
(Tosti et al., 1996). Sebuah studi genetik oleh Yang et al menemukan bahwa 8,4 %
pasien memiliki riwayat keluarga yang positif untuk AA, yang menunjukkan
modus penurunan aditif poligenik (Yang et al., 2004). Saat ini telah banyak
dipercaya bahwa AA adalah penyakit autoimun spesifik organ dengan predisposisi
genetik dan pemicu lingkungan (McMichael, 1997; McDonagh dan Tazi - Ahnini,
2002). Hubungan antara AA dan antigen leukosit manusia (HLA) juga telah
dibuktikan. Kavak et al melaporkan pasien dengan AA memiliki HLAA1, HLA B62, HLA - DQ1, dan HLADQ3 (Ay Se et al., 2000). Baru-baru ini, di Amerika
Serikat, Barahmani et al menunjukkan bahwa molekul non-HLA seperti major
histocompatibility complex class I chain-related gene A (MICA) dikaitkan dengan
AA. Ini bisa menjadi gen kandidat yang potensial dan bagian dari haplotype HLA
yang diperpanjang yang mungkin berkontribusi terhadap kerentanan dan
keparahan entitas ini (Barahmani et al. 2006). Molekul HLA kelas I diekspresikan
pada hampir semua sel berinti dan trombosit dan antigen yang ada pada sel T
CD8+. Molekul HLA kelas II memiliki tiga subkelas utama (DR, DQ, dan DP),
mereka ditemukan pada sel imun spesifik, termasuk sel B, sel T aktif, makrofag,
keratinosit, dan sel dendritik dan peptida yang ada pada sel T CD4+. Karena
molekul kelas II yang berhubungan dengan presentasi antigen, banyak penelitian
telah difokuskan pada area dari molekul HLA ini (Mari, 2004).
Hubungan ini dengan HLA-DR dan HLA-DQ menunjukkan peran sel T serta
autoimunitas dalam penyakit ini. Pasien dengan AA memiliki peningkatan
frekuensi autoantibodi terhadap struktur folikel, namun, hanya sedikit konsistensi
mengenai struktur folikel yang diberi label oleh antibodi (Gilhar dan Kalish,
2006). Penyakit lain yang dilaporkan terkait dengan AA berada pada tingkat yang
lebih tinggi daripada populasi normal. Penyakit tersebut adalah dermatitis atopik,
vitiligo, penyakit tiroid, dan sindrom Down (Tan et al, 2002). Sebagian besar

penelitian di bidang AA menunjukkan kasus yang kuat untuk implikasi


autoimunitas pada etiopatogenesis tersebut. Faktor risiko potensial lainnya yang
diusulkan dalam penyebab AA adalah stres psikologis, anemia, infestasi parasit,
hipotiroidisme, hipertiroidisme dan diabetes.
3.1.

Model hewan dalam pemahaman patogenesis

The Dundee experimental bald rat (DEBR) dan tikus C3H/HeJ adalah model
hewan yang telah ditetapkan untuk alopecia areata dan dapat digunakan untuk
studi aspek genetik, patogenesis dan terapi penyakit. Pada tikus C3H/HeJ alopecia
areata dapat diinduksi secara eksperimental dengan mencangkok lesi kulit dari
tikus yang terkena dampak ke resipien histocompatible yang menawarkan
kemungkinan untuk mempelajari pengaruh dari berbagai faktor pada perkembangan penyakit. Studi pada tikus C3H/HeJ dan DEBR telah menguatkan konsep
bahwa alopecia areata adalah penyakit autoimun yang diperantarai sel T dan
berbagai langkah dan aspek patogenesis telah dijelaskan. Berdasarkan
pengetahuan ini pilihan terapi baru dapat dikembangkan seperti inhibisi penarikan
limfosit oleh antibodi anti-CD44v10, atau inhibisi kostimulasi oleh antibodi
monoklonal (Freyschmidt - Paul et al., 2004).
Model hewan juga telah menjelaskan peran vitamin A dalam regulasi
siklus rambut dan respon imun untuk mengubah progresi AA. Susunan gen pada
tikus C3H/HeJ yang diinduksi graft mengungkapkan bahwa gen yang terlibat
dalam sintesis retinoic acid (RA) meningkat, sedangkan gen degradasi RA
menurun pada AA dibandingkan dengan kontrol tiruan. Tingkat RA juga
meningkat pada tikus C3H/HeJ dengan AA. Tikus C3H/HeJ diberi makan diet
yang dimurnikan yang mengandung salah satu dari empat tingkat dari diet vitamin
A atau diet yang tidak dimurnikan 2 minggu sebelum okulasi dan kemudian
perkembangan penyakit diikuti. Vitamin A yang tinggi akan mempercepat AA,
sedangkan tikus yang tidak diberi makan vitamin A memiliki penyakit yang lebih
berat pada akhir penelitian. Lebih banyak folikel rambut yang berada di fase
anagen pada tikus diberi makan tinggi vitamin A. Baik jumlah dan lokalisasi sel
granzim B positif diubah oleh vitamin A. IFN adalah yang terendah dan IL13

yang tertinggi pada tikus diberi makan dengan tinggi vitamin A. Sitokin lainnya
berkurang dan kemokin meningkat saat penyakit berkembang (Duncan et al.,
2013).
3.2.

Faktor psikologis

Beberapa studi telah menyarankan bahwa stres emosional memberikan kontribusi


untuk menculnya alopecia areata, serta pengamatan bahwa trauma emosional
mendahului proses (Baker, 1987) bersama-sama dengan tingginya prevalensi
gangguan psikologis yang terjadi pada pasien ini (Colon et al., 1991). Sementara,
sebaliknya, penelitian lain telah menunjukkan bahwa tidak ada kontribusi dari
fenomena emosional dalam pengembangan alopecia areata (van der Steen et al.,
1992).
Penjelasan tentang mekanisme patogenik yang dipicu oleh kondisi
emosional terletak pada produksi neuromediator yang mampu mengganggu sistem
imun. Beberapa studi telah menunjukkan penurunan dalam ekspresi calcitonin
gene related peptide (CGRP) dan substansi P di kulit kepala pasien alopecia areata
(Hordinsky et al., 1995a, b). CGRP memiliki aktivitas anti-inflamasi, (Raud et al.,
1991) dan jumlahnya yang menurun dalam alopecia areata bisa mendukung
fenomena karakteristik inflamasi folikel.

Substansi P mampu merangsang

pertumbuhan rambut pada tikus (Paus et al., 1994) dan penurunan dalam alopecia
areata bisa menjadi faktor yang berkontribusi terhadap penurunan proliferasi
folikel pilar.
4.

GAMBARAN KLINIS

Diagnosis AA pada dasarnya ditegakkan atas dasar klinis. Usia saat onset, durasi
dan perkembangan penyakit, riwayat atopi pada pribadi dan keluarga, riwayat
keluarga penyakit yang mirip dengan referensi khusus untuk penyakit autoimun
dan keluhan sistemik lainnya dicatat secara rinci. Pemeriksaan rutin seperti
hemogram lengkap, panel anemia, tingkat sedimentasi eritrosit, tes fungsi tiroid,
kalsium serum, protein serum, dll harus dilakukan untuk mencapai diagnosis
tertentu. Biopsi kulit dan panel autoimun dapat dilakukan dalam kasus-kasus

tertentu. Alopecia areata paling sering bermanifestasi sebagai kehilangan rambut


di area lokal secara tiba-tiba. Lesi biasanya berbentuk patch alopecia bulat atau
oval dan mungkin soliter (alopecia areata monolocularis) atau banyak (alopecia
areata multilocularis). Patch alopecia biasanya memiliki perbatasan yang berbeda
di mana rambut normal demarcates pinggiran lesi (Gambar 3). Kulit kepala adalah
tempat yang paling umum untuk terserang oleh AA (90 %) (Tan et al. (2002) dan
Camacho (1997)). Kulit kepala dan rambut tubuh seperti alis, bulu mata, jenggot,
rambut ketiak, dan rambut kemaluan mungkin juga dapat terkena (Alopecia
Totalis), serta seluruh tubuh (Alopecia Universalis). Pola ophiasis mengacu pada
bentuk yang berat dari AA yang membentang sepanjang oksipital posterior dan
margin kulit kepala temporal. Kulit yang terkena tampak normal dengan tidak ada
perubahan epidermal yang jelas seperti mengelupas (scaling) atau kelainan
folikular (Diana Draelos, 2007). Dalam semua bentuk selalu ditemukan rambu
seperti tanda seru (exclamation point hair) yang menyempit di sepanjang
batang rambut yang lebih dekat ke dasar yang dapat dilihat pada atau di sekitar
area alopecia (Cline, 1988). Setelah pertumbuhan kembali, seringkali rambut
awalnya tidak memiliki pigmen sehingga menjadi pirang atau putih (Finner,
2011). Perubahan kuku dapat dilihat pada sebagian pasien (10-66 %) dari AA.
Lubang kecil yang dangkal (30 %) sampai dengan Trachyonychia (kuku amplas /
sandpaper nail; 10 %) yang khas, perubahan lain yang mungkin jarang juga dapat
terlihat. Lunula dengan bercak merah dan eritema periungual telah diprediksi
sebagai tanda keterlibatan akut dari kuku (Olsen, 2003).
4.1.

Menghitung kerontokan rambut

Tes tarik rambut yang dilakukan di tepi lesi dapat berkorelasi dengan aktivitas
penyakit dan juga membantu dalam menentukan etiologi alopecia. Beberapa uji
klinis disajikan di bawah ini :

Tes Tarik (Pull test): Tes ini membantu untuk mengevaluasi kerontokan
rambut pada kulit kepala rambut yang bersifat difus. Traksi ringan
diberikan pada sekelompok rambut (sekitar 40-60) pada tiga bidang yang
berbeda dari kulit kepala. Jumlah rambut yang ditarik dihitung dan

diperiksa di bawah mikroskop. Normalnya, <3 rambut per daerah akan


rontok untuk setiap tarikan. Jika >10 rambut diperoleh, uji tarik dianggap
positif.

Tes Petik (Pluck test) : Dalam tes ini, individu menarik rambut pada
akarnya.' Akar dari rambut yang dipetik diperiksa di bawah mikroskop
untuk menentukan fase pertumbuhan dan digunakan untuk mendiagnosis
defek telogen, anagen, atau penyakit sistemik. Rambut telogen adalah
rambut yang memiliki bulbus kecil tanpa selubung pada akarnya. Telogen
effluvium menunjukkan persentase peningkatan rambut pada pemeriksaan.
Rambut anagen adalah rambut yang memiliki selubung yang melekat pada
akar mereka. Effluvium anagen menunjukkan penurunan rambut fase
telogen dan peningkatan jumlah rambut rusak.

Biopsi kulit kepala : Tes ini dilakukan ketika alopecia muncul, tetapi
diagnosis

belum

meyakinkan.

Biopsi

ini

memungkinkan

untuk

membedakan antara bentuk scar dan nonscarring jika pembedaan klinis


sulit dilakukan. Sampel rambut diambil dari daerah inflamasi, biasanya di
sekitar perbatasan patch yang botak.

Penghitungan rambut harian: tes ini biasanya dilakukan ketika tes tarik
negatif. Hal ini dilakukan dengan menghitung jumlah rambut yang rontok.
Rambut yang harus dihitung adalah rambut dari sisiran pagi pertama atau
selama keramas. Rambut dikumpulkan dalam kantong plastik bening
selama 14 hari. Jumlahnya dicatat. Jika jumlah rambut adalah >100/hari,
dianggap tidak normal kecuali setelah keramas, dimana jumlah rambut
bisa sampai 250 dan masih normal.

Trichoscopy : Trichoscopy adalah metode non-invasif unuk evaluasi


rambut dan kulit kepala. Pengujian dapat dilakukan dengan penggunaan
dermoscope atau videodermoscope. Pada

alopecia areata trichoscopy

menunjukkan bintik kuning yang terdistribusi secara teratur (sumbatan


hiperkeratotik), mikroeklamasi batas rambut, dan bintik hitam (rambut
yang hancur pada pembukaan folikel rambut.

Seperti dijelaskan sebelumnya, kuku menunjukkan perubahan bentuk


cekungan atau trachyonychia (Olsen et al, 2004). Defek autoimunitas spesifik
organ dapat ditemukan pada pemeriksaan sistemik.
4.2.

Mengukur tingkat keparahan penyakit

Para peneliti telah menemukan skala klinis untuk menilai keparahan AA, sebagai
berikut (Ay Se et al, 2000.) :
1. Ringan : Tiga patch atau kurang dari alopecia dengan diameter terluas <3
cm atau penyakit terbatas pada bulu mata dan alis.
2. Sedang : Adanya lebih dari tiga patch alopecia atau patch lebih besar dari 3
cm pada diameter terluas tanpa alopecia totalis atau universalis.
3. Berat : Alopecia totalis atau alopecia universalis.
4. Ophiasis : bentuk parah dimana kerontokan rambut terjadi dalam bentuk
gelombang pada lingkar kepala (dijelaskan di atas).
Kelompok kerja The National Alopecia Areata Foundartion telah menyusun skor
Alat Keparahan Alopecia (skor SALT) Price dan Gummer, 1989. Kulit kepala
dibagi menjadi empat area yaitu, Vertex 40 % (0,4) dari luas permukaan kulit
kepala, profil kanan dari kulit kepala 18 % (0,18) dari luas permukaan kulit
kepala, profil kiri kulit kepala 18 % (0,18) dari luas permukaan kulit kepala ;
aspek posterior kulit kepala 24 % (0,24) dari luas permukaan kulit kepala.
Persentase rambut rontok di area ini adalah persentase kerontokan rambut
dikalikan dengan persen luas permukaan dari kulit kepala di daerah itu. Skor
SALT adalah jumlah persentase kerontokan rambut di semua area yang disebutkan
di atas.
5.

DIAGNOSIS BANDING

Meskipun alopecia areata adalah bentuk alopecia non-scar, terkadang sering


dibingungkan dengan varietas yang berbeda dari scar alopecia juga. Hal ini karena
banyak jenis alopecia bersifat bifasik. Langkah pertama, adalah membedakan
antara alopecia scar dan non-scar. Scar alopecia memiliki ostia folikel yang
menghilang, atau atrofi. Inflamasi secara klinis sering ditemui, namun tidak

selalu. Inflamasi histologis mungkin muncul. Pada akhirnya, konfirmasi histologis


adalah metode terbaik untuk mengkonfirmasi adanya proses fibrosis/scar dengan
kerontokan folikel rambut. Beberapa entitas dalam alopecia scar adalah Lichen
planopilaris, alopecia cicatricial sentrifugal sentral, Pseudopelade, lupus diskoid
dan Traction alopecia. Perancu utama dalam diagnosis adalah varietas lain
alopecias non scar, seperti :

Trikotilomania : kondisi ini paling mungkin menyebabkan kebingungan


dan ada kecenderungan kondisi ini berdampingan dengan alopecia areata
dalam beberapa kasus. Sifat tidak lengkap dari rambut rontok pada
trikotilomania dan fakta bahwa rambut yang rusak masih tertanam dengan
baik di kulit kepala (yaitu tetap dalam fase pertumbuhan, anagen, tidak
seperti rambut yang menyerupai tanda seru/ exclamation mark) adalah
gambaran yang membedakan.

Tinea capitis : kulit kepala mengalami inflamasi pada tinea capitis dan
seringkali bersisik tetapi tanda-tanda ini mungkin sangat ringan/halus.

Alopecia yang baru mengalami scarring.

Telogen effluvium.

Effluvium anagen (dipicu obat) mungkin mirip dengan alopecia areata


difus.

Lupus eritematosus sistemik.

Sifilis sekunder.

Sindrom rambut anagen longgar: Ini adalah gtangguan tertanamnya


rambut anagen yang abnormal. Hal ini umumnya ditemukan pada anakanak dan memiliki sifat penurunan autosomal dominan (Lew, 2009).

ADTA : alopecia total dan difus akut (ADTA) adalah subtipe baru dari
alopecia areata dengan prognosis yang baik. ADTA dilaporkan memiliki
perjalanan klinis yang singkat mulai dari kerontokan rambut akut hingga
total kebotakan, yang diikuti dengan pemulihan yang cepat, kadangkadang bahkan tanpa pengobatan (Garcia - Hernandez, 2000).

SISAPHO : Ini adalah bentuk yang tidak biasa Alopecia, dimana pola
menyerupai pita ditemukan pada garis rambut frontal. Secara klinis dapat
menyerupai alopecia fibrosing frontal. Kebalikan dari tipe ophiasis ini,
dimana rambut rontok secara terpusat dan terpisah di pinggiran kulit
kepala, disebut sisiapho. Kelainan ini mungkin menyerupai alopecia
androgenetic (Ragunatha et al., 2008).
Raunatha et al dalam laporan kasus mereka telah menunjukkan scurvy

infantil juga, dapat menjadi penyebab alopecia non-scarring difus pada kulit
kepala (Whiting, 2003).
6.

HISTOPATOLOGI

Gambaran histopatologi alopecia areata bergantung pada tahapan episode saat itu
dan tidak bervariasi dengan usia, jenis kelamin atau ras pasien (Igarashi et al,
1981). Pada tahap akut, rambut terminal dikelilingi oleh limfosit bulbar
(gerombolan lebah) (Gambar 4). Pada tahap subakut, penurunan rambut anagen
dan peningkatan rambut katagen dan telogen yang khas ditemukan. Pada tahap
kronis, penurunan rambut terminal dan peningkatan rambut miniatur ditemukan,
dengan inflamasi yang bervariasi. Studi Immunofluorescence telah menunjukkan
deposit C3, IgG, IgM dan di sepanjang membran basal bagian inferior dari folikel
rambut (Shimmer dan Parker, 2001). Selama masa pemulihan, peningkatan jumlah
rambut anagen terminal dari pertumbuhan kembali rambut miniatur dan
kurangnya inflamasi ditemukan. Alopecia areata harus dicurigai secara histologis
ketika ditemukan rambut telogen atau rambut miniatur dengan persentase yang
tinggi, bahkan tanpa adanya infiltrat limfositik peribulbar. Gambaran histopatologi
lesi pada ADTA menampilkan infiltrasi sel mononuklear di sekitar folikel rambut
dan pigmen inkontinensia yang menonjol (Garcia - Hernandez, 2000).
7.

PENGELOLAAN

Manajemen pasien dengan alopecia areata adalah hal yang menantang karena
sejumlah faktor risiko terlibat dalam etiologinya. Tidak ada terapi definitif yang

telah ditetapkan, dan pengobatan telah difokuskan terutama pada aktivitas


penyakit.
7.1.

Glukokortikoid

Steroid topikal dan intralesi telah menjadi andalan terapi, dan telah digunakan
sebagai agen lini pertama untuk pengelolaan yang sama. Glukokortikoid telah
dimanfaatkan karena efek anti-inflamasi yang menyeluruhnya pada AA (Ross dan
Shapiro, 2005).
7.1.1. Kortikosteroid intralesi
Untuk AA sirkumskripta yang mengenai kurang dari 50 % dari kulit kepala,
kortikosteroid intralesi merupakan pendekatan lini pertama (Madani dan Shapiro,
2000). Triamcinolone acetonide dalam konsentrasi 10 mg/ml diinjeksikan
menggunakan jarum berukuran 30 sepanjang 0,5 inci dalam beberapa suntikan 0,1
ml dengan jarak sekitar 1 cm (Pascher et al., 1970). Hasil awal pengobatan
intralesi sering terlihat dalam 1-2 bulan. Pengobatan tambahan diulang setiap 4-6
minggu.
7.1.2. Kortikosteroid topikal
Beberapa bentuk kortikosteroid topikal telah dilaporkan menunjukkan berbagai
tingkat keberhasilan dalam terapi AA. Beberapa terapi topikal diantaranya krim
fluocinolone acetonide, fluocinolone gel kulit kepala, lotion betametason valerat
dan salep clobetasol propionat (Tosti et al, 2003;. Camacho, 1997). Mereka tetap
menjadi pilihan yang sangat baik pada anak-anak karena tidak adanya rasa nyeri
saat penggunaan dan keamanannya.
7.1.3. Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid sistemik bukan merupakan pengobatan lini pertama untuk alopecia
areata karena profil efek samping yang luas. Dosis yang diperlukan untuk
mempertahankan pertumbuhan kembali rambut pada AA adalah antara 30 dan 150
mg sehari (Burton dan Shuster, 1975). Program pengobatan dapat berkisar antara
1 sampai 6 bulan, tetapi pemberian berkepanjangan harus dihindari karena
berbagai efek samping dari obat ini terutama pada anak-anak. Steroid sistemik
bukan merupakan pilihan utama dalam pengobatan alopecia areata kecuali pada
beberapa kasus untuk pemberian yang singkat saja. Profil efek samping dalam

hubungannya dengan pengobatan jangka panjang dan tingkat kekambuhan tinggi


membuat kortikosteroid sistemik menjadi pilihan yang lebih terbatas. Friedli et al
(1998) juga telah melaporkan keberhasilan terapi dengan methylprednisolone
pulsed (250 mg IV dua kali sehari selama tiga hari berturut-turut) pada AA.
Kontraindikasi dan efek samping harus didiskusikan dengan matang menurut
pertimbangan pasien untuk terapi ini.
7.1.4. Steroid mini-pulse oral
Untuk menghindari efek samping dari steroid harian, terapi pulse dicanangkan.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Pasricha et al, terapi mini-pulse
betametason oral adalah modalitas pengobatan yang mudah dan cukup efektif
untuk alopecia areata luas (Pasricha dan Kumrah, 1996). Namun, bahwa
percobaan acak terkontrol dengan terapi standar pada sejumlah besar pasien untuk
memberikan informasi yang lebih dalam mengenai efikasi dan keamanan terapi
mini-pulsa oral untuk alopecia areata yang luas. Terapi mini-pulse oral (OMP)
dengan kortikosteroid telah berhasil digunakan untuk pengobatan alopecia areata
dengan efek samping yang minimal. Cegukan persisten merupakan komplikasi
yang jarang dari terapi kortikosteroid oral dan intravena (Dickerman dan
Jaikumar, 2001).
7.2.

Minoxidil

Pertama kali diperkenalkan sebagai agen antihipertensi, efek samping hipertrikosis menyebabkan obat ini digunakan sebagai pengobatan untuk berbagai
bentuk alopecia. Minoxidil langsung mempengaruhi folikel dengan merangsang
proliferasi di dasar bulbus dan diferensiasi di atas papilla dermal, tidak bergantung
dari pengaruh vaskularnya (Fiedler et al., 1990). Minoxidil telah menunjukkan
hasil yang cukup baik dalam pengelolaan AA dan diyakini bahwa pasien yang
resisten terhadap pengobatan minoxidil seringkali menderita AA, AT atau AU
yang parah (Buhl, 1991; Fransway dan Muller, 1988). Kombinasi terapi lotion
minoxidil 5 % dan anthralin telah dicatat menunjukkan hasil yang lebih baik oleh
beberapa peneliti (Price, 1987).

7.3.

Anthralin

Anthralin memberikan efeknya melalui sifat kontak iritannya. Obat ini juga
bertindak melalui sifat imunosupresif dan antiinflamasi melalui pembentukan
radikal bebas (Madani dan Shapiro, 2000). Pasien diinstruksikan untuk mengaplikasikan krim anthralin 0,5-1 % ke area terbuka selama 20-30 menit setiap hari
selama 2 minggu, secara bertahap meningkatkan paparan harian sampai eritema
dan pruritus derajat ringan berkembang, yang bila dicapai akan berlanjut selama
3-6 bulan (Ross dan Shapiro, 2005). Ini diyakini sebagai agen yang cocok untuk
anak di bawah usia 10 tahun (Thappa dan Vijayikumar, 2001). Efek samping
termasuk scaling, pewarnaan kulit dan kain yang diterapi, folikulitis, dan
limfadenopati regional.
7.4.

Immunomodulator topikal

Imunoterapi topikal bergantung pada aktivitas dermatitis kontak alergi (ACD)


dengan mengaplikasikan alergen kontak yang poten untuk kulit yang terkena.
Diyakini bahwa sensitizer kontak bertindak melalui immunomodulasi kulit di
beberapa titik yang berbeda. Dinitrochlorobenzene (DNCB) adalah sensitizer yang
pertama kali digunakan untuk pengobatan AA (Rosenberg dan Drake, 1976).
Sensitizer kontak lain yang digunakan dalam alopecia areata adalah diphenylcyclo-propenone (DPCP) dan squaric acid dibutil ester (SADBE). Satu-satunya
kelemahan dari DNCB adalah mutagenisitasnya dengan uji Ames. DNCB
diketahui bersifat non-karsinogenik saat diberikan dalam dosis besar pada tikus,
mencit, marmut dan manusia. Happle dan Echternacht (1977), memiliki respon
yang baik dengan DNCB. Inosiplex, obat sintetik yang bertindak sebagai agen
imunomodulasi baru-baru ini digunakan dalam kasus alopecia totalis dan
immunodefisiensi yang diperantarai sel dengan hasil yang memuaskan (Galbraith,
1984). Efek samping dari imunoterapi topikal termasuk pruritus, eritema ringan,
scaling, dan limfadenopati postaurikular. Efek samping yang tidak diinginkan
yang dilaporkan seperti urtikaria kontak, hiper- dan hipopigmentasi post

inflamasi, eritema mutliforme, edema wajah atau kelopak mata, demam, gejala
seperti flu, anafilaksis, dyschromia in confetti dan vitiligo.
7.5.

PUVA

Penggunaan PUVA (psoralen plus sinar ultraviolet A) didasarkan pada konsep


bahwa sel-sel mononuklear dan sel Langerhans yang mengelilingi folikel rambut
yang terkena mungkin memainkan peran patogenik secara langsung dan bahwa
terapi PUVA dapat membasmi infiltrasi sel radang tersebut. Baru-baru ini,
Whitmont melakukan studi dengan 8-methoxypsoralen (8-MOP) (dosis oral - 0,5
mg/kg) ditambah radiasi UVA sebesar 1 J per cm persegi (J/cm2) dan telah
menunjukkan pertumbuhan kembali rambut lengkap pada pasien dengan AA
totalis (53 %) dan AA universalis (55 %) dan tingkat kekambuhan yang rendah di
antara pasien tersebut (21 %) dalam jangka waktu follow up yang panjang (ratarata 5,2 tahun) (Whitmont dan Cooper, 2003). Pada tahun 2005, Mohamed et al
melakukan studi besar (124 pasien dengan AA dan 25 pasien dengan AA totalis
atau universalis) (Mohamed et al., 2005). Mereka menggunakan 8-MOP topikal
ditambah radiasi UVA dengan dosis yang lebih tinggi (8-42 J/cm 2) dan mereka
menemukan bahwa 85% pasien dari kelompok AA memiliki respon yang baik
atau sangat baik untuk terapi ini, dan 14 pasien dari kelompok AA U mengalami
50 % pertumbuhan kembali pada rambutnya. Efek samping termasuk sedikit
eritema dan rasa terbakar yang menyakitkan pada pasien yang tidak melindungi
kulit kepala mereka dari sinar matahari setelah terpapar PUVA. Kambuhnya
kerontokan rambut tercatat dalam delapan kasus setelah periode 10 bulan sampai
2 tahun pengobatan.
Prosedur relatif sederhana yaitu terapi PUVASOL (lokal dan sistemik) karena
ketersediaan radiasi matahari yang baik, efek samping yang dapat dikesampingkan, hasil yang menggembirakan dan ketidaktersediaan berbagai prosedur lain dan
seringnya kegagalan pengobatan dengan pengobatan ini membuat prosedur ini
lebih cocok di daerah tropis. (Sharma et al., 1990)
7.6.

Siklosporin A (CSA)

Siklosporin A adalah obat antimetabolit yang umum digunakan pada pasien posttransplantasi yang memberi efek melalui inhibisi aktivasi sel T. Efek samping
kulit yang umum adalah hipertrikosis, yang terjadi pada sekitar 80 % pasien,
mungkin sebagai akibat dari perpanjangan dari fase anagen dari siklus rambut.
Hal ini juga mengurangi infiltrat limfositik perifollicular, khususnya rata-rata
jumlah sel T helper (Taylor et al., 1993). Kesuksesan penggunaan CSA sistemik
pada pasien dengan AA telah menjadi suatu perdebatan karena bersifat
nefrotoksik, hepatotoksik, dan juga menyebabkan hiperplasia gingiva, sakit
kepala, tremor, dan hiperlipidemia (Gupta et al., 1990).
7.7.

Tacrolimus

Tacrolimus adalah inhibitor kalsineurin topikal yang menghambat transkripsi


setelah aktivasi sel T dari beberapa sitokin termasuk interleukin-2, interferon dan
tumor necrosis factor (Lawrence, 1998). Yamamoto et al melaporkan dalam
temuan mereka bahwa tacrolimus menstimulasi pertumbuhan rambut pada tikus
(Yamamoto et al., 1994) meskipun penelitian selanjutnya menunjukkan hasil yang
bertentangan (Jiang et al., 1995).
7.8.

Sulfasalazine

Sulfasalazine diyakini menjadi alternatif pengobatan yang baik untuk alopecia


areata karena efikasinya yang baik, profil efek samping yang dan sifatnya
menghemat (sparing) steroid. Obat ini memiliki efek imunosupresif dan
imunomodulator, seperti inhibisi kemotaksis sel inflamasi, dan sitokin dan
produksi antibodi dan mirip dengan siklosporin, sulfasalazine telah diketahui
dapat menghambat pelepasan interleukin 2 (Ellis et al., 2002). Dalam sebuah studi
tentang pengobatan alopesia areata dengan sulfasalazine persisten, tiga puluh
sembilan pasien dengan alopecia areata persisten menerima 3 g sulfasalazine oral
untuk sebulan, dan pertumbuhan kembali rambut terminal dihitung sebagai tidak
ada respon, respon moderat, atau respon yang baik. Respon yang baik terjadi pada
10 dari 39 pasien (25,6 %), respon moderat pada 12 orang (30,7 %), dan respon
yang buruk atau tidak ada pada 17 lainnya (43,5%) (AU Rashidi dan Mahd 2008).

7.9.

Mesoterapi

Mesoterapi menggunakan beberapa suntikan obat farmasi dan homeopati, ekstrak


tumbuhan, vitamin, dan bahan lainnya ke dalam jaringan target. Namun, cara ini
mahal dan tidak efektif, sehingga menjadi penghalang dalam penggunaannya
secara luas.
7.10.

Terapi biologis

Obat-obat ini disintesis dari protein rekombinan yang mengurangi sel T patogenik,
menghambat aktivasi sel T dan menghambat sitokin inflamasi, menun-jukkan
peran potensial dalam pengobatan AA. Etanercept adalah agen biologis dan
reseptor protein fusi yang terdiri dari dua reseptor TNF manusia dan domain Fc
dari imunoglobulin G1 manusia. Strober et al memberikan 50 mg etanercept dua
kali seminggu untuk pasien dengan AA moderat hingga berat. Namun mereka
mengamati tidak ada pertumbuhan kembali rambut yang signifikan setelah 24
minggu pengobatan (Strober et al., 2005). Studi dengan agen biologis lainnya
dalam pengobatan AA masih berlangsung. Dalam kasus dimana semua
pengobatan gagal, pilihan lain yang telah dilaporkan untuk AA adalah
transplantasi rambut, tetapi baru-baru ini hasil yang baik hanya telah dilakukan
pada alis. Alternatif lain adalah mikropigmentasi, yang juga dikenal sebagai
tattoo, yang telah digunakan untuk secara estetis dapat menyamarkan berbagai
kondisi medis yang berkaitan dengan dermatologi.
Gambar. 5 menggambarkan protokol yang disarankan untuk manajemen
bertahap dari Alopecia areata.
8.

Kesimpulan

Alopecia areata memiliki dampak yang besar pada penampilan dan psikis dari
individu yang menderita. Selain itu, tidak ada pengobatan yang dapat diandalkan
yang diketahui saat ini. Kortikosteroid telah menunjukkan hasil yang menjanjikan

dan sudah teruji waktu dalam manajemen penyakit ini selama bertahun-tahun.
Pengobatan lain yang telah digunakan dengan beberapa keberhasilan antara lain:
minoxidil, anthralin, DNCB, SADBE, PUVA, siklosporin. Dengan setiap
pengobatan, efek samping dan perbaikan kosmetik yang harus dipertimbangkan.
Mekanisme dukungan dalam bentuk kelompok-kelompok dukungan lokal harus
dibentuk dalam rangka memberikan konseling bagi pasien yang terkena dan
menghilangkan komorbiditas psikiatri mereka.

Anda mungkin juga menyukai