Anda di halaman 1dari 14

Pendahuluan

Saat ini lebih dari 150 negara dilaporkan telah terjadi infeksi HIV-AIDS dari berbagai penjuru
dunia. Data tahun 2000 dilaporkan 58 juta penduduk dunia terinfeksi HIV, 22 juta diantaranya
meninggal akibat AIDS. Transmisi masih terus berlangsung dengan 16 ribu jiwa terinfeksi baru setiap
harinya. Didapatkan sedikitnya 40 juta manusia hidup dengan AIDS di akhir tahun 2005.
Pneumocystis pneumonia (PCP) disebabkan oleh organisme yang disebut Pneumocystis
jiroveci, sebelumnya dikenal dengan nama Pneumocystis carinii. Penyakit ini merupakan salah satu
penyebab kematian penderita immunocompromised, antara lain pada Acquired Immunodefi ciency
Syndrome (AIDS).
Selama dekade 1980-an di Amerika Serikat diperkirakan 75% penderita Human
Immunodeficiency Virus (HIV) akan menderita PCP. Awal epidemik, insidens PCP hampir 20 kasus
per 100 penderita HIV dengan Cluster of diff erentiation (CD)4 kurang dari 200 sel/mm3. Profilaksis
PCP yang dikenalkan pertama kali tahun 1989 dan penggunaan kombinasi terapi Anti Retroviral
(ARV) tahun 1996 menurunkan insidens PCP. Centre for Disease Control and Prevention (CDC)
menyatakan bahwa PCP menurun 3,4 % selama periode 1992-1995 dan turun 21,5% selama 19961998. Pneumocystis pneumonia merupakan infeksi oportunistik serius penderita HIV.

Tinjauan Pustaka
Pneumocytis Pneumonia
1. Definisi Pneumocytis Pneumonia
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan yang mengenai parenkim
paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pneumocystis
pneumonia (PCP) disebabkan oleh organisme yang disebut Pneumocystis jiroveci, sebelumnya

dikenal dengan nama Pneumocystis carinii. Pneumocystis pneumonia merupakan koinfeksi yang
sering ditemukan pada penderita HIV dan sering terjadi pada penderita HIV dengan CD4 kurang
dari 200 sel/mm3.
2. Epidemiologi Pneumocystis Pneumonia
Selama dekade 1980-an di Amerika Serikat diperkirakan 75% penderita Human
Immunodeficiency Virus (HIV) akan menderita Pneumocystis Pneumonia (PCP). Awal epidemik,
insidens PCP hampir 20 kasus per 100 penderita HIV dengan Cluster of differentiation (CD)4
kurang dari 200 sel/mm3.
Penelitian menyebutkan pasien imunosupresan terinfeksi pneumocystis melalui penyebaran
udara. Penyakit ini mungkin terjadi oleh infeksi baru yang didapat atau oleh reaktivasi infeksi
laten. Sebelum digunakannya profilaksis PCP dan antiretroviral (ARV), PCP terjadi pada 70-80%
pasien AIDS. Angka mortalitas yang terjadi pada pasien PCP yang mendapat pengobatan
sebanyak 20-40%. Insiden PCP menurun dengan digunakannya profilaksis PCP dan ART, di
Eropa Barat dan Amerika Serikat insiden terjadinya sebanyak <1 kasus per 100 orang per tahun.
3. Faktor resiko Pneumocystis Pneumonia
Kelompok yang memiliki resiko tinggi terinfeksi Pneumocystis jiroveci pneumonia:
Pasien infeksi HIV dengan CD+4 <200/L dan pasien yang tidak mendapatkan
profilaksis (sebagai tambahan, pasien HIV dengan ditemukannya infeksi oportunistik

seperti oral thrush meningkatkan resiko pnuemocystis pneumonia.


Pasien dengan imunodefisiensi, termasuk hypogammaglobulinemia (defisiensi CD40ligand yang dikenal sebagai X-linked hyper-IgM syndrome) dan severe combined

immunodeficiency (SCID).
Pasien yang mendapatkan pengobatan imunosupresif jangka lama pada penyakit

jaringan, vaskulitis atau transplantasi organ.


Pasien dengan maligna hematologi dan non hematologi, termasuk tumor dan

lymphoma.
Pasien dengan malnutrisi berat.

4. Etiologi Pneumocystis Pneumonia


Pneumocystis pneumonia (PCP) disebabkan oleh organisme yang disebut Pneumocystis
jiroveci, sebelumnya dikenal dengan nama Pneumocystis carinii. Pneumocystis pertama kali
dikemukakan oleh Chagas pada tahun 1909 dan digolongkan sebagai protozoa. Penggolongan ke
dalam protozoa ini dikarenakan karakteristik strukturnya yang menyerupai Toksoplasma gondii
dan sensitif terhadap obat anti parasit seperti pentamidin. Tetapi terdapat perdebatan mengenai
taksonomi Pneumocystis jiroveci. Namun berdasaran analisis DNA tahun 1988 menjelaskan
bahwa Pneumocystis adalah golongan fungus yang berhubungan erat dengan Askoikotina. Pada
manusia dinamakan Pneumocystis jirovecii dan pada tikus percobaan dinamakan Pneumocystis
carinii.
2

Taksonomi P. Jirovecii:

Kingdom : Fungi
Subkingdom
: Dikarya
Phylum
: Ascomycota
Subphylum : Taphrinomycotina
Klas
: Pneumocystidomycetes
Ordo
: Pneumocystidales
Family
: Pneumocystidaceae
Genus
: Pneumocystis
Spesies
: P.jiroveci

Gambar histopatologi Pneumocystis cysts pada paru-paru pasein AIDS


Morfologi dan siklus hidup
Vavra dan Kucera (1970) membagi P.jiroveci menjadi 3 stadium yaitu:
a. Stadium trofozoit
Bentuk polimorfik dan uniseluler, berukuran 1-5 dan memperbanyak diri secara
mitosis. Dengan mikroskop elektron dapat dilihat ultrastrukturnya yaitu
berdinding tipis dengan beberapa ekspansi tubular yang disebut filopodium
berinti 1 tetapi kadang dapat beinti lebih dai 2
mitokondria
retikulum endoplasmik yang kasar
terdapat vakuola
Pada pewarnaan Giemsa, inti berwarna ungu gelap dan sitoplasma biru terang.
Trofozoit yang kecil (1-1,5 ) ditemukan di dekat kistayang berdinding tebal,
berbentuk bulan sabit menyerupai intracystic bodies disebut juga tropozoit yang
sedang berkembang. Tropozoit yang besar menempel pada dinding alveolus dan
mempunyai dinding tipis yang sama dengan tropozoit yang kecil tetapi mempunyai
filopodium dan pseudopodium sehingga berbentuk ameboid.
b. Stadium prakista
Merupakan bentuk intermediate antara tropozoit dan kista. Bentuk oval, ukuran 3-5
dan dindingnya lebih tebal dengan jumlah inti 1-8. Dengan mikroskop, bentuk ini
sukar dibedakan dari stadium lainnya tetapi dinding yang lebih tebal dari stadium
prakista dapat diwarnai dengan methenamine silver
c. Stadium kista
3

Stadium merupakan bentuk diagnostik untuk pneumositosis, juga diduga sebagai


bentuk infektif pada manusia. Dengan mikroskop fase kontras, kista mudah dilihat,
bentuknya bulat dengan diameter 3,5 12, mengandung 8 sporozoit atau tropozoit
yang sedang berkembang intacystic bodies. Sporozoit tersebut dapat berbentuk
seperti buah peer, bulan sabit atau kadang-kadan terlihat kista berdinding tipis dengan
suatu massa di tengah yang homogen atau bervakuol.
Siklus Hidup
Jamur ditemukan pada paru-paru mamalia temat jamur ini tinggal tanpa menyebabkan infeksi
yang nyata sampai sistem imun hospes melemah. Secara umum siklus hidup dari berbagai
variasi spesies Pneumocystic digambarkan sebagai berikut:

Fase aseksual:
Bentuk tropozoit bereplikasi secara mitosis.
Fase seksual:
Bentuk tropozoit yang haploid berkonjugasi dan menghasilkan zigot (kista muda)
yang diploid. Zigot membelah diri secara meiosis dan dilanjutkan dengan
membelah diri secara mitosis untuk menghasilkan 8 nukleus yang haploid (kista
stadium lannjut). Kista stadium lanjut mengandung 8 sporozoit yang berisi spora,
kemudia akan keluar setelah terjadi ekskistasi.

5. Patogenesis Pneumocytis Pneumonia


Transmisi pneumocystis belum sepenuhnya dimengerti. Selama beberapa dekade, terdapat
teori tentang reaktivasi infeksi laten pneumocystis yaitu suatu infeksi yang sudah ada pada
seseorang dan gejala timbul saat sistem imun turun. Saat ini terdapat evidens transmisi dari orang
ke orang yang disebut dengan infeksi baru didapat, meskipun penyebabnya dapat pula dari
lingkungan.
Respon inflamasi yang efektif diperlukan untuk mengontrol pneumocystis pneumonia.
Respon inflamasi yang belebihan juga dapat mneyebabkan kerusakan pulmonal selama infeksi
berlangsug. Pneumocystis pneumonia yang berat memiliki karakterisktil netrofil imflamasi paru
yang dihasilkan oleh kerusakan difus alveolar, gangguan pertukaran udara dan gagal pernapasan.
Respon limfosit pada pneumocystis
Respon imun secara langsung melawan penumocystis yaitu dengan interaksi kompleks antara
CD4+ limfosit T, makrofag alveolar, neutofiil. Aktivitas Sel T CD4+ pada host sangat penting
sebagai pertahanan dalam melawan pneumocystis dan resiko terinfeksi meningkat jika jumlah
CD4+ <200 m3. Sel CD4+ berfungsi sebagai sel memori dengan mengerahkan dan mengaktivasi
5

sel imun yang lain, termasuk monosit dan makrofag. Pada tikus yang mengalami severe combined
immunodeficiency (SCID) memiliki kerusakan fungsional limfosit T dan B, dan secara spontan
bisa terinfeksi pneumocystis dalam waktu 3 minggu.
Mekanisme perlawanan oleh sel CD4+ hanya dimulai beberapa tahun. Derivat makrofag
Tumor Necrosis Factor (TNF- ) dan interleukin 1 diyakini dibutuhkan untuk inisiasi respon
pulmonar pada infeksi pneumocystis yang dimediasi oleh sel CD4+. Sel akan berpoliferasi
terhadap respons antigen pneumocystis dan mediator sitokin, termasuk lymphotactin dan
interferon gamma. Lymphotactin, sebuah chemokine yang berperan sebagai kemotraktan kuat
untuk merekuitmen limfosit lebih lanjut. Interferon gamma secara kuat mengaktivasi produksi
TNF-, superoxida, dan nitrogen reaktif sebagai pertahanan perlawanan puemocystis. Interferon
gamma mengurangi intensitas infeksi pada tikus yang terinfeksi pneumocystis.
Meskipun limfosit T berfungsi sebagai perlawanan pneumocystis, tetapi penilitian
menunjukkan respon sel T juga dapat menyebabkan kelemahan substansi pulmonal selama
pneumonia, yaitu seperti gangguan pertukuran gas. Dengan tidak adanya inflamasi paru yang
cepat, penumocystis hanya sedikit berpengaruh pada fungsi paru.
Makrofag sebagi pertahanan perlawanan pneumocysitis
Makrofag alveolar adalah fagosit utama mediasi penyerapan dan degradasi organisme di
paru-paru. Ketika tidak ada antibodi yang merangsang leukosit untuk melawan antigen di lapisan
epitelial, penyerapan pneumocystis dimediasi terutama melalui reseptor manosa makrofag,
molekul pola pengenalan yang berinteraksi dengan mannoprotein permukaan, yaitu glikoprotein
A. Setelah diambil oleh makrofag, organisme pnemocysitis dimasukan ke phagolysosom dan
didegradasi.
Fungsi makrofag terganggu pada pasien AIDS, penyakit malignan, sehingga menyebabkan
penurunan pembersihan pnuemocystis. Makrofag memproduksi berbagai macam proinflamasi
sitokin, chemokin dan metabolis eicosanoid yang berperan sebagai respon fagosit penumocystis.
Meskipun mediator ini berpartisipasi dalam perlawanan terhadap pneumonia , hal ini juga dapat
menyebabkan kerusakan paru.
Hubungan sitokin dan kemokin
TNF memiliki efek penting selama infeksi pneuomocystis pneumonia. Perlawanan
terhadap pneumocystis akan terhambat ketika TNF dinetralisasi oleh antibodi atau inhibitor.
TNF mempromosikan perekrutan neutrofil, limfosit dan monosit. Meskipun mereka penting
dalam pembersihan pnuemocystis, sel-sel tersebut juga dapat menyebakan kerusakan pada paru
dengan melepaskan oxidan, protein kationik, dan protease. TNF juga menginduksi produksi
interleukin 8 dan interferon gamma yang menstimulasi perekrutan dan aktivasi sel inflamasi
selama infeksi. Dinding sel pneumocystis mengandung banyak beta-glukan , dan penelitian
menjelaskan bahwa produksi TNF oleh makrofag alveolar dimediasi oleh komponen beta glucan
dari pneumocystis. Interleukin 8 dihubungkan dengan infiltrasi neutorfil dan gangguan pertukaran
6

gas pada infeksi yang berat. Level interleukin 8 pada cairan bronchoalveolar lavage dapat menjadi
prediktor pernapasa yang parah dan kematian dari penyakit.
Sel epitel alveolar dan protein
Bentuk tropik berkaitan erat dengan sel alveolar tipe I melalui interdigitasi membran.
Penempelan penumocystis di epitel difasilitasi oleh interaksi protein di host, seperti fibronectin
dan vitronectin. Pada pemeriksaan mikroskopis elektron ditemukan organisme pneumocystis
tertanama di eksudat alveolar yang kaya protein, yaitu surfaktan protein A dan D. Surfaktan
protein A memodulasi interaksi pneumocystis dengan makrofag alveolar. Sebaliknya, protein D
memidiasi aggregasi pneumocystis, tetapi dikarenakan lemahnya aggregasi yang akan diambil
oleh makrofag maka banyak organisme yang lolos saat elimnasi.
6. Manifestasi klinis Pneumocytis Pneumonia
Pneumocystis menyebabkan pneumonia pada penderita HIV dengan karakteristik progresif
dyspnea, demam,batuk yang tidak produktif dan nyeri dada yang berlangsung selama beberapa
hari sampai minggu. Pneumonia fulminant sedikit terjadi pada pasien non HIV. Pneumocystis
pneumonia biasanya terjadi pada CD4 kurang 200 sel/mm3 pada pasien HIV. Pemeriksaan fisik
biasanya hanya didapatkan takipnea, takikardia namun tidak didapatkan ronkhi pada auskultasi.
Takipnea biasanya berat sehingga penderita mengalami kesulitan berbicara. Sianosis akral, sentral
dan membran mukosa juga dapat ditemukan. Foto toraks memperlihatkan infi ltrat bilateral yang
dapat meningkat menjadi homogen. Tanda yang jarang antara lain terdapat nodul soliter atau
multipel, infi ltrat pada lobus atas pada pasien dengan pengobatan pentamidin, pneumatokel dan
pneumotoraks. Efusi pleura dan limfadenopati jarang ditemukan. Jika pada foto toraks tidak
didapatkan kelainan maka dianjurkan pemeriksaan high resolution computed tomography
(HRCT).
Pemeriksaan histopatologi memperlihatkan gambaran eksudat eosinofi l aseluler yang
mengisi alveoli. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan immunofl oresen menggunakan
antibodi monoklonal. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 95% dan spesifisitas 100%.
Pemeriksaan lain menggunakan sputum dan BAL dengan hasil didapatkan 97% positif pada 100
pasien HIV. Pemeriksaan laboratorium darah tidak khas, kecuali peningkatan laktat dehidogenase
(LDH) dan gradien oksigen alveolar-arterial (AaDO2) dikaitkan dengan prognosis lebih buruk.
Gradien oksigen alveolar arterial yang meningkat menandakan adanya hipoksemia, dibag menjadi
tiga bagian yaitu:

Ringan : perbedaan alveolar-arterial O2 (Aa DO2) < 35 mmHg


Sedang : perbedaan alveolar-arterial O2 (Aa DO2) > 35 mmHg - < 45 mmHg
Berat : perbedaan alveolar-arterial O2 (Aa DO2) > 45 mmHg.

7. Diagnosis Pneumocytis Pneumonia


Anamnesis
Ada tidaknya riwayat imunocomprimised
7

Ada tidaknya gejala seperti demam tidak terlalu tinggi, dispnea, dan batuk

non produktif
Pemeriksaan fisik
Takipnea berat sehingga pasien sulit berbicara
Takikardi
Tidak didapatkan ronkhi pada auskultasi
Sianosis akral, sentral dan membran juga dapat ditemukan
Pemeriksaan penunjang
Foto thorax memperlihatkan infiltrat bilateral yang dapat meningkat menjadi
homogen Tanda yang jarang antara lain terdapat nodul soliter atau multipel,
infiltrat pada lobus atas pasien dengan pengobatan pentamidin, pneumotokel
dan pneumotoraks Efusi pleura dan limfadenopati jarang ditemukan.

This radiograph depicts a diffuse, fine, reticular opacification as a result of


Pneumocystis carinii pneumonia

This chest radiograph shows bilateral upper-lobe pneumatoceles after a Pneumocystis


carinii infection in a patient with acquired immunodeficiency syndrome
Pemeriksaan Comuted Tomography
Penampilan khas adalah area ground-glass dengan latar belakang
penebalan septum interlobular . Negatif (normal atau tidak berubah) temuan
CT scan.

Pada pemeriksaan histopatologi memperlihatkan eksudat eosinofil aseluler


yang mengisi alveoli
Pemeriksaan lain menggunakan sputum dan BAL dengan hasil didapatkan
97% postitf pada 100 pasien HIV.
Pemeriksaan laboratorium darah tidak khas, kecuali peningkatan laktat dehidrogenase
(LDH) da gradien oksigen alveolar-arterial (AaDO 2) dikaitkan dengan prognosis lebih
buruk.
Pneumocystis sulit didiagnosis karena gejala dan tanda yang tidak spesifik. Diagnosis
ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Bahan pemeriksaan antara lain berasal dari sputum,
bronchoalveolar lavage (BAL), jaringan paru. Pneumocystis tidak dapat dikultur. Induksi sputum
menggunakan larutan hypertonic saline menghasilkan diagnosis 50 sampai 90% dan merupakan
prosedur diagnosis utama. Jika pemeriksaan tersebut negatif, pemeriksaan dengan BAL dapat
dilakukan.
Pemeriksaan BAL memiliki sensitivitas lebih dari 90%. Terdapat dua bentuk PCP, yaitu tropik
dan kistik. Bentuk tropik dapat dilihat dengan pewarnaan modifi kasi Papaniculaou, WrightGiemsa, atau Gram-Weigert. Bentuk kista dilihat dengan pewarnaan Gomori methenamin silver,
cresyl each violet, toluidin blue O, atau calcofl uor white. Pemeriksaan polymerase chain reaction
(PCR) untuk mendeteksi asam nukleat pneumocystis memiliki sensitivitas serta spesifiksitas
tinggi (88% dan 85%) dari bahan yang diambil dari induksi sputum dan BAL.Diagnosis definitif
ditegakkan jika pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan kista Pneumocystis jirovecii.

Pemeriksaan BAL.
Derajat penyakit dijelaskan pada tabel berikut:

10

Sedangkan diagnosis presumtif PCP menurut CDC jika ditemukan sebagai berikut :
a. Keluhan sesak napas saat aktif atau batuk non produktif dalam tiga bulan terakhir
b. Gambaran foto toraks berupa infiltrat interstitial difus bilateral atau gambaran penyakit paru
difus bilateral
c. Tekanan oksigen (O2) kurang dari 70 mmHg pada pemeriksaan analisis gas darah atau
kapasitas difusi rendah (kurang 80% prediksi) atau peningkatan AaDO2
d. Tidak terbukti pneumonia bakterialis.
8. Tatalaksana Pneumocystis Pneumonia
Trimetoprim-Sulfametoksazol
Merupakan obat pilihan terapi PCP. Penetrasinya baik di jaringan. Studi prospektif
membandingkan pemberian trimetoprimsulfametoksasol dengan pentamidin menunjukkan bahwa
obat tersebut memperbaiki oksigenasi serta daya tahan hidup lebih baik. Pemberian oral pada PCP
derajat ringan sampai sedang. Efek samping yang dapat terjadi adalah skin rash dan gangguan
fungsi hati pada 20% penderita. Tidak dilaporkan efek samping yang dapat menyebabkan
penderita sampai dirawat di rumah sakit.
Pentamidin
Pentamidin digunakan sebagai terapi lini kedua, merupakan antiprotozoa yang mekanismenya
dalam melawan Pneumocystis belum jelas diketahui. Pentamidin merupakan obat toksik dengan
efek samping antara lain hipotensi, aritmia, hipoglikemia, gangguan fungsi ginjal, peningkatan
kadar kreatinin dan trombositopenia.
Klindamisin dan Primakuin
Terapi kombinasi dua obat ini efektif mengobati PCP derajat ringan sampai sedang. Kombinasi ini
digunakan pada pasien yang tidak toleran atau gagal pada pengobatan trimetoprimsulfametoksasol
atau pentamidin. Efek samping yang dapat terjadi antara lain rash, demam, neutropenia,
gangguan gastrointestinal dan methemoglobinemia.
Dapson
Kombinasi dapson dengan trimetoprim efektif digunakan untuk PCP derajat ringan sampai
sedang. Efek samping yang dapat terjadi berupa methemoglobinemia, hiperkalemia ringan,
anemia.
Atovakuon

11

Merupakan antimalaria yang merupakan terapi lini kedua pengobatan PCP. Walaupun ditoleransi
lebih baik dibanding trimetoprimsulfametoksazol, obat ini kurang efektif. Efek samping yang
terjadi yaitu rash, demam, gangguan gastrointestinal dan gangguan fungsi hati.
Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada penderita PCP berat. Kortikosteroid juga dapat menurunkan efek
samping Trimetoprim-sulfametoksasol. Bezzote dkk. menjelaskan efek kortikosteroid akan baik
bila diberikan pada penderita derajat sedang atau berat. Pemberian kortikosteroid dapat
meningkatkan insidens herpes virus serta oral trush.
Pengobatan berdasarkan derajat penyakit
a. PCP Berat
Penderita perlu dirawat dirumah sakit dengan bantuan ventilator. Obat lini pertama yang
diberikan adalah kotrimoksazol dosis tinggi intravena (trimetoprim 15 mg/kgBB/hari dan
sulfametoksasol 75 mg/kgBB/hari selama 21 hari). Bila tidak ada respons dapat diberi lini
kedua yaitu pentamidin intravena (3-4 mg/kgBB selama 21 hari). Lini ke tiga adalah
klindamisin (600 mg IV tiap 8 jam) dengan primakuin (15 mg/oral/hari). Pemberian
kortikosteroid direkomendasikan 40 mg secara peroral dua kali sehari pada hari pertama
sampai kelima, 40 mg satu kali per hari selama 6-10 hari, 20 mg setiap hari sampai lengkap
21 hari.
b. PCP Sedang
Penderita dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit. Pengobatan yang dapat diberikan adalah
Trimetoprim-sulfametoksazol 480 mg dua tablet tiga kali sehari selama 21 hari.
c. PCP Ringan
Penderita dapat diberi kotrimoksazol peroral 480 mg dua tablet sehari selama 21 hari atau
cukup 14 hari jika respons membaik.

9. Pencegahan Pneumocystis Pneumonia


Sebelum dikenal pengobatan HAART 10% PCP sering terjadi pada CD4 lebih dari 200
sel/mm3. Pemberian highly active antiretroviral therapy (HAART) pada penderita HIV dapat
12

menurunkan kejadian infeksi oportunistik. Profilaksis dapat diberikan jika CD4 kurang dari 200
sel/mm3 atau limfosit total kurang dari 14% dengan kandidiasis oral atau demam yang tidak jelas
penyebabnya dan berlangsung lebih dari dua minggu.
Regimen yang diberikan adalah kotrimoksazol dua kali sehari, seminggu dua kali atau
dapsone 100 mg peroral per hari atau atavaquone 750 mg peroral dua kali per hari. Profilaksis
dihentikan bila CD4 lebih dari 200 sel/mm3 atau limfosit total lebih dari 14% yang telah
berlangsung lebih dari tiga bulan.

10. Prognosis Pneumocystis Pneumonias


Prognosis kurang baik karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita dengan
imunodefisensi.

Bila

pneumocystis

pneumona

ditemukan

pada

penderita

dengan

imunodefisiensi, persentase kematian dapat mencapai 100%. Namun bila infeksi dapat
didiagnosa sedini mungkin dan diberikan terapi yang adekuat, persentase kematian dapat
diturunkan hingga 10%. Tetapi sebagian besar kasus bahkan baru terdiagnosa setelah pasien
meninggal dunia pada pemeriksaan autopsi.

Daftar Pustaka
13

Fajar, M Y. Pneumocystis Pneumonia pada Infeksi Human Immunodeficiency Virus. CDK-2013 (40):
hal 253-256.
Thomas CF, Limper AH. Pneumocystis pneumonia. N Engl J Med 2004; 350:hal 2487-98.
Y Evy, D Samsuridjal, D Zubairi. Infeksi oportunistik pada AIDS. Balai penerbit FKUI; 2005.p.1-78.
Bennett, N J. Pneumocystis Jiroveci Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/225976overview. Diakses tanggal 16 Januari 2016.
Pneumocystis infection (Pneumocystis jiroveii). Available at:
http://www.cdc.gov/fungal/diseases/pneumocystis-pneumonia/ . Diakses tanggal 16 Januari
2016.
Hammer SM. Management of newly diagnosed HIV infection. N Engl J Med 2005; 353:1702-10.
Guidelines for the Prevention and Treatment of Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults
and Adolescents. Available at http://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/lvguidelines/adult_oi.pdf.

14

Anda mungkin juga menyukai