Anda di halaman 1dari 31

BAB I

STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan

: Tn. RA
: 38 tahun
: Duren, Tengaran
: Swasta

B. SOAP
S (Subjektif)
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sebelah kanan atas.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sebelah kanan atas sejak 7
bulan yang lalu. Selama 7 bulan tersebut, nyeri dirasakan biasa saja,
namun 1 bulan terakhir nyeri dirasakan makin bertambah dan seperti
ditusuk-tusuk. Keluhan tidak membaik walaupun sudah diberi obat
warung. Nyeri tidak tembus belakang. Mual (+), muntah (-), muntah darah
(-). BAB tidak ada keluhan, warna tidak hitam atau pucat. BAK bewarna
seperti teh.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi disangkal. Riwayat penyakit jantung disangkal.
Riwayat diabetes disangkal. Riwayat sakit kuning disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam riwayat keluarga tidak didapatkan keluhan yang serupa.
Dalam riwayat keluarga juga disangkal adanya keluarga yang menderita
penyakit jantung, diabetes, hipertensi, maupun penyakit kuning.
Riwayat Sosial
Pasien memiliki riwayat minum alkohol 20 tahun yang lalu selama
5 tahun. Pasien juga seorang perokok selama 20 tahun hingga sekarang.
1

Pasien mengatakan baru saja pulang dari kalimantan sebagai


pekerja batu bara. Riwayat berganti-ganti pasangan disangkal. Riwayat
penggunanaan jarum suntuk disangkal. Riwayat transfusi disangkal.
Tinjauan Sistem
Kepala leher
: mata kuning
THT
: tidak ada keluhan
Respirasi
: tidak ada keluhan
Gastrointestinal
: mual
Kardiovaskular
: tidak ada keluhan
Perkemihan
: BAK seperti teh
Sistem Reproduksi
: tidak ada keluhan
Kulit dan Ekstremitas : tidak ada keluhan
O (Objektif)
Keadaan Umum : Compos Mentis
Vital Sign
Tekanan Darah
: 100/70 mmHg
Nadi
: 68x/menit
Frekuensi Napas : 20x/menit
Suhu
: 37,4oC
Kepala dan Leher
Conjungtiva anemis: (-/-)
Sklera Ikterik: (+/+)
Pembesaran Limfonodi: (-)
Thorax
Cor
Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ditemukan bising atau
suara tambahan jantung
Pulmo

Bentuk paru simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan bentuk.


Tidak ada ketinggalan gerak, vocal fremitus tidak ada peningkatan

maupun penurunan.
Tidak ada nyeri tekan pada lapang paru.
Perkusi : sonor
Suara dasar vesikuler : +/+ (positif di lapang paru kanan dan kiri)
Suara rokhi : -/- (tidak terdengar di lapang paru kanan dan kiri)
Suara amforik: -/- (tidak terdengar di kedua lapang paru)
Suara wheezing : -/- (tidak terdengar di kedua lapang paru)
Abdomen
Bentuk supel (+)

Peristaltik usus (+) normal


Nyeri tekan (+)

Abdomen teraba membesar, distensi (+).


Permukaan hepar licin, tidak berbenjol-benjol. Liver span pada lobus

kanan hepar adalah 12 cm dan pada lobus kiri hepar sebsar 6 cm.
Extremitas
Akral hangat : (+) baik di ekstremitas atas maupun bawah
CRT : <2 detik
Udem pitting: Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
Hematologi
Lekosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
Kimia
GDS
Ureum
Creatinin
SGOT
SGPT
Biliubin Total
Bilirubin Indirect
Bilirubin Direct
Imunoserologi
HbsAg
Anti HCV

USG Abdomen

Hasil

Nilai Rujukan

15.54 ()
11.6 ()
36.2 ()
304 (N)

4.5-11
14-18
38-47
150-450

82 (N)
27 (N)
0,6 (N)
132 ()
215 (()
20.8 ()
5.80 ()
15.0 ()

80-100
10-50
0,6-11
<31
<32
<1
<0.75
<0.25

Negatif
Negatif

Negatif
Negatif

Kesan :
Hepatomegali dengan peningkatan echostruktur yang inhomogen
mengarah gambaran hepatitis dengan gambaran cholesistitis dan
cholestasis intrahepatal dan ekstrahepatal disertai gambaran difus
parenchimal renal inflammatory bilateral

CT Scan Abdomen

Hasil:
Ukuran membesar (diameter >223,5cm) dengan densitas inhomongen,
sudut kiri hepar tumpul, sistema vaskuler tak melebar, sistema biliaris
intrahepatal tampak melebar sampai di duktus choleducus, tampak lesi
hipodens dengan batas tak tegas di lobus kanan hepar (19HU). Post
pemberian bahan kontras, pada fase arteri, tak tampak engancement
heterogen intralesi (43 dan 80, 30 dan 55 HU) dengan batas lesi yang
relatif tegas, ukuran lesi 91,5x51,7x95,6 mm.
Kesan:
Hepatomegali dengan gambaran massa solid inhomogen di lobus
kanan hepar, mengarah gambaran hepatoma, disertai gambaran

cholestastis dan cholesistitis. Tak tampak gambaran thrombus pada


vena maupun gambaran AV fistula. Tak tampak limfadenopati paraorta,
asites, efusi pleura, maupun splenomegali. Organ lain dalam batas
normal
A (Assestment)
Hepatoma
Cholestatis
Cholesistitis

P (Planning)
Infus Asering 20 tpm
Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr
Injeksi Ondansentron 1x4 mg
Injeksi Omeprazole 3x40 mg
Injeksi Ketorolac 2x1 kp
Po. Antacid 3xCI ac
Po. Curcuma 3x1 tav
Po. Lesichol 2x300 mg
Po. Urdafalk 3x1 tab
Po. MST continus 2x1 caps 15 mg

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI DAN FISIOLOGI HEPAR


Hati merupakan organ tubuh yang terbesar dengan berat 1200 -1500 gram.
Pada orang dewasa 1/50 dari berat badannya, sedangkan pada bayi kurang lebih
1/18 dari berat bayi. Posisi organ hati sebagian besar terletak di perut bagian
kanan atas dibawah diaphragma.
Hepar secara anatomis dibagi menjadi pars hepatic dexter dan sinister oleh
bidang yang melalui batas perlekatan ligamentum falciforme pada facies
diaphragmatica dan oleh fisurra atau fossa sagitalis sinistra pada facies visceralis.
Lobus hepatic dexter terbagi menjadi lobus quadratus yang terletak antara vena
cava inferior dan ligamentum venosum. Bagian kanan dan kiri hepar dipisahkan
oleh bidang anteroposterior yang melalui fossa sagitalis dextra di sebelah kanan
bidang tengah ligamnetum falciforme. Dengan demikian lobus quadratus dan
separuh lobus caudatus akan termasuk pars hepatic sinistra yang di lurus oleh
pembuluh darah dan saluran empedu sebelah kiri
Hati di suplai oleh dua pembuluh darah yaitu :

a. Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus, yang kaya akan
nutrisi seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan
mineral.
b. Arteri hepatica cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.
Cabang-cabang pembuluh darah vena porta hepatica dan arteri hepatica
mengalirkan darahnya ke sinusoid. Hepatosit menyerap nutrien, oksigen dan zat
racun dari darah sinusoid. Di dalam hepatosit zat racun akan di netralkan
sedangkan nutrien akan ditimbun atau di bentuk zat baru, dimana zat tersebut akan
disekresikan ke peradaran darah tubuh.
Tabel 1. Fungsi Hati

DEFINISI HEPATOCELLULAR CARCINOMA


Karsinoma hepatoseluler (KHS) atau hepatoma adalah salah satu jenis
keganasan hati primer yang paling sering ditemukan dan banyak menyebabkan
kematian. Dari seluruh keganasan hati, 80 90% adalah hepatoma. Hepatoma
merupakan pertumbuhan sel hati yang tidak normal yang di tandai dengan
bertambahnya

jumlah

sel

dalam

hati

yang

memiliki

kemampuan

membelah/mitosis disertai dengan perubahan sel hati yang menjadi ganas.


Karsinoma hati primer dibedakan atas karsinoma yang berasal dari sel-sel
hati (KHS), karsinoma dari sel-sel saluran empedu (karsinoma kolangioseluler),
dan campuran dari keduanya. Karsinoma juga dapat berasal dari jaringan ikat hati
seperti misalnya fibrosarkoma hati. Secara makroskopis karsinoma hati dapat
dijumpai dalam bentuk (i) masif yang biasanya di lobus kanan, berbatas tegas,
dapat disertai nodul-nodul kecil di sekitar masa tumor dan bisa dengan atau tanpa
sirosis; (ii) noduler, dengan nodul di seluruh hati, (iii) difus, seluruh hati terisi sel
tumor. Secara mikroskopis, sel-sel tumor biasanya lebih kecil dari sel hati yang
normal, berbentuk poligonal dengan sitoplasma granuler. Sering ditemukan sel
raksasa yang atipik. Dalam kaitan dengan tumor ganas ini, optimisasi penanganan
KHS merupakan suatu tantangan besar bagi dokter karena frekuensi KHS yang
meningkat tajam pada tahun-tahun terakhir ini.

ETIOLOGI HEPATOCELLULAR CARCINOMA


1. Virus Hepatitis B (HBV)

10

Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC


terbukti kuat, baik secara epidemiologis klinis maupun eksperimental.
Karsinogenisitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi
kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA
sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati.
Pada dasarnya perubahan hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel
yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat
diaktifkan secara tidak langsung oleh kompensasi proliferatif merespons
nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau
bebe rapa gen yang berubah akibat HBV.
Koinsidensi infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik lain seperti
aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya HCC tanpa melalui sirosis hati (HCC
pada hati non sirotik). Transaktifasi beberapa promoter selular atau viral
tertentu oleh genx HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya HCC, mungkin
karena akumulasi protein yang disandi HBx mampu menyebabkan proliferasi
hepatosit. Dalam hal ini proliferasi berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui
mekanisme protektif d ari apoptosis sel.
2. Virus Hepatitis C (HCV)
Prevalensi anti HCV pada pasien HCC di Cina dan Afrika Selatan
sekitar 30% sedangkan di Eropa Selatan dan Jepang 70 -80%. Prevalensi anti
HCV jauh lebih tinggi pada kasus HCC dengan HbsAg -negatif daripada
HbsAg-positif. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat transfusi darah
dengan anti HCV positif, interval saat transfusi hingga terjadinya HCC dapat
mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui
aktivitas nekroinflamasi kronik dan sirosis hati.

11

3.

Sirosis Hati
Lebih dari 80% penderita karsinoma hepatoselular menderita sirosis
hati. Peningkatan pergantian sel pada nodul regeneratif sirosis di hubungkan
dengan kelainan sitologi yang dinilai sebagai perubahan displasia praganas.
Semua tipe sirosis dapat menimbulkan komplikasi karsinoma, tetapi hubungan
ini paling besar pada hemokromatosis, sirosis terinduksi virus dan sirosis
alkoholik.

4. Aflaktosin
Aflaktosin B1 (AFB1) merupakan mitoksin yang di produksi oleh
jamur Aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat
karsinogen. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen
utama dari kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA
maupun RNA
5. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum
berat alkohol ( >50-70g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita
HCC melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek
karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan risiko
terjadinya sirosis hati dan HCC pada pengidap infeksi HBV atau HCV.
PATOGENESIS DAN GAMBARAN KLINIS
Beberapa faktor patogenesis karsinoma hepatoseluler telah didefinisikan
baru-baru ini. Hampir semua tumor di hati berada dalam konteks kejadian cedera
kronik (chronic injury) dari sel hati, peradangan dan meningkatnya kecepatan
perubahan hepatosit. Respons regeneratif yang terjadi dan adanya fibrosis

12

menyebabkan timbulnya sirosis, yang kemudian diikuti oleh mutasi pada hepatosit
dan berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler. HBV atau HCV mungkin ikut
terlibat di dalam berbagai tahapan proses onkogenik ini. Misalnya, infeksi
persisten dengan virus menimbulkan inflamasi, meningkatkan perubahan sel, dan
menyebabkan sirosis. Sirosis selalu didahului oleh beberapa perubahan patologis
yang reversibel, termasuk steatosis dan inflamasi; baru kemudian timbul suatu
fibrosis yang ireversibel dan regenerasi nodul. Lesi noduler diklasifikasikan
sebagai regeneratif dan displastik atau neoplastik. Nodul regeneratif merupakan
parenkim hepatik yang membesar sebagai respons terhadap nekrosis dan
dikelilingi oleh septa fibrosis.
Selain proses di atas, pada waktu periode panjang yang tipikal dari infeksi
(10-40 tahun), genom virus hepatitis dapat berintegrasi ke dalam kromosom
hepatosit. Peristiwa ini menyebabkan ketidakseimbangan (instability) genomik
sebagai akibat dari mutasi, delisi, translokasi, dan penyusunan kembali
(rearrangements) pada berbagai tempat di mana genom virus secara acak masuk
ke dalam DNA hepatosit. Salah satu produk gen, protein x HBV (Hbx),
mengaktifkan transkripsi, dan pada periode infeksi kronik, produk ini
meningkatkan ekspresi gen pengatur pertumbuhan (growthregulating genes) yang
ikut terlibat di dalam transformasi malignan dari hepatosit.
Gambaran klinis berupa rasa nyeri tumpul umumnya dirasakan oleh
penderita dan mengenai perut bagian kanan atas, di epigastrium atau pada kedua
tempat epigastrium dan hipokondrium kanan. Rasa nyeri tersebut tidak berkurang
dengan pengobatan apapun juga. Nyeri yang terjadi terus menerus sering menjadi
lebih hebat bila bergerak. Nyeri terjadi sebagai akibat pembesaran hati,

13

peregangan glison dan rangsangan peritoneum. Terdapat benjolan di daerah perut


bagian kanan atas atau di epigastrium. Perut membesar karena adanya asites yang
disebabkan oleh sirosis atau karena adanya penyebaran karsinoma hati ke
peritoneum.
Umumnya terdapat keluhan mual dan muntah, perut terasa penuh, nafsu
makan berkurang dan berat badan menurun dengan cepat. Yang paling penting
dari manifestasi klinis sirosis adalah gejala-gejala yang berkaitan dengan
terjadinya hipertensi portal yang meliputi asites, perdarahan karena varises
esofagus, dan ensefalopati.
Secara makroskopis karsinoma hepatoseluler dapat muncul sebagai masa
soliter besar, sebagai nodul multipel atau sebagai lesi infiltratif difus. Secara
mikroskopis, neoplasma disusun oleh sel-sel hati abnormal dengan berbagai
diferensisasi. Tumor dengan diferensiasi yang lebih baik disusun oleh sel -sel
mirip sel hati yang teratur di dalam pita -pita yang terpisah oleh sinusoid-sinusoid.
Sel-sel ini berinti besar yang memperlihat kan anak inti yang menonjol dan
hiperkromasi dan dapat mengandung empedu di dalam sitoplasmanya. Tumor
tumor yang kurang berdiferensiasi baik mempunyai lembaran -lembaran sel-sel
anaplastik. Invasi pada radikulus vena hepatika merupakan gambaran khas yang
membedakan dengan adenoma. Sulit membedakan karsinoma hepatoselular
berdiferensiasi buruk dengan karsinoma metastatik
Pewarnaan imunohistokimia dapat memperlihatkan alfa -fetoprotein (AFP)
di dalam sel neoplasma. Karsinoma hepatoseluler juga mensekresi AFP ke dalam
darah, peningkatan kadar di jumpai pada 90% pasien, membuat pemeriksaan AFP
serum sebagai tes diagnostik yang penting. Karsinoma hepatoseluler cenderung

14

bermetastasis dini melalui pembuluh limfe ke kelenjar getah bening regional dan
melalui darah menimbulkan metastasis pada paru. Metastasis ke tempat lain
terjadi pada tahap akhir
Tingkat penyakit (stadium) hepatoma primer terdiri dari :
Ia : Tumor tunggal diameter 3 cm tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar
limfe peritoneal ataupun jauh
Ib : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter 5 cm di separuh hati, tanpa
emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh
IIa : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan 10 cm di separuh
hati, atau dua tumor dengan gabungan 5 cm di kedua belahan hati kiri dan
kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun
jauh
IIb : Tumor tunggal atau multiple dengan diameter gabungan 10 cm di separuh
hati, atau tumor multiple dengan gabungan 5 cm di kedua belahan hati kiri
dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal
ataupun jauh
IIIa : Tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama vena
porta atau vena kava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal jauh
IIIb : Tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis

PENEGAKAN DIAGNOSIS HEPATOCELLULAR CARCINOMA


Untuk menegakkan diagnosis karsinoma hati diperlukan beberapa
pemeriksaan

15

seperti

misalnya

pemeriksaan

radiologi,

ultrasonografi,

computerized

tomography

(CT)

scan,

peritoneoskopi

dan

pemeriksaan

laboratorium.
1. USG
Dengan ultrasonografi, gambaran khas dari KHS adalah pola mosaik,
sonolusensi perifer, bayangan lateral yang disebabkan pseudokapsul fibrotik,
dan peningkatan akustik posterior. KHS yang masih berupa nodul kecil
cenderung bersifat homogen dan hipoekoik, sedangkan nodul yang besar
biasanya heterogen. Penggunaan ultrasonografi sebagai sarana screening untuk
mendeteksi tumor hati pada penderita dengan sirosis yang lanjut memberikan
hasil bahwa 34 dari 80 penderita yang diperiksa menunjukkan tanda-tanda
tumor ganas dan 28 di antaranya adalah KHS. Ultrasonografi memberikan
sensitivitas sebesar 45% dan spesifisitas 98%.(5) Oleh karena sensitivitas tes
ini maka setiap massa yang terdeteksi oleh ultrasonografi harus dianggap
sebagai keganasan. Karsinoma hati sekunder memberikan gambaran berupa
nodul yang diameternya kecil mempunyai densitas tinggi dan dikelilingi oleh
gema berdensitas rendah. Gambaran ini berbentuk seperti mata sapi.
2. CT-scan dan angiografi
KHS dapat bermanifestasi sebagai massa yang soliter, massa yang
dominan dengan lesi satelit di sekelilingnya, massa multifokal, atau suatu
infltrasi neoplasma yang sifatnya difus. CT-scan telah banyak digunakan untuk
melakukan karakterisasi lebih lanjut dari tumor hati yang dideteksi melalui
ultrasonografi. CT-scan dan angiografi dapat mendeteksi tumor hati yang
berdiameter 2 cm. Walaupun ultrasonografi lebih sensitif dari angiografi dalam
mendeteksi karsinoma hati, tetapi angiografi dapat lebih memberikan kepastian
diagnostik oleh karena adanya hipervaskularisasi tumor yang tampak pada

16

angiografi. Dengan media kontras lipoidol yang disuntikkan ke dalam arteria


hepatika, zat kontras ini dapat masuk ke dalam nodul tumor hati. Dengan
melakukan arteriografi yang dilanjutkan dengan CT-scan, ketepatan diagnostik
tumor akan menjadi lebih tinggi.
3. MR imaging
Magnetic resonance (MR) imaging umum digunakan secara rutin
untuk screening penderita-penderita dengan sirosis. Hasil studi menunjukkan
sensitivitas untuk diagnosis KHS dilaporkan hanya sebesar 53% saja. Hal ini
disebabkan karena lesi-lesi yang tidak terdeteksi tersebut kebanyakan
mempunyai diameter kecil yaitu rata-rata 1,3 cm. Sebaliknya, nodul displastik
derajat tinggi meskipun dapat dideteksi namun terdiagnosis sebagai KHS
karena adanya arterial phase enhancement. Dengan demikian, diperlukan
kriteria lain selain arterial phase enhancement untuk membedakan nodul
displastik dari KHS yang kecil.
4. Biopsi
Untuk pemastian diagnosis karsinoma hati, diperlukan biopsi dan
pemeriksaan histopatologi. Biopasi dilakukan terhadap massa yang terlihat
pada ultrasonografi, Ctscan atau melalui angiografi. Biopsi aspirasi jarum halus
dapat dilakukan secara buta (blind). Ada kalanya dibutuhkan tindakan
laparoskopi atau laparatomi untuk melakukan biopsi.
5. Uji faal hati
Karsinoma hati dapat menyebabkan terjadinya obstruksi saluran
empedu atau merusak sel-sel hati oleh karena penekanan massa tumor atau
karena invasi sel tumor hingga terjadi gangguan hati yang tampak pada
kelainan SGOT, SGPT, alkali fosfatase, laktat dehidrogenase. Gangguan faal
hati ini tidak spesifik sebagai petanda tumor. Alfafetoprotein (AFP) adalah

17

suatu glikoprotein dengan berat molekul sebesar 70,000. AFP disintesis oleh
hati, usus dan yolk sac janin. Pada manusia, AFP mulai terdeteksi pada fetus
umur 6-7 minggu kehamilan dan mencapai puncaknya pada minggu ke-13.
Pada bayi yang baru lahir, kadarnya adalah sebesar 10,000 - 100,000 ng/ml,
kemudian menurun dan pada usia 250-300 hari kelahiran kadarnya sama
dengan kadar pada orang dewasa. Adanya peningkatan kadar AFP diduga
karena sel-sel hati mengalami diferensiasi menyerupai sel hati pada janin. AFP
merupakan petanda karsinoma hati.

PENATALAKSANAAN
Banyak faktor memegang peranan dalam penanganan KHS. Pertama,
adanya sirosis hati dalam berbagai tingkatan yang mengikuti KHS sedikit banyak
mempengaruhi pilihanpilihan pengobatan.(Fungsi hati pada penderita-penderita
KHS dapat sangat bervariasi dari normal sampai dekompensasi. Sirosis dapat
dijumpai pada sekitar 90% dari semua kasus KHS. Kedua, KHS menunjukkan
perangai biologis yang sangat bervariasi dari satu daerah dan daerah yang lain.
Misalnya, di daerah pedesaan Afrika Selatan, KHS mengenai penderita-penderita
dalam usia yang lebih muda dan sering baru terdiagnosis setelah tahap lanjut dan
mempunyai durasi gejala-gejala yang lebih singkat dibanding kasus-kasus di
Amerika Utara. Manifestasi klinis pada penderitapenderita ini didominasi oleh
gejala-gejala yang disebabkan oleh tumornya sedangkan di Amerika Utara gejalagejala sirosis tampil secara dominan dalam waktu yang lama. Oleh karena itu,
protokol pengobatan yang dikembangkan di suatu daerah atau negara mungkin
tidak sesuai dan tidak optimal untuk daerah lainnya.

18

Secara umum, tatalaksana bedah (surgical management) seperti reseksi


dan transplantasi dianggap pengobatan yang ideal untuk KHS. Kemajuan teknik
bedah dan perawatan perioperatif telah mampu untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas akibat operasi, bahkan pada penderita-penderita sirosis. Dengan seleksi
yang baik terhadap penderita-penderita, 5-year survival rate pasca-reseksi
dilaporkan dapat mencapai sedikitnya 35%. Namun demikian, 70% dari
penderita-penderita ini mengalami rekurensi setelah reseksi kuratif ini, biasanya
antara 18-24 bulan.
Meskipun penanganan terhadap karsinoma hepatoseluler secara operatif
dianggap ideal, tetapi banyak kesulitan dijumpai karena penderita-penderita
umumnya datang pada stadium yang sudah lanjut sehingga tidak dapat dilakukan
reseksi dan transplantasi. Selain itu, biaya operasi yang mahal, pemberian
imunosupresi sepanjang hidup serta sulitnya mendapatkan donor transplantasi
merupakan suatu kendala yang besar terutama di negara-negara berkembang.

Pengobatan non-bedah
Meskipun pendekatan multidispliner terhadap KHS dapat meningkatkan
hasil reseksi dan orthotopic liver transplantation, tetapi kebanyakan penderita
tidak memenuhi persyaratan untuk terapi operasi karena stadium tumor yang telah
lanjut, derajat sirosis yang berat, atau keduanya. Oleh karena itu, terapi non-bedah
merupakan pilihan untuk pengobatan penyakit ini. Beberapa alternatif pengobatan
non-bedah karsinoma hati meliputi:
A. Percutaneous ethanol injection (PEI)

19

PEI pertama kali diperkenalkan pada tahun 1986. Teknik terapi PEI
dilaporkan memberikan hasil sebaik reseksi untuk KHS yang kecil. Kerugian
dari cara ini adalah tingkat rekurensi lokal yang tinggi dan kebutuhan akan
sesi terapi berulang kali (multipel) agar didapatkan ablasi lengkap dari lesi.
PEI dilakukan dengan cara menyuntikkan per kutan etanol murni (95%) ke
dalam tumor dengan panduan radiologis untuk mendapatkan efek nekrosis
dari tumor. Tindakan ini efektif untuk tumor berukuran kecil (<3 cm). Untuk
penderita-penderita dengan asites, koagulopati sedang atau berat dan lesi
permukaan, PEI tidak dianjurkan. Efek PEI adalah demam, sakit di daerah
suntikan, perdarahan intrahepatik dan perdarahan peritoneal.
B. Chemoembolism
Transcatheter arterial chemoembolism dapat digunakan sebagai
terapi lokal (targeted chemoembolism) atau regional (segmental, lobar
chemoembolism) tergantung dari ukuran, jumlah dan distribusi lesi.
Kemoembolisme dianggap terapi baku untuk KHS yang tidak dapat dilakukan
reseksi. Lipoidol diberikan dengan obat kemoterapi yang kemudian akan
terkonsentrasi di dalam sel tumor tetapi secara aktif dibersihkan dari sel-sel
yang non-maligna. Pada cara ini, terjadi devaskularisasi terhadap tumor
sehingga menghentikan suplai nutrisi dan oksigen ke jaringan tumor dan
mengakibatkan terjadinya nekrosis tumor akibat vasokonstriksi arteri hepatika.
Dengan teknik ini didapatkan respon yang lebih baik dibandingkan kemoterapi
arterial atau sistemik. Selain lipoidol dapat juga digunakan gelfoam dan
kolagen. Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah demam, nausea,
vomitus, sakit di daerah abdominal. Kemoembolisasi pada penderita-penderita
dengan karsinoma hepatoseluler yang tidak dapat direseksi dilaporkan

20

menunjukkan reduksi dari pertumbuhan tumor tetapi tidak memberikan


peningkatan survival. Efikasi yang terbatas dari kemoembolisasi pada
penderita KHS dengan tumor yang besar dan tidak dapat direseksi dapat
dijelaskan oleh adanya sel-sel tumor yang tetap hidup setelah terapi, terutama
dengan adanya invasi vaskuler, adanya anak nodul kecil-kecil, dan adanya
trombi tumor. Kemoembolisasi efektif untuk tumor kecil tunggal dengan
hipervaskularisasi. Respons yang lebih besar dan derajat survival yang lebih
tinggi diperoleh bilamana kemoembolism diikutidengan PEI
C. Kemoterapi sistemik
Pemberian terapi dengan anti-tumor ternyata dapat memperpanjang hidup
penderita. Sitostatika yang sering dipakai sampai saat ini adalah 5-fluoro uracil
(5-FU). Zat ini dapat diberikan secara sistematik atau secara lokal (intra-arteri).
Sitostatika lain yang sering digunakan adalah adriamisin (doxorubicin HCl)
atau adriblastina. Dosis yang diberikan adalah 60-70 mg/m2 luas badan yang
diberikan secara intra-vena setiap 3 minggu sekali atau dapat juga diberikan
dengan dosis 20-25 mg/m2 luas badan selama 3 hari berturut-turut dan
diberikan setiap 3 minggu sekali. Adriamisin sebagai obat tunggal sangat
efektif dengan peningkatan survival rate sebesar 25% dibandingkan bila tidak
diberi terapi. Penggunaan kombinasi sisplatin, IFN-2B, adriamisin dan 5-FU
yang diberikan secara sistematik pada penderita KHS memberikan rerspon
yang sangat baik untuk tumor hati dan ekstrahepatik. Dengan rejimen seperti
ini ternyata 18% penderita yang awalnya tidak dapat dieseksi dapat direseksi
dan 50% menunjukkan remisi histologis yang sempurna. Namun demikian,
kombinasi di atas tidak dapat ditoleransi penderita-penderita sirosis lanjut.
D. Radiasi

21

Terapi radiasi jarang digunakan sebagai terapi tunggal dan tidak


banyak perannya sebab karsinoma hati tidak sensitif terhadap radiasi dan selsel hati yang normal sangat peka terhadap radiasi. Terapi radiasi dengan
menggunakan 50 Gy untuk membunuh sel-sel kanker hati dapat menyebabkan
radiation induced hepatitis. Dosis yang diberikan umumnya berkisar antara 3035 Gy dan diberikan selama 3-4 minggu. Meskipun demikian, penderita
biasanya meninggal dalam kurun waktu 6 bulan. karena survival-nya pendek.
Teknik baru yang dengan proton therapy adalah teknik yang menggunakan
partikel bermuatan positif untuk menghantar energi membunuh sel-sel tumor
dengan cedera minimal pada jaringan hati yang nonneoplastik. Dengan proton
therapy dosis 70- 80 Gy sangat aman karena sel target adalah hanya sel tumor.
Ukuran tumor dapat berkurang sampai 50% dari sebelumnya, dan efek
samping yang terjadi sangat minimal sehingga memberikan kualitas hidup
yang lebih baik.
E. Tamofixen
Tamofixen digunakan pada penderitapenderita KHS dengan sirosis
lanjut, tetapi tidak meningkatkan survival. Tamofixen dapat dikombinasikan
dengan etoposide dan menunjukkan perbaikan serta memberikan toksisitas
rendah dan bermanfaat sebagai terapi paliatif. Secara in vitro, tamofixen
bermakna meningkatkan efek sitotoksik doxorubisin pada KHS. Kombinasi
antara tamofixen dengan doxorubisin ternyata tidak memberikan hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan tamofixen tunggal.
F. Injeksi asam asetat perkutaneus
Prinsip dan cara kerja metode ini sama dengan injeksi etanol
perkutan, hanya saja zat yang disuntikkan adalah larutan asam asetat 15-50%.

22

Pemberian pada penderita KHS dengan tumor yang berdiameter <3 cm


menunjukkan survival rate 1 tahun sebesar 93%, 2 tahun sebesar 86%, 3 tahun
sebesar 83% dan 4 tahun sebesar 64%. Efek samping tidak dijumpai.

PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis karsinoma hati adalah jelek. Tanpa
pengobatan, kematian rata-rata terjadi sesudah 6-7 bulan setelah timbul keluhan
pertama. Dengan pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang sekitar 11- 12
bulan. Bila karsinoma hati dapat dideteksi secara dini, usaha-usaha pengobatan
seperti pembedahan dapat segera dilakukan misalnya dengan cara subsegmenektomi, maka masa hidup penderita dapat menjadi lebih panjang lagi.
Sebaliknya, penderita karsinoma hati fase lanjut mempunyai masa hidup yang
lebih singkat. Kematian umumnya disebabkan oleh karena koma hepatik,
hematemesis dan melena, syok yang sebelumnya didahului dengan rasa sakit
hebat karena pecahnya karsinoma hati. Oleh karena itu langkah-langkah terhadap
pencegahan karsinoma hati haruslah dilakukan. Pencegahan yang paling utama
adalah menghindarkan infeksi terhadap HBV dan HCV serta menghindari
konsumsi alkohol untuk mencegah terjadinya sirosis.

BAB II
PEMBAHASAN

Tn. RA datang dengan keluhan nyeri perut sebelah kanan atas sejak 7
bulan yang lalu. Selama 7 bulan tersebut, nyeri dirasakan biasa saja, namun 1

23

bulan terakhir nyeri dirasakan makin bertambah dan seperti ditusuk-tusuk.


Keluhan tidak membaik walaupun sudah diberi obat warung. Nyeri tidak tembus
belakang. Mual (+), muntah (-). BAB tidak ada keluhan, BAB tidak bewarna
hitam atau pucat. BAK bewarna seperti teh.
Saat pasien datang dengan abdominal pain, maka perlu ditelusuri lokasi
nyeri pasien ada dimana. Pada Tn. RA, lokasi nyeri berkisar ada bagian kanan
atas, dimana pada lokasi tersebut terdapat beberapa organ yang bila menimbulkan
gangguan dapat berpotensi menimbulkan nyeri.
Setelah dianamnesis lebih lanjut dan dilakukan pemeriksaan fisik, yang
dapat digarisbawahi adalah: BAK bewarna seperti teh, ikterik pada kedua sklera,
liver span pada batas kanan hepar 12 cm (batas maksimal), nyeri tekan pada
abdomen regio hipokondrium kanan dan lumbal kanan. Yang dapat dipikirkan
adalah adanya gangguan pada hepar, empedu, atau ginjal kanan. Untuk
memastikan lebih lanjut perlu investigasi lebih dalam dengan pemeriksaan
penunjang.
Pemeriksaan darah rutin menunjukkan adanya infeksi atau peradangan,
ditandai dengan adanya leukositosis. Pasien juga patut dicurigai adanya kelainan
pada sistem hepatobilier disebabkan ditemukannya hasil yang abnormal pada
SGOT, SGPT, biliriubin total, bilirubin direk, dan bilirubin indirek. Oleh karena
itu untuk investigasi selanjutnya dapat dilakukan dengan USG abdomen. Pada
USG abdomen didapatkan kesan hepatomegali dengan peningkatan echostruktur
yang inhomogen mengarah gambaran hepatitis dengan gambaran cholesistitis dan
cholestasis intrahepatal dan ekstrahepatal disertai gambaran difus parenchimal
renal inflammatory bilateral. Untuk memastikannya lebih jelas dilakukan pula CTScan Abdomen dan didapatkan kesal adanya hepatomegali dengan gambaran

24

massa solid inhomogen di lobus kanan hepar, mengarah gambaran hepatoma,


disertai gambaran cholestastis dan cholesistitis. Oleh karena itu, pasien
didiagnosis dengan hepatoma. Namun, pada hasil CT Scan Abdomen, lesi pada
lobus kanan hepar berukuran 91,5x51,7x95,6 mm (<2cm). Bila disesuaikan
dengan algoritma, maka Tn. RA perlu diperiksa ulang 3 bulan kemudian untuk
melihat ukuran lesi pada heparnya.

Menurut penulis pula, perlu dilakukan pemeriksaan Alfafetoprotein


untuk memastikan diagnosis lebih lanjut. Alfafetoprotein (AFP) adalah suatu
glikoprotein dengan berat molekul sebesar 70,000. AFP disintesis oleh hati, usus
dan yolk sac janin. Pada manusia, AFP mulai terdeteksi pada fetus umur 6-7
minggu kehamilan dan mencapai puncaknya pada minggu ke-13. Pada bayi yang
baru lahir, kadarnya adalah sebesar 10,000 - 100,000 ng/ml, kemudian menurun
dan pada usia 250-300 hari kelahiran kadarnya sama dengan kadar pada orang
dewasa. Adanya peningkatan kadar AFP diduga karena sel-sel hati mengalami
diferensiasi menyerupai sel hati pada janin. AFP merupakan petanda karsinoma
hati.
Karsinoma hepatoseluler (KHS) atau hepatoma adalah salah satu jenis
keganasan hati primer yang paling sering ditemukan dan banyak menyebabkan

25

kematian. Dari seluruh keganasan hati, 80 90% adalah hepatoma. Hepatoma


merupakan pertumbuhan sel hati yang tidak normal yang di tandai dengan
bertambahnya

jumlah

sel

dalam

hati

yang

memiliki

kemampuan

membelah/mitosis disertai dengan perubahan sel hati yang menjadi ganas.


Etiologi dari KHS bermacam-macam, yaitu karena infeksi hepatitis B,
hepatitis C, sirosis hati, maupun alkohol. Pada pasien ini, HbsAg negatif dan anti
HCV juga negatif, sehingga kemungkinan penyebab akibat infeksi hepatitis B
maupun C dapat dihapus. Pada pasien ini kemungkinan penyebab dari KHS itu
sendiri adalah alkohol. Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik,
peminum berat alkohol ( >50-70g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk
menderita HCC melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek
karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan risiko
terjadinya sirosis hati dan HCC pada pengidap infeksi HBV atau HCV.

26

Penyebab lain dari KHS adalah hepatitis B, hepatitis C, dan aflatoksin.


Aflaktosin B1 (AFB1) merupakan mitoksin yang di produksi oleh jamur
Aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen.
Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari
kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA
Sedangkan hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC
terbukti kuat, baik secara epidemiologis klinis maupun eksperimental.
Karsinogenisitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi
kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel
pejamu, dan aktivitas protein spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada
dasarnya perubahan hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang
aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat
diaktifkan secara tidak langsung oleh kompensasi proliferatif merespons
nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau
bebe rapa gen yang berubah akibat HBV. Koinsidensi infeksi HBV dengan
pajanan agen onkogenik lain seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya
HCC tanpa melalui sirosis hati (HCC pada hati non sirotik). Transaktifasi
beberapa promoter selular atau viral tertentu oleh genx HBV (HBx) dapat
mengakibatkan terjadinya HCC, mungkin karena akumulasi protein yang disandi
HBx mampu menyebabkan proliferasi hepatosit. Dalam hal ini proliferasi
berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui mekanisme protektif dari apoptosis sel.
Sedangkan hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktivitas
nekroinflamasi kronik dan sirosis hati.

27

Lebih dari 80% penderita karsinoma hepatoselular menderita sirosis hati.


Peningkatan pergantian sel pada nodul regeneratif sirosis di hubungkan dengan
kelainan sitologi yang dinilai sebagai perubahan displasia praganas. Semua tipe
sirosis dapat menimbulkan komplikasi karsinoma, tetapi hubungan ini paling
besar pada hemokromatosis, sirosis terinduksi virus dan sirosis alkoholik.

Adapun selama perawatan, Tn. RL mendapatkan tatalaksana farmakologi


berupa:
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr golongan cefalosporin spektrum luas, yang
membunuh bakteri dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri.
Ceftriaxone secara relatif mempunyai waktu paruh yang panjang dan diberikan
-

dengan injeksi dalam bentuk garam sodium.


Injeksi Ondansentron 1x4 mg anti mual muntah. Antagonis reseptor 5HT3.
Injeksi Omeprazole 3x2 mg Golongan PPI
Injeksi Ketorolac 2x1 NSAID
Po. Antacid 3xCI menetralkan asam lambung
Po. Curcuma 3x1 membantu memelihara kesehatan fungsi hati,

memperbaiki nafsu makan


Po. Lesichol 2x350 mg memelihara kesehatan fungsi hati
Po. Urdafalk 3x1 indikasi : hepatitis kolestatis, hepatitis aktif kronik (sirosis
bilier primer/PBC, kolangitis sklerosing primer), batu empedu kolesterol

radiolusen yang diameternya tidak lebih dr 20 mm.


Po. MST continues 2x1 caps 15 ml Morphine sulfate. Penatalaksanaan nyeri
kronik pada pasien yang perlu analgesik opioid. Bekerja pada SSP
(antidepresan, trankuiliser, hipnotik sedatif).

28

BAB V
KESIMPULAN

Tn. RA didiagnosis hepatoma berdasarkan hasil anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan algoritma penegakan
diagnosis pada pasien suspek hepatoma, Tn. RA perlu dilakukan untuk
pemeriksaan USG abdomen ulang 3 bulan kemudian. Selan itu, pasien juga perlu
dilakukan pemeriksaan penanda kanker hati yaitu alfafetroprotein.
Pada umumnya prognosis karsinoma hati adalah jelek. Tanpa
pengobatan, kematian rata-rata terjadi sesudah 6-7 bulan setelah timbul keluhan
pertama. Dengan pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang sekitar 11- 12
bulan. Bila karsinoma hati dapat dideteksi secara dini, usaha-usaha pengobatan
seperti pembedahan dapat segera dilakukan misalnya dengan cara subsegmenektomi, maka masa hidup penderita dapat menjadi lebih panjang lagi.
Sebaliknya, penderita karsinoma hati fase lanjut mempunyai masa hidup yang
lebih singkat. Kematian umumnya disebabkan oleh karena koma hepatik,
hematemesis dan melena, syok yang sebelumnya didahului dengan rasa sakit
hebat karena pecahnya karsinoma hati. Oleh karena itu langkah-langkah terhadap
pencegahan karsinoma hati haruslah dilakukan. Pencegahan yang paling utama
adalah menghindarkan infeksi terhadap HBV dan HCV serta menghindari
konsumsi alkohol untuk mencegah terjadinya sirosis.

29

DAFTAR PUSTAKA

Bruix, J. (2010). Management of Hepatocellular Carcinoma: An Update. AASLD


PRACTICE GUIDELINE , 1020-1022.

Frana. (2004). Brazilian Journal of Medical and Biological Research. Hospital


Physician , 1689-1692.

Nault, J. (2014). Pathogenesis of hepatocellular carcinoma. Best Practice &


Research Clinical Gastroenterology , 937-947.

Satir, A. (2007). An Update on the Pathogenesis and Pathology of Hepatocellular


Carcinoma. Bahrain Medical Bulletin, Vol. 29, No. 2 , 1-8.

Siregar, G. (2011). Penatalaksanaan non bedah dari karsinoma hati. Universa


Medicina Vo. 24 No 1 , 35-42.

30

31

Anda mungkin juga menyukai