Anda di halaman 1dari 45

Tanggung Jawab Cendekiawan

Dan hendaklah takut pada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh
sebab itu hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. ( QS. An Nisa: 9)
Masalah semakin merosotnya akhlak (moral) di kalangan para elit pemerintahan,
penyelenggaraan pendidikan yang carut marut, praktek korupsi berjamaah, penyalahgunaan
narkoba, pembunuhan dan tindakan kekerasan di berbagai daerah, dan masih banyak lagi
tindakan amoral lainnya yang kita tonton di negeri ini. Semua persoalan tersebut, seakan
tidak pernah selesai dan kian hari semakin bertambah, oleh karena tidak ada yang diproses
dengan tuntas di ranah hukum.
Mencermati fenomena sosial akhir-akhir ini, kadang-kadang membuat hati kita tersentak,
karena begitu banyaknya persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini. Apalagi kalau kita kaitkan
dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang.
Apa yang sudah disebutkan di atas, adalah fenomena gunung es yang kalau dibiarkan akan
membuat letupan yang begitu besar dan bahkan bisa menghancur leburkan tatanan
kebangsaan kita. Belum lagi kalau kita perhatikan efek dari dekadensi moral tersebut, yang
biasanya membawa kita semua kepada keterpurukan yang mendalam. Misalnya, munculnya
kemiskinan, kejahatan di mana-mana, menjamurnya anak-anak usia sekolah yang beralih
profesi menjadi joki tree in one - bahkan menjadi pengamen jalanan, pemutusan tenaga kerja
secara besar-besaran, penipuan, dan lain sebagainya akan menjadi tontanan wajib kita semua.
Semua itu terjadi karena kurangnya kepedulian dan kemauan melakukan perubahan dan tidak
adanya kepastian hukum di negara kita.
Adalah Dr. Ali Syariati, seorang cendekiawan terkemuka, murid sekaligus pengagum
Ayatullah Khomaini (Tokoh pencetus revolusi Iran). Lewat sebuah ceramahnya yang telah
dibukukan, beliau sampaikan pesan untuk para intelektual muslim, bahwa tugas pokok para
cendekiawan (ilmuwan) adalah memberi perubahan dan pencerahan kepada masyarakat luas.
Kaum cerdik pandai harus mengambil peran seperti yang pernah dimainkan oleh para Nabi
dan Rasul di masa lampau. Yang menjadi kekuatan moral yang sangat penting dalam proses
perubahan yang dialami oleh kaumnya. Begitu pula layaknya para ilmuwan itu, mereka tidak
boleh larut dalam kesenangan duniawi dan melacurkan diri pada sebuah kenikmatan yang
sifatnya sesaat. Sehingga mengalihkan mereka pada tugas pokoknya untuk memberikan
pencerahan terhadap ummat dan masyarakatnya. Cendekiawan (ilmuwan), meminjam
istilahnya Almarhum Dr. Kunto Wijoyo, harus berani miskin. Yaitu miskin materi dan
miskin jabatan. Mereka harus menjaga dirinya agar tetap selalu merdeka dari kunkungan
keinginannya yang besar akan kenikmatan duniawiah.
Kembali ke Dr. Syariati, dalam terminologinya, seorang cendekiawan mau tidak mau harus
melibatkan dirinya dalam upaya memberikan pencerahan terhadap masyarakat. Berbuat
sesuatu yang konkrit untuk kemaslahatan masyarakatnya. Karena kalau tidak, maka mereka
tidak bisa disebut dengan cendekiawan atau ilmuwan. Namun yang terjadi belakangan ini,
kita bisa melihat dengan jelas bahwa budaya hedonis (baca materialistis hidup mewah)
menjangkiti para elit dan penyelenggara pemerintahan kita. Kondisi ini semakin
memperparah keadaan bangsa Indonesia. Terlebih lagi kalau kita perhatikan akibat dari
perilaku-perilaku koruptif yang meraja lela di berbagai lini kehidupan kita. Maka akan

semakin jelas keprihatinan kita terhadap kondisi bangsa ini.


Saatnyalah bagi semua steakholder bangsa ini, untuk memikirkan bagaimana fokus
pembangunan manusia Indonesia yang lebih baik ke depan. Karena tantangan kita di masa
yang akan datang jelas semakin berat, sebab kita berada pada posisi persaingan bebas yang
melibatkan semua negara di dunia. Oleh karenanya kaum cerdik pandai di negara ini, harus
mengambil bagian yang jelas untuk menyusun strategi dalam mengatasi persoalan clean
goverment, keterbelakangan (kebodohan), ekonomi (kemiskinan) , budaya (kultur masyarakat
yang mulai tergerus oleh budaya asing) dan pertahanan teritorial untuk menjaga kedaulatan
bangsa.
Dari sekian banyak persoalan yang disebutkan di atas, yang sangat mendesak dilakukan
pembenahan adalah persoalan pendidikan. Yang menurut hemat saya perlu diperbaiki, demi
kemajuan bangsa di masa yang akan datang. Mengapa pendidikan? Karena lewat
pendidikanlah Sumber Daya Manusia (SDM) sebuah bangsa bisa diukur, dan kualitas SDM
nya bisa bersaing dengan SDM negara-negara lainnya di era globalisasi ini. Oleh sebab itu,
para cendekiawan tidak bisa berada di Menara Gading atau merasa asyik dengan
aktivitasnya sendiri, mereka harus turun gunung untuk bekerja dengan lebih keras lagi, demi
kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah di mana pun mereka berada.
Upaya ini perlu dilakukan, agar jangan sampai kita mewariskan generasi penerus bangsa
yang disinyalir oleh Tuhan dalam Al Quran surah An Nisa : 9 diatas, yaitu generasi yang
lemah lost generation. Generasi bangsa yang lemah ilmunya, lemah akhlaknya
(moralitasnya) dan lemah dalam etos kerjanya.
Semua ini adalah tanggung jawab para cendekiawan untuk mendidikan dan mengarahkan
mereka menuju pada masyarakat yang dicita-citakan oleh Nabi yaitu Masyarakat Madani,
yakni masyarakat yang berperadaban - yang menjadikan ilmu pengetahuan dan akhlak Islami
sebagai fondasi yang kuat dalam mengelola kehidupan bermasyarakat.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menulis dengan jelas dalam surah Al- Mudattsir ayat 38.
Artinya: Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya (Qs. AlMudatsir:38)
Dari kontek ayat ini, kita tahu bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan segala
potensinya memiliki tugas untuk tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum Allah SWT dan
suatu saat nanti pada saat yang ditentukan oleh Allah semua manusia akan diminta
pertanggung jawabannya sebagai bukti bahwa manusia sebagai pengemban amanah Allah
SWT.

Dalam melakukan misinya, manusia diberi petunjuk bahwa dalam hidup ada dua jalan yaitu,
jalan baik dan jalan yang buruk.
Artinya: kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. ( kebaikan dan keburukan )Q.S AlBalad ( 90 ) ayat 10
Proses menerima petunjuk ini adalah bagaimana manusia mengembangkan kemampuan
potensi akal ( ratio ) nya dalam memahami alam yang telah diciptakan dan disediakan oleh
Allah SWT sebagai saran dan sumber belajar, kemudian ketika ilmu sudah dimiliki
diharapkan manusia dapat berkarya (beramal) dengan ilmunya untuk terus membina
hubungan vertical dan horizontal.
Manusia yang mau mengembangkan potensi akalnya dapat memanfaatkan pengetahuannya
tersebut untuk pencerahan dirinya dan memiliki tanggung jawab moral dan menyebarkan
kepada sesama, mereka biasa disebut ilmuwan, cendikiawan atau intelektual.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan dalam tugas dan tanggung jawab ilmuan sebagai berikut:
A. Ilmuwan dan Intelektual
B. Tanggung Jawab Ilmuwan dan Sosial
C. Intelektual sebagai Change Maker
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran tentang tugas dan
tanggung jawab ilmuan. Khususnya dalam dunia pendidikan dan lebih khusus lagi di negeri
Indonesia yang tercinta ini.

BAB II
PEMBAHASAN
A, Ilmuwan, dan Intelektual
Upaya memberi perbedaan yang tegas dalam mendefinisikan istilah sarjana, ilmuwan,
dan intelektual merupakan persoalan yang tidak mudah, sepintas terlihat sama tetapi
ketiganya saling berkaitan.
Untuk memahami fungsi dan tugas dari sarjana, Ilmuwan, dan intelektual kita lihat
beberapa definisi :
a. Definisi Sarjana
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia hal. 785, Sarjana disebutkan sebagai orang pandai
( Ahli Ilmu Pengetahuan ) atau tingkat yang dicapai oleh seseorang yang telah menamatkan
pendidikan terakhir di perguruan tinggi.[1]
b. Definisi Ilmuwan
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia hal. 325, Ilmuwan adalah :
orang yang ahli,
orang yang banyak pengetahuan mengetahui suatu ilmu,
orang yang berkecimpung dalam ilmu pengetahuan
orang yang bekerja dan mendalami ilmu pengetahuan dengan tekun dan sungguh-sungguh.[2]
Menurut Webster Dictionary, Ilmuwan ( Sciantist ) adalah seorang yang terlibat
dalam kegiatan sistematis untuk memperoleh pengetahuan ( ilmu )
Ensiklopedia Islam mengartikan ilmuwan sebagai orang yang ahli dan banyak
pengetahuannya dalam suatu atau beberapa bidang ilmu.[3]
c. Definisi Intelektual

Intelektual berasal dari bahasa Inggris :


Having or showing good mental powers and understanding
( memiliki atau menunjukkan kekuatan-kekuatan mental dan pemahaman yang
baik )
Intelektual the power of mind by which we know, reason and think ( kekuatan
pikiran yang dengannya kita mengetahui, menalar dan berfikir).
Intelektual adalah seseorang yang memiliki potensi secara actual
Intelektual adalah pemikir-pemikir yang memiliki kemampuan penganalisaan
terhadap masalah tertentu.
Menurut George A. Theodorson dan Archiles G.intelektual adalah masyarakat yang
mengabdikan diri kepada pengembangan gagasan orisinil dan terlibat dalam
usaha intelektual kreatif.
Menurut Shils ( sosiolog barat ) intelektual adalah orang yang terpilih dalam
masyarakat yang sering menggunakan symbol symbol bersifat umum dan rujukan
abstrak tentang manusia dan masyarakat.
Menurut Prof. Ganjar Kurnia Intelektual adalah orang yang memiliki kesadaran
tingkat tinggi, istilah Al-Quran Ulil Albab
B. Tanggung Jawab Ilmuwan dan Sosial
Ilmuwan merupakan profesi, gelar atau capaian professional yang diberikan
masyarakat kepada seorang yang mengabdikan dirinya. Pada kegiatan penelitian
ilmiah dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang alam
semesta, termasuk fenomena fisika, matematis dan kehidupan social.
Istilah ilmuwan dipakai untuk menyebut aktifitas seseorang untuk menggali
permasalahan ilmuwan secara menyeluruh dan mengeluarkan gagasan dalam bentuk
ilmiah sebagai bukti hasil kerja mereka kepada dunia dan juga untuk berbagi hasil

penyelidikan tersebut kepada masyarakat awam, karena mereka merasa bahwa


tanggung jawab itu ada dipundaknya.
Ilmuwan memiliki beberapa ciri yang ditunjukkan oleh cara berfikir yang
dianut serta dalam perilaku seorang ilmuwan. Mereka memilih bidang keilmuan
sebagai profesi. Untuk itu yang bersangkutan harus tunduk dibawah wibawa ilmu.
Karena ilmu merupakan alat yang paling mampu dalam mencari dan mengetahui
kebenaran. Seorang ilmuwan tampaknya tidak cukup hanya memiliki daya kritis
tinggi atau pun pragmatis, kejujuran, jiwa terbuka dan tekad besar dalam mencari atau
menunjukkan kebenaran pada akhirnya, netral, tetapi lebih dari semua itu ialah
penghayatan terhadap etika serta moral ilmu dimana manusia dan kehidupan itu harus
menjadi pilihan juga sekaligus junjungan utama. Oleh karena itu seorang ilmuwan
harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya :
a. Prosedur ilmiah
b. Metode ilmiah
c. Adanya suatu gelar yang berdasarkan pendidikan formal yang ditempuh
d. Kejujuran ilmuwan, yakni suatu kemauan yang besar, ketertarikan pada
perkembangan Ilmu Pengetahuan terbaru dalam rangka profesionalitas
keilmuannya.
e. Peran dan Fungsi Ilmuwan
1. Sebagai intektual, seorang ilmuwan sosial dan tetap mempertahankan
dialognya yang kontinyu dengan masyarakat sekitar dan suatu keterlibatan
yang intensif dan sensitif.
2. Sebagai ilmuwan, dia akan berusaha memperluas wawasan teoritis dan
keterbukaannya kepada kemungkinan dan penemuan baru dalam bidang
keahliannya.
3. Sebagai teknikus, dia tetap menjaga keterampilannya memakai instrument
yang tersedia dalam disiplin yang dikuasainya. Dua peran terakhir

memungkinkan dia menjaga martabat ilmunya, sedangkan peran pertama


mengharuskannya untuk turut menjaga martabat.
Tanggung Jawab Ilmuwan
Tanggung jawab ilmuwan dalam pengembangan ilmu sekurang-kurangnya berdimensi
religious atau etis dan social. Pada intinya, dimensi religious atau etis seorang ilmuwan
hendaknya tidak melanggar kepatutan yang dituntut darinya berdasarkan etika umum dan
etika keilmuan yang ditekuninya. Sedangkan dimensi sosial pengembangan ilmu mewajibkan
ilmuwan berlaku jujur, mengakui keterbatasannya bahkan kegagalannya, mengakui temuan
orang lain, menjalani prosedur ilmiah tertentu yang sudah disepakati dalam dunia keilmuan
atau mengkomunikasikan hal baru dengan para sejawatnya atau kajian pustaka yang sudah
ada untuk mendapatkan konfirmasi, menjelaskan hasil-hasil temuannya secara terbuka dan
sebenar-benarnya sehingga dapat dimengerti orang lain sebagaimana ia juga memperoleh
bahan-bahan dari orang lain guna mendukung teori-teori yang dikembangkannya. Karena
tanggung jawab ilmuwan merupakan ikhtiar mulia sehingga seorang ilmuwan tidak mudah
tergoda, apalagi tergelincir untuk menyalahgunakan ilmu.
Ilmu Pengetahuan tanpa Agama lumpuh
Agama tanpa Ilmu Pengetahuan Buta
C. Intelektual sebagai Change Maker
Intelektual adalah pemikir-pemikir yang memiliki kemampuan penganalisisan
terhadap masalah tertentu atau yang potensial dibidangnya. Change maker adalah orang
yang membuat perubahan atau agar perubahan di dalam masyarakat.
Dengan demikian intelektual memiliki ciri-ciri :
1. Memiliki ilmu pengetahuan dan ilmu agama yang mampu diteorisasikan dan direalisasikan di
tengah masyarakat
2. Dapat berbicara dengan bahasa kaumnya dan mampu menyesuaikan dengan lingkungan.
3. Mengemban tugas sebagai artikulator

4. Memiliki tanggung jawab sosial untuk mengubah masyarakat yang statis menjadi masyarakat
yang dinamis
Secara khusus, menurut Prof. Quraish Shihab intelektual muslim haruslah
memiliki ciri-ciri :
1. Mengingat ( Dzikir ) kepada Allah dalam segala situasi dan kondisi ( surah Fathir 28 dan
Assyuaro 197 )
2. Memikirkan / memperhatikan fenomena alam raya yang pada saatnya member manfaat ganda
yaitu memahami tujuan hidup serta memperoleh manfaat dari alam raya untuk kebahagian
dan kenyamanan hidup
3. Berusaha dan berkreasi dalam bentuk nyata dengan hasil-hasil dari buah pemikiran dan
penelitian untuk mengubah kondisi masyarakat dari zero to hero.[4]
Maka intelektual adalah pemikir yang tidak harus menghasilkan sebuah pemikiran
tetapi juga dapat merumuskan dan mengarahkan serta memberikan contoh pelaksanaan dari
sosialisasinya ditengah masyarakat agar segala persoalan persoalan kehidupan baik pribadi,
masyarakat nasional maupun internasional dapat terpecahkan serta dapat menjawab
tantangan-tantangan kehidupan di masa yang akan datang.
Peran merubah itulah yang menjadikan fungsi change maker seorang intelektual
dapat berjalan dengan baik yang dimulai dari dirinya kemudian dimanfaatkan dan disebarkan
kepada masyarakat .
Allah SWT memberikan ( sumber alam ) kemudian diolah dengan ( teori dan
pemikiran ) kemudian dibuktikan dengan ( karya ) nyata yang bermanfaat buat kehidupan
manusia.
Kontribusi bagi kemajuan bangsa
Intelektual adalah golongan masyarakat tentang yang memiliki kecakapan yang
kemudian bertugas merumuskan perubahan masyarakat yang akan membawa pada kemajuan
bangsa yang maju dan bermartabat. Aspek-aspek yang membawa kemajuan bangsa sangatlah
banyak diantaranya :

a. Aspek Idiologi
Intelektual berperan dalam :
Memelihara keyakinan dan kebudayaan bangsa
Berupaya membangun jaringan-jaringan yang kuat untuk memfilter budaya
yang masuk akibat globalisasi
Memberikan pemahaman
b. Aspek politik
Kompleksitas masyarakat dan kepentingan-kepentingannya menuntut adanya pemikiranpemikiran untuk membina dan membangun masyarakat agar tidak terjadi instabilitasi politik
sehingga dalam bernegara para intelektual dapat memberikan solusi terhadap problemproblem yang terjadi.
c. Aspek ekonomi
Idealnya bagi bangsa yang maju adalah adanya pembelajaran di sektor ekonomi yang adil dan
merata karena keberhasilan ekonomi akan meningkatkan taraf hidup bangsa. Maka para
intelek dituntut dengan teorinya dapat merencanakan pertumbuhan ekonomi dengan cermat
dan dapat memberikan solusi agar pertumbuhan tersebut berkesinambungan serta tercipta
kesetiakawanan agar terhindar dari kecemburuan.
d. Aspek sosial dan budaya
Intelektual dituntut untuk mengerahkan segenap kemampuannya untuk membina masyarakat
dan menciptakan harmoni sosial yaitu:
Saling menghormati
Saling menghargai
Saling membantu dan
Saling mengisi

e. Aspek pertahanan dan keamanan


Intelektual turut serta membantu masyarakat dalam menandai nilai-nilai dalam kehidupan
agar :
Tidak mudah terprovokasi hal-hal yang negative
Tidak mudah terpengaruh pada faham-faham atau aliran yang menyesatkan.
Memiliki rasa tanggung jawab terhadap keutuhan bangsa dengan prinsip bahwa
hari ini harus lebih baik dari hari kemarin

BAB III
KESIMPULAN
Dengan memperhatikan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Sarjana adalah orang pandai atau ahli ilmu pengetahuan karena sudah mencapai
target terakhir dalam pendidikannya di PT.
2. Ilmuwan adalah sebuah profesi atau gelar dalam cakupan professional karena sudah
mengabdiakn dirinya pada kegiatan penelitian ilmiah dalam rangka mendapatkan
pemahaman yang lebih komprehensif tentang alam semesta, fenomena fisika,
matematis dan kehidupan social.
3. Intelektual adalah golongan atau kelas masyarakat yang mempunyai kecakapan
tertentu dan dengan kecakapannya mereka merumuskan perubahan masyarakat.
Sebab itu intelektual dituntut secara terus menerus untuk mendefinisikan
kebenaran dan tidak boleh memilih kepentingan-kepentingan praktis kecuali
tegaknya kebenaran itu.
4. Sarjana, ilmuwan, dan intelektual memiliki komitmen yang tinggi untuk membina
dan membangun masyarakat. Sebagian tanggung jawab moralnya terhadap
keilmuan yang dimiliki serta tanggung jawab perannya sebagai bagian dari
masyarakat ( social )
5. Intelektual dengan kecakapan dan keterampilannya harus mampu merumuskan
perubahan masyarakat menuju keadaan yang lebih baik, aktif, dinamis dan
bermartabat. Tugas yang diemban ini merupakan bukti bahwa mereka sebagai
change maker atau orang yang membuat perubahan.
6. Sebuah bangsa dikatakan maju apabila memiliki ideology yang kuat sehingga tidak
mudah goyah oleh serangan-serangan yang dating dari luar, kondisi politik yang
sehat, pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, kondisi social budaya yang
kondusif serta memiliki stabilitas dalam pertahanan dan keamanan.

Intelektual haruslah mempunyai peran yang penting dalam proses pembangunan


bangsa supaya maju dan bermartabat.

DAFTAR PUSTAKA
Al Qur-an dan Terjemhannya, Depag, RI, 2006
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.
1989
Dr. M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Quran. Mirzan. 1992
Jalaluddin Rakhmat. Islam Alternatif. Mirzan. 1989
Ensiklopedia Islam. Jilid 2. PT. Ichtra Baru Van Hoeve. Jakarta. 1994. Hal 203
Gramsci, Anthonio. Prison Notebooks. Newyork : Penjuin Books.1991
Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Agama Sebuah Pengantar. Mizan Pustaka. 2003
Murtadha Muthahhar. Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan. Lentera.
2000
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA. Filsafat Ilmu. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2010

[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal.785
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal 325
[3] Ensiklopedia Islam. Jilid 2. Hal. 203
[4] Dr. M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Quran

Masalah Kaum Intelektual, cendikiawan, ilmuan di Indonesia


Di zaman modern ini, kaum intelektual menjadi sebuah strata
yang relatif heterogen dalam posisi dan tradisi sosialnya, hal demikian
merupakan akibat dari polarisasi makna intelektual serta perannya
dalam masyarakat. Apakah intelektual sebagai kreator, distributor,
atau sebagai motivator serta peran apa yang akan dijalankan di
tengah masyarakatnya, apakah ia sebagai penggagas, penentang,
atau pelaksana dari sebuah gagasan, atau paling tidak ia adalah
pembawa gagasan atau sebuah persoalan. Disisi lain, mereka mulai
menemukan jalan buntu dalam perkembangan masyarakatnya akibat
dari kebingungan-kebingunan terhadap fungsinya di zaman sekarang
ini. Saat yang bersamaan, intelektual negara-negara berkembang
sedang berjuang melawan berbagai kesulitan dan kekurangan yang
dihadapi mereka serta masyarakatnya. Selain itu, intelektual tersebut

sedang mengalami suatu kontradiksi dalam dirinya mengenai


kebebasan intelektualnya dengan kepercayaan ideologisnya.
Sementara di Eropa, menurut Eyerman, kaum intelektual
mendapat tantangan besar untuk memainkan perannya semaksimal
mungkin, semenjak masuknya negara ke dalam sistem kemakmuran
abad ke-20 yaitu demokrasi kapitalis, kaum intelektual kemudian
terdomestifikasi. Mereka menjadi kekuatan eksternal yang berdiri di
luar sistem politik; mereka menjadi akademisi profesional yang
merupakan konsekuensi revolusi pendidikan yang terjadi pada era
1950-an; mereka menjadi manager di dalam imperium akademik; atau
mereka dikooptasi kedalam angkatan bersenjata para pekerja sosial,
analisis kemakmuran dan birokrat pendidikan. Akibatnya, tidak sedikit
dari mereka yang hanyut dalam kekuasaan tanpa memperhatikan lagi
tanggung jawab sosialnya untuk memberikan sebuah intervensi
terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Akhirnya terlihat adanya permasalahan didalam kaum
intelektual
itu
sendiri,
yaitu
intelektual
telah
kehilangan
kecendekiawanannya. Permasalahan para intelektual setidaknya dapat
diklasifikasikan menjadi dua problem yaitu : Pertama, adalah problem
keterasingan (kegelisahan) intelektual yang bersumber dari problem
epistemologis. Problem ini menyangkut dimensi relativitas paradigmatis dan
teoritis dari setiap kerangka pemikiran yang dipakai sebagai pendekatan untuk
memahami berbagai fenomena eksistensial; baik manusia (jati diri) dan
masyarakat (kultur), maupun alam semesta (natur), dan Kedua,adalah problem
yang menyangkut dimensi moral-sosial, problem yang menyangkut dimensi
moralitas dan etika Cendekiawan itu sendiri; bagaimana mengaktualisasikan
tanggung jawab sosial, komitmen dan pemahaman moralitas-etik dirinya dalam
konteks kehidupan riil masyarakatnya, baik dalam konteks politik, ekonomi
maupun kebudayaan.
Sejak dasawarsa 80-an gejala intelektual yang terjadi di
Indonesia adalah diferensiasi dan spesialisasi arena kegiatan kaum
intelektual yaitu adanya lingkaran kecil di lingkungan intelektual dalam
struktur teknokrati yang dihuni oleh unsur intelektual. Kaum
intelektual selalu berbicara tentang problem mereka yang mendasar,
yakni harus mencari nafkah hidup, sehingga mereka harus terlibat
dalam birokrasi untuk mempertahankan kepentingan rakyat dan
kebutuhan ekonominya. Dengan itulah mereka harus meninggalkan
masyarakatnya, tidak bisa terlibat langsung dan tidak merasakan apa
yang dirasakan rakyatnya. Justru intelektual yang sudah menduduki
kursi pemerintahan selalu hanyut dalam jabatan dan melupakan
kepentingan rakyatnya. Begitu juga dengan agamawan kita serta para
elit lain yang cenderung melupakan rakyatnya ketika sudah
mendapatkan kedudukan.
Hal ini tampak jelas dari kecenderungan elit politik, agamawan,
dan elit ekonomi kita yang dalam tindakan kesehariannya tidak
memperlihatkan usaha untuk merubah pelbagai tatanan kehidupan
yang telah mengalami keterpurukan di berbagai bidang, malah yang
tampak hanya usaha-usaha pelanggengan ketertindasan. Elit politik
hanya sibuk pada perebutan kekuasaan, elit ekonomi sibuk

berselingkuh dengan kaum kapital (berinvestasi), dan agamawan sibuk


pada permasalahan fiqh, mendikte, serta mengajarkan tentang agama
yang masih abstrak seperti suri tauladan para nabi secara luas, namun
tidak pada titik permasalahan yang dirasakan masyarakat yaitu
ketertindasan, kemiskinan, dan pengangguran. Ironisnya para
agamawan bangsa ini terjerembab ikut dalam politik pragmatis.
Ali syariati dengan jiwa revolusionernya menentang para
ilmuwan-gadungan, elit (penguasa), dan para pemimpin-pemimpin
agama yang menyelewengkan ajaran Islam, meracuni jiwa rakyat
dengan fatwa dan rakyat dibuat terus sibuk dengan sesuatu yang
dinamakan agama, abstraksi-abstraksi tertentu yang tak berguna
seperti cinta, harapan, kebencian, ketidaksenangan, dan dengan
tangisan-tangisan dan kejadian-kejadian yang hanya sedikit mereka
ketahui. Rakyat dibiasakan pada kehidupan gila-gilaan dengan
gagasan tentang hari akhirat, sementara keadaan masa kini mereka
dan musuh-musuh mereka terlupakan. Dengan kata lain, mereka
selalu menawarkan gagasan kehidupan akhirat sedangkan kehidupan
dunia terlupakan. Kehidupan dunia dianggap hanya sebuah permainan
tuhan semata dan melihat permasalahn dunia sebagai takdir tuhan
yang tak bisa diubah.
Melihat adanya fenomena tersebut, maka kehadiran intelektual
muslim yang bertanggung jawab terhadap keadaan masyarakatnya sebagai
sebuah alternatif untuk membangun Indonesia secara mendasar
mutlak diperlukan. Karena Intelektual Muslim memiliki peran yang
amat vital dan strategis dalam upaya mewujudkan masyarakat sipil
atau civil society, bukan malah kebalikannya, seperti kebanyakan
ulama kyia di seluruh penjuru dunia umumnya dan khususnya di
Indonesia yang hanya memberi doktrin-doktrin semata dan
menjadikan masyarakat tertidur dengan doktrin tersebut.

TANGGUNG JAWAB ILMUWAN


Oleh: Nita Zakiyah, M.A
I. Pendahuluan
Dunia ilmu pengetahuan ialah dunia fakta, sedangkan life world
mencakup pengalaman subjek-praktis manusia ketika ia lahir, hidup dan
mati,

pengalaman

cinta

dan

kebencian,

harapan

dan

putus

asa,

penderitaan dan kegembiraan, kebodohan dan kebijaksanaan. Dunia ilmu


pengetahuan ialah dunia objektif, universal, rasional, sedangkan life world
adalah dunia sehari-hari yang subjektif, praktis dan situasional. Lebih dari
itu, realitanya adalah bahwa manusia memang hidup di dalam dua dunia,
yaitu: dunia ilmu pengetahuan dan dunia praktis. Ilmu pengetahuan

menawarkan cara kerja rasional. Prinsip kausalitas misalnya menjadi


prinsip rasional dari ilmu pengetahuan. Sementara itu kita juga tidak bisa
melepaskan diri dari dunia sehari-hari dan tradisi dengan segala macam
bentuk

kepercayaan

dan

prakteknya.

Berbicara

tentang

ilmu

pengetahuan, maka sudah tidak asing bahwa orang yang bekerja dan
mendalami dengan tekun dan sungguh-sungguh dalam bidang ilmu
pengetahuan tersebut disebut dengan ilmuwan.
Ketika seseorang diberi label sebagai ilmuwan, maka hal itu
didasari dengan peran yang dilakukannya, ciri, serta tanggung jawabnya
dalam ilmu atau hasil penemuannya. Tanggung jawab secara umum tidak
hanya ada pada makhluk hidup namun terdapat juga pada bidang yang
ditekuni oleh manusia, seperti negarawan, budayawan, ilmuwan dan
sebagainya. Karena pada hakikatnya tanggung jawab merupakan hal yang
lazim ada pada setiap makhluk hidup (Tarigan, 2004).
Kata ilmuwan ini muncul kira-kira tahun 1840 untuk membedakan
ilmuwan dengan para filsuf, kaum terpelajar, kaum cendikiawan, dan lain
sebagainya. Dewasa ini, kata ilmuwan tentu bukanlah hal yang asing.
Secara sederhana ia diberi makna ahli atau pakar; dalam KBBI, kata
ilmuwan sendiri bermakna: orang yg ahli atau banyak pengetahuannya
mengenai suatu ilmu; orang yg berkecimpung dalam ilmu pengetahuan
(KBBI Online). Serta orang yang melakukan serangkaian aktivitas yang
disebut ilmu, kini lazim disebut pula sebagai ilmuwan (scientist).
Sedangkan dalam buku Filsafat Ilmu, kata ilmuwan memiliki
beberapa

pengertian

sebagaimana

dalam

pandangan

Dictionary Of Scientific and Technical Term

McGraw-Hill

adalah seorang yang

mempunyai kemampuan dan hasrat untuk mencari pengetahuan baru,


asas-asas baru, dan bahan-bahan baru dalam suatu bidang ilmu.
Pandangan lain tentang ilmuwan dikemukakan oleh Maurice Richer, Jr.,
menurutnya ilmuwan adalah mereka yang ikut serta dalam ilmu, dalam
cara-cara yang secara relatif langsung dan kreatif (The, 2000). Dari
baberapa pemaparan pokok tersebut dapat disimpulkan bahwa ilmuwan
merupakan orang yang melakukan kegiatan atau aktivitas yang berkaitan
dengan bidang keilmuan.

Media yang dimanfaatkan oleh ilmuwan adalah permasalahan, yang


mana permasalahan ini merupakan objek dalam ilmu pengetahuan, dan
objek tersebut terdiri dari dua kategori, objek material dan objek formal.
Yang berkaitan dengan objek material adalah sasaran material suatu
penyelidikan, pemikiran atau penelitian ilmu; objek material penelitian
mencakup sifat kongkrit, abstrak, material, non material. Adapun objek
formalnya adalah pendekatan secara cermat dan bertahap menurut segisegi yang dimiliki oleh objek materi dan berdasarkan kemampuan
seseorang.
Dengan

demikian dapat diketahui bahwa ilmuwan merupakan

seorang yang ahli dalam suatu bidang ilmu tertentu dan berkewajiban
mengembangkan suatu bidang ilmu yang menjadi keahliannya dengan
mengadakan penelitian demi menemukan hal-hal baru yang akan menjadi
kontribusi ilmiah khususnya bagi bidang ilmu tertentu yang menjadi
spesialisasi keahliannya dan umumnya bagi bidang-bidang ilmu lain,
karena tidak dapat dipungkiri bahwa hakikatnya antara satu bidang ilmu
dengan bidang ilmu lainnya memiliki keterkaitan, satu sama lainnya saling
melengkapi. Selain itu pula Ilmu pengetahuan membawa berkah dan nilai
kemakmuran bagi manusia tanpa meninggalkan tata nilai, etika, moral
dan filosofi.

Seorang ilmuwan memiliki kemampuan untuk bertindak

persuasif dan argumentatif berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dan


kemampuan analisis dan sintesis untuk mengubah kegiatan non produktif
menjadi produktif. Namun tugas ilmuwan bukan hanya sekedar untuk
mencari permasalahan yang bertujuan mencari kebenaran, akan tetapi
seorang ilmuwan juga mengemban suatu tanggung jawab memecahkan
permasalahan

keilmuan

serta

mempertanggung

jawabkan

hasil

temuannya dan mempublikasikan keseluruh dunia.


Berikut adalah kajian yang membahas tentang ilmuwan dan seluk
beluknya yang berupa ciri-ciri, kode etik sebagai seorang ilmuwan, peran
dan fungsinya, tanggung jawab yang diemban, dan hal-hal yang harus
dilakukan dan dihindari sebagai seorang ilmuwan yang berkaitan dengan
karya ilmiah yang dihasilkan.

II. Ciri Ilmuwan


Ciri yang menonjol pada ilmuwan terletak pada cara berpikir yang
dianut serta dapat dilihat pula pada perilaku ilmuwan tersebut. Para
ilmuwan memilih bidang keilmuan sebagai profesi, dengan demikian
harus tunduk pada wibawa ilmu karena ilmu merupakan alat yang paling
mampu untuk dimanfaatkan dalam mencari dan mengetahui kebenaran.
Seorang ilmuwan tidak cukup hanya dengan mempunyai daya kritis
yang tinggi atau pun pragmatis, namun juga harus jujur, memiliki jiwa
yang terbuka dan tekad besar dalam mencari atau menunjukkan
kebenaran, netral, yang tidak kalah penting adalah penghayatan terhadap
etika serta moral ilmu yang harus di junjung tinggi.
Seorang Ilmuwan dapat dilihat dari beberapa aspek :
1. Dari cara kerja; cara kerja untuk mengungkap segala sesuatu
dengan metode sains yaitu: mengamati, menjelaskan, merumuskan
masalah, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisa
data, membuat kesimpulan.
2. Dari kemampuan menjelaskan hasil dan cara memperolehnya,
misalnya jika seorang mengklaim telah melihat Gajah, maka ia
harus mempu menjelaskan ciri-ciri gajah, seperti: memiliki taring,
badannya besar, kupingnya lebar.
3. Dari sikap terhadap alam dan permasalahan yang dihadapi.
Sikap yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan antara lain adalah:

hasrat ingin tahu yang tinggi

tidak mudah putus asa

terbuka untuk dikritik dan diuji

menghargai dan menerima masukan

jujur

kritis

kreatif

sikap positif terhadap kegagalan

rendah hati

hanya menyimpulkan dengan data memadai.

III. Syarat Yang Harus Dipatuhi Sebagai Seorang Ilmuwan


Ada beberapa syarat yang harus dilalui seseorang agar layak
disebut sebagai ilmuwan, salah satunya adalah ilmuwan tersebut harus
mengadakan penelitian yang menghasilkan karya ilmiah yang bisa
diterima

di

masyarakat,

karya

ilmiah

tersebut

harus

memenuhi

sistematika-sistematika yang harus dipenuhi oleh ilmuwan sebagai syarat


agar penelitiannya layak disebut sebagai karya ilmiah. Yang pokok dalam
sistematika penulisan adalah logical sequence (urutan-urutan logik) dari
penulisan. Sistematika suatu karya ilmiah sangat perlu disesuaikan
dengan sistematika yang diminta oleh media publikasi (jurnal atau
majalah ilmiah), sebab bila tidak sesuai akan sulit untuk dimuat.
Sedangkan suatu karya ilmiah tidak ada artinya sebelum dipublikasi.
Walaupun ada keragaman permintaan penerbit tentang sistematika karya
ilmiah yang akan dipublikasi, namun pada umumnya meminta penulis
untuk menjawab empat pertanyaan berikut: (1) Apa yang menjadi
masalah?;

(2)

Kerangka

acuan

teoretik

apa

yang

dipakai

untuk

memecahkan masalah?; (3) Bagaimana cara yang telah dilakukan untuk


memecahkan masalah itu?; (4) Apa yang ditemukan?; serta (5) Makna apa
yang dapat diambil dari temuan itu?. Paparan tentang apa yang menjadi
masalah dengan latar belakangnya biasanya dikemas dalam bagian
Pendahuluan. Paparan tentang kerangka acuan teoretik yang digunakan
dalam memecahkan masalah umumya dikemukakan dalan bagian dengan
judul Kerangka Teoritis atau Teori atau Landasan Teori , atau Telaah
Kepustakaan,

atau

label-label

lain

yang

semacamnya.

Paparan

mengenai apa yang dilakukan dikemas dalam bagian yang seringkali


diberi judul Metode atau Metodologi atau Prosedur atau Bahan dan
Metode. Jawaban terhadap pertanyaan apa yang ditemukan umumnya
dikemukakan dalam bagian Temuan atau Hasil Penelitian. Sementara

itu

paparan

tentang

makna

dari

temuan

penelitian

umumnya

dikemukakan dalam bagian Diskusi atau Pembahasan.


Dalam

penulisan

karya

ilmiah,

penulis

harus

secara

jujur

menyebutkan rujukan terhadap bahan atau pikiran yang diambil dari


sumber lain. Pemakaian bahan atau pikiran dari suatu sumber atau orang
lain yang tidak disertai dengan rujukan dapat diidentikkan dengan
pencurian. Penulis karya ilmiah harus menghindarkan diri dari tindak
kecurangan yang lazim disebut plagiat. Plagiat merupakan tindak
kecurangan yang berupa pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain
yang diaku sebagai hasil tulisan atau hasil pemikirannya sendiri. Dalam
menulis karya ilmiah, rujuk-merujuk dan kutip-mengutip merupakan
kegiatan yang tidak dapat dihindari. Kegiatan ini amat dianjurkan, karena
perujukan dan pengutipan akan membantu perkembangan ilmu.
Atau dengan kata lain, karya ilmiah perlu dilengkapi dengan daftar
pustaka, yang memaparkan karya ilmiah lain yang digunakan sebagai
rujukan. Agar dapat ditelusuri orang lain penulisan karya ilmiah rujukan
tersebut perlu memuat nama pengarang, judul karya ilmiah, tahun
penerbitan, serta penerbitnya. Tata cara penulisan daftar pustaka perlu
juga memberikan isyarat apakah karya ilmiah yang dirujuk itu berupa
buku, jurnal, makalah seminar, laporan penelitian yang tidak dipublikasi,
dokumen Web, dll. Oleh karenanya ada tata cara yang ditetapkan untuk
menuliskan daftar pustaka. Namun demikian terdapat banyak versi tata
cara penulisan daftar pustaka, bergantung pada tradisi yang dipegang
oleh masyarakat keilmuan dalam masing-masing bidang. Namun Tata cara
apapun dapat saja dipakai asalkan pemakaiannya konsisten. Namun
demikian apabila karya ilmiah kita ingin dipublikasikan dalam jurnal
tertentu, kita harus menyesuaikan diri dengan tata cara penulisan daftar
pustaka yang ditetapkan oleh redaksi jurnal tersebut.
IV. Peran dan Fungsi Ilmuwan
Selain memiliki ciri, sikap, dan tanggung jawab, ilmuwan tentunya
mempunyai peran dan fungsi. Berikut adalah peran atau fungsi ilmuwan
yang berkaitan langsung dengan aktivitasnya sebagai ilmuwan, meliputi:

Sebagai intelektual, ia berperan sebagai ilmuan sosial yang


selalu berdialog dengan masyarakat dan terlibat didalamnya secara
intensif dan sensitif.
Sebagai ilmuwan, ia akan selalu mencoba dan berusaha untuk
memperluas wawasan teoritis, memiliki keterbukaan terhadap
kemungkinan dan penemuan baru dalam bidang keilmuan.
Sebagai teknikus, ia akan tetap terus menjaga keterampilannya
dan selalu menggunakan instrumen yang tersedia dalam disiplin
ilmu yang dikuasainya.
Peran pertama mengharuskannya untuk turut menjaga martabat
manusia (Daniel, 2003), sedangkan dua peran terakhir memungkinkan ia
menjaga martabat ilmunya. Fungsi seorang ilmuawan tidak hanya
berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga
bertanggung

jawab

agar

produk

keilmuannya

sampai

dan

dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat luas (suriasumantri, 2001).


V. Tanggung Jawab Ilmuwan
Pada bab ini akan kupas mengenai tanggung jawab ilmuwan. Secara
garis besar dapat di uraikan bahwa tanggung jawab pokok ilmuwan
adalah (1) Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (berpikir,
melakukan penelitian dan pengembangan, menumbuhkan sikap positifkonstruktif, meningkatkan nilai tambah dan produktivitas, konsisten
dengan proses penelaahan keilmuan, menguasai bidang kajian ilmu
secara mendalam, mengkaji perkembangan teknologi secara rinci, bersifat
terbuka,

professional

dan

mempublikasikan

temuannya);

(2)

Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menemukan masalah


yang

sudah/akan

mempengaruhi

kehidupan

masyarakat

dan

mengkomunikasikannya, menemukan pemecahan masalah yang dihadapi


masyarakat,

membantu

menggunakan
mengungkapkan

hasil

meningkatkan

penemuan

kebenaran

kesejahteraan

untuk

dengan

mengembangkan kebudayaan nasional.

kepentingan

segala

masyarakat,
kemanusiaan,

konsekuensinya

dan

Selain yang tersebut di atas, sebagaimana yang telah disinggung


bahwa ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial, moral, dan etika. Dan
berikut ini akan di uraikan berbagai tanggung jawab ilmuwan yang
berkenaan dengan sosial, moral dan etika.
a.

Tanggung Jawab Sosial

Tanggung jawab sosial ilmuwan adalah suatu kewajiban seorang


ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian
permasalahan sosial. beberapa bentuk tanggung jawab sosial ilmuwan,
yaitu :
Seorang ilmuwan harus mampu mengidentifikasi kemungkinan
permasalahan sosial yang akan berkembang berdasarkan permalahan
sosial yang sering terjadi dimasyarakat.
Seorang ilmuwan harus mampu bekerjasama dengan masyarakat
yang mana dimasyarakat tersebut sering terjadi permasalahan sosial
sehingga ilmuwan tersebut mampu merumuskan jalan keluar dari
permasalahan sosial tersebut.
Seorang ilmuwan harus mampu menjadi media dalam rangka
penyelesaian

permasalahan

sosial

dimasyarakat

yang

mana

masyarakat Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman ras, agama,


etnis dan kebudayaan sehingga berpotensi besar untuk timbulnya
suatu konflik.
Membantu pemerintah untuk menemukan cara dalam rangka
mempercepat proses intergrasi sosial budaya yang mana integrasi
tersebut

bertujuan

untuk

mempererat

tali

kesatuan

antara

masyarakat Indonesia. Hal ini juga bertujuan untuk mencegah


terjadinya konflik.
b. Tanggung Jawab Moral
Tanggung jawab moral tidak dapat dilepaskan dari karakter internal
dari ilmuwan itu sendiri sebagi seorang manusia, ilmuwan hendaknya
memiliki

moral

pengembangan

yang
dan

baik

sehingga

pemilihan

pilihannya

alternatif,

ketika

memilih

mengimplementasikan

keputusan serta pengawasan dan evaluasi dilakukan atas kepentingan


orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadinya atau kepentingan

sesaat. Moral dan etika yang baik perlu kepekaan atas rasa bersalah,
kepekaan atas rasa malu, kepatuhan pada hukum dan kesadaran
diketahui oleh Tuhan.

Ilmuwan juga memiliki kewajiban moral untuk

memberi contoh (obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat


orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar, berani
mengakui kesalahan) dan mampu menegakkan kebenaran. Sehingga ilmu
yang

dikembangkan

dengan

mempertimbangkan

tanggung

jawab

moralnya sebagai seorang ilmuwan dapat memberikan kemaslahatan bagi


umat manusia dan secara integral tetap menjaga keberlangsungan
kehidupan lingkungan di sekitarnya dan dapat tergajanya keseimbangan
ekologis. Atau dengan meminjam istilah Daoed Joesoef, mantan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai teknosuf, yang merupakan paduan
dari kata teknik/teknologi dan sophia yang berarti kearifan. Sehingga
teknosuf dimaksudkan sebagai teknokrat yang mempunyai kearifan dalam
melakukan rekayasa bagi manusia dan lingkungan di sekitarnya (Basuki,
2009).
a.

Tanggung Jawab Etika

Kemudian tanggung jawab yang berkaitan dengan etika meliputi


etika kerja seorang ilmuwan yang berkaitan dengan nilai-nilai dan normanorma moral (pedoman, aturan, standar atau ukuran, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis) yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; kumpulan asas atau nilai
moral (Kode Etik) dan ilmu tentang perihal yang baik dan yang buruk.
Misalnya saja tanggung jawab etika ilmuwan yang berkenaan dengan
penulisan karya ilmiah, maka kode etik pada penulisan karya ilmiah harus
memenuhi beberapa kriteria, yaitu sebagai berikut:

OBYEKTIF, (berdasarkan kondisi faktual)

UP TO DATE, (yang ditulis merupakan perkembangan ilmu paling


akhir)

RASIONAL, (berfungsi sebagai wahana penyampaian kritik timbalbalik)

RESERVED, (tidak overcliming, jujur, lugas dan tidak bermotif


pribadi)

EFEKTIF dan EFISIEN, (tulisan sebagai alat komunikasi yang


berdaya tarik tinggi).
Mengenai kode etik penulisan karya ilmiah, hal yang harus dipenuhi

oleh ilmuwan adalah:


-

Melahirkan karya orisinal, bukan jiplakan


Menjunjung tinggi posisinya sebagai orang terpelajar, menjaga
kebenaran dan manfaat serta makna informasi yang disebarkan
sehingga tidak menyesatkan

Menulis secara cermat, teliti, dan tepat.

Bertanggung jawab secara akademis atas tulisannya.

Memberi manfaat kepada masyarakat pengguna.

Menjunjung tinggi hak, pendapat atau temuan orang lain.

Menyadari sepenuhnya bahwa tiga pelanggaran kode etik berakibat


pada hilangnya integritas penulis jika melakukannya.

Secara moral cacat, apalagi dilihat dari kacamata agama. Nilai


keagamaan

mencela

pelanggaran

sebagai

bagian

dari

ketidakjujuran, pencurian atau mengambil kepunyaan orang lain


tanpa hak.
Aspek Lain yang terkait dengan etika penulisan adalah menghindari
kekeliruan yang lazim dalam penulisan draft:
Judul; Judul menjelaskan isi tulisan secara ringkas, jelas, dan tepat,
sehingga pembaca dapat segera memutuskan apakah akan membacanya
atau tidak. Selain itu, judul juga merupakan kata-kata kunci yang biasanya
digunakan untuk daftar indeks penelitian. Dalam membuat judul, hindari
kata-kata yang tidak perlu, misalnya : "studi tentang" atau "suatu
penelitian tentang", dan sejenisnya. Hindari penggunaan singkatan dan
jargon, serta hindari judul yang mempunyai kesan "aneh". yang menjadi
catatan yang harus dihindari pada pemilihan judul adalah hindari judul
yang tidak jelas, dan menimbulkan mis-interpretasi pembaca.
Abstrak; abstrak merupakan laporan keseluruhan secara ringkas, tanpa
adanya suatu tambahan di luar tulisan/artikel dan tanpa adanya kerincian
tertentu, misalnya menunjuk pada gambar, tabel atau sumber tertentu.
Abstrak

berisi

pernyataan

tujuan

utama

penelitian,

metoda

yang

digunakan, ringkasan hasil yang terpenting, serta pernyataan kesimpulan


yang utama dan yang paling signifikan. Abstrak dibatasi oleh jumlah kata
yang biasanya sekitar 50 sampai 300 kata. Proses penyusunan abstrak
dapat dilakukan dengan cara menyarikan hal-hal pokok dari setiap bagian
tulisan, yang kemudian dipadatkan menjadi suatu kesatuan tulisan. Dalam
penulisan abstrak terdapat dua hal yang harus dihindari, yaitu: abstrak
yang tidak mencerminkan isi keseluruhan tulisan, tidak fokus, dan lebih
dari ukuran ideal.
Kata kunci; kata kunci yang tidak baik dan harus dihindari adalah kata
kunci yang tidak mencerminkan hal paling penting.
Pendahuluan; pendahuluan berisi tentang persoalan yang dibahas yang
meliputi persoalan yang diteliti, ringkasan penelitian sebelumnya yang
relevan, dan konsep yang melandasi penelitian yang akan dilakukan;
pentingnya persoalan; serta tujuan penelitian yang berupa upaya untuk
menjawab hipotesis, pertanyaan penelitian, atau penggunaan/perbaikan
metoda. Proses penulisan pengantar atau pendahuluan ini dimulai dari
pernyataan yang bersifat umum menuju ke pernyataan yang spesifik.
Dalam hal ini dapat berupa persoalan dalam dunia nyata atau studi
literatur menuju ke eksperimen atau pengembangan yang dilakukan.
Dalam penulisan pendahuluan hendaknya menghindari beberapa hal yaitu
menulis pendahuluan yang terlalu panjang, tidak proporsional,

tidak

memuat posisi tulisan, dan yang tidak secara jelas menyebut metodologi.
Pembahasan atau analisis; Diskusi/analisis berisi tentang hasil dari metoda,
yang

menjelaskan

temuan-temuan

yang

terpenting

dengan

memperhatikan kesimpulan awal yang dapat diambil yang berupa pola,


prinsip, atau hubungan; kaitan dengan penelitian sebelumnya yang
dicuplik atau dijadikan basis penelitian. Pada bagian ini juga berisi
penjelasan tentang hasil atau temuan-temuan tersebut. Pada bagian ini,
yang perlu dihindari adalah pembahasan atau analisis yang tidak fokus,
mengupas analisis yang tidak mendalam, dan menggunakan alat bantu
yang tidak jelas.
Kesimpulan; bagian ini berisi penjelasan tentang bagaimana hasil yang
diperoleh menjawab tujuan penelitian serta persoalan yang lebih luas,

yang berupa implikasi teoritik, aplikasi praktis, atau generalisasi pada


situasi yang berbeda. Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan hasil
analisis yang dilakukan sehingga tidak terkesan spekulatif dan melakukan
generalisasi yang berlebihan. Selain itu, bagian ini dapat berisi penelitian
lanjut untuk menjawab kontradiksi yang terjadi atau untuk menjelaskan
kekecualian yang terjadi. Pada kesimpulan, yang harus dihindari adalah
penulisan kesimpulan yang tidak menjawab masalah yang diangkat, dan
mengulang-ulang

statemen

yang

ada

dalam

pembahasan

(Toha,

http://lpfilkom.freeservers.com).
VI.

Pelanggaran Etika Ilmiah


Pelanggaran etika ilmiah sering terjadi, hal ini terjadi baik secara

sengaja maupun tidak sengaja. Pada umumnya pelanggaran etika ilmiah


berkisar pada tiga wilayah, yaitu:
Fabrikasi data; Fabrikasi data -- mempabrik data atau membuatbuat data yang sebenarnya tidak ada atau lebih umumnya
membuat data fiktif.
Falsifikasi data; Falsifikasi data -- bisa berarti mengubah data sesuai
dengan keinginan, terutama agar sesuai dengan kesimpulan yang
ingin diambil dari sebuah penelitian.
Plagiarisme; Plagiarisme --- mengambil kata-kata atau kalimat atau
teks orang lain tanpa memberikan acknowledgment (dalam bentuk
sitasi) yang secukupnya.
VII. Kesimpulan
Ilmuwan secara etimologi bermakna orang yg ahli atau banyak
pengetahuannya mengenai suatu ilmu, sedangkan menurut terminologi
ilmuwan banyak sekali peneliti atau para cendikia yang mencoba untuk
memberi definisi mengenai ilmuwan salah satunya adalah sebagaimana
dalam pandangan McGraw-Hill Dictionary Of Scientific and Technical Term,
ilmuwan adalah seorang yang mempunyai kemampuan dan hasrat untuk
mencari pengetahuan baru, asas-asas baru, dan bahan-bahan baru dalam
suatu bidang ilmu.

Dengan demikian orang yang disebut sebagai Ilmuwan harus


memiliki ciri-ciri sebagai ilmuwan yang dapat dikenali lewat paradigma
serta sikapnya dalam kehidupan sosial, memiliki daya kritis yang tinggi,
jujur, bersifat terbuka, dan netral. Selain itu pula seorang ilmuwan harus
patuh pada sistematika penulisan karya ilmiah serta syarat-syarat yang
berkenaan dengan kode etiknya.
Peran

dan

diperhitungkan,

fungsi
karena

ilmuwan
ilmuwan

dalam

masyarakat

merupakan

orang

juga

perlu

yang

dapat

menemukan masalah spesifik dalam ilmu. Selain itu, ilmuwan pula


terbebani oleh tanggung jawab, tanggung jawab yang diemban oleh
ilmuwan meliputi tanggung jawab sosial, moral, dan etika.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengenai pelanggaran etika
ilmiah yang wajib dihindari oleh para ilmuwan adalah fabrikasi data,
falsifikasi data, dan plagiarisme.
Daftar Pustaka
Tarigan, Mhd. Iqbal. Generasi Bebek, Suara Binjai 17 Juli 2004, Binjai.
Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Republik Indonesia. Kamus Besar
Bahasa

Indonesia

Online.

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php. Di akses pada 12


Januari 2010. 23.30 WIB.
The, Liang Gie. 2000. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Syamsir, Elvira. 2009. Tanggung Jawab Ilmuwan.
file:///E:/tanggung%20jwb
%20ilmuwan/TANGGUNG_JAWAB_ILMUWAN.htm. Diakses pada 13
Januari 2010. 00.21 WIB.
Basuki, Ahmad. 2008. Menggugat Moral Ilmuwan (dimuat pada artikel
opini Bengawan pos).
http://achmadbasuki.files.wordpress.com/2008/07/menggugatmoral-ilmuwan_bengpos050902.doc. Di akses pada 13 Januari 2010.
01.47 WIB.
http://developer.ning.com/profiles/blog/show?id=1185512%3A111905.
akses pada 13 Januari 2010. 01.47 WIB.

Di

Dhaniel, Dhakidae. 2003. Cendikiawan dan Kekuasaan Dalam Negara


Orde Baru. Jakarta: Gramedia.
Suriasumantri, Jujun S. 2001. Filsafat Ilmu: Sebuah Perngantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Toha,

Isa

Setiasyah.

Teknik

Dan

Etika

Penulisan

http://lpfilkom.freeservers.com/lain/Etika.htm.

Artikel

diakses

pada

Januari 2010. 03.05 WIB.


You might also lik
Tanggung Jawab Para Ilmuwan

TANGGUNG JAWAB PARA ILMUWAN


DITINJAU DARI SEGI SOSIAL, POLITIK, MORAL, DAN AGAMA
St. Rahmah. Sy.

PENDAHULUAN
Ketika Plato mendeskripsikan tentang struktur dan komposisi ideal
sebuah masyarakat, ia sedang menempatkan keberadaan ilmuan,
dalam posisi yang sangat penting dan terhormat, layaknya posisi vital
dalam anatomi tubuh manusia.
Tidak hanya Plato, kita juga kemudian memahami keberadaan
kaum ilmuan ini pada posisi yang sangat strategis dalam sebuah
masyarakat. Karena itu dalam perkembangannya juga memberi
pemahaman yang komprehensif tentang mereka.[1]
Bagi manusia modern seperti kita sekarang, fungsi pemikiran
menjadi sangat penting karena dialah yang sesungguhnya
mengendalikan kehidupan kita dari hari kehari. Semua sektor
kehidupan yang penting seperti social, politik ekonomi, hukum dll
diatur dalam sisitem dan kesepakatan yang semuanya merupakan
hasil buah pemikiran manusia par excellence.[2]
Cara pandang idealistik umumnya melihat ilmuan berikut posisi
dan perannya dalam masyarakat dalam kerangka normatif dan
umumnya ahistoris. Ia cenderung melihat kelompok strategis ini

Ilmiah.
19

sebagai suatu kelompok yang homogen dengan kesadaran dan tingkat


kerekatan social yang tinggi.[3]
Seringkali ilmuan dipandang darti kelas sosialnya (social class
origin) yang lebih luas, meskipun tetap menolak pendapat reduksionis
yang menyiaratkan bahwa ilmuan selalu merupakan instrumen dari
kelas. Oleh sebab itu, ilmuan tidak lagi hanya dimengerti secara
elistis di mana ia dimonopoli oleh kaum filosofis, seniman atau kaum
terpelajar. Pemahaman tentang ilmuan secara kontektual/struktural
semacam ini sudah barang tentu akan menganalisis kaum ilmuan dan
fungsinya dalam masyarakat secara lebih dinamis dan fleksibel. Ia
akan menitikberatkan pada kerja-kerja kongkret apa yang dituntut
dari dan direalitaskan oleh kaum ilmuan dalam formasi sosialnya dan
kelompok sosial.
PEMBAHASAN
A. Pengertian judul
Tanggung Jawab
Dalam segi filsafat, nilai dari tanggung jawab itu dijadikan
sebagai salah satu dari kriteriadari kepribadian (personality)
seseorang.
Unsur-unsur tanggung jawab :
Dari segi filsafat, sesuatu tanggung jawab itu sedikitnya didukung
oleh 3 unsur :
a.

Kesadaran.

b.

Kecintaan/kesukaan.

c.

Keberanian.

1.

kesadaran.
Sadar berisi pengertian : tahu, kenal, mengerti dapat
memperhitungkan arti, guna sampai kepada soal akibat dari sesuatu
perbuatan atau pekerjaan yang dihadapi. Orang baru dapat dimintai
tanggung jawab, bila ia sadar tentang apa yang diperbuatnya.

2.

kecintaan = love, affection


Cinta, suka menimbulkan rasa kepatuhan, kerelaan dan
kesediaan berkorban. Sadar akan arti tanggung jawab.

3.

keberanian. Courage, bravery

Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Berani disini,


didorong oleh rasa keihklasan, tidak bersifat ragu-ragu dan takut
kepada segala macam rintangan yang timbul sebagai konsekuensi
dari tindak perbuatan. Karena adanya tanggung jawab itulah, maka
seorang yang berani, juga memerlukan adanya pertimbanganpertimbangan, perhitungan dan kewaspadaan sebelum bertindak, jadi
tidak sembrono atau membabi buta.8
Menurut kamus ilmiah kata social berarti : kemasyarakatan,
yang suka bergaul, santun.9
Politik
Politik berarti 1). Segala yang berkenaan dengan cara-cara dan
kebijksanaan dalam mengatur negara dan masyarakat bangsa.10
Moral
1). Istilah moral bersal dari kata latin: Morale, yang berarti
Costom, kebiasaan, adat istiadat. Tahu adat disebut bermoral, dan
sebaliknya disebut immoral. Kelakuan yang tidak baik disebut a
moral. Orang yang tahu adat, mengerti tertib sopan santun inilah
yang disebut moralis.11
Agama
Agama menurut kamus ilmiah berarti suatu kepercayaan yang
dianut oleh manusia dalam usahanya mencari hakekat dari hidupnya
dan yang mengajarkan kepadanya tentang hubungannya dengan
tuhan.12
B. Tanggung Jawab Para Ilmuan di Tinjau:
1. Bidang Sosial
Metode ilmu-ilmu social selalu melekat pada suatu bidang atau
cabang sistim ilmu social tertentu. Pada mulanya, metode itu sangat
dipengaruhi atau bahkan ditentukan ketika bidang atau cabang ilmuilmu social lahir. Tetapi kemudian mengalami perubahan dan
perkembangan. Metode yang dipakai oleh ilmuan atau kelompok
ilmuan juga dipengaruhi pada saat ilmu itu dipelajari atau diterapkan
kemudian ditempat dan waktu lain, sebagai respon terhadap suatu
perkembangan atau tuntutan perubahan social tertentu. Ilmu
sosiologi sendiri baru pada masa revolusi industri, baik dieropa barat
atau di amerika utara, pada awal abad 19. ilmuan-ilmuan Auguste

Comte, Herbert Spencer, Lester Ward, emile Durkheim atau Max


Weber, menulis buku-buku yang menjadi fondasi/fundamen sosiologi
industri atau masa terbentuknya kapitalisme industri.13
Seorang ilmuan ilmu-ilmu social memualai tugas dan tanggung
jawab dengan menemukan atau menggapai pengetahuan dengan
melakukan formulasi teoritis yang kemudian harus diuji secara
empiris. Kalau tidak data empiris yang dikumpulkan menrut cara-cara
dan prosedur itu tertentu itu hanya ternyata mendukung formulasi
teoritis yang telah disusun, maka formulasi itu kemudian berkembang
atau dapat dikembangkan atau dapat dapat dikembangkan menjadi
rumusan hasil pengetahuan yang didalamya terkandung teori ilmu
social yang telah dibuktikan kebenarannya, yaitu kebenaran empiris.
Ada satu hal yang ikut memperkuat kebenaran ilmu
pengetahuan social, yaitu citranya seperti ilmu kealaman dan hayat.
Citra itu terealisasikan dengan memenuhi beberapa keharusan,
yang secara etis netral si ilmuan harus memisahkan diri dari
pandangan yang sifatnya pribadi atau memiliki pandangan yang
impersonal sehingga dapat diperoleh apa yang disebut objektifitas,
serta memenuhi segala persyaratan akurasitas dalam pengumpulan
data.
Seorang ilmuan juga masih dituntut tanggung jawab sosialnya.
Ia hanya diminta untuk menyatakan sikap terhadap suatu masalah
masyarakat tempat ia hidup. Bahkan ada kalanya dituntut
keterlibatannya dalam perubahan social guna mencapai tujuan
tertentu. Jika tifak memiliki tanggung jawab social.
Masalah itu memang masih dan akan tetap merupakan
kontroversi. Disatu pihak terdapat pandangan bahwa seorang ilmuan
sejati harus tetap setia kepada fungsi alam ilmu pengetahuan yang
sebenarnya, yaitu menyajikan dan menemukan kebenarannya ilmiah.
Pemakaian hasil pemikiran dan penelitian itu sudah merupakan
tanggung jawab yang lain, misalnya, negarawan, teknokrat, birograt,
ruhaniawan atau agamawan, pengusaha, dan lain sebagainya yang
selain ilmuan itu sendiri. sudah barang tentu seorang ilmuan dapat
pindah profesi atau mengambil peranan yang lain sebagai konsumen
atau pelaksana yang menerapkan hasil dan penelitian ilmiah dan
dapat memenuhi tanggung jawab moral atau social yang dituntut oleh

masyarakat. Tetapi, selama ia masih menjadi ilmuan, maka ketiga


tanggung jawab saja yang mungkin disebut sebagai tanggung jawab
ilmiah atau akademis yang bercirikan netralitas etis, objektifitas da
disiplin dalam prosedur ilmiah.i15

2. Bidang Politik
Masyarakat sipili pada dasarnya tidak akan berkembang lebih
luas atau akan berhenti berproses jika tidak disertai dengan
perubahan-perubahan mendasar pada dimensi masyarakat politik.
Dalam masyarakat politik inilah individu maupun kekuatan politik
bersaing secara terbuka untuk mendapatkan dan menguasai jabatanjabatan publik. Ini merupakan letak perbedaan yang mendasar dari
masyarakat sipil bukanlah arena persaingan untuk mendapatkan
jabatan publik. Sementara masyarakat politik adalah arena yang sah
untuk menggalang kekuatan politik guna merebut jabatan-jabatan
publik dalam pemerintahan. Kedua arena ini saling berinteraksi dan
kualitas interaksi inilah yang akan menentukan apakah subuah
masyarakat benar-benar menujuh kearah demokrasi atau kembali
kesebuah sistim otoriter lagi.16
Secara ideal, di dalam masyarakat politik tidak dibenarkan
adanya kekuatan social maupun politik yang tidak bertanggung
jawab, misalnya militer yang merupakan sebuah unsure yang
memegang peranan yang besar dalam perpolitikan yang cenderung
dominan persaingan anatara politisi sipil dan membuat kalangan sipil
tidak berkutib. Persaingan antar partai tidak akan berlangsung secara
maksiaml dan pair jika unsure ini tidak dihilangkan bahkan lebih patal
lagi proses reformasi politik akan terhalangi.17
Perdebatan fungsionalis tentang peran dan tanggung jawab
kaum ilmuan, belum malampaui kecaman klasik julien benda yang
sangat popular tentang penghianatan kaum intelektual (1927).
Sejak Sumartana dan sobary melontarkan keprihatinan dan kritiknya
tentang kemerosotan posisi dan peran intelektual sebagai kritik
social, maka bermunculanglah tanggpan dan komentar yang
mengarah kepada dua focus diskursus. Pertama, soal hubungan

fungsional antara cendekiawan dan kekuasaan (baca : negara) dan


kedua soal posisi kaum cendekiawan.18
Peranan ilmuan, politisi, cendekiawan, serta badan-badan
politik lainnya diharapkan mampu manjadi kontrol terhadap badanbadan politik utama seperti eksekutip, legislative, tudikatif agar tidak
menjadi sebuah kekuatan yang tumbuh subur dan tidak terkendali
(otoriter). Jadi pada dasarnya peranan ilmuan dalam persoalan politik
ini adalah berfungsi sebagai social control dan sparing partner.
Sebagai seorang ilmuan juga mempunyai tanggung jawab
politik diantaranya :
Pertama: seorang ilmuan harus menyiapkan perangkap
konsititusi yang baik dan membuat suatu sistim politik yang bebas
dari kekuatan politik yang tidak bertanggung jawab kepada rakyat.
Kedua: para ilmuan juga harus bisa menjadi social control bagi
seksekutif sebagai pelaksana publik harus dibatasi kekuasannya agar
tidak menjadi kekuatan yang korup dan otoriter.
Ketiga: memberikan pemahaman kepada masyarakat awam
tentang posisi dan kepentingannya semua lembaga peradilan,
kepolisian dll.
Keempat: ilmuan juga menggunakan media dalam memberikan
pembelajaran politik kepada masyarakat dan memberikan masukan
terhadap sistim pemerntahan yang ada. Dalam artian posisi media
masa seharusnya berpihak kepada kalangan masyarakat bukan
kepada penguasa (pemerintah).20
Jadi posisi ilmuan sangatlah penting didalam membangun suatu
masyarakat yang demokratis, dan posisi ilmuan juga menjadi masalah
yang sangat urgen dikarenakan maju dan mudurnya suatu negara
tergantung bagaimana peran aktif masyarakat dan ilmuan.
3. Tanggung jawab Ilmuan dari Segi Moral
Istilah moral, moralitas berasal dari kata bahasa latin mos
(tunggal), mores (jamak) dan kata sifat moralitas. Bentuk jamak
mores berarti : kebiasaan, kelakuan, kesusilaan. Kata sifat moralis
berarti susilah. Sebagai manusia dari segi baik buruknya ditinjau dari
hubungannya dari tujuan hidup manusia yang terakhir.21 dalam
filsafat moral atau ditinjau atau dalam etika dapat kita bedakan
manjadi :

a.

perbuatan insani: actus humanus : ialah perbuatan yang dilakukan


orang dengan sadar, dengan tahu betul apa yang dilakukan, dengan
kesengajaan kehendaknya. Perbuatan-perbuatan semacam ini
merupakan pormal objek filsafat atau etika.

b.

Perbuatan manusia ectus hominis : ialah perbuatan-perbuatan


yang dilakukan tidak dengan penuh kesadaran atau kesengajaan.
Umpamanya perbuatan manusia dalam keadaan tidur, dalam keadaan
mabuk, dalam jatuh pingsan. Perbuatan ini dilakukan diluar kontrol
manusia sebagai subjek pelaku. Perbuatan semacam ini ada diluar
perhatian filsafat moral.22
Peranan ilmuan dalam persoalan moral dapat digambarkan
bahwa seorang ilmua harus memandang moralitas sebagai sebuah
standar untuk memeriksa perbuatan menusiawi guna menentukan
kebaikan dan keburukannya. Disamping itupula diperlukan dua
norma 1). Norma dekat (proximate norm) sebagai norma yang dapat
diterapkan secara langsung. 2). Norma terakhir (ultimate norm) yang
berfungsi sebagai penjamin norma dekat.23
Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan baik bila sesuai dengan
pikiran benar (right reason). Akan tetapi kapan kita dapat
mengatakan jika pikiran itu sungguh-sungguh benar. Meskipun
perbuatan baik adalah perbuatan yang membimbing ketujuan
terakhir. Untuk mengetahui kesemuanya itu maka seorang ilmuan
memerlukan sebuah norma moralitas tentang hakekat kodrat manusia
yang dalam hal ini diambil sepenuhnya dalam seluruh bagian dari
nisbah-nisbahnya.24
4. Tanggung Jawab ilmuan Dari Segi Agama
Kebudayaan renaissance menempatkan manusia sebagai pusat
perhatian. Manusia bebas mengembangkan bakat dan keahliannya
demi kebahagiaan hidupnya di dunia. Untuk mencapai kebahagiaan
hidup di dunia, rasio (akal) harus dikembangkan. Daya kreasi manusia
yang berfikir dan bertindak bebas, mamainkan peranan penting.
Namun agama sebagai kontroling yang berpegan kepada
kekuatan iman kepada tuhan yang maha esa. Ilmu pengetahuan
berdasarkan penyelidikan dan eksperimen. Agama menerima, yakin
dan percaya akan kebesaran tuhan. Ilmu pengetahuan bertujuan

untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan agama befikir


kepada keduanya dunia dan akhirat.25
Religi/agama merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan
dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana religi
merupakan sumber utama koheni social. Pembagian dunia dalam
yang sacral dan yang profan merupakan ciri khas pemikiran religius.
Didalam agama hal yang dapart dicapai bukanlah hanya sistim tandatanda yng menerjemahkan kepercayaan secara lahiriyah melainkan
secara kolektif untuk menciptakan kembali kepercayaan itu sendiri.
Dalam masalah religi, aturan moral dan hukum tak dapat dipisahkan
secara terinci dari aturan-aturan religi itu sendiri.26
Dalam tubuh tiap-tiap agama ada sifat yang statis dan ada yang
dinamis. Manusia memiliki insting atau nurani dan intelegensi atau
intelek. Intelek atau akal ini dalam bekerjanya sedikit banyak
mendorong egoisme.27
Yang membedakan sosok manusia dengan makhluk lainnya
adalah akal pikiran yang dimiliki dan kemampuannya dalam
bertanggung jawab baik itu secara perorangan maupun secara
kelompok yang lebih besar.28
Didalam sistim pemahaman islam mengenai posisi penerus
Nabi itu diwariskan kepada para anbiya (ulama) untuk meneruskan
perjuangan Nabi dalam memberikan pemahaman kepada umat islam
mengenai ajaran Islam itu sendiri, dikarenakan pada saat-saat ini
telah banyak yang berupa pada tataran perkembangan dunia yang
membutuhkan peran aktif para ilmuan/ulama dalam memberikan
pemahaman yang meyeluruh terhadap umat mengenai kondisi saat ini
dengan suatu metode pendekatan yang responsip kepada masyarakat
kita, yang dari aspek kesejarahan dimana masyarakat kita sangat
lama dibelenggu dengan tradisi-tradisi agama mereka sebelumnya.
Mungkin ini yang manjadi tugas dan tanggung jawab para ulama,
ilmuan, cendekiawan, dalam melakukan metode dakwah yang lebih
memberikan nuansa-nuansa baru dalam memberikan pemahaman
Islam yang kaffah kepada umat yang dibelenggu oleh tradisi nenek
moyangnya yang penuh dengan tradisi penuh dengan bidah, dan
yang bersifat mistik/tahayyul, dan mengkultuskan para wali-wali yang
telah mati, sehingga masyarakat kita menjadi jumud, stati, tidak ingin

maju. Sehingga dibutuhkan suatu reformasi dalam pemahaman


masyarakat awam tentang pemikiran yang dinamis dan menghindari
hal-hal yang sifatnya tidak berguna. Kemudian yang lebih riskan
adalah bagaimana peran para ulama/ilmuan dalam mengantisipasi era
globalisasi yang semakin menggila berimbas ke negara-negara dunia
ketiga (Islam), yang sangat dibutuhkan adalah posisi ilmuan dalam
memberikan/mengaktualisasikan konsep Islam yang sesuai dengan
perkembangan zaman dan menjaga umatnya agar supaya tidak ikut
larut dengan kondisi kegilaan budaya-budaya barat yang tampa nilai
dan etika apalagi dibarengi dengan tradisi keagamaan yang kuat.
Dan yang paling utama adalah bagaimana peran aktif para
ulama dengan proses transpormasi social budaya dalam kehidupan
umat Islam, terutama dari posisi da peran yang besifat ideal religiuskultural keposisi danperan yang bersifat keperubahan orientasi hidup
yang pragmatis-ultilitarian dalam dinamika kehidupan masyarakat,
umat.29
Kemudian dalam memberikan pemahaman kepada umat peran
seorang ulama itu jangan terlalu muluk-muluk, tetapi dengan cara
tidak memberikan penyampaian keterangan yang menyangkut hal-hal
mendasar tentang agama begitu saja, tampa mempertimbangkan
tingkat pemahaman dan penyerapan umat. Cara atau metode yang
revesentatif digunakan adalah yang mengandung nilai kebenaran,
keadilan, kebaikan, cinta, pengorbanan, kesabaran, kearifan, dana
kebijaksanaan, sehingga tercipta suatu pertanggung jawaban yang
sifatnya universal antara ilmuan/ulama dan masyarakat.30
KESIMPULAN
Apabila Kita memposisikan seorang pigur ilmuan pada posisi
yang terhormat ditengah masyarakat, maka wajarlah akan hal
demikian, disebabkan peran dan tanggung jawab yang kita bebenkan
kepada mereka sehingga secara otomatis mereka lebih dari
masyarakat lain. Ditangan merekalah digantungkan harapan, karena
majunya suatu masyarakat dan negara itu tergantung dari bagaimana
peran dan posisi seorang ilmuan melihat dan mananggapi fenomenafenomena yang terjadi dimasyarakat dan negara.

Tanggung jawab seorang ilmuan dari berbagai aspek, termasuk


aspek sosial, politik, moral, agama dll. Merupakan suatu tugas dan
tanggung jawab SSagar supaya disemua aspek itu peran dan
tanggung jawab itu bisa diperankan dengan baik, bukan bukan posisi
ilmuan itu berada jauh dari tnggung jawab moral yang diharapkan
masyarakatnya, seperti keberpihakan seorang ilmuan kepada satu
sekte/kelompok, di dalam masyarakat, sehingga aspek
indenpendensinya sebagai ilmuan tercemari oleh kegiatankegiatannya, taukah seorang ilmuan lebih dekat kepada birokrasi dan
pengusaha dalam semua sepak terjangnya sehingga masyarakat yang
dominan dianiaya dan dimarjinalkan dalam kehidupan sosialnya,
politiknya, moral dan agamanya.
Jadi yang dibutuhkan bagi seorang ilmuan adalah keberpihakan
mereka kepada arus bawah dan ia berada disegala lapisan
masyarakat dan semua keputusan dan keberpihakan mereka itu
ditujukan kepada masyarakat.

FILSAFAT ILMU

Pendahuluan
Peranan ilmuwan dalam pemberdayaan masyarakat adalah
aktivitas manusia yang sejak lahirnya pemiliki perhatian yang
mendalam pada pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat
yang lemah dan kurang beruntung seperti orang miskin, orang yang
cacat, komunitas adat terpencil. Peranan ilmuwan dalam pemberdaya
masyarakat mempunyai prinsip sosial seperti menolong orang agar
mampu menolong dirinya sendiri, penentuan nasip sendiri, bekerja
dengan masyarakat, bekerja untuk masyarakat, menunjukkan betapa
peranan ilmuwan sangat dibutuhkan dan memiliki komitmen yang
kuat terhadap pemberdayaan masyarakat. Ilmuwan adalah profesi
populis dan tidak elitis. Oleh karena itu peranan ilmuwan dalam
pemberdayaan masyarakat menyangkut pengertian pemberdayaan

masyarakat, pengertian ilmuwan, strategi pemberdayaan, serta


tugas-tugas yang dapat dilakukan oleh ilmuwan tersebut dalam
pemberdayaan masyarakat tersebut.

Pembahasan
Secara bahasa pemberdayaan atau pemberkuasaan berasal
dari kata power (kekuasaan atau pemberdayaan). Pemberdayaan
secara istilah adalah sebuah proses dengan dimana seseorang
menjadi

cukup

kuat

untuk

berpartisipasi

dalam

berbagai

pengontrolan dan mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta


lembaga-lembaga
Pemberdayaan

yang

mempengaruhi

menekankan

bahwa

orang

kehidupannya.
yang

memperoleh

keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk


mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi
perhatiannya. (parsons, et.al., 1994). Dalam hal ini pemberdayaan
dapat

dikatakan

organisasi,

dan

sebagai
komunitas

suatu

cara

diarahkan

dengan
agar

dimana

mampu

rakyat,

menguasai

kehidupannya. Sedangkan tujuan dari pemberdayaan itu sendiri


adalah untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau
tidak beruntung.
Dapat dikatagorikan sebagai orang-orang yang lemah atau
tidak beruntung yakni :
1.

Kelompok lemah secara struktual, baik lemah secara kelas, gender,


maupun etnis.

2.

Kelompok lemah khusus seperti manula, anak-anak, remaja,


penyandaang cacat, gay, lesbian, masyarakat terasingkan.

3.

Kelompok lemah secara personal yakni mereka yang mengalami


masalah pribadi atau masalah keluarga.
Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi
dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat kelas sosial ekonomi
rendah, kelompok minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta
penyandang cacat mereka semua adalah orang-orang mengalami
ketidak berdayaan. Keadan dan perilaku mereka yang berbeda dari
kerumunan seringkali dipandang sebagai deviant (penyimpang).
Mereka serigkali kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang
yang malas, lemah, yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal

ketidak berdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya


kekurang adilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan
tertentu. Solomon (1979) melihat bahwa ketidak berdayaan dapat
bersumber dari faktor eksternal maupun internal. Menurutnya,
ketidak berdayaan dapat berasal dari penilaian diri yang negative,
interaksi yang negative dengan lingkungan, atau berasal dari
blockade dan hambatan yang berasal dari lingkungan yang besar
(Suharto, 1997: 213-214 ).
Dengan demikian pemberdayaan adalah sebuah proses dan
tujuan. Dikatakan sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian
kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok
lemah

dalam

mengalami

masyarakat,

masalah

termasuk

kemiskinan.

individu-individu

Sebagai

yang

tujuan,

maka

pemberdayaaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin


dicapai oleh sebuah perubahan sosial yaitu masyarakat yang
berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan
kemampuan

dalam

memenuhi

kebutuhan

hidupnya

baik

yang

bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti peraya diri, mampu


menyampaikan
berpartisipasi

inspirasi,
dalam

mempunyai

kegiatan

sosial,

mata
dan

pencaharian,
mandiri

dalam

melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan


sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan
pemberdayaan sebagai sebuah proses.
Di dalam strategi pemberdayaan Parsons menyatakan bahwa
proses

pemberdayaan

umumnya

dilakukan

secara

kolektif.

Menurutnya tidak ada literature yang menyatakan bahwa proses


pemberdayaan terjadi dalam relasi satu lawan satu antara pekerja
sosial dan klien dalam setting pertolongan perorangan. Dalam
konteks pekerja sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga
aras atau matra pemberdayaan yakni :
1.

Aras Mikro yakni pemberdayaan yang dilakukan terhadap klien


secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management,
crisis intervention. Yang tujuan utamanya adalah untuk membimbing
atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya.

2.

Aras

Mezzo

yakni

pemberdayaan

yang

dilakukan

terhadap

sekelompok klien. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok

biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran,


pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki
kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
3.

Aras Makro. Dalam pendekatan ini disebut juga sebagai strategi


sistem besar, karena sasaran diarahkan pada sistem lingkungan yang
lebih luas. Perumusan kebijakan, prencanaan sosial, kampanye, aksi
sosial, pengorganisasian masyarakat, menegement konflik, adalah
beberapa strtegi dalam pendekatan ini.
Setelah strategi pemberdayaan dilakukan maka pelaksanaan
proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melalui
penerapan pendekatan pemberdayaan yang dapat disingkat menjadi
5P, yaitu : Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyongkongan,
dan Pemeliharaan.
Di dalam penerapan pemberdayaan masyarakat di butuhkan
peranan ilmuwan, sedangkan ilmuwan itu sendiri mempunyai arti
sebagai

sebuah

atribut

yang

melekat

pada

diri

seseorang

dengan personal qualification, antara lain memiliki IQ di atas nilai


rata-rata, kreatif, inovatif, mampu berpikir dinamis, aktual, logis dan
sistematis. Dengan kemampuannya itulah, seorang ilmuwan akan
menyandang

berbagai

macam

gelar

sesuai

dengan

jenjang

pendidikan dan field of interest keilmuannya. Tuntutan kompetensi


seorang ilmuwan antara lain mampu mengimplementasikan ilmu
pengetahuan dan keterampilannya serta seluruh kapasitas dan
kemampuannya

relevan

dengan

tuntutan

problematika

yang

berkembang di masyarakat baik di tingkat nasional maupun kelas


dunia.
Orientasi

pengembangan

keilmuwan

bukan

hanya

untuk

kepentingan diri atau golongan atau kelompok tertentu, melainkan


harus

selalu

diproyeksikan

pada

penyelesaian

problematika

masyarakat atau bangsa. Kerangka konseptual inilah yang harus


selalu ditanamkan sejak dini, bukan saat mereka berada di jenjang
pendidikan tinggi, melainkan sejak mereka mengenal pendidikan baik
formal

maupun

nonformal.

Dengan

ketaqwaan

ilmuwan

akan

memahami, empat hal; yaitu hakikat penciptaan manusia (1), hakikat


penciptaan ilmuwan (2), tugas, fungsi dan peran ilmuwan (3) serta
tanggung jawab ilmuwan (4), Jaminan keberhasilan seseorang.

Dari pengertian pemberdayaan masyarakat dan pengertian


ilmuwan itu sendiri dapat kita ambil kesimpulannya secara garis
besar mengenai peranan ilmuwan dalam pemberdayaan masyarakat
yakni peranan seorang ilmuwan yang dapat memberikan suatu acuan
atau

arahan

baik

itu

dalam

bidang

teori,

penerapan

dalam

pemberdayaan, memotivasi, menjadikan mereka masyarakat yang


aktif, kreatif dan inofatif, tidak bergantung kepada si pembangun
proyek

pemberdayaan

sosial.

dan

hal

lain

sebagainya

yang

menyangkut dalam pemberdayaan itu sendiri, sehingga sebuah


pembangunan atau kegiatan tersebut dapat di laksanakan dengan
penuh rasa tanggung jawab dan karena adanya peran ilmuwan maka
ilmuwan

harus

bisa

memberikan

jaminan

kepada

masyarakat

terhadap pembedayaan masyarakat tersebut.


Selain

itu

ilmuwan

berperan

sebagaimana

para

pemilik

kepentingan yang dapat mempengaruhi dan berbagi pengawasan


atas inisiatif dan keputusan pembangunan serta sumberdaya yang
berdampak pada mereka, selain menjadikan mereka masyarakat
yang aktif, masyarakat juga dapat bersikap kreatif dan inovatif, tidak
bergantung kepada si pemilik proyek pemberdaya. Jadi peranan
ilmuwan tidak sekedar dimaksudkan untuk mencapai perbaikan
kesejahteraan masyarakat (secara material), akan tetapi harus
mampu menjadikan warga masyarakatnya menjadi lebih kreatif dan
inovatif.
Adapun tugas ilmuwan dalam pemberdayaan masyarakat,
Schwartz mengemukakan 5 tugas yang dapat dilaksanakan oleh
ilmuwan yaitu :
1.

Mencari

persamaan

mendasar

antara

persepsi

masyarakat

mengenai kebutuhan mereka sendiri dan aspek-aspek tuntutan sosial


yang dihadapi mereka.
2. Mendeteksi dan menghadapi kesulitan-kesulitan yang menghambat
banyak ornag dan menbuat frustasi usaha-usaha orang untuk
mengidentifikasi kepentingan mereka dan kepentingan orang-orang
3.

yang berpengaruh.
Member kontribusi data mengenai ide-ide, fakta, nilai, konsep yang
tidak di miliki oleh masyarakat, tetapi bermanfaat kepada mereka
dalammenghadapi realitas social dan masalah yang dihadapi mereka.

4.

Membagi visi kepada msyarakat, harapan dan inspirasi ilmuwan


merupakan investasi bagi interaksi antara orang, masyarakat, dan

5.

bagi kesejahteraan individu dan sosial.


Mendefinisikan syarat-syarat dan batasan-batasan situasi dengan
mana sistem relasi antara peran ilmuwan dan masyarakat yang
dibentuk. Aturan-aturan tersebut membentuk konteks bagi kontrak
kerja yang mengikat masyarakat dan lembaga. Dan batasan-batasan
tersebut

juga

mampu

menciptakan

kondisi

yang

membuat

masyarakat dan ilmuwan menjalankan fungsinya masing-masing.

Penutup
Dari berbagai pengertian pemberdayaan masyarakat dan
pengertian ilmuwan serta tugas-tugasnya dapat kita simpulkan
secara garis besar mengenai peranan ilmuwan dalam pemberdayaan
masyarakat

bahwa

peranan

seorang

ilmuwan

yang

dapat

memberikan suatu acuan atau arahan baik itu dalam bidang teori,
penerapan dalam pemberdayaan, memotivasi, menjadikan mereka
masyarakat yang aktif, kreatif dan inovatif, tidak bergantung kepada
si pembangun proyek pemberdayaan sosial. dan hal lain sebagainya
yang menyangkut dalam pemberdayaan itu sendiri, sehingga sebuah
pembangunan atau kegiatan tersebut dapat di laksanakan dengan
penuh rasa tanggung jawab dan karena adanya peran ilmuwan maka
ilmuwan

harus

bisa

memberikan

jaminan

kepada

masyarakat

terhadap pembedayaan masyarakat itu sendiri.

Tanggung Jawab Ilmuan


Jika dinyatakan bahwa ilmu bertanggung jawab atas perubahan sosial, maka hal itu
berarti (1) ilmu telah mengakibatkan perubahan sscial dan juga (2) ilmu bertanggung jawab
atas sesuatu yang bakal terjadi. Jadi tanggung jawab tersebut bersangkut paut dengan masa
lampau dan juga masa depan. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa apa yang telah terjadi
sebenarnya tidak mutlak harus terjadi dan apa yang bakal terjadi tidak perlu terjadi; hal itu
semata-mata bergantung kepada keputusan manusia sendiri (Ihsan, 2010: 281).
Menurut Abbas Hama (dikutip Surajiyo, 2008:153) Para ilmuwan sebagai orang yang
professional dalam bidang keilmuwan sudah barang tentu mereka juga memiliki visi moral,
yaitu moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah didalam filsafat ilmu disebut juga sebagai

sikap ilmiah. Menurut Abbas (dikutip Surajiyo, 2008:156) sedikitnya ada enam sikap ilmiah
yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan yaitu :
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap diarahkan untuk mencapai
pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan
pribadi.
2.
Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan
Mampu mengadakan pemilihan terhadap segala sesuatu yang dihadapi. Misalnya
hipotesis yang beragam, metodologi yang masing-masing menunjukkan kekuatannya atau
cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan
akurasinya.
3.
Adanya rasa

percaya

yang

layak

baik

terhadap

kenyataan

maupun

terhadap alat-alat indra serta budi (mind).


4. Adanya sikap yang mendasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti
5.

(conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap
penelitian yang telah dilakukan, sehingg selalu ada dorongan untuk riset dan riset sebagai

aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.


6. Harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu
untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan
bangsa dan negara.
Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang
ilmuan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis
seorang ilmuan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran sebagai tujuan akhirnya
mau tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral. Kebenaran berfungsi bukan saja
sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat untuk
menegakkan kebenaran inilah maka seorang ilmuwan terpanggil oleh kewajiban sosialnya,
bukan saja sebagai penganalisis materi kebenaran tersebut namun juga sebagai prototipe
moral yang baik (Suriasumantri, 2000: 244).
Kesimpulan
Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam
alam manusia. Moral adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran
(agama) dan paham (ideologi) sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik yang
diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi hubungan antara ilmu dan moral adalah
sangat erat bahwa setiap usaha manusia untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan
pemahaman dari berbagai segi harus berpedoman pada ajaran agama dan paham ideologi

dalam bersikap dan bertindak. Sementara itu tanggung jawab ilmuwan di masyarakat adalah
suatu kewajiban seorang ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian
permasalahan sosial tersebut. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan
saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di
masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam
kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada
penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk
keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Ihsan, Fuad. 2010. Filsafat Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta.
Prawironegoro, Darsono. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan. Jakarta : Nusantara
Consulting.
Surajiyo. 2009. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta :
Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun S. 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
http://iqbalsatu.blogspot.com/2011/10/tanggung-jawab-sosial-ilmuwan-html
Risma.2011.http://rismatp09.blogspot.com/2011/12/aksiologi-ilmu-dan-moral-tanggungjawab.html. diakses tanggal 10 Oktober 2011

88Burhanuddin Salam, 1997: 49.


99Indrawan WS. t.th: 267.
1010Ibid: 213.
1111Burhanuddin Salam, loc. cit.
1212Indrawan WS, op. cit: 16
1313Dawam Raharjo, 1993: 120.
i
1515Ibid: 125.
1616Bambang Cipto, 1999: 86.
1717Ibid
1818Tim editor Masika, Op Cit: 116.
2020Bambang Cipto, Op. Cit: 95.
2121A. Gunawan Setiardjo, 1990: 90.
2222Ibid: 91.
2323Ibid: 151.
2424Ibid: 152.
2525Poerwantana. Dkk., 1994: 85.
2626Djuratna A. Iman Muhni, 2000: 128.
2727Ibid.
2828Ibid.
2929Kuntowijoyo, dkk, 1995: 58.
3030Ibid: 156.

Anda mungkin juga menyukai